Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Hai saya kembali! Saya minta maaf kalau lanjutnya lama, kayaknya
setelah ini bakal lebih ngaret hehe maklum udah mau masuk kuliah lagi. Saya
lagi mikir ini kapan tamat ya (?)
Hope you like it...
22
Sender: Gabriel
Gue jemput ya
Pesan
singkat itu lah yang membuat Shilla akhirnya berdiri di depan rumah setelah melarang
sopirnya untuk mengantar ke sekolah seperti biasa. Ia juga sedang malas
menyetir sendiri. Selain itu, tidak biasanya Gabriel menjemput Shilla atas
kemauannya. Biasanya Shilla yang akan meminta tolong pada pemuda tersebut.
Tak lama
kemudian, mobil yang ditunggunya tiba. Shilla buru-buru masuk ke mobil Gabriel
karena memang pemuda itu tak pernah turun terlebih dahulu jika menjemputnya.
Bukan karena malas, tapi karena Shilla yang menyuruhnya. Menurut Shilla, tak
ada gunanya juga Gabriel turun dari mobil.
“Ini
bunga siapa?” tanya Shilla mendapati
bucket mawar saat membuka pintu.
Gabriel
menoleh, tampak sedikit terkesiap.
“Buat
elo,” jawab Gabriel pelan.
Shilla
membuka mulutnya tak percaya, “Bercanda ya?”
“Enggak.
Emang buat elo kok. Ayo cepet masuk biar kita nggak telat,” kilah Gabriel.
Mau tak
mau Shilla memindahkan bucket mawar
tersebut ke pangkuannya. Demi neptunus, rasanya seperti ada sesuatu yang
menggelitik. Ini pertama kalinya Gabriel memberinya bucket mawar.
“Dalam
rangka apa nih?” tanya Shilla penasaran.
Gabriel
yang fokus menyetir menoleh sekilas.
“Dalam
rangka... syuting lo kelar,” jawab Gabriel membuat Shilla manggut-manggut di
tempatnya.
Gadis
itu tak tahu bahwa selanjutnya Gabriel mendesah kasar, berusaha tenang agar tak
terlihat mencurigakan. Ia tak mungkin mengatakan pada gadis baik di sebelahnya
bahwa ia lupa membuang bucket mawar
itu karena seharusnya bunga tersebut untuk Sivia. Gabriel terpaksa berbohong.
“Makasih
ya. Gue suka banget,” ujar Shilla tak henti membelai kelopak-kelopak mawar yang
masih tampak segar.
“Sama-sama.”
Suasana
di dalam mobil mendadak senyap. Kalau boleh jujur, Gabriel mengajak Shilla
berangkat bersama hanya karena tak ingin terperangkap dalam kesepian. Ia tak
mau otaknya terus bekerja mengingat Sivia. Dan bukan salah Gabriel jika orang
yang dipilihnya untuk menemani kesunyian ini adalah Shilla.
“Lo
kenapa, Yel? Kok agak beda?” cetus Shilla.
Gabriel
menoleh lagi, kali ini menatap Shilla dengan jelas karena kebetulan sekali
mereka berada di lampu merah. Pemuda itu menggelengkan kepala dengan senyum
yang sedikit dipaksakan.
“I’m ok. Gimana kabar orang tua lo?”
balas Gabriel.
“Entah,”
sahut Shilla seraya mengedikkan bahu.
“Nggak
ada bedanya kayak dulu,” imbuhnya pelan.
Reflek
Gabriel menarik tangan Shilla, menggenggamnya erat seakan memberi kekuatan. Saat
itu pula Shilla merasa aliran darahnya melaju cepat dari ujung kepala ke ujung
kaki. Gadis itu tak bisa berkata-kata.
Sampai
lampu merah berubah menjadi hijau, Gabriel melajukan mobilnya dengan satu
tangan untuk menyetir dan satu tangan lagi masih tetap menggenggam tangan
Shilla. Ia tak berniat melepaskan sama sekali. Dalam hati, Gabriel mengira
bahwa kesepian yang dialaminya kini sama dengan kesepian yang dirasakan gadis
di sebelahnya.
***
Sepertinya
tim menolak Sivia bahagia yang mulai eksis itu senang menciptakan kegemparan
setiap harinya, kini lagi-lagi semuanya terulang. Para siswa menganga lebar
saat melihat Sivia dan Alvin datang dengan bergandeng tangan. Tak hanya itu,
Sivia bahkan menyandarkan kepalanya di bahu Alvin. Yang lebih mengejutkan, Alvin
yang terkenal paling jutek tidak merasa risih sama sekali.
“Asik
gue jadi pusat perhatian,” kekeh Sivia.
Alvin
mengelus puncak kepala Sivia kemudian menjitaknya pelan.
“Brisik.”
Ah,
pemuda ini meskipun sudah resmi menjadi kekasihnya tetap saja sikapnya tak
berubah. Untung sayang, begitu kata
Sivia.
“Nganterin
gue ke kelas?” tanya Sivia.
“Kalo
mau ke kelas gue kan harus ngelewatin kelas lo bego,” jawab Alvin.
Sivia
nyengir. Ternyata dia yang terlalu pede. Dia pikir Alvin akan mengantarnya ke
kelas kemudian membuat orang-orang berteriak histeris.
“Kenapa
gue jadi menjijikkan gini sih?” batin Sivia.
Sesampainya
di kelas, dia dan Alvin kembali menjadi pusat perhatian.
“Gue ke
kelas dulu,” kata Alvin sambil mengacak-acak puncak kepala Sivia.
“Iyeee!
Sono ke kelas!” usir Sivia sebelum dia jadi bahan ledekan. Ia yakin pipinya
sudah merona karena ulah pemuda ini.
Alvin
tertawa kecil lalu tanpa disangka-sangka pemuda itu mengecup ringan kening
Sivia dan meninggalkannya tanpa sepatah kata. Teman-teman yang menyaksikan
sudah berteriak histeris sementara dia masih terpaku.
“SIVIAAAA!
MESUM ANJIRRR!!!”
“SUBHANALLAH
SIVIA AKHIRNYA DICIUM COWOK JUGA!!”
Gadis
itu tak terpengaruh dengan teriakan-teriakan tersebut. Ia justru memegangi
keningnya seraya berjalan masuk ke dalam kelas.
“Lo
jadian sama Alvin, Siv?” tanya Debo.
Sivia
tersenyum lebar, “IYA!”
“Waahhh
selamat!” seru Debo kemudian menyalami.
Detik
selanjutnya teman-teman sekelas lainnya ikut menyelamati. Sumpah, Sivia
berjanji seharian ini ia akan tersenyum tiada henti. Terserah mau dikata gila
atau apa! Sivia terlanjur bahagia.
Di
sampingnya, Ify sudah lebih dulu sampai. Ia juga menyaksikan ‘kemesraan’
Alvin-Sivia di depan pintu kelas barusan. Ify ikut senang.
***
“WAHHH
INI NIH SAHABAT KITA YANG JADIAN TAPI NGGAK BILANG-BILANG!” teriak Cakka begitu
sosok Alvin tiba di kelas.
Shilla
mengernyit, “Alvin jadian sama siapa?”
“Sivia.
Parah ya lu, Vin! Masa nggak bilang-bilang! Tapi selamat deh!” seloroh Cakka
lalu merangkul bahu Alvin. Laki-laki itu tersenyum tipis.
Gabriel
membuang pandangannya ke arah lain, sementara Rio mulai paham mengapa Gabriel
sedikit aneh hari ini. Semalam Gabriel tidak
mengabarkan apa-apa padanya. Ify pun ikut menghilang. Paginya saat Rio
menjemput Ify, gadis itu hanya mengatakan bahwa nanti dia akan tahu sendiri.
“Kan ini
lo juga udah tahu,” sahut Alvin.
“Serius
lo jadian sama Sivia, Vin?” tanya Shilla.
Alvin
berpaling pada gadis itu lalu mengangguk disertai helaan nafas.
“Selamat
ya, Vin!”
“Thanks, Shilla.”
Selesai.
Hanya itu. Alvin yang sekarang memang bukan Alvin yang dulu. Bahkan, Shilla
sudah lama tak mendengar panggilan ‘Tuan Puteri’ dari bibir pemuda itu.
“Lo tahu
darimana kalo Alvin sama Sivia jadian, Cak?” tanya Rio.
“Agni.
Dia chat gue,” kekeh Cakka.
“Kalau
gitu longlast ya, Vin. Gue ikut seneng
dengernya,” ujar Rio dibalas anggukan ringan oleh Alvin.
Tersisalah
Gabriel sebagai satu-satunya orang yang belum mengucapkan apapun pada Alvin.
Namun detik selanjutnya pemuda itu justru beranjak dari posisinya. Awan mendung
menyelimutinya.
“Gue lupa
harus ketemu kepsek dulu,” katanya kemudian berlalu.
Baik
Cakka, Shilla maupun Alvin sama-sama mengernyitkan dahi. Berbeda dengan Rio
yang menatap sendu ke arah sahabatnya. Biar bagaimanapun, ia tahu bahwa Gabriel
terluka.
“Sekolah
mau ada acara kan? Kayaknya Gabriel pusing banget mikirin itu,” kata Rio
memecah keheningan.
“Pantesan
dia kayak nggak bersemangat gitu,” gumam Cakka.
Sebenarnya
Rio mengatakan itu hanya untuk menutup-nutupi.
***
Ify
meletakkan novel yang baru saja dibacanya kemudian mendesah kecewa karena baru
sadar novel itu adalah stok bacaan terakhirnya. Sepertinya ia harus ke toko
buku secepatnya sebelum mati kebosanan. Terdengar berlebihan tapi begitulah.
Gadis itu
terlonjak saat baru menyadari ia tak sendirian di taman belakang ini. Entah
sejak kapan pemuda yang semalam bertandang ke rumahnya sudah bersandar di salah
satu pohon dengan pandangan kosong. Gabriel. Kelas Ify sedang diadakan remedial
kimia sehingga dia bebas kemanapun karena nilainya sempurna. Sementara Gabriel,
bukankah kelasnya ada guru?
“Sejak
kapan lo di sini?” tanya Ify dengan alis yang terangkat sebelah.
Gabriel
tergagap, sepertinya baru sadar kalau Ify sudah selesai dengan novelnya.
“Udah
selesai bacanya?”
Ify
menganggukkan kepala, “Lo bolos?”
“Enggak.
Cuman lagi nyari inspirasi,” sahut Gabriel asal.
“Sangat
berfaedah. Terus ngapain nyarinya di sini? Gue tahu kelas lo ada gurunya.”
Gabriel
menghela nafas berat lalu duduk di sebelah Ify. Raut wajah Gabriel terlihat
putus asa. Wajar, dia baru saja patah
hati.
“Gue
harus gimana, Fy?” tanya Gabriel pelan.
“Jangan
bilang lo jadi canggung sama Alvin,” tebak Ify.
Pemuda
itu membuang nafas dengan kasar. Tanpa ia menjawab pun, Ify tahu yang dikatakanya tepat sasaran. Dia lantas
mengubah posisinya menjadi berhadap-hadapan dengan Gabriel.
“Patah
hati itu nyakitin ya,” gumam Ify.
“Lihat
orang yang kita cintai justru jatuh cinta sama sahabat sendiri lebih nyakitin,
Fy,” sahut Gabriel seakan menggambarkan perasaannya saat ini.
“Gue
tahu,” balas Ify telak.
Ify
menghela nafas panjang. Rasanya ia ikut merasakan sesak yang dialami Gabriel
saat ini.
“Lo
sayang kan sama Sivia?” tanya Ify.
Gabriel
mengangguk, “Sangat.”
“Kalau
gitu, lepasin dia,” kata Ify membuat Gabriel menatapnya.
Bola mata
mereka sempat beradu sampai Ify mengalihkan pandangannya dengan cepat. Ia tahu
reaksi Gabriel akan seperti ini. Baru saja kemarin Ify mendukung penuh ketika
Gabriel ingin menembak Sivia, tapi sekarang dia justru menyuruh pemuda itu
melepaskan.
“Lo
lihat sendiri kan betapa bahagianya dia sekarang? Biarin dia tetap kayak gitu,
Yel. Lo boleh mencintai Sivia, tapi nggak nunjukin itu ke siapapun termasuk ke
Sivia.”
“Kenapa?”
Ify
menggigit bibir bawahnya, “Karena kalau Sivia atau Alvin atau siapapun tahu
tentang perasaan lo, semuanya bakalan kacau. Hubungan lo sama Sivia... semuanya
pasti jadi ada sekat.”
Gabriel
tersenyum kecut. Apa yang diucapkan Ify adalah benar. Jika Sivia tahu
perasaannya, tak ada jaminan hubungan mereka akan baik-baik saja. Belum lagi
dia akan dipandang sebagai teman makan
teman. Terlepas dari itu semua, Gabriel sadar bahwa Ify sedang berusaha
menjaga persahabatan yang baru saja terjalin.
“Gue
tahu, lo peduli sama kami.”
Sayangnya
Gabriel sudah memutuskan untuk membangun sekatnya sendiri.
***
Atas
nama taruhan kemarin, Agni terpaksa mengakui kekalahannya. Bukannya ditraktir,
ini justru dia yang harus mentraktir semangkok bakso untuk Sivia. Memang apes
sekali nasibnya. Ya, siapa yang menyangka bahwa akhirnya Sivia dan Alvin jadian
disaat yang menunjukkan tanda-tanda jadian adalah Rio dan Ify? Pupus sudah
harapan Agni mendapat semangkok bakso.
“Lo
memang sahabat sejiwa, Agniku,” cetus Sivia seraya menuangkan saus ke dalam
mangkuknya.
Agni
melengos, beralih memandang Cakka yang masih geli mendengar kronologis taruhan
Agni dan Sivia. Sementara itu yang lain tampak tenang menikmati santapan
masing-masing.
“Sumarni
mana?” gumam Sivia.
“Nyari
apaan sih lo? Rusuh banget,” ceplos Shilla.
Gadis
yang ditanyai itu masih mencari-cari ‘Sumarni’-nya. Detik berikutnya ia melotot
karena yang ia cari-cari sedari tadi justru berada di tangan Alvin.
“Sumarniiii!
Lo apain Sumarni, Pit? Dia masih perawan! Jangan dipegang-pegang!” jerit Sivia
dengan sangat histeris.
Ify,
Agni dan Shilla serentak menutup telinga. Alvin—si tersangka—melotot tajam
sambil menjauhkan ponsel Sivia dari jangkauan pemilik aslinya, sedangkan Cakka
dan Rio tampak kompak menyoraki gadis itu.
“Bisa
nggak sih lo stop nyebut Sumarni?” protes Agni diangguki yang lain.
“Alviiiinnn!”
seru Sivia lagi tak mempedulikan Agni.
Alvin
mengernyit, menatap Sivia dengan sedikit menaikkan alisnya lalu memasang wajah
datar. “Kenapa sih? Kan yang pinjem cowok sendiri,” katanya posesif.
“Alviiiinnn!
Jangan buka-buka Sumarni ih!”
Mendengar
itu tawa mereka semua meledak sementara Alvin sedikit menutup wajahnya karena
malu. Kalimat Sivia tadi benar-benar ambigu seolah saat ini Alvin tengah
menelanjangi seorang wanita bernama Sumarni. Tentu saja anak-anak di kantin
melirik ke meja mereka, sedangkan Sivia masih merasa tak berdosa.
“Lo mau
meriksa apaan? Gue nggak selingkuh kok kalau lo curiga,” gerutu Sivia dengan
nada frustasi.
“Iyalah.
Makanya gue jadian sama lo, soalnya nggak akan ada yang mau selingkuh sama lo,”
sahut Alvin membuat Sivia ingin menjambak pemuda itu sekarang juga.
“Untung
sayang,” gumam Sivia entah untuk keberapa kalinya.
“Nih deh
gue balikin. Jangan ngambek lagi,” ujar Alvin mengangsurkan ponsel yang
diotak-atik sedari tadi pada Sivia.
Senyum
Sivia mengembang. Ah, akhirnya benda kesayangannya ini dia dapatkan kembali!
Dia lantas memeriksa Sumarni lalu terkejut karena kontak cowok-cowok di
ponselnya sudah raib, kecuali kontak Alvin.
“Kok lo
hapusin sih?!” protes Sivia.
Alvin
nyengir, “Nggak sengaja.”
“Lo
apain lagi ponsel gue?” tanya Sivia menyelidik.
“Cuma
itu kok...”
Sivia
nyaris bernafas lega sebelum akhirnya Alvin membuka suara kembali. “Sama liat
foto-foto aib lo di galeri,” imbuh pemuda itu.
“HAAAHHH?!!!”
Reflek
gadis itu memukul kepalanya sendiri menyaksikan cengiran jenaka Alvin. Ify dan
Agni yang sudah tahu akan isi galeri Sivia tak kuasa menahan tawa. Sumpah, di
dalam galerinya banyak sekali foto-foto aib Sivia yang diambil Ify dan Agni
secara diam-diam. Belum lagi foto aib kiriman dari teman-teman sekelas melalui
grup whatsapp yang langsung tersimpan di galeri. Sivia kembali memukul
kepalanya, ia menyesal tidak memindahkan foto-foto itu ke komputer. Ya, ingin
dia pindahkan karena katanya dibuang sayang.
“Muka lo
anjir banget!” ledek Alvin.
“Kayak
gimana, Vin?” tanya Cakka memancing.
“Kayak
muka Pak Sutrisna kalau lagi ngajar. Mirip manusia purba.”
“Alvin!”
interupsi Sivia.
“Aib
banget?” sambung Shilla.
“Banget,
Shil. Lo lihat aja sendiri.”
“Alvin!”
interupsi Sivia lagi.
Agni dan
Ify masih terus tertawa.
“Kalau
lihat manfaatnya apa?” sahut Rio.
“Diabetes
lo sembuh,” jawab Alvin asal.
Rio
sontak memukul pemuda itu, “Gue nggak punya diabetes tai!”
“Alvin
sayang...,” panggil Sivia dengan nada dibuat lembut.
Barulah
Alvin menoleh pada gadis yang sudah resmi menjadi pacarnya, “Iya? Kenapa?”
“Stop
jatohin pamor gue. Bisa?”
Alvin
benar-benar geli. “Mereka yang mancing-mancing kok, bukan salah gue. Sumpah!”
Kembali
mereka semua tertawa. Dan di tengah-tengah kebahagiaan itu, Gabriel tak
terpengaruh sama sekali. Ia hanya terdiam menikmati makanannya, berkali-kali
merasakan sesuatu meremas hatinya perlahan. Pemuda itu menahan rasa sakit yang
mulai menjalar bebas. Gabriel telah membangun sekatnya.
***
Hari ini
adalah tentang kebahagiaan Sivia. Gabriel meringis, baru sadar bahwa tim
menolak Sivia bahagia tinggal dirinya seorang, sebab yang lain turut berbahagia
atas resminya hubungan Sivia dan Alvin. Hanya Gabriel yang menolak, lebih
tepatnya lagi hatinya yang menolak.
Sejak
pertama kali bertemu dengan Sivia, Gabriel tidak pernah menyangka bahwa pada
akhirnya ia akan jatuh hati pada gadis itu. Apalagi sosok Sivia memang berbeda
jauh dari perempuan-perempuan yang selama ini berada di sekitarnya. Tidak
seperti mamanya yang sosialita, tidak seperti Shilla yang serba sempurna dan
nyaris tak ada cela, tidak pula seperti Angel dan para seleb lain yang
dikenalnya.
Sivia
adalah Sivia, gadis yang sangat apa adanya. Ia mempermalukan dirinya sendiri
tanpa rasa malu, ia menciptakan keceriaan bagi orang-orang di sekitarnya, dan
semua tingkahnya berhasil mencuri seluruh perhatian Gabriel.
Perlahan
Gabriel menyingkir dari mereka semua. Dia butuh satu ruangan yang menyimpan
banyak oksigen untuk dihirup dengan leluasa, setidaknya sampai rasa sesak ini
lenyap tak berbekas. Entah sampai kapan... ia tak tahu.
Di lain
sisi, disaat duka menyelimuti Gabriel seorang, Rio dan Ify justru mulai merajut
kisah mereka. Rio tak mengatakan apa-apa pada Gabriel mengenai rencananya
menembak Ify. Ya, ia akan menyatakan perasaannya pada gadis itu. Sengaja Rio
membungkam bibirnya karena tahu awan mendung itu masih terus menggelayuti
sahabatnya.
“Rio!
Kesambet ya?! Ah sialan, daritadi gue ngomong sendiri,” dengus Ify.
Pemuda
di sebelahnya terkesiap kemudian menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal
sama sekali. Ah, Rio memikirkan dua hal berbeda dalam satu waktu yang sama
sehingga mengabaikan sosok Ify.
“Sori,”
ringis Rio.
Saat ini
mereka berada di halaman belakang rumah Rio. Dia memang sengaja mengajak Ify ke
rumahnya karena mamanya ingin bertemu.
“Jangan
ngalamun makanya. Kalau ngalamun gue tinggal balik,” ancam Ify.
Rio
tertawa ringan, “Iya. By the way, nyokap
kayaknya masih setengah jam lagi sampainya.”
Ify
hanya manggut-manggut. Kata Rio, mamanya juga workholic. Sama persis seperti papanya. Mamanya punya butik dan cafe
yang lumayan besar, tapi beliau lebih sering menghabiskan waktu di butik karena
mamanya sendiri yang merancang desain-desain baju di butiknya. Yang paling
membuat Ify kagum, butik itu sudah memiliki 21 cabang di seluruh indonesia.
“Gue
beneran masih nggak nyangka orang tua kita dulunya sahabatan,” celetuk Ify.
“Sama,”
balas Rio.
“Itu
doang?” tanya Ify.
“Apa
lagi emangnya?”
Gadis
itu berdecak kesal, “Lo tuh kebiasaan ya ngomong irit? Padahal kan udah nggak
anti-sosial lagi. Terus lo juga...”
Rio tak
lagi mendengarkan ucapan Ify. Fokusnya terbagi saat rambut panjang Ify terjatuh
hingga nyaris menutupi wajahnya. Tangan Rio benar-benar gatal hingga tiba-tiba
bergerak menjumput rambut yang menutupi wajah cantik itu lalu menyelipkannya ke
belakang daun telinga Ify.
Sesaat
keduanya menikmati moment ini. Ify
tak lagi bicara, ia sibuk menelusuri wajah Rio yang hanya berjarak 30 cm dari
wajahnya. Dadanya bergemuruh, detak jantungnya berantakan, suhu tubuhnya
berubah. Tuhan, mengapa mereka selalu berada di moment awkward seperti ini?
***
Dug.
Suara
bola basket yang terpental dari ring
mengalihkan perhatian Agni. Gadis itu mengeluh memandang Cakka yang masih betah
memainkan sang orange. Menghabiskan
waktu bersama Cakka berarti bermain basket tiada henti. Sayangnya, saat ini
Agni tak berminat. Maka begitu Cakka mengajaknya ke lapangan indoor, dia memilih untuk duduk di tepi
lapangan seraya mengamati pemuda itu.
“Ayo
dong main!” seru Cakka.
Agni
mencebikkan bibirnya sebal, “Dibilang gue lagi males juga. Mending ke mana gitu
yuk? Gue bisa kering di sini gara-gara kelamaan nungguin lo basket.”
“Gue-elo
nih?” goda Cakka.
“Bodo.
Lagi kesel. Ayolah!”
“Yuk
deh. Gue juga takut lo makan,” balas Cakka membuat Agni melotot tajam ke
arahnya.
Mereka
lantas meninggalkan lapangan indoor.
Sekolah memang sudah sepi sejak dua jam yang lalu.
“Sivia
astaga,” umpat Agni menatap layar ponselnya.
“Kenapa
sama dia?” tanya Cakka.
Agni
kemudian menunjukkan layar ponselnya. Di sana terpampang akun instagram Sivia
yang sudah berganti bio.
Jomblo jaga jarak. –Sivia, pacarnya Alvin
“Itu
bocah makin hari makin sinting,” celetuk Agni.
“Saking sintingnya
sampai bikin Alvin naksir. Heran, padahal kriteria cewek Alvin tuh bukan Sivia
banget lho,” balas Cakka masih tak menyangka bahwa Alvin sudah menjadi pacar
Sivia.
“Kriteria
cewek Alvin kayak gimana emang?” balas Agni.
“Kayak
Shilla,” kata Cakka tak berbohong.
Meskipun
Alvin hanya mendeskripsikan kriteria ceweknya harus cantik, anggun, dan percaya
diri, tapi Cakka merasa sahabatnya tengah mendeskripsikan sosok Shilla.
Lagipula mereka dulu sangat dekat.
“Namanya
juga jatuh cinta, Cak. Sesempurna apapun kriteria yang lo mau, pada hakikatnya
cinta itu tentang rasa, bukan kriteria. Ya, nggak?” sanggah Agni beropini.
Cakka
mengangguk kemudian membukakan pintu mobil untuk Agni. Setelah itu ia membuka
pintu untuk dirinya sendiri dan duduk di belakang kemudi. Apa yang dikatakan
gadis di sebelahnya memang benar, cinta bukan perkara kriteria.
“Kalau
kriteria cowok kamu dulu kayak gimana?” tanya Cakka tetap fokus menyetir.
Pemuda
itu kembali ber-aku kamu.
“Hmm...
cakep, enak dipandang, dan nyambung sama aku. Sederhana banget ya?” balas Agni
seraya terkekeh.
“Wah aku
banget tuh,” balas Cakka pede.
“Sayangnya,
semua cowok di sekitarku pasti punya kriteria itu.”
Pemuda
di sampingnya tampak menggumam, benar juga sih karena selama ini laki-laki yang
ada di sekitar Agni tak kalah tampan dengannya. Selain itu, Agni adalah orang
yang bisa nyambung dengan obrolan apapun.
“Tapi,
sekali lagi. Hakikatnya cinta itu tentang rasa, bukan kriteria,” imbuh Agni
membuat hatinya menghangat.
“Aku
sayang kamu, Ag,” kata Cakka lugas.
“Aku
juga.”
***
Rio
terus mengamati dua sosok wanita yang dicintainya. Ia tersenyum seolah senyum
itu tak akan pudar dari sana. Ya, siapa yang tidak bahagia menyaksikan mamanya
tampak nyaman dengan gadis yang sudah dipilihnya? Mereka langsung akrab meskipun
baru bertemu untuk yang pertama kali.
“Tadi
tuh Tante belanja gitu, tapi sekarang nggak tahu mau masak apa,” curhat
mamanya.
“Mama
belanja?” tanya Rio sangsi.
Wanita
itu menelengkan kepala, tampak bahwa ia baru sadar telah melupakan kehadiran
Rio sedari tadi.
“Iya. Niatnya
kan buat masakin Ify sama kamu, pasti belum pada makan. Si Mbok kan pulang
kampung, katanya sih anaknya sakit,” balas mamanya.
“Emang
Mama bisa masak?” tanya putra semata wayangnya lagi.
Sejurus
kemudian mamanya menggeleng tanpa dosa. Sejak menikah dengan Reon, ia memang
tidak diperbolehkan memasak karena semuanya sudah tersedia. Maka, Rio jelas
heran menghadapi kenyataan bahwa mamanya itu belanja bahan-bahan makanan
padahal tak bisa memasak sama sekali.
“Terus
gimana mau masakin aku sama Ify kalau Mama sendiri nggak bisa masak?” balas Rio
gemas.
Mamanya
hanya bisa nyengir seraya menatap bahan-bahan makanan yang tergeletak di atas
meja dapur—tidak jauh dari posisi sekarang. Jangankan memasak, ke dapur saja
hanya untuk mengambil minum. Begitu sampai di rumah tadi, wanita itu langsung
meletakkan belanjaannya di dapur lalu mencari-cari Rio dan Ify.
“Biar
Ify aja yang masak,” kata Ify menyela.
Sontak Rio
dan mamanya menatap Ify secara bersamaan. Ditatap demikian tentunya membuatnya
rikuh seolah apa yang dikatakan barusan terdengar tidak meyakinkan.
“Ify
nggak terlalu jago masak sih, tapi bisa kok,” katanya lagi.
“Serius,
Fy?” tanya Rio.
Ify
mengangguk, “Mau dimasakin sekarang?”
“Hmm...
kalau gitu Mama mau bantu-bantu Ify. Yuk, Fy! Kamu jangan ganggu ya, Yo! Awas
kalo ngintilin ke dapur!”
Dan
begitulah cara mamanya menguasai Ify. Gadis itu tersenyum ke arah Rio yang
mengerucutkan bibir. Mamanya juga terkekeh lalu memberi kode pada Ify untuk
mengikutinya.
“Masak
apa ya, Fy?” gumam wanita itu menatapi belanjaannya.
Ify
tampak berpikir. Seperti yang dia katakan, dia tidak begitu jago tapi bisa.
Hanya beberapa masakan yang benar-benar ia kuasai.
“Nasi
goreng seafood?” balas Ify.
“Kamu
bisa?”
Ify
menganggukkan kepala dengan yakin.
“Boleh
deh. Rio juga suka banget seafood.”
Meskipun
tidak diijinkan turut serta, Rio justru mengawasi. Sumpah, seumur hidupnya, ini
pertama kali mamanya meluangkan waktu dan memasak. Hanya karena kedatangan Ify.
Sekitar
satu jam kurang kemudian Ify dan mamanya telah menyelesaikan acara masaknya. Mamanya
duduk di sebelah Ify sementara Rio di hadapan gadis itu.
“Sumpahhh
ini enak bangetttt!” seru mamanya setelah menyendokkan nasi goreng seafood
buatannya bersama Ify—meskipun sebenarnya Ify lah yang banyak bekerja.
“Eh iya
enak banget nih,” timpal Rio.
Ify
terkekeh menyaksikan pasangan ibu dan anak itu semangat sekali menghabiskan
makanannya. Hanya menyaksikan mereka saja membuat perut Ify mendadak kenyang.
“Yahh...
ganggu amat sih,” decak Mama Rio tiba-tiba.
“Kenapa,
Tante?” tanya Ify.
“Ini
disuruh buru-buru ke butik. Apa Tante bawa bekal aja ya?” jawab Mama Rio
menatap sayang ke arah piringnya.
“Kalau
gitu biar Ify aja yang siapin.”
Selanjutnya
gadis itu berdiri untuk mengambil rice
box yang sempat ia lihat saat mencari piring. Rio lantas mengernyit ketika
mamanya memandangnya jahil.
“Mama
setuju deh Rio sama Ify. Lulus nanti langsung nikah nggak pa-pa,” goda wanita
itu membuat Rio mendelik.
“Tante
mau seberapa?” tanya Ify yang sudah kembali.
“Yang
penuh ya, Fy. Masakan kamu enak banget.”
Gadis
itu tertawa mendengar ucapan Mama Rio yang menurutnya berlebihan. Toh Ify tak
berkomentar apa-apa kemudian memindahkan nasi goreng seafood ke dalam rice box.
“Ini,
Tante.”
“Kalau
gitu Mama ke butik dulu ya. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, Fy. Dan Rio, jangan
macem-macem karna di rumah nggak ada siapa-siapa,” cerocos wanita itu kemudian
mencium Ify dan Rio secara bergantian.
Sejurus
kemudian dia pergi meninggalkan Rio dan Ify.
“Lo
kenapa nggak makan?” tanya Rio baru sadar kalau Ify diam saja sedari tadi.
“Tiba-tiba
kenyang,” jawab Ify sekenanya.
“Ini
kode ya minta disuapin?” balas Rio kemudian menyendokkan nasi goreng dari
piringnya dan hendak disuapkan pada Ify.
Sejenak
gadis itu menatap sendok itu dengan ragu tapi kemudian membuka mulut.
“Gue ke
kamar bentar ya,” kata Rio seraya meletakkan sendoknya.
Tanpa
berkata-kata lagi, pemuda yang semakin hari tampak sumringah itu meninggalkan
meja makan. Ify menatap kepergian Rio dengan tatapan bingung, dilihatnya
punggung itu semakin jauh lalu menghilang tak berbekas.
***
“Masihkah ada padamu sedikit bayang diriku
Akankah
suatu saat kau berubah pikiran
Dan
kembali...
Memang
kita t’lah jauh rasanya
Memang
kita sudah tak bersama
Jika
memang kita ditakdirkan...”
Detik
selanjutnya Gabriel menggenjreng gitarnya dengan asal-asalan. Ia tak sanggup
melanjutkan lirik lagu yang semakin membuatnya kacau. Sial, dia benar-benar tak
bisa berhenti mengumpat karena otaknya masih saja bekerja untuk Sivia.
Bayangan
tentang Sivia dan dirinya datang berganti bagaikan slide yang menghantui Gabriel setiap saat. Dan setiap pemuda itu
ingin menghentikan tampilan slide
tersebut, justru pergerakan slide itu
semakin cepat, sangat cepat dan tiba-tiba sampai di bagian yang tak ingin ia
ingat sama sekali. Saat Gabriel menyaksikan gadis yang ia cintai sudah memilih
siapa yang berhak berada di sampingnya, dan itu bukan dirinya. Sekali lagi,
hati Gabriel bukan hanya terasa nyeri, tapi juga remuk tak berbentuk.
“Hhhhh.”
Pemuda
itu menghela nafas berat kemudian menyandarkan punggungnya. Kepalanya sangat
pusing.
“Gabriel!”
Gabriel
menoleh, mendapati Shilla sudah berdiri di samping sofa yang ia duduki dengan
wajah cemas. Gadis itu lantas duduk di sebelahnya. Meski bingung, ia tak
mengatakan apa-apa, hanya menyambut Shilla dengan senyum yang dipaksakan. Ia
tidak punya tenaga.
“Wajah
lo pucat banget. Lo kenapa?” lirih
Shilla menatapnya sendu.
“Nggak
syuting?” balas Gabriel tidak nyambung.
Tanpa
mempedulikan pemuda itu, Shilla meletakkan tangannya di dahi Gabriel. Detik
selanjutnya gadis itu terperanjat mendapati suhu tubuh Gabriel tidak normal.
“Ya
ampun! Lo demam!” seru Shilla panik.
“Pantes
tadi Bibi nelpon gue, katanya lo keliatan lemes banget. Kenapa nggak bilang
Bibi sih kalau lo sakit? Terus juga ngapain di sini? Harusnya tuh lo istirahat
di kamar! Ya ampun gue bener-bener nggak ngerti sama lo. Ih kalau diajak
ngomong tuh jangan diem aja!” cerocos Shilla membuat Gabriel tersenyum samar.
“Parah
lu ya! Ayo ke kamar!” omel Shilla.
“Gue
nggak kuat jalan, Shil,” balas Gabriel lemah.
Dia
tidak berbohong. Tenaganya entah hilang ke mana.
“Ya masa
gue gendong elo sih? Hm, gue bantu jalan,” kata Shilla siap memapah Gabriel.
Pemuda
itu menurut kemudian melingkarkan tangan kirinya di bahu Shilla. Shilla
beruntung karena berat badan Gabriel bisa dikatakan ringan—untuk ukuran
laki-laki—sehingga tidak terlalu sulit mengantar pemuda itu ke kamarnya.
Kamar
Gabriel sudah berubah. Terakhir kali Shilla masuk ke kamar ini sudah lama sekali, ia tak ingat kapan tepatnya.
“Lo
tiduran dulu gih, gue ambil kompres,” ujar Shilla seraya keluar.
Beberapa
saat kemudian gadis itu kembali membawa kompres. Lantas ia duduk di tepi
ranjang—tepat di sebelah Gabriel. Setelah memeras handuk kecil yang telah
dibasahi, Shilla memindahkan handuk tersebut ke atas dahi Gabriel dengan
telaten.
“Nah
sekarang lo musti tidur,” kata Shilla memandang puas hasil kerjanya.
Gabriel
tidak membalas sama sekali dan langsung memejamkan matanya.
“Gue ke
bawah dulu,” gumam Shilla.
Saat
hendak beranjak, Shilla termangu menatap tangannya yang sudah berada di
genggaman Gabriel. Pemuda itu masih terpejam.
“Jangan
pergi,” lirih Gabriel sedikit terbata.
Shilla
tertegun kemudian meringis menatap sosok Gabriel yang tampak pucat. Shilla tak
berkata apapun, tapi dia menuruti ucapan pemuda itu untuk tetap berada di kamar
ini. Ia tahu saat ini Gabriel sangat membutuhkannya.
***
Mata Ify
tak berkedip menyaksikan sosok Rio yang saat ini sudah mengenakan tuxedo.
Beberapa menit yang lalu Ify memutuskan untuk menyusul Rio karena pemuda itu
tak kunjung kembali ke meja makan. Setelah mengelilingi rumah yang begitu besar
ini dan tidak mendapati Rio, Ify nyaris putus asa. Tahu-tahu ia mendengar
dentingan piano dari sebuah kamar.
Gadis
itu mengetok pintu berkali-kali, berharap Rio akan membukakan pintu untuknya.
Tapi nihil. Ia lantas memutar kenop pintu tersebut, ah tidak terkunci.
Selanjutnya Ify mendorong pintu itu hingga menciptakan celah untuk dapat
mengintip siapa yang berada di dalam kamar ini. Dan betapa terkejutnya ketika
sadar bahwa Rio lah yang memainkan piano
itu.
Permainan
piano itu berhenti. Rio berdiri kemudian berbalik menatapnya yang masih berdiri
di ambang pintu. Senyum Rio merekah, entah bagaimana caranya pemuda itu
menghipnotis Ify untuk mengunci padangannya. Pemuda itu berubah menjadi
pangeran! Kaos yang dipakainya tadi sudah berubah menjadi tuxedo dengan bagian
lengan yang digulung seperempat. Sementara Ify memang masih mengenakan seragam
sekolahnya.
Rio
menyalakan musik klasik dari tape-nya
lalu semakin memperpendek jarak diantara mereka. Ia mendekati Ify yang masih speechless. Kemudian pemuda itu mengulurkan
tangannya.
“Dansa,”
katanya semakin membuat Ify shock.
“Dansa?”
ulang Ify.
Rio
mengangguk dengan tangan yang masih terulur. Perlahan Ify menerima uluran
tersebut. Kedua tangannya melingkar di leher Rio sementara tangan pemuda itu berada di pinggangnya.
Jarak mereka sangat dekat hingga Ify bisa mencium aroma yang menguar dari tubuh
pemuda itu. Mata mereka saling beradu, menatap satu sama lain, bahkan saling
mengunci. Mendadak gadis cantik tersebut merasakan getaran teramat aneh yang
mengusiknya akhir-akhir ini, jantungnya pun berdebar dahsyat.
Dua
menit. Mereka menghabiskan waktu dua menit dalam posisi tersebut sampai Rio
menghentikannya. Ify mengernyit, heran sekaligus kecewa mengapa ini harus
diakhiri. Rio sendiri tampak menarik nafas panjang lalu menghembuskannya
perlahan.
“Aku
cinta kamu, Fy...”
Detik
itu Ify menahan nafasnya, tak menyangka kalimat tersebut akan dilontarkan
pemuda di hadapannya. Gusar, Ify menatap Rio seolah mencari kepastian apakah ucapan itu sungguh-sungguh
berasal dari dalam hati atau tidak. Dan yang tertangkap oleh kedua iris cantik
itu memang kesungguhan, keseriusan dan kepastian.
“Kamu
tahu nggak Tuhan ciptain kamu dari cinta dan rindu berlebihan? Karena sejak
kenal kamu, cuma dua itu yang aku rasakan,” imbuhnya lalu mengambil jeda
sejenak. “Hm, Aku nggak tahu ini terlalu cepat atau sebaliknya. Aku cuma nggak
mau terlambat seperti Gabriel. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Aku mau
selalu di samping kamu supaya aku nggak perlu merasa rindu. Boleh?”
Ify
melongo. Mendengar kalimat-kalimat yang Rio ucapkan barusan tentu di luar
ekspektasinya—atau mungkin siapapun yang mengenal pemuda itu. Namun Ify diam,
ia tak ingin merusak moment langka
ini.
“Boleh,”
sahut Ify dengan senyum yang tercetak sempurna.
“Hah?”
Kali ini
giliran Rio yang melongo.
“Bisa
diulang?” tanya Rio memastikan pendengarannya.
Ify
terkekeh lalu menubruk tubuh Rio dan memeluknya.
“Boleh,
Rio. Boleh banget.”
Sejurus
kemudian Rio membalas pelukan Ify sangat erat seolah gadis itu miliknya utuh.
Ia tak akan membiarkan gadisnya
disakiti oleh siapapun.
***
Bersambung...
Hah,
tugasku sudah selesai akhirnya semua jadian(?) Ehhehehe gak deng, ini masih
bisa ganti-ganti lho couple-nya :p tar bisa aja Gabriel sama gue(?) ditunggu
komentarnya
2 komentar:
Nungguin selalu ka, kemarin nungguin trus karna penasaran klanjutanya, dan trnyata makin penasaran
Casino Games - MapYRO
Get 원주 출장마사지 directions, reviews and information for Casino Games at MapyRO. Find directions, reviews and information for Casino Games at MapyRO. 양주 출장마사지 MEGA CASINO GAMES 전라남도 출장마사지 AT MOHEGAN 광주 출장안마 CASINO GAMES AT 동두천 출장샵 MOHEGAN CASINO GAMES
Posting Komentar