"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 23 Februari 2014

You're Mine [1/2]



Tittle: You're Mine
Author: Fanny Salma

1



Lekuk tubuh yang anggun terbalut seragam putih-biru muda serta sebuah rompi yang berwarna senada mulai melangkahkan kaki. Si pemilik tubuh indah tersebut mendongak, seketika dia dapat melihat dengan jelas tulisan ‘Green Day SHS’ tepat di atas gerbang kebanggaan SMA-nya. Lantas, dia lanjut melangkah.
Sepasang mata memperhatikannya. Namun, gadis itu masih angkuh dan tetap berjalan seolah tak ada siapa-siapa yang tengah melihatnya intens.
Sang pemilik mata sendiri, berdecak kasar. Dengan kepercayaan diri yang berhasil dia tingkatkan--entah dengan cara apa--dia pun menghampiri si gadis tersebut. Tanpa basa-basi, tangannya beranjak meraih pergelangan tangan gadis itu. Detik itu pula, si gadis berbalik dan menatapnya kesal. Hanya saja, bukan permintaan maaf yang dilontarkan melainkan kerlingan mata yang terkesan genit.
“Mau lo apa sih?!” kesal si gadis.
Easy. Y-O-U.”
Mendengar jawaban yang sangat tak diharapkan, gadis itu kembali menatap kesal lalu menyentakkan pergelangan tangannya. Sorot matanya pun berubah lebih tajam. Lekuk wajah dengan garis yang sempurna itu semakin terlihat jelas karena tatapan tersebut.
“Rio Feryata Jo! Berhenti ganggu gue. Setidaknya satu hari aja bisa nggak sih?!”
Lagi-lagi, dia tak memberi respon yang diharapkan oleh si gadis. Melainkan, pemuda yang ternyata bernama Rio itu tertawa lebar dan memamerkan wajah--yang menurut si gadis--sangat  menyebalkan.
Only you. Yang bisa nyebutin nama lengkap gue sefasih itu, nona Ify Michella Jo,” goda Rio.
“Heh! Jangan nambahin nama orang sembarangan! Nama gue cuma Ify Michella, nggak ada nama norak di belakang itu,” dengus si gadis--Ify.
“Gue tahu lo belum hilang ingatan. Lo nggak  lupa kan kalo...”
Rio sengaja menggantung kalimatnya. Sambil mengerling, dia terkekeh kecil karena melihat ekspresi Ify yang sekarang membelalakkan matanya. Sejujurnya, dengan ekspresi apa pun, gadis itu tetap saja terlihat cantik.
“Jangan bersuara apa-apa tentang itu atau lo mau gue bunuh?!” ancam Ify.
“Duh... senengnya dibunuh sama cewek paling cantik di Green Day,” goda Rio sekali lagi. Ify pun semakin kesal.
Tiba-tiba, gadis itu melangkahkan kaki sampai jaraknya dengan Rio--nyaris--terhapuskan. Ify yang memang lebih pendek dari Rio, terpaksa berjinjit supaya bibirnya sampai ke telinga pemuda itu.
“Kalo lo berani cerita macem-macem masalah perjodohan kita, gue pastiin muka lo nggak akan berbentuk lagi,” bisik Ify dengan nada tajam dan penuh tekanan.
Sejenak, bulu kuduk Rio meremang mendengar ucapan yang menakutkan tersebut. Namun, dia hanya menanggapi dengan senyum miring seolah berkata ‘we will see’.
***
“APA??!”
Tubuh Ify terjengkang ke belakang akibat ucapan toa dari salah satu sahabatnya. Untungnya, tempat ini--bangku spesial di taman Green Day--jauh dari keramaian karena memang dikhususkan untuk mereka.
“Bisa pelan nggak sih lo?!” bentak Ify yang kemudian membanting pantatnya di atas kursi. Dia pun meneguk orange juice--yang entah milik siapa--tanpa mempedulikan sahabatnya yang tengah nyengir lebar.
“Kok bisa lo dijodohin sama Rio?” tanya sahabatnya yang lain.
“Gue juga bingung. Semalem pas kita pulang dari rumah Shilla, bokap sama nyokap udah rapi dan gue disuruh ganti baju. Karena gue pikir itu acara kayak biasanya, ya udah gue nggak curiga sama sekali...”
“Lalu, tau-tau ada dia sama orang tuanya. Ternyata, bonyok gue sama dia itu temenan lama dan udah janji mau ngejodohin gue sama dia kalo umur kita tujuh belas tahun,” jelas Ify dengan nada frustasi.
“Dipikir ini jaman Siti Nurbaya segala jodoh-jodohan?” sahut sahabat Ify yang sempat mengeluarkan suara toa.
“Nah! Gue aja nggak nyangka kalo gue punya bonyok yang masih kolot begitu,” balas Ify yang membuat sahabat-sahabatnya terkekeh.
“Tapi, Fy. Kayaknya mereka serius. Jarang-jarang kan mereka bersikap overprotective begini sama elo.”
Ify menatap sahabatnya yang mempunyai rambut harajuku. Mau tak mau, ucapan itu merasuk ke otaknya dan membuat Ify pusing.
“Bener kata Cakka. Bahkan, lo disuruh putusin Alvin segala. Belum lagi, lo nggak boleh ngobrol sama Eldwin lama-lama. Padahal dia cuma partner model video clip,” timpal gadis dengan rambut lurus sebahu berwarna hitam legam yang sedari tadi diam.
“Ah Shilla mah! Bikin gue takut tau gak?! Kalo perjodohan ini bener-bener terjadi, gimana nasib gue???” cerocos Ify sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.
“Gue bukan nakutin elo. Cuman, semua hipotesa itu menurut gue bener-bener logis dan sudah gue saring sampai ampas-ampasnya nggak tersisa,” elak Shilla.
Ify mengalihkan pandangannya pada dua sahabatnya--selain Shilla dan Cakka--dengan tatapan memelas. Mereka tahu betul, gadis itu tengah mengharapkan sebuah pembelaan atau secercah harapan untuk membuatnya tenang. Namun, dua sahabatnya itu hanya nyengir lebar dan menatapnya dengan tatapan ‘pasrah aja deh lo’ dengan wajah tanpa dosa. Ify benar-benar muak!
“Ayolah Zevana, Acha. Help me lah. Sebagai sahabat yang ‘krezkrez’ harusnya itu kalian kasih solusi. Nggak kayak Shilla sama Cakka, bukannya bikin gue tenang malah jadi takut,” desak Ify pada dua sahabatnya itu.
Mendengar ucapan Ify, Shilla dan Cakka saling pandang. Kemudian, mereka saling melempar tatapan seolah berkata ‘lo sih!’ melalui isyarat mata. Berbeda dengan Zevana dan Acha yang melempar tatapan minta maaf.
“Ah gue punya ide!” seru Cakka.
“Apa? Yakin akan berhasil?” tanya Ify ragu.
“Nggak tahu sih, cuman yaaa... dicoba aja dulu,” balas Cakka.
“Jadi?” tanya Ify lagi.
“Lo tahu Sivia Triana kan? Dia kan naksir Rio udah lama banget. Nah, lo deketin aja deh tuh mereka berdua. Siapa tahu, Rio jatuh cinta beneran sama Sivia dan perjodohan kalian batal. Abis itu, lo bisa bebas pacaran sama Alvin,” usul Cakka yang membuat mereka semua melongo.
“Tembok! Lo pikir bisa semudah itu bikin Rio jatuh cinta sama Sivia? Lagian, Sivia itu seratus delapan puluh derajat sama Ify. Sivia kekar, Ify lemah gemulai. Sivia jago coret-coret tembok, Ify jago coret-coret canvas. Jatah makan Sivia kayak kuli, jatah makan Ify seperempatnya. Ah banyaklah bedanya!” ceplos Zevana yang mulai mengeluarkan suara toanya.
Shilla dan Acha sudah tergelak sampai mata mereka berair. Ify sendiri menekuk wajahnya hingga terlihat lecek. Ide yang disampaikan Cakka membuatnya dongkol.
Sejurus kemudian, Ify melipat tangannya di depan dada. Dia nampak berpikir. Hanya saja, tak ada ide yang terlintas.
“Argh!!! Kenapa hidup gue menderita kayak gini sih???!!!”
***
Suara gelak tawa di lapangan basket terdengar begitu nyaring. Di sana, ada dua pemuda yang tengah duduk di dekat tribun sambil mengelap peluh--efek bermain basket. Dua-duanya sama-sama tampan. Bahkan, garis wajahnya nyaris mirip. Mereka adalah Rio dan Gabriel. Dua sejoli yang sudah bersahabat sejak TK.
Mudah sekali ditebak apa yang sedang mereka tertawakan. Tentunya, ini ada hubungannya dengan masalah perjodohan Rio dan Ify. Berbeda dengan Ify yang mood-nya sangat hancur, Rio justru merasa mood-nya benar-benar bagus.
“Jadi, ngapain lo masih ngejar-ngejar Ify? Toh mau dia sama Alvin pun, ujungnya tetep nikahnya sama elo,” ceplos Gabriel.
“Nggak gitu boss! Buat apa memiliki kalo nggak cinta? Mending dilepasin deh. Sesuatu yang dipaksakan nggak akan punya hasil bagus cuy!” balas Rio.
“Oh... kesimpulannya, lo bakal lepasin Ify kalau dia tetep nggak cinta sama elo?” tebak Gabriel dengan nada sok tahu. Sejurus kemudian, Rio menjitak kepala pemuda tersebut dengan tatapan kesal.
“Justru karena gue nggak mau ngelepasin dia, makanya gue ngejar dia mulu! Bodo amat deh sama si Alvin itu. Mau dia gantung diri, nyebur ke selokan atau apalah. Gue nggak-pe-du-li,” tegas Rio.
“Itu namanya lo ngerebut pacar orang bego!” seloroh Gabriel. Sekali lagi, pemuda tersebut menerima jitakan Rio dengan lapang dada.
“Mending gue nyerobot pacar orang daripada nyerobot jodoh orang,” ujar Rio asal.
Detik berikutnya, Gabriel menepuk keningnya sendiri sambil geleng-geleng. Sahabatnya ini, memang selalu saja berbuat gila. Meski begitu, banyak gadis yang suka pada Rio dibandingkan dirinya. Entah karena mata mereka bermasalah atau karena sosok Gabriel ini tertutupi oleh hidung Rio yang semakin hari semakin mancung--menurut Gabriel.
“Sebagai sahabat yang setia dalam suka dan duka, gue saranin lo berobat ke klinik tong fang deh. Siapa tahu syaraf lo ada yang putus atau kendor. Ya kali Ify jodoh lo, kalo dia emang jodoh Alvin gimana?”
Mata Rio membulat sempurna. “NO! Gue udah diskusiin ini sama Tuhan tadi malam. Dan gue percaya, curhatan gue pasti didengar dengan seksama karena gue itu ganteng.”
“Apa sih lo! Nggak pake narsis! Lalu, lo bilang apa ke Tuhan?” tanya Gabriel dengan kesal sekaligus curiga.
“Begini. Ya Tuhan, Rio Feryata hambamu yang gantengnya luar biasa ini pasti jodohnya Ify Michella yang cantiknya luar biasa kan? Kalo iya, dekatkanlah kami pada KUA segera. Kalau bukan, pasti ada kesalah--
“TEMBOOOKKK!!!” seru Gabriel yang memotong ucapan Rio. Pemuda itu balas dendam dengan menjitaki kepala Rio.
***
Ify terus melamun di dalam mobil Alvin. Oh iya, Alvin ini berbeda sekolah dengan Ify. Pemuda itu menimba ilmu di Nusantara, sekolah yang tak kalah elit dengan sekolah Ify. Awalnya, mereka kenal dari Acha yang merupakan teman Alvin waktu SMP.
Melihat Ify yang begitu tenar di dunia maya serta wajah cantiknya sering mampir di video clip penyanyi papan atas, membuat Alvin tertarik pada Ify. Saat mengetahui bahwa Ify ini satu sekolah sama Acha, Alvin sengaja minta bantuan buat ketemu sama Ify. Dan rencana Alvin yang awalnya cuma ingin kenalan pun melenceng jauh. Tidak disangka, Acha malah sahabatan sama Ify. Jadilah Alvin sering modus ke Ify sampai akhirnya jadian.
“Sayang, kok ngelamun?” tanya Alvin dengan lembut.
“Hah? Eng... enggak kok,” jawab Ify gelagapan.
“Kamu kalo kaget gitu makin cantik deh,” gombal Alvin yang membuat pipi Ify mengeluarkan semburat merah muda.
“Tuh kan makin cantik kalo pipinya merah gitu,” goda Alvin.
Detik berikutnya, Ify benar-benar salah tingkah. Dia pura-pura menggelembungkan kedua pipinya sampai terlihat bulat. Alvin pun dengan gemas mencubit pipi kanan Ify dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya digunakan untuk menyetir.
“Ah sakit tau!” dumel Ify.
“Salah siapa bikin gemes?” balas Alvin dengan cengengesan.
Ini yang membuat Ify sulit untuk tidak  suka pada pemuda di sampingnya. Alvin yang seru, tahu benar bagaimana cara mengembalikan mood-nya, pengertian dan masih banyak lagi. Bagi Ify, Alvin sudah benar-benar sempurna.
Tapi, mengingat orang tuanya ngotot untuk menjodohkannya dengan Rio membuat Ify bingung. Dia tidak mungkin menyampaikan hal ini pada Alvin.
“Gimana kabar temen kamu yang naksir berat sama kamu itu?” tanya Alvin membuat Ify tersentak. Baru saja melamunkannya, Alvin malah membahasnya secara nyata seperti ini.
“Tau deh, udah dimakan ikan koi kayaknya,” ketus Ify.
“Hahaha. Nggak boleh gitu kali, bersikap baik kan nggak ada salahnya,” ujar Alvin sambil membelai puncak  kepala Ify.
Gadis itu pura-pura mual mendengar ucapan kekasihnya. Bersikap baik dengan Rio? Jangan harap. Kalau pemuda itu bersikap normal, baru Ify akan baik. Namun, sepertinya kemungkinan itu sangat tipis.
“Kamu mau aku anterin sampai rumah kan?” tanya Alvin membuyarkan lamunan Ify.
Gadis itu gelagapan. “Nggg.... Sampai gang aja ya, nanti aku jalan sendiri.”
“Kenapa?” tanya Alvin lagi.
“Soalnya... soalnya....” Ify mendengus.
“Soalnya takut ketahuan bonyok,” umpat Ify dalam hati.
“Soalnya?” celetuk Alvin.
“Nggg... itu... mau beli cake di deket situ terus mau jenguk Cakka,” alibi Ify.
“Cakka? Bukannya tadi dia baik-baik aja?”
Ah! Ify salah bicara. Dia semakin salah tingkah karena kebohongannya membuatnya bingung sendiri.
“Haha, kata siapa baik-baik aja? Tadi dia nggak enak badan gitu. Iya, nggak enak badan, makanya aku mau jengukin. Soalnya rumah aku kan paling deket sama dia,” ujar Ify sambil berusaha menormalkan cara bicaranya.
“Oh, ya udah nanti aku anterin sampai Citra’s cake aja.”
Sejurus kemudian, Ify menghela nafas lega. Akhirnya dia tak perlu berlama-lama membohongi Alvin.
***
Sampai di gang, Alvin benar-benar menepati janjinya. Pemuda itu menurunkan Ify di depan Citra’s cake yang berada di depan gang menuju rumah Ify.
“Makasih ya,” ujar Ify pada Alvin.
“Nggak perlu makasih. Ah kamu kayak sama siapa aja,” balas Alvin sambil terkekeh.
Ify jadi ikut tertawa kecil. Namun, tawa itu terhenti ketika bibir Alvin menyentuh pipinya secara kilat. Gadis itu melongo dan detik berikutnya wajahnya menunduk karena malu.
I love you ‘till the end.”
“Sana. Keburu sore,” lanjut Alvin.
“Mm, iya. Aku turun dulu ya,” balas Ify yang masih salah tingkah. Sejujurnya, Alvin tengah menahan tawanya melihat gadisnya seperti itu.
Sebelum Ify membuka pintu mobil Alvin, si pemilik mobil itu mencegahnya. Dia pun turun dari pintu kemudi lantas membukakan pintu untuk Ify. Beginilah Alvin-nya Ify, begitu tahu bagaimana cara memperlakukannya. Dan yang terpenting, Ify selalu merasa tersanjung dengan tindakan romantis Alvin.
“Kamu pulang dulu, baru aku beli cake-nya,” ujar Ify.
“Haha. Kamu itu lucu banget sih. Biasanya kan cowok yang bilang begitu, ini malah ceweknya,” sahut Alvin dengan tawa lebar.
“Nggak pa-pa dong! Kan aku beda dari yang lain.”
Alvin semakin tertawa. “Iya. Kamu emang beda. Selalu aja bisa bikin aku jatuh cinta.”
“Alviiinnn... udah ah jangan gombal mulu. Kamu nggak mau punya pacar yang gila kan? Kalau kamu gombalin mulu, bisa-bisa aku jadi sering senyum-senyum nggak jelas,” dengus Ify.
“Hahaha. Itu serius tahu!” seru Alvin.
“Oke oke. Ya udah, kamu pulang gih. Jangan mampir ke mana pun apalagi sama cewek selain aku,” ancam Ify.
“Ngusir ceritanya? Lagian, nggak bakal ada yang lain. Cuma Ify Michella. Ciyussss,” goda Alvin.
“Alaaayyy! Udah ah. Sana pulang. Ntar aku nggak jadi jengukin Cakka.”
“Oh iya deng. Bye bye sayangku,” ujar Alvin yang kemudian mendaratkan bibirnya ke pipi putih Ify untuk kedua kalinya. Namun, kali ini Alvin langsung masuk ke dalam mobilnya. Membiarkan Ify mencak-mencak sambil ngedumel. Lagi-lagi, pemuda itu tertawa melihat tingkah Ify dari dalam mobil.
Sejurus kemudian, mobil berwarna silver tersebut melaju meninggalkan sosok Ify  yang kini tersenyum lirih sambil memegangi pipi kirinya--bekas dicium Alvin. Dia pun melangkahkan kaki menuju gang.
Tanpa disangka, sudah ada pemuda yang tak ingin dilihatnya. Pemuda tersebut sudah nangkring di atas motornya yang berada di tepi jalan gang. Ify mendengus sebal.
“Mau apa lo?!” ketus Ify.
“Gue udah nungguin lo daritadi. Ayo. Gue anter ke rumah,” ujar Rio tanpa mempedulikan pertanyaan Ify.
“Ogah! Gue bisa jalan kaki. Lagian ini tuh deket, ngapain lo anter segala?” kesal Ify.
“Jadi, lo mau gue anterin dari sekolah biar jauhan? Bilang dong,” goda Rio yang membuat Ify menepuk keningnya.
“Ampun deh!!! Lo tuh yaaa--
“Udah ganteng, baik, romantis lagi,” potong Rio dengan cepat.
Ify langsung memijat keningnya dan menatap sengit makhluk di hadapannya ini. Rasanya, sekarang ini dia ingin mencekik leher Rio sekarang juga. Apalagi menatap wajahnya yang sok kegantengan itu, Ify menjadi semakin tidak suka padanya.
“Jangan diem aja kali,” celetuk Rio.
“Atau lo mau gue cium dulu kayak Alvin tadi? Mau yang sebelah mana?” ceplos Rio yang membuat  Ify mendelik.
“NIH!!! Cium buku gue!” nyolot Ify sambil mengarahkan buku cetaknya ke muka Rio.
“IFYYY!!!”
***
Di rumah Shilla sendiri, dia dan sahabat-sahabatnya--Zevana, Acha dan Cakka--tengah mengadakan rapat meja persegi. Mereka tengah membahas jalan keluar untuk masalah Ify supaya gadis itu tak marah-marah lagi.
Sayangnya, sudah satu jam di rumah Shilla ini, mereka belum juga menemukan ide untuk menggagalkan perjodohan Ify dan Rio. Orange juice dan beberapa cemilan pun sudah berpindah ke perut mereka. Bahkan, Zevana sudah menguap sebanyak 15 kali.
“Gimana dong? Gue ngantuk banget,” dumel Zevana.
“Susah sih. Coba lo nggak ngenalin Alvin ke Ify, Cha. Pasti kan Ify nggak berat di Alvin,” sahut Shilla.
“Kok gue? Kan Alvin yang minta. Sebagai teman, nggak mungkin kan gue nolak? Lagian gue tahu banget kalo Alvin nggak akan mainin Ify. Terbukti kan?” balas Acha membela diri.
“Udah deh nggak usah ribut. Tau gini, mending pake cara gue yang tadi,” celetuk Cakka.
“Tembok! Lo pikir bakalan berhasil?” sengit Zevana.
“Ya kan belum dicoba,” elak Cakka.
“Cakka yang gantengnya di bawah Justin Bieber. Sivia sama Ify itu sinkron banget. Lo nggak bisa lihat itu? Rio aja udah naksir Ify dari kelas satu. Dan elo mau bikin dia jatuh cinta sama Sivia? Hellooowww....”
Cakka merengut. Bibirnya sengaja dimajukan untuk memperdalam ekspresi kesalnya. Sayangnya, tiga gadis itu malah tergelak melihatnya. Ah begini nih, resiko menjadi satu-satunya anak laki-laki di antara mereka. Positifnya, dia yang paling tampan. Negatifnya, Cakka sering ditindas seperti sekarang ini.
“Atau... kita bikin Alvin aja yang jatuh cinta sama Sivia?” usul Acha--tanpa dosa.
“GILAAA!!! Itu namanya mau bunuh diri. Lo nggak mau dibunuh Ify kan? Dia mah kelihatannya aja gemulai. Kalo udah marah, jiwa evil-nya keluar semua. Hiii serem,” ceplos Zevana yang disetujui oleh Cakka dan Shilla.
“Jadi gimana?” tanya Acha mulai frustasi.
Sampai sekarang pun, tak ada yang bisa memberikan solusi. Baik Cakka, Zevana maupun Shilla hanya menggeleng pasrah.
“Udah ah nggak usah dipikirin. Mau Ify sama Alvin atau Rio, kita dukung aja sebagai sahabat,” ujar Cakka.
“Iya juga sih.”

You're Mine [2/2]



Tittle: You're Mine
Author: Fanny Salma

2



Sedari tadi, gadis dengan rambut sebahu lebih sedikit itu berdecak kasar di meja makan. Di hadapannya, ada pria dan wanita yang tengah tertawa lebar akibat candaan kecil yang dilontarkan oleh pemuda yang berada di sampingnya. Rasanya, gadis itu ingin pergi saja--seandainya diperbolehkan--lantas mengunci diri di dalam kamar.
“Ify, kenapa diem aja?” tanya pria yang ada di hadapan gadis itu.
“Ya terus, Ify harus ngomong apa dong, Pa?” balas gadis itu--Ify--dengan nada malas.
“Hush! Nggak sopan,” tegur wanita di sebelah pria yang tak lain adalah papanya Ify. Sedangkan wanita itu adalah mamanya.
“Mungkin Ify kecapekan, Om, Tante. Tadi kan kelas Ify ada materi olah raga,” timpal pemuda di samping Ify.
“Cihhh, sok manis,” desis Ify tak kentara namun cukup sampai ke telinga pemuda di sampingnya.
“Wah... nak Rio care banget ya sama Ify. Sampai tahu hal sekecil itu. Kamu beruntung sekali Ify.”
Beruntung? Ify benar-benar muak. Dia lantas melempar tatapan membunuh ke arah Rio. Namun, pemuda itu mengerling kemudian menjulurkan lidahnya. Hal tersebut tentu membuat Ify semakin geram.
“Lalu, kapan kalian akan menikah?” tanya mamanya Ify.
“Uhukkk... uhuuukkk....”
Ify tersedak. Tanpa aba-aba, Rio sudah menyodorkan segelas air putih untuk gadis itu. Dia pun segera menegak air tersebut hingga setengah gelas.
“Mama! Ify itu masih SMA. Kenapa ngomongin pernikahan sih?!” kesal Ify.
“Bentar lagi juga lulus. Lagipula, kalau di-planning dari sekarang kan lebih baik. Mama juga pengen cepet nimang cucu. Tante Menda juga kan, Yo?” cerocos mamanya Ify yang kemudian menatap Rio.
“Iya dong, tant. Rio aja gak sabar--
“Awww!!!”
Rio mendelik ke arah Ify. Gadis itu dengan sengaja menginjak kakinya.
“Loh... kenapa, Yo?” tanya papanya Ify.
“Nggg... nggak kok, Om. Cuman kena kaki meja,” jawab Rio berbohong.
“Ah kamu itu. Makanya hati-hati. Tadi, mau bilang apa? Nggak sabar apa, Yo?” tanya mamanya Ify.
“Itu... nggak sabar... mau... mau cepet lulus. Iya gitu. Abis lulus kan Rio kuliah sebentar terus abis itu Rio lanjutin perusahaan Papa.”
Setelah itu, Ify tak mendengarkan lagi apa yang mereka bicarakan. Dia berkutat pada makanannya yang tak kunjung habis.
***
Paginya, Rio dan Gabriel sudah ada  di gelanggang. Mereka tengah melakukan one by one di lapangan basket seperti biasa. Kemudian, seperti biasa pula, Rio menceritakan semua kejadian ketika sengaja menunggu Ify sampai dipaksa untuk makan bersama orang tua Ify. Tak henti-hentinya pemuda itu tersenyum setiap kali menyebutkan nama Ify.
“Gue seneng banget sumpaaahhh!!!” seru Rio.
“Seneng palelu?! Itu Ify kasian kali, Yo. Dia kan nggak cinta sama elo,” seloroh Gabriel.
“Cinta nggak berlaku buat yang ini. Yang terpenting, bonyok Ify udah suka dan klik banget sama gue. Tinggal nunggu si Ify aja maunya kapan gue nikahin,” ceplos Rio dengan gaya tengil. Gabriel pun menjitak kepala pemuda tersebut.
“Dih! Otak lo nggak bener nih udah ngomongin nikah segala. Sadar, Yo! Kita itu masih SMA dan status kita belum lulus. Lo mau nyari ijazah apa ijab sah deh,” cerocos Gabriel. Rio sendiri hanya acuh.
“Oh... lo nggak mau gue undang ke pernikahan gue sama Ify? Oke.”
“Eh nggak gitu juga kali. Siapa tahu kan jodoh gue ntar ada di acara pernikahan lo sama Ify,” dengus Gabriel.
Rio terkekeh geli. Sahabatnya itu memang sama konyolnya dengan dirinya. Hanya saja, Gabriel tak melakukan hal-hal gila seperti yang dilakukan Rio. Misalnya, mendoakan Ify putus dengan Alvin lalu berpaling padanya dan mereka akhirnya menikah serta hidup bahagia selamanya seperti yang ada di dongeng-dongeng.
Di sisi lain, Ify datang dengan mata bengkak. Hal itu membuat sahabat-sahabatnya heran. Sebagai sahabat sejati, akhirnya mereka memutuskan untuk membolos bersama. Cakka yang biasa membawa mobil sendiri pun segera menuju parkiran dan melajukan mobilnya menuju gerbang dimana Ify, Zevana, Shilla dan Acha menunggu di sana.
“Ayo naik!” seru Cakka.
Tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi, mereka naik ke mobil Cakka. Ify yang biasanya memilih untuk duduk di samping Cakka, kini malah duduk di belakang karena sedari tadi gadis itu sudah menempel di bahu Acha. Zevana pun duduk di jok depan.
“Untungnya kita bisa bolos seenaknya. Jadi, nggak perlu nadahin kuahnya Miss R deh,” celetuk Zevana.
“Lagian, lo kenapa deh, Fy? Dateng-dateng mata udah bengkak, mana nangis lagi. Sebagai gadis yang selalu tampil sempurna, lo nggak banget,” timpal Shilla yang kemudian dipelototi sahabat-sahabatnya. Gadis itu hanya nyengir.
“Alviiinnn....”
“Kenapa sama Alvin?” tanya Cakka mulai tertarik.
“Kita putus. Huaaaaaa,” racau Ify yang kembali menangis.
“Kok bisa?” tanya Acha.
“Ja... jadi... semalem...”
Alvin sengaja datang ke rumah Ify tanpa memberi tahu gadis itu terlebih dahulu. Niat ingin memberi surprise malah gagal karena yang membukakan pintu justru papanya Ify langsung. Biasanya, setiap Alvin ke sini, yang membuka pintu adalah pembantu Ify.
“Malam, Om,” sapa Alvin seramah mungkin.
“Iya. Mau apa?”
Alvin jadi kikuk mendengar nada tak bersahabat dari papanya Ify. Tapi dia berusaha sebiasa mungkin.”
“Mau cari Ify. Ify ada?” tanya Alvin sopan.
“Tidur. Kamu pulang saja.”
“Tidur?” Alvin benar-benar curiga karena lima menit yang lalu, Ify mengirim whatsapp kalau dia sedang menonton film.
Benar saja. Gadis itu muncul dari belakang papanya dan membelalakkan mata.
“Loh... Alvin? Kok nggak bilang mau ke sini?” tanya Ify terkejut.
“Tadi kata Papa kamu, kamu lagi tidur,” ujar Alvin tak mempedulikan pertanyaan Ify.
Sejurus kemudian, Ify menatap papanya yang sedang menatap dirinya dingin. Gadis itu mendadak gugup. Namun, sekali lagi. Dia berusaha menyembunyikan semuanya supaya Alvin tak curiga.
“Masuk, yuk,” ajak Ify.
“Tapi...”
“Ekhem,” dehem papanya Ify.
“Ify. Masuk,” ujarnya dengan nada tegas.
“Pa--
“Papa bilang masuk.”
Karena takut, Ify memilih diam. Dia lantas melirik Alvin yang menganggukkan kepalanya. Mau tak mau, Ify menuruti perintah papanya.
“Terus, kok lo sama dia bisa putus?” tanya Cakka mewakili semuanya.
“Tadi pagi Alvin jemput gue di gang. Pas di mobil, dia bilang kalau gue sama dia udahan aja.”
“Fy, kita udahan ya,” ujar Alvin yang masih tetap fokus menyetir.
“Hah?! Maksud kamu apa?” tanya Ify.
“Iya. Udahan. Aku sama kamu jalan masing-masing, nggak kayak gini lagi. Kamu ngerti kan?”
Penjelasan Alvin bukan hanya membuat Ify mengerti--seperti yang dia tanyakan--tapi juga membuat Ify cukup lama terpaku dan membisu. Dia menatap Alvin tak percaya. Tanpa ada angin apa-apa, Alvin berkata demikian secara tiba-tiba.
“Aku udah tahu semuanya. Orang tua kamu nggak suka kan sama aku? Dan mereka akan jodohin kamu. Jadi, itu alasan kamu nggak pernah ijinin aku main ke rumah kamu setiap kali ada orang tua kamu di rumah?” jelas Alvin hingga membuat Ify terkesiap.
“Vin...”
“Mereka bener, Fy. Kita emang nggak sebanding. Dan mungkin, mereka memilihkan orang yang sebanding sama kamu,” ujar Alvin.
“Tapi aku cintanya sama kamu,” balas Ify yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku juga. Tapi, cinta nggak harus memiliki kan?” tanya Alvin retoris.
“Semudah itu kamu ngelepas aku? Hanya karena perjodohan sialan itu?”
Alvin tersenyum miris. Dia menepikan mobilnya. Kemudian, pemuda itu memutar tubuhnya hingga menatap sosok Ify yang kini menundukkan kepalanya. Lebih-lebih, Alvin tahu benar bahwa Ify tengah menahan tangisnya.
“Aku nggak pernah ngelepasin kamu. Aku cuma nggak mau kamu jadi anak durhaka, aku nggak mau gadis kesayangan aku dibenci Tuhan karna nggak mau nurut sama orang tua, aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Aku sayang kamu, Fy. Lebih dari apa yang kamu tahu.”
Rangkaian kata yang disusun Alvin berhasil menohok hati Ify. Dia sendiri mengakui bahwa Ify sudah menentang orang tuanya, berbicara tak sopan pula setiap kali membahas perjodohan itu.
“Perjuangin aku, Vin. Sedikit aja... aku mohon,” lirih Ify.
“Tanpa kamu minta, aku udah lakuin itu. Kamu tahu apa yang aku lakuin waktu Papa kamu minta supaya kita putus?”
Tanpa menunggu jawaban Ify, Alvin pun menjawab. “Aku jatuhin harga diri aku dengan berlutut di depan Papa kamu. Tapi Papa kamu bilang ke aku, aku nggak perlu melakukan hal bodoh itu karena keputusannya udah bulat.”
“Kamu harus bahagia, Fy.”
Cakka, Acha, Zevana dan Shilla hanya bisa diam mendengar cerita Ify barusan. Mendengar begitu dewasanya sosok Alvin, membuat mereka sadar bahwa wajah saja Ify susah menyia-nyiakan pemuda sebaik itu.
“Udah, Fy. Jangan nangis lagi.”
Ify tak peduli. Air matanya tetap mengucur tanpa dimintanya.
***
“Eh... mereka bolos ya? Mentang-mentang bonyoknya berkuasa eh seenaknya aja bolos.”
Mendengar ucapan Gabriel, Rio pun mengalihkan pandangannya menuju gerbang. Terlihat bahwa Ify dan teman-temannya tengah naik ke mobil Cakka. Detik berikutnya, mobil itu melaju meninggalkan Green Day SHS.
“Mau ke mana, ya?” gumam Rio.
“Lo tadi liat Ify nggak? Kok dia dipeluk Acha gitu terus kayaknya lagi nangis?”tanya Gabriel.
“Ah, masa sih?” balas Rio tak percaya.
“Serius. Eh, itu temen sekelasnya Ify kan? Bentar. Heh!! Elo! Sini!”
Gabriel memanggil anak laki-laki dengan rambut kribo. “Ada apa manggil gue?”
“Ify sama kawan-kawan kenapa bolos ya?” tanya Gabriel to the point.
“Nggak tahu. Tadi, Ify dateng ke kelas pake mata bengkak terus nangis. Abis itu, mereka bolos,” jawab pemuda tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda itu pun berlalu. Meninggalkan Gabriel dan Rio yang tengah berpikir keras.
“Jangan-jangan....” Ujar Gabriel terputus.
“Jangan-jangan apa?” tanya Rio.
“Lo abis ngapa-ngapain dia ya? Lo nggak--
“Sembarangan!” potong Rio dengan nada tinggi.
“Kalo yang lo maksud begituan, gue nggak mungkin ngelakuin itu. Lo tahu sendiri, gue itu anak baik-baik meski kadang suka ngeres sih,” lanjutnya.
Gabriel pun menjitak kepala Rio. “Awas aja kalo lo buntingin anak orang! Gue sate dan gue bagiin daging lo ke ragunan... eh tapi kan badan lo tulang doang.”
Daripada menanggapi ucapan Gabriel yang semakin ngaco, Rio memilih untuk meninggalkan pemuda itu. Gabriel segera tersadar. Tapi, Rio sudah terlalu jauh hingga membuat Gabriel hanya bisa berteriak.
“Yo!!! Yo!!! Mau ke mana lo???!!!” teriak Gabriel ketika melihat sahabatnya itu berjalan menuju parkiran.
“Nemuin cewek gue lah!!!” seru Rio.
“Cewek orang woiii!!!” balas Gabriel.
Rio tak peduli. Dia menaiki motornya dan meninggalkan Green Day SHS, serta meninggalkan Gabriel pula.
***
Sudah larut malam, tapi Ify tak juga pulang. Rio sudah lelah menunggu Ify di depan rumahnya sejak siang tadi. Orang tua Ify pun tidak ada di rumah saat ini. Sampai sebuah sinar dari lampu mobil menyeruak ke dalam mata Rio.
Pemuda itu nyaris tersenyum kala semua penghuni mobil itu keluar namun tak menampakkan sosok Ify. Mereka berlari ke arah Rio.
“Om sama Tante mana???” tanya Cakka dengan panik.
“Mereka nggak ada di rumah. Lalu, Ify mana? Kok lo nggak sama dia? Bukannya--
“Itu dia!!! Ify nggak mau pulang. Dia masih ada di taman deket sini,” jawab Cakka.
Tanpa basa-basi, Rio berlari menuju motornya dan bergegas menuju tempat yang dimaksudkan Cakka tadi. Sampai di sana, Rio menepikan motornya dan melihat Ify tengah terdiam di bawah pohon. Untungnya taman ini tak pernah gelap, Ify pun tak mengenakan pakaian warna putih. Jadi, Rio tidak perlu merasakan kesan horor.
Rio melangkahkan kakinya. Dia mendekati sosok Ify tanpa berniat mengganggu. Tapi apa daya, Rio tak pernah bisa tahan berdiam ketika bersama Ify.
“Nggak takut sendirian?”
Mendengar suara yang amat dia kenal, Ify terkesiap. Rio sudah berdiri di depannya dengan posisi membelakangi Ify.
“Ngapain lo ke sini?!” ketus Ify.
“Suka-suka gue dong. Ngapain lo ngatur-ngatur?” balas Rio nyolot--dan tanpa dosa.
“Lagian, lo jadi kayak orang patah hati gini,” lanjut Rio.
Sejurus kemudian, Ify menangis. Rio membalikkan badannya dan terkesiap. Pemuda itu lantas mendekati sosok Ify dengan panik. Tanpa sadar, kepala gadis itu sudah bersandar di dadanya. Rio sendiri tak tahu persis kapan tepatnya posisi ini dimulai.
“Lo kenapa?” tanya Rio sambil mengusap puncak kepala Ify.
“Ini semua gara-gara elo tau!” hardik Ify dengan suara paraunya.
“Gue?” tanya Rio dengan heran. Detik berikutnya, pemuda itu merinding karena mengingat ucapan ngaco Gabriel ketika di sekolah mengenai ‘buntingin anak orang’. Tidak. Rio masih waras.
“Gue putus sama Alvin! Huuuaaa!!!” jerit Ify.
Rio kelabakan sendiri, takut jika ada orang yang lewat lalu menuduh macam-macam.
“Heh jangan kenceng-kenceng! Kalo ada yang lewat terus ngirain gue ngapa-ngapain elo gimana? Gue mau aja sih tanggung ja--
“BEGOOO!!! Lo tuh cowok paling bego sekaligus sedeng yang sebenernya nggak mau gue kenal!!! Gue sebel sama elo!!!” maki Ify memotong ucapan Rio sambil memukuli tubuh pemuda itu.
“Aduuuhhh! Sakit, Fy. Ampun ahhh woiii!!!”
Tangan Rio berusaha menangkal tangan Ify yang terus memukulinya. Detik berikutnya, sosok Ify sudah berada di pelukan Rio--satu-satunya cara untuk menghentikan aksi brutal Ify--dan gadis itu hanya bisa terpaku menerima perlakuan pemuda tersebut.
***
1 Juni 2014 (Kelulusan SMA)
Sorak sorai di Green Day SHS menggema ketika semua siswa dinyatakan lulus. Termasuk Ify yang kini meloncat-loncat sambil memeluk sahabat-sahabatnya.
“Yeeeyyy!!! Akhirnya kita lulus jugaaa!!!” seru Ify kegirangan.
“Iya iya! Dan gue bisa kuliah di singapore,” sahut Shilla.
“Yahhh... sayang banget ya kita musti pisah begini. Shilla ke singapore, Acha ke Aussy, Cakka ke Los Angeles dan gue di UI,” keluh Zevana.
“Lo kan sama Ify!” celetuk Cakka.
“Ya tapi kan nggak asik berdua doang.”
“Bener tuh kata Zevana,” timpal Ify.
“IFY! IFY!” seru seseorang yang membuat pemilik nama--beserta sahabat-sahabatnya--menoleh dan menunda pembicaraan.
Seorang pemuda yang seragamnya sudah penuh coretan tengah menghampiri mereka¾atau tepatnya Ify. Dengan senyum yang lebar,  pemuda itu menarik lengan Ify.
“Pinjem Ify ya. Dadaahhh!!”
Sahabat-sahabat Ify hanya bisa melongo begitu Rio--pemuda tersebut--membawa Ify pergi dari hadapan mereka. Lalu, mereka pun geleng-geleng melihat dua sejoli itu.
“Sejak Alvin nggak ada kabar, mereka jadi deket. Gue berani taruhan, Rio mau nembak Ify,” ceplos Cakka.
Detik berikutnya, mereka mengangguk dan menyusul dengan niatan menguntit Ify dan Rio. Lebih tepatnya, ingin menyaksikan acara penembakan pemuda tersebut.
Benar saja, Rio membawa Ify ke tempat sepi. Mereka terlihat berbincang cukup lama. Cakka, Shilla, Zevana dan Acha pun mendekat--tak kentara--supaya bisa mendengar percakapan mereka.
“Fy, mungkin di hati lo masih ada Alvin. Mungkin, nama gue belum bisa menempati posisi itu seutuhnya. Begitu bukan?”
Ify mengerutkan keningnya. Dia mulai paham arah pembicaraan mereka ini. “Sorry, Yo.”
“Nggak pa-pa,” sahut Rio dengan senyum simpulnya.
“Tapi, lo mau kasih kesempatan ke gue kan? Jadi satu-satunya pendamping hidup lo? Jadi yang terakhir menempati hati lo? Gue janji, gue akan ngegeser posisi Alvin seutuhnya,” lanjutnya.
“Tapi--
“Gue nggak becanda, Fy. Selama ini, gue tahu lo kesel sama gue. Gue tahu lo sebel banget setiap gue godain. Tapi, di balik itu semua gue punya maksud supaya lo selalu inget gue. Supaya elo selalu ingat gimana sosok Rio Feryata yang menyebalkan di mata Ify Michella. Lo paham kan?” potong Rio.
“Yo... jujur aja, gue terharu dengernya. Gue... gue....”
“Ify... please. Mau kan jadiin aku yang terakhir di hidup kamu?”
Jantung Ify sudah berdetak lebih cepat dari biasanya. Lidahnya kelu, begitu pula tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Dia semakin salah tingkah ketika Rio menatapnya seperti ini.
“Gimana?” tanya Rio sekali lagi.
“Nggg... oke.”
“HUUUAAA THANKS IFFFYYY!!!”
Gadis itu terkesiap ketika Rio menghapus jarak mereka dengan merengkuhnya. Detik berikutnya, tubuh gadis itu terangkat dan terasa melayang-layang. Dia pun tertawa lepas, begitu pula Rio.
“CIIIEEE!!!”
Suara-suara yang amat dikenal mereka membuat Rio melepaskan tubuh Ify. Mereka pun berbalik dan mendapati Cakka, Zevana, Acha, Shilla dan Gabriel sudah bersiul-siul sambil menggoda. Ah, sejak kapan Gabriel berbaur dengan mereka?
“Kalian ngintipin yaaa?!” hardik Ify dengan kesal.
“Ya dong! Abisan bawanya ke tempat sepi. Ih, gue pikir mau diajakin mesum sama onoh,” sahut Zevana tanpa dosa sambil mengarahkan dagunya ke arah Rio.
“Enak aja! Gue laki-laki yang baik tahu!” sungut Rio.
“Hahaha. Cie yang jadian, peje jangan lupa yaaa!!!” seru Gabriel yang disetujui oleh yang lain.
“Tenang aja. Ntar kalian dapet jatah pajak tiga kali,” jawab Rio.
“Apaan aja,Yo?” tanya Acha.
“Pajak jadian, pajak tunangan sama pajak nikah,” jawab Rio--tanpa dosa.
“HEH?! Lo sama bonyok sama aja deh ya. Ngomonginnya nikah mulu diiihhh!” sengit Ify dengan nada sensi.
“Nggak inget kata nyokap lo? ‘Mama pengen banget nimang cucu’ ih Mama lo tahu banget apa yang gue mau,” ceplos Rio dengan menirukan gaya bicara mamanya Ify.
Sejurus kemudian, mereka semua--kecuali Ify--tergelak sampai mata mereka berair. Apalagi melihat ekspresi evil Ify yang sudah ingin menelan Rio bulat-bulat serta tatapan ‘berani amat lo bongkar aib gue?!’ membuat semua ini terlihat lucu.
Namun, semua itu tak lama karena tiba-tiba bibir Rio sudah mendarat di kedua pipi gadis itu. Rio mencium Ify di depan sahabat-sahabatnya. Mereka membelalakkan mata dan bibir mereka pun menganga lebar.
“Akhirnya dapet juga! Yeeeaahhh!!!” seru Rio kegirangan.
“RIIIOOO!!!”
“HAHAHA. Alvin kalo nyium lo kan selalu pipi kiri, kalo gue dua-duanya. Jadi, level gue sama Alvin tinggian gue dong?” goda Rio sambil memainkan sebelah alisnya.
“Anjay, dia mulai ngeres,” ceplos Gabriel sambil menepuk keningnya.
***

END