"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Kamis, 25 Agustus 2016

Cerbung [FF] - When You Hold me part 22

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hai saya kembali! Saya minta maaf kalau lanjutnya lama, kayaknya setelah ini bakal lebih ngaret hehe maklum udah mau masuk kuliah lagi. Saya lagi mikir ini kapan tamat  ya (?)

Hope you like it...

22


Sender: Gabriel
Gue jemput ya
Pesan singkat itu lah yang membuat Shilla akhirnya berdiri di depan rumah setelah melarang sopirnya untuk mengantar ke sekolah seperti biasa. Ia juga sedang malas menyetir sendiri. Selain itu, tidak biasanya Gabriel menjemput Shilla atas kemauannya. Biasanya Shilla yang akan meminta tolong pada pemuda tersebut.
Tak lama kemudian, mobil yang ditunggunya tiba. Shilla buru-buru masuk ke mobil Gabriel karena memang pemuda itu tak pernah turun terlebih dahulu jika menjemputnya. Bukan karena malas, tapi karena Shilla yang menyuruhnya. Menurut Shilla, tak ada gunanya juga Gabriel turun dari mobil.
“Ini bunga siapa?” tanya Shilla mendapati bucket mawar saat membuka pintu.
Gabriel menoleh, tampak sedikit terkesiap.
“Buat elo,” jawab Gabriel pelan.
Shilla membuka mulutnya tak percaya, “Bercanda ya?”
“Enggak. Emang buat elo kok. Ayo cepet masuk biar kita nggak telat,” kilah Gabriel.
Mau tak mau Shilla memindahkan bucket mawar tersebut ke pangkuannya. Demi neptunus, rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik. Ini pertama kalinya Gabriel memberinya bucket mawar.
“Dalam rangka apa nih?” tanya Shilla penasaran.
Gabriel yang fokus menyetir menoleh sekilas.
“Dalam rangka... syuting lo kelar,” jawab Gabriel membuat Shilla manggut-manggut di tempatnya.
Gadis itu tak tahu bahwa selanjutnya Gabriel mendesah kasar, berusaha tenang agar tak terlihat mencurigakan. Ia tak mungkin mengatakan pada gadis baik di sebelahnya bahwa ia lupa membuang bucket mawar itu karena seharusnya bunga tersebut untuk Sivia. Gabriel terpaksa berbohong.
“Makasih ya. Gue suka banget,” ujar Shilla tak henti membelai kelopak-kelopak mawar yang masih tampak segar.
“Sama-sama.”
Suasana di dalam mobil mendadak senyap. Kalau boleh jujur, Gabriel mengajak Shilla berangkat bersama hanya karena tak ingin terperangkap dalam kesepian. Ia tak mau otaknya terus bekerja mengingat Sivia. Dan bukan salah Gabriel jika orang yang dipilihnya untuk menemani kesunyian ini adalah Shilla.
“Lo kenapa, Yel? Kok agak beda?” cetus Shilla.
Gabriel menoleh lagi, kali ini menatap Shilla dengan jelas karena kebetulan sekali mereka berada di lampu merah. Pemuda itu menggelengkan kepala dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
I’m ok. Gimana kabar orang tua lo?” balas Gabriel.
“Entah,” sahut Shilla seraya mengedikkan bahu.
“Nggak ada bedanya kayak dulu,” imbuhnya pelan.
Reflek Gabriel menarik tangan Shilla, menggenggamnya erat seakan memberi kekuatan. Saat itu pula Shilla merasa aliran darahnya melaju cepat dari ujung kepala ke ujung kaki. Gadis itu tak bisa berkata-kata.
Sampai lampu merah berubah menjadi hijau, Gabriel melajukan mobilnya dengan satu tangan untuk menyetir dan satu tangan lagi masih tetap menggenggam tangan Shilla. Ia tak berniat melepaskan sama sekali. Dalam hati, Gabriel mengira bahwa kesepian yang dialaminya kini sama dengan kesepian yang dirasakan gadis di sebelahnya.
***
Sepertinya tim menolak Sivia bahagia yang mulai eksis itu senang menciptakan kegemparan setiap harinya, kini lagi-lagi semuanya terulang. Para siswa menganga lebar saat melihat Sivia dan Alvin datang dengan bergandeng tangan. Tak hanya itu, Sivia bahkan menyandarkan kepalanya di bahu Alvin. Yang lebih mengejutkan, Alvin yang terkenal paling jutek tidak merasa risih sama sekali.
“Asik gue jadi pusat perhatian,” kekeh Sivia.
Alvin mengelus puncak kepala Sivia kemudian menjitaknya pelan.
“Brisik.”
Ah, pemuda ini meskipun sudah resmi menjadi kekasihnya tetap saja sikapnya tak berubah. Untung sayang, begitu kata Sivia.
“Nganterin gue ke kelas?” tanya Sivia.
“Kalo mau ke kelas gue kan harus ngelewatin kelas lo bego,” jawab Alvin.
Sivia nyengir. Ternyata dia yang terlalu pede. Dia pikir Alvin akan mengantarnya ke kelas kemudian membuat orang-orang berteriak histeris.
“Kenapa gue jadi menjijikkan gini sih?” batin Sivia.
Sesampainya di kelas, dia dan Alvin kembali menjadi pusat perhatian.
“Gue ke kelas dulu,” kata Alvin sambil mengacak-acak puncak kepala Sivia.
“Iyeee! Sono ke kelas!” usir Sivia sebelum dia jadi bahan ledekan. Ia yakin pipinya sudah merona karena ulah pemuda ini.
Alvin tertawa kecil lalu tanpa disangka-sangka pemuda itu mengecup ringan kening Sivia dan meninggalkannya tanpa sepatah kata. Teman-teman yang menyaksikan sudah berteriak histeris sementara dia masih terpaku.
“SIVIAAAA! MESUM ANJIRRR!!!”
“SUBHANALLAH SIVIA AKHIRNYA DICIUM COWOK JUGA!!”
Gadis itu tak terpengaruh dengan teriakan-teriakan tersebut. Ia justru memegangi keningnya seraya berjalan masuk ke dalam kelas.
“Lo jadian sama Alvin, Siv?” tanya Debo.
Sivia tersenyum lebar, “IYA!”
“Waahhh selamat!” seru Debo kemudian menyalami.
Detik selanjutnya teman-teman sekelas lainnya ikut menyelamati. Sumpah, Sivia berjanji seharian ini ia akan tersenyum tiada henti. Terserah mau dikata gila atau apa! Sivia terlanjur bahagia.
Di sampingnya, Ify sudah lebih dulu sampai. Ia juga menyaksikan ‘kemesraan’ Alvin-Sivia di depan pintu kelas barusan. Ify ikut senang.
***
“WAHHH INI NIH SAHABAT KITA YANG JADIAN TAPI NGGAK BILANG-BILANG!” teriak Cakka begitu sosok Alvin tiba di kelas.
Shilla mengernyit, “Alvin jadian sama siapa?”
“Sivia. Parah ya lu, Vin! Masa nggak bilang-bilang! Tapi selamat deh!” seloroh Cakka lalu merangkul bahu Alvin. Laki-laki itu tersenyum tipis.
Gabriel membuang pandangannya ke arah lain, sementara Rio mulai paham mengapa Gabriel sedikit aneh hari ini. Semalam Gabriel tidak  mengabarkan apa-apa padanya. Ify pun ikut menghilang. Paginya saat Rio menjemput Ify, gadis itu hanya mengatakan bahwa nanti dia akan tahu sendiri.
“Kan ini lo juga udah tahu,” sahut Alvin.
“Serius lo jadian sama Sivia, Vin?” tanya Shilla.
Alvin berpaling pada gadis itu lalu mengangguk disertai helaan nafas.
“Selamat ya, Vin!”
Thanks, Shilla.”
Selesai. Hanya itu. Alvin yang sekarang memang bukan Alvin yang dulu. Bahkan, Shilla sudah lama tak mendengar panggilan ‘Tuan Puteri’ dari bibir pemuda itu.
“Lo tahu darimana kalo Alvin sama Sivia jadian, Cak?” tanya Rio.
“Agni. Dia chat gue,” kekeh Cakka.
“Kalau gitu longlast ya, Vin. Gue ikut seneng dengernya,” ujar Rio dibalas anggukan ringan oleh Alvin.
Tersisalah Gabriel sebagai satu-satunya orang yang belum mengucapkan apapun pada Alvin. Namun detik selanjutnya pemuda itu justru beranjak dari posisinya. Awan mendung menyelimutinya.
“Gue lupa harus ketemu kepsek dulu,” katanya kemudian berlalu.
Baik Cakka, Shilla maupun Alvin sama-sama mengernyitkan dahi. Berbeda dengan Rio yang menatap sendu ke arah sahabatnya. Biar bagaimanapun, ia tahu bahwa Gabriel terluka.
“Sekolah mau ada acara kan? Kayaknya Gabriel pusing banget mikirin itu,” kata Rio memecah keheningan.
“Pantesan dia kayak nggak bersemangat gitu,” gumam Cakka.
Sebenarnya Rio mengatakan itu hanya untuk menutup-nutupi.
***
Ify meletakkan novel yang baru saja dibacanya kemudian mendesah kecewa karena baru sadar novel itu adalah stok bacaan terakhirnya. Sepertinya ia harus ke toko buku secepatnya sebelum mati kebosanan. Terdengar berlebihan tapi begitulah.
Gadis itu terlonjak saat baru menyadari ia tak sendirian di taman belakang ini. Entah sejak kapan pemuda yang semalam bertandang ke rumahnya sudah bersandar di salah satu pohon dengan pandangan kosong. Gabriel. Kelas Ify sedang diadakan remedial kimia sehingga dia bebas kemanapun karena nilainya sempurna. Sementara Gabriel, bukankah kelasnya ada guru?
“Sejak kapan lo di sini?” tanya Ify dengan alis yang terangkat sebelah.
Gabriel tergagap, sepertinya baru sadar kalau Ify sudah selesai dengan novelnya.
“Udah selesai bacanya?”
Ify menganggukkan kepala, “Lo bolos?”
“Enggak. Cuman lagi nyari inspirasi,” sahut Gabriel asal.
“Sangat berfaedah. Terus ngapain nyarinya di sini? Gue tahu kelas lo ada gurunya.”
Gabriel menghela nafas berat lalu duduk di sebelah Ify. Raut wajah Gabriel terlihat putus asa. Wajar, dia  baru saja patah hati.
“Gue harus gimana, Fy?” tanya Gabriel pelan.
“Jangan bilang lo jadi canggung sama Alvin,” tebak Ify.
Pemuda itu membuang nafas dengan kasar. Tanpa ia menjawab pun, Ify  tahu yang dikatakanya tepat sasaran. Dia lantas mengubah posisinya menjadi berhadap-hadapan dengan Gabriel.
“Patah hati itu nyakitin ya,” gumam Ify.
“Lihat orang yang kita cintai justru jatuh cinta sama sahabat sendiri lebih nyakitin, Fy,” sahut Gabriel seakan menggambarkan perasaannya saat ini.
“Gue tahu,” balas Ify telak.
Ify menghela nafas panjang. Rasanya ia ikut merasakan sesak yang dialami Gabriel saat ini.
“Lo sayang kan sama Sivia?” tanya Ify.
Gabriel mengangguk, “Sangat.”
“Kalau gitu, lepasin dia,” kata Ify membuat Gabriel menatapnya.
Bola mata mereka sempat beradu sampai Ify mengalihkan pandangannya dengan cepat. Ia tahu reaksi Gabriel akan seperti ini. Baru saja kemarin Ify mendukung penuh ketika Gabriel ingin menembak Sivia, tapi sekarang dia justru menyuruh pemuda itu melepaskan.
“Lo lihat sendiri kan betapa bahagianya dia sekarang? Biarin dia tetap kayak gitu, Yel. Lo boleh mencintai Sivia, tapi nggak nunjukin itu ke siapapun termasuk ke Sivia.”
“Kenapa?”
Ify menggigit bibir bawahnya, “Karena kalau Sivia atau Alvin atau siapapun tahu tentang perasaan lo, semuanya bakalan kacau. Hubungan lo sama Sivia... semuanya pasti jadi ada sekat.”
Gabriel tersenyum kecut. Apa yang diucapkan Ify adalah benar. Jika Sivia tahu perasaannya, tak ada jaminan hubungan mereka akan baik-baik saja. Belum lagi dia akan dipandang sebagai teman makan teman. Terlepas dari itu semua, Gabriel sadar bahwa Ify sedang berusaha menjaga persahabatan yang baru saja terjalin.
“Gue tahu, lo peduli sama kami.”
Sayangnya Gabriel sudah memutuskan untuk membangun sekatnya sendiri.
***
Atas nama taruhan kemarin, Agni terpaksa mengakui kekalahannya. Bukannya ditraktir, ini justru dia yang harus mentraktir semangkok bakso untuk Sivia. Memang apes sekali nasibnya. Ya, siapa yang menyangka bahwa akhirnya Sivia dan Alvin jadian disaat yang menunjukkan tanda-tanda jadian adalah Rio dan Ify? Pupus sudah harapan Agni mendapat semangkok bakso.
“Lo memang sahabat sejiwa, Agniku,” cetus Sivia seraya menuangkan saus ke dalam mangkuknya.
Agni melengos, beralih memandang Cakka yang masih geli mendengar kronologis taruhan Agni dan Sivia. Sementara itu yang lain tampak tenang menikmati santapan masing-masing.
“Sumarni mana?” gumam Sivia.
“Nyari apaan sih lo? Rusuh banget,” ceplos Shilla.
Gadis yang ditanyai itu masih mencari-cari ‘Sumarni’-nya. Detik berikutnya ia melotot karena yang ia cari-cari sedari tadi justru berada di tangan Alvin.
“Sumarniiii! Lo apain Sumarni, Pit? Dia masih perawan! Jangan dipegang-pegang!” jerit Sivia dengan sangat histeris.
Ify, Agni dan Shilla serentak menutup telinga. Alvin—si tersangka—melotot tajam sambil menjauhkan ponsel Sivia dari jangkauan pemilik aslinya, sedangkan Cakka dan Rio tampak kompak menyoraki gadis itu.
“Bisa nggak sih lo stop nyebut Sumarni?” protes Agni diangguki yang lain.
“Alviiiinnn!” seru Sivia lagi tak mempedulikan Agni.
Alvin mengernyit, menatap Sivia dengan sedikit menaikkan alisnya lalu memasang wajah datar. “Kenapa sih? Kan yang pinjem cowok sendiri,” katanya posesif.
“Alviiiinnn! Jangan buka-buka Sumarni ih!”
Mendengar itu tawa mereka semua meledak sementara Alvin sedikit menutup wajahnya karena malu. Kalimat Sivia tadi benar-benar ambigu seolah saat ini Alvin tengah menelanjangi seorang wanita bernama Sumarni. Tentu saja anak-anak di kantin melirik ke meja mereka, sedangkan Sivia masih merasa tak berdosa.
“Lo mau meriksa apaan? Gue nggak selingkuh kok kalau lo curiga,” gerutu Sivia dengan nada frustasi.
“Iyalah. Makanya gue jadian sama lo, soalnya nggak akan ada yang mau selingkuh sama lo,” sahut Alvin membuat Sivia ingin menjambak pemuda itu sekarang juga.
“Untung sayang,” gumam Sivia entah untuk keberapa kalinya.
“Nih deh gue balikin. Jangan ngambek lagi,” ujar Alvin mengangsurkan ponsel yang diotak-atik sedari tadi pada Sivia.
Senyum Sivia mengembang. Ah, akhirnya benda kesayangannya ini dia dapatkan kembali! Dia lantas memeriksa Sumarni lalu terkejut karena kontak cowok-cowok di ponselnya sudah raib, kecuali kontak Alvin.
“Kok lo hapusin sih?!” protes Sivia.
Alvin nyengir, “Nggak sengaja.”
“Lo apain lagi ponsel gue?” tanya Sivia menyelidik.
“Cuma itu  kok...”
Sivia nyaris bernafas lega sebelum akhirnya Alvin membuka suara kembali. “Sama liat foto-foto aib lo di galeri,” imbuh pemuda itu.
“HAAAHHH?!!!”
Reflek gadis itu memukul kepalanya sendiri menyaksikan cengiran jenaka Alvin. Ify dan Agni yang sudah tahu akan isi galeri Sivia tak kuasa menahan tawa. Sumpah, di dalam galerinya banyak sekali foto-foto aib Sivia yang diambil Ify dan Agni secara diam-diam. Belum lagi foto aib kiriman dari teman-teman sekelas melalui grup whatsapp yang langsung tersimpan di galeri. Sivia kembali memukul kepalanya, ia menyesal tidak memindahkan foto-foto itu ke komputer. Ya, ingin dia pindahkan karena katanya dibuang sayang.
“Muka lo anjir banget!” ledek Alvin.
“Kayak gimana, Vin?” tanya Cakka memancing.
“Kayak muka Pak Sutrisna kalau lagi ngajar. Mirip manusia purba.”
“Alvin!” interupsi Sivia.
“Aib banget?” sambung Shilla.
“Banget, Shil. Lo lihat aja sendiri.”
“Alvin!” interupsi Sivia lagi.
Agni dan Ify masih terus tertawa.
“Kalau lihat manfaatnya apa?” sahut Rio.
“Diabetes lo sembuh,” jawab Alvin asal.
Rio sontak memukul pemuda itu, “Gue nggak punya diabetes tai!”
“Alvin sayang...,” panggil Sivia dengan nada dibuat lembut.
Barulah Alvin menoleh pada gadis yang sudah resmi menjadi pacarnya, “Iya? Kenapa?”
“Stop jatohin pamor gue. Bisa?”
Alvin benar-benar geli. “Mereka yang mancing-mancing kok, bukan salah gue. Sumpah!”
Kembali mereka semua tertawa. Dan di tengah-tengah kebahagiaan itu, Gabriel tak terpengaruh sama sekali. Ia hanya terdiam menikmati makanannya, berkali-kali merasakan sesuatu meremas hatinya perlahan. Pemuda itu menahan rasa sakit yang mulai menjalar bebas. Gabriel telah membangun sekatnya.
***
Hari ini adalah tentang kebahagiaan Sivia. Gabriel meringis, baru sadar bahwa tim menolak Sivia bahagia tinggal dirinya seorang, sebab yang lain turut berbahagia atas resminya hubungan Sivia dan Alvin. Hanya Gabriel yang menolak, lebih tepatnya lagi hatinya yang menolak.
Sejak pertama kali bertemu dengan Sivia, Gabriel tidak pernah menyangka bahwa pada akhirnya ia akan jatuh hati pada gadis itu. Apalagi sosok Sivia memang berbeda jauh dari perempuan-perempuan yang selama ini berada di sekitarnya. Tidak seperti mamanya yang sosialita, tidak seperti Shilla yang serba sempurna dan nyaris tak ada cela, tidak pula seperti Angel dan para seleb lain yang dikenalnya.
Sivia adalah Sivia, gadis yang sangat apa adanya. Ia mempermalukan dirinya sendiri tanpa rasa malu, ia menciptakan keceriaan bagi orang-orang di sekitarnya, dan semua tingkahnya berhasil mencuri seluruh perhatian Gabriel.
Perlahan Gabriel menyingkir dari mereka semua. Dia butuh satu ruangan yang menyimpan banyak oksigen untuk dihirup dengan leluasa, setidaknya sampai rasa sesak ini lenyap tak berbekas. Entah sampai kapan... ia tak tahu.
Di lain sisi, disaat duka menyelimuti Gabriel seorang, Rio dan Ify justru mulai merajut kisah mereka. Rio tak mengatakan apa-apa pada Gabriel mengenai rencananya menembak Ify. Ya, ia akan menyatakan perasaannya pada gadis itu. Sengaja Rio membungkam bibirnya karena tahu awan mendung itu masih terus menggelayuti sahabatnya.
“Rio! Kesambet ya?! Ah sialan, daritadi gue ngomong sendiri,” dengus Ify.
Pemuda di sebelahnya terkesiap kemudian menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal sama sekali. Ah, Rio memikirkan dua hal berbeda dalam satu waktu yang sama sehingga mengabaikan sosok Ify.
“Sori,” ringis Rio.
Saat ini mereka berada di halaman belakang rumah Rio. Dia memang sengaja mengajak Ify ke rumahnya karena mamanya ingin bertemu.
“Jangan ngalamun makanya. Kalau ngalamun gue tinggal balik,” ancam Ify.
Rio tertawa ringan, “Iya. By the way, nyokap kayaknya masih setengah jam lagi sampainya.”
Ify hanya manggut-manggut. Kata Rio, mamanya juga workholic. Sama persis seperti papanya. Mamanya punya butik dan cafe yang lumayan besar, tapi beliau lebih sering menghabiskan waktu di butik karena mamanya sendiri yang merancang desain-desain baju di butiknya. Yang paling membuat Ify kagum, butik itu sudah memiliki 21 cabang di seluruh indonesia.
“Gue beneran masih nggak nyangka orang tua kita dulunya sahabatan,” celetuk Ify.
“Sama,” balas Rio.
“Itu doang?” tanya Ify.
“Apa lagi emangnya?”
Gadis itu berdecak kesal, “Lo tuh kebiasaan ya ngomong irit? Padahal kan udah nggak anti-sosial lagi. Terus lo juga...”
Rio tak lagi mendengarkan ucapan Ify. Fokusnya terbagi saat rambut panjang Ify terjatuh hingga nyaris menutupi wajahnya. Tangan Rio benar-benar gatal hingga tiba-tiba bergerak menjumput rambut yang menutupi wajah cantik itu lalu menyelipkannya ke belakang daun telinga Ify.
Sesaat keduanya menikmati moment ini. Ify tak lagi bicara, ia sibuk menelusuri wajah Rio yang hanya berjarak 30 cm dari wajahnya. Dadanya bergemuruh, detak jantungnya berantakan, suhu tubuhnya berubah. Tuhan, mengapa mereka selalu berada di moment awkward seperti ini?
***
Dug.
Suara bola basket yang terpental dari ring mengalihkan perhatian Agni. Gadis itu mengeluh memandang Cakka yang masih betah memainkan sang orange. Menghabiskan waktu bersama Cakka berarti bermain basket tiada henti. Sayangnya, saat ini Agni tak berminat. Maka begitu Cakka mengajaknya ke lapangan indoor, dia memilih untuk duduk di tepi lapangan seraya mengamati pemuda itu.
“Ayo dong main!” seru Cakka.
Agni mencebikkan bibirnya sebal, “Dibilang gue lagi males juga. Mending ke mana gitu yuk? Gue bisa kering di sini gara-gara kelamaan nungguin lo basket.”
“Gue-elo nih?” goda Cakka.
“Bodo. Lagi kesel. Ayolah!”
“Yuk deh. Gue juga takut lo makan,” balas Cakka membuat Agni melotot tajam ke arahnya.
Mereka lantas meninggalkan lapangan indoor. Sekolah memang sudah sepi sejak dua jam yang lalu.
“Sivia astaga,” umpat Agni menatap layar ponselnya.
“Kenapa sama dia?” tanya Cakka.
Agni kemudian menunjukkan layar ponselnya. Di sana terpampang akun instagram Sivia yang sudah berganti bio.
Jomblo jaga jarak. –Sivia, pacarnya Alvin
“Itu bocah makin hari makin sinting,” celetuk Agni.
“Saking sintingnya sampai bikin Alvin naksir. Heran, padahal kriteria cewek Alvin tuh bukan Sivia banget lho,” balas Cakka masih tak menyangka bahwa Alvin sudah menjadi pacar Sivia.
“Kriteria cewek Alvin kayak gimana emang?” balas Agni.
“Kayak Shilla,” kata Cakka tak berbohong.
Meskipun Alvin hanya mendeskripsikan kriteria ceweknya harus cantik, anggun, dan percaya diri, tapi Cakka merasa sahabatnya tengah mendeskripsikan sosok Shilla. Lagipula mereka dulu sangat dekat.
“Namanya juga jatuh cinta, Cak. Sesempurna apapun kriteria yang lo mau, pada hakikatnya cinta itu tentang rasa, bukan kriteria. Ya, nggak?” sanggah Agni beropini.
Cakka mengangguk kemudian membukakan pintu mobil untuk Agni. Setelah itu ia membuka pintu untuk dirinya sendiri dan duduk di belakang kemudi. Apa yang dikatakan gadis di sebelahnya memang benar, cinta bukan perkara kriteria.
“Kalau kriteria cowok kamu dulu kayak gimana?” tanya Cakka tetap fokus menyetir.
Pemuda itu kembali ber-aku kamu.
“Hmm... cakep, enak dipandang, dan nyambung sama aku. Sederhana banget ya?” balas Agni seraya terkekeh.
“Wah aku banget tuh,” balas Cakka pede.
“Sayangnya, semua cowok di sekitarku pasti punya kriteria itu.”
Pemuda di sampingnya tampak menggumam, benar juga sih karena selama ini laki-laki yang ada di sekitar Agni tak kalah tampan dengannya. Selain itu, Agni adalah orang yang bisa nyambung dengan obrolan apapun.
“Tapi, sekali lagi. Hakikatnya cinta itu tentang rasa, bukan kriteria,” imbuh Agni membuat hatinya menghangat.
“Aku sayang kamu, Ag,” kata Cakka lugas.
“Aku juga.”
***
Rio terus mengamati dua sosok wanita yang dicintainya. Ia tersenyum seolah senyum itu tak akan pudar dari sana. Ya, siapa yang tidak bahagia menyaksikan mamanya tampak nyaman dengan gadis yang sudah dipilihnya? Mereka langsung akrab meskipun baru bertemu untuk yang pertama kali.
“Tadi tuh Tante belanja gitu, tapi sekarang nggak tahu mau masak apa,” curhat mamanya.
“Mama belanja?” tanya Rio sangsi.
Wanita itu menelengkan kepala, tampak bahwa ia baru sadar telah melupakan kehadiran Rio sedari tadi.
“Iya. Niatnya kan buat masakin Ify sama kamu, pasti belum pada makan. Si Mbok kan pulang kampung, katanya sih anaknya sakit,” balas mamanya.
“Emang Mama bisa masak?” tanya putra semata wayangnya lagi.
Sejurus kemudian mamanya menggeleng tanpa dosa. Sejak menikah dengan Reon, ia memang tidak diperbolehkan memasak karena semuanya sudah tersedia. Maka, Rio jelas heran menghadapi kenyataan bahwa mamanya itu belanja bahan-bahan makanan padahal tak bisa memasak sama sekali.
“Terus gimana mau masakin aku sama Ify kalau Mama sendiri nggak bisa masak?” balas Rio gemas.
Mamanya hanya bisa nyengir seraya menatap bahan-bahan makanan yang tergeletak di atas meja dapur—tidak jauh dari posisi sekarang. Jangankan memasak, ke dapur saja hanya untuk mengambil minum. Begitu sampai di rumah tadi, wanita itu langsung meletakkan belanjaannya di dapur lalu mencari-cari Rio dan Ify.
“Biar Ify aja yang masak,” kata Ify menyela.
Sontak Rio dan mamanya menatap Ify secara bersamaan. Ditatap demikian tentunya membuatnya rikuh seolah apa yang dikatakan barusan terdengar tidak meyakinkan.
“Ify nggak terlalu jago masak sih, tapi bisa kok,” katanya lagi.
“Serius, Fy?” tanya Rio.
Ify mengangguk, “Mau dimasakin sekarang?”
“Hmm... kalau gitu Mama mau bantu-bantu Ify. Yuk, Fy! Kamu jangan ganggu ya, Yo! Awas kalo ngintilin ke dapur!”
Dan begitulah cara mamanya menguasai Ify. Gadis itu tersenyum ke arah Rio yang mengerucutkan bibir. Mamanya juga terkekeh lalu memberi kode pada Ify untuk mengikutinya.
“Masak apa ya, Fy?” gumam wanita itu menatapi belanjaannya.
Ify tampak berpikir. Seperti yang dia katakan, dia tidak begitu jago tapi bisa. Hanya beberapa masakan yang benar-benar ia kuasai.
“Nasi goreng seafood?” balas Ify.
“Kamu bisa?”
Ify menganggukkan kepala dengan yakin.
“Boleh deh. Rio juga suka banget seafood.”
Meskipun tidak diijinkan turut serta, Rio justru mengawasi. Sumpah, seumur hidupnya, ini pertama kali mamanya meluangkan waktu dan memasak. Hanya karena kedatangan Ify.
Sekitar satu jam kurang kemudian Ify dan mamanya telah menyelesaikan acara masaknya. Mamanya duduk di sebelah Ify sementara Rio di hadapan gadis itu.
“Sumpahhh ini enak bangetttt!” seru mamanya setelah menyendokkan nasi goreng seafood buatannya bersama Ify—meskipun sebenarnya Ify lah yang banyak bekerja.
“Eh iya enak banget nih,” timpal Rio.
Ify terkekeh menyaksikan pasangan ibu dan anak itu semangat sekali menghabiskan makanannya. Hanya menyaksikan mereka saja membuat perut Ify mendadak kenyang.
“Yahh... ganggu amat sih,” decak Mama Rio tiba-tiba.
“Kenapa, Tante?” tanya Ify.
“Ini disuruh buru-buru ke butik. Apa Tante bawa bekal aja ya?” jawab Mama Rio menatap sayang ke arah piringnya.
“Kalau gitu biar Ify aja yang siapin.”
Selanjutnya gadis itu berdiri untuk mengambil rice box yang sempat ia lihat saat mencari piring. Rio lantas mengernyit ketika mamanya memandangnya jahil.
“Mama setuju deh Rio sama Ify. Lulus nanti langsung nikah nggak pa-pa,” goda wanita itu membuat Rio mendelik.
“Tante mau seberapa?” tanya Ify yang sudah kembali.
“Yang penuh ya, Fy. Masakan kamu enak banget.”
Gadis itu tertawa mendengar ucapan Mama Rio yang menurutnya berlebihan. Toh Ify tak berkomentar apa-apa kemudian memindahkan nasi goreng seafood ke dalam rice box.
“Ini, Tante.”
“Kalau gitu Mama ke butik dulu ya. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, Fy. Dan Rio, jangan macem-macem karna di rumah nggak ada siapa-siapa,” cerocos wanita itu kemudian mencium Ify dan Rio secara bergantian.
Sejurus kemudian dia pergi meninggalkan Rio dan Ify.
“Lo kenapa nggak makan?” tanya Rio baru sadar kalau Ify diam saja sedari tadi.
“Tiba-tiba kenyang,” jawab Ify sekenanya.
“Ini kode ya minta disuapin?” balas Rio kemudian menyendokkan nasi goreng dari piringnya dan hendak disuapkan pada Ify.
Sejenak gadis itu menatap sendok itu dengan ragu tapi kemudian membuka mulut.
“Gue ke kamar bentar ya,” kata Rio seraya meletakkan sendoknya.
Tanpa berkata-kata lagi, pemuda yang semakin hari tampak sumringah itu meninggalkan meja makan. Ify menatap kepergian Rio dengan tatapan bingung, dilihatnya punggung itu semakin jauh lalu menghilang tak berbekas.
***
“Masihkah  ada padamu sedikit bayang diriku
Akankah suatu saat kau berubah pikiran
Dan kembali...
Memang kita t’lah jauh rasanya
Memang kita sudah tak bersama
Jika memang kita ditakdirkan...”
Detik selanjutnya Gabriel menggenjreng gitarnya dengan asal-asalan. Ia tak sanggup melanjutkan lirik lagu yang semakin membuatnya kacau. Sial, dia benar-benar tak bisa berhenti mengumpat karena otaknya masih saja bekerja untuk Sivia.
Bayangan tentang Sivia dan dirinya datang berganti bagaikan slide yang menghantui Gabriel setiap saat. Dan setiap pemuda itu ingin menghentikan tampilan slide tersebut, justru pergerakan slide itu semakin cepat, sangat cepat dan tiba-tiba sampai di bagian yang tak ingin ia ingat sama sekali. Saat Gabriel menyaksikan gadis yang ia cintai sudah memilih siapa yang berhak berada di sampingnya, dan itu bukan dirinya. Sekali lagi, hati Gabriel bukan hanya terasa nyeri, tapi juga remuk tak berbentuk.
“Hhhhh.”
Pemuda itu menghela nafas berat kemudian menyandarkan punggungnya. Kepalanya sangat pusing.
“Gabriel!”
Gabriel menoleh, mendapati Shilla sudah berdiri di samping sofa yang ia duduki dengan wajah cemas. Gadis itu lantas duduk di sebelahnya. Meski bingung, ia tak mengatakan apa-apa, hanya menyambut Shilla dengan senyum yang dipaksakan. Ia tidak punya tenaga.
“Wajah lo pucat banget.  Lo kenapa?” lirih Shilla menatapnya sendu.
“Nggak syuting?” balas Gabriel tidak nyambung.
Tanpa mempedulikan pemuda itu, Shilla meletakkan tangannya di dahi Gabriel. Detik selanjutnya gadis itu terperanjat mendapati suhu tubuh Gabriel tidak normal.
“Ya ampun! Lo demam!” seru Shilla panik.
“Pantes tadi Bibi nelpon gue, katanya lo keliatan lemes banget. Kenapa nggak bilang Bibi sih kalau lo sakit? Terus juga ngapain di sini? Harusnya tuh lo istirahat di kamar! Ya ampun gue bener-bener nggak ngerti sama lo. Ih kalau diajak ngomong tuh jangan diem aja!” cerocos Shilla membuat Gabriel tersenyum samar.
“Parah lu ya! Ayo ke kamar!” omel Shilla.
“Gue nggak kuat jalan, Shil,” balas Gabriel lemah.
Dia tidak berbohong. Tenaganya entah hilang ke mana.
“Ya masa gue gendong elo sih? Hm, gue bantu jalan,” kata Shilla siap memapah Gabriel.
Pemuda itu menurut kemudian melingkarkan tangan kirinya di bahu Shilla. Shilla beruntung karena berat badan Gabriel bisa dikatakan ringan—untuk ukuran laki-laki—sehingga tidak terlalu sulit mengantar pemuda itu ke kamarnya.
Kamar Gabriel sudah berubah. Terakhir kali Shilla masuk ke kamar ini sudah lama sekali, ia tak ingat kapan tepatnya.
“Lo tiduran dulu gih, gue ambil kompres,” ujar Shilla seraya keluar.
Beberapa saat kemudian gadis itu kembali membawa kompres. Lantas ia duduk di tepi ranjang—tepat di sebelah Gabriel. Setelah memeras handuk kecil yang telah dibasahi, Shilla memindahkan handuk tersebut ke atas dahi Gabriel dengan telaten.
“Nah sekarang lo musti tidur,” kata Shilla memandang puas hasil kerjanya.
Gabriel tidak membalas sama sekali dan langsung memejamkan matanya.
“Gue ke bawah dulu,” gumam Shilla.
Saat hendak beranjak, Shilla termangu menatap tangannya yang sudah berada di genggaman Gabriel. Pemuda itu masih terpejam.
“Jangan pergi,” lirih Gabriel sedikit terbata.
Shilla tertegun kemudian meringis menatap sosok Gabriel yang tampak pucat. Shilla tak berkata apapun, tapi dia menuruti ucapan pemuda itu untuk tetap berada di kamar ini. Ia tahu saat ini Gabriel sangat membutuhkannya.
***
Mata Ify tak berkedip menyaksikan sosok Rio yang saat ini sudah mengenakan tuxedo. Beberapa menit yang lalu Ify memutuskan untuk menyusul Rio karena pemuda itu tak kunjung kembali ke meja makan. Setelah mengelilingi rumah yang begitu besar ini dan tidak mendapati Rio, Ify nyaris putus asa. Tahu-tahu ia mendengar dentingan piano dari sebuah kamar.
Gadis itu mengetok pintu berkali-kali, berharap Rio akan membukakan pintu untuknya. Tapi nihil. Ia lantas memutar kenop pintu tersebut, ah tidak terkunci. Selanjutnya Ify mendorong pintu itu hingga menciptakan celah untuk dapat mengintip siapa yang berada di dalam kamar ini. Dan betapa terkejutnya ketika sadar bahwa Rio lah  yang memainkan piano itu.
Permainan piano itu berhenti. Rio berdiri kemudian berbalik menatapnya yang masih berdiri di ambang pintu. Senyum Rio merekah, entah bagaimana caranya pemuda itu menghipnotis Ify untuk mengunci padangannya. Pemuda itu berubah menjadi pangeran! Kaos yang dipakainya tadi sudah berubah menjadi tuxedo dengan bagian lengan yang digulung seperempat. Sementara Ify memang masih mengenakan seragam sekolahnya.
Rio menyalakan musik klasik dari tape-nya lalu semakin memperpendek jarak diantara mereka. Ia mendekati Ify yang masih speechless. Kemudian pemuda itu mengulurkan tangannya.
“Dansa,” katanya semakin membuat Ify shock.
“Dansa?” ulang Ify.
Rio mengangguk dengan tangan yang masih terulur. Perlahan Ify menerima uluran tersebut. Kedua tangannya melingkar di leher Rio sementara  tangan pemuda itu berada di pinggangnya. Jarak mereka sangat dekat hingga Ify bisa mencium aroma yang menguar dari tubuh pemuda itu. Mata mereka saling beradu, menatap satu sama lain, bahkan saling mengunci. Mendadak gadis cantik tersebut merasakan getaran teramat aneh yang mengusiknya akhir-akhir ini, jantungnya pun berdebar dahsyat.
Dua menit. Mereka menghabiskan waktu dua menit dalam posisi tersebut sampai Rio menghentikannya. Ify mengernyit, heran sekaligus kecewa mengapa ini harus diakhiri. Rio sendiri tampak menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
“Aku cinta kamu, Fy...”
Detik itu Ify menahan nafasnya, tak menyangka kalimat tersebut akan dilontarkan pemuda di hadapannya. Gusar, Ify menatap Rio seolah mencari  kepastian apakah ucapan itu sungguh-sungguh berasal dari dalam hati atau tidak. Dan yang tertangkap oleh kedua iris cantik itu memang kesungguhan, keseriusan dan kepastian.
“Kamu tahu nggak Tuhan ciptain kamu dari cinta dan rindu berlebihan? Karena sejak kenal kamu, cuma dua itu yang aku rasakan,” imbuhnya lalu mengambil jeda sejenak. “Hm, Aku nggak tahu ini terlalu cepat atau sebaliknya. Aku cuma nggak mau terlambat seperti Gabriel. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Aku mau selalu di samping kamu supaya aku nggak perlu merasa rindu. Boleh?”
Ify melongo. Mendengar kalimat-kalimat yang Rio ucapkan barusan tentu di luar ekspektasinya—atau mungkin siapapun yang mengenal pemuda itu. Namun Ify diam, ia tak ingin merusak moment langka ini.
“Boleh,” sahut Ify dengan senyum yang tercetak sempurna.
“Hah?”
Kali ini giliran Rio yang melongo.
“Bisa diulang?” tanya Rio memastikan pendengarannya.
Ify terkekeh lalu menubruk tubuh Rio dan memeluknya.
“Boleh, Rio. Boleh banget.”
Sejurus kemudian Rio membalas pelukan Ify sangat erat seolah gadis itu miliknya utuh. Ia tak akan membiarkan gadisnya disakiti oleh siapapun.
***
Bersambung...

Hah, tugasku sudah selesai akhirnya semua jadian(?) Ehhehehe gak deng, ini masih bisa ganti-ganti lho couple-nya :p tar bisa aja Gabriel sama gue(?) ditunggu komentarnya

2 komentar:

@adi.permana mengatakan...

Nungguin selalu ka, kemarin nungguin trus karna penasaran klanjutanya, dan trnyata makin penasaran

sagaryanik mengatakan...

Casino Games - MapYRO
Get 원주 출장마사지 directions, reviews and information for Casino Games at MapyRO. Find directions, reviews and information for Casino Games at MapyRO. 양주 출장마사지 MEGA CASINO GAMES 전라남도 출장마사지 AT MOHEGAN 광주 출장안마 CASINO GAMES AT 동두천 출장샵 MOHEGAN CASINO GAMES

Posting Komentar