"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 30 April 2016

Cerbung (FF) - When You Hold Me part 9

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Halooo tim #BangkitkanCRAGSISA saya post part 9 sesuai janji. Semoga semakin penasaran dan ditunggu-tunggu. Terima kasih ya semuanya :)

Hope you like it guys

9


Ada kekosongan yang  tak terdefinisikan. Sejak Shilla mengungkapkan isi hatinya di hadapan pemuda ini. Andai namanya yang disebut saat itu, mungkin kekosongan ini takkan pernah ada. Andai dia yang ditunggu-tunggu gadis tersebut, mungkin kehampaan ini takkan berarti apa-apa. Alvin, pemuda itu mendesah, berusaha membuang pikiran-pikiran tentang Shilla. Sejak pengungkapan isi hati malam itu, Shilla jadi sering curhat tentang Gabriel padanya. Entah, Alvin sendiri tak pernah tahu sudah seberapa dalam perasaan Shilla untuk Gabriel—atau mungkin tak mau tahu.
Terkadang dia harus menulikan telinga. Terkadang, dia harus pura-pura tak pernah memergoki Shilla yang mencuri pandang ke arah Gabriel. Terkadang pula dia harus bersusah payah menata hatinya yang masih berantakan. Sekali lagi, Alvin menyesal telah datang malam itu. Seharusnya dia menuruti ucapan Sivia untuk tidak meninggalkannya.
“Udah tiga hari lo ngalamun. Mikirin apa? Sivia? Dia udah maklum sama kelakuan lo yang semena-mena itu kok,” cetus Deva yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
Alvin mendesah lega, kedatangan Deva membuatnya mengalihkan pikiran dari Shilla. Meski menyebalkan, Deva berhasil mengembalikan moodnya.
“Lo kok udah di rumah?” tanya Alvin tak nyambung.
Deva hanya mengedikkan bahu. “Bolos. Lagi males banget di kantor, apalagi kalo ketemu Keke. Bawelnya ngalahin bacotnya Sivia, masa katanya kerja gue nggak bener? Padahal gue bos—“
“Belum. Selama kedudukan Papa di kantor masih atasan lo, lo belum jadi bos,” potong Alvin dengan nada ketus.
“Ya yaaa whatever. Tetep aja gue anaknya pemilik perusahaan,” sahut Deva seraya mengibaskan tangannya.
Alvin tak menanggapi, dia justru menggapai remote tv lalu sibuk memindahkan channel. Pemuda itu reflek berhenti memencet tombol remote saat salah satu stasiun tv menampilkan wajah Shilla di layar kaca.
“Shilla jadi bintang iklan?” ceplos Deva.
“Gue juga baru tahu,” balas Alvin sekenanya.
Dia tak berbohong. Sejak Shilla sering menceritakan Gabriel—lebih tepatnya memuji—Alvin jadi tidak berminat mendengarkan, mungkin saat itu Shilla sempat menyinggung karir barunya.
“Lo belum move on, bro?” tanya Deva to the point.
Alvin menoleh menghadap Deva. Baru dia sadari, ternyata kakak yang tak pernah dipanggilnya ‘kakak’ ini tampak kelelahan.
You know me so well,” sahut Alvin pendek.
Deva mendengus lalu sorot matanya berubah seakan menerawang.
“Lo salah, bro. Sejak lo punya The Wanted, gue nggak pernah bisa mengerti elo. Gue kehilangan Alvin yang selalu ada buat gue, nggak peduli dia manggil gue kakak atau cuma nama. Dia sibuk sama sahabat-sahabatnya.”
“Dia nggak punya waktu buat main sama gue lagi. Dia bikin gue seolah-olah nggak pernah ada. Dia nggak pernah tahu kalo gue nangis setiap malem karena kecewa,” imbuh Deva bersama helaan nafas yang berat.
Alvin terkejut mendengarnya. Pemuda itu membeku cukup lama.
“Harusnya gue bilang sama lo sejak sebelas tahun  lalu. Tapi mungkin ini belum terlambat, gue... cemburu sama The Wanted.”
Pemuda itu masih tak merespon sampai akhirnya dia merasakan Deva berdiri dari duduknya dan meninggalkan Alvin. Dia benar-benar tak tahu apa yang dirasakan Deva dan tiba-tiba kakaknya itu mengungkapkan sesuatu yang membuat pikirannya terombang-ambing. Sama seperti saat dia mendengar pengakuan Shilla.
***
Rio menatap Mas Dayat yang sedang membereskan berkas-berkas perusahaan dengan tak sabaran. Sudah jam dua belas malam dan dia ada janji akan menelpon Ify jam setengah tujuh, itu artinya sudah lewat... astaga! Nyaris 6 jam!
“Kamu kenapa, Yo?” tanya Mas Dayat pada bos kecilnya.
Meski Rio adalah atasannya, pemuda itu tak pernah mengijinkan Mas Dayat memanggilnya dengan embel-embel apapun. Hanya nama.
“Saya ada janji mau nelpon Ify jam setengah tujuh, Mas,” jawab Rio meringis.
“Ya ampun. Ini sudah jam dua belas malam, kamu bikin anak orang nunggu lama. Sana kamu ke mobil dulu, nanti saya nyusul,” balas Mas Dayat.
“Nggak pa-pa kalau saya tinggal?” tanya Rio ragu.
“Kamu tenang saja. Sana kamu telepon Ify. Pantas selama rapat tadi kamu terlihat buru-buru, ternyata karena Ify,” kekeh Mas Dayat.
Rio hanya tersenyum menanggapinya lalu ijin untuk ke mobil duluan. Dia memang ditugaskan papanya untuk memimpin rapat perusahaan sementara papanya berada di luar kota. Begitu sampai di mobil, pemuda itu mengeluarkan ponselnya, mengabaikan notifications dan langsung men-calling nomor Ify.
“Jangan tidur  dulu, please,” batin Rio.
“Halo.”
Rio tersenyum lebar mendengar suara Ify di telinganya.
“Hai, Ify,” balas Rio sengaja menyebutkan ‘Ify’ bukan ‘Fy’. Sebab, baginya nama itu sangat indah untuk dilafalkan.
“Jam rumah lo bukan setengah tujuh?”
Sorry, gue gak ada maksud bikin janji palsu, tapi gue emang baru free. Untung lo belum tidur. Lagi apa?” sahut Rio merasa bersalah.
“Gue udah tidur, kebetulan tadi kebangun gara-gara Ozy minta bantuan ngerjain PR. Ini gue baru balik ke kamar lagi.”
“Mau tidur?”
“Hmm, iya. Besok kan sekolah. Lo juga harus tidur soalnya gue nggak mau besok lo ngantuk atau ketiduran di kelas terus  makin goblok. Kan gue yang repot.”
Mau tak mau Rio tertawa kecil mendengarnya. Dia tak tersinggung sama sekali dengan ucapan Ify karena dia tahu itu hanya sebuah candaan.
“Siap. Have a nice dream...
“Lo juga.”
“Hm, my one and only.”
Tidak. Rio tidak mengucapkan kalimat terakhir secara langsung, begitu Ify berkata ‘lo juga’ dia sengaja mematikan sambungan teleponnya. Untuk saat ini Rio tidak mau berharap apa-apa dulu, dia hanya takut kebersamaannya dengan Ify akan cepat berlalu. Biarlah semuanya berjalan seperti ini hingga nanti Rio benar-benar yakin akan perasaannya.
Tepat saat itu, Mas Dayat membuka pintu kemudi. Spontan Rio menyimpan ponselnya ke dalam saku.
“Sudah?” tanya  pria tersebut.
Rio menganggukkan kepalanya.
“Kamu tidur aja, Yo. Kalo besok sampai ngantuk atau ketiduran di kelas bakal ada yang repot kayaknya,” kekeh Mas Dayat.
“Mas Dayat nguping?” selidik Rio.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Nguping apa? Kan suara kamu nggak kedengeran dari luar.”
Rio mendesah lega meskipun masih penasaran mengapa ucapan Mas Dayat seperti sedang menggodanya. Kenyataannya, Mas Dayat memang tak menguping apa-apa.
***
The Wanted formasi baru menyusuri koridor sekolah. Shilla berjalan di depan bersama Gabriel, sementara Alvin dan Rio menyusul di belakangnya. Sepintas, tak ada yang salah, namun orang-orang tak pernah tahu kalau Alvin ingin sekali bertukar posisi dengan Gabriel saat ini.
“Eh tai, balikin bukunya. Gue belom selesai nyalin tauuu!”
Gabriel memfokuskan pendengaran dan penglihatannya. Benar, memang Sivia. Dia tengah bersama Ify dan Cakka.
“Nggak. Biar sekali-kali lo dihukum, masa tiap pagi kerjaan lo nyalin kerjaan orang,” balas Cakka lalu menjulurkan lidahnya.
Sivia merengut sambil terus berusaha mengambil buku yang disembunyikan Cakka. Sementara Ify, dia sepertinya lebih berminat membaca novelnya. Cakka tertawa lebar saat Sivia terus menjangkau buku tersebut, tingginya yang kalah jauh membuat gadis itu harus berjinjit-jinjit dan posisinya jadi tampak ‘dekat’ dengan Cakka.
“IFYYY! BANTUIN GUE!!” seru Sivia.
Bagaikan disengat saat Sivia menyebutkan nama Ify, Rio ikut terfokus pada pemandangan tersebut. Ify meletakkan novelnya dan menjangkau buku itu dengan mudah karena Cakka lengah.
“Yahhh... Ify...,” dengus Cakka.
“YEAHHHH! PERSAHABATAN KITA EMANG NGGAK BISA DIRAGUKAN LAGI FY! I  LOVE IFY!” sorak Sivia dengan heboh dan bergaya alay.
“Hm, kayaknya bagusan lo simpen aja bukunya deh, Cak,” ucap Ify semena-mena dan mengembalikan buku itu pada Cakka yang kini tertawa puas.
“Lo emang nggak bisa diragukan lagi, Fy,” balas Cakka seraya mengacak-acak puncak kepala Ify.
Tentunya pemandangan itu membuat Rio menahan napas. Dia memang tak tahu sudah sejauh mana Cakka dengan dunia barunya. Hanya saja, Ify tampak biasa saja saat tangan Cakka mendarat di sana seolah-olah itu sudah sering dilakukan.
“IFYYY! MUSUH DALAM SELIMUT!” tuding Sivia.
“Ya dong. Ify sekarang sekubu sama gue,” balas Cakka lalu meletakkan tangannya di bahu Ify. Lagi-lagi pemandangan itu ingin dienyahkan oleh Rio.
“Maaf ya, Siv. Gue bosen sama elo. Kayaknya kita sampai di sini aja,” cetus Ify dengan ekspresi pura-pura sedih.
“Anjir nyet berasa gue lgbt sama lo,” misuh Sivia.
“Loh, jadi kita selama ini apa? Lo php-in gue? Padahal gue udah serius sama lo tau. Fix lo jahat banget. Mending gue sama Cakka yang pasti-pasti aja,” balas Ify lalu mempersempit jarak antara dirinya dan Cakka.
“Akhirnya lo nggak sesat lagi, Fy,” cetus Cakka.
Sivia pura-pura muntah. “Jijik banget gue dengernya. Udah ah mana sini bukunya, bentar lagi masuk dan gue kurang satu nomor nyalinnya.”
Mau tak mau Cakka dan Ify tertawa mendengarnya.
“Kalian lagi. Selalu merusak ketenangan orang. Kampungan,” desis Shilla cukup tajam hingga Ify, Sivia dan Cakka menoleh ke  arah gadis itu.
Dengan gaya angkuhnya, Shilla melipat tangannya di depan dada dan menatap Ify dan Sivia dengan tajam. Sepertinya gadis itu sengaja mengabaikan sosok Cakka di antara mereka.
“Maksud lo apa?” sengak Sivia.
“Shil, stop. Kita ke kelas,” cetus Gabriel namun tak dipedulikan oleh Shilla.
“Lo ngerasa? Bagus. Lo sama temen lo itu mengganggu ketentraman sekolah ini. Dimana-mana selalu aja bikin ribut. Lo pikir ini sekolah punya lo?” balas Shilla tak kalah sengak.
Dalam beberapa detik Shilla dan Sivia saling beradu tatap dengan sinis. Koridor yang semula tak begitu ramai berubah jadi penuh. Semua anak yang awalnya berada di kelas kini sudah ikut menyaksikan. Mereka benar-benar tak menyangka ada yang berani melawan Shilla.
“Siv, kita balik ke kelas,” ucap Ify menengahi.
Sivia menggelengkan kepalanya. “Lo sudi kita dikatain sama makhluk ini? Kalo lo sudi, gue enggak! Dia harus dikasih pelajaran sekali-kali biar nggak sombong,” keukeuh Sivia membuat Ify mendengus.
“Tapi—“
“Mending lo bantuin gue jorogin ini anak ke neraka,” potong Sivia cepat.
Ify tak berkata-kata lagi, dia tahu persis Sivia tak akan bisa dibujuk kalau sedang berapi-api seperti ini. Gadis itu melirik ke arah Gabriel dan Rio. Kening Ify berkerut kala melihat wajah Gabriel yang menggambarkan kepanikan, kepanikan yang berusaha ditahan namun dapat dengan mudah dibaca oleh Ify.
“Harusnya lo tuh sadar diri, lo siapa di sini. Lo cuma cewek kampungan yang sukanya ganggu ketentraman, lo tuh debu alias ngotor-ngotorin sekolah kita,” ujar Shilla menyulut api.
Tahu-tahu saja Cakka sudah berdiri di depan Sivia, berhadapan langsung dengan Shilla yang tampak terkejut. Cakka menarik sudut bibir kirinya.
“Jaga ucapan lo, Shil. Sahabat-sahabat gue seribu kali lebih baik daripada lo. Ngerti?”
Shilla membelalakkan matanya.
“Oh jadi lo keluar dari The Wanted demi debu-debu ini? Selamat, Cakka Nuraga. Kayaknya lo musti ke psikiater,” sinis Shilla.
Thanks. Kalo menurut lo gue mulai gila, itu nggak berarti apa-apa karena kegilaan gue bikin gue bahagia. Yuk, Siv, Fy,” balas Cakka lalu melewati Shilla begitu saja.
Sivia menyempatkan diri menjulurkan lidahnya sementara Ify menatap miris ke arah Shilla. Sebagai pengamat, Ify tahu maksud dan tujuan Shilla yang tiba-tiba menghina Sivia dan dirinya  di depan umum seperti ini.
***
Shilla mematung. Detik kemudian gadis itu membelah kerumunan dan diikuti oleh Gabriel, Rio dan Alvin. Sampai  di kelas, Shilla tak mau bicara apa-apa dan tiga laki-laki itu mengerti. Dia butuh waktu.
Sementara itu, Sivia masih mencak-mencak dan tak henti menyumpahi Shilla. Berbeda dengan Cakka yang berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukannya sudah benar, dia hanya membela sahabat-sahabatnya. Dia tak mau kehilangan Ify dan Sivia setelah dia kehilangan The Wanted.
“Dia  cuma lagi ngetes elo, Cak,” ucap Ify.
Cakka menoleh ke arah gadis itu. “Maksudnya?”
“Sasaran utama Shilla itu elo, bukan gue atau Sivia. Dia mau tahu apa elo udah bener-bener ngelepas The Wanted atau belum, makanya gue sama Sivia jadi kambing hitam. Dan begitu tahu-tahu elo belain kita, tujuannya selesai, dia nganggep lo udah melepas The Wanted sepenuhnya.”
Penjelasan Ify membuat Cakka berpikir ulang. Yang dikatakan Ify bisa jadi kebenaran yang sesungguhnya. Cakka lantas menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya.
“Belum terlambat kalau lo mau balik ke sana,” cetus Ify tanpa mengalihkan pandangannya dari novel yang dibacanya.
Cakka menatap Ify. “Lo ngomong apa sih? Gue udah nyaman sama kalian. Kalian bikin gue punya banyak temen, dikenal banyak orang sebagai Cakka yang seru, dunia yang kalian kasih ke gue tak terduga.”
“Mungkin gue masih kepikiran The Wanted, tapi gue nggak akan balik ke sana.”
Tiba-tiba saja gadis itu menutup novelnya dan meletakkan di atas meja.
“Tapi mereka tetep sahabat lo kan?” tanya Ify serius.
“Selalu. Sebelas tahun gue sama mereka, selamanya mereka jadi sahabat gue. Hanya saja sekarang keadaannya berbeda. Kalaupun suatu saat nanti kita seperti dulu lagi, itu karena gue berbagi elo, Sivia dan Agni sama mereka,” jawab Cakka panjang lebar namun membuat Ify merasa lega.
By the way, kayaknya lo cocok jadi psikolog. Bahkan gue yang jadi sasaran utama Shilla aja nggak sadar sama sekali,” kekeh Cakka.
Ify hanya tersenyum mendengarnya. Baginya, mengamati orang lain adalah suatu kebiasaan muncul secara alamiah.
“Lo balik ke kelas gih, udah mau bel,” tegur Ify.
“Oke, bos. Gue balik dulu,” balas Cakka kemudian beranjak.
“SIVIA! GUE BALIK DULUUU! JANGAN KANGEEENNNN!”
Sivia yang sedang menyalin tugas hanya mencibir mendengarnya.
***
Seorang gadis dengan kuncir kuda dan berponi pagar yang tak lain adalah Agni tengah berada di toilet untuk membasuh wajahnya. Beberapa saat kemudian salah satu bilik toilet terbuka. Betapa terkejutnya saat muncul sosok Shilla dari dalam bilik tersebut, dia tak tahu kalau Shilla juga  terkejut melihatnya.
“Kebetulan ketemu lo di sini.”
Gerakan Agni terhenti. Gadis itu menutup keran wastafel lalu membalikkan badan supaya dapat bertatapan langsung dengan Shilla.
“Lo ngomong sama gue?” tanya Agni bingung.
Shilla menganggukkan kepalanya. “Lo Agni kan?”
“Iya.”
“Tolong jauhin Cakka,” ucap Shilla.
Detik itu keheningan menyergap seakan sedang memberi waktu pada Agni untuk mencerna ucapan Shilla. Tolong jauhin Cakka. Menyadari gadis itu menggunakan kata ‘tolong’ membuat Agni terkejut—sekali lagi. Sejak kapan dia menyimpan kosakata ‘tolong’?
“Maksud lo?”
Shilla menarik nafas dalam-dalam, lalu mengulang kembali ucapannya.
“Tolong jauhin Cakka. Jauhin Cakka. Jauhin.”
Agni menggelengkan kepalanya dan tersenyum remeh. Dia tak akan menjauhi Cakka setelah apa yang telah mereka lalui.
“Gue minta tolong ke orang yang salah,” balas Agni.
“Ini demi kebaikan lo, Ag. Cakka itu dari keluarga Nuraga, gue tahu lo nggak buta tentang Nuraga. Sementara elo? Anak PNS nggak akan bisa bersanding sama keluarga Nuraga. Jadi, tolong, jauhin Cakka,” ceplos Shilla.
“Gue nggak tahu lo serajin itu buat ngorek informasi tentang gue,” sindir Agni.
Shilla tak menanggapi sama sekali. “Biarkan Cakka kembali ke dunianya yang dulu, sebelum dia mengenal elo.”
Sekali lagi, Agni menggelengkan kepalanya.
“Udah gue bilang, lo  salah minta tolong sama gue. Kita sama-sama keras kepala, Shil. Satu-satunya cara adalah salah satu dari kita mengalah dan lo tahu persis itu bukan gue,” tajam Agni.
Setelah berkata demikian, Agni melangkahkan kakinya untuk keluar dari toilet. Namun langkah itu terhenti saat Shilla membuka bibirnya kembali.
“Andai lo tahu Cakka keluar dari The Wanted gara-gara elo, apa lo masih sanggup bilang begitu? Apa lo masih bisa sombong sementara kenyataannya lo udah ngerusak persahabatan orang?”
Cukup lama Agni membungkam.
“Dia datang ke gue, berarti dia percaya sama gue. Itu udah cukup buat dijadiin alasan untuk mempertahankan.”
Agni melenjutkan langkahnya kembali. Lagi-lagi, Shilla mematung. Tapi dia tidak boleh menyerah sampai Cakka kembali pada The Wanted. Dia pikir,  Agni akan mengiyakan permintaannya tetapi ternyata gadis itu keukeuh mempertahankan Cakka.
Semalaman Shilla memikirkan ini matang-matang. Jika Cakka tak melepaskan sahabat-sahabat barunya, maka dia yang harus membuat sahabat-sahabat baru Cakka melepaskannya. Dengan begitu Cakka akan ‘pulang’ dan The Wanted akan utuh lagi. Sayangnya keputusan Agni sudah bulat.
“Masih ada cewek-cewek tukang rusuh,” gumam Shilla.
***
“Dari mana?” tanya Alvin.
“Toilet. Nasi goreng pesenan gue belum dateng?” balas Shilla.
“Pesenan Rio juga belum,” sahut Alvin.
Shilla melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Ah, meskipun pesanan Rio datang pun dia akan lebih sering menatapi ponselnya.
“Gabriel mana?” tanya Shilla yang baru menyadari ketiadaan pemuda itu.
“Ketemu Bu Maryam,” sahut Alvin.
Di lain sisi, Gabriel sedang mencari-cari Sivia dan Ify—tidak seperti yang dikatakan Alvin. Dia dan Rio sepakat untuk menemui kedua gadis itu. Mereka membagi tugas, Gabriel menemui dua gadis itu sementara Rio bertugas mengawasi Shilla dan Alvin supaya mereka tidak curiga.
“Ify!”
Beruntung sekali dia bertemu Ify. Gadis itu menunjuk dirinya sendiri, lalu dibalas dengan anggukan oleh Gabriel. Ify lantas menghampiri pemuda itu.
“Sivia lagi nyalin tugas di kelas,” ujar Ify membuat Gabriel meringis.
Memang wajahnya terbaca sekali ya kalau dia sedang mencari-cari Sivia?
“Hm, gue mau ngomong sesuatu sama lo. Tapi kayaknya nggak di sini. Kita cari tempat yang sepi supaya nggak ada gosip karna lihat kita ngobrol,” jelas Gabriel.
“Ikut gue.”
Mereka lantas menuju ke taman belakang sekolah. Seperti dugaan Ify, taman ini sepi karena anak-anak lebih memilih untuk berada di kantin. Kemudian mereka duduk di salah satu bangku yang kebetulan berada di bawah pohon besar, kalaupun ada orang yang lewat mereka tak akan tahu ada Ify dan Gabriel di sana.
“Jadi, lo mau ngomongin apa?” tanya Ify to the point.
“Tentang Cakka. Ada yang perlu lo tahu, alasan Cakka keluar dari The Wanted. Waktu itu Shilla tiba-tiba marah sama Cakka lalu nyebut-nyebut Agni. Kayaknya Shilla bener-bener kecewa sampai akhirnya dia nyuruh Cakka milih, The Wanted atau Agni,” jawab Gabriel.
Ify tak berniat memotong cerita Gabriel sama sekali. Jadi, pemuda itu melanjutkan ceritanya.
“Pada akhirnya Cakka milih Agni. Awalnya gue sama nggak ngertinya sama Shilla, kenapa Cakka mendadak keluar dari The Wanted untuk Agni sampai akhirnya gue melihat dengan mata kepala gue sendiri betapa bahagianya dia. Dia ketawa lepas, dia jadi iseng, jadi idola, cewek-cewek jadi suka nongkrongin lapangan basket dan tentunya dia main basket lagi.
“Itu semua nggak pernah gue lihat selama dia di The Wanted. Waktu SD dia memang main basket, tapi sejak Rio mulai diajari papanya tentang perusahaan, dia nggak pernah nyentuh bola basket lagi karena satu-satunya partner basketnya cuma Rio. Terakhir gue lihat dia ketawa lepas pun waktu... entah, gue lupa. Yang jelas, gue jadi paham kenapa dia lebih milih Agni daripada The Wanted.”
Entah perasaannya saja atau apa, Gabriel seakan menunjukkan gelagat dia juga ingin seperti Cakka.
“Kalau ada pilihan untuk memilih dua-duanya, dia pasti bakalan milih itu,” sahut Ify.
Gabriel hanya tersenyum pahit. “Gue sama Rio minta maaf karena tadi pagi kita nggak bisa apa-apa, Kita bukannya—“
Nope. Gue sangat paham kok. Wajar kalo kalian diem karena pada dasarnya kalian emang harus ada di pihak Shilla. Lo nggak perlu merasa bersalah sama Sivia, meskipun dia nggak suka sama Shilla tapi dia nggak akan musuhin elo,” potong Ify membuat Gabriel terkekeh.
“Kenapa jadi Sivia?” tanya Gabriel.
“Seandainya lo emang mau nyebut nama gue, mata lo nggak perlu ngelirik sana sini karna ngarepin Sivia bakal nemuin kita di sini. Apa gue salah?” balas Ify seakan-akan yang diucapkannya tak berefek apa-apa.
Gabriel meringis. Benar kata Rio, gadis ini mengamati apapun hingga detail sampai lawan bicaranya akan berpikir bahwa Ify memiliki kekuatan magis yang membuatnya bisa membaca pikiran.
“Ya intinya itu. Point penting lainnya, gue nitip Cakka sama lo ya. Atas nama Shilla juga, gue meminta maaf untuk kejadian manapun yang bikin lo dan hm, Sivia sakit hati. Gue harap kalian bisa memaklumi sifat Shilla yang satu itu,” cerocos Gabriel.
Ify menganggukkan kepalanya.
It’s ok. Tapi gue nggak bisa nyampaiin ini ke Sivia karena lo tahu sendiri, nanti bukannya dimaafin malah Shilla  disamperin,” kekeh Ify.
Gabriel tertawa mendengarnya. Pantas saja Rio jatuh hati pada gadis ini—meski Rio tak pernah mengutarakannya—karena ternyata Ify memang gadis yang baik dan dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Satu lagi kelebihan gadis ini, dia mengetahui banyak hal tanpa harus menanyakannya terlebih dahulu.
“Boleh minta nomor lo?” tanya Gabriel.
Ify mengangguk dan menyebutkan nomornya.
“Sip. Oh ya, lo dapet salam dari Rio,” ceplos Gabriel sembarangan.
“Salam balik,” balas Ify sekenanya.
***
Agni menatap jendela kelasnya dengan pandangan kosong. Setelah bertemu Shilla di toilet, dia tak mau kemana-mana. Biasanya gadis itu akan menghabiskan waktu di lapangan atau di kantin bersama Cakka, Sivia dan Ify. Sayangnya Cakka sedang ada rapat bersama tim  basket untuk kejuaraan, dia tengah mempersiapkan kompetisi pertamanya. Sementara itu Sivia sibuk menyalin tugas dan Ify mengembalikan buku di perpus. Jadilah Agni terdiam di kelasnya, memadangi jendela sedari tadi dan mengabaikan ajakan teman-teman sekelasnya.
“Andai lo tahu Cakka keluar dari The Wanted gara-gara elo, apa lo masih sanggup bilang begitu? Apa lo masih bisa sombong sementara kenyataannya lo udah ngerusak persahabatan orang?”
Shilla tak tahu bahwa Agni mati-matian menahan diri untuk tumbang di hadapan gadis tersebut. Shilla tak tahu bahwa Agni nyaris mengiyakan permintaan Shilla untuk menjauhi Cakka. Kenyataannya, Agni memilih untuk mempertahankan karena sebuah pemikiran yang terlintas di otaknya.
“Dia datang ke gue, berarti dia percaya sama gue. Itu udah cukup buat dijadiin alasan untuk mempertahankan.”
Ya, Cakka datang kepadanya. Pemuda itu memilihnya. Jadi Agni tidak boleh mengecewakan pemuda itu dengan meninggalkannya setelah dia melepas The Wanted untuknya.
Seperti yang dia katakan pada Shilla, Agni memang sama keras kepalanya dengan Shilla. Bahkan ada saat dimana Agni menjadi sangat egois, seperti sekarang ini. Bedanya Agni menutupi kekurangannya dengan sifat-sifat menyenangkan. Dia supel, membuat orang-orang mudah berteman dengannya.
Lamunan Agni buyar saat sebungkus roti dan air mineral tergeletak di bangkunya. Gadis itu mendongak dan mendapati sosok Cakka yang sedang nyengir kemudian duduk di kursi depan bangku Agni.
“Tadi gue ketemu Ify, katanya dia nggak ketemu elo sama sekali jadi gue pikir lo nggak ke kantin. Makanya gue beliin roti di koperasi,” jelas Cakka tanpa diminta.
Thanks. Tahu aja gue lagi laper, tapi harusnya lo beliin gue mendoan anget,” sahut Agni seraya membuka bungkus roti itu dan melahapnya.
“Buset lo ketularan Sivia kayaknya,” decak Cakka.
“Rapat lo gimana?” tanya Agni membuat wajah Cakka berubah sumringah.
“Gue dapet peran jadi kapten cuy! Nggak nyangka banget sumpah. Gue pikir Kak Patton bakalan terjun, tapi dia bilang dia nggak ikutan main dan gue ditunjuk buat jadi kapten sementara,” jawab Cakka.
Mau tak mau Agni juga ikut senang mendengarnya. Itu artinya perjuangan Cakka selama ini tidak sia-sia. Untuk pertama kalinya, Agni tidak menyesal disebut perusak persahabatan orang. Seandainya dia tak ‘merusak’ pesahabatan itu, mungkin Cakka akan tetap bertahan di posisinya dan memendam dalam-dalam mimpinya sejak dulu.
“Kak Patton bentar lagi harus pensiun, makanya dia lagi ngasih kepercayaan ke adik-adiknya supaya dia bisa ngadepin UN dengan tenang,” ujar Agni.
“Sebenernya gue masih nggak ngerti kenapa kapten basket putri itu elo sementara kapten basket putra justru kakak kelas,” balas Cakka.
Agni terkekeh, dia memang belum pernah menceritakannya pada Cakka karena dia pikir pemuda itu sudah mengetahui.
“Kapten basket putri yang dulu namanya Kak Oik. Setelah kenaikan kelas, dia disuruh fokus belajar sama orang tuanya dan lagipula Kak Oik ngejar beasiswa di Sydney jadi dia pensiun lebih awal. Akhirnya diadain pemilihan kapten basket baru. Kalau Kak Patton, dia udah keterima di Universitas apa gitu—gue lupa, jadi bebannya cuma UN,” jelas Agni panjang lebar.
“Oh... baru paham. Gue pikir lo nggak naik kelas,” cetus Cakka.
Agni melotot mendengarnya. “Gue nggak segoblok itu jir.”
***
“Gimana? Lo udah ngomong ke mereka?”
Itulah pertanyaan yang muncul saat Gabriel kembali ke kelas dan duduk di sebelah Rio. Sepertinya sahabatnya itu sudah tak sabaran mendengar ceritanya.
“Shilla sama Alvin ke mana?” tanya Gabriel tak mengindahkan pertanyaan Rio.
“Ijin. Shilla ada syuting iklan terbaru. Awalnya dia mau minta anter sama elo, tapi lo kelamaan ngilang sementara ponselnya bunyi mulu, akhirnya sama Alvin,” jawab Rio.
“Kok nggak sama lo?” tanya Gabriel—lagi.
“Bacot banget sih, Yel. Buruan cerita,” sahut Rio sebal.
Gabriel terkekeh lalu memulai ceritanya. Pemuda itu menceritakan dari awal sampai akhir tanpa ada yang terlewat sedikitpun. Rio sendiri mendengarkan dengan seksama, dia jadi menyesal kenapa harus menerima tugas sebagai tokoh pasif diantara Shilla dan Alvin sementara Gabriel justru berduaan dengan Ify. Kalau tahu tidak ada Sivia, sudah pasti Rio akan dengan senang hati menerima tugas untuk menemui Ify.
“Oh iya, kata Ify salam balik,” cetus Gabriel membuat mata Rio terbelalak.
“Lo ngomong apaan sama dia?” tanya Rio terdengar panik.
“Cuma bilang dapet salam dari Rio kok,” jawab Gabriel tanpa dosa.
Fuck. Gue nggak nitip salam buat dia sama sekali,” dengus Rio.
“Masa? Terus tadi yang bilang kangen siapa? Apa tadi gue dengernya isi hati lo yang ngomong begitu ya?” goda Gabriel.
Sial. Rio tak tahu sejak kapan Gabriel jadi suka menggodanya. Dan Rio, sebagai manusia kaku menjadi kikuk jika digoda seperti itu. Sayangnya Gabriel justru semakin gencar melihat reaksi Rio yang diduganya sebagai salah tingkah.
“Ya sori deh kalo tadi gue salah denger, tapi kayaknya tadi lo bilang kangen sama Ify makanya gue salamin.  Harusnya lo berterima kasih sama gue tahu,” ceplos Gabriel.
“Diem lo.”
“Oh iya, gue tadi sempet minta nomornya Ify soalnya kalo gue minta ke elo pasti nggak bakalan dikasih,” cengir Gabriel.
“Tapi lo tenang aja, gue nggak akan kepincut sama Ify tapi gue nggak tanggung jawab ya kalau dia yang kepincut sama gue. Abisan gue sama lo cakepan gue jauh, ibaratnya kalo gue ini Adam Levine, lo babunya,” imbuh Gabriel semakin gencar.
“Suka-suka bacot lo aja deh, Yel,” balas Rio pasrah.
Rio memijat keningnya mendengar cerocosan-cerocosan Gabriel yang semakin tidak jelas. Sepertinya magnet Sivia juga kuat bagi Gabriel. Bahkan, dalam waktu singkat Sivia bisa membuat Gabriel jadi mirip dengannya. Bawel dan pede tinggi.
“Aku dapet permen banyak loh, Yo. Kamu dikit ya? Yah ini pasti gara-gara aku lebih ganteng. Kamu sih pake kostum batman, kulit kamu kan item, kalo pake item malam-malam gini jadi serem tahu,” ucap Gabriel kecil.
“Suka-suka aku dong mau pakai kostum apa. Habis Alvin udah jadi Robin Hood, Cakka jadi Superman, aku kan jadi bingung mau pakai apa,” balas Rio.
Detik itu, Rio terperangah. Gabriel yang sekarang bukan pengaruh dari Sivia sepenuhnya. Gadis itu memang punya peran, tetapi hanya sebatas ‘mengembalikan Gabriel yang dulu’. Gabriel yang sekarang adalah Gabriel yang telah lama hilang.

***
Bersambung...
Maafin saya yang semakin sibuk sama tugas-tugas kuliah. Semua dosen sedang menuntut semua tugas kelar cepet jadi you know lah. Sampai ketemu di part selanjutnyaa! Jangan lupa vote & komentar yaa

Selasa, 19 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 8

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hellooo tim #BangkitkanCRAGSISA akhirnya kita sampai di part 8 dengan lancar. Btw kok judulnya ganti? YAAA! Diprotes mulu soal judul, akhirnya saya ganti jadi When You Hold Me. Jauh amat ya. Nggak pa-pa judul ganti, yang penting ceritanya masih sama. Dari awal memang saya ngambil lagu Because Of You - Keith Martin jadi soundtrack (?) tapi karna banyak yang nyuruh ganti judul akhirnya saya ganti. When You Hold Me itu juga penggalan lirik lagu itu kok hehehe jangan protes lagi ya. Capek ngedit postnya jadi kelamaan post part ini. Langsung aja ~

Hope you like it guys

8


Shil, I’m so sorry. Gue nggak bisa datang. God bless you, Shilla. Good luck! Gue yakin lo cantik dan sempurna :)
Send. Setelah mengirim chat kepada Shilla, Rio bergegas melajukan mobilnya ke rumah Ify. Awalnya gadis itu mengajak bertemu di Caffe, tetapi Rio menolak karena tak ingin merepotkan gadis itu. Rio tak pernah tahu kalau magnet Ify begitu kuat. Setelah menceritakan kejadian hari ini pada Mas Dayat, pria tersebut mendukung Rio untuk menemui Ify saat itu juga, lantas Rio terpaksa membatalkan janjinya pada Shilla.
Mobil Rio berhenti di halaman rumah bercorak mozaik dengan warna-warna pastel. Setelah memastikan bahwa ini adalah rumah Ify, pemuda tersebut turun dari mobilnya, berjalan menuju pintu dan mengetok dengan sopan. Tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan seorang pemuda kecil yang menatapnya bingung.
“Siapa ya?” tanya pemuda kecil tersebut.
“Rio, teman Ify. Ify ada?” balas Rio.
Laki-laki kecil itu memperhatikan Rio dengan seksama. Sebuah cengiran lebar terhias di wajahnya. Rio mengernyitkan dahi saat laki-laki kecil tersebut berlari masuk dan meneriakkan sesuatu di luar dugaan Rio.
“KAK IFYYYY!!! ADA COWOK LO TUUHHHH!”
Rio nyaris tersedak ludahnya sendiri namun tak urung tersenyum geli pula. Dari ambang pintu, dia bisa mendengar Ify mendumel dan beradu mulut dengan laki-laki kecil itu.
“Bacot banget sih lu! Sono belajar!” nyolot Ify.
“Cieee yang nggak mau diganggu pacarannya,” ledek laki-laki kecil itu.
“Siapa yang pacaran sih? Hus! Hussss!”
“Elo lah! Bye yang ketemu pacarrrr!!”
Selanjutnya Rio bisa mendengar suara pintu yang ditutup dengan cepat. Tak lama kemudian Ify pun muncul dengan wajah kesalnya. Rio mengulum senyum, gadis itu terlihat lucu sekali.
“Sori ya. Adek gue emang ngeselin. Yuk, masuk,” ujar Ify mempersilakan Rio.
“Nggak masalah kok,” balas Rio sambil terkekeh.
Rio lantas duduk di sofa. Pemuda itu mengedarkan pandangan. Rumah Ify cukup luas—meski tak seluas rumahnya—dan didominasi dengan foto-foto.
“Gue ambilin minum dulu ya,” pamit Ify.
“Nggak usah—“
“Nggak pa-pa. Anggap aja rumah sendiri, asal jangan lo jual,” potong Ify cepat.
Rio tertawa kecil lalu menganggukkan kepala. Begitu Ify menghilang, pemuda itu kembali melihat foto-foto yang terpajang dan memenuhi dinding. Ada beberapa foto Ify semasa kecil—Rio gemas sekali melihatnya—kemudian foto bersama orang tua dan laki-laki kecil yang diduga Rio sebagai adik Ify. Belum sempat selesai memandangi foto-foto tersebut, Ify sudah kembali dengan segelas orange juice dan beberapa toples berisi biskuit.
“Lihatin apa lo?” tanya Ify sambil meletakkan orange juice dan toples tersebut di atas meja.
“Foto. Rumah lo penuh banget sama foto ya,” sahut Rio.
“Bokap gue hobi motret.”
Ify duduk lalu mulai membuka kertas-kertas ulangan yang Rio bawa.
“Itu siapa?” tanya Rio menunjuk salah satu foto. Foto dua gadis kecil yang saling berpelukan dan tersenyum lebar ke arah kamera.
Ify ikut memandang foto tersebut lalu tersenyum.
“Gue sama Sivia. Kita sahabatan sejak kecil. Foto kita banyak banget, apalagi dulu bokap seneng banget ngefotoin kita, katanya kita lucu. Sivia anaknya heboh daridulu, nah gue pendiem. Sejak kenal deket sama Sivia, gue jadi ketularan gila,” cerocos Ify.
“Eh kok gue jadi curhat sih,” ceplos Ify.
Reflek Rio tertawa. Dia pikir Ify berbicara panjang lebar seperti tadi dengan kesadaran penuh.
“Astaga nilai lo parah banget,” cetus Ify saat melihat kertas ulangan Rio.
“Sepuluh, nol, lima belas, dua puluh, nol, tanda tanya ya ampun lo niat sekolah nggak sih? Kalo gue pasti udah dicoret dari kartu keluarga nih. Pokoknya mulai sekarang lo harus serius! Sekolah tuh bukan buat main-main!”
Rio meringis menyaksikan reaksi Ify yang di luar dugaannya.
“Tapi lo tenang aja, gue bantu lo sampai bisa,” lanjut Ify.
***
Gadis ini meneguk ludahnya sedari tadi saat melihat sneakers incarannya masih terpajang. Sialnya, harga dari sneakers tersebut cukup mahal sehingga Sivia—ya, gadis itu—belum bisa membeli. Dia tak mau berlama-lama memandangi sneakers tersebut karena semakin dipandang, Sivia semakin mupeng.
“Lo lihat Deva?”
Sivia terlonjak saat Alvin tahu-tahu sudah berada di sebelahnya.
“Loh, bukannya tadi...”
Ucapan Sivia menggantung karena baru menyadari baik Deva maupun Lintar sudah tak ada. Gadis itu berdecak, menyesal karena dia terlalu asik melihat-lihat sneakers.
“Gue telpon Bang Lintar dulu,” putus Sivia lalu mencoba menghubungi Lintar.
Sial. Sivia lupa kalau abangnya itu mematikan ponsel setelah bertelponria dengan Deva karena menghemat batre. Dan dia pun yakin, Lintar yang sedang asik dengan Deva tidak akan sempat mengingatnya.
“Gimana?” tanya Alvin.
Gadis itu menggelengkan kepala. “Gue lupa kalo ponselnya dimatiin. Lo udah coba nelpon Kak Deva?”
“Nggak diangkat. Kalo diangkat mah ngapain gue nanya elo,” sahut Alvin terdengar ketus dan tak berssahabat.
“Biasa aja dong. Gue kan nanya baik-baik,” nyolot Sivia seperti biasa.
Alvin tak menanggapi. Dia justru berjalan keluar toko sepatu sekaligus meninggalkan Sivia yang saat ini membelalakkan mata.
“Anjir, cowok kampret seenaknya ninggalin gue,” umpat Sivia lantas menyusul pemuda tersebut.
Sivia mempercepat langkahnya supaya dapat menyamai langkah Alvin. Begitu langkah mereka sejajar, Alvin justru berhenti berjalan. Pemuda tersebut menatap sengit ke arah Sivia seakan berkata pergi lo melalui sorot matanya yang tajam.
“Ngapain ngikutin gue?” sinis Alvin.
“Ya terus gue musti ngikutin siapa kalo bukan elo? Jelas-jelas tadi kita di toko sepatunya barengan. Mikir dong!”
“Gue nggak peduli lo mau ngikutin siapa. Tapi lo harus berhenti ngikutin gue,” tandas Alvin kemudian berlalu.
“Sialan,” desis Sivia.
Gadis itu tak mau menyerah. Bukannya mengikuti ucapan Alvin, dia kembali menguntit pemuda itu secara terang-terangan. Kali ini Alvin membiarkan, ia berusaha tak peduli dengan kehadiran gadis itu.
“Lo mau ke mana sih? Gue capek nih,” ucap Sivia yang berjalan di samping Alvin.
Pemuda itu hanya diam dan menatap lurus ke depan.
“Alvin maahhhh pelan-pelan dong jalannya. Gue beneran capek. Lo tuh nggak peka banget ya jadi cowok. Pasti lo jomblo kan? Mana ada yang mau sama cowok nggak peka kayak elo,” cerocos Sivia.
“Tuh kan nggak jawab lagi! Anjir muka lo kayak ngajak berantem! Berapa tahun lo nggak senyum? Nih gue ajarin. Sudut bibir kanan sama kiri ditarik lebar-lebar. Gini nih,” lanjutnya sambil mencontohkan senyum lebar ala Sivia.
“Berisik,” ketus Alvin.
Sivia mengerucutkan bibirnya. Ternyata lebih mudah meladeni Gabriel dibanding laki-laki di sebelahnya ini. Setidaknya bersama Gabriel tidak membuatnya terlihat seperti orang bodoh yang bicara sendirian. Tapi kalau diperhatikan dari jarak sedekat ini, Alvin ternyata sangat tampan. Ups.
“Vin, ini kita mau ke mana sih?” tanya Sivia dengan muka temboknya.
“Neraka,” sahut Alvin membuat Sivia merengut.
“Ha. Ha. Ha. Nggak menghibur sama sekali,” balas Sivia.
“Gue nggak ada niat ngehibur elo kok.”
Jleb. Sivia tak tahu kalau Alvin semenyebalkan ini. Pemuda itu sangat irit bicara, tetapi setiap kali bicara selalut terdengar menohok. Andai saja ini bukan tempat ramai, pasti Sivia sudah mencekik Alvin sekarang juga.
Gadis itu memilih mengedarkan pandangannya, berharap dia akan menemukan Deva atau Lintar atau siapa saja yang dia kenal. Sayangnya tempat seramai ini membuat kemungkinan menjadi kecil.
***
Alvin tak berhenti bersumpah serapah di dalam hati. Andai saja dia tak menuruti ucapan Deva, pasti sekarang dia tak terjebak bersama gadis berisik di sebelahnya ini. Dia sampai pusing mendengar Sivia—seingatnya Sivia adalah nama gadis ini—bercerocos meskipun diabaikan. Kalau dia terjebak bersama Shilla sih tak apa.
Shilla? Alvin nyaris melupakan gadis itu karena mencari-cari Deva dan Lintar. Buru-buru Alvin mengecek ponselnya. Lima panggilan tak terjawab dari Shilla. Kemudian Alvin mengecek arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 18.30! Shit! Kenapa Alvin bisa lupa?!
“Vin! Vin! Lo mau ke mana? Woiii! Kalo gue ilang diculik gimana? ALVIINN!!”
Alvin tak peduli dengan seruan Sivia. Pemuda tersebut berlari keluar Mall, menyempatkan membeli sebucket mawar, lalu menyetop taksi dan bergegas menuju tempat pagelaran busana. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Shilla. Dia tak boleh mengecewakan gadis itu karena dia yakin saat ini Shilla tengah menunggunya.
“Pak, kenapa berhenti?” tanya Alvin panik.
“Lampu merah kan emang harus berhenti,” sahut sang sopir dengan nada heran seakan-akan Alvin adalah orang awam yang tak pernah naik kendaraan.
Pemuda itu mendengus. Jam 19.00 Shilla akan tampil. Setelah lampu merah berubah menjadi hijau, barulah taksi yang ditumpanginya melaju kembali. Alvin bernafas lega saat mereka hampir sampai. Tinggal belok ke pertigaan. Sayangnya kelegaan Alvin hanya berlangsung sejenak karena taksi itu kembali berhenti.
“Kenapa lagi sih, Pak?” omel Alvin tak sabar.
“Ada kecelakaan, Mas. Kayaknya parah banget,” sahut sang sopir.
Sebenarnya sopir itu ketakutan melihat wajah garang Alvin dan mendengar nada bicara pemuda tersebut. Alvin mendesah, sudah cukup dekat tetapi justru ada kejadian di luar dugaannya.
“Nih, Pak,” ujar Alvin menyerahkan uang.
“Loh, mau ke mana, Mas? Ini masih lumayan jauh, sekitar tiga kilometer lagi!” balas sopir itu.
“Saya jalan aja.”
Selanjutnya pemuda itu keluar dari taksi tanpa melupakan bucket mawar yang dibelinya. Alvin melirik ke jam tangan yang ia kenakan, detik berikutnya lelaki itu berlari dengan kencang, tak peduli beberapa orang yang sedang berlalu lalang mengumpatinya karena tak sengaja menabrak mereka tanpa meminta maaf. Pikiran Alvin lagi-lagi diisi penuh oleh Shilla.
“Shilla, tunggu gue,” gumam Alvin.
Keringat Alvin mulai bercucuran. Ia tak peduli kakinya sudah terasa sakit karena terlalu jauh berlari. Ia hanya ingin selalu ada di sisi Shilla.
Bibir pemuda ini tersungging saat ia datang tepat waktu. Meski dengan nafas terengah-engah, dia bahagia tak melewatkan gadis itu sedetikpun. Pemuda tersebut mulai memperhatikan Shilla yang sedang berlenggak-lenggok di catwalk, menampilkan senyum yang selalu membuat debar di dadanya. Semua mata memandang Shilla, memuji aura kecantikan gadis itu yang tak pernah sirna. Bagi Alvin, gadis itulah tokoh utamanya.
Alvin beringsut mundur saat Shilla akan menyelesaikan penampilannya. Sebelum Shilla sampai di backstage, pemuda itu sudah berada di sana.
Tepat saat Shilla menemukannya, Alvin menyunggingkan senyum terbaik. Diserahkannya sebucket mawar tadi pada Shilla, detik berikutnya Alvin merengkuh gadis itu dan memberikan kecupan singkat di puncak kepala Shilla, sangat singkat sampai-sampai gadis tersebut tak merasakan apa-apa.
“Lo cantik banget tuan puteri,” bisik Alvin.
Saat ingin mengurai pelukan tersebut, Shilla justru menahan dan pelukan itu terasa lebih erat. Detik selanjutnya Alvin merasakan bahunya basah. Shilla menangis.
“Tuan puteri, lo kenapa?”
Alvin benar-benar panik. Shilla tak pernah menangis. Gadis itu gadis yang tegar. Saat kedua orang tuanya tak datang di kelulusan SMP pun, Shilla masih bisa mengobrol seakan tak ada apa-apa. Padahal Alvin tahu kalau gadis itu teramat kecewa.
“Gabriel...”
Jantung Alvin berdentum. Firasat buruk menyergapnya saat dia mendengar gadis itu mengucapkan nama sahabatnya disela-sela isak tangisnya.
“Gabriel... nggak dateng, Vin. Dia udah janji mau dateng. Kenapa orang yang paling gue harapkan justru nggak dateng di hari penting ini, Vin? Kenapa?” racau Shilla semakin terisak.
Alvin mengeratkan pelukannya. Dia tak mau mendengar apa-apa lagi. Dia tak mau mendengar kelanjutan ucapan gadis itu. Apapun. Sedikitpun. Alvin tak mau mendengar! Tolong, sekali ini saja, jangan biarkan gadis itu bicara lagi—untuk saat ini.
“Gue sayang banget sama dia, Vin. Lebih dari sahabat...”
Ada yang hancur berantakan di dalam sana. Di dalam diri Alvin.
***
Alvin mengurung dirinya di dalam kamar. Pemuda itu tak mau keluar meskipun Deva sudah berkali-kali menggedor pintu kamarnya, memaki-maki dirinya karena meninggalkan Sivia begitu saja, dia tetap pada posisinya. Ucapan Shilla benar-benar membuatnya kesulitan bernafas. Sesak. Penantian selama enam tahun yang tak ada artinya karena gadis itu justru jatuh cinta pada Gabriel.
Mata Alvin menerawang jauh, tak habis pikir mengapa kisah cintanya sepahit ini. Mendengar isak tangis Shilla yang tak  pernah ditunjukkan pada siapapun membuatnya sedih. Akan tetapi, begitu sadar air mata itu diperuntukkan untuk laki-laki lain—dan laki-laki itu justru sahabatnya sendiri—membuat hati Alvin mencelos. Menyedihkan.
“Kenapa harus Gabriel, Shil? Kenapa bukan gue?” lirih Alvin.
Pemuda itu meremas selembar foto berisikan dirinya dan Shilla. Lima tahun lalu, kala The Wanted liburan ke Dufan bersama-sama. Gerakan itu terhenti karena tak ingin foto tersebut rusak. Kemudian dia beralih menatap foto-foto candid Shilla yang diambilnya dengan polaroid selama delapan tahun ini—sejak ia memiliki polaroid. Foto-foto itu disusun rapih di dinding, membuat sebuah kalimat. MY DREAM.
“Apa selamanya lo bakal jadi mimpi gue, Shil? Apa nggak ada kesempatan untuk memiliki elo seutuhnya?”
Ingatan Alvin berputar. Setelah mengungkapkan isi hatinya, Shilla tak bisa berhenti menangis sehingga Alvin harus membawanya keluar gedung. Mereka pun duduk di taman karena hanya tempat itu yang sepi.
Don’t cry, Princess,” bisik Alvin.
Laki-laki itu masih setia membagi dada bidang dan bahunya untuk Shilla. Untuk gadis yang sejak dulu menempati tahta tertinggi di hatinya.
“Gabriel pasti juga nggak akan suka kalo lo nangis,” imbuh Alvin.
Dan gadis itu menghentikan tangisnya. Sumpah, dia menyesal mengatakan itu. Dia tak pernah tahu kalau melihat gadis yang disayanginya berhenti menangis untuk orang lain bisa sesakit ini, meskipun orang itu pula yang menjadi alasannya menangis.
Sorry, gue ngerepotin elo,” ucap Shilla sangat pelan.
“Lo nggak pernah ngerepotin gue. Tapi, tolong jangan pernah nangis lagi. Gue bingung harus ngehibur kayak gimana,” ceplos Alvin menahan lara di hatinya.
Shilla tersenyum mendengarnya.
“Nah, senyum gini kan cantik,” cetus Alvin lalu terkekeh.
“Yang tadi jangan dibocorin sama siapapun ya, Vin. Gue nggak mau Gabriel tahu terus dia jauhin gue. Cukup Cakka aja yang pergi, jangan ada lagi,” ucap Shilla sudah membaik.
“Lo beneran jatuh cinta sama Gabriel?”
Sial. Alvin membodohkan dirinya sendiri mengapa menanyakan hal tersebut. Pertanyaan yang sudah jelas akan menyakiti dirinya sendiri jika Shilla menjawab. Nyatanya gadis itu benar-benar menjawab.
“Gue nggak tahu sejak kapan, tapi ini beneran. Sayangnya gue nggak pernah berani bilang karna takut persahabatan The Wanted bakalan hancur.”
Mendengar jawaban itu, mau tak mau Alvin merasa tersindir.
“Dia sangat dekat. Tapi kenapa tak tergapai?” tanya Shilla dengan pandangan mata yang kosong.
“Harusnya gue Shil yang nanya itu,” batin Alvin.
Lamunan Alvin buyar. Dia berharap mengalami amnesia saat ini juga.
***
“Siapa sih yang nggak kesel ditinggalin gitu aja? Lo kan tahu banget gue suka bingung kalo di Mall. Lah itu anak seenaknya pergi! Kesel! Dongkol banget! Dan lo tahu? Gue sampai ditemuin satpam Mall, diumumin kalo ada anak hilang namanya Sivia. Malu, Fy! Malu!”
Ify nyaris menertawakan kalau tak ingat sahabatnya ini benar-benar sedang badmood. Anak kelas 2 SMA diumumin di Mall karena hilang? Sumpah, ini konyol dan Sivia memang orang terkonyol.
“Terus dia nggak ada minta maaf lewat telpon atau apa gitu?” tanya Ify.
“Boro-boro. Gue yakin dia nggak bakalan inget udah ninggalin cewek manis sendirian di Mall. Nggak mikir kalau gue diculik nanti gimana coba?” ceplos Sivia membuat Ify memutar bola matanya malas.
“Penculik juga mikir-mikir kali kalo mau nyulik elo. Tiap detik nyerocos mulu,” cibir Ify. Sivia merengutkan wajahnya.
“Omong-omong, di gerbang tadi gue papasan sama Alvin. Mukanya makin horror. Datar banget,” cetus Ify.
“Tuh kan! Lo pasti setuju sama gue kalo dia jutek banget,” sahut Sivia pede.
Ify hanya mengedikkan bahunya. Gadis yang senang mengamati orang lain itu tak sepenuhnya setuju dengan ucapan Sivia. Sebab, beberapa kali dia memergoki Alvin menampakkan ekspresi yang berbeda. Bukan Alvin yang menyeramkan, bukan pula Alvin yang jutek, melainkan Alvin yang penuh perhatian. Anehnya, ekspresi itu selalu ditunjukkan saat menatap Shilla.
“Lo ngalamunin siapa? Rio?” cablak Sivia membuat beberapa anak di kelas menengok ke bangku mereka.
“Ngaco. Gue lagi mikir daftar novel yang belum kebeli,” sahut Ify cepat dan asal.
Beruntung sekali tak ada yang curiga.  Sejak Ify menceritakan kedekatannya dengan Rio, sahabatnya ini selalu mengait-ngaitkan semua hal dengan Rio.
“Minta beliin aja sama Rio. Duitnya kan banyak.”
Tuh kan! Rio lagi. Ify mendengus, diam-diam dia bersyukur karena tak ada yang mendengar ucapan Sivia kali ini. Lagipula kalaupun ada yang menanyakan, Ify akan dengan senang hati menyebut bahwa yang dimaksud adalah Rio lain. Bukan Rio The Wanted.
“Lo sama Gabriel gimana?” tanya Ify pelan.
Dia bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Gimana apa? Gue sama dia masih nyolot-nyolotan, lo tahu lah anak itu resenya kayak apa. Tapi mending dia daripada Alvin. Masa gue nyerocos mulu dikatain brisik? Nggak tahu diri! Jelas-jelas gue ngomong mulu gara-gara nggak ditanggepin sama dia,” balas Sivia menggebu-gebu. Tanpa sadar gadis itu malah membahas Alvin lagi.
Ify terkekeh. Geli mendengar curhatan Sivia sekaligus geli karna gadis itu mudah sekali dialihkan perhatiannya.
“Jadi nyantolnya ke Gabriel apa Alvin?” goda Ify.
“Lebih baik gue jadi jomblo seumur hidup,” jawab Sivia mantap.
“Nyet...”
“Apaan dah?” tanya Sivia bingung.
“Gue abis dibisikin malaikat nih, Nyet . Katanya doa lo udah disampaiin ke Tuhan. Selamat jadi jomblo seumur hidup. Gue turut bersuka cita. Akhirnya saingan mencari jodoh berkurang satu,” sahut Ify jahil.
Detik berikutnya mereka saling berdebat seperti biasa. Anak-anak sekelas pun sudah biasa menikmati kegaduhan yang dibuat oleh sepasang sahabat itu. Belum lagi kalau Debo muncul, pasti akan semakin heboh.
***
Gabriel melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Sudah ada sahabat-sahabatnya di sana. Sejujurnya, Gabriel masih mengantuk karena menonton klub bola favoritnya. Dahi Gabriel berkerut saat Shilla menatapnya dengan kesal.
“Semalem kenapa nggak datang?” tanya Shilla to the point.
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya karena tak mengerti dengan pertanyaan Shilla. Memangnya semalam dia harus datang ke mana?
“Maksudnya, Shil?” tanya Gabriel innocent.
Andai saja gadis itu sedang tak menyembunyikan perasaannya untuk pemuda di hadapannya ini. Pasti Shilla akan mengatakan panjang lebar bahwa semalam dia sangat berharap Gabriel ada di sana, dia menunggunya, dia ingin sekali Gabriel menyaksikannya di pagelaran busana.
“Kemarin lo bilang pasti dateng di pagelaran busana. Dulu lo juga sempet janji nggak akan mangkir. Lo lupa, Yel?” tanya Shilla retoris.
Sayangnya Gabriel tak menyadari nada terluka itu. Detik selanjutnya, Gabriel menepuk dahinya sendiri. Ternyata ini yang dimaksud Shilla kemarin, saat dia sedang asik memperhatikan Sivia dan tak menyimak obrolan. Itu sebabnya Gabriel salah tangkap.
“Hm, sorry. Semalam gue... mendadak sakit. Iya, kepala gue berat banget terus nyokap maksa supaya istirahat,” jawab Gabriel berbohong.
“Lo sakit? Sakit apa? Terus kenapa sekarang masuk? Lo harusnya di rumah aja.”
“Kayaknya kecapekan aja, Shil,” sahut Gabriel.
Demi neptunus, dia jadi merasa bersalah karena membohongi gadis ini dan membuatnya khawatir. Padahal jelas-jelas Gabriel kecapekan karna begadang menonton bola semalaman.
Sorry, Shilla. Gue nggak mungkin bilang kemarin gue nggak dengerin lo ngomong karna terpesona sama Sivia,” ucap Gabriel dalam hati.
Di lain sisi, Alvin yang berpura-pura tidur dengan menyumpalkan earplug di telinganya mendengar jelas sebab tak ada suara apapun yang keluar  dari earplug tersebut. Dia cemburu. Kali ini bukan pada Brian, tapi Gabriel. Selama ini Alvin disangka belum move on dari Angel oleh sahabat-sahabatnya hanya karna dia malas bertemu dengan Brian. Alasan  yang sesungguhnya adalah Shilla. Alvin tak suka melihat kedekatan Brian dengan gadis itu.
Rio sendiri tak begitu menyimak pembicaraan Shilla dan Gabriel. Dia sibuk dengan pikirannya, lagi-lagi tentang Ify. Pemuda itu tak tahu mengapa gadis tersebut bisa menyabotase otaknya sedemikian rupa. Lalu, Ozy. Laki-laki kecil yang ditemuinya di rumah Ify semalam. Obrolannya dengan Ozy membuat Rio semakin jatuh cinta pada gadis itu.
“Lo pacarnya Kak Ify ya, Kak?” ceplos Ozy.
“Temen,” jawab Rio sekenanya.
“Gue pikir pacarnya. Tapi bagus sih. Pacaran sama Kak Ify nanti bukannya ngajakin dinner romantis malah ke toko buku, mules duluan. Belum lagi nanti pas berduaan malah dicuekin sama novelnya.”
Rio tertawa mendengarnya. Ternyata benar kata Ify, adiknya ini rese. Tapi mungkin lebih tepat lagi kalau Ify mengatakan adiknya rese jika membicarakannya.
“Gitu ya? Emang sekarang Ify lagi kosong?” tanya Rio mulai memanfaatkan situasi untuk mengorek informasi berhubung gadis itu tengah mencarikan buku untuknya.
“Iya. Dia baru pacaran sekali, nggak tahu juga putus kenapa. Mungkin emang takdirnya nemenin Kak Sivia jadi jomblo,” jawab Ozy ngasal.
“Omong-omong, nama lo Mario Haling kan, Kak?” lanjutnya membuat Rio mengernyit heran.
“Tahu dari mana?”
Ozy tertawa kecil. “Sudah gue duga. Temennya Kak Shilla yang model terkenal itu kan? Cewek gue fans beratnya Kak Shilla, terus dia pernah ngasih lihat foto di instagramnya Kak Shilla. Hmm, The Wanted. Ya kan?” cerocos Ozy yang hanya diangguki oleh Rio.
“Nggak nyangka kakak gue bisa temenan sama cowok kece. Kenapa nggak pacaran sekalian? Siapa tahu gue ketularan kec—“
“Kecebong! Sana lu pergi!”
Tahu-tahu saja Ify sudah kembali dan memotong ucapan adiknya. Ozy nyengir lalu buru-buru pergi sebelum kena semprot.
“Galak banget sih, Mbak,” canda Rio.
“Dia tuh rese banget. Lo nggak diomongin aneh-aneh kan? Apa malah dia yang ngomongin gue?” sungut Ify.
“Nggak kok. Dia cuma curhat kalo ceweknya ngefans sama Shilla,” jawab Rio tak membocorkan pembicaraannya mengenai Ify tadi.
“Lah, itu tuyul punya cewek? Sialan, masih SMP aja sosoan pacaran,” umpat Ify.
“Nah elo SMA kok nggak ada pacar?” tanya Rio bermaksud meledek.
“Ngaca dong, Mas. Gue bukannya nggak ada pacar, tapi gue cuma lagi ngasih kesempatan ke jomblo-jomblo ngenes yang belum merasakan pacaran,” elak Ify membuat Rio terpingkal-pingkal.
Rio tersenyum mengingatnya. Setiap bersama gadis itu, waktu terasa lebih cepat berlalu. Sayangnya semalam dia tak bisa berlama-lama di rumah Ify karena orang tua gadis itu sedang pulang kampung. Mereka—khususnya Ify—tak mau jika tetangga sampai berpikir yang tidak-tidak.
“CAKKAAA!”
The Wanted—termasuk Rio—menoleh ke arah sumber suara. Rio mengernyit karena tak mengenali siapa yang sedang memanggil Cakka dari ambang pintu. Setelah Cakka melambaikan tangannya, seseorang itu masuk dan menghampiri bangku Cakka.
Bedge-nya kelas tiga,” cetus Gabriel.
“Sejak kapan Cakka kenal anak kelas tiga?” tanya Rio entah pada siapa.
Mereka memperhatikan Cakka dan seseorang itu dengan seksama. Mereka tampak akrab, terlihat seperti sudah lama kenal. Beberapa kali mereka saling melemparkan candaan lalu tertawa bersama.
Kasak-kusuk mulai terdengar di kelas. Kabar Cakka keluar dari The Wanted pun sudah tersebar di sangat cepat sampai ke guru-guru.
“Cakka kenal Kak Patton?”
“Lo nggak tahu? Cakka sekarang resmi jadi tim inti basket. Kak Patton sendiri yang resmiin Cakka buat gantiin Adyt, yang kemarin kecelakaan terus nggak dibolehin bokapnya main basket lagi.”
“Demi apa? Kak Patton sendiri? Gila! Hoki banget si Cakka. Udah masuk ke tim inti, kaptennya langsung lagi yang resmiin.”
“Cakka sekarang berubah. Temennya banyak dari seangkatan sampai kakak kelas. Denger-denger juga dia lagi banyak yang naksir. Lo tahu lah dia emang cakep, kakak kelas aja sampai ada yang belain nonton Cakka latihan.”
“Wih! Gue mau jadi fansnya Cakka kalo gitu. Eh kok lo tau banyak sih?”
“Satu sekolah juga udah pada tahu. Keluar makanya. Jangan di dalem kelas mulu.”
Percakapan itu didengarkan oleh The Wanted secara langsung tanpa dua anak itu sadari. Shilla menundukkan kepalanya, dia tak pernah tahu sudah sejauh itu perubahan Cakka. Alvin, Rio dan Gabriel sama kagetnya. Sejak Cakka keluar dari The Wanted, mereka lebih sering menghabiskan waktu di kelas sehingga tak tahu apa-apa.
***
“Cakka.”
Langkah Cakka terhenti. Pemuda itu berbalik dan mendapati Gabriel yang tengah berdiri menatapnya.
You look so different,” ucap Gabriel tak dapat menyembunyikan ketakjubannya.
Dia tak pernah melihat Cakka mengenakan seragam basket sejak mereka lulus SD. Kini Cakka mengenakannya, tampak sangat pas.
“Apa kabar, Cak?” lanjut Gabriel.
Cakka menarik salah satu sudut bibirnya. Dia tak menyangka akan bertemu dengan Gabriel dengan keadaan seperti ini. Hanya berdua. Dia pikir Gabriel sudah pulang sejak tadi, sebab biasanya juga seperti itu. Kecuali jika dia harus menemui kepala sekolah.
“Jauh lebih baik dari dulu,” balas Cakka cukup tajam.
Gabriel meringis mendengarnya. Padahal dia menyapa dengan maksud baik—lebih baik lagi kalau Cakka mau kembali—tapi ditanggapi dengan tajam.
“Kalau lo mau ngomongin hal nggak penting, gue nggak ada waktu,” kata Cakka kemudian berlalu.
Ingin Gabriel menahan pemuda itu  tapi lidahnya mendadak kelu. Mungkinkah Cakka yang sekarang masih sama dengan Cakka yang dikenalnya dulu? Pertanyaan tersebut terlintas begitu saja. Namun sekelebat bayangan tingkah laku Cakka sejak pertama kali bertemu sampai saat ini menyadarkan Gabriel tentang sesuatu.
Cakka yang dulu tak pernah bisa lepas dari bakset. Namun sejak Rio, partnernya mulai sibuk dengan urusannya, Cakka tak pernah menyentuh bola itu lagi. Dan sekarang Gabriel menemukan Cakka yang mencintai basket.
Tak mau membuang waktu lagi, pemuda itu berjalan ke arah lapangan indoor. Dia bersembunyi supaya tak ada yang tahu akan kehadirannya.
“Cakka, lo se-tim sama Debo ya,” ucap seseorang yang kalau tidak salah ingat, namanya adalah Patton.
“Wihhh kita harus kompak, bro!” seru Cakka lalu ber-high five dengan laki-laki berkulit putih. Mungkin itu yang namanya Debo. Ah, itu pemuda yang sempat membuat kegaduhan di kantin bersama Sivia dan Ify dulu.
Selanjutnya latihan dimulai. Gabriel masih asik memperhatikan sahabatnya—dia tak akan sudi menyebut Cakka sebagai mantan sahabat—yang sedang berusaha mempertahakan bola. Dia tersenyum, ternyata kemampuan Cakka masih ada sampai saat ini. Apakah ini yang membuat pemuda itu memutuskan untuk keluar dari The Wanted?
“CAKKAAAA!!! CAKKA CAKKA CAKKA!!”
Gabriel menutup telinganya saat tahu-tahu segerombolan gadis memenuhi tribun dan menyerukan nama Cakka. Ternyata pembicaraan teman sekelasnya tadi bukan gosip belaka.
Gabriel masih memperhatikan. Tim Cakka unggul dan memenangkan battle. Kemudian Cakka berlari-lari kecil ke sudut lapangan, menerima pemberian minum dari gadis berponi yang sama-sama mengenakan kaos basket. Sepertinya itu Agni. Selanjutnya mereka semua tampak mengobrol dan tertawa bersama.
“Kapan gue bisa kayak Cakka?” gumam Gabriel.

***
Bersambung...
Waaa akhirnya. Saya minta maaf kalau semakin nambah part ceritanya nggak sesuai ekspektasi hehe mohon dimaklumi. Saya juga lagi sibuk ngerjain laporan nih :'(
Oh iya, saya minta maaf karna ngacangin yang minta folback. Dari awal bikin akun wattpad niatnya emang mau baca-baca doang jadi saya cuma follow yang post cerita bagus karna nggak mau menuhin notif. Toh nggak folback kalian masih bisa baca *songong* Maafin :'( sudah kebal dikatain pelit folback :'(
Follow ask.fm/fannyslma