"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 20 April 2018

Unplanned Moments: Pertama Kali Ketemu Ify

Selamat malam, readers!

Entah apa yang membuat saya akhirnya memutuskan mengisi blog kembali setelah sekian lama. Sejujurnya, saya nggak tahu apakah masih ada yang mau buka blog ini atau tidak hehehe

But, ya sudah. Saya lupakan soal itu.

Dan yah... seperti judul. Unplanned moments. Di sini saya akan menceritakan pertemuan pertama saya dengan Ify Alyssa, penginspirasi.

Sejujurnya lagi, sudah lama saya melupakan list impian untuk bertemu Ify. Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali sangat berharap bisa ketemu Ify. Bagi saya, dia semakin mengudara, saya semakin support, dan cukup. Bertemu atau tidak, saya akan tetap support dia.

Namun ternyata ada kabar lain. Ify ada acara di Semarang. Tanpa pikir panjang, saya mendaftar. Padahal belum tahu juga datang atau tidak. Saya juga tidak banyak bicara soal hal ini. Hanya beberapa teman dekat yang tahu sebab itu tadi, saya belum bisa menjanjikan kepastian. Hari pun silih berganti sampai tiba di hari H.

Tanggal 14 April 2018 adalah salah satu hari terberat. Gimana nggak? Di hari H acara, saya masih belum tahu apa saya harus datang atau tidak. Kondisi nggak memungkinkan. Flu berat, suara bindeng, udara panas, jarak yang cukup jauh. Tapi, pada akhirnya saya membuat keputusan untuk datang meskipun masih diselimuti keraguan. Sebelum itu saya memutuskan sholat dhuha, membuat komitmen dengan Tuhan bahwa apapun yang terjadi nanti (bertemu Ify atau tidak), saya harus bahagia. Kemudian saya pamit "mau main" ke orang tua. Tidak berani mengatakan akan bertemu Ify. Takut apa yang saya katakan hanya berakhir di mulut.

Selama perjalanan pun, saya nggak tenang. Bahkan, sempat-sempatnya saya dzikir di atas motor tanpa sepengetahuan teman saya (kalo dia baca, dia sekarang jadi tahu hehehe). Bukan karena jauhnya rumah saya dengan tempat acara karena berbeda kota. Tapi, rasanya seperti.... "serius nih mau ketemu, Ify? Balik aja apa ya?"

Dari rumah, saya nggak bawa apa-apa. Bingung juga mau bawa apa. Sempat tanya-tanya sama teman-teman yang sering bertemu Ify. Ada yang menyarankan tidak usah bawa apa-apa, ada yang menyarankan bawa makanan khas, ada juga yang menyarankan bawa cemilan yang bikin kenyang. Akhirnya saya mampir ke bread t*lk, beli cemilan untuk Ify.

Sekitar jam 12 saya sholat di musholla. Lagi-lagi berdoa, saya bilang ke Tuhan kalau memang hari ini adalah waktu yang paling tepat bertemu Ify, maka lancarkanlah. Permudahlah. Tapi jika sebaliknya, saya nggak akan marah.

Jam 1 saya sampai di tempat acara. Sudah banyak yang antri. Saya yang malas panas-panasan karena sudah panas-panasan berjam-jam selama perjalanan, akhirnya memilih melipir duduk. Rasanya masih nggak tenang. Tiba-tiba ada mobil lewat, saya lihat di belakang ada cewek, saya pikir Ify. TERNYATA BUKAN. Geli, karena saya sudah heboh. Saya ketawa. Ketawain diri sendiri yang 'segininya' mendadak halu. Kemudian ada mobil lagi. Saya sudah nggak mau ngira itu Ify karena malu. Dan pas ada yang turun, TERNYATA MEMANG IFY!!!

Deg-degan.

Itu Ify. Asli. Nyata. Ify yang selama ini saya lihat di TV. Ify yang saya jadikan inspirasi dalam berkarya. Saya mau nangis. Jarak tempat saya duduk dan parkirnya mobil Ify cukup dekat. Saya buru-buru ambil hp, ingin mengabadikan moment pertama kali mata saya menangkap sosok Ify. Sayangnya, Ify keburu masuk.

Setelah itu, saya baru mau ikut ngantri panas-panasan untuk masuk. Muka saya yang udah item, semakin kelam. Ya, maklum, nggak make up, panas-panasan dari rumah, ditambah panas-panasan ngantri. Kepala makin nyut-nyutan. Soalnya saya paling nggak bisa dijemur lama-lama. Bukan takut hitam (toh emang udah hitam hm), tapi takut pusing.

Jam dua kurang registrasi baru dibuka. Pas giliran saya, nggak tahu kenapa semakin nervous. Ingin pulang. Seperti belum siap ketemu Ify. Nulis undian pun gemetaran. Tapi akhirnya masuk juga dan beruntung dapat tempat duduk nomor dua, sedangkan dua mas-mas yang antri di depan saya malah duduk di belakang saya.

Acara cukup lama nggak dimulai. Saya sibuk chat sama temen-temen IFC sambil merasa eneg karena iklan BBM*ji diputar terus menerus. Ketawanya Natasha Wilona bukannya membuat saya tenang malah semakin menambah ke-nervous-an saya(?). Sampai pada akhirnya, acara dimulai.

Nama Ify disebutkan. Diundang untuk segera menuju stage. Tahu gimana detak jantung saya? Seperti lagi jatuh cinta. Haha. Nggak deng. Beda. Seriously, ini beda. Lebih dari itu. Menemukan sesuatu yang selama sepuluh tahun kita kira nggak akan pernah nyata. Saya mau nangis. Lagi.

Sesi pertama Ify menyanyikan dua lagu. Inikah Cinta dan Best Part. Saya rekam, lalu dengan kegoblogan saya, saya salah pencet karena gemetar. Untung cuma di lagu pertama. Selanjutnya saya nggak bisa kedip melihat Ify. Bener-bener fokus karena untuk hari itu, saya sudah membayar mahal. Acaranya memang gratis, tapi perjuangan saya buat duduk di antara peserta acara jelas lebih mahal dari segalanya. Tidak akan ada yang sanggup beli hehe.

Sesi kedua, Ify menyanyikan tiga lagu. Wind, Andai Dia Tahu, dan Gitar. Saya ikut nyanyi sambil merekam. Saya sudah hafal sama semua lagu yang dinyanyikan Ify. Beberapa kali Ify lihat saya, mungkin nggak sengaja hm. Saya? Senang banget donggg! Pertama ketemu langsung dinyanyikan lima lagu. Hehehe. Saya nggak berhenti senyum dan ketawa.

Sebelum akhir acara, ada pengumuman pemenang kuis. Saya sudah pede dan bilang ke temen saya, "Aku udah siap maju loh."

Nama saya ternyata beneran dipanggil. Fanni Salma. Sayang, saya nggak sempat merekam ekspresi Ify waktu itu. Apa dia inget saya seperti kata temen-temen IFC? Saya kurang tahu karena dia sepertinya nggak ingat. Ya sudah, saya juga kurang suka diingat. Yang jelas, saya maju. Di antara host dan speakers. Ada Ify juga.

Saya mau banget sebelahan sama Ify. Tapi malah sebelahan sama Yoga & juru bicara BBM huhu. Tapi senang juga karena selama di depan, saya dibecandain Yoga & Kak Ghieta lama banget. Lumayan merasakan ketawa bareng Ify (fan-_-). Dapat kesempatan foto bareng juga (sayang nggak punya fotonya). Bahkan, waktu pemenang utama dipanggil, saya nggak boleh turun. Ikut foto lagi. Pas turun, saya salaman dong sama Ify. Makasih, Kak!!! 😭❤

Akhir acara, Randy nyanyi lagu Closer. Dia undang semua fansnya buat maju. Oh iya, Randy humble sekali. Bahas dia dikit yaaa. Dia bener-bener wara-wiri nyamperin fansnya di belakang, bikin saya kebagian bolak-balik mandangin dia dari deket. Waktu di depan pun, pas salaman, dia bilang "selamat" ke saya sambil agak nunduk. Keringetnya banyak. Ingin ngelap jadinya (abaikan!).

Back to Ify. Jadi, habis itu, semuanya disuruh ke depan buat bikin video. Ify yang sudah berdiri di sana langsung dikerubungi. Pada minta selfie. Setelah bikin video, Ify masih aja dikerubungi. Saya nggak ikut. Tahu apa yang saya lakuin?

BENGONG MANDANGIN IFY.

IYA!!!

Saya nggak berani ndusel. Takut melenyapkan kebahagiaan mereka yang sedang asik sama Ify. Nggak deng. Bus penuh aja saya nggak mau naik, apalagi nyelip buat selfie. Jadinya, saya nungguin mereka selfie & bikin video. Kampretnya, Ify malah ditarik-tarik disuruh buru-buru. Saya belom foto oi!!!

Beruntung ada penyelamat. Temen saya. Dia, dengan jiwa pahlawannya nyamper Ify dan bilang, "Foto dulu, Fy!". Akhirnya dapat foto. Tapi jelek. Makanya saya nggak mau share di IG ataupun di sini. Nanti aja kalau kepepet. Kemudian, saya buru-buru ngasih bread t*lk. Ify nerima meskipun buru-buru dan bilang, "Makasih yaaa!". Lalu ikut crew.

Setelahnya, saya ketemu Shafa. Dia IFC Jogja. Dateng jauh-jauh cuma karna mau ketemu saya eh nggak deng, ketemu Ify maksudnya. Dia sedih karena cuma dapet selfie sekali dan blur. Saya? Lebih sedih.

Shafa inisiatif mau nunggu Ify di parkiran. Saya nunggu temen di toilet. Ternyata Ify masih di dalem resto dan dia baru mau keluar, tapi dicegat lagi. Pas temen udah keluar dari toilet, saya ajak dia ikut nyamper Ify. Lagi-lagi saya nunggu antrian foto sambil berharap dapat foto bagus yang bisa dipajang di instagram kayak orang-orang atau minimal bisa saya cetak. Sayangnya, harapan lenyap lagi.

Timnya Ify nggak sabar, minta Ify buru-buru. Katanya, "Ini terakhir ya!" padahal saya masih ngantri. Dengan bodo amat, saya pun ndusel. Dapet foto kilat. Nggak bagus tapi lebih bagus dari sebelumnya. Btw maapin ya, Fy. Pas lihat fotonya, aku baru sadar nindih tangan kamu._.

Setelah itu, Ify pamit. Dia bener-bener pulang. Saya yang mau pulang pun ketemu Shafa lagi. Mukanya makin ditekuk karena kecewa nggak dapat foto. Sayangnya, saya nggak bisa bantu.

Saya dan temen saya pun nggak langsung pulang. Kami mampir sholat. Nggak lupa saya berucap terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan. Saya dan temen saya pun mampir ke Simpang cukup lama, nunggu jemputan saya. Kami pisah di sana. Sekitar setengah sebelas kurang, saya baru sampai rumah. Paginya, Ify post foto hadiah dari saya.

Selanjutnya, gimana perasaan saya?

Saya nggak tahu. Saya bahagia akhirnya bisa bertemu Ify dengan segala keterbatasan yang ada. Tapi, saya juga nggak bisa memungkiri betapa sedihnya saya kehilangan satu impian saya yang telah menjadi nyata; ketemu Ify.

Lucu memang.

Tapi, inti dari semuanya adalah... unplanned moments are always better than planned ones (ngutip quotes favorit Ify). Demi apapun, saya pernah mati-matian menginginkan posisi orang lain yang bisa dengan mudahnya ketemu Ify, saya pernah seambisi itu. Padahal saya tahu mereka bisa ketemu pun karena usaha. Dan saat keinginan itu mulai memudar, saya justru punya kesempatan bertemu dengan Ify.
Saya sadar sesuatu.
Kita selalu menginginkan waktu yang cepat, padahal Tuhan selalu punya "waktu yang tepat".

Saya nggak kecewa hanya karena tidak punya foto bagus dengan Ify. Saya nggak kecewa hanya karena tidak sempat mengobrol dengan Ify. Saya nggak kecewa karena tidak sempat mengenalkan diri secara langsung di hadapan Ify.
Kenapa?
Karena saya sudah berkomitmen. Saya harus bahagia. Butuh sepuluh tahun untuk bertemu dengan Ify (dalam waktu beberapa jam), lalu saya mau merusaknya dengan mudah hanya karena hal sepele? Jelas saya nggak mau. Seperti kata Kak Trisil, taking moment more than taking picture.

Meskipun sebenernya, ada beberapa hal penting yang ingin saya sampaikan. Sayangnya, nggak bisa saya bahas secara umum di sini.

Telepas dari itu, semoga kita bisa bertemu di "waktu yang tepat" selanjutnya ya, Fy. Sukses terus untuk kamu :)

Rabu, 08 Maret 2017

Cerbung [FF] - When You Hold Me special part

Halo guys!!! Setelah sekian lama akhirnya terlaksana juga untuk bikin special part yang sebenernya nggak penting-penting banget. Tapi semoga bisa memenuhi keinginan kalian. Terima kasih sekali lagi yang selalu menunggu WYHM :”)



Hope you like it...



Special Part


“IYEEELLL BAKSO GUE!!!” jerit Sivia histeris menyaksikan bakso terakhirnya berpindah dari mangkoknya ke perut kekasihnya.
Gabriel nyengir, “Lo kan tahu gue kurang asupan gizi makanya gue makan.”
“Kurang asupan gizi apaan lu?” nyolot Sivia.
Gabriel memang kurus. Tapi bukan karena kurang asupan gizi, melainkan turunan dari papanya. Tak ayal Sivia memprotes.
“Lo berdua udah mau nikah masih kayak bocah, urusan bakso aja rusuh banget,” celetuk Alvin membuat Sivia kembali menyalahkan Gabriel.
Shilla reflek menggelengkan kepalanya, “Nggak kebayang gue kalo kalian punya anak. Ntar di meja makan jadi kontes rebutan lauk.”
“Rencananya emang begitu, Shil,” sahut Gabriel jahil.
Setelah sekian lama sibuk dengan urusan masing-masing, tim menolak Sivia bahagia memang kembali mengadakan reunian kecil. Tak disangka-sangka sudah lima tahun berlalu dihitung sejak Rio pergi ke Aussie. Banyak hal yang terjadi. Mulai dari hal kecil seperti satu kelas di kelas XII sampai kedua orang tua Shilla yang memutuskan rujuk hingga akhirnya membuat gadis itu berhenti dari dunia entertain. Lulus dari Budi Karya, jalan yang mereka ambil pun berbeda-beda. Shilla banting setir ke dunia psikologi dan aktif dalam kegiatan sosial apapun, Alvin dan Gabriel ke dunia bisnis, Cakka mengambil jurusan dokter, Agni mengikuti jejak ayahnya mengambil jurusan pendidikan, Sivia memutuskan kuliah fashion design dan terakhir, Ify. Sesuai perjanjiannya dengan Bu Maryam, Ify mendapat beasiswa kuliah di Aussie. Meskipun saat itu sama-sama berada di Aussie, Rio dan Ify tidak pernah bertemu sama sekali karena padatnya jadwal mereka.
Rio sibuk dengan albumnya, Ify sibuk dengan kuliahnya. Selain itu, Ify berhasil menyelesaikan kuliahnya lebih cepat sehingga setelah semuanya selesai, dia kembali ke Indonesia. Kabar terbaru lainnya, Sivia baru saja dilamar oleh Gabriel meskipun belum secara resmi. Rio yang mendapat kabar itu pun sampai terkejut.
“Ify! Fokus terus nih sama notebook,” celetuk Agni.
“Eh—maaf maaf,” balas Ify seraya nyengir.
“Kayaknya bentar lagi kelar tuh. Ngelanjutin novel kan?” tanya Cakka yang kebetulan tau mengenai project terbaru gadis itu.
“Iya, Cak,” sahut Ify lalu menutup notebook-nya.
“Bikin novel apa, Fy?” tanya Shilla.
“Iseng aja ini kok.”
“Gak percaya gue mah kalo iseng, mana ada iseng tapi sampai fokus banget,” seloroh Alvin membuat Ify nyengir.
“Paling nulis drama cintanya sama Rio,” tebak Sivia.
“Tahu aja lo,” kekeh Ify.
Best seller dah ntar,” celetuk Agni.
“Gue yang pertama beli deh, Fy,” kata Gabriel.
Ify hanya tertawa kecil.
“Pulang-pulang dari Aussie ntar si Rio dapet novel fenomenal. Kesenengan tuh pasti,” canda Shilla.
“Tu anak semena-mena banget pergi lima tahun nggak pulang-pulang sama sekali. Waktu di Aussie kalian nggak ketemu sama sekali juga kan? Parah parah,” ceplos Cakka diangguki yang lain.
“Dia masih suka ngabarin lo kan?” tanya Shilla.
Ify mengangguk, “Ngabarin tapi nggak bisa sering-sering. Tahu sendirilah karirnya lagi bagus-bagusnya. Gue maklum kok.”
Siapa yang menyangka bahwa seorang Rio yang dulunya sangat kaku, penurut sampai-sampai rela mengubur mimpinya berubah jadi sosok Rio yang baru? Meskipun lima tahun tak bertemu tapi kabar pemuda itu selalu terdengar di media-media. Single-nya melejit hebat dan kemungkinan itulah yang menjadi alasan mengapa dia belum juga pulang. Fans-nya membludak. Bahkan, Sivia yang sengaja pamer bahwa Rio ini sahabatnya jadi sempat tenar di kampusnya.
What? Dia mau konser di sini?” pekik Agni menatap ponselnya.
Sontak semua sahabat-sahabatnya menoleh.
“Siapa?” tanya Gabriel bingung.
“Rio cuy! Rio mau konser di sini!” jawab Agni menaikkan volume bicaranya.
“Mana? Lihat lihat lihat,” kata Sivia kemudian menyambar ponsel Agni.
Terpampang sebuah artikel mengenai kabar terbaru seorang penyanyi muda terkenal bernama Rio. Pemuda itu memang sengaja menjadikan nama panggilannya sebagai nama panggung. Hanya terdiri dari tiga suku kata.
“Seperti rencana akhir tahun lalu, dalam akhir bulan ini Rio akan mengadakan konser di Indonesia...” ucapan Sivia menggantung karena gadis itu terlanjur melotot tajam.
“AKHIR BULAN?! INI KAN UDAH AKHIR BULAN!” pekiknya.
“Fy, lo tahu kabar ini?” tanya Sivia.
Ify menggeleng pelan, “Terakhir dia nelpon gue itu sebulan yang lalu. Dia cuma bilang lagi sibuk banget karna ada tour.”
“Telpon ke nomornya!” seru Shilla.
Alvin pun langsung bereaksi. Dia menyambar ponselnya yang tergeletak tak berdaya kemudian mencari deretan nomor milik Rio. Setelah ketemu, ditelponnya pemuda itu. Beberapa kali mencoba, Alvin akhirnya mendesah kecewa.
“Ponselnya mati.”
Ify dan yang lain menghela nafas panjang.
“Anjir! Sialan itu bocah! Dia ngadain konser akhir bulan ini dan nggak ada satupun dari kita yang dikasih tahu?” gemas Gabriel.
“Kayaknya kita harus sering-sering nyari info sendiri nih daripada nunggu dia ngabarin duluan,” timpal Agni.
“Parah dia parah. Awas aja nggak gue undang ke acara lamaran gue sama Gabriel,” ancam Sivia percuma karena toh objek yang dibicarakan tidak mendengarnya.
“Ya udahlah, kita tunggu aja kabar dari dia. Mungkin sekarang lagi sibuk banget jadi belum sempet ngabarin,” ujar Ify menengahi.
“Atau mungkin juga dia nggak akan sempet ketemu kita jadi nggak ngabarin,” imbuh Shilla membuat spekulasi sendiri.
Semuanya menatap gadis itu dengan pelototan tajam, termasuk Ify. Entah mengapa ucapan barusan membuat mereka berpikir macam-macam. Shilla sendiri nyengir, dia tidak bermaksud begitu.
***
Lima tahun...
Pemuda ini tersenyum getir kemudian meraih note-nya yang tergeletak di atas nakas. Jemarinya mulai bergerak membuka halaman pertama. Matanya kontan menyipit dengan sudut bibir terangkat, ah... foto tim menolak Sivia bahagia saat di bandara. Foto itu selalu disimpannya. Halaman kedua, sudut bibir itu semakin terangkat tinggi. Fotonya bersama gadis yang teramat dia cintai.
Tak disangka-sangka, sudah lima tahun bumi terasa lebih kosong dari biasanya. Lima tahun itu pula dia berjuang melawan kekosongan ini, menahan segala hasrat untuk mengakhiri sepi dengan kembali pada gadis itu. Ia ingin pulang. Tapi tak semudah yang dibayangkan. Kontrak kerjanya membuat Rio—ya, pemuda itu—harus tetap bertahan.
Rio menarik nafas panjang lalu menghembuskan perlahan. Sisa halaman-halaman itu hanya berisi lagu yang dia ciptakan. Dari seluruh lagu itu, ada satu lagu teramat spesial. Lagu yang didedikasikannya untuk Ify. Tiba-tiba Rio teringat percakapannya dengan Matthew kemarin.
“Ah, lagu ciptaanmu juga?”
Rio terlonjak karena tak sadar akan kedatangan Matthew. Pemuda itu hanya mengangguk kecil. Matthew berbicara dalam bahasa inggris.
“Liriknya manis sekali. Kenapa tidak kau tunjukkan padaku?” tanya Matthew lagi.
“Lagu ini untuk seseorang,” jawab Rio membuat Matthew mengerling.
“Pantas saja kau selalu menolak gadis-gadis cantik yang berusaha mendekatimu.”
Rio meringis. Popularitas membuatnya didekati banyak gadis, bahkan beberapa kali media sempat ingin membuat huru hara mengenai dirinya dengan para gadis itu, beruntung Matthew dapat meng-handle sehingga pemuda itu bersih dari segala gosip. Lagipula Matthew tidak suka jika Rio terkenal  karena gosip tak jelas. Sayangnya Rio memang tak pernah bercerita mengenai Ify pada pria itu.
“Ayolah ceritakan padaku tentang dirinya. Pasti dia sangat hebat sekali karena berhasil menaklukanmu,” gurau Matthew.
“Namanya Ify. Cinta pertama sekaligus pacar pertama,” kata Rio membuat Matthew terbelalak.
“Kau bercanda? Rio yang sangat terkenal baru pacaran sekali?”
“Tidak. Maksudku, aku serius.”
Matthew geleng-geleng kepala, “Aku jadi ingin mengenalnya.”
“Jangan. Nanti kau jatuh cinta,” balas Rio kemudian terkekeh geli.
Matthew ikut terkekeh.
“Apa dia tahu tentang konsermu di Indonesia?” tanya Matthew.
“Tidak ada yang aku beritahu kecuali orang tuaku dan orang tuanya. Aku sengaja menghilang untuk memberi kejutan,” jawab Rio tersenyum misterius.
“Matt, boleh aku membuat acara di konserku sendiri?” imbuhnya.
“Sepertinya aku tahu sesuatu. Kalau begitu, kuharap lagu ciptaanmu itu kau nyanyikan di Indonesia. Nanti akan kurundingkan dengan mereka mengenai penggarapan single itu,” cerocos Matthew membuat Rio menganga.
“Apa? Single?” pekik pemuda itu.
Matthew tersenyum, “Ya. Single. Kalau begitu aku pergi dulu.”
Pria itu beranjak dari duduknya. Baru satu langkah, Matthew kembali menoleh ke arah Rio yang masih tak percaya bahwa lagu yang diciptakannya untuk Ify akan menjadi single. Padahal Matthew baru membaca liriknya saja.
“Satu lagi. Jangan lupa kenalkan aku pada kekasihmu.”
Menyanyikan lagu ciptaannya untuk Ify di depan semua orang yang menonton konsernya. Ah, membayangkannya saja membuat Rio deg-degan setengah mati. Padahal ia menantikan hal itu sekian lama. Rio jadi bertanya-tanya apakah sahabat-sahabatnya dan juga Ify sudah membaca artikel mengenai konsernya. Kalau sudah, pasti mereka tengah bersumpah serapah. Biarlah. Sekali-kali mengejutkan mereka. Lagipula, Rio ingin balas dendam karena Gabriel mencuri start dengan melamar Sivia meskipun masih secara sepihak.
***
Sender: Irva
Oh My God Ify... gue punya kabar bagus banget buat lo. Pihak penerbit setuju buat nerbitin naskah lo!! And you know? Mereka sangat suka bahkan katanya kalo bisa mau diangkat ke layar lebar!
Deretan kalimat itu berhasil membuat Ify tersedak minumannya. Sekali lagi mata cantik itu mengerjap, ragu dengan apa yang dibacanya. Ketika sadar bahwa pesan yang dikirimkan oleh Irva bukan halusinasi, Ify kembali meneguk minumannya tanpa mengalihkan pandangan ke arah layar ponsel. Tak ada yang berubah dari rangkaian kalimat tersebut. Itu artinya ini nyata. Naskah yang dia garap selama dua bulan ini akan segera beredar di toko buku.
“Kak! Woi!”
Ify tersentak lalu mendongak, “Eh elo, Zy. Ngagetin banget.”
“Lo aja yang kebanyakan ngalamun,” sahut seseorang yang tak lain adalah Ozy.
Adiknya itu kini kuliah di UI jurusan kedokteran. Hal yang teramat di luar nalar Ify sebab sejak dulu Ozy tidak begitu suka belajar. Keputusan untuk masuk kedokteran pun diambilnya saat sudah duduk di kelas XII. Meskipun begitu, Ify tetap bangga pada adiknya.
“Papa sama Mama mana?” tanya Ozy seraya menyomot kue sus di atas piring.
“Nggak tahu. Gue belom ketemu sama sekali. Lo nggak ada kuliah?” balas Ify.
Ozy menelan sisa kue sus-nya. “Libur. Eh denger-denger, Kak Rio mau pulang ya?”
Mendengar itu, Ify meletakkan ponselnya dan menatap Ozy dengan pandangan yang sulit diartikan. Sejurus kemudian gadis itu menghela nafas kemudian mengedikkan bahunya.
“Nggak tahu deh,” jawab Ify sekenanya.
“Ye. Lo pacarnya bukan sih? Masa nggak tahu?” ceplos Ozy.
Ify meringis. Tiba-tiba pertanyaan itu merasuk ke hatinya. Sebenarnya, dia itu pacar Rio atau bukan? Dia sendiri bingung. Tidak pernah ada kata putus diantara mereka. Tapi, lima tahun yang sudah berlalu ini membuatnya berpikir seolah-olah semuanya sudah berakhir. Ify sibuk dengan karirnya, begitu pun Rio hingga membuat pemuda itu seringkali menghilang tanpa diduga. Pernah selama enam bulan pemuda itu tidak memberinya kabar apapun lalu tiba-tiba Rio menelponnya, menanyakan kabar, menanyakan sahabat-sahabat, dan sudah... hanya sebatas itu.
“Eh lo kenapa?” cetus Ozy bingung.
“Gue bingung, Zy. Sebenernya gue masih jadi pacar dia apa nggak sih?” curhat Ify akhirnya.
Sejak adiknya itu SMA entah mengapa Ozy menjadi tempat ternyaman untuk curhat. Mungkin karena perjalanan hidup membuat pemuda kecil itu tumbuh semakin dewasa dengan pemikiran yang ikut dewasa pula.
“Kok nanyanya gitu? Kalian kan emang pacaran,” sahut Ozy.
Ify mendesah kesal, “Lima tahun ini rasanya berat banget. Gue ngerasa dia lupa kalo gue ini masih pacarnya. Bahkan, konser yang di Indonesia ini aja dia nggak cerita apapun sama gue. Kayak gitu pacar?”
Ozy tertawa kecil, “Kak Rio doang ya yang bisa bikin lo labil begini. Bukannya dulu lo percaya banget sama dia? Bukannya lo sendiri yang nyuruh dia jangan pulang sampai impiannya tercapai? Ah,bukannya lo juga yang bilang seribu tahun pun lo akan selalu nunggu?”
Sejurus kemudian Ify diam seribu bahasa. Gadis itu mulai merutuki dirinya sendiri begitu Ozy menyadarkan semua itu padanya. Iya, dia percaya pada Rio. Iya, dia sendiri yang melarang Rio pulang sampai impiannya jadi nyata. Dan iya, seribu tahun pun dia akan tetap menanti Rio. Bahkan ini baru lima tahun. Kenapa baru sekarang Ify ragu?
“Kak,” panggil Ozy mendapati setetes cairan bening mengalir dari mata kakaknya.
Ify menangis. Ia menangisi kebodohannya.
“Harusnya gue nggak mikir begitu,” desis Ify.
Ozy hanya tersenyum lalu menjulurkan jemarinya untuk menghapus air mata kakaknya. Biar bagaimanapun, ia mengerti apa yang dirasakan kakaknya ini.
***
“Fy, bangun...”
Mata Ify mengerjap beberapa kali sampai akhirnya kelopak mata itu benar-benar terbuka. Ify mengernyit, tumben sekali mamanya membangunkan sepagi ini. Lagipula hari ini tidak ada jadwal ngantor.
“Ify libur, Ma,” sahut Ify berniat tidur kembali.
“Iya, tahu. Tolong kamu jemput Papa di Bandara ya,” kata mamanya.
Kemarin papanya memang ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Tapi, biasanya pria itu pulang tanpa meminta jemput.
“Kok Ify? Ozy aja deh atau pesen taxi online,” tolak Ify.
Dia memang sangat mengantuk karena semalam harus lembur karena mengejar deadline. Entah mengapa, sejak ia menolak bos-nya yang terang-terangan meminta Ify menjadi kekasihnya, pria itu jadi sering menentukan deadline dengan sangat mepet. Menyebalkan. Mau resign, tapi dia sudah sangat nyaman dengan teman-teman kantornya.
“Ozy kan hari ini praktek. Ayolah kamu aja yang jemput,” desak mamanya.
“Ah Ify ngantuk,” keluh gadis itu masih enggan beranjak.
“Sebentar aja, Fy. Sepulang nanti kamu boleh tidur seharian deh,” mamanya merayu.
Karena sudah panas mendengar ocehan mamanya—yang mungkin tidak akan berhenti sampai Ify mengabulkan permintaannya—akhirnya terpaksa gadis itu mengangguk. Mamanya tersenyum puas, meraih handuk Ify dan menyerahkannya pada putri sulungnya. Dengan wajah cemberut, gadis itu mulai mengumpulkan nyawa.
“Oh iya, tadi Irva ke rumah. Katanya novel kamu udah mau dicetak terus kamu disuruh milih design-nya. Dibawain contohnya juga sama dia, tapi ada di bawah. Omong-omong kamu bikin novel apaan?” cerocos mamanya.
Nyawa Ify langsung terkumpul. “Terus sekarang Irva mana?”
“Pulang lah. Orang kamu tidurnya kayak kebo,” jawab Gita acuh tak acuh.
Ify mengerucutkan bibirnya, “Nggak kebo juga kali. Kebo kan item, Ify putih.”
“Heleh banyak alasan.”
“Ya udah lah, Ify mau mandi dulu,” kata Ify akhirnya.
“Ett—itu tadi pertanyaan Mama belum dijawab. Bikin novel apaan?” tanya Gita penasaran.
Putrinya itu hanya tersenyum misterius, “Mau tahuuuu aja.”
Sejurus kemudian Ify menyambar handuknya dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Gita hanya geleng-geleng menyaksikan tingkah gadis itu. Tanpa sadar wanita itu terharu, tak menyangka gadis yang dirawatnya sejak masih di dalam kandungan sudah sedewasa ini. Ia tumbuh menjadi gadis yang amat diharapkannya.
“IFY! NANTI KAMU LANGSUNG BERANGKAT AJA YA! MAMA MAU PERGI!” teriak Gita.
“IYAAA!” sahut Ify dari dalam kamar mandi.
Sekitar setengah jam kemudian, Ify sudah rapih dengan pakaiannya. Ia sengaja hanya mengenakan overall selutut berwarna pink. Ify sengaja menguncir rambutnya kemudian menambahkan scarf sebagai bandana. Dengan sneakers berwarna putih serta slingbag yang warnanya senada, gadis itu tetap cantik meskipun gayanya sangat simple.
Setelah siap, Ify turun dari kamarnya. Rumah sudah sepi. Hanya ada pembantunya yang sedang membereskan ruang tamu.
“Bi, lihat novel?” tanya Ify.
“Itu, Non. Di atas meja.”
“Makasih, Bi,” kata Ify kemudian mengambil contoh novel yang dibawakan Irva.
Ada dua. Ternyata sudah dicetak dengan bagus. Hanya berbeda cover namun isinya sama persis. Ify terkesan dengan cover yang ada di tangan kirinya, sketsa seorang gadis yang tengah menunduk di bawah hujan sementara di belakangnya terdapat sketsa laki-laki yang memayungi gadis tersebut. Warna cover tersebut dominan navy.
To: Irva
Gue pilih yang navy
***
Sudah satu jam lebih gadis cantik ini mondar-mandir di bandara. Sembari mendumel karena kesal telah menunggu  lama, Ify mengotak-atik ponselnya. Gita—mamanya—baru saja mengirimkan pesan berisi permintaan maaf dan menyuruh Ify tetap menunggu. Dengan alasan masih harus mengurus butik, Ify terpaksa menurut.
“Si Ozy ngapain praktek disaat yang nggak tepat sih,” gerutu Ify.
Kalaupun ia harus tetap ikut menjemput papanya, setidaknya masih ada Ozy. Sayangnya hari ini dewi fortuna memang tidak berpihak padanya. Ify pun mengeluarkan earplug-nya.
“Dengerin lagu ajalah,” batinnya.
Lagu Say Won’t Let Go milik James Arthur terputar. Sejak Rio menyanyikan lagu itu di acara blind date, Ify jadi menambahkan lagu tersebut ke list favoritnya. Omong-omong, apa kabar pemuda itu? Hhh... selalu. Dalam keramaian apapun, otak Ify seolah bekerja hanya untuk mengingat segala sesuatu tentang Rio. Mulai dari kebiasaannya mengamati The Wanted, pertemuan pertamanya dengan Rio di toko buku, pertemuan kedua di toko buku yang berbeda, pertemuan-pertemuan selanjutnya, kedekatan mereka, resmi jadian, ah... semuanya masih terekam jelas dalam memori Ify.
“Kamu tahu kenapa waktu di toko buku aku ngotot minta tolongnya ke kamu? Padahal di sana ada banyak orang.”
“Enggak.”
“Karena sebenernya aku cuma mau kenalan sama kamu.”
Seulas senyum tercetak di bibir Ify mengingat percakapannya dengan Rio via telepon beberapa bulan lalu. Pengakuan yang berhasil membuat Ify tak dapat menahan tawanya. Setelah sekian lama peristiwa di toko buku itu berlalu, kisah sebenarnya baru terungkap. Bahwa sesungguhnya kala itu Rio memang berniat mengajak kenalan tapi karena tak punya nyali, jadilah dia beralasan meminta tolong. Dari cerita itu pula dia tahu selama ini Rio berusaha keras mendekatinya atas dorongan Mas Dayat, pria kepercayaan papanya yang sempat ditugaskan menjadi guru pribadi Rio.
Lamunan Ify mendadak buyar ketika sebuah tangan menyentuh bahunya. Ah, pasti papanya. Ify sudah bersiap mengomel.
“Mbak, bisa bantuin saya?”
Reflek gadis itu menoleh dengan cepat mendengar pertanyaan sekaligus suara yang sangat familiar baginya. Semua omelan yang sudah dipersiapkannya lenyap seketika. Betapa terkejutnya Ify ketika yang didapatinya bukanlah sang Papa, melainkan sosok yang sudah lima tahun ditunggunya. Sosok itu tersenyum ke arahnya.
“Rio...” kata Ify terbata-bata.
“Nggak mau peluk?” tanya Rio seraya terkekeh.
Ify langsung beranjak dari duduknya, membiarkan earplug yang masih menempel di telinganya terlepas, kemudian memeluk Rio dengan sangat erat. Rio membalas pelukan tersebut. Saat Ify hendak mengurai pelukannya, pemuda itu justru menahan.
“Jangan dilepas dulu. Butuh lima tahun buat peluk kamu kayak gini,” gumam Rio.
“Aku kira kamu nggak nyata,” balas Ify.
“Maaf bikin kamu nunggu lama,” lirih Rio.
Ify tak membalas lagi, akhirnya gadis itu mengurai pelukannya.
“Kamu itu ya. Aku pergi, nangis. Aku pulang pun tetep nangis,” omel Rio seraya menghapus air mata kekasihnya.
“Maaf,” lirih Ify.
Rio tersenyum kemudian berbalik, memberi kode pada beberapa orang yang ternyata sedari tadi mengamati keduanya. Ify tak mengenal mereka.
Management,” jelas Rio membaca raut penasaran Ify.
“Ah, Papa,” pekik Ify panik.
“Aduh, Papa mana ya? Aku disuruh jemput Papa,” imbuh gadis itu.
Sejurus kemudian Rio tertawa. “Kamu masih nggak ngerti?”
“Nggak ngerti apa?”
“Tante Gita nyuruh kamu ke sini bukan buat jemput Om Alex, Ify,” gemas Rio.
Detik berikutnya barulah Ify sadar kalau orang tuanya sekongkolan dengan Rio. Pantas saja mamanya ngotot memintanya ke bandara. Jadi, Mama sudah tahu kalau hari ini Rio kembali ke Indonesia?
“Jahat ya! Udah nggak pernah nelpon, nggak ngabarin mau pulang, dikerjain pula. Balik gih ke Aussie,” ketus Ify kesal.
“Nggak mau. Aku nggak kuat jauh-jauh dari kamu,” kekeh Rio mengusap puncak kepala Ify.
“Dasar dangdut,” cibir Ify pelan.
“Hm, Rio. Maaf bukannya aku merusak kebahagiaamu. Tapi, sudah banyak yang curiga padamu. Lebih baik kita segera pergi dari sini.”
Ify melirik pria bule yang terpaksa menghentikan obrolan mereka. Ah, Ify sampai nyaris lupa kalau kekasihnya sudah jadi artis terkenal. Lagipula kabar mengenai konser Rio pasti sudah tersebar.
“Matt, kalian duluan saja. Aku akan naik mobil bersama Ify,” sahut Rio menggunakan bahasa inggris.
“Baiklah. Hm, hai Ify. Namaku Matthew. Salam kenal, aku harap kita berdua bisa mengobrol banyak,” kata Matthew beralih pada Ify.
Ify tersenyum, “Salam kenal. Pasti kita akan mengobrol banyak.”
Selanjutnya Rio dan Ify terpaksa berpisah dengan rombongan Matthew. Ia juga ingin segera bertemu dengan tim menolak Sivia bahagia.
***
“Sumpah, ini elo Rio? Astaga!” pekik Shilla.
“Ampun si Rio sekarang a-en-je-a-ye djiwa!” timpal Cakka.
Sedari tadi Rio geleng-geleng mendengar respon sahabat-sahabatnya yang cenderung berlebihan. Rata-rata mereka mengomentari penampilannya sekarang. Jika dulu dia seringkali terlihat rapih seperti pekerja kantoran, sekarang berubah lebih fashionable. Menjadi penyanyi, artis sekaligus musisi terkenal membuatnya dituntut untuk selalu tampil trendi dan tanpa sadar justru menjadi kebiasaan.
“Kalian sumpah lebay banget. By the way, gimana kabar kalian semua?” balas Rio.
“Sivia ngambek tuh sama lo, Yo. Katanya lo nggak bakal diundang ke acara tunangannya,” ceplos Agni.
“Pengecualian sih. Kalau gue diundang ke konser lo, lo juga gue undang ke acara tunangan gue sama Gabriel,” kata Sivia membuat Rio tertawa.
“Kalian semua gue undang dan dapet yang VVIP,” balasnya.
“YEEE ASIKK!” seru Sivia membuat Gabriel menoyornya.
“Jangan norak,” ketus Gabriel.
Sivia menjulurkan lidahnya, “Bodo amat. Gue jadi bisa pamer kalau sohib gue ini artis terkenal cuy!”
Rio geleng-geleng kepala. Sivia masih heboh seperti dulu.
“Gimana rasanya jadi artis terkenal, Yo?” tanya Shilla.
“Gitu deh. Lo tahu sendirilah. Dimana-mana ada fans, dideketin banyak cewek, dikejar paparazzi,” jawab  Rio sekenanya.
“Eh pesenan cowok bule gue mana?” tanya Sivia tiba-tiba.
Gabriel kembali menoyor gadis itu, “Minta dinikahin banget sih lu.”
“Mau!” seru Sivia tanpa dosa.
“Ini anak dua nggak bisa disingkirin dulu ya?” keluh Alvin.
“Sirik aja lu, Pit. Nikahin noh Shilla,” balas Sivia seraya menjulurkan lidah.
Alvin mendelik. Sejak mereka putus, hubungan antara dirinya dan Sivia memang kembali seperti semula. Bahkan Sivia dan Alvin sepakat melupakan kejadian yang telah berlalu itu.
“Nggak ada cewek yang nyantol, Yo? Pasti cantik-cantik kan?” tanya Gabriel jahil.
“Yah pake ditanyain lagi. Dia mah nyantolnya sama yang di sampingnya doang,” celetuk Cakka membuat Ify salah tingkah.
Rio meringis, “Ada yang bilang begini; ketika kamu sibuk ngejar cewek cantik, kamu akan kehilangan cewek baik. Nah gue udah dapet  yang cantik, baik pula. Masa gue masih ngejar lagi?”
“Wanjir! Lu belajar gombal dari mana sih? Perasaan abis di blind date omongan lu jadi gombal semua,” gurau Agni.
Rio hanya tertawa renyah.
***
Konser yang sangat dinantikan Rio setelah sekian lama akhirnya tiba. Pemuda itu bersiap di backstage. Mengetahui betapa antusiasnya penonton dalam konser ini, rasa gugup Rio musnah seketika.
“Sahabat-sahabatmu ada di kursi VVIP, Ify juga,” kata Matthew.
“Terima, Matt. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi,” balas Rio.
Matthew mengangguk, “Santai, Rio. Nikmati konsermu.”
“Pasti.”
“Ah iya, ada titipan dari Ify,” ujar Matthew menyerahkan bungkusan.
Rio lantas membukanya. Pemuda itu terkejut ketika mengetahui isi bungkusan itu adalah sebuah novel.
Believe or not, ini novel tentang kita. Norak kah? Aku bener-bener nggak nyangka akhirnya terbit juga dan kamu yang pertama dapet.
Semangat buat konsernya. I love you to the moon and back;)
Ify
Rio tersenyum membacanya. Dia sempatkan membaca sinopsis back cover dari novel tersebut lalu terkekeh pelan. Ini hadiah terindah!
“Sebentar lagi. Bersiaplah.”
Buru-buru Rio menyimpan novel tersebut. Akan ada sepuluh lagu yang dinyanyikan Rio di konsernya ini. Konser di Indonesia memang terspesial. Bukan hanya karena ada sahabat-sahabatnya, tapi konser ini menjadi perayaan kembalinya Rio. Kontrak kerja di Aussie telah berakhir sehingga pemuda itu akan melanjutkan karyanya di sini.
Opening berlangsung dengan sangat meriah. Lagu-lagu dalam album terbarunya pun mulai dinyanyikan satu persatu. Beberapa kali Rio harus mengganti baju lalu kembali ke stage, sungguh staminanya luar biasa. Bahkan sampai lagu ke delapan pun Rio belum tampak lelah. Dia justru semakin menguasai stage.
“Lagu selanjutnya bukan berasal dari album gue. Lagu ini adalah lagu milik One Direction, lagu yang pernah gue nyanyiin bareng sahabat-sahabat gue saat SMA...” Rio menyempatkan melirik Gabriel, Alvin dan Cakka.
“Dan sekarang, gue minta kalian naik ke atas stage karena gue mau ngajak lo semua nostalgia bersama.”
Gabriel, Alvin dan Cakka saling lirik karena bingung. Rio tidak mengatakan apapun mengenai rencana ini. Tapi tiba-tiba salah seorang crew menghampiri, menyuruh ketiganya naik ke atas stage seperti permintaan Rio.
“Gabriel, Alvin dan Cakka!” seru Rio ketika ketiga sahabatnya bergabung.
“Gila. Selalu lo ya, bikin acara di dalam acara,” dengus Gabriel.
Malu sekali rasanya berada di atas stage dan ditatapi jutaan manusia. Rio hanya terkikik, kemudian memberi kode mereka untuk mengambil tempat.
“PERFECT!!!”
Lagu perfect milik One Direction mengalun sempurna meskipun tanpa persiapan. Kehebohan terjadi karena di tengah-tengah lagu, tiba-tiba para lelaki tampan itu melepas T-Shirt mereka hingga bertelanjang dada. Tak ayal suasana pun semakin heboh dan memanas. Bahkan para petugas kualahan menghadapi penonton tersebut.
“Baby you’re perfect!”
“Baby you’re perfect! So let’s star right now...
“WHOAA!!! RIO!!! YOU’RE PERFECT!!!”
Lampu meredup mengiringi teriakan para penonton. Rio hanya terkekeh. Pemuda itu pun bergegas ganti baju untuk lagu terakhir. Hanya sekejap.
Good luck, Rio!” seru orang-orang di backstage, salah satunya Matthew.
Rio tersenyum lalu buru-buru kembali ke stage.
“Lagu terakhir malam ini adalah lagu paling spesial dari semua lagu karena belum pernah gue nyanyiin dimanapun,” kata Rio dengan nafas sedikit ngos-ngosan.
Jika sebelumnya Rio lebih banyak jingkrak-jingkrak, kali ini pemuda itu hanya duduk di tengah-tengah stage sambil memangku gitar.
“Lagu ciptaan gue sendiri. Teruntuk Alyssa.”
Ify yang merasa disebut nama depannya tersentak. Ditatapnya Rio, pemuda itu sempat melemparkan seulas senyum. Belum sempat mencerna, intro lagu mulai terdengar. Sejurus kemudian layar di belakang pemuda itu menampilkan foto-foto Rio bersama Ify yang berhasil membuat penonton memekik.
Hi Alyssa...
Your name is so beautiful
And you’re too beautiful
I like your smile and you more
I love your laugh and you more
So please just stay with me
Because with you,
I don’t need anyone else
Except you... except you...
Because Alyssa...
Your name is so beautiful
And you’re too beautiful
Ify masih menganga di tempatnya. Tak percaya bahwa pemuda itu menciptakan lagu untuknya. Bahkan menyanyikan di depan jutaan orang yang tak lain adalah penggemarnya sendiri! Sampai lagu berakhir, Rio tak mengalihkan pandangannya dari sosok Ify.
Sejurus kemudian Rio meletakkan gitarnya. Pemuda itu berjalan menghampiri sosok Ify. Masih tersenyum, Rio meraih tangan gadis itu.
“Ify, malam ini di hadapan jutaan orang aku mau mengatakan sesuatu,” ujar Rio.
Entah mengapa mendadak degup jantung Ify berpacu cepat tanpa alasan tertentu. Sejurus kemudian Rio mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Mata Ify terbelalak lebar saat tahu benda yang dikeluarkan pemuda itu adalah cincin. Tiba-tiba Rio bersenandung.
Dengarkanlah wanita pujaanku
Malam ini akan kusampaikan
Hasrat suci kepadamu dewiku
Dengarkanlah kesungguhan ini
Aku ingin mempersuntingmu
Tuk yang pertama dan terakhir
Jangan kau tolak dan buatku hancur
Ku tak akan mengulang tuk meminta
Satu keyakinan hatiku ini
Akulah yang terbaik untukmu
“Ify, I wanna stay with you until we’re grey and old. Aku ingin memiliki kamu seutuhnya. Will you marry me?
Tanpa berpikir dua kali gadis itu menganggukkan kepala dan menubruk tubuh Rio. Pemuda itu melirik kedua orang tuanya serta orang tua Ify yang tengah tersenyum. Ify pun melepaskan pelukannya, pipinya bersemu merah.
“Asik! Sohib gue menyusul!” seru Sivia memeluk Ify erat.
“Jadi kamu kapan ngajakin aku nikah, Vin?” celetuk Shilla membuat Alvin menggaruk tengkuk belakangnya.
“Pertanyaan itu berlaku buat lo juga ya, Cak,” timpal Agni.
“Mampuslah kita, Vin,” dengus Cakka.
“Lu aja mampus sendirian. Gue ogah,” sahut Alvin.
Mereka semua lantas tertawa.
***

Okayy sampai di sini ya ketemunya. Senang sekali bisa menyelesaikan satu karya setelah kena block writer nyaris 2 tahun! Bye guys~