"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Rabu, 16 Desember 2015

One Shoot: Masihkah Aku (Bersinar di Hatimu)



One Shoot: Masihkah Aku (Bersinar di Hatimu)
[Fanfict Aluna-Biru]
By: Fanny Salma



Ruang musik ini seolah menjadi saksi perjalanan cinta dua hati yang dipertemukan untuk bersolois. Begitu ungkap sosok Biru. Ya, ini kisah cinta antara Aluna, gadis yang dingin sedingin benua antartika dengan Biru, sosok tampan yang tak pernah lelah mencairkan dinding es milik Aluna.
Biru ingat saat pertama kali ia terpana pada gadisnya. Meski beribu kali diabaikan, pemuda itu tak menyerah berada di sekitar Aluna, mengusik dunia Aluna hanya untuk mendapatkan perhatiannya. Meski pada akhirnya Aluna menjadi kekasihnya, gadis itu tak pernah benar-benar berubah. Dia selalu sama. Dingin.
“Emang kita duet ya di kelas ini?”
Suara itu memenuhi telinga Biru ketika dia sengaja memainkan gitar di samping Aluna yang sedang berlatih memainkan piano. Pemuda itu menoleh sekilas,menghentikan permainan gitarnya yang mungkin memang mengganggu latihan gadisnya, lalu kembali menatap lurus ke depan.
“Pertanyaan yang sama. Emang hati kita berduet ya? Kayaknya hati kita solois banget,” sahut Biru yang dibalas dengan decakan kesal dari Aluna.
“Please gue ada tes siang ini. Tolong, biarin gue latihan tanpa diganggu,” ujar Aluna dengan penuh penekanan.
Kalimat itu tanpa sengaja menyentakkan Biru dalam kepahitan. Sebegitu mengganggunya kah keberadaannya bagi Aluna?
Biru lantas meletakkan gitar yang sedari tadi ia mainkan lalu bangkit meraih tasnya dan pergi begitu saja. Aluna sempat melirik, namun akhirnya kembali memainkan grand piano dengan perasaan bercampur aduk.
Pemuda itu mendesah kala mengingat setiap detail peristiwa tersebut. Emosinya benar-benar tak stabil, dia menganggap Aluna benar-benar tak ingin melihatnya kala itu. Detik selanjutnya, Biru tersenyum. Dia rindu menemani Aluna di ruang musik ini. Meski hanya menyaksikan gadis itu sibuk dengan piano, Biru merasa dia selalu terpikat setiap kali menikmati Aluna dengan lantunan musiknya yang indah.
“Lun, gue kangen... kangen semua tentang kita,” lirih Biru seraya menutup ruang musik tersebut.
***
Langkah Biru berpindah menuju kantin. Pemuda tampan itu duduk di salah satu bangku yang sering ia tempati—dulu—bersama Aluna. Dengan hati-hati, telapak tanganya mulai menyentuh permukaan meja yang sempat ia ukir dengan nama “Aluna”. Mau tak mau, kedua ujung bibirnya tertarik kembali.
Sekali lagi. Meski menjadi kekasihnya, Aluna tetaplah Aluna. Sosok dingin sedingin benua antartika. Di kantin pun gadis itu memilih fokus dengan gadget-nya. Ya, Biru mengerti. Gadisnya memang selalu berusaha menghubungi kedua orang tuanya di setiap kesempatan. Sayangnya, itu membuat Biru terabaikan, membuat sosok Biru tak pernah terlihat di manik mata yang menarik milik Aluna.
“Tahu nggak, Lun? Tadi tuh ya ada dosen yang salah kasih absen terus nih... dia keluar lagi dan dia nggak balik-balik saking malunya. Aduhhh lucu nggak sih, Lun? Lucu banget kan?” cerocos Biru dengan tawa yang berhamburan.
Aluna masih sibuk dengan ponselnya.
“Lun...”
“Haha iya. Lucu,” sahut Aluna tanpa berminat.
Wajah Biru berubah keruh. Matanya memandang sayu ke arah gadis di hadapannya. Mengapa gadis ini tak pernah sekali saja membuat keberadaannya terasa berharga? Mengapa gadis ini tak pernah sekali saja membuatnya merasa dicintai? Mengapa—
Biru bangkit dari tempat duduknya. Dia bermaksud untuk pergi. Ketika hendak melangkah, suara Aluna menghentikannya.
“Biru, mau ke mana?” tanya gadis itu.
Bukannya menjawab pertanyaan tersebut, Biru melengos.
“Kamu yang ke mana. Aku kan selalu di depan kamu.”
Selanjutnya, pemuda itu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda dan pergi meninggalkan Aluna untuk kesekian kalinya.
Ingatan itu masih membekas di otak Biru. Kekecewaannya mendominasi saat itu. Dia muak dengan semua tingkah Aluna sekaligus kecewa dengan dirinya sendiri. Dia pikir, dia berhasil merobohkan dinding es yang dibangun Aluna meski hanya seperempat bagian. Tapi ternyata salah. Dinding itu terlalu kokoh, bahkan tak pernah hancur sedikitpun. Dinding itu tetap utuh.
Helaan nafas Biru terasa berat. Dia tersenyum getir sebelum melanjutkan ke tempat terakhir yang akan ia tuju. Sekali lagi, telapak tangannya mengusap ukiran nama “Aluna” dengan lembut. Kali ini ia menyentuh dengan perasaan dan menyebutkan nama itu dalam hatinya detik itu juga. Biru terperangah hebat ketika menyadari hatinya berdesir hanya dengan menyebutkan nama “Aluna”. Perasaannya masih sama seperti ketika dia jatuh hati pada gadis tersebut.
***
Tempat terakhir dari tiga tempat tujuannya. Dari ketiganya, ini adalah tempat yang paling menyakitkan bagi Biru. Tempat dimana kisahnya dengan Aluna harus berakhir dan kandas. Rasa bersalah mulai menyergapnya.
“Aku cuma nanya kamu ke mana. Dari kemarin aku nelfon kamu, kamu nggak angkat-angkat. Kalau bukan kamu yang nemenin aku, siapa lagi?”
Teringat jelas bagaimana rangkaian kalimat itu menusuk jantungnya. Ya, pemuda itu kehilangan arah saat kekecewaannya mendominasi. Dia tersesat. Yang lebih menyakitkan lagi bagi Aluna, dirinya tersesat di hati sahabat Aluna.
Air mata itu mengalir tanpa dapat dicegah. Air mata penyesalan. ‘Kalau bukan kamu yang nemenin aku, siapa lagi?’  Biru tersungkur di tempatnya, sadar bahwa Aluna mengucapkan kalimat itu dengan perasaan takut kehilangan. Selama ini, dia berusaha meyakinkan Aluna bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan gadis itu tapi ternyata...
“Udah berapa lama kenal sama Agatha? Sampai tahu inhaler segala,” kesal Aluna ketika mereka di tempat latihan.
“Kamu udah lama kenal aku tapi nggak tahu apa-apa tentang aku.”
Biru semakin menangis.
“Kita emang harus begini ya?” lirih Aluna.
“Iya. Bukan salah Agatha. Tapi mungkin ini salah kita,” balas Biru tak kalah lirih.
Detik selanjutnya, air mata Aluna yang ia tahan sedari tadi akhirnya meluap. Biru segera merengkuhnya dalam-dalam namun tangis itu tak pernah reda. Isak tangis Aluna semakin menampar sosok Biru. Gadis itu... sangat terluka.
Tangan Biru mengepal. Kemudian kepalannya sengaja ditinjukan ke lantai marmer dengan sangat keras. Tak peduli darah kental mulai mengucur membalut tangannya, Biru tetap mengulangi gerakan tersebut seakan ini adalah balasan atas luka Aluna yang ia ciptakan.
Semua salahnya. Semua salahnya. Semuanya.
“BIRU!!!”
Suara itu. Biru mendongak dan mendapati sosok yang selama ini menjadi hantu di pikirannya tiba dengan wajah panik. Aluna lantas berjongkok, meraih tangan Biru yang telah berlumur darah. Gadis itu menangis.
“Kamu apa-apaan sih?!” cerca Aluna masih dengan air mata yang mengalir deras.
“Lun, aku minta maaf. A—aku...”
“Kamu nggak punya salah apa-apa,” potong Aluna dengan lirih.
Aluna buru-buru mengambil sapu tangan. Dibalutkannya sapu tangan tersebut ke luka Biru dengan hati-hati. Si pemilik tangan sendiri hanya diam memandangi Aluna, lukanya tak berasa apa-apa. Hatinya mencelos melihat Aluna menampilkan kepanikan.
“Kamu kenapa? Kamu ada masalah?” tanya Aluna begitu selesai dengan ‘hasil karyanya’.
Jemari tangan Aluna lantas bergerak mengusap titik-titik bening di wajah Biru. Entah mengapa, Biru merasakan Aluna-nya menjadi hangat, tak lagi sedingin benua antartika.
“Aku... masih cinta kamu, Lun.”
Gerakan Aluna terhenti. Dadanya berdebar hebat. Selanjutnya gadis itu menangis—lagi—namun kali ini tangisnya berbeda. Tangis kebahagiaan. Rasanya seperti ada sesuatu yang kembali dan membuat Aluna menjadi ‘utuh’.
“Maaf karena aku nggak pernah ngertiin kamu. Maaf karena aku nggak bisa jadi yang kamu mau. Maaf karena—“
“Kamu salah, Biru. Kamu yang paling ngertiin aku. Kamu yang selalu ada buat aku. Kamu satu-satunya yang nemenin aku disaat orang tuaku nggak punya waktu buat aku. Kamu yang aku mau,” lirih Aluna.
Dengan spontan Biru membawa Aluna ke dalam dekapannya.
“Aku pikir aku nggak akan pernah bisa cairin es kayak kamu,” bisik Biru.
“Aku pikir emang enggak. Jangan pernah tinggalin aku lagi ya,” balas Aluna seolah takut kehilangan untuk yang kedua kali.
Biru mengangguk tanpa mengurai pelukannya. “Aku masih jadi yang paling bersinar di hati kamu kan?”
“Hanya kamu. Yang paling bersinar Di sini,” balas Aluna seraya menuntun tangannya ke depan dada.
*END* 

Sebenernya ini aku bikin setelah nonton film HBM karena tidak puas dengan cerita Aluna-Biru. Setiap mau post, selalu tidak sempat sampai akhirnya ada beberapa kejadian yang bikin aku ragu buat nge-posting. Tapi karena aku pikir ini masih ranah 'Aluna-Biru' jadi nggak masalah, nggak ada nama asli tokohnya. Thanks :)

Selasa, 17 November 2015

Review “Heart Beat Movie: Sahabat adalah saudara yang terpilih”



Film yang dibintangi empat cewek cantik yang tak lain adalah “Blink” ini berhasil menghipnotis gue sejak pertama kali tahu kabar mereka ada project film. Melihat bagaimana beberapa sinetron & ftv mau gak mau sempet bikin gue “sebagai fans Ify” pesimis. Pasalnya, tahu sendiri porsi Ify dan Sivia selama ini hanya sebagai “pajangan” yang munculnya seolah-olah karena formalitas atau bisa dibilang karena mereka member Blink. Apalagi mengingat dua sinetron terakhir mereka yang ‘katanya’ untuk promo lagu justru kebanyakan memakai lagu orang, gue agak takut kalau di film ini juga akan dicampuri dengan lagu-lagu orang. Hmmm. Ya, ini keraguan awal karena semakin hari rasa penasaran gue semakin bertambah dengan munculnya spoiler-spoiler.
Tanggal 14 November akhirnya gue melancarkan kenekatan untuk nonton Heart Beat di kota seberang. Fyi, kebetulan sekali ponsel gue rusak dan perjuangan banget minjem-minjem ponsel temen. Sempet ngabarin ke Mama kalau pulang sabtu, tapi nggak bilang alasannya apa soalnya kalau bilang udah jelas akan dilarang keras. Jam 3 sore gue dijemput temen dan akhirnya nginep. Rencana yang harusnya nonton hari jum’at ditunda karena kesorean sedangkan temen ada latihan orchestra. Jam 6 sore ditinggal sendirian di kost temen sampai jam 9 malam lagi. Yak! Ini namanya perjuangan.
Paginya, jam 9 gue udah OTW nonton padahal filmnya mulai jam 12.15 WIB akhirnya muter-muter dulu. Jam setengah 11 kita ngantri tiket. Huh! Deg-degan sekali. Kita keluar sebentar untuk foto-foto & gue nyempetin bawa kertas tulisannya “ALUNA-BIRU HARGA MATI!!!” sampai yang lewat pada curi-curi baca karna penasaran (bisa jadi juga karna heran sama anak kepedean bawa-bawa kertas demo). Jam 12.05 WIB mulai masuk ke teater 4. Nggak sabar. Sayang, yang nonton sedikit, mungkin udah pada nonton di hari sebelumnya (berusaha positive thinking).
Film dimulai... deg... Aluna-Biru! Udah janji sama diri sendiri supaya nggak ngantuk jadi selama sekiar 95 menit melototin film takut kelewat meskipun sedetik. Halah. Dari awal nggak diceritain Aluna-Biru ini pacaran, jadi mungkin kalau nggak baca sinopsis baru paham kalau Aluna-Biru pacaran waktu scene Keira bilang “Cieee kalian pacaran ya”.
Alur demi alur gue menikmati meskipun banyak keganjalan dan ekspetasi yang harus dilupakan hm. Kelebihan film ini tentunya film ini beda dari film-film girlband/boyband lain yang rata-rata menceritakan perjalanan karir mereka, sedangkan di sini Blink menceritakan sosok-sosok lain namun tidak terlepas dari ‘musik’. Ya, rasanya Blink itu khas sekali dengan musik yang berkualitas. Selama film berlangsung juga penonton dibuat enjoy dengan soundtrack-soudtracknya apalagi lagu ciptaan Ify yang berjudul ‘Kembalilah’ sangat sangat berhasil bikin gue—khususnya—baper. Karakter-karakter yang diperankan Blink ini juga sudah pas dengan karakter asli mereka yang nggak beda jauh. Kalau awalnya gue jatuh hati sama karakter Aluna sebelum film ini tayang, akhirnya malah gue jatuh hati sama karakter Lexa di film Heart Beat dan geregetan sama tokoh Aluna. Entah gimana bisa akting Sivia jauh sekali dari sinetron-sinetron Blink, yang biasanya dialog apapun digayain marah-marah tiba-tiba bisa sedrastis ini peningkatannya. Untuk Ify dalam memerankan tokoh Aluna memang paling ‘dapet’ waktu Aluna nangis sesenggukan di depan Biru, Ify yang biasanya kalau akting cuma mangap kaget dibuat-buat bisa nangis sesenggukan. Huh good job Ify-Via! Mungkin ini bisa jadi pertimbangan kalau mau bikin sinetron Blink terus mau ganti peran utama sekali-kali hehe ._. lalu Lido-Lexa ini perlu gue acungin jempol, mereka aktingnya bikin baper kayak pacaran beneran.
Untuk kelemahannya hm sejujurnya gue sangat kecewa dengan karakter Aluna yang kurang digali. Aluna ini kan anak yang kesepian dan sedingin benua antartika tapi entah kenapa kesan dingin ini cuma ‘dapet’ di awal setiap Aluna nyuekin Biru selebihnya gue sebagai penonton nggak merasakan dinginnya Aluna. Lalu, gue agak aneh sama Aluna yang bisa sedingin itu sama Biru tapi mau diajak gabung ke grup bikinan Keira yang baru dikenalnya. Ya, itu aneh sekali di mata gue bahkan gue berharap Aluna cuma ngelirik Keira terus keluar dari ruang musik. Kemudian di bagian yang gue tunggu-tunggu, waktu Aluna-Agatha & Lexa-Keira pada berantem gue pikir akan menegangkan & bikin kebawa suasana tapi ternyata...... yah kecewa lagi. Terlalu cepat sampai gue bahkan nggak sempet nangkep kalimat-kalimat yang dilontarkan mereka. Cuma sempet denger Aluna bilang “Lo pura-pura nggak tahu kan Biru itu pacar gue” & Lexa bilang “Lo suka kan sama Lido?” selebihnya cuma denger Keira-Agatha sibuk ngelak pakai kalimat “Apa sih...” dan si Agatha udah tepar aja dan kemudian entah gimana Keira udah di dalam ruangan rumah sakit dimana ada adiknya. Seperti yang gue katakan, terlalu cepat. Bagian Aluna-Biru yang peluk-pelukan gue kurang paham itu sebenernya mereka putus atau enggak. Untuk ending, gue bingung sekali malah. Gue pikir Agatha meninggal. Respon gue waktu endingnya itu melongo sambil nggak sadar bilang “Hah?” dan sempet kepikiran Biru & Lido “Gak seru ah masa akhirnya nggak sama siapa-siapa” karena sejujurnya gue ngarep Biru-Aluna balikan & Lido-Lexa jadian. Dua couple ini menurut gue yang jadi magnet film Heart Beat.
Ya, selebihnya gue appreciated banget sama ini film. Bener-bener layak tonton karena nggak ada adegan kissing atau banting-bantingan. Menurut gue nilai 8/10 cocok untuk Heart Beat. Dari rumah gue udah merencanakan nangis waktu Aluna dipeluk Biru eh malah akhirnya gue nangis pas Lexa naik ke stage dan terharu sekali sama kalimat-kalimat yang dilontarkan Keira, Agatha & Aluna. Oh iya, kayaknya ada beberapa adegan yang dicut ya? Nggak ada bagian pada pegangan tangan waktu Agatha terbaring entah dimana, waktu Aluna-Biru suap-suapan, waktu Blink duduk di lantai & Blink ngobrol ketawa-ketawa di tangga kampus.
Ini beberapa dialog yang gue suka (mungkin butuh revisi karena gue cuma ngandelin keterbatasan ingatan):
Aluna: Emang kita duet ya di kelas ini?
Biru: Emang hati kita berduet ya? Kayaknya hati kita solois banget.
--
Aluna: Biru, mau kemana?
Biru: Kamu yang kemana. Aku kan selalu ada di depan kamu.
--
Aluna: Aku cuma nanya kamu kemana. Dari kemarin aku nelfon kamu, kamu nggak angkat-angkat. Kalau bukan kamu yang nemenin aku, siapa lagi?
--
Lexa: Lo yang... selalu ada buat gue.
Lido: Cuma jadi yang selalu ada aja nih? Nggak bisa lebih?
--
Lexa: Kenapa gue jahat banget sama sahabat-sahabat gue? Kenapa lo nggak pernah ingetin gue, Do? Kenapa?
--
Keira: Keluar aja lo semua keluar! Gue bisa kok cari yang lebih bagus dari kalian!
--
Sebenernya ada beberapa dialog lagi, sayangnya gue lupa. Hehe. Yuk yang belum nonton Heart Beat buruan nonton.




Sabtu, 14 Maret 2015

The Young Inspirator, Ify & Gabriel


Selamat beraktivitas semua yang mampir ke blog ini. Baru buka langsung disambut foto Gabriel & Ify? Ya, karna emang itu yang akan kita bahas.

Sebelumnya saya ucapin terima kasih banyak untuk kalian yang setia baca tulisan saya. Nggak nyangka juga banyak respon positif hehe. Nah, sekarang saatnya gue mau cerita tentang dua remaja yang (inshaa Allah) nggak asing lagi untuk kita. Tapi gue nggak bahas masalah cinta-cintaan loh.

Berawal dari ajang Idola Cilik RCTI, nama Ify dan Gabriel mulai melambung. Para pecinta Idola Cilik pasti tahu seluk-beluk Gabriel dan Ify. Berbeda nasib tentunya, Gabriel berhasil tembus 3 besar sementara Ify hanya sampai di 12 besar. Meski begitu, mereka sama-sama pantang menyerah, sama-sama belajar lagi dan lagi.

Gabriel Stevent Damanik. Cowok tampan yang digandrungi banyak fans cewek--bahkan sejak dia masih berjuang di Idola Cilik. Siapa sangka Gabriel ini dari Batam? Ke Jakarta untuk mengubah nasib. Tapi dia sukses sampai ke 3 besar. Sekarang Gabriel sekolah di SMA 39 Jakarta dan tahun ini menjadi salah satu peserta Ujian Nasional. Sama dengan Gabriel, Ify juga harus mengikuti UN tahun ini. Ify sendiri sekolah di SMA Al-Izhar Pondok Labu Jakarta. Kalian yang pecinta sinetron dan tahu tentang Blink pasti tahu juga siapa Ify.

Meski Ify berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan dan sudah tenar, perjuangan Ify sampai saat ini sama-sama luar biasanya dengan Gabriel. Terhenti di 12 besar Idola Cilik membuat Ify 'bangkit' untuk lebih baik lagi, nggak peduli berapa banyak cemoohan yang dia terima, cewek yang dulunya bertubuh kecil dan ringkih ini terus melangkah. Ify mulai mengembangkan bakat-bakatnya terutama di bidang musik. Tahun 2011, Ify terpilih sebagai penyanyi jazz termuda di Festival Jazz 2011. Ify juga terpilih sebagai salah satu pengisi album PMI dan menyanyikan beberapa lagu sebagai soundtrack sebuah film. Banyak sekali prestasi yang diraih Ify. Beberapa alat musik pun dia tekuni seperti keyboard, piano, drum, gitar dan taganing untuk mewujudkan mimpinya jadi musisi. Walau tergabung dalam Blink, Ify selalu mencari celah untuk bernyanyi off air tanpa Blink. Meskipun disibukkan dengan kegiatan syuting, dia tetap aktif di sekolah bahkan lagu ciptaannya berjudul Hujan & Teduh untuk soundtrack drama kelas mendapat penghargaan dan alhamdulillah Ify sudah diterima di UPH Jakarta dengan peringkat 1 dan dapat beasiswa.

Gabriel dan Ify satu grup band yang dibentuk Idola Cilik



Gabriel dan Ify (bersama Sion, Irva dan Via) menyanyi tanpa persiapan di acara pernikahan kakak Via


Selepas Idola Cilik, Gabriel juga masih tetap berprestasi. Selain hebat dalam menyanyi, cowok ini juga seringkali jadi juara kelas bahkan sering mewakili lomba. Tahun lalu Gabriel juga mengikuti lomba di Semarang mewakili sekolahnya. Gabriel ini selalu rendah hati, ramah dengan fans dan menghargai fansnya. Tante Nita (mamanya Gabriel) pernah bilang, beliau berterima kasih sekali dan bangga sama Gabriel karna selama ini sudah bantu 'kasih makan'. Demi apapun, terharu bacanya. Walau sudah nyaris nggak pernah lagi muncul di TV, Gabriel tetap berjuang tanpa sorotan media. Bernyanyi dari satu gereja ke gereja lain. Sempat gagal dengan sebuah boyband, kini Gabriel kembali meniti karir bersama Rash Band. Saat ini Gabriel sedang berjuang supaya bisa masuk UI jurusan hukum. Kita doakan ya!

Ify dan Gabriel sama-sama bernyanyi di acara sekolah

Ify dan Gabriel sudah punya karirnya masing-masing. Ify bersama Blink dan Gabriel bersama Rash Band. Meski begitu, berharap sekali mereka berdua bisa kembali bekerja sama seperti dulu (semoga ya). Gabriel bisa memainkan alat musik, Ify juga. Gabriel bisa bernyanyi, Ify juga. Gabriel bisa menciptakan lagu, Ify juga. Tinggal suatu saat mereka melakukan semuanya bersama-sama. Mungkin para penggalau akan semakin galau karena dua remaja ini ahli bikin lagu yang galau galau -_-

Ify dan Gabriel lapisan yang berbeda, tapi keduanya sama-sama memulai dari nol untuk menuju kesuksesan. Tanpa melihat latar belakang, kita tahu bahwa semua orang perlu berkorban dalam perjuangan untuk mencapai sesuatu yang luar biasa. Mau kita berasal dari orang tua yang kaya atau nggak punya apa-apa sekalipun, semua itu nggak menjamin kita bisa sukses, tapi apa yang kita lakukan semaksimal mungkin, itu yang akan membawa kita ke kesuksesan. Mau kita berasal dari orang tua yang mampu atau tidak mampu, kita tidak bisa ahli dalam suatu hal begitu saja, tapi kita perlu belajar dan belajar lagi seperti apa yang dilakukan Ify & Gabriel. Tuhan menciptakan kita lengkap dengan sebuah bakat, tugas kita hanya menggali dan menemukan apa bakat tersebut dan mengembangkannya ke arah positif.

"Karena Tuhan tidak pernah menciptakan suatu makhluk dengan percuma."

Terakhir, semoga ulasan singkat di atas bisa bikin kita semua termotivasi dan tidak mudah mengeluh. Abaikan cemoohan orang, biarkan mereka berkomentar sesuka hati, biarkan mereka membutakan diri, biarkan mereka bersikap semena-mena terhadap kalian. Karena sebenarnya segala perbuatan mereka adalah untuk menajamkan pisau kita sampai akhirnya mereka lupa untuk menajamkan pisaunya.

Bonus nih foto-foto yang gue share di instagram (jujur aja gue edit foto-foto itu buat tulisan ini, jadi yang udah salah sangka gue ketawain ya wkw)



(waiting a collaboration)

Selasa, 27 Januari 2015

Cerpen - ELIZA


Eliza 
Author: Fanny Salma
 


Aku Eliza. Meskipun namaku Eliza, tapi aku lebih dikenal sebagai Icho. Entah nyambungnya dari mana, setidaknya aku lebih suka dipanggil Icho daripada Eliza, sebab nama Eliza terkesan sebagai perempuan alim yang hobinya jadi anak baik. Bukan aku banget! Hampir semua siswa SMA Hujan tahu siapa itu Icho, tukang palak level dewa, premannya preman dan lebih parah lagi, tukang sedot dompet.
Jangan bilang aku kere! Aku bukan anak orang miskin, justru papa sanggup untuk bayar uang sekolah anak-anak SMA Hujan ini. Hidup memang keras dan gila. Saking gilanya, aku malah lebih bangga jadi tukang palak.
Mama sudah lama meninggal, papa sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun jarang pulang ke rumah. Dan satu lagi, aku punya adik yang wajahnya sangat mirip denganku, namanya Harisa dan dipanggil Icha. Persetan dengan bocah itu! Aku dan dia berbeda seribu derajat. Simple-nya, semua yang baik ada di dia, yang buruk aku saja yang punya.
Sekarang ini aku sedang berjalan di koridor sekolah. Tidak perlu bertanya bagaimana reaksi anak-anak ketika melihatku. Penuh benci, penuh caci, penuh maki. Tapi aku selalu bersikap seolah sedang berjalan di koridor yang sepi dengan seragam sekolah amburadul.
Sebagai anak yang reputasinya sudah jelek, tidak tanggung-tanggung aku membuat diriku semakin mengenaskan. Seragam penuh coretan, kekecilan dan tidak sesuai aturan. Biar tahu rasa guru-gurunya. Semakin aku diatur, semakin aku berulah. Meski begitu, aku tidak akan memakai baju yang belum dicuci, seragamku pun wangi. Sumpah! Kalau tidak percaya, kalian semua boleh mencium ketiakku dengan gratis.
Aku ditempatkan di kelas XI IPS 2 dimana isinya hanya anak-anak menakjubkan seperti aku ini, tidak peduli otak kalian segenius apa. Asal kalian tahu, aku justru senang dapat masuk di kelas ini. Bukan kelas-kelas lain yang kebanyakan merasa paling sempurna, paling princess dan penuh drama queen. Woi! Ini dunia nyata! Bukan dongeng!
“Ke mana aja lo? Jam segini baru sampai kelas,” tegur Emeur—tapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Silvi. Sohib sejati yang sama saja sepertiku. Omong-omong, aku sering menginap di rumahnya.
“Biasa,” jawabku sekenanya.
Selanjutnya, aku duduk di bangku tanpa rasa berdosa. Okay aku harus mengakui sesuatu, sekarang memang sudah jam istirahat, itu artinya aku melewatkan empat jam pelajaran.
“Lama-lama warung depan bubar gara-gara elo,” celoteh Emeur. Satu point lebih dari ini anak, pandai bersilat lidah alias cablak.
“Saus tartar! Gue cuma makan bakwan empat biji sama es teh. Palingan cuma tiga ribu lima ratus, nggak bakalan bikin kere,” balasku setengah sewot.
“Haha sialan! Belagu banget lu. Tiga ribu lima ratus juga lo nggak sanggup bayar. Lagian nggak akan bikin kere kan kata elo, siapa tahu si Parjo berbaik hati buat nggak ngeluh karna utang lo numpuk.”
Ah masa bodoh dengan bocah ini, aku sedang tidak mood nyari ribut.
Tapi sepertinya Emeur memang tidak mudah menyerah, dia menyerangku dengan gelitikan menyebalkan dan membuatku tertawa sambil menghindar. Sialan. Mana ada preman kalah dengan gelitikan? Aku jadi merasa kesal dengan peranku di sini.
“Iya iya gue kalah,” dengusku.
Akhirnya penyiksaan Emeur berakhir. Aku heran mengapa aku betah sekali berteman dengannya, padahal aku tidak pernah berharap punya teman yang hobi menggelitikiku seperti tadi. Untungnya hanya dia yang tahu kelemahanku. Kalau sampai musuh besar tahu, habis sudah. Memalukan.
***
“Cho, dapet salam dari anak sebelah,” ceteluk Ainy. Ainy ini tetanggaan dengan Emeur, makanya aku mengenal. Tapi aku dan Emeur lebih suka memanggilnya dengan sebutan Tullinah.
“Siapa?” sahutku acuh tak acuh. Lagian, sejak kapan ada yang kirim salam segala?
“Pocong perawan.”
Aku melongo mendengar jawaban Ainy. Memangnya di SMA Hujan yang elit ini punya murid pocong? Ya meskipun ini bangunan Belanda, aku yakin kalau sekolah ini nggak punya setan senorak pocong. Eh—norak? Ya maksudku, tentara Belanda yang meninggal nggak mungkin dipocongin dulu kan? Ah sudahlah.
“Ngapain lo berdiri depan pintu?”
Mendengar suara yang tak asing, aku menoleh. Ini Fanny, cewek paling alim di sekolah. Dia rajin mengerjakan PR, tidak nakal, tidak banyak ulah dan santun di depan orang yang lebih tua. Ah, Tullinah—eh maksudku Ainy ternyata sudah pergi.
“Lo tahu yang namanya pocong perawan nggak?” tanyaku tidak nyambung.
Fanny mengangguk. Oh, jelas dia tahu lah. Fanny kan ramah dengan semua orang. Omong-omong, pocong perawan termasuk jenis orang nggak sih?
“Anak kelas sebelah. Masak lo nggak tahu?” sahutnya.
“Ya kalo gue tahu nggak mungkin nanya,” oke aku mulai sewot.
“Namanya Arip, pacarnya Difna.”
Kali ini aku melongo. Pacar Difna? Demi apa?!
“Serius lo?” tanyaku tak percaya, tapi Fanny mengangguk polos. Eh emang dia polos deng.
“WOIII!”
“Ucetguemaulangsungnikahaja.”
Ups. Iya, itu aku yang latah. Kenapa? Mau protes? Aku langsung melirik ke arah orang yang sudah datang tanpa permisi, pakai teriak-teriak segala. Dan detik itu aku mendapati Emeur yang nyengir tak jelas. Sialan.
“Lo mau gue mati cepet, Sil?”
“Nggak. Gue mau lo langsung nikah aja,” sahut Emeur sambil cekikikan.
Lama-lama pamorku sebagai preman di sekolah ini turun drastis cuma karna Emeur yang suka menghayal jadi bintang jatuh ini. Halah.
“Oh, lo mau nikah sama Arip, Cho?” tanya Fanny lagi-lagi sangat polos.
“Nggak lah! Gue aja nggak tahu siapa dia. Lagian gue nggak suka pacar orang,” elakku cepat.
“Cho! Cho!”
Aku mengernyit heran. Kenapa nih si Fanny? Tiba-tiba saja dia memutar badanku hingga nyaris menabrak cowok gendut berkacamata, tingginya hanya beda beberapa centi denganku. Saat aku mencoba melihat dengan jelas wajahnya, dia malah kabur. Ah, aku lupa kalau aku preman sekolah.
“Itu tadi namanya Arip,” cetus Fanny yang membuatku hampir tersedak.
“Demi apa lo?” tanyaku sambil melotot.
“Kayaknya dia salting lihat elo.”
Hah?! “Jangan ngaco!”
Fanny terkekeh, begitu pula si sialan Emeur. Dua bocah ini minta ditendang ke tempat sampah. Ah tapi Fanny bagusnya dibuang ke pelukan Gabriel, dia cocok sekali dengan Gabriel.
“Tiati lo, Cho. Bentar lagi status preman lo ilang dan digantikan perusak hubungan orang,” celetuk Emeur.
“Elo tuh! Perusak mood gue.”
Tanpa sengaja kulihat si Arip—yang harus kuakui, namanya terlalu bagus dan tidak sesuai dengan wajahnya—sedang berjalan bersama Difna. Difna ini pernah bertengkar denganku saat di kantin karena berebut bakso. Jangan tanya siapa yang menang! Icho tentunya. Difna berhasil kutendang hingga baksonya menyumpal mulutnya. Keren kan, aku?
“Apa lo?!”
Etdah. Difna ini galak juga.
“Eh, halo Difna! Cieee pacarnya cantik banget sih,” balasku tak mau kalah.
Difna melotot lalu memandangku sengit. “Ngiri?”
***
Terkutuk sudah manusia bernama Arip. Si pocong perawan itu berhasil membuatku malu di depan banyak orang! Sekarang gue menyayangkan kenapa harus ada makhluk seperti dia di bumi ini. Ya tidak apa-apa dia ada di bumi ini, asalkan dia berada di belahan bumi selatan dan aku utara.
Setelah acara pelototan mata dengan Difna, aku dan Difna mengulang kembali kejadian di kantin yang kuceritakan, bedanya tanpa bakso yang menyumpal di bibir Difna. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Si pocong perawan itu membelaku.
Memangnya aku selemah apa sih segala dibelain?!
“Sialan! Brengsek! Sialan! Brengsek!”
Hanya dua kata itu yang kuserukan sedari tadi.
Di sekelilingku ada Emeur—sahabat setiaku, meski hati kecilnya sering sakit karna digantung—lalu Fanny, dan Tullinah—eh maksudku Ainy. Mereka bertiga hanya terdiam sambil mendengarkan suara kotorku sedari tadi.
Kalau seperti ini aku jadi merasa seperti orang yang sedang dirukiyah. Sialan.
“Kayaknya Arip naksir elo beneran deh,” kata Fanny memecah keheningan.
Aku menoleh dan menunjukkan wajah sangarku tapi cewek itu malah tertawa.
“Jangan sok galak deh, Cho. Muka lo nggak mendukung,” kilahnya.
Halah. Percuma ternyata.
“Terus sekarang lo mau apa?” tanya Ainy.
“Gue mau... bikin pocong perawan sama Difna putus beneran.”
“HAH?!”
*end*