"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 03 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 2

Tittle: When You Hold Me [2]
Author: Fanny Salma

Kembali lagi #BangkitkanCRAGSISA hehe thanks sekali yang sudah berkomentar kemarin sangat berpengaruh untuk semangat saya menulis. Akhirnya saya memutuskan untuk mem-post part 2 saking semangatnya baca respon kalian hehehe

Hope you like it guys

2


Beberapa kali laki-laki ini mengerjapkan mata karena cahaya matahari sudah mulai menembus kamarnya. Semalam dia belajar tentang bisnis dengan Mas Dayat, orang kepercayaan papanya yang sekarang menjadi guru pribadinya. Ya, Rio. Pertemuan semalam cukup menyita waktu hingga jam empat pagi dia baru sampai di kamarnya lalu dia hanya tidur dua jam saja—itu berarti sekarang sudah jam enam.
Rio bergegas bangun dari kasurnya dan menyambar handuk lalu mandi. Sebagai lelaki, mandi sepuluh menit sudah cukup. Andai saja tidak ada ulangan fisika dia pasti memilih untuk tidur kembali. Setengah jam kemudian Rio sudah rapi dengan seragam kebanggan SMA Budi Karya.
Fuck,” umpat Rio saat membaca chat Alvin. Dia mengabarkan bahwa ulangan hari ini dipercepat lima menit.
Tak perlu berpikir lama lagi karena setelah itu Rio memacu mobilnya dengan kecepatan di luar kendali. Lima belas menit! Biasanya Rio membutuhkan waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di sekolah dan sekarang hanya lima belas menit!
Lima menit lagi ulangan dimulai. Rio berlari cepat tanpa mempedulikan orang-orang menatapnya dengan bingung. Beberapa kali pemuda itu nyaris menabrak siswa-siswi yang berlalu lalang di koridor, tapi pikiran Rio hanya tertuju pada ulangan dan membuat orang-orang yang nyaris ditabraknya bersumpah serapah. Jika tidak ingat bahwa Rio adalah bagian The Wanted, mereka pasti sudah memaki pemuda  itu.
“Maaf, Bu. Saya terlambat,” ujar Rio sesopan mungkin meski dia  tahu kalau dirinya hanya terlambat satu menit.
Bu Maryam mengangguk maklum dan mempersilahkan Rio untuk duduk. Di hadapannya sudah ada lembar soal dan lembar jawaban. Dia mendengus, tak tahu harus mengisikan apa pada lembar jawabnya.
Sudah sekitar dua puluh menit Rio berkutat dengan soal-soal di hadapannya, tapi hanya satu soal yang berhasil dia jawab. Tiba-tiba satu jam berlalu, menyisakan Rio bersama kepasrahannya. Dia menyesal tidak menyempatkan diri untuk belajar meski hanya sekejap. Jangankan belajar, menyentuh buku pun tidak.
“Waktu habis,” ucap Bu Maryam menghentikan para siswa untuk mengerjakan.
Semuanya meletakkan alat tulis dan bergegas mengumpulkan karena Bu Maryam tak pernah bisa dibantah. Semuanya, termasuk Rio yang merasa kepalanya sudah berasap.
“Lo kelihatan kacau,” cetus Alvin pada Rio.
Pemuda itu menggeleng lalu ijin untuk ke kamar mandi.
“Nanti langsung ke kantin aja.”
Rio mengangguk dan memisahkan diri. Kepalanya masih terasa panas memikirkan soal-soal Bu Maryam tadi. Di kamar mandi, Rio langsung menuju wastafel lalu mencuci wajahnya. Dia mengantuk.
***
The Wanted sama sekali tak merasa terusik meski suasana kantin begitu ramai dan sebagian besar dari mereka berbisik-bisik tentang mereka. Mereka  seakan punya dunia  sendiri yang tak akan pernah bisa digapai siapapun. Begitu Rio ikut bergabung, para kaum hawa menelan ludah melihat rambut Rio yang sengaja dibasahi. Dia terlihat cool.
“Asap di kepala lo udah ilang,” ceplos Alvin sambil memasukkan kentang goreng ke dalam  mulutnya.
“Gue nggak belajar sama sekali,” balas Rio.
Meeting sampai jam berapa emang?” nimbrung Gabriel.
“Hmm sekitar jam tiga pagi dan gue nyampe rumah jam empat,” jawab Rio sekenanya membuat yang lain berdecak.
“Nanti biar gue bilang ke Bu Maryam supaya lo dikasih tugas tambahan aja,” kata Gabriel yang tak disetujui oleh Rio.
“Nggak perlu. Justru gue nggak akan punya waktu buat ngerjain tugas.”
Yang dikatakan Rio bukan ucapan sok. Terlalu banyak waktu yang dia gunakan untuk memikirkan bisnis papanya. Untuk menyentuh buku saja dia tak sempat, bagaimana dengan mengerjakan tugas? Gabriel pun mengangguk  maklum.
“Gimana kemarin ke pestanya Angel?” tanya Alvin membuka topik baru.
Selanjutnya Shilla yang paling bersemangat bercerita tentang pesta heboh Angel  tadi malam. Gabriel dan Cakka sesekali menimpali dan menganggap pesta itu biasa saja untuk ukuran seorang Angel. Sementara Rio, dia kembali sibuk dengan ponselnya dan berkomunikasi dengan Mas Dayat.
Semuanya tentram dan damai seperti biasa. The Wanted masih bisa tertawa dan mengobrolkan hal yang tak dapat dimengerti anak-anak lain. Sampai sebuah kegaduhan tiba-tiba muncul merusak fokus mereka—termasuk Rio.
“DEBOOO! SEPATU GUE TAIII!”
“WOOO AMBIL SENDIRIIIII!”
“DEBOOO! SIVIA BANTUIIINNNN!!!”
“LO CEGAT DARI SANA, GUE BANTUIN NYEGAT DI SINIIII!!”
Kegaduhan antara seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan jambul menyala dengan dua orang gadis. Mereka berlarian mengelilingi kantin, memperebutkan sepatu yang berada di tangan laki-laki berjambul itu. The Wanted—termasuk  yang lain—jadi paham kalau sepatu tersebut milik si gadis yang rambutnya diikat asal karena dia tak menggunakan alas kaki.
Ketiganya menggunakan kaos olahraga. Shilla sudah siap memaki mereka karena seenaknya merusak wilayah orang dan mengumbar bau keringat.
“Mau ngapain, Shil?” tanya Gabriel bingung saat melihat Shilla tiba-tiba berdiri.
“Mau ngasih tahu anak-anak itu kalau ini bukan arena ganggu ketentraman orang,” ketus Shilla lalu menghampiri tiga anak tersebut.
Baik Gabriel, Cakka, Alvin dan Rio sama kagetnya menyaksikan tindakan Shilla. Namun mereka diam, membiarkan Shilla melakukan sesuatu yang semakin memperburuk image-nya—mungkin pula image The Wanted.
“YEAHHH SEPATU GUEEE!” seru gadis yang sudah mendapatkan sepatunya.
Kegirangannya tak lama karna selanjutnya dia shocked melihat Shilla sudah berpindah tempat tepat di  depannya!
“Udah dapet sepatunya? Sekarang bisa kan lo tinggalin kantin? Gue nggak suka lo dan temen-temen lo  ganggu ketentraman kantin ini,” ujar Shilla tanpa ekspresi dan terdengar tajam.
Ify—gadis itu—meneguk ludahnya lalu melirik ke  arah Sivia dan Debo yang sudah berada di dekatnya. Mereka tampak tidak terima dengan ucapan Shilla. Ify tahu, dia harus segera mengurus Sivia sebelum sahabatnya melakukan hal-hal di luar kendali seperti yang dia lakukan pada Gabriel kemarin.
“Oke kita pergi,” ucap Ify cepat lalu menarik Sivia dan Debo.
“Tapi—“
“Kita pergi, Siv.”
Sivia meronta-ronta karena diseret paksa oleh Ify. Sementara Debo, dia menurut saja meskipun dia ingin sekali membalas ucapan Shilla barusan.
Rio bertemu dengan gadis itu lagi. Gadis yang kemarin membantunya mencari rak buku tentang bisnis. Alyssa. Sejak pertemuan kemarin, Rio menghafal namanya dengan baik. Sampai Shilla kembali duduk dan sahabat-sahabatnya membahas kejadian tadi, Rio tak menyimak karena mengingat Alyssa.
***
“Harusnya lo biarin gue hajar dia. Biar dia nggak sok di sekolah! Yang lain biasa aja tuh, cuma dia yang merasa keganggu,” dumel Sivia masih menyalahkan Ify.
Ify tak peduli karna memang dia tak mau peduli. Sudah  dikatakan, dia tak mau terlibat urusan apa-apa dengan The Wanted. Cukup kemarin saja dia berurusan dengan Rio dan Ify hanya bisa berharap Rio melupakannya, seperti dia melupakan kejadian kemarin.
“Lo tahu budaya berantem cewek kan? Gue nggak mau lo kayak gitu. Mending sekarang kita ganti seragam, bentar lagi kan jamnya Bu Maryam,” balas Ify.
Mendengarnya membuat Sivia semakin cemberut. Dia masih berharap punya kesempatan beradu mulut dengan Shilla dan membuat Shilla pada akhirnya mengakui kemenangan Sivia. Ya, meskipun itu mustahil tapi tidak ada salahnya berharap kan?
“Ify, sori gara-gara gue tadi lo jadi kena amuk Shilla,” kata Debo merasa bersalah.
“Males. Lo jajanin gue seminggu baru gue maafin,” sahut Ify kalem.
“Anjir. Tai banget kenapa jadi gue yang kena batunya?” umpat Debo yang dibalas dengan kalimat ‘nggak mau dimaafin ya udah’ akhirnya Debo pasrah membagi uang jajannya selama seminggu untuk Ify.
“Debo, lo mau ngambil sepatu gue gak? Gue ikhlas lo kerjain kayak Ify tadi asal dapet jatah lo jajanin juga,” cablak Sivia.
Debo mendengus. Niatnya mengerjai Ify malah jadi sial. Sebelum Sivia kembali merealisasikan ucapan tadi, Debo buru-buru pamit pergi. Barulah Ify dan Sivia ke kamar mandi untuk mengganti kaos olahraga mereka dengan seragam.
Sivia dan Ify menghentikan langkah mereka secara bersamaan saat melihat Gabriel dan juga Rio. Jika Sivia berhenti karena Gabriel, Ify menghentikan langkahnya karena Rio. Holy shit. Koridor benar-benar sepi seakan pertemuan mereka berempat sudah diatur.
“Fy, gue berani kok sama Gabriel meskipun dia lagi sama Rio,” ucap Sivia pelan meski tidak yakin. Nyalinya mendadak ciut.
Ify sama sekali tidak membalas ucapan Sivia  karena dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia berusaha menyugesti diri kalau Rio sudah lupa dengannya. Semoga.
“Ayo jalan lagi,” koor Sivia.
Mereka melanjutkan langkah. Awalnya biasa, tapi ternyata Gabriel dan Rio sama ngeh-nya dengan kehadiran mereka.
“Lo.”
Ucapan Gabriel yang Ify yakini ditujukan pada Sivia membuatnya ikut berhenti melangkah—lagi. Sivia berbalik, memandang Gabriel dengan wajah sengit, berbeda dengan tadi yang tampak ciut.
“Gue?” balas Sivia pada Gabriel seakan menantang.
“Lo yang waktu itu nabrak gue kan?” tanya Gabriel memastikan.
Sivia mengangguk. “Iya. Gue.”
“Lo minta maaf ke gue lalu semuanya gue anggap clear,” ucap Gabriel datar.
Nampaknya Gabriel masih menyimpan dendam pada Sivia. Namun Ify tak peduli, sebab kini Rio menatapnya lurus. Rio mengingatnya!
You wish!”
Selanjutnya Sivia buru-buru menarik Ify untuk bergegas ke kamar mandi. Tiba-tiba saja, Rio mengeluarkan suaranya, membuat Sivia dan Ify menghentikan langkah untuk kesekian kali.
“Alyssa!” seru Rio.
“Fy—“
“Nanti gue jelasin,” potong Ify lantas mengajak Sivia untuk tetap pergi.
“Lo kenal mereka?” tanya Gabriel heran karena memang The Wanted tidak pernah mengenal siapa-siapa di sekolah ini.
Rio menggeleng, membuat Gabriel semakin bingung.
***
Jam kosong dimanfaatkan Cakka untuk kembali ke lapangan indoor, bersenang-senang dengan sang orange tanpa diganggu siapapun, mengkhayal bahwa dia adalah seorang kapten basket. Perlu alasan yang kuat untuk meyakinkan Shilla kalau perutnya benar-benar sakit karena sambal yang dituangkan di baksonya tadi terlalu banyak. Untung dia berhasil kabur.
Lapangan indoor memang lebih sering kosong karena tempat ini dimanfaatkan untuk ekstrakulikuler dan saat hujan saja. Cakka kembali men-dribble bola basket di tangannya dan bersiap menuju ring.
Tiba-tiba terdengar sebuah langkah kaki. Tubuh Cakka mendadak kaku, bola yang berada di tangannya terlepas seketika. Sampai langkah itu terdengar semakin dekat, Cakka belum berani membalikkan badan, dia berharap Pak Reihan lah si pemilik langkah itu.
“Basket nggak bisa dimainkan sendirian.”
Bukan. Bukan Pak Reihan. Itu suara seorang gadis. Cakka belum berani melihat secara langsung.
“Basket itu tentang berbagi, bukan memiliki seorang diri. Karena sampai kapanpun, lo nggak akan bisa mengklaim sesuatu untuk diri lo sendiri.”
Rasa penasaran Cakka mengalahkan segalanya. Cowok itu membalikkan badan, lalu menemukan seorang gadis poni rata dan rambut dikuncir kuda sedang memandanginya.
“Lo siapa?”
Gadis itu terkekeh mendengar pertanyaan Cakka. Namun selanjutnya dia mengulurkan tangan, tangan itu terulur cukup lama karena Cakka ragu untuk menjabatnya. Gadis itu tak menyerah dan membiarkan tangannya tetap terulur sampai Cakka benar-benar yakin lalu menjabat.
“Agni. Kapten basket putri,” ujar Agni sengaja menekan kalimat ‘kapten basket’.
“Gue selalu lihat lo main basket sendirian di sini, setiap orang-orang sibuk sama  urusannya masing-masing,” imbuhnya.
Cakka terhenyak. Dia kepergok oleh kapten basket. Ingin rasanya laki-laki itu bergegas pergi dan menganggap pertemuan barusan tak  pernah ada, namun sebagian hatinya menginginkan untuk tetap tinggal.
Pemuda itu masih terdiam, tak tahu harus mengatakan apa pada gadis yang baru dikenalnya. Dia memperhatikan Agni yang mulai men-dribble bola basketnya, berlarian, lalu tiba-tiba saja dia bola itu di-passing-kan padanya. Cakka masih terbengong namun selanjutnya dia men-dribble bola tersebut menuju ring lalu men-shot dan masuk.
Untuk pertama kalinya, Cakka merasa hidup kembali.
***
“Jadi, kenapa bisa Rio tiba-tiba nyebut nama lo? It’s ok itu bukan nama panggilan, tapi tetep aja itu nama lo. Alyssa. Gue bahkan manggil elo Ify, bukan Alyssa,” ceplos Sivia membuat kepala Ify pening.
Sial bagi Ify, sejak Rio memanggilnya, Sivia tak henti-henti bertanya. Lebih sial lagi saat Ify sudah berharap banyak pada Bu Maryam, tapi wanita itu malah menyuruh mengumpulkan tugas dan mereka tidak ada pelajaran. Ini membuat dirinya semakin tersudutkan.
Akhirnya dia mengalah dan menceritakan semuanya pada Sivia. Tentunya tidak sedetail itu. Dia hanya mengatakan bahwa dia dan Rio tidak sengaja bertemu di toko buku kemarin, lalu  Rio kebingungan mencari rak buku bisnis dan hanya ada Ify yang terlihat tak begitu sibuk, jadilah Rio meminta Ify untuk mencarikan.
“Kenapa lo baru cerita? Kenapa juga lo nggak maki-maki aja? Lo tuh lagi dikasih kesempatan Tuhan buat maki-maki dia! Kayak yang gue lakuin ke Gabriel!” semprot Sivia.
“Ihh lagian buat gue itu nggak penting, ngapain juga cerita? Gue juga males berantem sama dia,” dengus Ify.
“Udah ah jangan dibahas lagi. Gue mau lanjutin baca,” tegas Ify lalu buru-buru membuka novelnya sebelum Sivia memprotes.
Di lain sisi, The Wanted sibuk mencari-cari Cakka. Pemuda itu menghilang cukup lama—lebih lama dari biasanya. Ponselnya tidak aktif. Mereka mendadak  khawatir. Tak lama kemudian Cakka kembali, menampilkan cengiran lebarnya yang membuat Shilla, Rio, Alvin dan Gabriel ingin menjitak pemuda itu.
“Lo dari mana aja?” tanya Alvin.
“Kan gue udah ijin mau ke toilet,” jawab Cakka sekenanya.
“Tapi biasanya nggak  selama ini. Lo ngapain aja?” sambar Gabriel.
“Emang lo mau denger kalo gue ceritain ngapain aja di toilet?” balas Cakka sangat polos.
Hanya Rio yang terlihat tak tertarik dengan obrolan mereka. Dia kembali sibuk dengan ponselnya, lalu tiba-tiba berdiri.
“Mau ke mana?” tanya Shilla.
“Angkat telepon,” jawab Rio cepat.
Shilla dan yang lain mengangguk. Rio adalah manusia super sibuk. Tak heran jika dalam keadaan seperti ini saja keningnya berkerut, memikirkan perusahaan papanya, dan  sedikit-sedikit dia harus mengecek ponsel untuk mendapat kabar dari Mas Dayat. Belum lagi jadwal meeting-nya yang seringkali tiba-tiba.
“Nggak ke kantin?” tanya Cakka.
“Nggak laper. Di kelas aja lah,” sahut Shilla.
Cakka mengangguk. Dia teringat tiket konser yang didapatkannya. Cakka mengambilnya, lalu membagikan ke teman-temannya—kecuali Rio yang sedang mengangkat telepon.
“WAAA KONSERNYA BRIAN?!!” seru Shilla kegirangan.
“Iya. Kemarin sepupu gue ke rumah, katanya Brian nitipin tiket itu buat kita semua,” jawab Cakka.
“Mantep itu anak udah ngadain konser,” cetus Gabriel.
“Lagunya emang keren-keren sih, tampang sama suara juga mendukung,  nggak heran gue. Tapi gue kurang suka konsep albumnya yang baru,” timpal Alvin.
“Pokoknya kalian harus temenin gue dateng ke konsernya!” kata Shilla.
“Konser apaan?”
Tahu-tahu saja Rio sudah kembali. Cakka lantas mengulurkan tiket konser milik Rio. Laki-laki itu membaca sejenak dan menyerahkan kembali pada Cakka.
Meeting lagi?” tebak Cakka tepat sasaran.
“Gantiin Papa. Sebulan ini Papa ngurus perusahaan di Singapore,” jawab Rio dilanjutkan dengan menghela nafas.
“Selain Rio, nggak boleh ada yang alesan nggak dateng,” tegas Shilla yang membuat Alvin cemberut.
Jujur saja, Alvin kurang cocok dengan Brian. Bukan karena selera lagunya tetapi karena Brian adalah rival-nya dulu. Lebih tepatnya lagi, Brian adalah pacar dari Angel. Bagi Alvin, melakukan sesuatu itu harus secara totalitas. Dia menghindari Angel, dia juga harus menghindari pacar mantannya.
“Termasuk elo, Vin. Gue memaksa dengan terhormat,” kata Shilla.
Alvin pasrah. Jika Shilla yang memaksa, dia tak dapat menolak. Sejak kecil, keempat cowok itu terbiasa menuruti keinginan Shilla.
***
“Lo beneran nggak mau join di basket? Kebetulan tim basket cowok lagi kekurangan pemain karna Adyt kecelakaan. Skill lo oke, cuma perlu dilatih sedikit supaya nggak kaku. Mungkin itu efek terlalu lama main basket sendirian. Tapi kalo lo berminat, lo bisa bilang ke gue.”
Ucapan Agni masih membekas di otaknya. Andai saja dia bisa mengiyakan. Sayangnya, setiap ucapanitu terputar bagai kaset rusak di kepala Cakka, saat itu pula bayangan wajah-wajah The Wanted muncul satu persatu. Kalau sampai mereka tahu Cakka nyaris mengiyakan untuk bergabung dengan tim basket sekolah, pasti mereka akan kecewa.
Sudah sebelas tahun The Wanted bersahabat. Kemana-mana selalu bersama, melakukan sesuatu bersama, semuanya bersama. Tidak mungkin Cakka mendadak memisahkan diri hanya karena impian konyolnya.
Namun bersama Agni tadi, dia merasa mimpinya semakin dekat. Meski pertemuan itu bisa dibilang singkat, Cakka berharap mereka akan bertemu lagi.
“Lo ngalamunin apa?” tanya Alvin membuyarkan lamunan Cakka.
“Hm—enggak. Lo beneran mau dateng ke konsernya Brian?” balas  Cakka.
Sekarang ini Cakka berada di mobil Alvin. Saat berangkat sekolah tadi dia memang meminta Alvin untuk menjemputnya dan itu artinya Alvin juga harus mengantarkan Cakka pulang ke rumah.
Alvin mengedikkan bahu. “Kalo Shilla yang maksa, gue bisa apa,” sahutnya.
“Iya sih. Shilla terlibat di acara fashion show gitu, setahu gue dia bakalan pake rancangan baju mamanya Brian.”
“Pantesan dia semangat banget nonton konser Brian. Udah pendekatan sama mamanya toh,” cibir Alvin.
“Ngaco. Dia nggak naksir Brian. Lo kayak nggak tahu aja, Shilla justru lagi berterima kasih sama Brian karena udah dikenalin ke mamanya,” bantah Cakka yang mau tak mau dibenarkan oleh Alvin.
Impian Shilla adalah menjadi model dan dia berhasil mewujudkannya perlahan. Cakka jadi berpikir hanya dirinya yang belum jelas akan seperti apa kedepannya nanti. Rio sudah jelas meneruskan pekerjaan papanya. Oh, masih ada Alvin dan Gabriel yang sama belum jelasnya.
“Vin,” panggil Cakka.
“Apaan?” balas Alvin yang masih fokus menyetir.
“Mungkin nggak sih suatu saat nanti masing-masing dari kita nemuin dunia yang lebih seru dibanding The Wanted?”
Pertanyaan itu meluncur bebas. Alvin terdiam cukup lama, detik itu Cakka sadar bahwa Alvin terganggu dengan pertanyaan tersebut. Namun Cakka tetap menunggu sampai seseorang yang disebutnya sebagai sahabat menjawab dengan tenang.
“Mungkin aja,” balas Alvin setelah berkutat cukup  lama dengan kepalanya.
“Kenapa?” tanya Cakka.
“Terkadang, sesuatu yang kita anggap paling impossible bisa bermetamorfosis jadi sesuatu yang paling possible,” jawab Alvin menimbulkan kegundahan di hati Cakka.
“Tapi lo nggak pernah punya pikiran untuk meninggalkan kan, Cak?” imbuhnya.
Cakka terhenyak. Dia menatap Alvin yang masih fokus mengemudi.
“Ah, lupakan. Pasti enggak lah. Haha,” ceplos Alvin dengan tawa yang terdengar hambar.
Selanjutnya, Cakka memalingkan wajah ke arah jendela.
Sering, Vin. Gue sering banget punya pikiran begitu.

***

Bersambung...
Akhirnya di part 2 ._. saya masih butuh kritik & saran kalian semua jadi tolong banget ya tinggalkan jejak supaya cerita ini lebih bagus kedepannya. Saya merasa masih kaku. Bisa langsung ke kolom komentar atau ke  ask.fm/fannyslma
Terima kasih :)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Lanjutt kak :)

Posting Komentar