Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Halooo tim #BangkitkanCRAGSISA saya post part 9 sesuai janji. Semoga semakin penasaran dan ditunggu-tunggu. Terima kasih ya semuanya :)
Hope you like it guys
9
Ada
kekosongan yang tak terdefinisikan.
Sejak Shilla mengungkapkan isi hatinya di hadapan pemuda ini. Andai namanya
yang disebut saat itu, mungkin kekosongan ini takkan pernah ada. Andai dia yang
ditunggu-tunggu gadis tersebut, mungkin kehampaan ini takkan berarti apa-apa.
Alvin, pemuda itu mendesah, berusaha membuang pikiran-pikiran tentang Shilla.
Sejak pengungkapan isi hati malam itu, Shilla jadi sering curhat tentang
Gabriel padanya. Entah, Alvin sendiri tak pernah tahu sudah seberapa dalam
perasaan Shilla untuk Gabriel—atau mungkin tak mau tahu.
Terkadang
dia harus menulikan telinga. Terkadang, dia harus pura-pura tak pernah
memergoki Shilla yang mencuri pandang ke arah Gabriel. Terkadang pula dia harus
bersusah payah menata hatinya yang masih berantakan. Sekali lagi, Alvin
menyesal telah datang malam itu. Seharusnya dia menuruti ucapan Sivia untuk
tidak meninggalkannya.
“Udah
tiga hari lo ngalamun. Mikirin apa? Sivia? Dia udah maklum sama kelakuan lo
yang semena-mena itu kok,” cetus Deva yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
Alvin
mendesah lega, kedatangan Deva membuatnya mengalihkan pikiran dari Shilla.
Meski menyebalkan, Deva berhasil mengembalikan moodnya.
“Lo kok
udah di rumah?” tanya Alvin tak nyambung.
Deva
hanya mengedikkan bahu. “Bolos. Lagi males banget di kantor, apalagi kalo
ketemu Keke. Bawelnya ngalahin bacotnya Sivia, masa katanya kerja gue nggak
bener? Padahal gue bos—“
“Belum.
Selama kedudukan Papa di kantor masih atasan lo, lo belum jadi bos,” potong
Alvin dengan nada ketus.
“Ya yaaa
whatever. Tetep aja gue anaknya
pemilik perusahaan,” sahut Deva seraya mengibaskan tangannya.
Alvin
tak menanggapi, dia justru menggapai remote tv lalu sibuk memindahkan channel.
Pemuda itu reflek berhenti memencet tombol remote saat salah satu stasiun tv
menampilkan wajah Shilla di layar kaca.
“Shilla
jadi bintang iklan?” ceplos Deva.
“Gue
juga baru tahu,” balas Alvin sekenanya.
Dia tak
berbohong. Sejak Shilla sering menceritakan Gabriel—lebih tepatnya memuji—Alvin
jadi tidak berminat mendengarkan, mungkin saat itu Shilla sempat menyinggung
karir barunya.
“Lo
belum move on, bro?” tanya Deva to the point.
Alvin
menoleh menghadap Deva. Baru dia sadari, ternyata kakak yang tak pernah dipanggilnya
‘kakak’ ini tampak kelelahan.
“You know me so well,” sahut Alvin pendek.
Deva
mendengus lalu sorot matanya berubah seakan menerawang.
“Lo
salah, bro. Sejak lo punya The Wanted, gue nggak pernah bisa mengerti elo. Gue
kehilangan Alvin yang selalu ada buat gue, nggak peduli dia manggil gue kakak
atau cuma nama. Dia sibuk sama sahabat-sahabatnya.”
“Dia
nggak punya waktu buat main sama gue lagi. Dia bikin gue seolah-olah nggak
pernah ada. Dia nggak pernah tahu kalo gue nangis setiap malem karena kecewa,”
imbuh Deva bersama helaan nafas yang berat.
Alvin
terkejut mendengarnya. Pemuda itu membeku cukup lama.
“Harusnya
gue bilang sama lo sejak sebelas tahun
lalu. Tapi mungkin ini belum terlambat, gue... cemburu sama The Wanted.”
Pemuda
itu masih tak merespon sampai akhirnya dia merasakan Deva berdiri dari duduknya
dan meninggalkan Alvin. Dia benar-benar tak tahu apa yang dirasakan Deva dan
tiba-tiba kakaknya itu mengungkapkan sesuatu yang membuat pikirannya terombang-ambing.
Sama seperti saat dia mendengar pengakuan Shilla.
***
Rio
menatap Mas Dayat yang sedang membereskan berkas-berkas perusahaan dengan tak
sabaran. Sudah jam dua belas malam dan dia ada janji akan menelpon Ify jam
setengah tujuh, itu artinya sudah lewat... astaga! Nyaris 6 jam!
“Kamu
kenapa, Yo?” tanya Mas Dayat pada bos kecilnya.
Meski
Rio adalah atasannya, pemuda itu tak pernah mengijinkan Mas Dayat memanggilnya
dengan embel-embel apapun. Hanya nama.
“Saya
ada janji mau nelpon Ify jam setengah tujuh, Mas,” jawab Rio meringis.
“Ya
ampun. Ini sudah jam dua belas malam, kamu bikin anak orang nunggu lama. Sana
kamu ke mobil dulu, nanti saya nyusul,” balas Mas Dayat.
“Nggak
pa-pa kalau saya tinggal?” tanya Rio ragu.
“Kamu
tenang saja. Sana kamu telepon Ify. Pantas selama rapat tadi kamu terlihat
buru-buru, ternyata karena Ify,” kekeh Mas Dayat.
Rio
hanya tersenyum menanggapinya lalu ijin untuk ke mobil duluan. Dia memang
ditugaskan papanya untuk memimpin rapat perusahaan sementara papanya berada di
luar kota. Begitu sampai di mobil, pemuda itu mengeluarkan ponselnya,
mengabaikan notifications dan
langsung men-calling nomor Ify.
“Jangan
tidur dulu, please,” batin Rio.
“Halo.”
Rio
tersenyum lebar mendengar suara Ify di telinganya.
“Hai,
Ify,” balas Rio sengaja menyebutkan ‘Ify’ bukan ‘Fy’. Sebab, baginya nama itu
sangat indah untuk dilafalkan.
“Jam rumah lo bukan setengah tujuh?”
“Sorry, gue gak ada maksud bikin janji
palsu, tapi gue emang baru free.
Untung lo belum tidur. Lagi apa?” sahut Rio merasa bersalah.
“Gue udah tidur, kebetulan tadi kebangun
gara-gara Ozy minta bantuan ngerjain PR. Ini gue baru balik ke kamar lagi.”
“Mau
tidur?”
“Hmm, iya. Besok kan sekolah. Lo juga harus
tidur soalnya gue nggak mau besok lo ngantuk atau ketiduran di kelas terus makin goblok. Kan gue yang repot.”
Mau tak
mau Rio tertawa kecil mendengarnya. Dia tak tersinggung sama sekali dengan
ucapan Ify karena dia tahu itu hanya sebuah candaan.
“Siap. Have a nice dream...”
“Lo juga.”
“Hm, my one and only.”
Tidak.
Rio tidak mengucapkan kalimat terakhir secara langsung, begitu Ify berkata ‘lo
juga’ dia sengaja mematikan sambungan teleponnya. Untuk saat ini Rio tidak mau
berharap apa-apa dulu, dia hanya takut kebersamaannya dengan Ify akan cepat
berlalu. Biarlah semuanya berjalan seperti ini hingga nanti Rio benar-benar
yakin akan perasaannya.
Tepat
saat itu, Mas Dayat membuka pintu kemudi. Spontan Rio menyimpan ponselnya ke
dalam saku.
“Sudah?”
tanya pria tersebut.
Rio
menganggukkan kepalanya.
“Kamu
tidur aja, Yo. Kalo besok sampai ngantuk atau ketiduran di kelas bakal ada yang
repot kayaknya,” kekeh Mas Dayat.
“Mas
Dayat nguping?” selidik Rio.
Lelaki
itu menggelengkan kepalanya. “Nguping apa? Kan suara kamu nggak kedengeran dari
luar.”
Rio
mendesah lega meskipun masih penasaran mengapa ucapan Mas Dayat seperti sedang
menggodanya. Kenyataannya, Mas Dayat memang tak menguping apa-apa.
***
The
Wanted formasi baru menyusuri koridor sekolah. Shilla berjalan di depan bersama
Gabriel, sementara Alvin dan Rio menyusul di belakangnya. Sepintas, tak ada
yang salah, namun orang-orang tak pernah tahu kalau Alvin ingin sekali bertukar
posisi dengan Gabriel saat ini.
“Eh tai,
balikin bukunya. Gue belom selesai nyalin tauuu!”
Gabriel
memfokuskan pendengaran dan penglihatannya. Benar, memang Sivia. Dia tengah
bersama Ify dan Cakka.
“Nggak.
Biar sekali-kali lo dihukum, masa tiap pagi kerjaan lo nyalin kerjaan orang,”
balas Cakka lalu menjulurkan lidahnya.
Sivia
merengut sambil terus berusaha mengambil buku yang disembunyikan Cakka.
Sementara Ify, dia sepertinya lebih berminat membaca novelnya. Cakka tertawa
lebar saat Sivia terus menjangkau buku tersebut, tingginya yang kalah jauh
membuat gadis itu harus berjinjit-jinjit dan posisinya jadi tampak ‘dekat’
dengan Cakka.
“IFYYY!
BANTUIN GUE!!” seru Sivia.
Bagaikan
disengat saat Sivia menyebutkan nama Ify, Rio ikut terfokus pada pemandangan
tersebut. Ify meletakkan novelnya dan menjangkau buku itu dengan mudah karena
Cakka lengah.
“Yahhh...
Ify...,” dengus Cakka.
“YEAHHHH!
PERSAHABATAN KITA EMANG NGGAK BISA DIRAGUKAN LAGI FY! I LOVE IFY!” sorak Sivia dengan heboh dan
bergaya alay.
“Hm,
kayaknya bagusan lo simpen aja bukunya deh, Cak,” ucap Ify semena-mena dan
mengembalikan buku itu pada Cakka yang kini tertawa puas.
“Lo
emang nggak bisa diragukan lagi, Fy,” balas Cakka seraya mengacak-acak puncak
kepala Ify.
Tentunya
pemandangan itu membuat Rio menahan napas. Dia memang tak tahu sudah sejauh
mana Cakka dengan dunia barunya. Hanya saja, Ify tampak biasa saja saat tangan
Cakka mendarat di sana seolah-olah itu sudah sering dilakukan.
“IFYYY!
MUSUH DALAM SELIMUT!” tuding Sivia.
“Ya
dong. Ify sekarang sekubu sama gue,” balas Cakka lalu meletakkan tangannya di
bahu Ify. Lagi-lagi pemandangan itu ingin dienyahkan oleh Rio.
“Maaf
ya, Siv. Gue bosen sama elo. Kayaknya kita sampai di sini aja,” cetus Ify
dengan ekspresi pura-pura sedih.
“Anjir
nyet berasa gue lgbt sama lo,” misuh
Sivia.
“Loh,
jadi kita selama ini apa? Lo php-in gue? Padahal gue udah serius sama lo tau. Fix lo jahat banget. Mending gue sama
Cakka yang pasti-pasti aja,” balas Ify lalu mempersempit jarak antara dirinya
dan Cakka.
“Akhirnya
lo nggak sesat lagi, Fy,” cetus Cakka.
Sivia
pura-pura muntah. “Jijik banget gue dengernya. Udah ah mana sini bukunya,
bentar lagi masuk dan gue kurang satu nomor nyalinnya.”
Mau tak
mau Cakka dan Ify tertawa mendengarnya.
“Kalian
lagi. Selalu merusak ketenangan orang. Kampungan,” desis Shilla cukup tajam
hingga Ify, Sivia dan Cakka menoleh ke
arah gadis itu.
Dengan
gaya angkuhnya, Shilla melipat tangannya di depan dada dan menatap Ify dan
Sivia dengan tajam. Sepertinya gadis itu sengaja mengabaikan sosok Cakka di
antara mereka.
“Maksud
lo apa?” sengak Sivia.
“Shil,
stop. Kita ke kelas,” cetus Gabriel namun tak dipedulikan oleh Shilla.
“Lo
ngerasa? Bagus. Lo sama temen lo itu mengganggu ketentraman sekolah ini.
Dimana-mana selalu aja bikin ribut. Lo pikir ini sekolah punya lo?” balas
Shilla tak kalah sengak.
Dalam
beberapa detik Shilla dan Sivia saling beradu tatap dengan sinis. Koridor yang
semula tak begitu ramai berubah jadi penuh. Semua anak yang awalnya berada di
kelas kini sudah ikut menyaksikan. Mereka benar-benar tak menyangka ada yang
berani melawan Shilla.
“Siv,
kita balik ke kelas,” ucap Ify menengahi.
Sivia
menggelengkan kepalanya. “Lo sudi kita dikatain sama makhluk ini? Kalo lo sudi,
gue enggak! Dia harus dikasih pelajaran sekali-kali biar nggak sombong,”
keukeuh Sivia membuat Ify mendengus.
“Tapi—“
“Mending
lo bantuin gue jorogin ini anak ke neraka,” potong Sivia cepat.
Ify tak
berkata-kata lagi, dia tahu persis Sivia tak akan bisa dibujuk kalau sedang
berapi-api seperti ini. Gadis itu melirik ke arah Gabriel dan Rio. Kening Ify
berkerut kala melihat wajah Gabriel yang menggambarkan kepanikan, kepanikan
yang berusaha ditahan namun dapat dengan mudah dibaca oleh Ify.
“Harusnya
lo tuh sadar diri, lo siapa di sini. Lo cuma cewek kampungan yang sukanya
ganggu ketentraman, lo tuh debu alias ngotor-ngotorin sekolah kita,” ujar
Shilla menyulut api.
Tahu-tahu
saja Cakka sudah berdiri di depan Sivia, berhadapan langsung dengan Shilla yang
tampak terkejut. Cakka menarik sudut bibir kirinya.
“Jaga
ucapan lo, Shil. Sahabat-sahabat gue seribu kali lebih baik daripada lo.
Ngerti?”
Shilla
membelalakkan matanya.
“Oh jadi
lo keluar dari The Wanted demi debu-debu ini? Selamat, Cakka Nuraga. Kayaknya
lo musti ke psikiater,” sinis Shilla.
“Thanks. Kalo menurut lo gue mulai gila,
itu nggak berarti apa-apa karena kegilaan gue bikin gue bahagia. Yuk, Siv, Fy,”
balas Cakka lalu melewati Shilla begitu saja.
Sivia menyempatkan
diri menjulurkan lidahnya sementara Ify menatap miris ke arah Shilla. Sebagai
pengamat, Ify tahu maksud dan tujuan Shilla yang tiba-tiba menghina Sivia dan
dirinya di depan umum seperti ini.
***
Shilla
mematung. Detik kemudian gadis itu membelah kerumunan dan diikuti oleh Gabriel,
Rio dan Alvin. Sampai di kelas, Shilla
tak mau bicara apa-apa dan tiga laki-laki itu mengerti. Dia butuh waktu.
Sementara
itu, Sivia masih mencak-mencak dan tak henti menyumpahi Shilla. Berbeda dengan
Cakka yang berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukannya sudah benar,
dia hanya membela sahabat-sahabatnya. Dia tak mau kehilangan Ify dan Sivia
setelah dia kehilangan The Wanted.
“Dia cuma lagi ngetes elo, Cak,” ucap Ify.
Cakka
menoleh ke arah gadis itu. “Maksudnya?”
“Sasaran
utama Shilla itu elo, bukan gue atau Sivia. Dia mau tahu apa elo udah
bener-bener ngelepas The Wanted atau belum, makanya gue sama Sivia jadi kambing
hitam. Dan begitu tahu-tahu elo belain kita, tujuannya selesai, dia nganggep lo
udah melepas The Wanted sepenuhnya.”
Penjelasan
Ify membuat Cakka berpikir ulang. Yang dikatakan Ify bisa jadi kebenaran yang
sesungguhnya. Cakka lantas menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan
pikirannya.
“Belum
terlambat kalau lo mau balik ke sana,” cetus Ify tanpa mengalihkan pandangannya
dari novel yang dibacanya.
Cakka
menatap Ify. “Lo ngomong apa sih? Gue udah nyaman sama kalian. Kalian bikin gue
punya banyak temen, dikenal banyak orang sebagai Cakka yang seru, dunia yang
kalian kasih ke gue tak terduga.”
“Mungkin
gue masih kepikiran The Wanted, tapi gue nggak akan balik ke sana.”
Tiba-tiba
saja gadis itu menutup novelnya dan meletakkan di atas meja.
“Tapi
mereka tetep sahabat lo kan?” tanya Ify serius.
“Selalu.
Sebelas tahun gue sama mereka, selamanya mereka jadi sahabat gue. Hanya saja
sekarang keadaannya berbeda. Kalaupun suatu saat nanti kita seperti dulu lagi,
itu karena gue berbagi elo, Sivia dan Agni sama mereka,” jawab Cakka panjang
lebar namun membuat Ify merasa lega.
“By the way, kayaknya lo cocok jadi
psikolog. Bahkan gue yang jadi sasaran utama Shilla aja nggak sadar sama
sekali,” kekeh Cakka.
Ify
hanya tersenyum mendengarnya. Baginya, mengamati orang lain adalah suatu
kebiasaan muncul secara alamiah.
“Lo
balik ke kelas gih, udah mau bel,” tegur Ify.
“Oke,
bos. Gue balik dulu,” balas Cakka kemudian beranjak.
“SIVIA!
GUE BALIK DULUUU! JANGAN KANGEEENNNN!”
Sivia
yang sedang menyalin tugas hanya mencibir mendengarnya.
***
Seorang
gadis dengan kuncir kuda dan berponi pagar yang tak lain adalah Agni tengah
berada di toilet untuk membasuh wajahnya. Beberapa saat kemudian salah satu
bilik toilet terbuka. Betapa terkejutnya saat muncul sosok Shilla dari dalam
bilik tersebut, dia tak tahu kalau Shilla juga
terkejut melihatnya.
“Kebetulan
ketemu lo di sini.”
Gerakan
Agni terhenti. Gadis itu menutup keran wastafel lalu membalikkan badan supaya
dapat bertatapan langsung dengan Shilla.
“Lo
ngomong sama gue?” tanya Agni bingung.
Shilla
menganggukkan kepalanya. “Lo Agni kan?”
“Iya.”
“Tolong
jauhin Cakka,” ucap Shilla.
Detik
itu keheningan menyergap seakan sedang memberi waktu pada Agni untuk mencerna
ucapan Shilla. Tolong jauhin Cakka.
Menyadari gadis itu menggunakan kata ‘tolong’ membuat Agni terkejut—sekali
lagi. Sejak kapan dia menyimpan kosakata ‘tolong’?
“Maksud
lo?”
Shilla
menarik nafas dalam-dalam, lalu mengulang kembali ucapannya.
“Tolong
jauhin Cakka. Jauhin Cakka. Jauhin.”
Agni
menggelengkan kepalanya dan tersenyum remeh. Dia tak akan menjauhi Cakka
setelah apa yang telah mereka lalui.
“Gue
minta tolong ke orang yang salah,” balas Agni.
“Ini
demi kebaikan lo, Ag. Cakka itu dari keluarga Nuraga, gue tahu lo nggak buta
tentang Nuraga. Sementara elo? Anak PNS nggak akan bisa bersanding sama
keluarga Nuraga. Jadi, tolong, jauhin Cakka,” ceplos Shilla.
“Gue
nggak tahu lo serajin itu buat ngorek informasi tentang gue,” sindir Agni.
Shilla
tak menanggapi sama sekali. “Biarkan Cakka kembali ke dunianya yang dulu,
sebelum dia mengenal elo.”
Sekali
lagi, Agni menggelengkan kepalanya.
“Udah
gue bilang, lo salah minta tolong sama
gue. Kita sama-sama keras kepala, Shil. Satu-satunya cara adalah salah satu
dari kita mengalah dan lo tahu persis itu bukan gue,” tajam Agni.
Setelah
berkata demikian, Agni melangkahkan kakinya untuk keluar dari toilet. Namun
langkah itu terhenti saat Shilla membuka bibirnya kembali.
“Andai
lo tahu Cakka keluar dari The Wanted gara-gara elo, apa lo masih sanggup bilang
begitu? Apa lo masih bisa sombong sementara kenyataannya lo udah ngerusak
persahabatan orang?”
Cukup
lama Agni membungkam.
“Dia datang
ke gue, berarti dia percaya sama gue. Itu udah cukup buat dijadiin alasan untuk
mempertahankan.”
Agni
melenjutkan langkahnya kembali. Lagi-lagi, Shilla mematung. Tapi dia tidak
boleh menyerah sampai Cakka kembali pada The Wanted. Dia pikir, Agni akan mengiyakan permintaannya tetapi
ternyata gadis itu keukeuh mempertahankan Cakka.
Semalaman
Shilla memikirkan ini matang-matang. Jika Cakka tak melepaskan sahabat-sahabat
barunya, maka dia yang harus membuat sahabat-sahabat baru Cakka melepaskannya.
Dengan begitu Cakka akan ‘pulang’ dan The Wanted akan utuh lagi. Sayangnya
keputusan Agni sudah bulat.
“Masih
ada cewek-cewek tukang rusuh,” gumam Shilla.
***
“Dari
mana?” tanya Alvin.
“Toilet.
Nasi goreng pesenan gue belum dateng?” balas Shilla.
“Pesenan
Rio juga belum,” sahut Alvin.
Shilla
melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Ah, meskipun pesanan Rio datang
pun dia akan lebih sering menatapi ponselnya.
“Gabriel
mana?” tanya Shilla yang baru menyadari ketiadaan pemuda itu.
“Ketemu
Bu Maryam,” sahut Alvin.
Di lain
sisi, Gabriel sedang mencari-cari Sivia dan Ify—tidak seperti yang dikatakan
Alvin. Dia dan Rio sepakat untuk menemui kedua gadis itu. Mereka membagi tugas,
Gabriel menemui dua gadis itu sementara Rio bertugas mengawasi Shilla dan Alvin
supaya mereka tidak curiga.
“Ify!”
Beruntung
sekali dia bertemu Ify. Gadis itu menunjuk dirinya sendiri, lalu dibalas dengan
anggukan oleh Gabriel. Ify lantas menghampiri pemuda itu.
“Sivia
lagi nyalin tugas di kelas,” ujar Ify membuat Gabriel meringis.
Memang
wajahnya terbaca sekali ya kalau dia sedang mencari-cari Sivia?
“Hm, gue
mau ngomong sesuatu sama lo. Tapi kayaknya nggak di sini. Kita cari tempat yang
sepi supaya nggak ada gosip karna lihat kita ngobrol,” jelas Gabriel.
“Ikut
gue.”
Mereka
lantas menuju ke taman belakang sekolah. Seperti dugaan Ify, taman ini sepi
karena anak-anak lebih memilih untuk berada di kantin. Kemudian mereka duduk di
salah satu bangku yang kebetulan berada di bawah pohon besar, kalaupun ada
orang yang lewat mereka tak akan tahu ada Ify dan Gabriel di sana.
“Jadi,
lo mau ngomongin apa?” tanya Ify to the
point.
“Tentang
Cakka. Ada yang perlu lo tahu, alasan Cakka keluar dari The Wanted. Waktu itu
Shilla tiba-tiba marah sama Cakka lalu nyebut-nyebut Agni. Kayaknya Shilla
bener-bener kecewa sampai akhirnya dia nyuruh Cakka milih, The Wanted atau
Agni,” jawab Gabriel.
Ify tak
berniat memotong cerita Gabriel sama sekali. Jadi, pemuda itu melanjutkan
ceritanya.
“Pada
akhirnya Cakka milih Agni. Awalnya gue sama nggak ngertinya sama Shilla, kenapa
Cakka mendadak keluar dari The Wanted untuk Agni sampai akhirnya gue melihat
dengan mata kepala gue sendiri betapa bahagianya dia. Dia ketawa lepas, dia
jadi iseng, jadi idola, cewek-cewek jadi suka nongkrongin lapangan basket dan
tentunya dia main basket lagi.
“Itu
semua nggak pernah gue lihat selama dia di The Wanted. Waktu SD dia memang main
basket, tapi sejak Rio mulai diajari papanya tentang perusahaan, dia nggak
pernah nyentuh bola basket lagi karena satu-satunya partner basketnya cuma Rio.
Terakhir gue lihat dia ketawa lepas pun waktu... entah, gue lupa. Yang jelas,
gue jadi paham kenapa dia lebih milih Agni daripada The Wanted.”
Entah
perasaannya saja atau apa, Gabriel seakan menunjukkan gelagat dia juga ingin
seperti Cakka.
“Kalau
ada pilihan untuk memilih dua-duanya, dia pasti bakalan milih itu,” sahut Ify.
Gabriel
hanya tersenyum pahit. “Gue sama Rio minta maaf karena tadi pagi kita nggak
bisa apa-apa, Kita bukannya—“
“Nope. Gue sangat paham kok. Wajar kalo
kalian diem karena pada dasarnya kalian emang harus ada di pihak Shilla. Lo
nggak perlu merasa bersalah sama Sivia, meskipun dia nggak suka sama Shilla
tapi dia nggak akan musuhin elo,” potong Ify membuat Gabriel terkekeh.
“Kenapa
jadi Sivia?” tanya Gabriel.
“Seandainya
lo emang mau nyebut nama gue, mata lo nggak perlu ngelirik sana sini karna
ngarepin Sivia bakal nemuin kita di sini. Apa gue salah?” balas Ify seakan-akan
yang diucapkannya tak berefek apa-apa.
Gabriel
meringis. Benar kata Rio, gadis ini mengamati apapun hingga detail sampai lawan
bicaranya akan berpikir bahwa Ify memiliki kekuatan magis yang membuatnya bisa
membaca pikiran.
“Ya
intinya itu. Point penting lainnya,
gue nitip Cakka sama lo ya. Atas nama Shilla juga, gue meminta maaf untuk
kejadian manapun yang bikin lo dan hm, Sivia sakit hati. Gue harap kalian bisa
memaklumi sifat Shilla yang satu itu,” cerocos Gabriel.
Ify
menganggukkan kepalanya.
“It’s ok. Tapi gue nggak bisa nyampaiin
ini ke Sivia karena lo tahu sendiri, nanti bukannya dimaafin malah Shilla disamperin,” kekeh Ify.
Gabriel
tertawa mendengarnya. Pantas saja Rio jatuh hati pada gadis ini—meski Rio tak
pernah mengutarakannya—karena ternyata Ify memang gadis yang baik dan dapat
memahami orang-orang di sekitarnya. Satu lagi kelebihan gadis ini, dia
mengetahui banyak hal tanpa harus menanyakannya terlebih dahulu.
“Boleh
minta nomor lo?” tanya Gabriel.
Ify
mengangguk dan menyebutkan nomornya.
“Sip. Oh
ya, lo dapet salam dari Rio,” ceplos Gabriel sembarangan.
“Salam
balik,” balas Ify sekenanya.
***
Agni
menatap jendela kelasnya dengan pandangan kosong. Setelah bertemu Shilla di
toilet, dia tak mau kemana-mana. Biasanya gadis itu akan menghabiskan waktu di
lapangan atau di kantin bersama Cakka, Sivia dan Ify. Sayangnya Cakka sedang
ada rapat bersama tim basket untuk
kejuaraan, dia tengah mempersiapkan kompetisi pertamanya. Sementara itu Sivia
sibuk menyalin tugas dan Ify mengembalikan buku di perpus. Jadilah Agni terdiam
di kelasnya, memadangi jendela sedari tadi dan mengabaikan ajakan teman-teman
sekelasnya.
“Andai lo tahu Cakka keluar dari The Wanted
gara-gara elo, apa lo masih sanggup bilang begitu? Apa lo masih bisa sombong
sementara kenyataannya lo udah ngerusak persahabatan orang?”
Shilla
tak tahu bahwa Agni mati-matian menahan diri untuk tumbang di hadapan gadis
tersebut. Shilla tak tahu bahwa Agni nyaris mengiyakan permintaan Shilla untuk
menjauhi Cakka. Kenyataannya, Agni memilih untuk mempertahankan karena sebuah
pemikiran yang terlintas di otaknya.
“Dia datang ke gue, berarti dia percaya sama
gue. Itu udah cukup buat dijadiin alasan untuk mempertahankan.”
Ya,
Cakka datang kepadanya. Pemuda itu memilihnya. Jadi Agni tidak boleh
mengecewakan pemuda itu dengan meninggalkannya setelah dia melepas The Wanted
untuknya.
Seperti
yang dia katakan pada Shilla, Agni memang sama keras kepalanya dengan Shilla.
Bahkan ada saat dimana Agni menjadi sangat egois, seperti sekarang ini. Bedanya
Agni menutupi kekurangannya dengan sifat-sifat menyenangkan. Dia supel, membuat
orang-orang mudah berteman dengannya.
Lamunan
Agni buyar saat sebungkus roti dan air mineral tergeletak di bangkunya. Gadis
itu mendongak dan mendapati sosok Cakka yang sedang nyengir kemudian duduk di
kursi depan bangku Agni.
“Tadi
gue ketemu Ify, katanya dia nggak ketemu elo sama sekali jadi gue pikir lo nggak
ke kantin. Makanya gue beliin roti di koperasi,” jelas Cakka tanpa diminta.
“Thanks. Tahu aja gue lagi laper, tapi
harusnya lo beliin gue mendoan anget,” sahut Agni seraya membuka bungkus roti
itu dan melahapnya.
“Buset
lo ketularan Sivia kayaknya,” decak Cakka.
“Rapat
lo gimana?” tanya Agni membuat wajah Cakka berubah sumringah.
“Gue
dapet peran jadi kapten cuy! Nggak
nyangka banget sumpah. Gue pikir Kak Patton bakalan terjun, tapi dia bilang dia
nggak ikutan main dan gue ditunjuk buat jadi kapten sementara,” jawab Cakka.
Mau tak
mau Agni juga ikut senang mendengarnya. Itu artinya perjuangan Cakka selama ini
tidak sia-sia. Untuk pertama kalinya, Agni tidak menyesal disebut perusak
persahabatan orang. Seandainya dia tak ‘merusak’ pesahabatan itu, mungkin Cakka
akan tetap bertahan di posisinya dan memendam dalam-dalam mimpinya sejak dulu.
“Kak
Patton bentar lagi harus pensiun, makanya dia lagi ngasih kepercayaan ke
adik-adiknya supaya dia bisa ngadepin UN dengan tenang,” ujar Agni.
“Sebenernya
gue masih nggak ngerti kenapa kapten basket putri itu elo sementara kapten
basket putra justru kakak kelas,” balas Cakka.
Agni
terkekeh, dia memang belum pernah menceritakannya pada Cakka karena dia pikir
pemuda itu sudah mengetahui.
“Kapten
basket putri yang dulu namanya Kak Oik. Setelah kenaikan kelas, dia disuruh
fokus belajar sama orang tuanya dan lagipula Kak Oik ngejar beasiswa di Sydney
jadi dia pensiun lebih awal. Akhirnya diadain pemilihan kapten basket baru.
Kalau Kak Patton, dia udah keterima di Universitas apa gitu—gue lupa, jadi
bebannya cuma UN,” jelas Agni panjang lebar.
“Oh...
baru paham. Gue pikir lo nggak naik kelas,” cetus Cakka.
Agni
melotot mendengarnya. “Gue nggak segoblok itu jir.”
***
“Gimana?
Lo udah ngomong ke mereka?”
Itulah
pertanyaan yang muncul saat Gabriel kembali ke kelas dan duduk di sebelah Rio.
Sepertinya sahabatnya itu sudah tak sabaran mendengar ceritanya.
“Shilla
sama Alvin ke mana?” tanya Gabriel tak mengindahkan pertanyaan Rio.
“Ijin.
Shilla ada syuting iklan terbaru. Awalnya dia mau minta anter sama elo, tapi lo
kelamaan ngilang sementara ponselnya bunyi mulu, akhirnya sama Alvin,” jawab
Rio.
“Kok
nggak sama lo?” tanya Gabriel—lagi.
“Bacot
banget sih, Yel. Buruan cerita,” sahut Rio sebal.
Gabriel
terkekeh lalu memulai ceritanya. Pemuda itu menceritakan dari awal sampai akhir
tanpa ada yang terlewat sedikitpun. Rio sendiri mendengarkan dengan seksama,
dia jadi menyesal kenapa harus menerima tugas sebagai tokoh pasif diantara
Shilla dan Alvin sementara Gabriel justru berduaan dengan Ify. Kalau tahu tidak
ada Sivia, sudah pasti Rio akan dengan senang hati menerima tugas untuk menemui
Ify.
“Oh iya,
kata Ify salam balik,” cetus Gabriel membuat mata Rio terbelalak.
“Lo
ngomong apaan sama dia?” tanya Rio terdengar panik.
“Cuma
bilang dapet salam dari Rio kok,”
jawab Gabriel tanpa dosa.
“Fuck. Gue nggak nitip salam buat dia
sama sekali,” dengus Rio.
“Masa?
Terus tadi yang bilang kangen siapa? Apa tadi gue dengernya isi hati lo yang
ngomong begitu ya?” goda Gabriel.
Sial.
Rio tak tahu sejak kapan Gabriel jadi suka menggodanya. Dan Rio, sebagai
manusia kaku menjadi kikuk jika digoda seperti itu. Sayangnya Gabriel justru
semakin gencar melihat reaksi Rio yang diduganya sebagai salah tingkah.
“Ya sori
deh kalo tadi gue salah denger, tapi kayaknya tadi lo bilang kangen sama Ify
makanya gue salamin. Harusnya lo
berterima kasih sama gue tahu,” ceplos Gabriel.
“Diem
lo.”
“Oh iya,
gue tadi sempet minta nomornya Ify soalnya kalo gue minta ke elo pasti nggak
bakalan dikasih,” cengir Gabriel.
“Tapi lo
tenang aja, gue nggak akan kepincut sama Ify tapi gue nggak tanggung jawab ya
kalau dia yang kepincut sama gue. Abisan gue sama lo cakepan gue jauh,
ibaratnya kalo gue ini Adam Levine, lo babunya,” imbuh Gabriel semakin gencar.
“Suka-suka
bacot lo aja deh, Yel,” balas Rio pasrah.
Rio
memijat keningnya mendengar cerocosan-cerocosan Gabriel yang semakin tidak
jelas. Sepertinya magnet Sivia juga kuat bagi Gabriel. Bahkan, dalam waktu
singkat Sivia bisa membuat Gabriel jadi mirip dengannya. Bawel dan pede tinggi.
“Aku dapet permen banyak loh, Yo. Kamu dikit
ya? Yah ini pasti gara-gara aku lebih ganteng. Kamu sih pake kostum batman,
kulit kamu kan item, kalo pake item malam-malam gini jadi serem tahu,” ucap
Gabriel kecil.
“Suka-suka aku dong mau pakai kostum apa. Habis
Alvin udah jadi Robin Hood, Cakka jadi Superman, aku kan jadi bingung mau pakai
apa,” balas Rio.
Detik
itu, Rio terperangah. Gabriel yang sekarang bukan pengaruh dari Sivia
sepenuhnya. Gadis itu memang punya peran, tetapi hanya sebatas ‘mengembalikan
Gabriel yang dulu’. Gabriel yang sekarang adalah Gabriel yang telah lama
hilang.
***
Bersambung...
Maafin saya yang semakin sibuk sama tugas-tugas kuliah. Semua dosen sedang menuntut semua tugas kelar cepet jadi you know lah. Sampai ketemu di part selanjutnyaa! Jangan lupa vote & komentar yaa