Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Holaaa kembali #BangkitkanCRAGSISA malam-malam. Sori banget kemarin saya super capek jadi nggak sempet lanjutin tapi sekarang saya bawa part 5 HEHEHE semoga semakin bikin kalian menunggu ya :p
Btw hari minggu saya berangkat KKL sekitar satu minggu jadi mungkin bakal ngaret. Doakan semoga KKL saya lancar ya, masih harus bikin laporan juga soalnya. Oh iya, makasih untuk komentarnya. Saya baca semua kok :)
Hope you like it guys
5
Wajah
lelah Rio terbayarkan ketika melihat Ify mulai membuka diri untuknya. Saat ini
mereka sedang berada di dalam mobil Rio. Ya, tawaran Ify ketika mereka berada
di rooftop akhirnya diterima oleh Rio
karena dia penasaran dengan apa yang ingin ditunjukkan gadis itu padanya.
Selama
perjalanan, gadis itu tak mau mengatakan tempat tujuan mereka. Ify sekedar
memberi petunjuk dan menyuruh Rio diam. Rio sendiri tak banyak memprotes, dia
sedang menikmati detak jantungnya yang berdegup hebat. Andai gadis di sebelahnya
ini tahu, dialah satu-satunya gadis yang duduk di dalam mobilnya—hanya
bersamanya. Seorang Shilla pun tak pernah berdua dengannya di dalam mobil ini.
Dan entah mengapa, Rio bahagia.
“Hm,
belok kanan, Yo!” seru Ify.
Rio
dengan patuh membelokkan mobil mereka.
“Nah!
Stop!”
Mobil
itu terhenti di sebuah tempat. Rio mengernyit, matanya menangkap sesuatu papan
bertuliskan “Rumah Anak Jalanan”. Selanjutnya laki-laki itu berbalik ke arah
Ify yang telah membuka pintu.
“Lo
yakin?” tanya Rio menahan Ify.
“Buruan
turun.”
Rio
menarik nafas kemudian ikut turun dan membuntuti gadis itu.
“Yuk!”
Rio
tersentak saat Ify menggandengnya. Entah mengapa hatinya berdesir, pemuda itu
terus menatapi jemari tangan Ify yang melingkari pergelangan tangannya. Detik
selanjutnya bibir Rio terangkat.
“SURPRISEEE!!”
seru Ify.
Sejurus
kemudian anak-anak yang awalnya sedang bercanda menghampiri Ify dan
memeluknya—Riopun kecewa karena gandengan mereka terlepas. Tanpa sungkan, Ify
membalas pelukan-pelukan itu dan memberikan senyuman terbaiknya. Rio ikut
tersenyum. Hanya dengan melihat adegan tersebut Rio tahu bahwa Ify adalah gadis
baik.
“Kita
kangen banget sama kakak,” cetus salah seorang anak.
“Kangen
ya? Sini peluk lagi,” balas Ify lalu memeluk anak tersebut sekali lagi.
“Ada
sia—lohh Ify! Sama siapa?”
Mendengar
suara lain, baik Ify maupun Rio mengalihkan pandangan. Seorang wanita
menghampiri mereka. Ify yang awalnya berjongkok kini sudah berdiri.
“Siang,
Tante. Ini Ify bawa temen,” sapa Ify seraya mencium tangan.
“Rio,”
cetus Rio ikut mencium tangan wanita tersebut.
“Panggil
saja saya Tante Yuni,” balas Tante Yuni.
“Hm,
Langit dimana ya, Tant?” ceplos Ify mencari seseorang.
“Langit
demam, Fy,” jawab Tante Yuni dengan wajah sedih.
“Tapi
mungkin kalo ketemu kamu dia bakalan sehat lagi. Dia kangen banget sama kamu,
Fy,” tambah Tante Yuni.
“Ify
sama Rio mau ketemu Langit dulu ya, Tante,” pamit Ify.
Setelah
mendapat anggukan dari Tante Yuni, Ify menggandeng Rio kembali untuk memasuki
rumah ini lebih dalam. Ternyata bagian dalam rumah ini lebih luas. Banyak
anak-anak yang sedang bergurau, belajar, dan melakukan hal-hal lainnya. Mereka
semua tak sungkan untuk tertawa lebar.
Sampailah
pada sebuah kamar. Ify langsung membuka pintu tanpa mengetok terlebih dahulu.
Dan Rio hanya menjadi tokoh pasif.
***
Mata
Shilla berbinar saat tahu namanya tercatut sebagai list model dalam pagelaran
busana tahun ini. Sejak dia memakai rancangan baju milik Nahni Wijaya, banyak
sekali tawaran untuk Shilla, termasuk yang baru-baru ini dia kebanjiran job sebagai model iklan produk
kecantikan. Tentu saja Shilla tidak sembarangan mengambil job karena dia harus mencari yang dapat menunjang karirnya.
“Shilla,”
gadis itu mendongak dan bertatap muka dengan wajahnya.
“Mama!
Ma, tahu nggak? Ak—loh kok Mama bawa koper?”
“Iya.
Mama harus cepet-cepet ke air port. Mama
mau ke Aussie, kamu baik-baik ya di rumah. Kalau Mama pulang nanti pasti Mama
bawain oleh-oleh lagi buat kamu sama temen-temen kamu,” cerocos Mama Shilla.
“Tapi—“
“Shillaaa,”
potong mamanya.
“Hm,
iya. Mama hati-hati ya,” balas Shilla menahan produksi air matanya supaya tak
tumpah di hadapan mamanya.
“I love you,” ucap mamanya seraya mencium
pipi Shilla dan bergegas pergi.
Shilla
mendengus. Rumahnya sepi lagi. Kemarin papanya pergi ke Bali untuk mengurus
perusahaan, sekarang mamanya. Gadis itu bertanya-tanya, sampai kapan rumah ini
selalu tak berpenghuni seperti ini? Shilla juga ingin merasakan kehidupan
normal seperti yang lain. Setiap pagi dibuatkan sarapan oleh mamanya, lalu
sarapan bersama dengan orang tuanya. Shilla ingin seperti itu.
Gadis
itu lantas membuka aplikasi line di ponselnya. Tanpa membaca chat-chat yang
masuk, dia membuka chat room ‘The
Wanted 4lyf’ dan mengetikan sesuatu di sana.
Shilla: Nanti malem beneran gak ada
yang free? Gue suntuk
Alvin: Gue free
Rio: Ada janji sama Mas Dayat
Alvin: Pacaran mulu sama Mas Dayat
Gabriel: Ada urusan
Shilla: Cakka mana? Yaudahlah, Vin.
Jalan yuk
Alvin: Ok
Hanya
The Wanted pelariannya. Sampai kapanpun, Shilla akan mempertahankan The Wanted
karena hanya mereka yang Shilla punya. Apapun yang terjadi Shilla akan terus
menahan mereka untuk tetap stay.
Karena dia telah kehilangan perlakuan orang tua yang selayaknya, dia tak mau
kehilangan sahabat-sahabatnya.
Mendadak
ingatan Shilla berputar pada beberapa hari silam, saat dia tak sengaja
menemukan Cakka bersama seorang gadis yang tak dikenalnya. Mereka mengobrolkan
sesuatu—sayangnya Shilla tak dapat mendengar. Akan Shilla pastikan bahwa
obrolan itu adalah obrolan terakhir mereka.
Lamunan
Shilla buyar saat ponselnya berdering. Gadis itu buru-buru mengangkatnya.
“Halo,
Tante Nahni,” sapa Shilla.
“Shil, nanti malam photoshoot untuk katalog
ya.”
“Nanti
malem, Tan?” tanya Shilla teringat acaranya dengan Alvin.
“Iya. Kamu lagi nggak sibuk kan?”
“Hm,
enggak kok. Tapi Shilla boleh bawa temen?” tanya Shilla lagi.
“Boleh kok.”
“Siap,
Tante.”
“Oke, Shil. Makasih yaa. Oh iya, kamu dapat
salam dari Brian.”
“Salam
kembali. Sampai jumpa nanti malam, Tante.”
Selanjutnya
Shilla terkikik membayangkan wajah Alvin saat tahu tujuan mereka nanti malam.
***
Gabriel
masih tak mempercayai dirinya sendiri. Dia di Dufan bersama Sivia, gadis yang
punya hobi memakinya secara blak-blakan. Yang paling tak dipercayai Gabriel
adalah dia memasuki Dufan hanya untuk mengikuti ide konyol Sivia, it’s ok ini awalnya memang idenya supaya
peperangan mereka usai—meski Gabriel tidak yakin—tapi dia tak tahu kalau Sivia
ini benar-benar gila.
“Kita ke Dufan, kita naik semua permainan yang
ada di sana. Siapa yang paling bahagia dia yang menang.”
Perjanjian
konyol itu membuat Gabriel ingin lari dari sini saat ini juga. Mereka sedang
mengantri tiket untuk naik halilintar. Seumur hidup, Gabriel belum pernah naik
wahana ini dan tidak pernah sudi. Detik berikutnya dia sadar bahwa dia sudah berada
di wahana tersebut. Shit.
“Percaya
sama gue. Ini bakalan seru,” ucap Sivia membuat Gabriel melengos.
Mendadak
Gabriel berkeringat dingin, dirinya merasa melayang-layang. Sementara itu Sivia
justru bersemangat dan berteriak-teriak
hingga membuat telinga Gabriel pengang. Gadis itu sama sekali tak
ketakutan—justru wajah Gabriel yang terlihat pucat.
“Lo
masih hidup kok, Yel. Lo masih hidup,” batin Gabriel berulang-ulang mengatakan
hal yang sama.
“WOOO!!!
WAHAHAHA!!”
Sumpah,
sebelum naik Sivia mengatakan kalau dia lapar. Mendengar teriakan-teriakan
gadis itu daritadi, Gabriel yakin kalau Sivia berbohong. Mana ada orang lapar
memiliki tenaga seperti itu?
Saat
halilintar berhenti, Gabriel bersyukur dia masih dapat menyimpan nyawanya.
Namun kelegaan pemuda itu hanya sementara karena selanjutnya Sivia sudah
menarik tangan Gabriel menuju ke wahana kora-kora. Mendadak perut Gabriel
terasa melilit menyaksikannya.
“Kita
beneran bakal naik ini?” tanya Gabriel polos.
“Iya
lah! Ini seru banget. Lo nggak takut ketinggian kan? Eh gue ngomong apaan sih?
Jelas-jelas lo tadi naik halilintar pasti nggak takut. Ayookk!” cerocos Sivia.
Pemuda
itu mendesah. “Gue nyerah deh,” putus Gabriel memendam gengsinya.
Langkah
Sivia pun terhenti lalu menatap Gabriel dengan bingung. Baru disadarinya, cowok
itu sama sekali tak terlihat bahagia, justru sebaliknya. Sivia jadi semakin
bingung. Ada ya orang yang tidak bahagia di Dufan?
“Lo
kenapa? Sakit?” tanya Sivia.
Gabriel
menggeleng. “Gue nyerah. Gue min—“
“Nggak!
Ayo ikut! Gue tunjukin caranya bahagia,” potong Sivia lalu memaksa Gabriel
untuk tetap naik kora-kora.
“Sivia,”
ucap Gabriel penuh penekanan.
Sivia
berhenti lalu menoleh ke arah Gabriel.
“Gue
beneran nggak bisa naik itu. Bahagia kita beda, sesuatu yang bikin lo bahagia
belum tentu bikin gue bahagia,” jelas Gabriel tanpa sadar menggunakan nada
tinggi membuat Sivia membisu.
Gadis
itu menundukkan kepalanya. Gabriel jadi merasa bersalah pada gadis di
hadapannya itu.
“Sivia,”
panggil Gabriel.
“Kenapa
nggak bisa, Yel? Emang apa yang bikin lo bahagia? Bareng The Wanted? Gue nggak
pernah lihat lo ketawa lepas bareng mereka,” tandas Sivia.
“Siv...”
“Untuk
hari ini aja. Gue tunjukin ke elo caranya bahagia. Lo mau kan, Yel?”
Entah
setan apa yang sedang merasuki Sivia. Gadis itu benar-benar ingin memamerkan
dunia luar pada Gabriel, menunjukkannya bahwa tak bersama The Wanted pun dia
masih bisa bahagia. Dengan pertimbangan yang cukup matang, akhirnya Gabriel
menganggukkan kepalanya.
“Tapi
jangan naik kora-kora ya, gue belum terbiasa di tempat ramai,” kata Gabriel.
Sivia
merekahkan senyumnya. Detik selanjutnya gadis itu menarik Gabriel untuk menuju wahana yang lain. Bianglala.
***
“Mereka
semua ditemuin Tante Yuni di jalanan, tanpa kasih sayang orang tua. Pertama
kali gue nemuin tempat ini, rasanya seperti ditampar kehidupan. Gue yang bisa
hidup serba ada masih suka mengeluh,” ucap Ify.
Setelah
menemui Langit, mereka duduk di salah satu kursi yang berada di halaman.
“Langit,
anak itu bikin gue jatuh hati. Semangatnya nggak pernah pupus. Dan lo tahu? Dia
juga punya mimpi yang sama kayak elo. Jadi musisi,” tambah Ify.
Rio jadi
mengingat-ingat sosok Langit. Meski sedang demam, laki-laki kecil itu masih
bisa tertawa dan bergurau bersama mereka. Dia juga sempat memamerkan
keahliannya bermain gitar pada Rio.
“Fy,
terima kasih ya,” ujar Rio untuk pertama kalinya mengatakan ‘terima kasih’. Ify
sampai nyaris tak percaya.
“Yang lo
tunjukin ke gue itu lebih dari indah dan tak terduga,” lanjutnya pelan.
Ify
menganggukkan kepalanya lalu menepuk bahu Rio.
“Jangan
takut bermimpi. Kenyataan nggak selalu tentang apa yang lo lihat. Mungkin
sekarang semuanya masih abu-abu, sebab lo masih melihat mimpi itu dari jauh. Lo
cuma perlu melangkah dan tiba-tiba mimpi lo udah di depan.”
“Gue
masih bingung harus mulai dari mana,” balas Rio.
Selanjutnya
tangan Ify bergerak menggenggam tangan Rio lalu mengarahkannya menuju dada Rio.
“Dari
sini. Lo harus punya tekat.”
Mata
mereka bertubrukan. Rio, laki-laki itu merasa dirinya diberi kekuatan.
***
Alvin
tengah mematut dirinya di depan cermin. Dengan kaos v-neck berwarna hitam
polos, dia tampak tampan. Belum lagi wajahnya yang cerah karena kali ini dia
akan pergi hanya bersama Shilla. Setelah merasa sempurna, Alvin keluar dari
kamarnya. Untungnya Deva sedang lembur di kantor.
Tak
sampai setengah jam, Alvin sampai di rumah Shilla bersama mobilnya. Shilla
tampak cantik dengan jumpsuit-nya.
Rambut Shilla sengaja digerai, membuat Alvin susah bernafas karena mengagumi
kecantikan gadis tersebut. Mau berpenampilan seperti apapun, bagi Alvin, Shilla
selalu cantik.
“Kita mau
ke mana tuan puteri?” tanya Alvin.
“Ke
tempatnya Tante Nahni,” jawab Shilla langsung membuat wajah Alvin berubah.
“Kok ke
situ sih?” protesnya.
“Iya.
Tadi gue di-calling dadakan katanya
malam ini photoshoot. Lo mau nemenin gue kan? Ya kan, Vin?” desak Shilla.
“Tapi—“
“Alvinnn,
please. Nggak ada Brian kok,” potong
Shilla.
“Iyaaa.
Apa sih yang nggak buat lo,” balas Alvin lalu membelai puncak kepala Shilla
dengan lembut supaya rambutnya tetap tertata rapi.
“Ahh lo
emang super baik,” ceplos Shilla.
Alvin
hanya terkekeh. Dia selalu senang melihat Shilla juga senang. Baginya,
kebahagiaan Shilla adalah kebahagiannya. Terkadang Alvin pun tak mengerti sudah
seberapa dalam perasaannya pada gadis ini. Yang jelas, Alvin ingin terus
membuat Shilla bahagia.
“Yuk,”
ajak Alvin.
Mereka
lantas bergegas menuju tempat photoshoot.
Biasanya Shilla diantarkan oleh sopir—berhubung dia tak bisa menyetir—dan kini
bersama Alvin, hanya berdua.
“Ya
ampun ini parfume dari gue kan?”
cetus Shilla menemukan sebuah parfume
di mobil Alvin. Shilla tertawa melihat ada tanda tangannya di sana.
“Selalu
gue taroh mobil,” balas Alvin.
“Pasti
karna lo suka kelupaan make parfume
kan?” tebak Shilla.
Alvin
hanya mengangguk saja karena bukan itu jawabannya. Dia sengaja menyimpan parfume pemberian Shilla di mobil supaya
dia bisa menyemprotkannya setiap saat dan dalam sekejap Alvin dapat merasakan
kehadiran Shilla.
“Eh,
Vin. Gue masuk di pagelaran busana tahun ini!”
“Oh ya?
Waahh selamat, Shil. Gue ikut seneng dengernya. Pokoknya gue bakalan nonton deh
buat lo,” cerocos Alvin.
“Kok
kayaknya lebih bahagia elo daripada gue ya?” kekeh Shilla.
“Iya
dong. Sahabatnya bahagia masa guenya lempeng?” kilah Alvin.
“Gue
selalu bahagia lihat lo bahagia, Shil,” lanjut Alvin dalam hati.
Diam-diam
Shilla terharu mendengarnya. Memang hanya The Wanted, mamanya pun tak peduli
padanya. Saat mendengar nada bahagia Alvin barusan, Shilla berimajinasi
seandainya dia sempat mengatakan hal itu pada mamanya, apakah mamanya akan ikut
bereaksi seperti Alvin? Apa sebaliknya?
“Lo
ngalamun, Shil?” tanya Alvin.
Shilla
tergagap namun dengan cepat gadis itu menguasai diri kembali.
“Gue
kepikiran nanti pas pagelaran busana bisa maksimal apa enggak. Gue lagi
kebanjiran job jadi model iklan nih,”
jawab Shilla berbohong.
“Widihhh!
Gue bakal punya temen artis. Hm, kalo menurut gue pasti elo bakalan maksimal
kok. Shilla gituuu.”
“Tapi
Pak Bejo nggak bisa nganterin gue pas acara nih,” keluh Shilla.
“Pesen
gojek dong biar gampang.”
“Sial.
Lo tuh nggak peka banget ya lagi gue kodein,” sengit Shilla.
“Ck, kalian para cewek selalu menuntut
kami peka padahal kalian tahu sendiri kalo cowok mikirnya realistis, bukan
kode-kodean,” dengus Alvin sekalian curhat.
“Kok
jadi cewek yang salah?”
Alvin
terkekeh. “Bosen kalo cowok mulu yang serba salah. Sekali-kali cewek dong.”
Alvin
merasa dirinya berubah setiap hanya berdua bersama Shilla. Saat dengan Deva
pun, dia tak ada gairah untuk berbicara, sekali bicara akan menohok. Berbeda
jika Shilla yang mengajaknya mengobrol.
“Bisa
banget lo. Eh udah mau sampai. Habis ini belok kanan.”
“Siap!”
***
Sejak
pulang dari menemani sepupunya mencari event
organizer, Cakka bersama Agni. Dia bahkan sengaja mematikan ponselnya
supaya dia tak perlu berbohong apa-apa pada The Wanted. Setidaknya untuk hari
ini. Besok biarlah menjadi urusannya
besok.
“Lo
nggak capek, Cak?” tanya Agni mulai ngos-ngosan.
Cakka
yang sedang men-dribble bola
menggelengkan kepala. Jelas saja, sebelum bertemu Cakka gadis itu ada latihan
basket dan tenaganya sudah terkuras.
“Lo main
sendirian dulu, ya. Gue capek banget,” kata Agni.
Baru
disadari Cakka kalau Agni sudah berkeringat hebat sedangkan dirinya masih segar
meski telah bermain selama satu jam lebih. Cakka pun menyetujui lalu
melanjutkan permainannya. Sendiri, seperti biasa. Beberapa gerakan yang
diajarkan oleh Agni berhasil dikuasainya.
Dari
kejauhan, Agni dapat melihat tekat Cakka yang kuat. Laki-laki yang dipandang
sombong oleh teman-temannya itu sebenarnya punya banyak sisi baik. Cakka pernah
mengubur mimpinya demi persahabatannya, dia selalu berpura-pura bahagia di
depan The Wanted, semua yang dilakukannya hanya untuk sahabat-sahabatnya.
Bahkan, sekarang, Cakka yang sedang mengejar mimpinya kembalipun harus
melakukan secara diam-diam.
“Udah
capek?” tanya Agni pada Cakka yang telah menghampirinya.
“Lumayan.
Gue udah berkeringat, meskipun nggak sebanyak elo,” kekeh Cakka.
“Anjir.
Iya gue bau banget,” cetus Agni seraya mencium bau badannya sendiri.
Cakka
tertawa. “Bau keringat anak basket mah wangi-wangi aja,” ledeknya.
“Yaaa
terserah elo deh. Eh udah malem nih, pulang yuk!” ajak Agni.
“Oke.
Gue anter ya?”
Agni
menganggukkan kepala. Baginya, bergaul bersama Cakka bukan sesuatu yang sulit.
Selain karena dia sudah biasa punya teman laki-laki, baginya Cakka adalah orang
yang asik. Andai dia mau memulai mengenal orang-orang baru, dia pasti akan
mudah mendapatkan banyak teman.
“Kalau
temen-temen gue lihat gue lagi sama elo gini, pasti mereka heboh,” celetuk Agni
membayangkan wajah teman-temannya.
“Pasti
mereka bakalan kaget terus nanya ‘Ag,
serius lo kenal sama Cakka?’ atau ‘sumpah
Ag, itu Cakka The Wanted?’ paling parah sih bakal bilang ‘lo temenan sama Cakka? yang sombong banget
itu? gila!’ beneran nggak bisa gue bayangin,” cerocos Agni lalu tertawa
terpingkal-pingkal.
Cakka
yang mendengar ikut tertawa. Dia tahu betul reputasinya di Budi Karya. Maka,
tidak heran lagi kalau Agni memisalkan kekagetan mereka semua seperti itu. Dia
pun sudah kebal dibilang sombong atau sok atau anti-sosial.
“Ada
yang pernah ngomongin gue ke elo, Ag?” tanya Cakka.
Agni
mengangguk. “Sering. Ada yang bilang lo itu paling cakep di The Wanted tapi
sayangnya sifat lo sama aja kayak Gabriel, Rio, Alvin dan Shilla.”
“Jangan-jangan
itu lo ya yang ngomongin gue?” goda Cakka sambil tertawa kecil.
“Enak
aja! Pede banget sih lo,” bantah Agni sambil tertawa pula.
Obrolan
itu terus berlanjut sampai mereka masuk ke mobil Cakka. Bersama Agni, Cakka
bisa tertawa lepas. Bersama Agni, dia bisa mengejar mimpinya kembali. Bersama
Agni, Cakka tahu rasanya punya teman di luar The Wanted.
“Terus,
waktu mereka ngomongin gue, lo bilang apa?” tanya Cakka sembari menyalakan
mesin mobilnya.
Agni tampak mengingat-ingat.
“Semuanya
kembali ke cara pandang lo. Kalo lo lihat dia baik, apapun yang dia lakuin
bakal lo maklumin. Sebaliknya, kalo lo lihat dia buruk, kebaikannya akan tetap
buruk buat elo.”
Kembali,
Cakka dibuat terperangah. Ucapan Agni selalu bermakna untuknya.
“Ag, thanks ya. Cuma elo yang nggak mandang
gue sebelah mata,” ucap Cakka tanpa mengalihkan pandangan dan tetap fokus menyetir.
“With pleasure, Cakka.”
***
Hari ini
kembali ke aktivitas sekolah seperti biasa. Cakka, Rio, dan Gabriel kembali
dengan wajah yang lebih cerah. Jika Rio datang membawa kenangan indahnya
bersama Ify dan Cakka terus membayangkan Agni, lain hal dengan Gabriel.
Laki-laki itu masih dibuat terpukau dengan Sivia. Dia tak pernah tahu kalau
naik bianglala bersama Sivia dapat membuatnya bahagia.
“Kita foto! Cheese!” seru Sivia mengarahkan kamera polaroidnya
ke dirinya dan Gabriel untuk foto bersama.
“Anjir muka lo jelek banget. Ulang ulang!”
protes Sivia.
“Muka gue apa muka lo?” balas Gabriel.
“Muka lo lah! Muka gue nggak usah ditanya,
Justin aja milih gue daripada Selena. Eh eh senyummmm.”
Gabriel pasrah diajak berfoto namun juga
menikmati kebersamaan mereka. Tak hanya sekali, Sivia memberi komando untuk
berfoto dengan banyak gaya. Pemuda yang biasanya berfoto dengan ekspresi ala
foto KTP itu mendadak jadi ekspresif karena ulah Sivia. Mereka juga saling
meledek dan ditutup dengan tawa yang sangat lepas—bahkan Gabriel tak ingat
kapan terakhir kali dia tertawa selepas itu—lalu Sivia menunjukkan keindahan
dunia dari atas bianglala.
“Fotonya lo simpen nih,” ucap Sivia menyerahkan
dua lembar foto padanya.
“Kok pas gue jelek semua?” protes Gabriel
karena dua foto itu memuat wajahnya yang konyol.
“Biar lo sadar diri kalo lo jelek, jadi nggak
sok kecakepan lagi,” nyolot Sivia.
“Kampret. Nggak ada yang sok kecakepan. Lagian,
foto gini juga gue tetep kelihatan cakep kok. Lo aja terpesona kan?” ledek
Gabriel entah mendapat ilham apa. Tiba-tiba saja dia ingin terus berdebat
seperti ini dengan Sivia.
“Najis. Kok lo jadi kepedean sih? Jangan-jangan
ini bianglala ada penghuninya,” celetuk Sivia sambil bergidik ngeri.
“Iya kan elo penghuninya.”
Sivia mengerucutkan bibirnya. Sejurus kemudian
dia memukuli Gabriel tanpa ampun.
“Sukurrr! Awas lo sok kecakepan lagi,”ancam
Sivia.
“Anjir sakit bego. Untung gue strong,” dengus Gabriel.
“Tulang lo yang strong,” ledek Sivia
“Eh kita ributin apaan deh,” imbuh Sivia.
Detik selanjutnya mereka tertawa bersama.
Lamunan
Gabriel buyar saat melihat wajah Shilla yang tak bersahabat. Begitu Cakka
muncul, perempuan itu menghujam Cakka dengan tatapannya yang mengerikan. Sorot
mata itu penuh kemarahan. Gabriel mengalihkan pandangan ke arah Rio dan Alvin,
tapi mereka menggelengkan kepala.
“Lo
kenapa, Shil? Gue ada salah?” tanya Cakka bingung.
“Lo
nggak sadar?” sinis Shilla.
Cakka
menggelengkan kepalanya.
“Sekarang,
lo pilih. Lo tinggalin cewek itu atau lo tinggalin The Wanted.”
Deg. Ucapan
Shilla menghantamnya. Itu artinya, Shilla mengetahui dia berteman dengan Agni
dan selama ini berusaha dia sembunyikan. Cakka terpaku, dia meminta penjelasan
pada Shilla melalui sorot matanya.
“Gue
udah dua kali lihat lo sama cewek itu. Di lapangan indoor dan tadi malem kalian semobil,” ucap Shilla terdengar ketus.
“Ini
ngomongin apa sih?” tanya Gabriel bingung.
Tak ada
yang mempedulikan Gabriel. Cakka sendiri memejamkan mata, menarik nafas pelan,
lalu menghembuskannya dengan teratur.
“Jadi
gue harus gimana, Shil?” tanya Cakka putus asa.
“Pilih.
The Wanted atau dia.”
Cakka
kembali menarik nafas namun kali ini menghembuskannya dengan kasar. Sorot
matanya berubah kecewa. Dia tak pernah menyangka Shilla akan mengajukan
pertanyaan seperti itu untuknya.
“Lo yang
maksa gue ngambil keputusan ini, Shil. Gue pilih Agni. Mulai sekarang, gue
bukan The Wanted,” ucap Cakka pahit.
Shilla
mematung, menatap Cakka yang tengah keluar kelas. Rio, Gabriel dan Alvin sibuk
menyerukan nama Cakka tapi pemuda itu tetap melanjutkan langkahnya tanpa
berbalik sama sekali.
Sejurus
kemudian kaki Shilla terasa lemas. Pandangan matanya kosong. Dia telah melepas
Cakka dari The Wanted.
***
Bersambung...
Gimana?
Di awal so sweet semua tiba-tiba
Cakka keluar dari The Wanted. Nggak tega lihat Cakka keluar huhuu kira-kira
Cakka bakalan balik lagi di The Wanted nggak ya? Kita lihat saja di part berikutnya(?) Mohon kritik dan
saran ya :)
2 komentar:
awalnya dibuat baper sama RIFY, terus dibuat gila sama SIVIEL, dibuat sedih karna Cakka keluar dari The Wanted dan terakhir dibuat kecewa sama sikap Shilla. Wahhh campur aduk banget perasaan :o (h)
Kak nunggu gaenak lohh kak wkwk
Posting Komentar