"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 08 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 5

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Holaaa kembali #BangkitkanCRAGSISA malam-malam. Sori banget kemarin saya super capek jadi nggak sempet lanjutin tapi sekarang saya bawa part 5 HEHEHE semoga semakin bikin kalian menunggu ya :p
Btw hari minggu saya berangkat KKL sekitar satu minggu jadi mungkin bakal ngaret. Doakan semoga KKL saya lancar ya, masih harus bikin laporan juga soalnya. Oh iya, makasih untuk komentarnya. Saya baca semua kok :)

Hope you like it guys

5


Wajah lelah Rio terbayarkan ketika melihat Ify mulai membuka diri untuknya. Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil Rio. Ya, tawaran Ify ketika mereka berada di rooftop akhirnya diterima oleh Rio karena dia penasaran dengan apa yang ingin ditunjukkan gadis itu padanya.
Selama perjalanan, gadis itu tak mau mengatakan tempat tujuan mereka. Ify sekedar memberi petunjuk dan menyuruh Rio diam. Rio sendiri tak banyak memprotes, dia sedang menikmati detak jantungnya yang berdegup hebat. Andai gadis di sebelahnya ini tahu, dialah satu-satunya gadis yang duduk di dalam mobilnya—hanya bersamanya. Seorang Shilla pun tak pernah berdua dengannya di dalam mobil ini. Dan entah mengapa, Rio bahagia.
“Hm, belok kanan, Yo!” seru Ify.
Rio dengan patuh membelokkan mobil mereka.
“Nah! Stop!”
Mobil itu terhenti di sebuah tempat. Rio mengernyit, matanya menangkap sesuatu papan bertuliskan “Rumah Anak Jalanan”. Selanjutnya laki-laki itu berbalik ke arah Ify yang telah membuka pintu.
“Lo yakin?” tanya Rio menahan Ify.
“Buruan turun.”
Rio menarik nafas kemudian ikut turun dan membuntuti gadis itu.
“Yuk!”
Rio tersentak saat Ify menggandengnya. Entah mengapa hatinya berdesir, pemuda itu terus menatapi jemari tangan Ify yang melingkari pergelangan tangannya. Detik selanjutnya bibir Rio terangkat.
“SURPRISEEE!!” seru Ify.
Sejurus kemudian anak-anak yang awalnya sedang bercanda menghampiri Ify dan memeluknya—Riopun kecewa karena gandengan mereka terlepas. Tanpa sungkan, Ify membalas pelukan-pelukan itu dan memberikan senyuman terbaiknya. Rio ikut tersenyum. Hanya dengan melihat adegan tersebut Rio tahu bahwa Ify adalah gadis baik.
“Kita kangen banget sama kakak,” cetus salah seorang anak.
“Kangen ya? Sini peluk lagi,” balas Ify lalu memeluk anak tersebut sekali lagi.
“Ada sia—lohh Ify! Sama siapa?”
Mendengar suara lain, baik Ify maupun Rio mengalihkan pandangan. Seorang wanita menghampiri mereka. Ify yang awalnya berjongkok kini sudah berdiri.
“Siang, Tante. Ini Ify bawa temen,” sapa Ify seraya mencium tangan.
“Rio,” cetus Rio ikut mencium tangan wanita tersebut.
“Panggil saja saya Tante Yuni,” balas Tante Yuni.
“Hm, Langit dimana ya, Tant?” ceplos Ify mencari seseorang.
“Langit demam, Fy,” jawab Tante Yuni dengan wajah sedih.
“Tapi mungkin kalo ketemu kamu dia bakalan sehat lagi. Dia kangen banget sama kamu, Fy,” tambah Tante Yuni.
“Ify sama Rio mau ketemu Langit dulu ya, Tante,” pamit Ify.
Setelah mendapat anggukan dari Tante Yuni, Ify menggandeng Rio kembali untuk memasuki rumah ini lebih dalam. Ternyata bagian dalam rumah ini lebih luas. Banyak anak-anak yang sedang bergurau, belajar, dan melakukan hal-hal lainnya. Mereka semua tak sungkan untuk tertawa lebar.
Sampailah pada sebuah kamar. Ify langsung membuka pintu tanpa mengetok terlebih dahulu. Dan Rio hanya menjadi tokoh pasif.
***
Mata Shilla berbinar saat tahu namanya tercatut sebagai list model dalam pagelaran busana tahun ini. Sejak dia memakai rancangan baju milik Nahni Wijaya, banyak sekali tawaran untuk Shilla, termasuk yang baru-baru ini dia kebanjiran job sebagai model iklan produk kecantikan. Tentu saja Shilla tidak sembarangan mengambil job karena dia harus mencari yang dapat menunjang karirnya.
“Shilla,” gadis itu mendongak dan bertatap muka dengan wajahnya.
“Mama! Ma, tahu nggak? Ak—loh kok Mama bawa koper?”
“Iya. Mama harus cepet-cepet ke air port. Mama mau ke Aussie, kamu baik-baik ya di rumah. Kalau Mama pulang nanti pasti Mama bawain oleh-oleh lagi buat kamu sama temen-temen kamu,” cerocos Mama Shilla.
“Tapi—“
“Shillaaa,” potong mamanya.
“Hm, iya. Mama hati-hati ya,” balas Shilla menahan produksi air matanya supaya tak tumpah di hadapan mamanya.
I love you,” ucap mamanya seraya mencium pipi Shilla dan bergegas pergi.
Shilla mendengus. Rumahnya sepi lagi. Kemarin papanya pergi ke Bali untuk mengurus perusahaan, sekarang mamanya. Gadis itu bertanya-tanya, sampai kapan rumah ini selalu tak berpenghuni seperti ini? Shilla juga ingin merasakan kehidupan normal seperti yang lain. Setiap pagi dibuatkan sarapan oleh mamanya, lalu sarapan bersama dengan orang tuanya. Shilla ingin seperti itu.
Gadis itu lantas membuka aplikasi line di ponselnya. Tanpa membaca chat-chat yang masuk, dia membuka chat room ‘The Wanted 4lyf’ dan mengetikan sesuatu di sana.
Shilla: Nanti malem beneran gak ada yang free? Gue suntuk
Alvin: Gue free
Rio: Ada janji sama Mas Dayat
Alvin: Pacaran mulu sama Mas Dayat
Gabriel: Ada urusan
Shilla: Cakka mana? Yaudahlah, Vin. Jalan yuk
Alvin: Ok
Hanya The Wanted pelariannya. Sampai kapanpun, Shilla akan mempertahankan The Wanted karena hanya mereka yang Shilla punya. Apapun yang terjadi Shilla akan terus menahan mereka untuk tetap stay. Karena dia telah kehilangan perlakuan orang tua yang selayaknya, dia tak mau kehilangan sahabat-sahabatnya.
Mendadak ingatan Shilla berputar pada beberapa hari silam, saat dia tak sengaja menemukan Cakka bersama seorang gadis yang tak dikenalnya. Mereka mengobrolkan sesuatu—sayangnya Shilla tak dapat mendengar. Akan Shilla pastikan bahwa obrolan itu adalah obrolan terakhir mereka.
Lamunan Shilla buyar saat ponselnya berdering. Gadis itu buru-buru mengangkatnya.
“Halo, Tante Nahni,” sapa Shilla.
“Shil, nanti malam photoshoot untuk katalog ya.”
“Nanti malem, Tan?” tanya Shilla teringat acaranya dengan Alvin.
“Iya. Kamu lagi nggak sibuk kan?”
“Hm, enggak kok. Tapi Shilla boleh bawa temen?” tanya Shilla lagi.
“Boleh kok.”
“Siap, Tante.”
“Oke, Shil. Makasih yaa. Oh iya, kamu dapat salam dari Brian.”
“Salam kembali. Sampai jumpa nanti malam, Tante.”
Selanjutnya Shilla terkikik membayangkan wajah Alvin saat tahu tujuan mereka nanti malam.
***
Gabriel masih tak mempercayai dirinya sendiri. Dia di Dufan bersama Sivia, gadis yang punya hobi memakinya secara blak-blakan. Yang paling tak dipercayai Gabriel adalah dia memasuki Dufan hanya untuk mengikuti ide konyol Sivia, it’s ok ini awalnya memang idenya supaya peperangan mereka usai—meski Gabriel tidak yakin—tapi dia tak tahu kalau Sivia ini benar-benar gila.
“Kita ke Dufan, kita naik semua permainan yang ada di sana. Siapa yang paling bahagia dia yang menang.”
Perjanjian konyol itu membuat Gabriel ingin lari dari sini saat ini juga. Mereka sedang mengantri tiket untuk naik halilintar. Seumur hidup, Gabriel belum pernah naik wahana ini dan tidak pernah sudi. Detik berikutnya dia sadar bahwa dia sudah berada di wahana tersebut. Shit.
“Percaya sama gue. Ini bakalan seru,” ucap Sivia membuat Gabriel melengos.
Mendadak Gabriel berkeringat dingin, dirinya merasa melayang-layang. Sementara itu Sivia justru bersemangat dan  berteriak-teriak hingga membuat telinga Gabriel pengang. Gadis itu sama sekali tak ketakutan—justru wajah Gabriel yang terlihat pucat.
“Lo masih hidup kok, Yel. Lo masih hidup,” batin Gabriel berulang-ulang mengatakan hal yang sama.
“WOOO!!! WAHAHAHA!!”
Sumpah, sebelum naik Sivia mengatakan kalau dia lapar. Mendengar teriakan-teriakan gadis itu daritadi, Gabriel yakin kalau Sivia berbohong. Mana ada orang lapar memiliki tenaga seperti itu?
Saat halilintar berhenti, Gabriel bersyukur dia masih dapat menyimpan nyawanya. Namun kelegaan pemuda itu hanya sementara karena selanjutnya Sivia sudah menarik tangan Gabriel menuju ke wahana kora-kora. Mendadak perut Gabriel terasa melilit menyaksikannya.
“Kita beneran bakal naik ini?” tanya Gabriel polos.
“Iya lah! Ini seru banget. Lo nggak takut ketinggian kan? Eh gue ngomong apaan sih? Jelas-jelas lo tadi naik halilintar pasti nggak takut. Ayookk!” cerocos Sivia.
Pemuda itu mendesah. “Gue nyerah deh,” putus Gabriel memendam gengsinya.
Langkah Sivia pun terhenti lalu menatap Gabriel dengan bingung. Baru disadarinya, cowok itu sama sekali tak terlihat bahagia, justru sebaliknya. Sivia jadi semakin bingung. Ada ya orang yang tidak bahagia di Dufan?
“Lo kenapa? Sakit?” tanya Sivia.
Gabriel menggeleng. “Gue nyerah. Gue min—“
“Nggak! Ayo ikut! Gue tunjukin caranya bahagia,” potong Sivia lalu memaksa Gabriel untuk tetap naik kora-kora.
“Sivia,” ucap Gabriel penuh penekanan.
Sivia berhenti lalu menoleh ke arah Gabriel.
“Gue beneran nggak bisa naik itu. Bahagia kita beda, sesuatu yang bikin lo bahagia belum tentu bikin gue bahagia,” jelas Gabriel tanpa sadar menggunakan nada tinggi membuat Sivia membisu.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Gabriel jadi merasa bersalah pada gadis di hadapannya itu.
“Sivia,” panggil Gabriel.
“Kenapa nggak bisa, Yel? Emang apa yang bikin lo bahagia? Bareng The Wanted? Gue nggak pernah lihat lo ketawa lepas bareng mereka,” tandas Sivia.
“Siv...”
“Untuk hari ini aja. Gue tunjukin ke elo caranya bahagia. Lo mau  kan, Yel?”
Entah setan apa yang sedang merasuki Sivia. Gadis itu benar-benar ingin memamerkan dunia luar pada Gabriel, menunjukkannya bahwa tak bersama The Wanted pun dia masih bisa bahagia. Dengan pertimbangan yang cukup matang, akhirnya Gabriel menganggukkan kepalanya.
“Tapi jangan naik kora-kora ya, gue belum terbiasa di tempat ramai,” kata Gabriel.
Sivia merekahkan senyumnya. Detik selanjutnya gadis itu menarik Gabriel  untuk menuju wahana yang lain. Bianglala.
***
“Mereka semua ditemuin Tante Yuni di jalanan, tanpa kasih sayang orang tua. Pertama kali gue nemuin tempat ini, rasanya seperti ditampar kehidupan. Gue yang bisa hidup serba ada masih suka mengeluh,” ucap Ify.
Setelah menemui Langit, mereka duduk di salah satu kursi yang berada di halaman.
“Langit, anak itu bikin gue jatuh hati. Semangatnya nggak pernah pupus. Dan lo tahu? Dia juga punya mimpi yang sama kayak elo. Jadi musisi,” tambah Ify.
Rio jadi mengingat-ingat sosok Langit. Meski sedang demam, laki-laki kecil itu masih bisa tertawa dan bergurau bersama mereka. Dia juga sempat memamerkan keahliannya bermain gitar pada Rio.
“Fy, terima kasih ya,” ujar Rio untuk pertama kalinya mengatakan ‘terima kasih’. Ify sampai nyaris tak percaya.
“Yang lo tunjukin ke gue itu lebih dari indah dan tak terduga,” lanjutnya pelan.
Ify menganggukkan kepalanya lalu menepuk bahu Rio.
“Jangan takut bermimpi. Kenyataan nggak selalu tentang apa yang lo lihat. Mungkin sekarang semuanya masih abu-abu, sebab lo masih melihat mimpi itu dari jauh. Lo cuma perlu melangkah dan tiba-tiba mimpi lo udah di depan.”
“Gue masih bingung harus mulai dari mana,” balas Rio.
Selanjutnya tangan Ify bergerak menggenggam tangan Rio lalu mengarahkannya menuju dada Rio.
“Dari sini. Lo harus punya tekat.”
Mata mereka bertubrukan. Rio, laki-laki itu merasa dirinya diberi kekuatan.
***
Alvin tengah mematut dirinya di depan cermin. Dengan kaos v-neck berwarna hitam polos, dia tampak tampan. Belum lagi wajahnya yang cerah karena kali ini dia akan pergi hanya bersama Shilla. Setelah merasa sempurna, Alvin keluar dari kamarnya. Untungnya Deva sedang lembur di kantor.
Tak sampai setengah jam, Alvin sampai di rumah Shilla bersama mobilnya. Shilla tampak cantik dengan jumpsuit-nya. Rambut Shilla sengaja digerai, membuat Alvin susah bernafas karena mengagumi kecantikan gadis tersebut. Mau berpenampilan seperti apapun, bagi Alvin, Shilla selalu cantik.
“Kita mau ke mana tuan puteri?” tanya Alvin.
“Ke tempatnya Tante Nahni,” jawab Shilla langsung membuat wajah Alvin berubah.
“Kok ke situ sih?” protesnya.
“Iya. Tadi gue di-calling dadakan katanya malam ini photoshoot. Lo mau nemenin gue kan? Ya kan, Vin?” desak Shilla.
“Tapi—“
“Alvinnn, please. Nggak ada Brian kok,” potong Shilla.
“Iyaaa. Apa sih yang nggak buat lo,” balas Alvin lalu membelai puncak kepala Shilla dengan lembut supaya rambutnya tetap tertata rapi.
“Ahh lo emang super baik,” ceplos Shilla.
Alvin hanya terkekeh. Dia selalu senang melihat Shilla juga senang. Baginya, kebahagiaan Shilla adalah kebahagiannya. Terkadang Alvin pun tak mengerti sudah seberapa dalam perasaannya pada gadis ini. Yang jelas, Alvin ingin terus membuat Shilla bahagia.
“Yuk,” ajak Alvin.
Mereka lantas bergegas menuju tempat photoshoot. Biasanya Shilla diantarkan oleh sopir—berhubung dia tak bisa menyetir—dan kini bersama Alvin, hanya berdua.
“Ya ampun ini parfume dari gue kan?” cetus Shilla menemukan sebuah parfume di mobil Alvin. Shilla tertawa melihat ada tanda tangannya di sana.
“Selalu gue taroh mobil,” balas Alvin.
“Pasti karna lo suka kelupaan make parfume kan?” tebak Shilla.
Alvin hanya mengangguk saja karena bukan itu jawabannya. Dia sengaja menyimpan parfume pemberian Shilla di mobil supaya dia bisa menyemprotkannya setiap saat dan dalam sekejap Alvin dapat merasakan kehadiran Shilla.
“Eh, Vin. Gue masuk di pagelaran busana tahun ini!”
“Oh ya? Waahh selamat, Shil. Gue ikut seneng dengernya. Pokoknya gue bakalan nonton deh buat lo,” cerocos Alvin.
“Kok kayaknya lebih bahagia elo daripada gue ya?” kekeh Shilla.
“Iya dong. Sahabatnya bahagia masa guenya lempeng?” kilah Alvin.
“Gue selalu bahagia lihat lo bahagia, Shil,” lanjut Alvin dalam hati.
Diam-diam Shilla terharu mendengarnya. Memang hanya The Wanted, mamanya pun tak peduli padanya. Saat mendengar nada bahagia Alvin barusan, Shilla berimajinasi seandainya dia sempat mengatakan hal itu pada mamanya, apakah mamanya akan ikut bereaksi seperti Alvin? Apa sebaliknya?
“Lo ngalamun, Shil?” tanya Alvin.
Shilla tergagap namun dengan cepat gadis itu menguasai diri kembali.
“Gue kepikiran nanti pas pagelaran busana bisa maksimal apa enggak. Gue lagi kebanjiran job jadi model iklan nih,” jawab Shilla berbohong.
“Widihhh! Gue bakal punya temen artis. Hm, kalo menurut gue pasti elo bakalan maksimal kok. Shilla gituuu.”
“Tapi Pak Bejo nggak bisa nganterin gue pas acara nih,” keluh Shilla.
“Pesen gojek dong biar gampang.”
“Sial. Lo tuh nggak peka banget ya lagi gue kodein,” sengit Shilla.
Ck, kalian para cewek selalu menuntut kami peka padahal kalian tahu sendiri kalo cowok mikirnya realistis, bukan kode-kodean,” dengus Alvin sekalian curhat.
“Kok jadi cewek yang salah?”
Alvin terkekeh. “Bosen kalo cowok mulu yang serba salah. Sekali-kali cewek dong.”
Alvin merasa dirinya berubah setiap hanya berdua bersama Shilla. Saat dengan Deva pun, dia tak ada gairah untuk berbicara, sekali bicara akan menohok. Berbeda jika Shilla yang mengajaknya mengobrol.
“Bisa banget lo. Eh udah mau sampai. Habis ini belok kanan.”
“Siap!”
***
Sejak pulang dari menemani sepupunya mencari event organizer, Cakka bersama Agni. Dia bahkan sengaja mematikan ponselnya supaya dia tak perlu berbohong apa-apa pada The Wanted. Setidaknya untuk hari ini.  Besok biarlah menjadi urusannya besok.
“Lo nggak capek, Cak?” tanya Agni mulai ngos-ngosan.
Cakka yang sedang men-dribble bola menggelengkan kepala. Jelas saja, sebelum bertemu Cakka gadis itu ada latihan basket dan tenaganya sudah terkuras.
“Lo main sendirian dulu, ya. Gue capek banget,” kata Agni.
Baru disadari Cakka kalau Agni sudah berkeringat hebat sedangkan dirinya masih segar meski telah bermain selama satu jam lebih. Cakka pun menyetujui lalu melanjutkan permainannya. Sendiri, seperti biasa. Beberapa gerakan yang diajarkan oleh Agni berhasil dikuasainya.
Dari kejauhan, Agni dapat melihat tekat Cakka yang kuat. Laki-laki yang dipandang sombong oleh teman-temannya itu sebenarnya punya banyak sisi baik. Cakka pernah mengubur mimpinya demi persahabatannya, dia selalu berpura-pura bahagia di depan The Wanted, semua yang dilakukannya hanya untuk sahabat-sahabatnya. Bahkan, sekarang, Cakka yang sedang mengejar mimpinya kembalipun harus melakukan secara diam-diam.
“Udah capek?” tanya Agni pada Cakka yang telah menghampirinya.
“Lumayan. Gue udah berkeringat, meskipun nggak sebanyak elo,” kekeh Cakka.
“Anjir. Iya gue bau banget,” cetus Agni seraya mencium bau badannya sendiri.
Cakka tertawa. “Bau keringat anak basket mah wangi-wangi aja,” ledeknya.
“Yaaa terserah elo deh. Eh udah malem nih, pulang yuk!” ajak Agni.
“Oke. Gue anter ya?”
Agni menganggukkan kepala. Baginya, bergaul bersama Cakka bukan sesuatu yang sulit. Selain karena dia sudah biasa punya teman laki-laki, baginya Cakka adalah orang yang asik. Andai dia mau memulai mengenal orang-orang baru, dia pasti akan mudah mendapatkan banyak teman.
“Kalau temen-temen gue lihat gue lagi sama elo gini, pasti mereka heboh,” celetuk Agni membayangkan wajah teman-temannya.
“Pasti mereka bakalan kaget terus nanya ‘Ag, serius lo kenal sama Cakka?’ atau ‘sumpah Ag, itu Cakka The Wanted?’ paling parah sih bakal bilang ‘lo temenan sama Cakka? yang sombong banget itu? gila!’ beneran nggak bisa gue bayangin,” cerocos Agni lalu tertawa terpingkal-pingkal.
Cakka yang mendengar ikut tertawa. Dia tahu betul reputasinya di Budi Karya. Maka, tidak heran lagi kalau Agni memisalkan kekagetan mereka semua seperti itu. Dia pun sudah kebal dibilang sombong atau sok atau anti-sosial.
“Ada yang pernah ngomongin gue ke elo, Ag?” tanya Cakka.
Agni mengangguk. “Sering. Ada yang bilang lo itu paling cakep di The Wanted tapi sayangnya sifat lo sama aja kayak Gabriel, Rio, Alvin dan Shilla.”
“Jangan-jangan itu lo ya yang ngomongin gue?” goda Cakka sambil tertawa kecil.
“Enak aja! Pede banget sih lo,” bantah Agni sambil tertawa pula.
Obrolan itu terus berlanjut sampai mereka masuk ke mobil Cakka. Bersama Agni, Cakka bisa tertawa lepas. Bersama Agni, dia bisa mengejar mimpinya kembali. Bersama Agni, Cakka tahu rasanya punya teman di luar The Wanted.
“Terus, waktu mereka ngomongin gue, lo bilang apa?” tanya Cakka sembari menyalakan mesin mobilnya.
Agni  tampak mengingat-ingat.
“Semuanya kembali ke cara pandang lo. Kalo lo lihat dia baik, apapun yang dia lakuin bakal lo maklumin. Sebaliknya, kalo lo lihat dia buruk, kebaikannya akan tetap buruk buat elo.”
Kembali, Cakka dibuat terperangah. Ucapan Agni selalu bermakna untuknya.
“Ag, thanks ya. Cuma elo yang nggak mandang gue sebelah mata,” ucap Cakka tanpa mengalihkan pandangan dan tetap fokus menyetir.
With pleasure, Cakka.”
***
Hari ini kembali ke aktivitas sekolah seperti biasa. Cakka, Rio, dan Gabriel kembali dengan wajah yang lebih cerah. Jika Rio datang membawa kenangan indahnya bersama Ify dan Cakka terus membayangkan Agni, lain hal dengan Gabriel. Laki-laki itu masih dibuat terpukau dengan Sivia. Dia tak pernah tahu kalau naik bianglala bersama Sivia dapat membuatnya bahagia.
“Kita foto! Cheese!” seru Sivia mengarahkan kamera polaroidnya ke dirinya dan Gabriel untuk foto bersama.
“Anjir muka lo jelek banget. Ulang ulang!” protes Sivia.
“Muka gue apa muka lo?” balas Gabriel.
“Muka lo lah! Muka gue nggak usah ditanya, Justin aja milih gue daripada Selena. Eh eh senyummmm.”
Gabriel pasrah diajak berfoto namun juga menikmati kebersamaan mereka. Tak hanya sekali, Sivia memberi komando untuk berfoto dengan banyak gaya. Pemuda yang biasanya berfoto dengan ekspresi ala foto KTP itu mendadak jadi ekspresif karena ulah Sivia. Mereka juga saling meledek dan ditutup dengan tawa yang sangat lepas—bahkan Gabriel tak ingat kapan terakhir kali dia tertawa selepas itu—lalu Sivia menunjukkan keindahan dunia dari atas bianglala.
“Fotonya lo simpen nih,” ucap Sivia menyerahkan dua lembar foto padanya.
“Kok pas gue jelek semua?” protes Gabriel karena dua foto itu memuat wajahnya yang konyol.
“Biar lo sadar diri kalo lo jelek, jadi nggak sok kecakepan lagi,” nyolot Sivia.
“Kampret. Nggak ada yang sok kecakepan. Lagian, foto gini juga gue tetep kelihatan cakep kok. Lo aja terpesona kan?” ledek Gabriel entah mendapat ilham apa. Tiba-tiba saja dia ingin terus berdebat seperti ini dengan Sivia.
“Najis. Kok lo jadi kepedean sih? Jangan-jangan ini bianglala ada penghuninya,” celetuk Sivia sambil bergidik ngeri.
“Iya kan elo penghuninya.”
Sivia mengerucutkan bibirnya. Sejurus kemudian dia memukuli Gabriel tanpa ampun.
“Sukurrr! Awas lo sok kecakepan lagi,”ancam Sivia.
“Anjir sakit bego. Untung gue strong,” dengus Gabriel.
“Tulang lo yang strong,” ledek Sivia
“Eh kita ributin apaan deh,” imbuh Sivia.
Detik selanjutnya mereka tertawa bersama.
Lamunan Gabriel buyar saat melihat wajah Shilla yang tak bersahabat. Begitu Cakka muncul, perempuan itu menghujam Cakka dengan tatapannya yang mengerikan. Sorot mata itu penuh kemarahan. Gabriel mengalihkan pandangan ke arah Rio dan Alvin, tapi mereka menggelengkan kepala.
“Lo kenapa, Shil? Gue ada salah?” tanya Cakka bingung.
“Lo nggak sadar?” sinis Shilla.
Cakka menggelengkan kepalanya.
“Sekarang, lo pilih. Lo tinggalin cewek itu atau lo tinggalin The Wanted.”
Deg. Ucapan Shilla menghantamnya. Itu artinya, Shilla mengetahui dia berteman dengan Agni dan selama ini berusaha dia sembunyikan. Cakka terpaku, dia meminta penjelasan pada Shilla melalui sorot matanya.
“Gue udah dua kali lihat lo sama cewek itu. Di lapangan indoor dan tadi malem kalian semobil,” ucap Shilla terdengar ketus.
“Ini ngomongin apa sih?” tanya Gabriel bingung.
Tak ada yang mempedulikan Gabriel. Cakka sendiri memejamkan mata, menarik nafas pelan, lalu menghembuskannya dengan teratur.
“Jadi gue harus gimana, Shil?” tanya Cakka putus asa.
“Pilih. The Wanted atau dia.”
Cakka kembali menarik nafas namun kali ini menghembuskannya dengan kasar. Sorot matanya berubah kecewa. Dia tak pernah menyangka Shilla akan mengajukan pertanyaan seperti itu untuknya.
“Lo yang maksa gue ngambil keputusan ini, Shil. Gue pilih Agni. Mulai sekarang, gue bukan The Wanted,” ucap Cakka pahit.
Shilla mematung, menatap Cakka yang tengah keluar kelas. Rio, Gabriel dan Alvin sibuk menyerukan nama Cakka tapi pemuda itu tetap melanjutkan langkahnya tanpa berbalik sama sekali.
Sejurus kemudian kaki Shilla terasa lemas. Pandangan matanya kosong. Dia telah melepas Cakka dari The Wanted.

***
Bersambung...
Gimana? Di awal so sweet semua tiba-tiba Cakka keluar dari The Wanted. Nggak tega lihat Cakka keluar huhuu kira-kira Cakka bakalan balik lagi di The Wanted nggak ya? Kita lihat saja di part berikutnya(?) Mohon kritik dan saran ya :)

2 komentar:

Unknown mengatakan...

awalnya dibuat baper sama RIFY, terus dibuat gila sama SIVIEL, dibuat sedih karna Cakka keluar dari The Wanted dan terakhir dibuat kecewa sama sikap Shilla. Wahhh campur aduk banget perasaan :o (h)

Unknown mengatakan...

Kak nunggu gaenak lohh kak wkwk

Posting Komentar