"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Selasa, 09 Agustus 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 19

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Helo readers & #BangkitkanCRAGSISA. Maafkan saya yang mager sekali. Jadi, kemarin-kemarin nggak ada waktu ngetik, sekalinya ada malah malas. Giliran udah kelar ngetik part ini malah kehabisan kuota. Btw ini lebih panjang dari biasanya.

Hope you like it...
19


Senja. Indahnya sang langit jingga adalah kesukaan Agni sejak dulu. Ingatan Agni berputar ke beberapa tahun silam, saat dia dibawa ayahnya menyaksikan langit senja di sebuah taman. Ia memang lebih dekat dengan sang ayah. Pria itu mengajarinya mencintai basket. Tidak seperti ayah Ify yang konglomerat, ayahnya hanyalah PNS, gajinya tidak seberapa tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Agni pun tidak pernah menuntut lebih. Untuk mendapatkan barang-barang yang ia inginkan pun Agni menabung dari uang yang didapatkannya dari basket.
Kini, Agni memandang langit senja dengan mengingat Cakka. Pemuda itu... tidak lelah kah mengobrak-abrik hatinya? Saat pertama kali memergoki Cakka bermain basket di lapangan indoor, Agni jadi punya kebiasaan nongkrong di sana diam-diam hanya untuk mengamatinya. Lama-lama ia justru jatuh hati pada pemuda tersebut. Sampai suatu hari Agni berani menampakkan dirinya di hadapan Cakka, berusaha santai seperti menghadapi teman-teman lain, dan meyakinkan Cakka bahwa ia mampu.
Kalau boleh jujur, Agni sendiri ragu. Toh akhirnya ia melakukan semuanya. Bahkan saat Shilla mengatakan sesuatu dengan sarkasme, Agni tetap mempertahankan Cakka. Seperti kata Ify, ia tak mau kehilangan kesempatan. Pada akhirnya, Cakka tahu Agni memandangnya seperti apa.
Tiba-tiba ponsel Agni bergetar, membuat lamunannya buyar.
Sender: Ify
Ag, besok pagi berangkat bareng ya
To: Ify
Ok
Agni mengedikkan bahunya lalu masuk ke dalam rumah.
***
Setelah mengirimkan pesan singkat ke ponsel Agni atas suruhan Cakka, Ify mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas meja dengan bosan. Sudah sekitar dua jam dia belajar dengan Alvin, ini adalah belajar bersama episode perdana. Dengan semena-mena Alvin menolak belajar di rumah Ify dan mengusulkan Cafe ini. Alvin sempat menawarkan untuk menjemput, tapi ditolak dengan halus oleh gadis itu.
Sama seperti ketika pertama kali belajar dengan Rio, dia meminta Alvin membawa seluruh hasil ulangannya. Ify langsung gemas lantaran angka-angka yang tertera di sana tak beda jauh dengan nilai Rio. Hanya saja, yang membuatnya gemas adalah keisengan Alvin. Ia mengubah nilai-nilainya dengan warna pulpen yang berbeda seolah-olah itu lucu. Misalnya, nilai 10 jadi 100, 20 jadi 70 atau 30 jadi 80. Saat Ify menegurnya, dia justru makan hati karena sahutan Alvin.
“Ini apaan nih? Lo pikir ini lucu?” omel Ify kelepasan.
“Emang gue bilang lucu?” balas Alvin datar.
Sontak saat itu Ify mengerucutkan bibirnya. Ia tak tahu bahwa saat itu pula Alvin tersenyum geli.
Kemudian, Ify mengajarkan materi fisika berhubung Alvin paling payah di mata pelajaran tersebut. Selama beberapa menit menjelaskan, Alvin hanya mengangguk-angguk. Tentu saja Ify tersenyum puas karena mengira Alvin sudah paham. Namun saat akan menuliskan satu soal sebagai tes awal, Alvin justru kembali membuatnya geregetan dengan melontarkan pertanyaan ‘tadi lu jelasin apa, Fy?’. Ify mengurut dadanya, berusaha menahan emosi, lebih emosi menghadapi Alvin dibanding menghadapi Sivia.  Dia bahkan lupa akan ketakutannya pada Alvin berhubung pemuda itu lebih hangat—dan lebih menyebalkan—dari biasanya.
Ify lantas kembali menjelaskan dengan sabar, terus dan terus, diulang dan diulang lagi. Ia juga memberikan kesempatan Alvin bertanya bagian mana yang tidak paham, meski lagi-lagi dijawab pahit.
“Bagian mana yang lo belum paham?” tanya Ify sabar.
“Hmmm...”
Alvin berpikir sejenak seolah sedang menelaah.
“Semuanya,” imbuhnya.
Detik itu Ify bersumpah tidak akan menerima tawaran mengajari orang dengan sembarangan. Cukup Alvin saja. Kalau Rio, pemuda itu cepat tanggap sehingga Ify hanya mengajari inti-intinya saja.
Setelah Alvin mengatakan bahwa dia mengerti, Ify kembali mengujinya dengan soal. Hanya satu sebagai percobaan. Sudah sekitar lima belas menit yang lalu ia berikan, tapi Alvin masih berkutat dengan bukunya. Ify jadi bosan. Tampaknya sekarang dia mengerti mengapa guru-guru malas berurusan dengan Alvin, sialnya sekarang justru Ify yang harus berurusan dengan pemuda ini. Padahal waktu bercengkrama di UKS saat itu Alvin tidak semenyebalkan ini. Ify curiga dia tengah dikerjai.
Gadis itu menyeruput milkshake di gelas kedua. Tadi dia memesan milkshake dan sepiring besar kentang goreng karena tahu bersama Alvin akan membosankan. Tapi ternyata baru seperempat jalan saja milkshake-nya habis tak tersisa. Jadilah dia memesan lagi. Karena itu, Alvin sempat menyindir ‘lo ke sini jalan kaki ya?’ dan dijawab dengan anggukan asal.
“Belum kelar juga?” tanya Ify.
Alvin mendongak, “Jangan ganggu konsentrasi gue.”
Kemudian pemuda itu fokus ke bukunya lagi. Ify mendelik, mengapa kesannya jadi dia yang merepotkan?
***
Shilla menatap sebuah gaun di tangannya. Gaun selutut berwarna putih dengan pita besar berwarna hitam di bagian pinggang. Di sampingnya, Cakka tampak menilai pilihan gaun Shilla. Sebagai laki-laki yang tak mengerti fashion perempuan, bisa saja Cakka menurut tapi masalahnya gaun ini untuk Agni.
“Cocok nggak sih? Kulitnya kan sawo matang,” komentar Cakka.
Helaan nafas Shilla menyapa telinga Cakka. Ya, ia tahu ini sudah baju ke sepuluh dengan komentar berbeda. Shilla jadi frustasi. Sebagai wanita yang sudah terbiasa bergelut dengan fashion, Cakka berhasil membuatnya minder karena belum ada pilihan gaun yang cocok.
“Bentar, gue ke Tante Nahni dulu,” kata Shilla.
Cakka hanya mengangguk. Kalau pilihan gaun Shilla tak dapat menarik perhatian Cakka, Shilla yakin Tante Nahni bisa.
Berhubung ini bagian rencana Cakka dalam penembakan Agni, maka Shilla turur serta membantu di urusan memilih gaun dan mendadani Agni besok malam. Yang lain pun punya tugas masing-masing.
“Tante, kalau gaun untuk cewek tomboy dan doyan olahraga gitu bagusnya yang mana ya?” tanya Shilla pada Nahni Wijaya.
“Pasti kulitnya agak gelap ya?” tanya Tante Nahni.
Shilla mengangguk. Selanjutnya, wanita yang masih tampak muda itu memilihkan sebuah gaun berwarna peach dengan sentuhan payet di bagian dada. Beberapa detik Shilla mengagumi gaun itu. Sangat cantik.
“Warna peach-nya nggak terlalu kontras sama warna kulit. Ukurannya memang segini. Meskipun Tante nggak tahu siapa yang akan pakai, tapi Tante yakin anaknya pasti punya bodi yang ideal karna dia suka olahraga,” jelas Tante Nahni.
“Iya bodinya emang ideal,” kekeh Shilla.
“Saya tanya Cakka dulu ya, Tan,” imbuhnya.
Tante Nahni lantas mengangsurkan dress itu pada Shilla untuk diperlihatkan pada Cakka. Tadi wanita itu sempat bingung, tumben sekali Shilla datang bersama Cakka, bukan bersama Alvin seperti biasa. Akhirnya dia mengerti kalau Shilla hanya menemani Cakka.
“Cak, gimana?” tanya Shilla melirik dress di tangannya.
“Bagus, Shil. Kayaknya ini cocok banget buat Agni. Nggak terlalu terbuka juga,” komentar Cakka.
“Suka?” tanya Tante Nahni yang tiba-tiba muncul.
“Ini pilihannya Tante Nahni, Cak. Ini aja?” ceplos Shilla.
Cakka mengangguk, “Makasih buat pilihannya ya, Tante.”
“Sama-sama. Cuman dress ini agak mahal karna payetnya ribet banget. Nggak pa-pa, Cak? Tapi tetep Tante kasih diskon kok,” balas Tante Nahni.
“Itu bukan masalah kok. Yang penting ini saya suka banget,” kekeh Cakka.
Shilla bernafas lega. Dalam hati ia uring-uringan, tahu begitu ia langsung minta pendapat Tante Nahni daripada harus membuang waktu dengan mendengar ocehan Cakka. Ah, ia jadi tak sabar untuk besok. Padahal besok bukan acara penembakannya, tapi dia ikut senang kalau Cakka senang.
***
Keesokan harinya, Ify terpaksa bangun sebelum subuh. Jarak rumah Agni ke rumahnya cukup jauh. Sebenarnya ini bagian dari rencana yang dibuat oleh Cakka. Ify terpaksa harus berkomplot dengan pemuda itu meskipun tidak tega juga dengan nasib Agni, apalagi jika gadis tomboy itu tahu kalau Ify sudah berangkat sekolah duluan.
Demi melancarkan amanat ini, Ify harus mengajak Sivia turut serta. Iyalah! Bisa bisa rencana mereka gagal karena anak bodor itu. Seperti yang sudah pernah dijelaskan, bahwa Sivia adalah makhluk yang paling susah bangun pagi. Pukul 5 pagi Ify sudah siap dengan perlengkapan sekolahnya lalu menuju rumah Sivia. Ozy yang sudah hafal kebiasaan Ify jika pergi sepagi ini pun tidak bertanya apa-apa.
Sesampainya di rumah Sivia, Desi—Mama Sivia—mempersilahkan Ify masuk. Seperti biasa pula, Ify menuju dapur dan meminjam alat tempurnya. Pembantu Sivia pun sudah siap dengan earphone yang disumpalkan ke telinga sambil memasak. Seperti dugaannya, beberapa menit setelah kepergian Ify mulai terdengar suara gaduh di lantai atas. Apalagi kalau bukan hasil dari pertunjukan solo marching band dari Ify?
“SIVIAAAA BANGUUUNNNN!!!” teriak Ify.
Jika sudah seperti ini, Desi yang biasa tahan dengan musik-musik rock jutru memilih jogging. Sepertinya bagusan dengerin lagu rock 20 album daripada harus mendengar keributan yang diciptakan Ify.
“WOIII!!! LO MAU SAMPAI KAPAN TIDUR???”
Sivia bergerak. Ify pikir gadis itu akan bangun, ternyata hanya merubah posisi tidur.
“EH KAMPRET CEPETAN BANGUN!!!!”
Bukan Sivia yang bangun, tapi justru Lintar yang menguap dengan wajah kesal karena istirahatnya terganggu. Beberapa hari ini dia memang disibukkan dengan urusan kantor dan kuliah S3 sehingga harus menginap dan baru sekarang bisa pulang. Ya, baru semalam dia bisa merasakan tidur di kasur empuknya tapi sudah dirusuhi oleh sahabat adik sepupunya.
“Harus banget ya lu bikin konser tunggal di sini?” sengit Lintar dengan wajah kusutnya.
Ify terkekeh, merasa bersalah karena dia pikir Lintar belum pulang, “Eh Abang kapan pulangnya? Kata Sivia udah beberapa hari nggak pulang.”
“Semalem. Gue ngantuk banget nih. Ternyata lo lebih berisik daripada Sivia ya, Fy,” balas Lintar membuat Ify keki.
“Lah udah nyerah bangunin gue, Fy?” cetus Sivia tiba-tiba.
Ify reflek menoleh, “Lo udah bangun daritadi?”
“Iyalah. Lu berisik banget sih. Gue kesel lo bangunin jam segini, makanya gue merem lagi,” jawab Sivia polos.
“Gue tidur lagi ya,” pamit Lintar tak diacuhkan.
“Emang lu ya tai banget. Cepetan mandi! Keburu kepergok Agni,” ujar Ify memilih tak menanggapi.
Kalau berdebat dengan Sivia terus, bisa menghabiskan waktu lama. Maka Ify bersikeras mendorong Sivia menuju kamar mandi tanpa membiarkan gadis itu protes. Sambil menunggu Sivia, Ify turun untuk numpang sarapan.
“Bi, tolong siapin bekal buat Sivia ya,” kata Ify.
“Siap, Non Ify.”
***
Naik angkot ternyata bukan pilihan yang tepat karena angkot  menuju rumah Ify baru jalan jika sudah penuh. Jadilah jam setengah 7 kurang Agni masih di dalam angkutan umum ini, berdesak-desakan dengan ibu-ibu pasar pula.
“Fy, gue mau  nyampe nih,” cetus Agni.
Ia menelpon Ify untuk mengabari gadis itu.
“Astaga, Ag! Gue lupa kalau kita mau berangkat bareng!”
Agni melotot, “Serius lu? Terus ini lo dimana?”
“Udah naik bis sama Sivia. Dia ngajak berangkat pagi soalnya mau nyalin PR.”
“Terus gue...”
Ucapan Agni terpotong saat mendengar suara Sivia.
“Aduh Ify buku lo nggak ada di tas. Kayaknya ketinggalan. Terus ini gimana? Masa kita balik lagi?”
“Hah? Sumpah lo, Vi?”
Agni mengernyit karena beberapa saat Ify dan Sivia ribut di seberang sana.
“Ify! Ini gue gimana?” tanya Agni gemas.
“Ahhh kebetulan. Ag, plis ya lo ke rumah gue ambilin buku gue yang ketinggalan. Nanti gue telpon Mama biar lo nggak kelamaan.”
“Tapi, ini kan udah jam—“
“Please, Agni. Lo tega gue dihukum? Mana itu pelajarannya jam kedua lagi. Kalau habis istirahat sih gue bisa minta tolong sopir buat nganterin. Plis ya, Ag.”
“Iya deh iya!” sahut Agni menyerah.
“Makasih Agni.”
Klik. Sambungan telepon terputus tepat saat Agni harus turun dari angkot dan berjalan sebentar untuk sampai ke rumah Ify. Kalau tahu begini, lebih baik Agni pura-pura lupa dan langsung ke sekolah.
Agni melirik jam di tangannya lalu pasrah. Sudah dipastikan ia tidak mungkin selamat dari ruangan BK.
***
“Ayo turun, Fy!”
Ify mengangguk kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku. Sebenarnya ia pun tidak tega harus membohongi Agni, tapi semoga semuanya lancar sampai nanti malam. Setelah merapalkan doa dalam hati, Ify mengikuti langkah Sivia menuju sekolah—berhubung mereka turun di halte.
“Gue nggak sabar nanti malam Cakka nembaknya kayak apa,” cetus Sivia.
“Yang ditembak kan bukan elo. Kenapa jadi elo yang nggak sabar?” sahut Ify kalem.
Sivia berdecak, “Buat patokan ntar kalo Alvin nembak gue.”
“Idih pede banget lu kayak bakalan ditembak beneran sama dia,” cibir Ify.
“Pasti! Gue yakin! Makanya lo doain gue supaya lancar sama Alvin!”
Tanpa mempedulikan ocehan Sivia, Ify justru semakin mempercepat langkahnya. Sivia menggerutu sebal kemudian menyamakan langkahnya dengan langkah Ify. Saat hendak memprotes, ternyata Cakka sudah berdiri di depan gerbang dan mencegat mereka berdua.
“Gimana Agni?” tanya Cakka tak sabar.
“Sudah beres diatur oleh Sivia. Asalkan ada Sivia, semuanya bahagia dunia akhirat,” sahut Sivia sombong.
Reflek tangan Ify bergerak menoyor Sivia.
“Nggak usah ngarang cerita pagi-pagi!”
Bibir Sivia mengerucut, “Sekali-kali biarkan gue berkreasi kenapa sih?”
“Nggak usah dengerin dia, Cak. Pokoknya Agni bakalan telat sesuai permintaan elo. Sumpah ya lo terkejam banget mau nembak tapi bikin sial anak orang dulu,” cerocos Ify yang membuat Cakka tertawa renyah.
“Semoga Rio nggak kepikiran nembak lo pakai cara begini ya, Fy,” canda Cakka.
Ify melotot, “Kenapa jadi Rio sih?”
Cakka menggaruk tengkuk belakangnya lantas merangkul Ify dan mengajaknya berjalan bersama. Sivia? Gadis itu melongo, menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung, lalu berlari mengikuti dua orang yang telah meninggalkannya.
“Sialan ya lu berdua!” gerutu Sivia yang telah berhasil mengejar Ify dan Cakka.
“Emang lo nggak suka Rio, Fy? Sahabat gue yang satu itu meskipun kaku, tapi dia hatinya lembut. Apalagi kalau udah menyangkut soal elo, Fy,” ceplos Cakka masih tetap merangkul Ify.
Sivia ikut mendengarkan meskipun dengan wajah bete.
“Bahasa lo dangdut banget sih, Cak,” balas Ify.
“Gue kan cuma mengutarakan yang sebenarnya aja,” elak Cakka.
“Lu kelihatan seneng banget sih, Cak? Padahal kan nembaknya masih nanti malem. Emang udah positif diterima?” celetuk Sivia.
Cakka beralih memandang Sivia kemudian memutar bola matanya dengan malas.
“Pasti lah,” tandasnya.
“Belum tentu! Ntar tiba-tiba Agni ketemu cowok ganteng di angkutan terus jatuh cinta pada pandangan pertama gimana?” balas Sivia membuat Ify tergelak.
“Tersialan emang khayalan lu,” gerutu Cakka.
Detik berikutnya Sivia menjulurkan lidah kemudian berlari meninggalkan Cakka dan Ify. Reflek, Cakka melepaskan rangkulannya pada Ify lalu berlari mengejar Sivia yang semakin meledeknya sambil tertawa-tawa puas. Ify terkekeh menyaksikan mereka, ia membiarkan dua sahabatnya itu berlarian sampai beberapa kali menabrak orang-orang yang berlalu lalang.
“Kok nggak ikut kejar-kejaran kayak mereka?”
Ify menoleh. Tahu-tahu saja Alvin sudah berjalan di sampingnya. Ah, kapan pemuda itu datang?
“Capek gue,” jawab Ify pendek.
“Sivia emang seaktif itu ya?” tanya Alvin memandang wajah Ify dari samping.
Kening Ify berkerut, seperti dé javu. Ah iya! Gabriel pernah bertanya mirip sekali dengan pertanyaan barusan. Intinya sama, tapi penyampaiannya berbeda. Ify lantas menelaah apa maksud Alvin bertanya demikian. Apa mungkin pemuda ini benar-benar menyukai sahabatnya?
“Iya. Emang begitu,” jawab Ify.
“Hmmm.”
Lagi-lagi Ify bingung. Terkadang Alvin bersikap hangat, terkadang juga dingin. Terkadang dia seperti patung yang tak pernah bisa tersenyum, tapi terkadang pula ia terkekeh geli—bahkan tertawa. Benar-benar sulit menebak apa yang ada di pikiran Alvin. Bahkan, jika Alvin mengatakan kebohongan atau kebenaran, semuanya akan terdengar sama.
***
Sial. Seperti dugaan, Agni terlambat. Ia lantas melangkah dengan tergesa-gesa menuju gerbang Budi Karya yang sudah tertutup rapat.
“Pak, bukain dong. Please bangettttt,” pinta Agni memelas berharap satpam sekolahnya mau berbaik hati.
“Nggak bisa, Neng. Saya bukain tapi Eneng ke ruang BK ya, soalnya saya bisa dipecat kalau melanggar aturan.”
Agni mencebikkan bibir sebal. Harusnya dia tahu ini akan terjadi. Terpaksa, gadis itu menurut. Setelah pintu gerbang dibuka, Agni lantas masuk dan menuju ruang BK dengan lemas. Percuma saja dia berlari hingga nyaris jatuh kalau akhirnya dihukum juga. Ish!
Langkah Agni terasa berat. Ia menyempatkan ke kelas XI IPA 4 untuk menyerahkan buku Ify terlebih dahulu melalui guru yang sedang mengajar, raut wajah Ify seperti sedang mengutarakan permintaan maaf dan dibalasnya dengan senyuman tipis. Barulah dia menuju ruang BK dan bersiap mendapatkan hukuman.
“Agni, kenapa? Terlambat?”
Agni meneguk ludahnya lalu nyengir kuda. Baru saja melongokkan kepala, tapi sudah disemprot seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Bu Vina pelakunya? Ibu guru yang satu itu sangat sensi dengannya karena Pak Reihan sering memamerkan Agni pada guru-guru. Berhubung Pak Reihan lajang, ada gosip yang mengatakan bahwa Bu Vina naksir pada Pak Reihan. Makanya, Bu Vina—yang katanya sudah tua tapi belum menikah juga—senewen dengan Agni. Padahal Agni tidak tertarik dengan Pak Reihan.
“Iya, Bu. Saya terlambat. Biasanya anak rajin kayak saya mah nggak pernah terlambat ya, Bu,” sahut Agni sambil mendekat.
Ya, biar saja lah dia pasang muka tembok. Sekali-kali!
“Rajin apanya? Sini duduk,” balas Bu Vina.
Agni menurut lalu duduk. Dia menyempatkan menyapa guru-guru BK yang lain. Diantara semua guru BK ini, mengapa dia harus berhadapan dengan Bu Vina coba?
Untungnya jadi Agni memang seperti ini. Banyak yang kenal padanya, termasuk guru-guru. Jadi, bisa dikatakan bahwa dia sama terkenalnya dengan The Wanted.
“Enaknya apa ya hukuman buat kamu?” gumam Bu Vina.
“Kok nggak ditanyain dulu kenapa saya terlambat, Bu? Meskipun saya belum pernah terlambat sebelumnya, tapi saya tahu kok kalau siswa yang terlambat berhak melakukan penjelasan sebelum dihukum,” protes Agni.
Tidak sia-sia juga dia sahabatan dengan Sivia. Ternyata cablaknya Sivia bisa menular disaat yang tepat. Bu Vina tampak diam, mungkin malu karena suara Agni terlalu keras dan guru-guru lain jadi meliriknya.
“Jadi, kamu kenapa terlambat?” tanya Bu Vina dingin.
Agni ingin memuntahkan tawanya, lucu sekali ternyata membuat orang lain keki. Namun berhubung yang ingin ditertawakannya adalah gurunya sendiri, Agni menahan diri. Dia lantas menjelaskan kronologis keterlambatannya pada Bu Vina tapi tampak sekali bahwa wanita itu tak berminat mendengarkan. Mungkin saat ini isi kepala wanita itu hanya ada hukuman-hukuman untuk Agni yang telah mempermalukannya.
“Ibu dengerin saya nggak sih? Kan saya lagi cerita,” kata Agni iseng.
Bu Vina mengerjap, “Iya saya dengerin.”
“Tadi saya cerita apa coba?” tanya Agni semakin menjadi.
Wanita di hadapannya itu gelagapan lalu mengalihkan perhatian dengan pura-pura membalas sms. Iya, Agni tahu kalau itu pura-pura karena dia sempat melirik layar ponsel Bu Vina yang tak ada notification apapun.
“Bodo amat deh ntar hukumannya apaan,” batin Agni.
“Ehem,” dehem Bu Vina.
Bu Vina menyimpan ponselnya lalu fokus pada Agni lagi.
“Kamu, saya hukum untuk minta tanda tangan ke semua guru yang sedang mengajar dari kelas sepuluh sampai dua belas.”
Mata Agni terbelalak, “Semua?”
“Iya,” jawab Bu Vina sambil mengangguk puas.
Deal nih, Bu?” tanya Agni berharap hukumannya diganti.
Deal.
Sial. Sepertinya Bu Vina benar-benar ada dendam kesumat dengannya. Kemudian Agni bertekat tidak mau terlihat kalah. Dia memasang senyum sebiasa mungkin.
“Cuma minta tanda tangan kan, Bu? Itu sih terlalu mudah. Ya sudah, saya pamit dulu. Selamat pagi, Bu Vina,” ujarnya dengan wajah sumringah yang dibuat senatural mungkin.
Sumpah, Agni menahan tawanya lagi menyaksikan Bu Vina melongo. Mungkin dia tidak menyangka hukumannya akan disambut dengan kalimat demikian. Setelah keluar dari ruangan dan sedikit menjauh barulah tawa Agni meledak-ledak. Hanya sekejap. Sebab, selanjutnya dia memikirkan nasibnya sendiri. Minta tanda tangan ke semua guru yang sedang mengajar? Errr... kalau ketemunya guru semacam Pak Reihan yang baik hati sih nggak masalah.
***
Selesai. Eh, nyaris! Setelah berjuang keras melaksanakan hukuman dari Bu Vina, nyaris semua tanda tangan sudah terkumpul. Semuanya didapatkan dengan mudah, ya paling tidak Agni hanya perlu menunggu sampai guru killer selesai menjelaskan materi. Untung Agni sudah lihai memasang muka tembok karena berteman dengan Sivia yang sering memalukan. Jadi, dia tidak masalah saat menjadi pusat perhatian. Masalahnya, ada satu kelas yang belum didatanginya. Kelas XI IPA 1. Kelasnya Cakka.
Sialnya, kelas Cakka sedang diajar oleh Bu Maryam. Guru yang paling banyak omong. Agni mendengus, ia berpikir ingin memalsukan tanda tangan wanita itu tapi pasti ketahuan. Dia kan tidak handal dalam urusan seperti ini.
“Muka tembok, Ag,” tekat Agni.
Gadis itu lantas menghela nafas panjang seakan-akan di dalam ruangan yang akan dimasukinya tidak ada pasokan oksigen sama  sekali. Selanjutnya, ia mengetok pintu kelas XI IPA 1 hingga membuat seluruh warganya menoleh dan memusatkan perhatian padanya. Bu Maryam yang sedang mengabsen pun menghentikan aktivitasnya.
“Permisi, Bu,” ujar Agni sesopan mungkin.
“Iya. Ada apa?” sahut Bu Maryam.
Agni menggigit bibir bawahnya, melirik Cakka dan kawan-kawan yang tampak penasaran.
“Saya dihukum Bu Vina untuk minta tanda tangan ke seluruh guru yang sedang mengajar. Makanya, sekarang saya—“
“Mau minta tanda tangan saya?” potong Bu Maryam.
Agni mengangguk.
“Kenapa dihukum?” tanya Bu Maryam.
“Tadi pagi saya terlambat masuk, Bu,” jawab Agni sekenanya.
“Kenapa bisa terlambat?”
Ish! Tuh kan! Bu Maryam memang banyak omong. Tinggal tanda tangan lalu beliau bisa melanjutkan mengajarnya dengan damai sentosa kenapa sih? Kok sepertinya susah sekali. Dan yaaa... tentunya kejadian ini menguntungkan bagi kelas XI IPA 1.
“Kamu pasti bangun kesiangan kan? Makanya kalau hari sekolah itu bangunnya pagi biar nggak terlambat. Kalau ini sekolah punya bapak kamu sih nggak pa-pa, Gabriel aja tidak pernah terlambat,” cerocos Bu Maryam.
Agni mencibir karena tidak diberikan kesempatan bicara sama sekali. Bahkan, untuk melakukan pembelaan. Kenapa sih guru ini? Coba kalau Ify yang berhadapan dengan Bu Maryam, pasti beliau percaya saja pada Ify.
Barulah setelah sampai sekitar 20 menit diceramahi di depan anak-anak kelas XI IPA 1 Bu Maryam memberikan tanda tangannya. Itupun karena dia baru ingat kalau sekarang sedang mengajar. Agni tersenyum paksa seraya mengucapkan terima kasih. Selanjutnya, dia pamit dan kembali ke ruang BK.
“Masih pagi tapi kok gue sial mulu sih,” gumam Agni miris.
***
Bel istirahat menggema. Begitu teman-teman sekelas ngacir entah kemana, Shilla dan kawan-kawan lantas mengerubungi Cakka dan menyalahkan pemuda itu.
“Parah lu, Cak! Itu tadi Agni sampai diceramahin lama banget tahu,” cecar Shilla.
Cakka meringis, “Mana gue tahu kalau dia bakal dihukum kayak gitu?”
Mendengar jawaban Cakka, mereka lantas mengangguk paham. Sepertinya hukuman untuk Agni tadi eksklusif karena biasanya anak-anak  yang terlambat tidak pernah dihukum sekreatif itu. Padahal diceramahi di ruang BK saja sudah cukup, tidak perlu dilebih-lebihkan.
“Anggap aja ini bonus dari rencana lo,” sahut Gabriel.
“Gue ngeri kalau pas acara penembakan justru dia berubah pikiran kalau tahu kesialan Agni ini bermula dari ide gila lo, Cak,” ceplos Rio yang membuat Cakka melotot ke arahnya.
“Lu nggak usah komentar deh, Yo. Kadang komentar lo itu nyakitin,” balas Cakka.
Yang lain tertawa kecil. Entah sejak kapan Rio kembali ke sifat aslinya, ah iya... sejak ayahnya membebaskan Rio untuk melakukan apa yang dia mau. Rio yang sekarang jadi lebih terbuka dan pandangan matanya tidak pernah kosong.
“Terus nanti malem gimana?” tanya Shilla.
“Sesuai rencana. Pokoknya lo ke rumah Agni bareng Sivia. Lainnya, pokoknya ikut gue langsung ke TKP. Rio, gue minta bantuan lo di belakang layar terutama masalah mini konser ya? Nggak pa-pa kan kalau nggak tampil? Soalnya nggak ada yang bisa diandalkan selain elo nih,” cerocos Cakka panjang lebar.
Rio mengacungkan jempolnya.
“Gue mah dimana aja bisa,” katanya setengah bercanda.
“Oh kalau gitu gue tempatin lo di hatinya Ify aja, mumpung hatinya lagi kosong,” celetuk Cakka.
Nggg...”
Detik itu Gabriel, Shilla, Cakka dan Alvin tertawa geli menyaksikan Rio yang sedang salah tingkah. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau seorang Rio yang selama ini mereka pikir hanya fokus dengan pekerjaan kantor ternyata bisa juga jatuh cinta.
“Lo salting ya?” tanya Alvin pura-pura tidak tahu.
“Ah, ngaco lu. Biasa aja perasaan,” jawab Rio sok polos.
“Nggak pa-pa kali, bro. Kita justru seneng banget,” cetus  Cakka.
“Kenapa seneng?”
“Itu berarti lo beneran nggak naksir Mas Dayat!” seru Gabriel iseng.
Rio menggerutu, “Bacot lu.”
“Makanya lo buruan deh nembak Ify. Kalau sama Mas Dayat nggak enak, nggak bisa dipeluk, nggak bisa dibelai, kalau pacaran juga bahasnya masalah kantor,” ujar Cakka sembarangan.
“Kalau cuma dipeluk mah Mas Dayat juga bisa, Cak,” kilah Alvin.
“Iya, bisa. Tapi nggak enak,” balas Cakka.
“WAH ANCUR LO, CAK!” seru Gabriel.
Shilla yang sedari tadi menyimak hanya geleng-geleng melihat kelakuan sahabat-sahabatnya. Bisa-bisanya mereka membahas hal ini. Tak urung, Shilla ikut terkekeh pula. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat sahabat-sahabatnya yang semakin kompak.
***
Kantin Budi Karya ramai seperti biasa. Ify dan Sivia yang baru sampai di bibir kantin mulai mengedarkan pandangan mereka, mencari-cari tempat yang kosong. Tiba-tiba Sivia melihat seseorang melambaikan tangan padanya. Ah, ternyata Gabriel. Dia sedang bersama teman-teman yang lain, termasuk Agni.
“Nyet, itu mereka di sana,” kata Sivia menunjuk ke salah satu bangku.
Ify mengikuti arah yang ditunjuk Sivia.
“Lo ke sana duluan ya. Gue ada urusan sama Debo. Nanti gue nyusul,” ujar Ify.
“Urusan apa?” tanya Sivia bingung.
“Nanti gue cerita,” jawab Ify.
Sivia merelakan Ify bergabung ke meja Debo. Sepertinya mereka memang ada urusan penting sehingga memilih bangku di pojokan yang tidak akan diperhatikan siapapun. Sivia mengedikkan bahunya, kemudian bergabung ke meja tim menolak Sivia bahagia.
“HAI EVERYBODY!” seru Sivia lalu menyempil ditengah-tengah Agni dan Shilla.
Dengan seenaknya gadis itu menyerobot minuman di atas meja lalu menenggaknya.
“Minuman gueeee!” teriak Gabriel.
Sivia nyengir, “Gue kira punya Agni.”
“Agni aja belum pesen. Ganti pokoknya!” sungut Gabriel.
“Yah lo kan tahu kalau gue miskin. Mending lo traktir gue deh, Yel,” seloroh Sivia.
Fuck. Ngapa jadi elo yang minta ditraktir?”
“Karna gue miskin. Udahlah, ngalah sama gue. Gue kan cewek. Lo mau bilang fuck, bangsat, anjing, apa kek bodo amat ya,” balas Sivia nyolot.
Gabriel mendengus. Ia menatap hampa ke arah gelasnya yang sudah kosong tak tersisa. Padahal dia belum sempat minum. Sementara itu, Agni menatap iba ke arah Gabriel dan yang lain tertawa puas.
“Eh, Ify mana?” tanya Shilla.
“Di pojokan tuh sama si Debo,” jawab Sivia menunjuk ke sebuah meja.
Tampak bahwa Debo dan Ify sedang membicarakan sesuatu yang amat serius. Mereka lantas melirik Rio, kecuali Sivia yang memang tidak peka. Pemuda yang ditatap beramai-ramai itu tampak tak sadar karena terfokus pada sosok Ify di pojokan sana. Posisi duduk Ify dan Debo memang sangat dekat, bahkan bahu mereka nyaris menempel. Hal itu membuat Rio merasa 'panas'.
“Panas banget ya,” celetuk Cakka iseng.
Rio tersadar dan sedikit gelagapan. Sial. Dia tertangkap basah lagi.
“Hah? Orang kita duduk di bawah AC gini kok panas sih, Cak?” tanya Sivia polos.
“Lama-lama lo gue jual deh, Siv,” gemas Cakka.
Sivia mengerucutkan bibirnya. Bukan salahnya kan kalau dia menggemaskan? Ya, sampai-sampai Cakka ingin menjualnya.
“Jujur aja nih. Ify lagi proses move on, Yo. Mungkin lo bisa bantu dia,” kata Agni mengalihkan perhatian.
“Maksudnya?” tanya Rio terdengar bodoh.
“Harus banget ya diterjemahin? Rio, lo tuh pinter sampai bisa ngurus perusahaan di usia anak sekolah. Masa kayak gini aja lo nggak paham?” ceplos Shilla geregetan.
Rio masih memasang wajah bingung, dia benar-benar tak mengerti. Kalau memang Ify sedang berusaha move on, itu berarti bukan urusannya kan?
“Kayaknya percuma aja, Shil. Lihat aja tampangnya lebih bego dari gue,” kata Sivia.
“Intinya nih, Rioku sayang. Lo harus deketin Ify dan buru-buru nembak dia. Lo jatuh cinta kan sama dia? Jadi, lo kudu berjuang. Ngerti kan, sayang?” jelas Cakka.
Wajah Rio berubah jijik mendengar kata ‘sayang’ dari mulut Cakka. Sepertinya Cakka memang lebih gila dari Gabriel. Yang lain pun sama jijiknya. Sivia yang pertama bereaksi, dia melempari Cakka dengan kulit kacang yang daritadi dicamilnya. Setahu Rio sih Sivia sudah membawa kacang saat dia sampai di sini.
“Gini deh, Yo. Lo sayang kan sama Ify?” tanya Agni mulai menginterogasi.
Rio tampak berpikir.
“Jangan mikir, Rio. Lo jawabnya pakai hati. Rasain. Harus yakin.”
“Iya,” jawab Rio akhirnya.
“Lo nggak mau kehilangan dia?” tanya Agni lagi.
“Nggak mau.”
“Sekarang lo menyadari sesuatu?”
Rio terdiam dan memejamkan mata sejenak. Saat membuka matanya kembali, sosok Ify lah yang dilihatnya pertama kali.
“Gue lihat kalian lagi serius banget. Ngomongin apa sih?” tanya Ify kemudian duduk di sebelah Alvin karena itu satu-satunya tempat yang kosong.
“Udah kelar urusannya sama Debo?” tanya Sivia.
Ify mengedikkan bahunya, “Kayaknya makin runyam.
“Lo ada masalah apa sama Debo?” tanya Sivia bingung.
Setahunya, Ify dan Debo baik-baik saja. Malahan mereka akrab. Dan omong-omong, Debo pernah menembak Ify saat kelas X dulu tapi ditolak.
“Bukan sama Debo sih. Cuman...”
Ify melirik yang lain, tampaknya penasaran dengan obrolan Ify dan Sivia. Gadis itu menghela nafas, mungkin tak apa-apa kalau cerita. Toh Ify sudah percaya dengan mereka semua.
“Debo bilang kalau Ray tiba-tiba nelponin dia, katanya minta tolong supaya dia bisa ketemu sama gue. Ya, jadilah gue diintrogasi sama tuh bocah karna penasaran kok Ray kenal gue gitu,” jelas Ify.
“Ray siapa lo?” tanya Alvin tanpa basa-basi.
Terdengar helaan nafas kasar dari Ify.
“Mantan,” jawab Sivia mewakilkan.
Barulah mereka mengerti bahwa maksud Agni tadi adalah Ify sedang move on dari Ray. Pantas saja sikap Ify aneh waktu bertemu Ray di SMA Global.
“Jadi?”
“Gue minta tolong ke Debo supaya nggak nanggepin apapun kalau Ray bahas gue,” jawab Ify sekenanya.
“Tuh anak kok tai banget sih? Dia sendiri yang mutusin, tapi sekarang malah ngusik. Maunya apa coba? Lagian udah punya cewek aja kegatelan,” maki Sivia.
Ify hanya tersenyum paksa mendengar racauan Sivia. Tanpa sengaja pandangan Ify dan Rio saling bertubrukan. Rio seolah bertanya ‘are you ok?’ melalui sorot matanya dan dibalas Ify dengan anggukan.
Sekarang lo menyadari sesuatu?
“Iya, gue sadar kalau Ify berhasil menyusup jauh ke dalam hati gue,” jawab Rio dalam hati.
***
Pulang sekolah. Kira-kira sudah sepuluh kesialan yang dialami Agni, benar-benar membuatnya bete. Mulai dari Ify lupa kalau dia yang menyuruh Agni ke rumahnya, terlambat sekolah, dihukum Bu Vina, diceramahi habis-habisan oleh Bu Maryam, ketumpahan es teh, dan kesialan lainnya yang dialami Agni.
Maka, saat bel pulang sekolah menggema, Agni buru-buru pulang sebelum terkena sial lagi. Jika Agni begitu parno, lain hal dengan Cakka yang tampak puas karena idenya sudah setengah berhasil. Tinggal acara inti saja.
“Shilla sama Sivia jangan lupa jalankan tugas dengan baik. Spesial untuk Sivia, plis lo jangan bocor apalagi keceplosan. Gue sumpel mulut lo pakai sorban kalau sampai keceplosan,” ancam Cakka.
Sivia lantas bersumpah serapah. Biar menyebalkan begini, tapi dia belum pernah bikin rencana orang jadi gagal kok. Kalau tidak salah ingat.
“Ify, Gabriel, Rio sama Alvin datang paling awal ya. Ntar kabar-kabar pokoknya.”
Mereka berempat mengacungkan jempol. Kalau dengan anak-anak ini sih Cakka percaya seratus persen.
“Kita tos dulu biar lancar,” kata Sivia.
“Tos apaan?” tanya Shilla.
“Tos tim menolak Sivia bahagia,” jawab Sivia mantap.
Detik itu Sivia seakan menjadi tersangka dari sebuah kasus besar. Memang, Sivia sempat menciptakan tos saking kreatifnya. Terpaksa mereka mengikuti kemauan Sivia karena wajah Sivia berubah menjadi kucing manis.
Mereka lantas merapat dan saling menumpuk telapak tangan.
“TIM MENOLAK SIVIA BAHAGIAAAAA!”
“YUHU YUHU YUHUUUUU YEAAHHH!!!”
Sivia tersenyum puas. Akhirnya tos itu launching juga.
“Kenapa sih kita harus nurutin dia?” tanya Alvin.
“Biar setia kawan,” sahut Sivia asal.
Alvin mencibir, “Ini sih namanya pembegoan yang terselubung.”
Yang lain mengangguk setuju. Memangnya anak SMA mana yang mau melakukan tos aneh tadi?
***
Baru memejamkan mata sekitar 25 menit, Agni terpaksa membuka matanya karena digelitiki. Ia menangkap sosok Sivia dan Shilla yang sedang nyengir tak bermasalah telah membangunkan orang yang baru tidur sebentar. Ya, 25 menit itu sebentar kan? Kalau digunakan untuk mandi, baru itu namanya lama.
“Kalian nggak ada kerjaan ya jam segini ngerecokin rumah orang?” gerutu Agni.
“Ya kan kita ada niat baik ke sini,” jawab Sivia sekenanya.
“Niat baik apaan?” tanya Agni.
“Pesta ulang tahun Cakka. Pestanya nanti malam. Jadi, gue sama Sivia eksklusif ke sini buat dandanin elo ke pesta ulang tahun Cakka,” jelas Shilla.
Agni mengernyit, antara percaya dan tidak dengan ucapan Shilla. Ya, maklum. Agni kan bukan orang yang hafal dengan ulang tahun siapapun. Ulang tahunnya sendiri saja sering dilupakan.
“Kok tadi di sekolah nggak ada yang bahas?” selidiknya.
“Ya masa kita mau kasih surprise tapi diomongin di depan orangnya? Kadang-kadang lo bego juga ya, Ag,” kilah Sivia.
“Oh iya juga ya. Kadang-kadang lo bisa pinter juga ya, Siv,” balas Agni tanpa dosa.
“Sialan! Monyet! Babi!” maki Sivia.
Agni tergelak mendengarnya.
“Udah udah. Ngapa jadi ribut sih? Gue siapin alat-alat make up dulu ya,” lerai Shilla.
Gadis cantik tersebut lantas menata peralatan make up-nya di meja rias Agni. Shilla geleng-geleng saat mendapati hanya ada bedak bayi, sisir, body lotion, parfume dan vitamin rambut di sana.
“Lo punya meja rias cuma buat diisi kayak ginian?” tanya Shilla.
“Gue saranin lo mulai coba pakai bedak sama lipbalm deh, Ag. Kayak Sivia tuh sekarang kelihatan lebih fresh,” imbuhnya dengan memuji Sivia.
“Dia mah emang lagi gila aja,” gumam Agni.
Selanjutnya, Agni dan Sivia sibuk mengagumi alat-alat make up yang dibawa Shilla. Semuanya lengkap dan banyak sekali. Kalau urusan make up, Ify lebih tahu dibanding Agni dan Sivia yang memang kurang merawat diri. Bagi mereka, pakai body lotion itu yang terpenting.
“Ini baru sebagian kecil kok yang gue bawa. Kalau dibawa semua kan ribet,” elak Shilla.
“Sebagian kecil sebanyak ini ya?” tanya Sivia kagum.
Tapi bagi Agni, itu terdengar norak.
“Kalian mandi dulu gih. Udah jam empat sore nih. Kita cabut habis maghrib,” titah Shilla.
“Lo duluan gih, Siv,” kata Agni.
“Gue udah mandi kok. Lo udah mandi juga kan, Shil?” sahut Sivia.
Shilla mengangguk, “Buruan mandi, Ag.”
Agni mencebikkan bibirnya lalu menuju keluar dari kamarnya untuk mandi. Tak ada kecurigaan sama sekali. Shilla masih merapaikan alat tempurnya, sementara Sivia bertugas mengabari Cakka.
“Shil, gue mau dong kapan-kapan didandanin sama elo,” celetuk Sivia.
“Gampang,” sahut Shilla.
Beberapa saat kemudian Agni kembali dengan wajah segar.
“Sini, Ag. Gue make up-in lo dulu.”
Agni menaikkan sebelah alisnya, “Harus ya?”
“Iya.”
“Sivia dulu deh,” tolak Agni halus.
“Sivia nanti gampang. Kan lo tamu spesialnya Cakka,” bujuk Shilla.
Setelah berdebat singkat, akhirnya Agni mengalah. Ia membiarkan Shilla mendadaninya. Diam-diam Agni khawatir pada dirinya sendiri yang merelakan diri untuk didandani seperti ini.
***
“Mereka udah ada di depan!” seru Cakka setelah membaca pesan singkat dari ponselnya yang dikirim oleh Sivia.
“Bersiap di posisi masing-masing!” koor Cakka.
Dengan sigap Rio mematikan beberapa lampu supaya keberadaan Ify, Alvin dan Gabriel tidak tersorot. Mendadak jantung Cakka berdetak dengan irama berantakan. Ia gugup, takut jika ditolak. Padahal sejak pagi dia sudah yakin pasti diterima.
Sementara itu, Agni dikawal Sivia dan Shilla sudah sampai di depan Cafe. Ini adalah Cafe milik ibunda Cakka. Agni tidak tahu bahwa Cakka sampai meminta doa dan restu ke ayah dan ibundanya untuk acara penembakan ini. Kedua orang tua Cakka tampak bingung, sekaligus terharu karena untuk hal sekecil ini saja sampai segitunya.
“Kok sepi ya?” tanya Agni bingung.
Shilla dan Sivia saling pandang lalu menggeret Agni dengan paksa untuk masuk ke dalam Cafe. Oh iya, Agni tadi protes habis-habisan karena dipaksa memakai gaun. Gaun yang sangat cantik dan pasti harganya mahal. Lagi-lagi Agni mengalah, ia sampai tak mengenali dirinya sendiri di depan cermin. Yang semakin membuatnya kesal adalah dandanan Shilla dan Sivia yang tampak biasa saja. Agni menelan kekesalannya karena Shilla dan Sivia terus berkelit sampai akhirnya Agni pasrah—lagi.
Mata Agni menjelajahi setiap sudut Cafe. Tak ada siapapun. Bahkan ketika dia memutar tubuhnya, Shilla dan Sivia lenyap. Mereka menghilang. Agni mendengus, merasa dirinya sedang dikerjai. Katanya Cakka ulang tahun? Tapi nyatanya pemuda itu pun tidak ada di sini.
Cafe ini memang didekorasi sangat indah seakan-akan memang akan ada pesta, tapi tak ada tamu satupun. Lebih tepatnya lagi hanya ada dirinya sendirian. Mendadak bulu kuduk Agni meremang. Jangan-jangan dia memang dikerjai!
“SHILLA SIVIAAAA! SUMPAH LAWAKAN KALIAN RECEH!!!” teriak Agni.
Tak ada sahutan. Seolah-olah memang benar bahwa di sini hanya ada dirinya. Saat hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja lampu di bagian mini stage—tempat konser penyanyi Cafe—menyala. Gantian lampu yang awalnya menyala jadi meredup, kecuali satu lampu yang kini menyorotnya. Mata Agni terbelalak. Di sana, orang-orang yang amat dia kenal berkumpul.
Petikan gitar Gabriel manyadarkan Agni dari keterpanaannya, diikuti suara keyboard yang dimainkan Ify dan suara drum dari Alvin. Sebuah intro lagu. Agni semakin terkejut saat Cakka, pemuda yang katanya “ulang tahun” itu muncul dari tirai hitam yang berada di belakang mini stage. Cakka tengah menatapnya dengan seulas senyum yang memabukkan. Ah, apa tadi? Mengapa Agni tiba-tiba jadi puitis?
Dari dirimu kudapatkan arti cinta sejati
Setiap detik denganmu...
Suara Cakka... merdu. Sangat merdu. Membuat Agni membeku, ditambah pemuda itu bernyanyi sambil menatap lurus ke arahnya.
Dari dirimu kudapatkan
Belaian hati suci cinta...
Bersamamu kurasa bahagia
Senyumanmu membuatku meraja
Cakka masih tetap menatapnya seolah lagu itu untuk Agni.
Percayalah ku takkan siakan dirimu
Kau yang kuinginkan hanyalah engkau
Bersamamu adalah hal yang terindah
Dan kuingin kau lebih
Masih sama. Mata Cakka tak bisa lepas dari Agni. Begitu pula dengan gadis itu yang tak bisa mengalihkan pandangannya sedetikpun. Sudah jelas, lagu ini memang untuknya. Begitu pikir Agni.
Yang kuinginkan kau seutuhnya
Mencintaimu adalah hal yang terbaik
Aku cinta kamu
Agni terhenyak. Ia baru menyadari bahwa lagu ini adalah pernyataan cinta.
Kau yang kuinginkan hanyalah engkau
Bersamamu adalah hal yang terindah
Dan kuingin kau lebih
Yang kuinginkan kau seutuhnya
Mencintaimu adalah hal yang terbaik
Aku cinta kamu
(Aku Cinta Kamu – Two Triple 0)
Lirik yang diulang barusan seolah menegaskan bahwa Cakka bersungguh-sungguh. Di detik usainya lagu tersebut, Agni menangis. Air matanya meluruh. Ia bahkan tak peduli dengan musik yang dimainkan Ify, Gabriel dan Alvin karena terfokus pada lirik yang dinyanyikan Cakka. Ia memaknainya dalam. Ini bukan hanya pernyataan cinta, tapi juga jawaban atas perntanyaan Agni mengenai kejelasan status mereka. Cakka menembaknya!
“Agni...”
Agni mendongak, menatap Cakka masih berada di atas stage. Pemuda itu lantas turun dan berjalan menghampiri sosok Agni yang masih terpaku.
“Lagu tadi mewakili perasaan aku ke kamu,” ujar Cakka pelan.
Pemuda itu menghela nafas sejenak.
“Aku cinta kamu. Aku mau kamu seutuhnya. Aku bukan laki-laki sempurna yang bisa menawarkan kamu banyak hal,” Cakka mengambil jeda cukup lama, “Satu, Ag. Cuma satu yang bisa aku tawarin ke kamu. Apa aku boleh jadi alasan setiap kali kamu bahagia?”
Binar bahagia Agni tak dapat disembunyikan.
"Cak...”
Agni speechless. Tak bisa berkata. Gadis itu mengangguk seraya menyembunyikan sebagian wajahnya dengan telapak tangan. Detik selanjutnya Cakka merengkuh tubuh itu untuk menyatu bersamanya.
“WOIIII! SELAMAAATTTTT!!!” seru sahabat-sahabat yang telah bertugas.
Barulah Agni sadar kalau dia benar-benar dikerjai.
“Asik kita bakalan makan gratis!” seru Sivia.
“WOOO!!!!”
Agni tertawa, begitu pula dengan Cakka.
“Gue nggak nyangka lo hafal script-nya, Cak,” celetuk Alvin yang langsung mendapat pelototan tajam dari Cakka.
“Alvin mulut lo tai banget,” desis Cakka.
“Oh tadi itu hafalan?” selidik Agni.
Cakka nyengir, “Meskipun hafalan tapi kan dari hati, Ag. Lagian tadi kamu speechless gitu, kan aku jadi takut lupa script. Untung masih inget,” sahutnya tanpa dosa.
“Tetep aja judulnya hapalan!” dengus Agni.
“Yang penting sekarang aku sama kamu udah jadian. Yang udah lewat  nggak usah dipikirin ya, sayang,” balas Cakka.
Sontak yang lainnya pura-pura muntah. Sementara pipi Agni bersemu merah.
“Kok lu jadi sok imut gini sih, Cak? Jijik gue dengernya,” ceplos Ify.
Cakka reflek merangkul gadis itu seperti biasa.
“Ify mau juga dipanggil sayang? Bisa aja sih tapi kan gue takut sama Rio,” godanya.
“Jauh jauh lu!” seru Ify menendang Cakka.
Cakka tertawa puas. Apalagi melihat Rio yang semakin salah tingkah.
***
Bersambung...
Asik udah ada yang jadian satu nih :p kira-kira yang lain gimana ya? Wkwk saya tunggu komentarnya :)

Ask.fm/fannyslma

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kerennnn Kak 😍 Baru Agni sama cakka nihh ,,,, hehehehe
Semangatt kak 💪💪

Posting Komentar