"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 08 Januari 2017

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 26

Hi readerssss!
Kembali lagi membawa part 26. Sedih banget ternyata mau otw part terakhir dan setelah itu nggak tahu kapan bisa nulis lagi. Serius, sangat bersyukur karena awal tahun ini masih bisa berkarya. Memang hanya karya yang dipost di wattpad, bukan novel yang beredar di gramedia. Tapi tetap harus bersyukur. Selain itu sepertinya ini karyaku yang terpanjang lol biasanya mentok cuma sampai part 20. Nah, langsung aja ya...


Hope you like it...


26


“SIVIA!!! SIVIA!!!”
Langkah Sivia terhenti. Gadis itu mendongak, mendapati sudah ada Ify, Shilla dan Gabriel yang menatap dengan cemas. Tanpa aba-aba, gadis itu menabrak tubuh Ify dan memeluknya dengan sangat erat. Beruntung Ify dapat menjaga keseimbangan sehingga ia tidak limbung.
“Nangis, Via. Yang lepas. Jangan ada yang ditahan,” ujar Ify lembut.
Dan Sivia benar-benar mengabulkan ucapan Ify. Tak ada air mata yang ditahan. Ify mengeratkan pelukannya. Reaksi yang tak akan pernah diduga siapapun, Ify ikut menangis—namun lebih tenang—seakan Sivia sengaja menyalurkan kesakitannya untuk dibagi melalui pelukan.
Beberapa saat kemudian Sivia mulai berbicara.
“Alvin putusin gue, Fy... dia nggak pernah cinta sama gue...” lirih Sivia sesenggukan.
“Alvin?” gumam Ify.
“Sakit, Ify...” lirih Sivia lagi.
Ify menatap Gabriel dan Shilla—masih tetap memeluk Sivia—dengan ekspresi terkejut. Jadi, tangisan ini karena Alvin. Pemuda itu yang membuat Sivia menangis seperti ini. Hati Ify memanas, Alvin harus membayar semuanya!
“Gabriel, gantiin gue,” ucap Ify seraya mengkode Gabriel untuk menggantikan posisinya.
Gabriel spontan menuruti perkataan Ify.
“Lo mau ke mana, Fy?” tanya Shilla panik.
Ify tak menyahut. Begitu posisinya gantikan oleh Gabriel, gadis itu lantas meninggalkan sahabat-sahabatnya untuk mencari Alvin. Ia yakin Alvin belum pergi. Ify menghapus air matanya dengan kasar, dia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Sivia. Termasuk Alvin.
“IFY! FY!” seru Gabriel dan Shilla.
Keduanya pasrah menatap kepergian Ify. Gabriel pun merasa dia harus memberi pelajaran pada Alvin karena menyakiti Sivia. Namun, ia juga tak mungkin meninggalkan Sivia dengan keadaan seperti sekarang.
Pemuda itu mengusap kepala Sivia, membenamkan wajah gadis tersebut pada dada bidangnya. Sivia yang sehari-hari petakilan, tidak bisa diam, ceria dan seakan tak pernah punya masalah apa-apa kini menangis dalam pelukannya. Tangis yang terdengar menyakitkan.
***
Alvin terlonjak dari tempat duduknya ketika tiba-tiba saja ada seseorang yang menggedor kaca jendela mobilnya. Lebih terkejut lagi saat ia mengetahui bahwa seseorang tersebut adalah Ify. Lantas, Alvin keluar dari mobil dan bertatapan langsung dengan gadis itu. Ify, dia menatap sengit sosok Alvin di hadapannya. Dadanya bergemuruh. Air matanya kembali meleleh. Detik selanjutnya tangan Ify bergerak cepat menampar pipi kiri Alvin.
“PUAS LO, VIN?! PUAS LO PATAHIN HATI SAHABAT GUE?! PUAS?!!”
Suara itu terdengar lantang dan penuh kemarahan.
“Kenapa lo tega? Sivia salah apa, Vin? Dia salah apa sama lo?” tanya Ify menurunkan nada bicaranya namun tak menyingkirkan amarah tersirat di dalam pertanyaan tersebut.
Alvin memejamkan matanya dalam-dalam, membiarkan Ify membentak sesuka hati untuk meluapkan seluruh amarahnya. Ini semua memang kesalahan Alvin—dan ia mengakui itu. Tak apa bila gadis di hadapannya sekarang ini marah. Tak apa bila selanjutnya Ify ikut membenci dirinya. Bahkan ia tahu sakit di pipinya karena tamparan Ify tak ada apa-apanya dengan sakit di hati Ify dan Sivia.
“Jawab, Vin! Kenapa lo lakuin ini ke sahabat gue?” lirih Ify.
Tangan Ify terkepal kuat. Alvin tahu bahwa gadis yang beberapa minggu ini menemaninya belajar sedang berusaha mengontrol emosi.
“Gue cinta sama lo, Fy.”
Dan kalimat terlarang itu akhirnya terlontar juga. Alvin meringis, menyalahkan dirinya sendiri mengapa kembali mengambil keputusan yang tidak tepat. Di hadapannya, Ify terpaku, gadis itu benar-benar kehilangan kata-kata.
Beberapa saat Ify merasa kehilangan oksigen di sekitarnya.
“Kenapa?” pekik Ify.
Perlahan, amarah gadis itu lenyap digantikan rasa terkejut. Alvin lantas menatap tepat di kedua manik mata Ify.
“Gue nggak tahu kenapa begini,” sahutnya putus asa.
“Lo mikir nggak sih sama yang lo bilang tadi? Lo cinta sama gue? Cinta lo bilang? Dan elo, dengan nggak tahu dirinya nggak mikirin perasaan Sivia sama sekali? Bahkan, lo nggak mikirin perasaan Rio? Dia sahabat lo, Vin! SA-HA-BAT!” cerca Ify membuat Alvin tertawa miring.
“Terus siapa yang mikirin perasaan gue?” tanya Alvin retoris.
“Nggak ada, Fy. Nggak pernah ada,” imbuhnya.
Sejurus kemudian Ify bungkam.
“Kenapa gue selalu mencintai orang yang nggak tepat, Fy? Kenapa gue selalu mencintai orang yang nggak cinta sama gue? Kenapa gue nggak pernah bisa meraih bintang gue, Fy?” tanya Alvin beruntun.
Ify mengernyit, tak mengerti dengan apa yang diracaukan pemuda itu. Namun, untuk pertama kalinya selama mengenal Alvin, kilat mata itu tak lagi terhalangi kepalsuan. Alvin terluka dan Ify bisa melihatnya dengan jelas.
“Maafin gue, Fy. Gue deketin Sivia emang semata-mata supaya dia jauh dari Gabriel,” ucap Alvin seraya bersandar di mobilnya.
“Kenapa?”
Lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul.
“Karena Shilla jatuh cinta sama Gabriel. Gabriel sumber kebahagiaannya sedangkan saat itu gelagat Gabriel naksir Sivia udah kebaca sama gue. Jadi, satu-satunya cara supaya Shilla nggak kehilangan sumber kebahagiaannya adalah...”
“Bikin Sivia jatuh cinta sama elo?” lanjut Ify cepat.
Alvin mengangguk  sedangkan Ify mengurai nafas panjang. Bayangan Sivia menangis di pelukannya tadi muncul. Namun di depannya saat ini, pemuda yang selama ini sulit terjamah oleh siapapun ternyata menyimpan kepedihan yang dalam.
“Awalnya gue pikir lama-lama gue bakal jatuh cinta juga dan lupain Shilla. Nyatanya, Sivia nggak bisa bikin gue lupa sama Shilla. Justru elo, Fy. Lo yang bikin gue nggak berharap lebih lagi sama Shilla.
“Sejak belajar bareng sama elo, gue merasa beda. Gue jadi selalu nggak sabar belajar bareng, gue suka nyari ide buat ngerjain lo, gue suka lihat muka sebel lo, gue suka ketawa bareng lo, gue suka bikin lo senyum karena berhasil ngerjain soal-soal yang lo kasih, gue suka denger suara lo dan gue benci ketika sadar lo udah punya cowok, sahabat gue sendiri.”
Tatapan Alvin beralih pada sosok Ify yang masih termangu. Bahu gadis itu tampak merosot, sejurus kemudian dia tak dapat menjaga keseimbangan hingga Alvin secara reflek menahan tubuhnya.
***
“Gue harus ketemu Alvin, Shil,” nyolot Gabriel.
Hatinya tak tenang membiarkan Ify bergerak sendirian.
Shilla menggeleng keras, “Biar gue yang nyusulin Ify. Lo tetep di sini. Tugas lo sekarang jagain Sivia. Oke?”
“Nggak. Lo yang di sini,” balas Gabriel.
Shilla mengalah. Dia membiarkan Gabriel pergi menyusul Ify serta berharap tidak akan terjadi apa-apa—meskipun sepertinya mustahil. Sejak menyaksikan uraian air mata Sivia, ia tahu bahwa saat itu Gabriel sama marahnya dengan Ify.
Calm down, Shilla,” ucap Shilla dalam hati.
Di sisi lain, Gabriel terlanjur mendengar seluruh percakapan Alvin dan Ify. Dengan emosi memuncak, pemuda itu menerjang Alvin dengan pukulan bertubi-tubi. Alvin yang tak siap menerima pukulan dari Gabriel—bahkan tak siap menerima kehadiran pemuda itu—langsung tersungkur tepat saat ia mendapatkan pukulan pertama. Namun Alvin hanya dapat pasrah, membiarkan Gabriel menumpahkan seluruh emosinya seperti yang dilakukannya terhadap Ify.
“BRENGSEK LO VIN! BRENGSEEEKKK!! BAJINGAN! KEPARAT!!!”
Sumpah serapah itu mengiringi setiap pukulan yang dirasakan oleh Alvin.
“Gabriel stop! Gabriel!!” teriak Ify tak dihiraukan.
“Kalau gue tahu dari awal niat busuk lo itu, nggak akan gue biarin Sivia jatuh cinta sama lo! Nggak akan anjing!” tandas Gabriel seraya melayangkan satu pukulan tepat di wajah Alvin.
Alvin meringis, tangannya bergerak mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya.
“GABRIEL STOP!!!!” teriak Ify lagi.
Namun Gabriel masih belum puas. Pemuda itu terus menghujami Alvin seolah tak akan pernah ada ampun untuk siapapun yang telah menyakiti pujaan hatinya. Ify yang menyaksikan masih berusaha memaksa Gabriel untuk menghentikan ulahnya dengan air mata mengalir deras. Ia takut, sangat takut melihat Gabriel yang kesetanan.
“Bahkan pukulan-pukulan ini nggak akan bisa membayar sakit hatinya Sivia!”
Dengan nekat Ify menerobos diantara keduanya hingga pukulan yang seharusnya mengenai Alvin justru mengenai dirinya.
“IFYYY!!!” jerit Alvin seraya menangkap tubuh Ify yang akhirnya tumbang.
Gabriel mematung.
***
Alvin menyandarkan punggungnya pada tembok koridor rumah sakit. Semua kekacauan ini adalah ulahnya. Sakit hati Sivia, kemarahan Gabriel, bahkan Ify yang saat ini berada di rumah sakit. Semua salahnya! Air mata Alvin mengalir perlahan, air mata yang selalu berhasil disimpannya baik-baik. Sejak lima belas menit yang lalu dokter mengatakan bahwa Ify sudah boleh dijenguk, tapi pemuda itu tetap tak bergerak dari tempatnya.
Di dalam terdapat Sivia, Gabriel dan Shilla—Cakka, Agni dan Rio tengah menyusul. Alvin tak mungkin berhadapan dengan mereka semua. Sivia, gadis itu pasti masih sangat terluka. Gabriel, tentu dia masih menyimpan dendam padanya. Dan Shilla, Alvin tak bisa membayangkan kekecewaan gadis itu jika ia tahu bahwa dialah alasan semuanya. Alvin menarik napas panjang, memandang pintu kamar Ify dengan pandangan kosong lalu melangkah dengan tertatih. Dia harus pergi sebelum ada yang tersakiti lagi.
***
“Ify, lo nggak pa-pa kan?”
Sivia mengaitkan jarinya pada sela jari-jari Ify.
“Gue nggak pa-pa, Sivia. Cuma agak pusing sedikit,” ujar Ify dengan senyum tipis.
Si tersangka—Gabriel—menundukkan kepalanya. Andai tadi dia menuruti ucapan Ify untuk berhenti memukuli Alvin, gadis ini pasti tidak akan menerobos  ke tengah-tengah sehingga pukulan itu tak pernah mengenainya.
“Halo, permisi...”
Empat anak itu menoleh ke arah pintu. Bocah kecil dengan pandangan polos mengintip dari balik pintu tersebut.
“Aduh syukur deh nggak salah kamar,” lanjutnya lalu masuk ke dalam.
“Emang tadi salah kamar, Zy?” tanya Shilla.
Bocah yang tak lain adalah Ozy mengangguk polos. “Dua kali.”
“Payah lu,” cibir Ify.
“Lo tuh yang payah! Kenapa sampai masuk rumah sakit segala sih? Udah tahu Papa sama Mama lagi di luar kota malah bikin ulah. Kalau mau masuk rumah sakit kan bisa ditunda dulu sampai Papa-Mama pulang,” cerocos Ozy tanpa dosa.
“Yaelah, gue juga ke sini mampir doang kali,” sahut Ify.
“Eh lo kenapa, Kak? Hmm... omong-omong, kok suasananya nggak enak ya? Kak Sivia habis nangis? Kak Gabriel kok diem aja lu? Tumben banget.”
Ify memutar bola matanya dengan malas. Adik kecilnya ini memang hobi sekali mengacau. Sebelum pertanyaan Ozy terjawab, tiba-tiba pintu terbuka lebar. Ternyata Rio, Cakka, dan Agni sudah datang.
Rio buru-buru menghampiri kekasihnya dengan wajah cemas. “Kamu kenapa? Pipi kamu sampai ungu begini. Sakit? Udah ditanganin dokter?”
“Salam dulu kali, Kakak Ipar,” cetus Ozy.
Semuanya nampak terkekeh karena celetukan Ozy tersebut, tak terkecuali Rio yang baru menyadari bahwa dia langsung menerobos masuk.
“Aku nggak pa-pa kok, Yo. Cuma lebam biasa, dikompres juga sembuh. Kamu tenang ya,” ujar Ify.
“Syukur deh. Aku cemas banget waktu Shilla nelpon tadi. Terus gimana ceritanya bisa begini?” selidik Rio.
Ify meringis, bingung harus menceritakan apa. Shilla dan Sivia saja tak tahu pasti bagaimana kronologinya. Gadis itu melirik Gabriel yang sedang melamun, pasti dia merasa bersalah.
“Hm, Alvin nggak disuruh masuk?” tanya Ify mengalihkan pembicaraan.
“Alvin? Emang dia di sini?” sahut Cakka.
“Tadi katanya dia di luar. Emang nggak ada?” balas Ify heran.
“Dari gue dateng tadi, di luar nggak ada siapa-siapa kok, Kak,” sambar Ozy membuat Ify terdiam.
Ke mana pemuda itu?
***
“Brengsek. Sialan, sialan, sialan, sialan,” desis Alvin seraya meninju seluruh benda yang menempel pada tembok kamarnya.
Ia tak peduli pada darah segar yang mulai mengalir dari tangannya. Ia  tak peduli pada rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Baginya, kesakitan yang ia rasakan tak berpusat dari sana. Alvin sendiri tak tahu dimana letak kesakitan yang sebenarnya.
“ALVIN! BUKA PINTU!!!”
Suara Deva. Pemuda itu melirik pintu yang digedor-gedor dengan kasar dari luar.
“ALVIN! GUE TAHU LO DI DALEM!!!”
Alvin mengalah lalu membuka pintu. Begitu pintu itu terbuka, ia tersentak karena secara tiba-tiba Deva memukulnya tepat di perut.
“Dev, lo kenapa?” tanya Alvin meringis kesakitan.
“Lo yang kenapa!! Lo sakit jiwa?! Lo gagar otak sampai berani nyakitin cewek sebaik Sivia?! HAH?!!!” bentak Deva.
Deva berjalan masuk ke kamar Alvin lalu menurunkan figura besar yang selama ini digunakan Alvin untuk menutupi foto-foto polaroid Shilla yang disusun menjadi kalimat “MY DREAM”. Alvin terkejut. Sejak kapan Deva tahu ada sesuatu di balik figura itu?
“Gue pikir lo tulus sama Sivia. Gue pikir lo udah lupain Shilla. Tapi apa? Gue malu, Vin! Gue malu! Apa Papa sama Mama pernah ngajarin elo buat nyakitin hati perempuan?! Jawab gue!”
Alvin menundukkan kepalanya. Pemuda itu menghela nafas panjang.
“Jadi, Sivia ngadu sama elo?” tanya Alvin dengan nada sengak.
Mata Deva membulat sempurna. Ia tak percaya. Disaat seperti ini, adiknya masih bisa menanyakan hal sebodoh itu.
“Dev, Keke berharga kan buat lo?” tanya Alvin—lagi.
“Jangan bawa-bawa Keke. Ini nggak ada hubungannya sama dia,” sahut Deva dingin.
Alvin menggeleng, “Memang nggak ada. Tapi, coba bayangin. Seandainya Keke nggak pernah jatuh cinta sama lo dan justru jatuh cinta ke Lintar sedangkan Lintar sendiri jatuh cinta ke cewek lain, apa yang bakal lo lakuin?”
Beberapa saat kemudian kamar Alvin terasa tak bernyawa. Alvin sibuk menanti jawaban Deva, sedangkan Deva sibuk dengan pikirannya karena pertanyaan tersebut.
“Apa, Dev?” tanya Alvin membuyarkan lamunan Deva.
“Lo nggak bisa jawab kan? Karena jawabannya lo bakal ngelakuin apa yang gue lakuin. Mempersatukan mereka supaya perempuan yang lo cinta tetap bahagia. Lalu, elo sendiri memilih lari sekencang-kencangnya. Padahal lo nggak pernah ke mana-mana.”
Pandangan Alvin beralih pada susunan foto MY DREAM. Bahkan, pacaran dengan Sivia pun tak membuatnya  tergerak untuk melepas foto-foto tersebut. Justru Ify lah yang nyaris menggugah 99% hatinya supaya menyingkirkan foto-foto Shilla dari setiap sudut kamarnya. Ya, nyaris. Sebab masih ada 1% hatinya yang menyimpan kenangan tentang Shilla dengan baik.
“Vin,” desis Deva.
“Gue harus pergi, Dev. Supaya nggak ada yang tersakiti lagi.”
***
Sudah kesepuluh kali Ify mencoba menghubungi Alvin sejak ia sampai di rumahnya tetapi nihil, tak bisa dihubungi. Sahabat-sahabat masih setia menemani Ify bahkan membantu mengkompres lebam di bagian pipi. Kata dokter, gadis itu pingsan karena kondisi fisiknya yang sedang tidak stabil. Selain itu juga sebagai reaksi atas keterkejutannya. Hanya saja mereka semua—kecuali Gabriel—tak tahu bagaimana peristiwa yang sebenarnya. Beruntung Ify langsung diperbolehkan pulang karena ia berjanji akan menjaga diri dengan baik.
“Mungkin dia sengaja matiin ponsel,” ujar Shilla mengamati gerak-gerik Ify.
Sejujurnya, Shilla sendiri juga mengkhawatirkan keadaan Alvin. Dia ingin bertemu dengan pria yang selalu ada di setiap keterpurukannya, tanpa terkecuali. Dan disaat seperti ini Shilla justru tak bersamanya.
“Fy... gue minta maaf,” ujar Gabriel tiba-tiba.
Baik Rio, Agni, Cakka, Sivia, maupun Shilla ikut memusatkan perhatian pada pemuda itu. Gabriel melirik Rio dengan perasaan bersalah sampai akhirnya kembali menatap Ify dengan sendu. Gadis itu sendiri memberi kode supaya Gabriel tetap diam, tak melanjutkan kalimatnya, tapi ia tak bisa.
“Ify begini karena gue,” ringis Gabriel.
“Maksud lo?” sahut Agni reflek.
“Lebam yang ada di pipi Ify... karena pukulan gue...”
Bugh. Tak ada yang menyangka bahwa Rio akan menyerang Gabriel.
“Apa lo bilang barusan? Lo mukul Ify?” tanya Rio dengan emosi memuncak.
Ify menggigit bibir bawahnya dengan perasaan takut. Ia tidak pernah melihat Rio semarah ini. Sama persis ketika Gabriel menerjang Alvin karena membela Sivia.
“Lo mukul Ify?!” tanya Rio sekali lagi.
“Rio, calm down. Biarin Gabriel jelasin,” lerai Cakka.
“Bilang sekali lagi. Lo mukul Ify?!”
“Rio! Kita bisa bicarain!” bentak Agni menyadarkan Rio.
Namun sepertinya Rio tak mengindahkan perkataan Agni sebab selanjutnya pemuda itu kembali meninju Gabriel hingga tersungkur. Gabriel mencoba meraba sudut bibirnya. Berdarah.
“JAWAB! LO MUKUL IFY?!!”
“Oke gue jawab! Iya. Gue mukul Ify. Gue yang bikin dia pingsan sampai masuk rumah sakit. Lebam di pipinya itu karna pukulan gue. PUAS LO?!” balas Gabriel dengan penuh penekanan.
“ANJING!”
Belum sempat Rio menyerang Gabriel lagi, pemuda itu lebih dulu diamankan oleh Cakka dan Agni. Kemudian Gabriel berusaha bangkit dibantu oleh Sivia. Sementara Ify, gadis itu benar-benar bingung harus berbuat apa.
“Gue mohon... jangan ada pukul-pukulan lagi...” lirih Ify.
Keadaannya memang belum stabil. Dan itu membuat Rio luluh. Dia mendekat ke arah Ify kemudian memeluk gadis itu dengan erat.
“Maaf aku nggak bisa jagain kamu,” ucap Rio pelan.
“Jangan pukul Gabriel lagi. Dia sahabat kamu.”
Rio mengangguk lemah.
“Ify, Gabriel, lo berdua sebenernya nyembunyiin apa?” tanya Shilla tiba-tiba.
Rio mengurai pelukannya. Keningnya berkerut melihat Shilla yang sudah berdiri menatap Ify dan Gabriel secara bergantian dengan tatapan menghakimi. Sejurus kemudian Rio menangkap basah Ify dan Gabriel saling pandang lalu membuang muka.
***
Bahu Shilla merosot perlahan begitu mendengar sebagian penuturan Ify mengenai pembicaraannya dengan Alvin. Ya, pemuda yang dulu memanggilnya “Tuan Puteri” itu—dan entah kenapa Shilla merindukannya—ternyata telah lama jatuh cinta padanya.
“Kenapa gue nggak pernah sadar?” lirik Shilla entah pada siapa.
Semuanya menundukkan kepala. Betapa persahabatan mereka ternyata serumit ini. Bukan hanya ada yang jatuh cinta, tapi juga patah hati. Dan hari ini, misteri terungkap. Perasaan Shilla untuk Gabriel, perasaan Gabriel untuk Sivia, perasaan Alvin untuk Shilla, termasuk untuk Ify sendiri.
“Shil, selama ini siapa yang selalu ada di pihak lo?” tanya Cakka lembut.
Shilla mendongak. “Alvin,” jawabnya.
“Siapa yang punya panggilan khusus buat lo, bahkan memperlakukan lo seperti puteri sungguhan?” timpal Rio.
“...Alvin,” kata Shilla pelan.
“Siapa yang nemenin elo disaat gue, Cakka dan Rio sibuk sendiri?” tanya Gabriel.
“Alvin.”
“Siapa yang selalu ada buat lo? Yang nggak peduli lo itu Shilla yang ansos, menyebalkan atau menyenangkan seperti sekarang?” ceplos Ify.
“Alvin. Jawabannya Alvin. Dia yang selalu di pihak gue, memperlakukan gue dengan istimewa, nemenin gue, dan selalu ada,” sahut Shilla lemah.
Sejurus kemudian Shilla menangis. Ternyata inilah alasan mengapa akhir-akhir ini dia sangat merindukan sosok Alvin. Sebab dia sudah terbiasa dengan kehadiran pemuda itu sehingga ketika Alvin pergi, dia seperti kehilangan bagian tak kasat mata tapi sangat berarti untuknya.
“Kenapa gue nggak pernah sadar?” tanya Shilla—lagi—disela isak tangisnya.
Dengan cepat Agni membawa Shilla ke dalam pelukannya.
“Gue jahat...”
“Shil, tenang. Lo nggak jahat,” balas Agni.
Ify menatap Shilla prihatin. Dia terpaksa menceritakan semuanya karena keadaan sudah tak bisa ditolerir lagi. Kesalahpahaman terus timbul dan itu tak bisa dibiarkan. Dan sekarang, disaat semuanya jelas, Alvin justru menghilang.
“Rio, tolong cari Alvin. Aku mohon,” pinta Ify pada Rio.
“Akan aku cari,” balas Rio.
“Gue ikut!” sahut Gabriel.
Rio mengangguk kemudian menyodorkan tangannya ke depan wajah Gabriel. Sahabatnya itu tersenyum lalu menerima uluran tangan tersebut.
“Maaf karna gue udah mukul lo,” kata Rio.
“Nggak pa-pa. Gue paham lo nggak akan terima Ify gue sakitin. Sama kayak gue yang nggak terima siapapun nyakitin Sivia,” balas Gabriel seraya melirik Sivia yang sedari tadi hanya diam.
Sivia yang mendengar pun hanya tersenyum tipis. Sepertinya dia masih belum bisa mencerna keseluruhan cerita atau mungkin dia semakin sakit hati menerima kenyataan bahwa gadis yang dicintai Alvin adalah Shilla. Mungkin pula ia sama terkejutnya dengan Shilla karena selama ini justru Gabriel yang sungguh-sungguh mencintainya.
“Kami pergi dulu,” pamit Rio.
Sepeninggalan Rio dan Gabriel, Sivia masih melamun.
“Sivia,” lirih Shilla.
Gadis yang namanya disebut oleh Shilla itu menatapnya hampa. Shilla menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.
“Maaf,” kata Shilla tertahan.
“Maaf untuk sakit hati yang lo rasain. Andai gue tahu perasaan Alvin dari awal, mungkin semuanya nggak akan sekacau ini.”
Sivia tersenyum pahit. Mungkin Alvin memang tak pernah menjadi miliknya.
***
Sekitar setengah jam kemudian Rio dan Gabriel berhasil sampai di rumah Alvin. Berhubung selama ini Alvin tak memiliki tempat untuk pergi sendirian, keduanya menebak bahwa saat ini sahabatnya itu berada di rumah. Rio pun mencoba menekan bel.
“Coba ketuk pintunya,” koor Gabriel yang diangguki Rio.
Rio beralih mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
“Rumahnya sepi banget, Yel,” kata Rio.
“Coba lagi. Pasti ada orang di rumah. Di garasi ada mobilnya Kak Deva,” balas Gabriel.
Rio kembali mengetuk pintu dan menekan bel secara bergantian. Ternyata usahanya membuahkan hasil sebab berikutnya ada sahutan seseorang dari dalam. Tak lama kemudian pintu pun terbuka dan menampilkan muka bantal Deva. Sepertinya pria itu baru bangun dari tidurnya.
“Eh kalian. Sori, gue habis tidur,” ujar Deva seperti dugaan Rio.
“Kak, Alvin mana?” tanya Gabriel to the point.
Kedua alis Deva sontak tertaut. “Alvin?”
Gabriel dan Rio kompak menganggukkan kepala.
“Loh, dia nggak pamit sama kalian dulu?” balas Deva bingung.
“Pamit? Emang dia ke mana, Kak?” tanya Rio dengan nada terkejut.
Deva mendengus, “Ikut Papa ke Singapore. Gue juga nggak begitu tahu sih. Tadi bokap pesen sama gue buat ngurus perusahaan di sini.”
“Singapore? Alvin ngapain ke Singapore? Terus sekolahnya?” tanya Gabriel bertubi-tubi.
“Gue juga bingung, Yel. Eh duduk dulu deh. Tapi sori ya, pembantu lagi pada pulang. Mau gue ambilin minum?”
Deva mempersilakan Gabriel dan Rio untuk duduk di ruang tamu.
“Nggak perlu, Kak. Kami mau tahu soal Alvin. Kenapa tiba-tiba ke Singapore? Apa ini ada hubungannya sama Sivia?” tolak Rio halus.
“Pas gue balik tadi, gue sama dia sempat berantem gara-gara Lintar nelpon gue kalau Alvin putus sama Sivia. Dan... gue juga nggak tahu kalau ternyata dia udah nyiapin baju buat dibawa ke Singapore sama bokap. Bokap emang bilang mau ke Singapore selama beberapa bulan, tapi gue nggak tahu kalau ternyata Alvin ikut.”
Raut wajah Rio dan Gabriel berubah.
“Yo, kita harus ke bandara sekarang. Kita susulin Alvin. Jangan sampai dia pergi!” tandas Gabriel.
“Percuma,” sambar Deva.
“Dia udah pergi satu setengah jam yang lalu,” lanjutnya membuat Rio dan Gabriel menghela nafas berat.
Mereka tidak tahu harus mengatakan apa pada Shilla.
***
Rio dan Gabriel terpaksa kembali dengan tangan hampa. Mereka kehilangan Alvin. Mobil Gabriel  terasa sangat sunyi. Rio fokus menyetir sedangkan Gabriel sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Yel,” panggil Rio.
Gabriel menoleh, “Hm.”
“Hari ini terlalu banyak kejutan,” kekeh Rio.
Detik berikutnya Gabriel terkejut karena Rio menangis.
“Kita ini sahabat Alvin bukan sih, Yel? Kenapa kita nggak tahu apa-apa soal dia? Kenapa terlalu banyak yang dia sembunyiin dari kita? Kenapa dia nggak pernah mau bilang sesuatu sama kita?” tanya Rio beruntun.
“Sebenernya, Alvin yang nggak mau cerita atau kita yang terlalu sibuk sampai-sampai kita nggak mau tahu?” gumam Gabriel membuat Rio bungkam seribu bahasa.
***
Tak akan ada lagi seseorang yang akan memanggilnya Tuan Puteri. Takkan ada lagi seseorang yang melakukan apapun demi mencetak senyum di bibirnya. Takkan ada lagi seseorang yang akan selalu ada dalam kesedihannya. Tak ada. Dia sudah pergi. Entah karena kecewa atau karena sengaja.
Shilla memejamkan matanya dalam-dalam. Menahan sesak yang sedari tadi menyergap perlahan. Mengapa rasanya lebih menyakitkan daripada mengetahui perasaan Gabriel teruntuk Sivia?
Gabriel, Rio dan Cakka yang sudah mengenal baik Shilla luar dalam hanya bisa menyentuh bahu Shilla seolah menyalurkan rasa simpati mereka. Mereka tahu perginya Alvin yang tiba-tiba berpengaruh besar terhadap gadis di hadapannya ini.
“Segitu kecewanya Alvin sampai dia harus pergi?” tanya Shilla.
Semuanya diam. Tak berani menjawab. Bukan karena tak ingin menghibur, namun hanya tidak mau mengumbar kalimat-kalimat hiburan hanya untuk membual.
“Dia nggak sayang sama gue lagi?” tanyanya lagi.
Baginya, kepergian Alvin adalah ungkapan bahwa pemuda itu sudah tak peduli padanya lagi. Padahal Shilla mulai menyadari apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap pemuda itu.
“Dia sayang sama elo, Shil,” kata Ify.
Shilla menatap Ify sangsi.
“Kalau dia sayang sama gue, dia masih di sini. Nggak akan pergi ninggalin gue. Kalau dia sayang sama gue, dia harusnya bilang ke gue. Karena nggak ada alasan untuk nggak ngelakuin hal itu. Kecuali...” ucap Shilla menggantung.
“Apa?”
“Dia udah berpindah hati.”
Ify menatap tak percaya. “Lo berpikir dia pergi karena nggak bisa meraih gue?” tanyanya menyimpulkan.
Tepat sasaran. Shilla memalingkan wajah. Bodohnya, justru sekarang ia dapat melihat wajah terkejut Rio.
“Ada bagian yang belum gue ceritain. Bagian yang akan bikin lo menyesal karena udah berpikir demikian,” ujar Ify membuat Shilla kembali beralih padanya.
Kening Shilla berkerut seolah mempertanyakan bagian apa yang dimaksudkan.
***
“Gue belum mengganti posisi Shilla sepenuhnya kan, Vin?” tanya Ify.
Alvin menggeleng, “Selamanya Shilla selalu ada di hati gue. Dia akan selalu punya tempat di sana. Lo tahu, dia bukan sekedar cinta pertama. Lebih dari itu, dia alasan kenapa gue menjatuhkan hati.”
***
Ah, di sini rupanya. Sudah dua menit yang lalu Gabriel mencari-cari Sivia. Ternyata gadis itu sedang duduk di tepi kolam, sepertinya sedang larut dalam kesendirian. Perlahan Gabriel mendekat lalu duduk sejajar dengan gadis manis itu. Iya, manis. Sivia yang mendadak diam jadi terlihat manis namun ia tak suka. Gabriel lebih suka Sivia yang biasanya. Tidak jaim, petakilan, heboh, seru dan memalukan.
“Kenapa di sini?” tanya Gabriel.
Sivia sontak mengurut dada karena tidak tahu kapan datangnya pemuda ini.
“Lo kapan ke sininya? Kok tahu-tahu udah di sebelah gue? Kalo gue jantungan gimana?” tanya Sivia sedikit mengomel.
Gabriel terkekeh, tidak menyangka dengan reaksi yang diberikan gadis itu. Di luar dugaan. Tak urung hal itu membuat Gabriel tersenyum juga. Meski tak menyangka, ia tak dapat berbohong bahwa reaksi seperti itulah yang diinginkannya.
“Makanya jangan ngalamun,” bantah Gabriel membela diri.
“Hmmm,” dehem Sivia.
“Kenapa di sini?” tanya Gabriel mengulang pertanyaan.
“Lo sendiri, kenapa di sini juga?” balas Sivia.
Gabriel tersenyum. “Karena lo di sini.”
“Hah? Mau ngegombal lo? Nggak cocok ah,” sahut Sivia semena-mena.
“Lo tahu nggak, Via?” tanya Gabriel menyebut Sivia dengan ‘Via’ seperti Ify.
“Apa?”
“Kita itu kayak magnet. Lo kutub utara, gue kutub selatan. Ke manapun elo pergi, akan selalu gue ikuti,” kata Gabriel membuat Sivia melongo.
Tak lama kemudian Sivia tertawa geli.
“Lo beneran ngegombal?” kekehnya.
“Nggak. Itu serius,” jawab Gabriel dengan wajah seserius mungkin.
Sivia diam. Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya hingga lesung pipit yang disukai Gabriel tampak. Cantik.
“Rasanya kayak gini, Yel?” tanya Sivia tiba-tiba.
Gabriel mengernyit, tidak paham dengan apa yang dibicarakan gadis ini.
“Patah hati. Apa yang gue rasain sama seperti yang lo rasain waktu gue jadian sama Alvin?” imbuhnya detail.
Sudut bibir Gabriel terangkat. Pemuda itu menganggukkan kepala.
“Tapi lebih beruntung elo,” kata Gabriel.
“Maksudnya?”
“Waktu gue patah hati, nggak ada orang yang sengaja dateng buat ngehibur gue,” jawab Gabriel dengan wajah tengil.
Mau tak mau Sivia tertawa kembali. Apa yang dikatakan Gabriel jelas tepat dan Sivia mengakuinya. Meskipun patah hati, ia masih beruntung karena ada pemuda yang sengaja datang demi membuatnya ceria kembali.
“Lo cantik kalau lagi ketawa,” ujar Gabriel membungkam tawa Sivia.
“Nah itu baru gombal,” imbuhnya tanpa dosa.
Sivia sontak memukul Gabriel hingga pemuda itu meronta meminta ampun. Tak urung keduanya tertawa bersama.
“Gue nggak mau ganggu Shilla yang lagi sedih.”
“Hah?”
“Lo tadi nanya kenapa gue ke sini,” kata Sivia.
Gabriel membulatkan bibirnya.
“Tapi lo juga lagi sedih,” balas Gabriel.
“Tapi ada elo. Shilla butuh Alvin. Dan Ify, Agni, Rio ataupun Cakka nggak ada yang bisa jadi Alvin.”
Jawaban itu membuat dada Gabriel berdesir. Itu artinya keberadaan Gabriel di sini bagi Sivia adalah cukup. Pas. Sesuai takaran untuk mengobati luka gadis ini.
“Gabriel...”
Gabriel menoleh, “Hm.”
“Terima kasih.”
Gabriel tersenyum kemudian mengangguk singkat. Percakapan sederhana. Namun berhasil membawa pemuda itu merasakan euphoria kebersamaannya dengan Sivia yang telah lama hilang.
***
Bersambung...
Sudah bisa merasakan endingnya? Mohon maaf kalau ada typo/pemilihan diksi yang tidak tepat ya. Part terakhir sepertinya akan lama karena belum ngetik sama sekali haha
Omong-omong, tulis dong couple favorite kalian siapa (boleh siapa aja termasuk Cakka-Sivia(?)) dan kenapa. Kasih alasan yang kuat kenapa pasangan pilihan kalian layak untuk dipertahankan(?)

Ini buat pertimbangan loh karena semua bisa terjadi berhubung part terakhir memang bena-benar belum diketik... mohon partisipasinya :p