Tema: (Masih) Cinta Diam-Diam
Judul: Cinta bukan logika
Author: Fanni Salma
Awalnya aku hanya menganggap
setiap detak jantungku adalah ungkapan bahagia memilikimu. Aku tak paham apa
yang merasuk dalam otakku ketika benda ini terus bekerja mengingat namamu,
sampai aku sadar bahwa ada perasaan lebih untukmu. Bukan sekedar perasaan seorang
sahabat kepada sahabatnya namun perasaan seseorang untuk lawan jenisnya. Aku
tau ini gila, seberapa waras aku untuk menumbuhkan rasa ini begitu saja? Entah,
aku tak mengerti benar. Cengkrama kecil kita mampu membawaku sampai ke perasaan
ini. Andai tak pernah ada status ‘sahabat’ mungkin tak akan sesakit ini. Aku
terlalu mencintaimu dengan caraku.
Aku diam, meratapi segala
kebodohanku. Harusnya aku sadar, status sahabat itu masih dan tetap mendarah
daging diantara kita. Hanya sahabat. Tak lebih. Perhatian itu hanya formalitas
belaka, perhatian yang menurutku istimewa. Bukankah cinta bagian dari anugerah
Tuhan? Lantas apa masih pantas disebut anugerah jika terjebak dalam cinta
persahabatan? Tersiksa dengan rasa yang hanya bisa disimpan dalam hati, membiarkan
prinsip bernama sahabat memenangkan egonya. Ah.. ini sulit.
Semuanya tak bisa terbaca begitu
saja. Prinsip sahabat ini seperti merkurius yang selalu konsisten dalam
keadaan, persis ketika aku berusaha menjaga kekonsistenan hubungan antara kita.
Tak mudah. Aku berusaha seorang diri, terjatuh seorang diri bahkan bangkit
seorang diri. Nyatanya kamu tak perlu tau, cukup otak dan hatiku yang menjadi
saksi betapa seruan-seruan kecil mereka membuatku percaya akan perasaan yang
pelan-pelan tumbuh ini. Kita mengepakkan sayap bersama-sama bahkan terbang
bersamaan, itu membuatku terbiasa akan kehadiranmu juga hadirnya perasaaan
cinta ini. Sayangnya kita memang sudah -terbiasa dengan keadaan ini, bersama
sebagai sepasang sahabat sejati. Itu membuatku takut. Aku telah membuat
kesalahan dalam peraturan persahabatan, yakni mencintai sahabatku sendiri. Namun
disisi lain ini bukan keinginanku, cinta bukan masalah logika.
Setiap langkah kita adalah untuk
menuju titik yang berbeda. Ah, tentu. Aku dan kamu bukan takdir layaknya adam
dan hawa. Satu hal yang perlu kamu tau, aku menginginkan takdir itu. Jika memang
aku bukan bagian tulang rusukmu, aku masih berharap jalan kita selalu
bersisian, meski dengan tujuan yang berbeda. Langkah kaki yang memang sudah
terbiasa bersamamu itu membuatku semakin larut dalam kegamangan rasa ‘terbiasa’
yang akhirnya bermetamorfosa menjadi ‘cinta’.
0 komentar:
Posting Komentar