Tittle: When You Hold Me [2]
Author: Fanny Salma
Kembali lagi #BangkitkanCRAGSISA hehe thanks sekali yang sudah berkomentar kemarin sangat berpengaruh untuk semangat saya menulis. Akhirnya saya memutuskan untuk mem-post part 2 saking semangatnya baca respon kalian hehehe
Hope you like it guys
2
Beberapa
kali laki-laki ini mengerjapkan mata karena cahaya matahari sudah mulai
menembus kamarnya. Semalam dia belajar tentang bisnis dengan Mas Dayat, orang
kepercayaan papanya yang sekarang menjadi guru pribadinya. Ya, Rio. Pertemuan
semalam cukup menyita waktu hingga jam empat pagi dia baru sampai di kamarnya
lalu dia hanya tidur dua jam saja—itu berarti sekarang sudah jam enam.
Rio
bergegas bangun dari kasurnya dan menyambar handuk lalu mandi. Sebagai lelaki,
mandi sepuluh menit sudah cukup. Andai saja tidak ada ulangan fisika dia pasti
memilih untuk tidur kembali. Setengah jam kemudian Rio sudah rapi dengan
seragam kebanggan SMA Budi Karya.
“Fuck,” umpat Rio saat membaca chat Alvin. Dia mengabarkan bahwa
ulangan hari ini dipercepat lima menit.
Tak
perlu berpikir lama lagi karena setelah itu Rio memacu mobilnya dengan
kecepatan di luar kendali. Lima belas menit! Biasanya Rio membutuhkan waktu
sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di sekolah dan sekarang hanya lima
belas menit!
Lima
menit lagi ulangan dimulai. Rio berlari cepat tanpa mempedulikan orang-orang
menatapnya dengan bingung. Beberapa kali pemuda itu nyaris menabrak siswa-siswi
yang berlalu lalang di koridor, tapi pikiran Rio hanya tertuju pada ulangan dan
membuat orang-orang yang nyaris ditabraknya bersumpah serapah. Jika tidak ingat
bahwa Rio adalah bagian The Wanted,
mereka pasti sudah memaki pemuda itu.
“Maaf,
Bu. Saya terlambat,” ujar Rio sesopan mungkin meski dia tahu kalau dirinya hanya terlambat satu menit.
Bu
Maryam mengangguk maklum dan mempersilahkan Rio untuk duduk. Di hadapannya
sudah ada lembar soal dan lembar jawaban. Dia mendengus, tak tahu harus
mengisikan apa pada lembar jawabnya.
Sudah
sekitar dua puluh menit Rio berkutat dengan soal-soal di hadapannya, tapi hanya
satu soal yang berhasil dia jawab. Tiba-tiba satu jam berlalu, menyisakan Rio
bersama kepasrahannya. Dia menyesal tidak menyempatkan diri untuk belajar meski
hanya sekejap. Jangankan belajar, menyentuh buku pun tidak.
“Waktu
habis,” ucap Bu Maryam menghentikan para siswa untuk mengerjakan.
Semuanya
meletakkan alat tulis dan bergegas mengumpulkan karena Bu Maryam tak pernah
bisa dibantah. Semuanya, termasuk Rio yang merasa kepalanya sudah berasap.
“Lo
kelihatan kacau,” cetus Alvin pada Rio.
Pemuda
itu menggeleng lalu ijin untuk ke kamar mandi.
“Nanti
langsung ke kantin aja.”
Rio
mengangguk dan memisahkan diri. Kepalanya masih terasa panas memikirkan
soal-soal Bu Maryam tadi. Di kamar mandi, Rio langsung menuju wastafel lalu
mencuci wajahnya. Dia mengantuk.
***
The Wanted sama
sekali tak merasa terusik meski suasana kantin begitu ramai dan sebagian besar
dari mereka berbisik-bisik tentang mereka. Mereka seakan punya dunia sendiri yang tak akan pernah bisa digapai
siapapun. Begitu Rio ikut bergabung, para kaum hawa menelan ludah melihat
rambut Rio yang sengaja dibasahi. Dia terlihat cool.
“Asap di
kepala lo udah ilang,” ceplos Alvin sambil memasukkan kentang goreng ke
dalam mulutnya.
“Gue
nggak belajar sama sekali,” balas Rio.
“Meeting sampai jam berapa emang?”
nimbrung Gabriel.
“Hmm
sekitar jam tiga pagi dan gue nyampe rumah jam empat,” jawab Rio sekenanya
membuat yang lain berdecak.
“Nanti
biar gue bilang ke Bu Maryam supaya lo dikasih tugas tambahan aja,” kata
Gabriel yang tak disetujui oleh Rio.
“Nggak
perlu. Justru gue nggak akan punya waktu buat ngerjain tugas.”
Yang
dikatakan Rio bukan ucapan sok. Terlalu banyak waktu yang dia gunakan untuk memikirkan
bisnis papanya. Untuk menyentuh buku saja dia tak sempat, bagaimana dengan
mengerjakan tugas? Gabriel pun mengangguk
maklum.
“Gimana
kemarin ke pestanya Angel?” tanya Alvin membuka topik baru.
Selanjutnya
Shilla yang paling bersemangat bercerita tentang pesta heboh Angel tadi malam. Gabriel dan Cakka sesekali
menimpali dan menganggap pesta itu biasa saja untuk ukuran seorang Angel.
Sementara Rio, dia kembali sibuk dengan ponselnya dan berkomunikasi dengan Mas
Dayat.
Semuanya
tentram dan damai seperti biasa. The
Wanted masih bisa tertawa dan mengobrolkan hal yang tak dapat dimengerti
anak-anak lain. Sampai sebuah kegaduhan tiba-tiba muncul merusak fokus
mereka—termasuk Rio.
“DEBOOO!
SEPATU GUE TAIII!”
“WOOO
AMBIL SENDIRIIIII!”
“DEBOOO!
SIVIA BANTUIIINNNN!!!”
“LO
CEGAT DARI SANA, GUE BANTUIN NYEGAT DI SINIIII!!”
Kegaduhan
antara seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan jambul menyala dengan dua orang
gadis. Mereka berlarian mengelilingi kantin, memperebutkan sepatu yang berada
di tangan laki-laki berjambul itu. The
Wanted—termasuk yang lain—jadi paham
kalau sepatu tersebut milik si gadis yang rambutnya diikat asal karena dia tak
menggunakan alas kaki.
Ketiganya
menggunakan kaos olahraga. Shilla sudah siap memaki mereka karena seenaknya
merusak wilayah orang dan mengumbar bau keringat.
“Mau
ngapain, Shil?” tanya Gabriel bingung saat melihat Shilla tiba-tiba berdiri.
“Mau
ngasih tahu anak-anak itu kalau ini bukan arena ganggu ketentraman orang,”
ketus Shilla lalu menghampiri tiga anak tersebut.
Baik
Gabriel, Cakka, Alvin dan Rio sama kagetnya menyaksikan tindakan Shilla. Namun
mereka diam, membiarkan Shilla melakukan sesuatu yang semakin memperburuk image-nya—mungkin pula image The Wanted.
“YEAHHH
SEPATU GUEEE!” seru gadis yang sudah mendapatkan sepatunya.
Kegirangannya
tak lama karna selanjutnya dia shocked
melihat Shilla sudah berpindah tempat tepat di
depannya!
“Udah
dapet sepatunya? Sekarang bisa kan lo tinggalin kantin? Gue nggak suka lo dan
temen-temen lo ganggu ketentraman kantin
ini,” ujar Shilla tanpa ekspresi dan terdengar tajam.
Ify—gadis
itu—meneguk ludahnya lalu melirik ke
arah Sivia dan Debo yang sudah berada di dekatnya. Mereka tampak tidak
terima dengan ucapan Shilla. Ify tahu, dia harus segera mengurus Sivia sebelum
sahabatnya melakukan hal-hal di luar kendali seperti yang dia lakukan pada
Gabriel kemarin.
“Oke
kita pergi,” ucap Ify cepat lalu menarik Sivia dan Debo.
“Tapi—“
“Kita
pergi, Siv.”
Sivia
meronta-ronta karena diseret paksa oleh Ify. Sementara Debo, dia menurut saja
meskipun dia ingin sekali membalas ucapan Shilla barusan.
Rio
bertemu dengan gadis itu lagi. Gadis yang kemarin membantunya mencari rak buku
tentang bisnis. Alyssa. Sejak pertemuan kemarin, Rio menghafal namanya dengan
baik. Sampai Shilla kembali duduk dan sahabat-sahabatnya membahas kejadian
tadi, Rio tak menyimak karena mengingat Alyssa.
***
“Harusnya
lo biarin gue hajar dia. Biar dia nggak sok di sekolah! Yang lain biasa aja
tuh, cuma dia yang merasa keganggu,” dumel Sivia masih menyalahkan Ify.
Ify tak
peduli karna memang dia tak mau peduli. Sudah
dikatakan, dia tak mau terlibat urusan apa-apa dengan The Wanted. Cukup kemarin saja dia
berurusan dengan Rio dan Ify hanya bisa berharap Rio melupakannya, seperti dia
melupakan kejadian kemarin.
“Lo tahu
budaya berantem cewek kan? Gue nggak mau lo kayak gitu. Mending sekarang kita
ganti seragam, bentar lagi kan jamnya Bu Maryam,” balas Ify.
Mendengarnya
membuat Sivia semakin cemberut. Dia masih berharap punya kesempatan beradu
mulut dengan Shilla dan membuat Shilla pada akhirnya mengakui kemenangan Sivia.
Ya, meskipun itu mustahil tapi tidak ada salahnya berharap kan?
“Ify,
sori gara-gara gue tadi lo jadi kena amuk Shilla,” kata Debo merasa bersalah.
“Males.
Lo jajanin gue seminggu baru gue maafin,” sahut Ify kalem.
“Anjir.
Tai banget kenapa jadi gue yang kena batunya?” umpat Debo yang dibalas dengan
kalimat ‘nggak mau dimaafin ya udah’
akhirnya Debo pasrah membagi uang jajannya selama seminggu untuk Ify.
“Debo,
lo mau ngambil sepatu gue gak? Gue ikhlas lo kerjain kayak Ify tadi asal dapet
jatah lo jajanin juga,” cablak Sivia.
Debo
mendengus. Niatnya mengerjai Ify malah jadi sial. Sebelum Sivia kembali
merealisasikan ucapan tadi, Debo buru-buru pamit pergi. Barulah Ify dan Sivia
ke kamar mandi untuk mengganti kaos olahraga mereka dengan seragam.
Sivia
dan Ify menghentikan langkah mereka secara bersamaan saat melihat Gabriel dan
juga Rio. Jika Sivia berhenti karena Gabriel, Ify menghentikan langkahnya
karena Rio. Holy shit. Koridor
benar-benar sepi seakan pertemuan mereka berempat sudah diatur.
“Fy, gue
berani kok sama Gabriel meskipun dia lagi sama Rio,” ucap Sivia pelan meski
tidak yakin. Nyalinya mendadak ciut.
Ify sama
sekali tidak membalas ucapan Sivia
karena dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia berusaha menyugesti diri
kalau Rio sudah lupa dengannya. Semoga.
“Ayo
jalan lagi,” koor Sivia.
Mereka
melanjutkan langkah. Awalnya biasa, tapi ternyata Gabriel dan Rio sama ngeh-nya dengan kehadiran mereka.
“Lo.”
Ucapan
Gabriel yang Ify yakini ditujukan pada Sivia membuatnya ikut berhenti
melangkah—lagi. Sivia berbalik, memandang Gabriel dengan wajah sengit, berbeda
dengan tadi yang tampak ciut.
“Gue?”
balas Sivia pada Gabriel seakan menantang.
“Lo yang
waktu itu nabrak gue kan?” tanya Gabriel memastikan.
Sivia
mengangguk. “Iya. Gue.”
“Lo
minta maaf ke gue lalu semuanya gue anggap clear,”
ucap Gabriel datar.
Nampaknya
Gabriel masih menyimpan dendam pada Sivia. Namun Ify tak peduli, sebab kini Rio
menatapnya lurus. Rio mengingatnya!
“You wish!”
Selanjutnya
Sivia buru-buru menarik Ify untuk bergegas ke kamar mandi. Tiba-tiba saja, Rio
mengeluarkan suaranya, membuat Sivia dan Ify menghentikan langkah untuk
kesekian kali.
“Alyssa!”
seru Rio.
“Fy—“
“Nanti
gue jelasin,” potong Ify lantas mengajak Sivia untuk tetap pergi.
“Lo
kenal mereka?” tanya Gabriel heran karena memang The Wanted tidak pernah mengenal siapa-siapa di sekolah ini.
Rio
menggeleng, membuat Gabriel semakin bingung.
***
Jam
kosong dimanfaatkan Cakka untuk kembali ke lapangan indoor, bersenang-senang dengan sang orange tanpa diganggu siapapun, mengkhayal bahwa dia adalah seorang
kapten basket. Perlu alasan yang kuat untuk meyakinkan Shilla kalau perutnya
benar-benar sakit karena sambal yang dituangkan di baksonya tadi terlalu
banyak. Untung dia berhasil kabur.
Lapangan
indoor memang lebih sering kosong
karena tempat ini dimanfaatkan untuk ekstrakulikuler dan saat hujan saja. Cakka
kembali men-dribble bola basket di
tangannya dan bersiap menuju ring.
Tiba-tiba
terdengar sebuah langkah kaki. Tubuh Cakka mendadak kaku, bola yang berada di
tangannya terlepas seketika. Sampai langkah itu terdengar semakin dekat, Cakka
belum berani membalikkan badan, dia berharap Pak Reihan lah si pemilik langkah
itu.
“Basket
nggak bisa dimainkan sendirian.”
Bukan.
Bukan Pak Reihan. Itu suara seorang gadis. Cakka belum berani melihat secara
langsung.
“Basket
itu tentang berbagi, bukan memiliki seorang diri. Karena sampai kapanpun, lo
nggak akan bisa mengklaim sesuatu untuk diri lo sendiri.”
Rasa
penasaran Cakka mengalahkan segalanya. Cowok itu membalikkan badan, lalu
menemukan seorang gadis poni rata dan rambut dikuncir kuda sedang
memandanginya.
“Lo
siapa?”
Gadis
itu terkekeh mendengar pertanyaan Cakka. Namun selanjutnya dia mengulurkan
tangan, tangan itu terulur cukup lama karena Cakka ragu untuk menjabatnya.
Gadis itu tak menyerah dan membiarkan tangannya tetap terulur sampai Cakka
benar-benar yakin lalu menjabat.
“Agni.
Kapten basket putri,” ujar Agni sengaja menekan kalimat ‘kapten basket’.
“Gue
selalu lihat lo main basket sendirian di sini, setiap orang-orang sibuk
sama urusannya masing-masing,” imbuhnya.
Cakka
terhenyak. Dia kepergok oleh kapten basket. Ingin rasanya laki-laki itu
bergegas pergi dan menganggap pertemuan barusan tak pernah ada, namun sebagian hatinya
menginginkan untuk tetap tinggal.
Pemuda
itu masih terdiam, tak tahu harus mengatakan apa pada gadis yang baru
dikenalnya. Dia memperhatikan Agni yang mulai men-dribble bola basketnya, berlarian, lalu tiba-tiba saja dia bola itu
di-passing-kan padanya. Cakka masih
terbengong namun selanjutnya dia men-dribble
bola tersebut menuju ring lalu men-shot dan masuk.
Untuk
pertama kalinya, Cakka merasa hidup kembali.
***
“Jadi,
kenapa bisa Rio tiba-tiba nyebut nama lo? It’s
ok itu bukan nama panggilan, tapi tetep aja itu nama lo. Alyssa. Gue bahkan
manggil elo Ify, bukan Alyssa,” ceplos Sivia membuat kepala Ify pening.
Sial
bagi Ify, sejak Rio memanggilnya, Sivia tak henti-henti bertanya. Lebih sial
lagi saat Ify sudah berharap banyak pada Bu Maryam, tapi wanita itu malah
menyuruh mengumpulkan tugas dan mereka tidak ada pelajaran. Ini membuat dirinya
semakin tersudutkan.
Akhirnya
dia mengalah dan menceritakan semuanya pada Sivia. Tentunya tidak sedetail itu.
Dia hanya mengatakan bahwa dia dan Rio tidak sengaja bertemu di toko buku
kemarin, lalu Rio kebingungan mencari
rak buku bisnis dan hanya ada Ify yang terlihat tak begitu sibuk, jadilah Rio
meminta Ify untuk mencarikan.
“Kenapa
lo baru cerita? Kenapa juga lo nggak maki-maki aja? Lo tuh lagi dikasih
kesempatan Tuhan buat maki-maki dia! Kayak yang gue lakuin ke Gabriel!” semprot
Sivia.
“Ihh
lagian buat gue itu nggak penting, ngapain juga cerita? Gue juga males berantem
sama dia,” dengus Ify.
“Udah ah
jangan dibahas lagi. Gue mau lanjutin baca,” tegas Ify lalu buru-buru membuka
novelnya sebelum Sivia memprotes.
Di lain
sisi, The Wanted sibuk mencari-cari
Cakka. Pemuda itu menghilang cukup lama—lebih lama dari biasanya. Ponselnya
tidak aktif. Mereka mendadak khawatir.
Tak lama kemudian Cakka kembali, menampilkan cengiran lebarnya yang membuat
Shilla, Rio, Alvin dan Gabriel ingin menjitak pemuda itu.
“Lo dari
mana aja?” tanya Alvin.
“Kan gue
udah ijin mau ke toilet,” jawab Cakka sekenanya.
“Tapi
biasanya nggak selama ini. Lo ngapain
aja?” sambar Gabriel.
“Emang
lo mau denger kalo gue ceritain ngapain aja di toilet?” balas Cakka sangat polos.
Hanya
Rio yang terlihat tak tertarik dengan obrolan mereka. Dia kembali sibuk dengan
ponselnya, lalu tiba-tiba berdiri.
“Mau ke
mana?” tanya Shilla.
“Angkat
telepon,” jawab Rio cepat.
Shilla
dan yang lain mengangguk. Rio adalah manusia super sibuk. Tak heran jika dalam
keadaan seperti ini saja keningnya berkerut, memikirkan perusahaan papanya,
dan sedikit-sedikit dia harus mengecek
ponsel untuk mendapat kabar dari Mas Dayat. Belum lagi jadwal meeting-nya yang seringkali tiba-tiba.
“Nggak
ke kantin?” tanya Cakka.
“Nggak
laper. Di kelas aja lah,” sahut Shilla.
Cakka
mengangguk. Dia teringat tiket konser yang didapatkannya. Cakka mengambilnya,
lalu membagikan ke teman-temannya—kecuali Rio yang sedang mengangkat telepon.
“WAAA
KONSERNYA BRIAN?!!” seru Shilla kegirangan.
“Iya.
Kemarin sepupu gue ke rumah, katanya Brian nitipin tiket itu buat kita semua,”
jawab Cakka.
“Mantep
itu anak udah ngadain konser,” cetus Gabriel.
“Lagunya
emang keren-keren sih, tampang sama suara juga mendukung, nggak heran gue. Tapi gue kurang suka konsep
albumnya yang baru,” timpal Alvin.
“Pokoknya
kalian harus temenin gue dateng ke konsernya!” kata Shilla.
“Konser
apaan?”
Tahu-tahu
saja Rio sudah kembali. Cakka lantas mengulurkan tiket konser milik Rio.
Laki-laki itu membaca sejenak dan menyerahkan kembali pada Cakka.
“Meeting lagi?” tebak Cakka tepat
sasaran.
“Gantiin
Papa. Sebulan ini Papa ngurus perusahaan di Singapore,” jawab Rio dilanjutkan
dengan menghela nafas.
“Selain
Rio, nggak boleh ada yang alesan nggak dateng,” tegas Shilla yang membuat Alvin
cemberut.
Jujur
saja, Alvin kurang cocok dengan Brian. Bukan karena selera lagunya tetapi
karena Brian adalah rival-nya dulu. Lebih tepatnya lagi, Brian adalah pacar
dari Angel. Bagi Alvin, melakukan sesuatu itu harus secara totalitas. Dia
menghindari Angel, dia juga harus menghindari pacar mantannya.
“Termasuk
elo, Vin. Gue memaksa dengan terhormat,” kata Shilla.
Alvin
pasrah. Jika Shilla yang memaksa, dia tak dapat menolak. Sejak kecil, keempat
cowok itu terbiasa menuruti keinginan Shilla.
***
“Lo beneran nggak mau join di basket? Kebetulan tim
basket cowok lagi kekurangan pemain karna Adyt kecelakaan. Skill lo oke, cuma perlu dilatih sedikit supaya
nggak kaku. Mungkin itu efek terlalu lama main basket sendirian. Tapi kalo lo
berminat, lo bisa bilang ke gue.”
Ucapan
Agni masih membekas di otaknya. Andai saja dia bisa mengiyakan. Sayangnya,
setiap ucapanitu terputar bagai kaset rusak di kepala Cakka, saat itu pula
bayangan wajah-wajah The Wanted
muncul satu persatu. Kalau sampai mereka tahu Cakka nyaris mengiyakan untuk
bergabung dengan tim basket sekolah, pasti mereka akan kecewa.
Sudah
sebelas tahun The Wanted bersahabat.
Kemana-mana selalu bersama, melakukan sesuatu bersama, semuanya bersama. Tidak
mungkin Cakka mendadak memisahkan diri hanya karena impian konyolnya.
Namun
bersama Agni tadi, dia merasa mimpinya semakin dekat. Meski pertemuan itu bisa
dibilang singkat, Cakka berharap mereka akan bertemu lagi.
“Lo
ngalamunin apa?” tanya Alvin membuyarkan lamunan Cakka.
“Hm—enggak.
Lo beneran mau dateng ke konsernya Brian?” balas Cakka.
Sekarang
ini Cakka berada di mobil Alvin. Saat berangkat sekolah tadi dia memang meminta
Alvin untuk menjemputnya dan itu artinya Alvin juga harus mengantarkan Cakka
pulang ke rumah.
Alvin
mengedikkan bahu. “Kalo Shilla yang maksa, gue bisa apa,” sahutnya.
“Iya
sih. Shilla terlibat di acara fashion
show gitu, setahu gue dia bakalan pake rancangan baju mamanya Brian.”
“Pantesan
dia semangat banget nonton konser Brian. Udah pendekatan sama mamanya toh,” cibir Alvin.
“Ngaco.
Dia nggak naksir Brian. Lo kayak nggak tahu aja, Shilla justru lagi berterima
kasih sama Brian karena udah dikenalin ke mamanya,” bantah Cakka yang mau tak
mau dibenarkan oleh Alvin.
Impian
Shilla adalah menjadi model dan dia berhasil mewujudkannya perlahan. Cakka jadi
berpikir hanya dirinya yang belum jelas akan seperti apa kedepannya nanti. Rio
sudah jelas meneruskan pekerjaan papanya. Oh, masih ada Alvin dan Gabriel yang
sama belum jelasnya.
“Vin,”
panggil Cakka.
“Apaan?”
balas Alvin yang masih fokus menyetir.
“Mungkin
nggak sih suatu saat nanti masing-masing dari kita nemuin dunia yang lebih seru
dibanding The Wanted?”
Pertanyaan
itu meluncur bebas. Alvin terdiam cukup lama, detik itu Cakka sadar bahwa Alvin
terganggu dengan pertanyaan tersebut. Namun Cakka tetap menunggu sampai
seseorang yang disebutnya sebagai sahabat menjawab dengan tenang.
“Mungkin
aja,” balas Alvin setelah berkutat cukup
lama dengan kepalanya.
“Kenapa?”
tanya Cakka.
“Terkadang,
sesuatu yang kita anggap paling impossible
bisa bermetamorfosis jadi sesuatu yang paling possible,” jawab Alvin menimbulkan kegundahan di hati Cakka.
“Tapi lo
nggak pernah punya pikiran untuk meninggalkan kan, Cak?” imbuhnya.
Cakka
terhenyak. Dia menatap Alvin yang masih fokus mengemudi.
“Ah,
lupakan. Pasti enggak lah. Haha,” ceplos Alvin dengan tawa yang terdengar
hambar.
Selanjutnya,
Cakka memalingkan wajah ke arah jendela.
Sering, Vin. Gue sering banget punya pikiran
begitu.
***
Bersambung...
Akhirnya di part 2 ._. saya masih butuh kritik & saran kalian semua jadi tolong banget ya tinggalkan jejak supaya cerita ini lebih bagus kedepannya. Saya merasa masih kaku. Bisa langsung ke kolom komentar atau ke ask.fm/fannyslma
Terima kasih :)
1 komentar:
Lanjutt kak :)
Posting Komentar