"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Rabu, 16 Desember 2015

One Shoot: Masihkah Aku (Bersinar di Hatimu)



One Shoot: Masihkah Aku (Bersinar di Hatimu)
[Fanfict Aluna-Biru]
By: Fanny Salma



Ruang musik ini seolah menjadi saksi perjalanan cinta dua hati yang dipertemukan untuk bersolois. Begitu ungkap sosok Biru. Ya, ini kisah cinta antara Aluna, gadis yang dingin sedingin benua antartika dengan Biru, sosok tampan yang tak pernah lelah mencairkan dinding es milik Aluna.
Biru ingat saat pertama kali ia terpana pada gadisnya. Meski beribu kali diabaikan, pemuda itu tak menyerah berada di sekitar Aluna, mengusik dunia Aluna hanya untuk mendapatkan perhatiannya. Meski pada akhirnya Aluna menjadi kekasihnya, gadis itu tak pernah benar-benar berubah. Dia selalu sama. Dingin.
“Emang kita duet ya di kelas ini?”
Suara itu memenuhi telinga Biru ketika dia sengaja memainkan gitar di samping Aluna yang sedang berlatih memainkan piano. Pemuda itu menoleh sekilas,menghentikan permainan gitarnya yang mungkin memang mengganggu latihan gadisnya, lalu kembali menatap lurus ke depan.
“Pertanyaan yang sama. Emang hati kita berduet ya? Kayaknya hati kita solois banget,” sahut Biru yang dibalas dengan decakan kesal dari Aluna.
“Please gue ada tes siang ini. Tolong, biarin gue latihan tanpa diganggu,” ujar Aluna dengan penuh penekanan.
Kalimat itu tanpa sengaja menyentakkan Biru dalam kepahitan. Sebegitu mengganggunya kah keberadaannya bagi Aluna?
Biru lantas meletakkan gitar yang sedari tadi ia mainkan lalu bangkit meraih tasnya dan pergi begitu saja. Aluna sempat melirik, namun akhirnya kembali memainkan grand piano dengan perasaan bercampur aduk.
Pemuda itu mendesah kala mengingat setiap detail peristiwa tersebut. Emosinya benar-benar tak stabil, dia menganggap Aluna benar-benar tak ingin melihatnya kala itu. Detik selanjutnya, Biru tersenyum. Dia rindu menemani Aluna di ruang musik ini. Meski hanya menyaksikan gadis itu sibuk dengan piano, Biru merasa dia selalu terpikat setiap kali menikmati Aluna dengan lantunan musiknya yang indah.
“Lun, gue kangen... kangen semua tentang kita,” lirih Biru seraya menutup ruang musik tersebut.
***
Langkah Biru berpindah menuju kantin. Pemuda tampan itu duduk di salah satu bangku yang sering ia tempati—dulu—bersama Aluna. Dengan hati-hati, telapak tanganya mulai menyentuh permukaan meja yang sempat ia ukir dengan nama “Aluna”. Mau tak mau, kedua ujung bibirnya tertarik kembali.
Sekali lagi. Meski menjadi kekasihnya, Aluna tetaplah Aluna. Sosok dingin sedingin benua antartika. Di kantin pun gadis itu memilih fokus dengan gadget-nya. Ya, Biru mengerti. Gadisnya memang selalu berusaha menghubungi kedua orang tuanya di setiap kesempatan. Sayangnya, itu membuat Biru terabaikan, membuat sosok Biru tak pernah terlihat di manik mata yang menarik milik Aluna.
“Tahu nggak, Lun? Tadi tuh ya ada dosen yang salah kasih absen terus nih... dia keluar lagi dan dia nggak balik-balik saking malunya. Aduhhh lucu nggak sih, Lun? Lucu banget kan?” cerocos Biru dengan tawa yang berhamburan.
Aluna masih sibuk dengan ponselnya.
“Lun...”
“Haha iya. Lucu,” sahut Aluna tanpa berminat.
Wajah Biru berubah keruh. Matanya memandang sayu ke arah gadis di hadapannya. Mengapa gadis ini tak pernah sekali saja membuat keberadaannya terasa berharga? Mengapa gadis ini tak pernah sekali saja membuatnya merasa dicintai? Mengapa—
Biru bangkit dari tempat duduknya. Dia bermaksud untuk pergi. Ketika hendak melangkah, suara Aluna menghentikannya.
“Biru, mau ke mana?” tanya gadis itu.
Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Biru melengos.
“Kamu yang ke mana. Aku kan selalu di depan kamu.”
Selanjutnya, pemuda itu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda dan pergi meninggalkan Aluna untuk kesekian kalinya.
Ingatan itu masih membekas di otak Biru. Kekecewaannya mendominasi saat itu. Dia muak dengan semua tingkah Aluna sekaligus kecewa dengan dirinya sendiri. Dia pikir, dia berhasil merobohkan dinding es yang dibangun Aluna meski hanya seperempat bagian. Tapi ternyata salah. Dinding itu terlalu kokoh, bahkan tak pernah hancur sedikitpun. Dinding itu tetap utuh.
Helaan nafas Biru terasa berat. Dia tersenyum getir sebelum melanjutkan ke tempat terakhir yang akan ia tuju. Sekali lagi, telapak tangannya mengusap ukiran nama “Aluna” dengan lembut. Kali ini ia menyentuh dengan perasaan dan menyebutkan nama itu dalam hatinya detik itu juga. Biru terperangah hebat ketika menyadari hatinya berdesir hanya dengan menyebutkan nama “Aluna”. Perasaannya masih sama seperti ketika dia jatuh hati pada gadis tersebut.
***
Tempat terakhir dari tiga tempat tujuannya. Dari ketiganya, ini adalah tempat yang paling menyakitkan bagi Biru. Tempat dimana kisahnya dengan Aluna harus berakhir dan kandas. Rasa bersalah mulai menyergapnya.
“Aku cuma nanya kamu ke mana. Dari kemarin aku nelfon kamu, kamu nggak angkat-angkat. Kalau bukan kamu yang nemenin aku, siapa lagi?”
Teringat jelas bagaimana rangkaian kalimat itu menusuk jantungnya. Ya, pemuda itu kehilangan arah saat kekecewaannya mendominasi. Dia tersesat. Yang lebih menyakitkan lagi bagi Aluna, dirinya tersesat di hati sahabat Aluna.
Air mata itu mengalir tanpa dapat dicegah. Air mata penyesalan. ‘Kalau bukan kamu yang nemenin aku, siapa lagi?’  Biru tersungkur di tempatnya, sadar bahwa Aluna mengucapkan kalimat itu dengan perasaan takut kehilangan. Selama ini, dia berusaha meyakinkan Aluna bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan gadis itu tapi ternyata...
“Udah berapa lama kenal sama Agatha? Sampai tahu inhaler segala,” kesal Aluna ketika mereka di tempat latihan.
“Kamu udah lama kenal aku tapi nggak tahu apa-apa tentang aku.”
Biru semakin menangis.
“Kita emang harus begini ya?” lirih Aluna.
“Iya. Bukan salah Agatha. Tapi mungkin ini salah kita,” balas Biru tak kalah lirih.
Detik selanjutnya, air mata Aluna yang ia tahan sedari tadi akhirnya meluap. Biru segera merengkuhnya dalam-dalam namun tangis itu tak pernah reda. Isak tangis Aluna semakin menampar sosok Biru. Gadis itu... sangat terluka.
Tangan Biru mengepal. Kemudian kepalannya sengaja ditinjukan ke lantai marmer dengan sangat keras. Tak peduli darah kental mulai mengucur membalut tangannya, Biru tetap mengulangi gerakan tersebut seakan ini adalah balasan atas luka Aluna yang ia ciptakan.
Semua salahnya. Semua salahnya. Semuanya.
“BIRU!!!”
Suara itu. Biru mendongak dan mendapati sosok yang selama ini menjadi hantu di pikirannya tiba dengan wajah panik. Aluna lantas berjongkok, meraih tangan Biru yang telah berlumur darah. Gadis itu menangis.
“Kamu apa-apaan sih?!” cerca Aluna masih dengan air mata yang mengalir deras.
“Lun, aku minta maaf. A—aku...”
“Kamu nggak punya salah apa-apa,” potong Aluna dengan lirih.
Aluna buru-buru mengambil sapu tangan. Dibalutkannya sapu tangan tersebut ke luka Biru dengan hati-hati. Si pemilik tangan sendiri hanya diam memandangi Aluna, lukanya tak berasa apa-apa. Hatinya mencelos melihat Aluna menampilkan kepanikan.
“Kamu kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Aluna begitu selesai dengan ‘hasil karyanya’.
Jemari tangan Aluna lantas bergerak mengusap titik-titik bening di wajah Biru. Entah mengapa, Biru merasakan Aluna-nya menjadi hangat, tak lagi sedingin benua antartika.
“Aku... masih cinta kamu, Lun.”
Gerakan Aluna terhenti. Dadanya berdebar hebat. Selanjutnya gadis itu menangis—lagi—namun kali ini tangisnya berbeda. Tangis kebahagiaan. Rasanya seperti ada sesuatu yang kembali dan membuat Aluna menjadi ‘utuh’.
“Maaf karena aku nggak pernah ngertiin kamu. Maaf karena aku nggak bisa jadi yang kamu mau. Maaf karena—“
“Kamu salah, Biru. Kamu yang paling ngertiin aku. Kamu yang selalu ada buat aku. Kamu satu-satunya yang nemenin aku disaat orang tuaku nggak punya waktu buat aku. Kamu yang aku mau,” lirih Aluna.
Dengan spontan Biru membawa Aluna ke dalam dekapannya.
“Aku pikir aku nggak akan pernah bisa cairin es kayak kamu,” bisik Biru.
“Aku pikir emang enggak. Jangan pernah tinggalin aku lagi ya,” balas Aluna seolah takut kehilangan untuk yang kedua kali.
Biru mengangguk tanpa mengurai pelukannya. “Aku masih jadi yang paling bersinar di hati kamu kan?”
“Hanya kamu. Yang paling bersinar Di sini,” balas Aluna seraya menuntun tangannya ke depan dada.
*END* 

Sebenernya ini aku bikin setelah nonton film HBM karena tidak puas dengan cerita Aluna-Biru. Setiap mau post, selalu tidak sempat sampai akhirnya ada beberapa kejadian yang bikin aku ragu buat nge-posting. Tapi karena aku pikir ini masih ranah 'Aluna-Biru' jadi nggak masalah, nggak ada nama asli tokohnya. Thanks :)