One Shoot: Masihkah Aku (Bersinar di Hatimu)
[Fanfict Aluna-Biru]
By:
Fanny Salma
Ruang
musik ini seolah menjadi saksi perjalanan cinta dua hati yang dipertemukan
untuk bersolois. Begitu ungkap sosok Biru. Ya, ini kisah cinta antara Aluna,
gadis yang dingin sedingin benua antartika dengan Biru, sosok tampan yang tak
pernah lelah mencairkan dinding es milik Aluna.
Biru
ingat saat pertama kali ia terpana pada gadisnya. Meski beribu kali diabaikan,
pemuda itu tak menyerah berada di sekitar Aluna, mengusik dunia Aluna hanya
untuk mendapatkan perhatiannya. Meski pada akhirnya Aluna menjadi kekasihnya,
gadis itu tak pernah benar-benar berubah. Dia selalu sama. Dingin.
“Emang kita duet ya di kelas ini?”
Suara itu memenuhi telinga Biru ketika dia
sengaja memainkan gitar di samping Aluna yang sedang berlatih memainkan piano.
Pemuda itu menoleh sekilas,menghentikan permainan gitarnya yang mungkin memang
mengganggu latihan gadisnya, lalu kembali menatap lurus ke depan.
“Pertanyaan yang sama. Emang hati kita berduet
ya? Kayaknya hati kita solois banget,” sahut Biru yang dibalas dengan decakan
kesal dari Aluna.
“Please gue ada tes siang ini. Tolong, biarin
gue latihan tanpa diganggu,” ujar Aluna dengan penuh penekanan.
Kalimat itu tanpa sengaja menyentakkan Biru
dalam kepahitan. Sebegitu mengganggunya kah keberadaannya bagi Aluna?
Biru lantas meletakkan gitar yang sedari tadi
ia mainkan lalu bangkit meraih tasnya dan pergi begitu saja. Aluna sempat
melirik, namun akhirnya kembali memainkan grand piano dengan perasaan bercampur
aduk.
Pemuda
itu mendesah kala mengingat setiap detail peristiwa tersebut. Emosinya
benar-benar tak stabil, dia menganggap Aluna benar-benar tak ingin melihatnya
kala itu. Detik selanjutnya, Biru tersenyum. Dia rindu menemani Aluna di ruang
musik ini. Meski hanya menyaksikan gadis itu sibuk dengan piano, Biru merasa
dia selalu terpikat setiap kali menikmati Aluna dengan lantunan musiknya yang
indah.
“Lun,
gue kangen... kangen semua tentang kita,” lirih Biru seraya menutup ruang musik
tersebut.
***
Langkah
Biru berpindah menuju kantin. Pemuda tampan itu duduk di salah satu bangku yang
sering ia tempati—dulu—bersama Aluna. Dengan hati-hati, telapak tanganya mulai
menyentuh permukaan meja yang sempat ia ukir dengan nama “Aluna”. Mau tak mau,
kedua ujung bibirnya tertarik kembali.
Sekali
lagi. Meski menjadi kekasihnya, Aluna tetaplah Aluna. Sosok dingin sedingin
benua antartika. Di kantin pun gadis itu memilih fokus dengan gadget-nya. Ya, Biru mengerti. Gadisnya
memang selalu berusaha menghubungi kedua orang tuanya di setiap kesempatan.
Sayangnya, itu membuat Biru terabaikan, membuat sosok Biru tak pernah terlihat
di manik mata yang menarik milik Aluna.
“Tahu nggak, Lun? Tadi tuh ya ada dosen yang
salah kasih absen terus nih... dia keluar lagi dan dia nggak balik-balik saking
malunya. Aduhhh lucu nggak sih, Lun? Lucu banget kan?” cerocos Biru dengan tawa
yang berhamburan.
Aluna masih sibuk dengan ponselnya.
“Lun...”
“Haha iya. Lucu,” sahut Aluna tanpa berminat.
Wajah Biru berubah keruh. Matanya memandang
sayu ke arah gadis di hadapannya. Mengapa gadis ini tak pernah sekali saja
membuat keberadaannya terasa berharga? Mengapa gadis ini tak pernah sekali saja
membuatnya merasa dicintai? Mengapa—
Biru bangkit dari tempat duduknya. Dia
bermaksud untuk pergi. Ketika hendak melangkah, suara Aluna menghentikannya.
“Biru, mau ke mana?” tanya gadis itu.
Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Biru
melengos.
“Kamu yang ke mana. Aku kan selalu di depan
kamu.”
Selanjutnya, pemuda itu melanjutkan langkahnya
yang sempat tertunda dan pergi meninggalkan Aluna untuk kesekian kalinya.
Ingatan
itu masih membekas di otak Biru. Kekecewaannya mendominasi saat itu. Dia muak
dengan semua tingkah Aluna sekaligus kecewa dengan dirinya sendiri. Dia pikir,
dia berhasil merobohkan dinding es yang dibangun Aluna meski hanya seperempat
bagian. Tapi ternyata salah. Dinding itu terlalu kokoh, bahkan tak pernah
hancur sedikitpun. Dinding itu tetap utuh.
Helaan
nafas Biru terasa berat. Dia tersenyum getir sebelum melanjutkan ke tempat
terakhir yang akan ia tuju. Sekali lagi, telapak tangannya mengusap ukiran nama
“Aluna” dengan lembut. Kali ini ia menyentuh dengan perasaan dan menyebutkan
nama itu dalam hatinya detik itu juga. Biru terperangah hebat ketika menyadari
hatinya berdesir hanya dengan menyebutkan nama “Aluna”. Perasaannya masih sama
seperti ketika dia jatuh hati pada gadis tersebut.
***
Tempat
terakhir dari tiga tempat tujuannya. Dari ketiganya, ini adalah tempat yang
paling menyakitkan bagi Biru. Tempat dimana kisahnya dengan Aluna harus
berakhir dan kandas. Rasa bersalah mulai menyergapnya.
“Aku cuma nanya kamu ke mana. Dari kemarin aku
nelfon kamu, kamu nggak angkat-angkat. Kalau bukan kamu yang nemenin aku, siapa
lagi?”
Teringat
jelas bagaimana rangkaian kalimat itu menusuk jantungnya. Ya, pemuda itu
kehilangan arah saat kekecewaannya mendominasi. Dia tersesat. Yang lebih
menyakitkan lagi bagi Aluna, dirinya tersesat di hati sahabat Aluna.
Air mata
itu mengalir tanpa dapat dicegah. Air mata penyesalan. ‘Kalau bukan kamu yang nemenin aku, siapa lagi?’ Biru tersungkur di tempatnya, sadar bahwa
Aluna mengucapkan kalimat itu dengan perasaan takut kehilangan. Selama ini, dia
berusaha meyakinkan Aluna bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan gadis itu
tapi ternyata...
“Udah berapa lama kenal sama Agatha? Sampai
tahu inhaler segala,” kesal Aluna ketika mereka di tempat latihan.
“Kamu udah lama kenal aku tapi nggak tahu
apa-apa tentang aku.”
Biru
semakin menangis.
“Kita emang harus begini ya?” lirih Aluna.
“Iya. Bukan salah Agatha. Tapi mungkin ini
salah kita,” balas Biru tak kalah lirih.
Detik selanjutnya, air mata Aluna yang ia tahan
sedari tadi akhirnya meluap. Biru segera merengkuhnya dalam-dalam namun tangis
itu tak pernah reda. Isak tangis Aluna semakin menampar sosok Biru. Gadis
itu... sangat terluka.
Tangan
Biru mengepal. Kemudian kepalannya sengaja ditinjukan ke lantai marmer dengan
sangat keras. Tak peduli darah kental mulai mengucur membalut tangannya, Biru
tetap mengulangi gerakan tersebut seakan ini adalah balasan atas luka Aluna
yang ia ciptakan.
Semua
salahnya. Semua salahnya. Semuanya.
“BIRU!!!”
Suara
itu. Biru mendongak dan mendapati sosok yang selama ini menjadi hantu di
pikirannya tiba dengan wajah panik. Aluna lantas berjongkok, meraih tangan Biru
yang telah berlumur darah. Gadis itu menangis.
“Kamu
apa-apaan sih?!” cerca Aluna masih dengan air mata yang mengalir deras.
“Lun,
aku minta maaf. A—aku...”
“Kamu nggak
punya salah apa-apa,” potong Aluna dengan lirih.
Aluna buru-buru
mengambil sapu tangan. Dibalutkannya sapu tangan tersebut ke luka Biru dengan
hati-hati. Si pemilik tangan sendiri hanya diam memandangi Aluna, lukanya tak
berasa apa-apa. Hatinya mencelos melihat Aluna menampilkan kepanikan.
“Kamu
kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Aluna begitu selesai dengan ‘hasil karyanya’.
Jemari tangan
Aluna lantas bergerak mengusap titik-titik bening di wajah Biru. Entah mengapa,
Biru merasakan Aluna-nya menjadi hangat, tak lagi sedingin benua antartika.
“Aku...
masih cinta kamu, Lun.”
Gerakan
Aluna terhenti. Dadanya berdebar hebat. Selanjutnya gadis itu
menangis—lagi—namun kali ini tangisnya berbeda. Tangis kebahagiaan. Rasanya seperti
ada sesuatu yang kembali dan membuat Aluna menjadi ‘utuh’.
“Maaf
karena aku nggak pernah ngertiin kamu. Maaf karena aku nggak bisa jadi yang
kamu mau. Maaf karena—“
“Kamu
salah, Biru. Kamu yang paling ngertiin aku. Kamu yang selalu ada buat aku. Kamu
satu-satunya yang nemenin aku disaat orang tuaku nggak punya waktu buat aku. Kamu
yang aku mau,” lirih Aluna.
Dengan
spontan Biru membawa Aluna ke dalam dekapannya.
“Aku
pikir aku nggak akan pernah bisa cairin es kayak kamu,” bisik Biru.
“Aku
pikir emang enggak. Jangan pernah tinggalin aku lagi ya,” balas Aluna seolah
takut kehilangan untuk yang kedua kali.
Biru
mengangguk tanpa mengurai pelukannya. “Aku masih jadi yang paling bersinar di
hati kamu kan?”
“Hanya
kamu. Yang paling bersinar Di sini,” balas Aluna seraya menuntun tangannya ke
depan dada.
*END*
Sebenernya ini aku bikin setelah nonton film HBM karena tidak puas dengan cerita Aluna-Biru. Setiap mau post, selalu tidak sempat sampai akhirnya ada beberapa kejadian yang bikin aku ragu buat nge-posting. Tapi karena aku pikir ini masih ranah 'Aluna-Biru' jadi nggak masalah, nggak ada nama asli tokohnya. Thanks :)