"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 12 Juni 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 12

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Halooo tim #BangkitkanCRAGSISA (?) saya datang bawain part 12 nih. Semoga ditunggu-tunggu sama kalian ya (?)

Hope you like it...

12


Mata sembab Shilla sudah sirna digantikan dengan wajah yang lebih cerah. Dia melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan kedua orang tuanya. Mungkin hanya sejenak, sampai mobil yang ditumpanginya ini membawanya kembali ke istana yang membuatnya sepi.
Malam ini, seperti janji The Wanted, mereka akan menemani Shilla mempersiapkan ulang tahunnya. Pada awalnya Shilla ingin membatalkan pesta itu, tetapi Alvin meyakinkan dirinya untuk tetap menggelar pesta supaya ia tak larut dalam huru-hara orang tuanya. Untuk itu, Shilla tak ingin terlihat menyedihkan di depan Gabriel.
Tak lama kemudian, mobil Alvin terparkir di depan rumah Rio. Rumah Gabriel memang lebih dekat dengan Shilla, akan tetapi pemuda itu justru sudah berada di rumah Rio. Tanpa kecurigaan sedikitpun, mereka mulai menjamah rumah Rio. Rumah ini nyaris sama dengan rumah Shilla yang sepi. Bedanya, Rio sudah biasa dan menikmatinya. Lagipula jarang sekali pemuda itu berada di rumah karena lebih sering menghabiskan waktu di kantor papanya.
“Yang mau ulang tahun seneng banget sih,” goda Gabriel.
“Iya dong!” seru Shilla.
Tak ada yang membahas masalah telepon Shilla sama sekali. Sementara itu, Alvin merasa ada sesuatu yang menyayat hatinya. Tanpa Gabriel berbuat apapun, dia mampu mencetak senyuman di wajah Shilla.
“Jadi, kita mau ke EO yang pernah dipakai Angel dulu atau hangout?” tanya Rio.
“Ke EO dulu deh,” usul Alvin.
“Biar hangout-nya bisa lama,” imbuhnya.
Keputusan itu akhirnya disepakati bersama. Kali ini, Alvin membiarkan kursi yang awalnya diduduki Shilla digantikan oleh Rio sedangkan gadis itu duduk di belakang bersama Gabriel.
Alvin berusaha fokus mengemudi. Sedari tadi, Shilla dan Gabriel sibuk bercanda di belakang sana. Pemuda itu reflek mencengkram stir dengan kuat sebagai pelampiasan amarahnya. Perlahan, cengkraman itu melemah. Mengapa ia tak pernah bisa berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri?
“Lo kenapa,Vin?”
Pertanyaan Rio membuatnya gelagapan. Alvin memaksa terkekeh lalu menggelengkan kepala.
“Aneh,” gumam Rio.
“Shil, lo ngadain pesta dimana?” tanya Rio beralih ke Shilla.
“Di rumah aja kayaknya. Sekali-kali, biar rumah gue nggak sepi terus,” jawab Shilla.
“Dateng bawa temen boleh nggak?” tanya Rio—lagi.
Baik Shilla maupun Alvin sama-sama mengernyitkan kepala.
“Temen mana yang mau lo ajak? Tumben banget,” seloroh Alvin tanpa mengalihkan pandangannya.
Rio terkekeh sejenak, “Ada. Kalian tahu kok.”
“Oalahh... boleh dong. Ajak siapa aja sesuka kalian,” sahut Shilla sengaja menyebut ‘kalian’ yang berarti itu tak hanya berlaku untuk Rio.
Sejujurnya, Shilla mengira Rio akan mengajak Mas Dayat. Lalu terlintas hal lain seperti misalnya Alvin ingin mengajak Deva atau mungkin teman lain.
***
Acara menginap dilakukan dadakan antara Ify dan Sivia. Setelah jalan-jalan bersama Rio dan Gabriel, Sivia memutuskan untuk menginap di rumah Ify karena malas. Orang tua Ify yang sudah biasa dengan kedatangan Sivia pun tak masalah. Justru Ify yang merasa terganggu karena Sivia kompak dengan Ozy sejak dulu.
Mereka berdua sedari tadi sibuk menggodanya soal Rio. Sialnya, Ify lupa men-lock ponselnya sehingga chat Rio masuk, Sivia dapat dengan mudah membacanya.
Thanks for today, Alyssa. Uuuu tayang tayang so sweet sekali,” ledek Sivia.
Ify melotot lalu merebut ponselnya dengan paksa. Tahu begini dia memilih untuk mengusir gadis itu dari rumahnya. Lalu, Ozy datang dan menjadi sekutu. Terkadang Ify heran, mengapa bukan Sivia yang menjadi kakaknya Ozy? Mereka cocok sekali.
“Ntar kalo jadian sama Rio pokoknya lo nggak boleh lupain gue. Harus main sama gue! Jangan main sama The Wanted!” seloroh Sivia mulai posesif.
“Kenapa nggak ngomong depan kaca aja lu?” sahut Ify dongkol.
“Hmm... iya ya? Abisan kayaknya Alvin nggak suka sama gue,” sahut Sivia seraya merebahkan tubuhnya di kasur Ify.
“Alvin?” tanya Ify bingung.
“Iya, Alvin. Nggak tahu kenapa gue jadi suka mikirin dia. Menurut lo ini namanya jatuh cinta nggak?” balas Sivia.
Ify  yang tak tahu menahu soal Alvin dan Sivia reflek mendekati Sivia lalu duduk bersila di sebelah gadis itu. Sivia pun ikut merubah posisinya.
“Kok lo nggak pernah cerita soal Alvin?” tanya Ify heran.
“Nyaris cerita. Waktu kita sama-sama ngalamun, terus gue mau cerita eh keburu elo curhat soal bokap nyokap lo yang temenan sama bokapnya Rio. Habis itu Agni sama Cakka dateng. Gue jadi lupa,” jelas Sivia apa adanya.
“Terus? Terus?”
Sivia lantas menceritakan pertemuannya dengan Alvin beberapa kali tanpa terlewatkan. Ia juga mengungkapkan pada Ify mengenai perasaannya pada pemuda itu. Semua yang diceritakan Sivia benar-benar runtut. Terkadang, Sivia jadi membayangkan wajah Alvin saat pemuda itu menahan tubuhnya saat ia nyaris terpeleset.
“Jadi, Alvin? Bukan Gabriel ya?” gumam Ify.
Sahabatnya itu tak mendengar apa yang digumamkan oleh Ify.
“Tanggepan lo tentang Alvin gimana?” tanya Sivia penasaran.
Dia tahu persis bahwa sahabatnya ini memang pengamat yang baik. Sivia  tak pernah sungkan meminta pendapat Ify tentang seseorang.
“Sama seperti dulu. Misterius,” sahut Ify sekenanya.
Sontak Sivia mengerucutkan bibirnya. Ternyata jawaban Ify masih sama. Dulu, mereka memang sempat membicarakan tentang The Wanted dan kata Ify, Alvin itu yang paling misterius.
“Masa pengamatan lo nggak ada yang berubah sedikitpun?” selidik Sivia.
“Nggak. Terus kenapa tiba-tiba lo suka sama Alvin?” sahut Ify.
I don’t know. Semuanya mengalir begitu aja. Tapi, sikap dia yang terlalu cuek itu kayaknya bikin gue pesimis,” keluh Sivia yang tengah memeluk boneka kesayangan Ify.
“Bukannya dulu elo yang mati-matian anti sama The Wanted?” tanya Ify retoris.
Terdengar desahan nafas Sivia setelah pertanyaan itu terlontar. Sivia memejamkan matanya, mencerna kembali ucapan Ify yang akhir-akhir ini juga menjadi pertanyaannya. Gadis itu menggeleng pelan karena tak menemukan jawabannya.
***
Problematika itu menyerang semua tokoh utama. Agni, entah mengapa hari ini dia begitu aneh. Sejak pulang dengan keadaan yang bisa dibilang miris, dia hanya menanggapi Cakka seperlunya. Gadis itu masih bingung harus mengambil keputusan seperti apa. Melihat Sion dari sudut bangkunya, perasaan bersalah itu terasa semakin nyata. Ternyata huru-hara yang disampaikan teman-teman sekelasnya mengenai perubahan Sion benar-benar ada. Mengapa Agni baru sadar? Sion tak banyak bicara seperti dulu, dia seolah tersedot oleh dunianya sendiri, pemuda itu membentengi diri supaya tak ada yang bisa menyentuhnya. Termasuk Agni yang menjadi alasan utama.
Di sisi lain, Agni tak sanggup melepaskan Cakka, seseorang yang baru saja menghiasi hari-harinya. Pemuda itu membuat harinya jadi lebih indah. Agni mencintai Cakka sejak pertama kali menemukannya di lapangan indoor. Lantas, apakah dia harus mengenyahkan perasaan ini begitu saja? Sejujurnya... Agni tak bisa...
“Agni!”
Tahu-tahu Patton muncul di kelasnya. Gadis itu tak pernah siap jika ditanya macam-macam oleh Patton.
“Kayaknya lo tahu maksud kedatangan gue,” kekeh Patton lalu duduk di bangku depan Agni. Dia sengaja memutar kursinya supaya menghadap gadis itu.
“Apapun itu, menangkan pertarungan di hati lo dulu, baru lo menangin kenyataan. Cakrawala menanti Cakradara di pertandingan,” ujar Patton.
Semalam, pemuda itu menelpon Agni berkali-kali tetapi tak ada satu panggilan pun yang direspon. Makanya begitu tahu Agni sudah berada di kelas, Patton buru-buru menemui gadis ini sebelum menghindarinya lagi.
“Yang mau ada pertandingan kan Cakrawala,” bantah Agni.
“Kata siapa? Cakradara juga. Jadi, lo harus mempersiapkan tim lo untuk berhadapan dengan sekolah-sekolah lain. Lo mengerti kan?”
Agni lupa kemarin dia pulang dan tak mendapat kabar apa-apa mengenai tim basket putri yang dipimpinnya. Sekarang, Agni semakin merasa bersalah karena menelantarkan Cakradara. Patton benar, dia harus memenangkan pertarungan di hatinya dulu.
Thanks, Kak,” cicit Agni.
“Oh iya, Cakka khawatir sama elo. Simpan ego lo dulu ya, biarin Cakka fokus sama pertarungan pertamanya. Gue balik ke kelas dulu,” pamit Patton.
Cakka, pemuda itu mengkhawatirkannya. Agni jadi semakin bingung harus berbuat apa. Dia lupa bahwa Cakka begitu percaya akan persahabatan. Lalu, jika dia mengetahui maksud Agni mendekatinya karena perasaan terselubung itu, apakah dia masih bisa mempercayainya?
Di lain sisi, urusan Shilla bersama kedua orang tuanya belum sepenuhnya selesai meski Shilla tak ingin membahas apa-apa lagi. Hanya Alvin yang tahu mengenai perceraian kedua orang tuanya dan Shilla merasa sudah cukup membaginya pada pemuda itu. Sejak dulu, dia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan The Wanted, bahkan di depan orang-orang. Shilla lebih senang dilihat sebagai gadis yang kejam dan tak berperasaan dibandingkan terlihat sebagai gadis yang lemah.
Kepala Shilla semakin pusing saat dia berpapasan dengan Cakka di pintu kelas. Dia benci menghadapi kenyataan bahwa Cakka sudah berlari meninggalkan The Wanted. Mati-matian gadis itu menahan diri supaya tak menyapa Cakka, tak gembar-gembor mengenai pesta ulang tahunnya dan apapun yang dulu selalu dilakukannya. Shilla benci menyadari Cakka bukan lagi bagian dari The Wanted. Rencana mengenai penghasutan cewek-cewek rusuh—Ify dan Sivia—pun terlupakan.
Sejujurnya, jika ingin melihat kenyataan lebih detail, bukan hanya Shilla yang membenci keadaan ini. Tapi juga Cakka. Apalagi setelah memergoki Shilla menangis di danau bersama Alvin, pemuda itu jadi bertanya-tanya apa saja yang sudah dilewatkannya. Hati Cakka ikut berkonflik antara ingin kembali atau tidak. Pada akhirnya, Cakka memilih untuk tetap berada di zonanya saat ini.
“Shilla,” panggil Rio.
Shilla yang awalnya mengamati Cakka dari sudut matanya lantas beralih pada Rio yang duduk di belakangnya. Tanpa memberikan kesempatan untuk bertanya, Rio sudah lebih dulu menyodorkan macam-macam desain undangan pesta ulang tahun.
“Udah dikasih ya, Yo?” tanya Gabriel yang sedari tadi mencoba menyelesaikan soal matematika di buku cetaknya.
Rio mengangguk, “Tadi pagi dianterin Mas Dayat.”
“Menurut kalian bagusan yang mana?” tanya Shilla.
Awalnya Alvin sibuk memainkan game tetapi mendengar pertanyaan Shilla, dia ikut bergabung. Dia melihat ada beberapa desain yang memang telah disaring sebagai desain terbaik dari pihak EO. Tetapi, ada satu desain yang paling menyita  perhatian Alvin. Desain tersebut berbentuk seorang gadis yang mengenakan gaun dan mahkota, mengingatkan Alvin pada sosok Shilla yang sering kali disebutnya sebagai Tuan Puteri—dan terkadang Gabriel, Rio dan Cakka ikut menyebut demikian.
“Ini gimana?” usul Alvin.
“Tapi diganti siluet lo,” imbuhnya.
The Wanted reflek mengamati desain yang ditunjuk Alvin. Dari semua desain yang terlihat mewah, desain ini yang paling sederhana tetapi tetap elegant.
“Menurut kalian gimana?” tanya Shilla—lagi.
“Bagus. Itu aja,” dukung Rio.
Shilla tampaknya masih ragu.
“Kayaknya oke juga yang dibilang Alvin. Nanti diganti siluet lo. Sekalian ngasih asupan vitamin A buat orang-orang,” timpal Gabriel seraya terkekeh.
“Bener ini aja?” tanya Shilla merespon Gabriel. Lelaki itu hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Ya udah, ini aja. Tolong sampaiin ke Om Dian ya, Yo,” ujar Shilla.
“Siap.”
Lagi-lagi hal sederhana yang dilakukan Gabriel bisa membuat Shilla mengangguk patuh. Saat Alvin memberi usul, Shilla terlihat ragu, termasuk saat Rio menyetujui. Giliran Gabriel buka suara, Shilla justru menyetujui. Mengapa Alvin selalu jadi bayangan?
***
Jam olahraga adalah hal yang membuat Ify ingin kabur dari sekolah. Bukan karena dia payah dalam berolahraga—Ify justru sangat jago—tetapi karena jam olahraganya bersamaan dengan jam olahraga kelas Rio. Meski sudah akrab dengan lelaki itu, Ify masih belum bisa menyesuaikan diri bertemu dengan Rio di jam sekolah. Mereka bahkan pura-pura tak kenal. Berbeda dengannya, Sivia justru semangat karena bisa menonton Alvin yang biasanya kabur dari jam olahraga.
Tanpa mempedulikan Sivia yang curi-curi pandang ke arah pemuda itu, perhatian Ify tersita oleh sosok Rio yang duduk di tepi lapangan bersama Shilla. Dia bisa melihat Rio yang masih mengantuk. Ify jadi ingat Rio pernah berkata mengenai rapat perusahaan yang disalahartikan olehnya. Dia pikir, rapat perusahaan yang dimaksud adalah rapat bersama The Wanted. Lalu, Ify jadi tahu kalau Rio sudah mendapat wewenang sebagai bos di perusahaan papanya—Reon Haling.
“Lihatin apa lo?”
Tahu-tahu sudah ada Debo yang duduk di sebelahnya. Ify sedikit terkesiap namun dapat menyesuaikan diri kembali.
“Tuh, kelasnya The Wanted,” jawab Ify tak sepenuhnya berbohong.
“Pak Reihan sama Pak Dave sepakat ngadain sparing antara kelas kita sama kelas mereka,” sahut Debo tidak nyambung.
Sparing apa?” tanya Ify menanggapi.
“Futsal. Apalagi emangnya? Pak Dave kan basic-nya di futsal, nggak kayak Pak Reihan yang jago basket. Kebetulan sekali Pak Reihan lagi ke Jogja buat ngurusin pertandingan basket Cakrawala sama Cakradara,” jelas Debo.
Ify hanya ber-oh-ria karena baru sadar ini pertama kalinya kelas mereka menggunakan lapangan yang sama. Lalu, Ify berpikir Pak Dave akan menunjuk tim yang futsal adalah dari anak-anak putra. Sayangnya, Pak Dave justru menunjuk anak-anak putri dan sialnya Ify terpilih.
Niat terselubung Rio untuk tidur di rooftop seperti biasa tiba-tiba digagalkannya sendiri karena nama Ify disebutkan. Dia lebih berminat menonton Ify yang sedang futsal daripada melewatkannya. Dalam hati, Rio bertanya-tanya apakah gadis yang pembawaannya selalu tenang itu bisa bermain futsal?
“Kapten kelas XI IPA 1 Ashilla dan XI IPA 4 Alyssa,” ujar Pak Dave membuat mata Ify terbelalak lebar.
Dia berhadapan dengan Shilla! Yang benar saja?
Sivia yang tak terpilih memberi dukungan pada sahabatnya dengan semangat 45. Bahkan, gadis itu ingin sekali ikut. Pak Dave memang tidak pernah kompak dan sejalan dengan Sivia. Lagipula, Sivia lebih jago olahraga senam lantai dibandingkan futsal.
Bukan hanya Sivia yang bersemangat, tetapi juga teman-teman sekelas yang terpilih sebagai penonton. Sejujurnya, kelas XI IPA 1 memang didominasi oleh anak laki-laki sehingga mau tak mau semua kaum putri di kelas tersebut harus berpartipasi. Pemandangan ini sangat langka mengingat karakter Shilla dan Ify yang sangat kontras. Namun, ada satu sifat mereka yang sama persis. Percaya diri. Dalam keadaan apapun, sadar atau tidak, dua gadis itu selalu percaya diri hingga tak ada yang dapat membaca kegusaran mereka sedikitpun.
The Wanted sendiri biasa saja, termasuk Cakka. Mereka mengira semuanya akan aman terkendali. Akan tetapi, ucapan Debo yang duduk di sebelah Cakka membuat Rio, Gabriel dan Alvin reflek terkesiap.
“Ify jago banget kalo soal olahraga. Kayaknya Shilla bakal dibabat habis sama Ify,” ucap Debo.
“Lo serius? Tapi, kayaknya...”
“Kayaknya Ify bukan anak olahraga gitu? Waktu SMP dia sering dapet penghargaan di bidang olahraga termasuk karate. Basketnya juga nggak kalah dari Agni. Pak Dave tahu, makanya Ify sengaja dipilih jadi pentolan. Mungkin itu sebabnya kita nggak bisa menilai orang dari luarnya aja,” sela Debo seraya terkekeh.
Dan detik itu, mereka tahu akan ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang di luar dugaan karena pemikiran mereka pada Ify pun diluar dugaan.
***
Hal yang tak pernah dibayangkan Shilla dalam hidupnya adalah dia harus bermain futsal di tengah-tengah lapangan dan menjadi tontonan. Dia memang sudah terbiasa menarik perhatian, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Sayangnya Shilla sudah tak bisa berkelit saat anak berbando pink di tim lawan menendang bola.
Shilla memilih mengikuti alur. Gadis itu berlari mengejar bola, di sisi lain gadis yang disebut Pak Dave sebagai Alyssa melakukan hal yang sama. Di luar dugaannya, gadis rusuh yang dipikir Shilla tak punya kemampuan apa-apa di futsal seperti dirinya justru sangat lihai. Dengan gesit Alyssa menendang bola, mengopernya, berlari lagi menghampiri bola tersebut lalu mencetak gol dengan sempurna. Shilla sempat terpukau namun akhirnya sadar kembali.
Sialnya, di timnya tak ada yang mau bekerja sama dengannya. Shilla tahu petaka ini. Setiap kali dia mengoper bola, tak ada yang mau menerima hingga bola itu dapat dengan mudah dicuri tim lawan, sedangkan saat timnya yang memegang kendali atas bola tersebut maka dia tak memiliki kesempatan untuk menerima operan. Sial! Shilla bersungut menyadari bahwa tak ada yang menganggapnya di permainan ini.
Sementara itu, Shilla dapat melihat betapa Alyssa dapat menjadi kapten yang baik. Dia dengan mudah memberi intruksi dan semua anak di timnya akan mengikuti. Tak ayal, tim Shilla dibabat habis oleh tim Alyssa hingga timnya kualahan.
“Anjir! Satu jam main tapi kelas belum dapet poin sama sekali. Itu yang namanya Alyssa keren banget mainnya,” ceplos salah satu anak di kelas XI IPA 1 dengan bersungut-sungut.
“Eleh nggak pa-pa. Yang penting gue bisa lihat muka panik Shilla. Sukurin itu anak sombong, biar nggak banyak gaya,” timpal teman di sebelahnya.
Yang lain menyetujui apa yang dikatakan anak ini. Sementara itu, Cakka yang berada tak jauh dari posisi mereka mengobrol berusaha menahan diri untuk tak menerjang teman-teman sekelasnya. Untungnya The Wanted terlalu fokus pada pertandingan hingga tak mendengar obrolan teman-teman sekelasnya.
Debo yang tahu ekspresi wajah Cakka berubah lantas menepuk bahu pemuda itu lalu tersenyum padanya. Rikuh, Cakka balas tersenyum.
Pertandingan antara tim XI IPA 1 dan XI IPA 4 semakin seru. Pak Dave yang menonton tak ada niatan menghentikan. Padahal biasanya futsal anak-anak putri tak seseru ini. Di lain sisi, Ify tahu tenaga Shilla semakin habis menghadapi perlawanan dari kelasnya sehingga membuatnya mengkoordinasi supaya mereka mengurangi perlawanan karena mereka sudah unggul jauh.
“Fy, bener nih?” tanya Irva.
Ify hanya mengangguk lalu fokus kembali. Sejujurnya, Ify lebih fokus pada Shilla daripada pertandingan ini. Dia tahu Shilla berusaha sendirian di timnya dan tenaganya mulai terkuras habis. Kali ini Ify memilih tak tampak.
Sampai pada akhirnya, sebuah bola melayang cepat ke arah Shilla. Ify berlari secara reflek untuk menyelamatkan gadis itu. Kaki Shilla mendadak lumpuh menyaksikan tendangan bola tersebut menuju ke arahnya. Gadis itu memejamkan mata, siap menerima apabila bola tersebut menghantam wajahnya dengan sangat keras. Akan tetapi, gadis itu tak merasakan apa-apa, dia justru mendengar semua orang meneriakkan nama Ify dengan nada panik. Shilla lantas membuka matanya dan terkesiap ketika tahu bola itu justru menghantam Alyssa hingga gadis itu tersungkur kesakitan.
Semua orang mengerubungi Alyssa. Tak lama kemudian, Alyssa diangkat dan dibawa ke UKS oleh Cakka dan teman barunya. Sementara Shilla benar-benar masih shock. Gadis itu hanya terdiam di tempatnya seperti patung.
“Shilla, lo nggak pa-pa kan? Shilla...”
Bahkan, saat Alvin datang tergopoh-gopoh menghampirinya dengan panik pun Shilla masih bungkam. Gadis itu sangat shock.
***
Tak butuh waktu lama peristiwa di lapangan sampai ke seluruh penjuru Budi Karya. Tak sedikit yang mengolok-olok Shilla karena gadis yang diselamatkan oleh Ify itu justru diam saja sementara Ify menahan sakit. Bahkan, The Wanted yang biasanya cuek dengan pemberitaan apapun mengenai mereka kini justru ingin membalas olokan tersebut. Di lain sisi, Shilla masih setia dengan aksi bungkamnya. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Saat Rio memberitahukan keadaan Ify pun, Shilla tetap bungkam.
Semua orang mengira Shilla tak tahu berterima kasih atau mengira hati Shilla sudah benar-benar mati. Kenyataannya, Shilla hanya tak tahu harus berbuat apa. Tak pernah ada yang memberikan pertolongan padanya selain The Wanted. Lebih-lebih, pertolongan tersebut justru mengorbankan dirinya hanya untuk Shilla.
Sementara itu Ify yang masih berada di UKS berpesan pada sahabat-sahabatnya supaya tak menghakimi Shilla. Awalnya, Sivia yang paling marah akan keputusan Ify, tapi akhirnya mengerti kalau Ify tidak mau ada keributan. Sivia tahu Ify begitu tulus dan baik.
“Jadi, gimana, Dok?” tanya Pak Dave pada dr. Permana.
Sivia, Cakka, Debo dan Agni yang tetap menemani Ify ikut menyimak pembicaraan tersebut. Biar bagaimanapun, mereka perlu tahu kondisi Ify.
“Saya perkirakan minggu depan Ify sudah sembuh total. Yang terbentur bola hanya bahu sebelah kiri, saya tahu benturan itu sangat keras karena kulitnya sobek dan berdarah. Apa saat itu Ify juga sempat terjatuh?”
Pak Dave mengangguk. “Ify bergerak secara reflek.”
“Oh, saya paham. Jadi, karena gerakan itu reflek maka dia tidak sanggup menahan dan akhirnya terjatuh dengan cukup keras pula. Ada luka-luka kecil dimana-mana, kakinya pun keseleo. Sampai minggu depan, kakinya baru bisa dibuat berjalan normal. Untuk sementara saya sarankan pakai tongkat terlebih dahulu,” jelas dr. Permana yang membuat Sivia menatap sendu ke arah Ify.
Disaat dia harus menanggung hal yang seharusnya diperuntukkan Shilla pun, sahabatnya tak menyesal melakukan tindakan bodoh tersebut. Lagi-lagi, Ify meminta mereka untuk tidak menghakimi Shilla.
“Cakka dan Debo, kalian ada latihan ya setelah ini?” tanya Pak Dave.
Dua pemuda itu sontak mengangguk. Pertandingan semakin dekat, Pak Reihan lantas meminta dispensasi untuk Cakka dan Debo yang merupakan tim Cakrawala supaya dapat berlatih keras.
“Agni, tolong carikan orang yang bisa mengantarkan Ify pulang,” titah Pak Dave.
Belum sempat Agni menjawab, seseorang lebih dulu menyela.
“Biar saya saja yang mengantar Ify.”
Pandangan mereka tertuju pada Rio yang entah sejak kapan telah berada di ambang pintu UKS. Tanpa keraguan sedikitpun, Rio meminta Pak Dave supaya mengijinkannya mengantarkan Ify. Asal tahu saja, pemuda itu sama paniknya dengan Sivia, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa mengingat posisinya sebagai sahabat Shilla.
“Kamu yakin, Rio?” tanya Pak Dave memastikan.
Rio mengangguk. Dia tahu, saat ini Cakka, Debo dan Agni memandangnya dengan aneh tetapi ia tak peduli. Kekhawatirannya pada Ify telah mendominasi.
“Kalau Bapak setuju, saya bisa ijin sebentar untuk mengantar Ify,” sahut Cakka.
Pandangan Pak Dave beralih pada Cakka. Rio, pemuda itu mengepalkan tangannya. Pada saat seperti ini Cakka justru mengibarkan bendera perang. Sepertinya pemuda itu tak rela jika Ify harus pulang bersamanya.
“Lo kan ada latihan,” balas Rio sangsi.
“Nggak lebih penting dari Ify kok,” bantah Cakka seolah mempertegas posisi Ify yang telah menggeser The Wanted di hidupnya.
“Saya pulang sama Rio aja, Pak,” kata Ify menengahi.
“Tapi, Fy—“
“Cak, lo kan kapten. Kalo lo mau lihat gue baik-baik aja, pimpin Cakrawala ke final. Gue pulang sama Rio,” potong Ify.
Cakka mengerucutkan bibir lalu pasrah. Sementara itu, Rio ingin sekali menampar dua anak ini karena mempertontonkan drama menjijikkan. Lebih tepatnya lagi, dia tak rela Ify mengatakan kalimat yang biasa diucapkan pasangan kekasih di film romantic.
“Lu jangan manyun-manyun! Ini bantuin Ify jalan,” semprot Sivia.
Diam-diam Pak Dave tersenyum menyaksikan persahabatan mereka. Pak Dave tahu betapa khawatirnya anak-anak ini pada keadaan Ify meskipun dr. Permana telah mengatakan bahwa Ify akan sembuh total minggu depan.
***
“Marshmallow.”
Shilla mendapati sebungkus marshmallow berwarna pink di hadapannya. Gadis itu mendongak dan tahu bahwa Alvin lah yang menyodorkan marshmallow tersebut. Sejenak, Shillla terkekeh lalu menerima marshmallow tersebut. Tanpa segan, Shilla membuka dan memakan marshmallow-nya. Manis.
“Udah lebih baik?” tanya Alvin.
Sejenak, Shilla tertegun. Ternyata Alvin menyadari kepanikannya. Dia pikir, Alvin sama saja dengan orang-orang yang mengambil kesimpulan lain atas sikapnya.
“Lo selalu mengerti gue,” lirih Shilla tersenyum getir.
Alvin sontak merangkul Shilla supaya jarak diantara mereka terhapuskan. Pemuda itu memberikan kenyamanan yang tak Shilla dapat dari siapapun. Bahkan, harapan Shilla mengenai Gabriel yang akan datang menenangkannya musnah. Selalu. Disaat dia mengharapkan kehadiran Gabriel, Alvinlah yang selalu datang.
“Lo nggak berpikiran kalau gue nggak berperasaan? Gue cuma diem, sementara gue tahu cewek itu berdarah untuk gue,” racau Shilla.
Kelas memang sepi, hanya ada mereka berdua. Gabriel dan Rio entah kemana. Mereka tak terlihat lagi setelah Rio mengabarkan keadaan Ify padanya.
“Lo cuma lagi mencerna,” ralat Alvin.
Dan untuk ke-tiga kalinya, air mata Shilla meluruh menyusuri pipi putihnya. Dengan sigap, Alvin menyapu titik bening itu seperti biasa.
“Akhir-akhir ini lo suka nangis,” gumam Alvin.
Di sisi lain, Gabriel tengah berhadapan dengan kepala sekolah. Kabar yang beredar mengenai kecelakaan di lapangan ternyata sampai ke telinga beliau. Jadilah sedari tadi pemuda itu berada di ruangan kepala sekolah dan terjadi perdebatan sengit antara mereka berdua. Meski Gabriel adalah anak dari pemilik yayasan, kepala sekolah tidak tunduk di bawah Gabriel begitu saja. Biar bagaimanapun, beliau yang memegang kendali atas Budi Karya.
“Saya harap semuanya akan baik-baik saja, Gabriel.”
Rikuh, pemuda itu mengangguk pelan lalu pamit dan kembali ke kelas.
Koridor yang awalnya ramai membahas Shilla mendadak hening diiringi bisik-bisik dari segala arah saat Gabriel melintas. Tepat saat itu, ia menangkap sosok Rio bersama Ify dan teman-temannya di parkiran. Pantas saja semakin ramai. Ternyata Rio penyebabnya.
Gosip itu semakin menjadi. Rata-rata menganggap Rio adalah orang suruhan Shilla karena gadis itu tidak sudi berurusan dengan Ify. Lalu, perdebatan sengit antara Shilla dengan Ify saat berada di kantin dan koridor pun kembali naik ke permukaan seolah-olah hal tersebut cukup membuktikan bahwa Shilla memang membenci Ify. Belum lagi ada yang menambahi mengenai Cakka yang sekarang berada di pihak Ify.
Gabriel menjambak rambutnya dengan frustasi. Pemuda itu berusaha menulikan telinga dan kembali ke kelas. Langkah Gabriel terhenti saat tahu di kelas hanya ada Alvin dan Shilla. Pemuda itu sengaja tak menampakkan diri.
“Percaya sama gue, suatu saat kita akan punya kesempatan untuk jadi diri sendiri.”
Ucapan Alvin yang menyapa telinga Gabriel cukup membuatnya tersentak. Jadi, apakah selama ini mereka sadar mengenai kepura-puraan yang tercipta saat ini?
***
Sepulang sekolah, Alvin langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa tanpa mengganti seragamnya. Ingin sekali dia berkata bahwa dia lelah. Masalah Shilla, entah mengapa menjadi masalahnya. Di sisi lain, dia masih menanggung sekelumit masalah dengan Deva. Sejak pengakuan Deva mengenai ketidaksukaannya pada The Wanted, pemuda itu tak pernah muncul di rumah ini lagi.
Alvin menjambak rambutnya. Memikirkan kisah cinta diam-diamnya yang sudah berlangsung enam tahun saja membuatnya ingin bunuh diri. Ditambah kenyataan bahwa gadis yang selama ini mengisi hatinya itu justru mencintai sahabatnya sendiri. Sekarang, dia harus memikirkan banyak hal dalam waktu bersamaan.
“Gue bisa gila kalo gini terus,” gumamnya.
Pemuda itu berdiri lalu menuju ke kamarnya. Foto-foto polaroid yang berisikan foto candid Shilla dan tersusun rapi dalam kalimat MY DREAM itu menyapanya. Ya, sejak memasang, dia tak pernah berniat mencopotnya.
Sesaat dia tertegun menyadari kalimat itu. MY DREAM. Bahkan, sejak pertama kali jatuh cinta, Alvin sudah yakin bahwa Shilla hanyalah bagian dari mimpi.
“Cantik,” gumam Alvin menunjuk salah satu foto Shilla.
Foto itu favoritnya. Shilla yang tengah tertawa lebar tanpa ada guratan beban di wajahnya. Alvin meringis, akhir-akhir ini gadis itu lebih sering menangis timbang tertawa. Alvin berjanji akan selalu menghapus air mata itu sampai seseorang menggantikan posisinya. Mungkin orang itu adalah Gabriel, pengisi hati gadisnya.
Tok... tok... tok...
Alvin terkesiap lalu buru-buru membuka pintu. Deva. Kakaknya yang lama menghilang kini ada di hadapannya.
“Papa mau ketemu nanti malam,” ujar Deva to the point.
Tanpa berucap lagi, Deva membalikkan tubuhnya.
“Dev,” panggil Alvin secara reflek.
Langkah kakaknya itu pun terhenti. Deva membalikkan badan kembali, lalu melempar pertanyaan melalui sorot matanya.
Everything is ok, right?” tanya Alvin menyiratkan sebuah perdamaian.
Maybe,” balas Deva menggantung kemudian melanjutkan langkahnya.
Deva pergi lagi. Sejurus kemudian, Alvin mendesah. Sepertinya Deva memang belum bisa berdamai dengannya. Mendadak dia ingin masuk ke kamar kakaknya. Dilancarkannya niat itu sebelum Deva kembali.
Alvin membuka pintu kamar Deva perlahan. Meski Alvin dan Deva memiliki kebiasaan yang sama, yakni tidak pernah mengunci kamar, mereka sama-sama tak pernah masuk ke kamar yang bukan areanya. Biasanya Alvin hanya berdiri di ambang pintu sehingga tak begitu tahu mengenai detail kamar Deva, begitu pula sebaliknya.
Hal yang paling menyita perhatian Alvin saat pertama kali membuka pintu adalah sebuah foto-foto berukuran kecil yang digantung dengan lucu. Alvin terkekeh, tak tahu bahwa ia dan Deva memiliki banyak kesamaan. Kekehan itu sirna karena Alvin baru sadar foto-foto tersebut berisi foto masa kecilnya bersama Deva. Masa-masa ketika waktu bermain Alvin hanya untuk Deva. Kakaknya itu bahkan menuliskan tahun foto tersebut diambil. Sampai akhirnya, ada bagian yang kosong tetapi masih tetap diberi keterangan tahun. Tahun dimana ia mulai mengenal The Wanted dan melupakan sosok Deva.
Untuk pertama kalinya, Alvin menangisi kebodohannya. Dia tak pernah tahu akan kesepian yang didera Deva sejak ia bertemu The Wanted.

***
Bersambung...
Makin ke sini makin nggak greget ya -_- saya sebagai author pun bingung mau dibawa kemana cerita ini(?) semoga kalian masih berniat baca part selanjutnya sampai ending ya;')
Btw apa sih pesan yang kalian dateng dari WYHM setelah baca dari part 1 sampai 12 ini? (kalo kalian mau jawab sih._.)
Oh iya, yang mau nanya-nanya bisa ke ask.fm/fannyslma hehe maaf saya jarang balesin komentar tapi dibaca semua kok:)

Rabu, 08 Juni 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 11

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hellooo. Saya kembali! Entah ini masih dalam rangka #BangkitkanCRAGSISA apa tidak karena ini super ngaret. Maklum, manusia bisa berencana tapi yang menentukan semuanya tetap Allah Yang Maha Esa ._.
Niatnya mau post tanpa ngaret eh ada aja tugas kuliah yang jadi penghalang. Setiap kali buka laptop, gatel sekali pingin buka file WYHM tapi nyatanya tetap prioritaskan pendidikan. Sebelum curhat ini semakin panjang, langsung saja ya....

Hope you like it guys

11


Bel pulang sekolah memaksa Ify dan Sivia untuk bergegas meninggalkan kelas dan menuju lapangan indoor. Sesampainya, mereka hanya menemukan Cakka yang tengah mengganti kemejanya dengan kaos kebanggaan Cakrawala. Dua gadis itu pun menghampiri.
“Woi curut!” seru Sivia tepat di telinga Cakka.
Cakka reflek berjingkat lalu mengelus dadanya seraya mendengus sebal.
“Untung gue nggak punya penyakit jantung. Kalo punya, kayaknya gue udah tewas di tempat terus nggak jadi latihan,” dumel Cakka.
“Hus! Pamali ngomong begitu, Cak,” tegur Ify.
Pemuda itu hanya nyengir sementara Sivia yang menjadi tersangka justru cekikikan. Sivia memang paling senang menjahili Cakka karna pemuda itu akan mendumel—ngawur—secara spontan dan Ify akan menegur. Bagi Sivia, moment seperti itu sangat lucu.
“Agni mana?” tanya Ify mengedarkan pandangan.
“Biasanya dia paling semangat kalo latihan basket,” cetus Sivia.
“Mungkin masih ada guru. Kalian duduk aja dulu, gue juga mau ganti celana nih,” ujar Cakka menunjuk celana yang ia kenakan.
“Tenang aja gue gantinya di ruang ganti kok, bukan di depan kalian,” tambah Cakka.
Sontak Sivia meninju bahu Cakka dengan pelan. Cakka sendiri mengaduh namun tetap terkikik geli.
“Tapi sori nih Cak, gue sama Sivia mau ada urusan jadi nggak bisa nonton kalian latihan. Nggak pa-pa kan?” tanya Ify.
“Urusan apaan, Fy? Urusan hati?” kekeh Cakka.
“Bacot banget sih, Cak. Udah dulu ye gue sama Ify pergi dulu biar nggak kesorean pulangnya,” cetus Sivia.
Cakka hanya mengangguk lalu berdadah-dadahria dengan dua gadis yang kemudian membentangkan jarak itu. Baginya, dua gadis tersebut dan  juga satu lagi yang tak lain adalah Agni adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Sejak mereka hadir, dunianya yang abu-abu berubah jadi pelangi.
Seperti yang pernah ia katakan pada Ify, Cakka tak akan pernah meninggalkan mereka dan jika suatu saat ia kembali pada The Wanted itu karena dia berbagi Ify, Sivia dan Agni. Begitu mengetahui kenyataan kedekatan Ify dan Sivia dengan Rio dan Gabriel, dia berharap Alvin dan Shilla juga akan menerima kehadiran sahabat-sahabat barunya.
***
Sivia dan Ify mulai mencari-cari Gabriel dan Rio yang berada di parkiran. Ternyata dua pemuda itu sengaja berdiri di belakang plang besar sehingga tak akan ada anak yang curiga.
“Kok ngumpet-ngumpetan sih? Malu ya ketemu sama kita?” ceplos Sivia.
“Langsung aja ya, takut kesorean,” ujar Ify mengalihkan perhatian.
Baik Gabriel maupun Rio sama-sama bernafas lega karena tak harus menjawab pertanyaan Sivia. Jelas saja, menjawab pertanyaan tadi sama saja cari mati.
“Kita ikut Gabriel sama Sivia dulu ya, belajarnya nanti sambil makan siang,” sahut Rio membuat Sivia menekuk wajahnya.
“Kenapa muka lo?” tanya Gabriel ke Sivia.
“Lo nggak akan traktir mereka juga kan? Kalo iya, mending jatah mereka buat gue aja,” jawab Sivia tanpa dosa.
Sebagai sahabat, Ify spontan menoyor sahabatnya tersebut dan berkata jaga image kek dengan pelan. Sementara Gabriel dan Rio terkekeh melihat kelakuan dua gadis itu yang sebenarnya sudah sering mereka saksikan akhir-akhir ini.
“Gue traktir Ify, Gabriel traktir elo,” kata Rio.
“Ify aja nih?” sahut Sivia masih tanpa dosa.
“Buset. Terus lo dapet dua traktiran sekaligus gitu?” sinis Ify.
“Udah udah, kita jalan dulu aja. Nanti apapun yang kalian mau kita yang bayarin deh sebagai ucapan terima kasih,” ceplos Gabriel membuat Sivia sumringah.
“Sering-sering aja Fy kita main sama mereka, lumayan ngirit uang saku,” bisik Sivia.
“Suka-suka lo aja,” balas Ify.
Mereka pun naik ke mobil Gabriel. Awalnya, Sivia mau duduk di depan dengan songongnya tetapi lantas ditarik oleh Ify supaya menemaninya duduk di belakang. Gabriel dan Rio tertawa kecil melihatnya.
Mobil itu melaju membelah kepadatan Jakarta. Di dalam mobil, Sivia terus saja bercerocos, berbeda dengan Ify yang fokus pada jalanan.
“Yel, udah pernah makan lesehan di pinggiran jalan belum?” tanya Sivia.
“Menurut lo?” balas Gabriel yang sedang menyetir.
“Menurut gue sih belum. Lagian lo bawa mobil mewah gini terus makannya di pinggiran jalan pasti malu kan?” tebak Sivia.
Gabriel meringis mendengarnya.
“Nggak usah didengerin, Yel. Sivia emang suka ngaco,” ceplos Ify tiba-tiba.
“Udah kelar ngalamunnya?” nimbrung Rio.
Detik itu Sivia lantas menggoda Rio dan Ify. Seakan sudah kebal dengan ulah sahabatnya, Ify hanya mengabaikan.
“Ngalamun apa sih?” tanya Rio.
Ify hendak membuka mulut tetapi sudah disela Sivia. “Mikirin elo lah! Cieee Rio pipinya merah aduh lucu banget sihhh, ternyata lo bisa salah tingkah juga ya,” goda Sivia.
“Ini kayaknya AC mobil Gabriel lagi rusak jadinya gue kepanasan,” elak Rio.
“Kok jadi nyalahin AC mobil gue? Lagian gue nggak ngerasa kepanasan kok,” bantah Gabriel bersekutu dengan Sivia.
Ify hanya geleng-geleng kepala karena tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejak dulu, Sivia memang suka sekali menggodanya jadi yang barusan bukan apa-apa.
***
Mata Cakka memincing saat mendapati sosok Agni di tepi lapangan indoor sedang menundukkan kepalanya. Buru-buru lelaki itu menghampiri sahabatnya dengan wajah sumringah. Akan tetapi, wajah itu berubah saat menyadari ada yang berbeda dari Agni. Gadis itu terlihat tak bersemangat.
“Ag, lo kenapa?” tanya Cakka bingung.
Agni masih menundukkan kepalanya. Gadis itu membungkam.
“Agni...”
Agni terkesiap kala jemari Cakka tiba-tiba bergerak mengangkat dagunya hingga wajahnya menengadah. Cakka menahan nafasnya selama beberapa detik. Agni menangis....
“Agni, lo kenapa? Bilang sama gue,” ujar Cakka panik.
Pemuda itu membawa Agni ke dalam pelukannya lalu mengusap lembut puncak kepala Agni. Tangis itu bukannya semakin mereda justru semakin menjadi. Agni terisak-isak, menumpahkan seluruh air matanya dalam rengkuhan Cakka.
Selama beberapa detik mereka berada di posisi tersebut. Setelah tangis itu mereda, barulah Cakka angkat bicara.
“Gue anterin pulang ya,” ujarnya pelan.
Agni hanya menganggukkan kepala lalu menggurai pelukan mereka. Detik berikutnya Cakka mencari Debo untuk meminta ijin. Meski sedikit bingung, Debo membiarkan Cakka dan Agni meninggalkan lapangan indoor.
Di lain sisi, Shilla yang baru sampai rumah merebahkan tubuhnya di sofa sebelum naik ke kamarnya. Tak lama kemudian suara mobil di halaman membuat Shilla terbangun dari posisi sebelumnya. Itu adalah suara mobil kedua orang tuanya.
“Papa sama Mama kenapa?” gumam Shilla.
Selanjutnya pintu rumah itu terbuka dan menampilkan wajah masam dari kedua orang tuanya. Entah mengapa, perasaan tak enak menyergap Shilla secara tiba-tiba.
“Shilla,” gumam mamanya tertahan.
“Itu surat apa, Ma?” tanya Shilla menunjuk berkas-berkas di tangan mamanya.
Dia bisa menangkap dengan jelas saat kedua orang tuanya berubah panik dan saling melirik satu sama lain. Kemelut perasaan tak enak itu lagi-lagi datang.
“Ini...”
“Berkas-berkas kantor. Emangnya apa lagi, Shil?” potong papanya cepat.
Dengan cepat Shilla merebut berkas-berkas tersebut dari tangan mamanya. Mata gadis itu terbelalak.
“Surat Perceraian? Jelasin ke Shilla ini maksudnya apa!” tandas Shilla.
“Shilla...”
“Ini nggak bener kan Pa, Ma? Kalian nggak akan cerai kan? Ini pasti Shilla salah baca. Mana mungkin kalian cerai,” racau Shilla sambil terkikik paksa. Tanpa sadar ia tak bisa menahan air matanya.
“Maafkan kami Shilla. Kami bersama atau tidak, kami tetap sayang sama kamu,” ujar papanya membuat Shilla hancur.
“Kalian emang nggak pernah ngertiin perasaan Shilla,” tandas Shilla lantas menyahut kunci mobilnya lalu meninggalkan rumah.
“Shilla...”
Kedua orang tuanya hanya menatapi anak gadisnya tersebut dengan pandangan nanar. Tak ada niatan untuk mencegah putri semata wayangnya supaya tetap tinggal.
***
Shilla men-dial nomor Gabriel berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Dia menyerah lalu menghubungi Alvin. Tak perlu menunggu lama karena Alvin dengan cepat menjawab teleponnya.
“Halo, Vin...”
“Shilla lo kenapa? Lo nangis? Lo dimana sekarang, Shil? Tell me.”
“Danau,” sahut Shilla pelan.
“Sepuluh menit lagi gue sampai.”
Sambungan telepon itu terputus. Shilla menyimpan ponselnya lalu menatap lurus ke arah danau yang terbentang di hadapannya.
Seperti janji Alvin, pemuda itu sampai tepat sepuluh menit setelah menutup telepon. Saat mendengar suara Shill tadi, dia benar-benar panik dan menerobos jalanan dengan kecepatan penuh hanya karena takut terjadi sesuatu pada gadisnya.
“Lo kebut-kebutan ya?” tanya Shilla tanpa mengalihkan pandangan.
Tanpa membalas, Alvin membawa Shilla ke dalam rengkuhannya.
“Nangis aja Shil... nangis sampai lo nggak  bisa nangis lagi,” lirih Alvin.
Selanjutnya Alvin bisa merasakan bahunya basah. Air mata yang awalnya ditahan mati-matian meluruh begitu saja mendengar ucapan Alvin. Sampai sepuluh menit kemudian, tangis itu belum mereda, tetapi Alvin dengan setia membiarkan gadis itu membasahi bahunya tanpa bekata apa-apa.
Alvin bisa merasakan luka seperti apa yang dirasakan Shilla saat ini meski ia belum tahu penyebabnya. Seperti yang pernah ia katakan, gadis ini adalah gadis terkuat, gadis yang paling tegar dan tak mudah menumbangkannya. Jadi, jika ia mengeluarkan air mata seperti ini, luka itu pasti sangat menyayat hatinya.
Thanks,” gumam Shilla mengurai pelukannya.
“Nggak perlu berterima kasih,” balas Alvin tersenyum.
“Orang tua gue cerai, Vin,” ujar Shilla pelan.
Pemuda itu sedikit terkejut tapi tak berkomentar apa-apa. Dia hanya ingin membiarkan Shilla meledakkan semua yang dipendamnya.
“Gue nggak tahu kenapa mereka cerai padahal gue pikir hubungan mereka baik-baik aja. Setelah gue pikir-pikir, gue baru sadar sesuatu, setiap Mama di rumah itu artinya Papa nggak di rumah dan sebaliknya.”
“Mereka pasti punya alasan yang nggak bisa lo ngerti, Tuan Puteri,” balas Alvin seraya meletakkan tangannya di bahu Shilla.
“Alasan apa? Alasan untuk meninggalkan gue sendirian?” bantah Shilla.
Alvin menggeleng, “Lo nggak sendirian. Ada gue.”
“Gue capek sama kelakuan mereka, Vin. Mereka bertingkah seolah-olah gue nggak pernah ada di kehidupan mereka. Gue tuh merasa nggak dianggap!” racau Shilla.
“Ada gue, Tuan Puteri,” balas Alvin lagi.
Hanya itu yang bisa dikatakan Alvin karna memang itulah kenyataannya. Alvin akan selalu ada untuk Shilla sekalipun suatu saat nanti gadis itu menemukan seseorang yang lebih darinya. Alvin tetap ada.
***
“Shilla nelponin lo terus?” tanya Rio tak sengaja melirik ponsel Gabriel.
Pemuda itu hanya menganggukkan kepala lalu menyimpan teleponnya kembali.
“Kalau diangkat bisa rusuh, apalagi kalo sampe dia denger suara Sivia sama Ify,” jawab Gabriel pelan.
Rio mengangguk sebagai tanda persetujuan. Dua pemuda itu tengah menunggu Sivia dan Ify yang sedang membeli es krim, tak lama kemudian mereka kembali dan menyerahkan es krim untuk Gabriel dan Rio.
“Kita mau ke mana nih?” tanya Ify.
“Main time zone yuk!” ajak Sivia.
“Males main sama elo ah. Lo kan suka curang mulu,” balas Ify.
Sivia mencebikkan bibirnya, “Jangan suka fitnah dong! Kan gue curang sekali doang pas kepepet karna nggak bawa duit.”
“Sekali mbahmu. Pas kita ke sini bareng Cakka sama Debo itu lo juga curang ya nyet,” bantah Ify nyolot.
“Itu sih emang karna lebih jago Cakka daripada Debo. Untung gue setim sama Cakka jadi nggak kena deh,” balas Sivia tanpa dosa.
“Kalian pernah jalan bareng Cakka sama Debo? Maksudnya double date?” tanya Gabriel spontan.
Ify dan Sivia saling pandang lalu melirik ke arah Gabriel. Sepertinya mereka bercerocos tanpa mengingat ada siapa saja di tempat ini.
“Bukan double date. Nggak sengaja ketemu aja, mereka habis latihan basket,” jawab Ify sekaligus meralat.
“Emang kenapa kalo double date? Cakka sama Debo kan single wleee,” celetuk Sivia.
“Hmm, nggak. Si Rio nanti patah hati kalo Ify sama Debo. Ya kan, Yo?” ceplos Gabriel  membuat Rio menginjak kaki sahabatnya itu.
Padahal Rio hanya menyimak saja. Kenapa dia jadi dibawa-bawa?
“Daripada ribut terus, mending kita ke time zone sekarang. Yuk!” ajak Ify.
Di belakangnya, Sivia sibuk mencibir gadis itu. Bukankah tadi dia menolak keras diajak ke time zone? Memang, Ify senang sekali mengalihkan perhatian supaya tak ada obrolan panjang yang membuatnya merasa terpojokkan. Dasar licik, begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran Sivia.
Sesampainya di lokasi time zone, mereka lantas membuat kesepakatan.
“Jadi, kita bagi jadi dua tim, tim yang kalah wajib traktir makan tim yang menang. Gimana?” usul Gabriel.
“Yahh... kalo kita kalah gimana, Fy?” cetus Sivia menatap Ify melas.
“Siapa bilang lo setim sama Ify?” sela Gabriel.
“Terus?”
Gabriel terkekeh sebentar lalu melirik Rio, “Rio setim sama Ify dan gue sama elo.”
“Kok gitu?” protes Ify.
“Kalo gue yang kalah, gue yang berkewajiban nraktir, bukan Sivia. Kalo tim lo kalah nih Fy, Rio yang nraktir. Kalo kalian mau setim sih nggak pa-pa asal sanggup nraktir gue sama Rio aja. Lo kan tahu selera makan kita,” jelas Gabriel licik.
“Tai. Ini namanya manipulatif. Yaudah, gue sama Rio. Bodo amat menang apa kalah, toh bukan gue yang nraktir,” cerocos Ify bersumpah serapah.
“Setuju sama Ify!” sambung Sivia.
Rio benar-benar tergelak. Sumpah, dia pun tak tahu Gabriel punya akal sebusuk itu. .Bilang saja dia ingin dekat-dekat dengan Sivia. Ah, bukankah dia sendiri ingin dekat dengan Ify? Kalau begitu, Rio berada di pihak Gabriel.
“Permainan pertama... basket.”
***
Sebagai lelaki yang dididik bertanggung jawab oleh kedua orang tuanya, Cakka mengantarkan Agni dan menjelaskan kronologisnya pada wanita yang tak lain adalah mama dari Agni. Setelah dirasa cukup, pemuda itu kembali ke sekolah dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Apa yang terjadi pada gadis itu?
“Mungkin dia lagi nggak enak badan,” sangkalnya mencoba tak memikirkan.
Dia harus kembali ke lapangan indoor dengan cepat sebelum Patton datang dan berubah pikiran. Biar bagaimanapun, Patton lah yang sudah menjadikan posisinya terasa penting di Cakrawala, jadi dia tak boleh mengecewakan kakak kelasnya itu.
Beruntung sekali jalanan tak begitu ramai dan pemuda itu dapat menerobos menggunakan motornya dengan gesit. Saat melewati danau, tanpa sengaja mata Cakka menangkap sosok Shilla bersama Alvin. Danau itu... danau yang dulu sering menjadi tempat bermain The Wanted.
Cakka bisa melihat Shilla menundukkan kepalanya, lalu mengusap matanya dengan cepat. Gadis itu menangis? Pikiran Cakka sontak terbagi antara ingin menghampiri dan ingin cepat sampai ke sekolah. Lantas, dia memilih pilihan kedua. Dia tahu, keberadaan Alvin di sana sudah cukup membuat hatinya tenang.
Tak sampai dua puluh menit, Cakka sampai di parkiran Budi Karya. Parkiran sudah tampak lenggang karna hanya ada beberapa motor yang bertengger di sana. Tentunya motor-motor itu adalah milik anak basket yang masih latihan. Kemudian, Cakka buru-buru menuju lapangan indoor.
“Cakkaaa.”
Pemuda itu tersenyum rikuh seraya meminta maaf atas keterlambatannya.
“Tadi nganterin Agni dulu, Kak. Kayaknya dia lagi sakit,” ujar Cakka pada Patton.
“Iya gue tahu. Makanya ini gue mau nanya, dia sakit apa? Dia jarang banget sakit soalnya. Belum pernah juga dia ninggalin latihan karna sakit,” balas Patton membuat Cakka tersentak.
“Gitu, Kak? Mungkin tadi sakitnya bener-bener sakit,” kata Cakka ambigu.
“Ya udah nanti malem gue coba telepon dia aja. Lo latihan gih, yang lain udah nungguin. Gue mau pulang dulu ya soalnya ada les.”
Cakka hanya menganggukkan kepalanya lalu bergabung dengan tim Cakrawala. Sejujurnya, pikirannya masih tertuju pada Agni. Kalau Patton saja sampai seheran itu, artinya ada sesuatu yang lain—yang mungkin disembunyikan gadis itu.
“Cak, fokus,” tegur Debo.
Kali ini Cakka mengesampingkan Agni terlebih dahulu dan memilih untuk fokus latihan seperti yang diperintahkan Debo. Biar bagaimanapun, pertandingan tinggal menghitung hari sementara latihan mereka akan dihentikan H-5 dan kembali latihan terakhir pada H-1.
Patton menyempatkan diri untuk melihat latihan meski hanya sejenak selalu terpukau saat mengamati Cakka. Gerakan dribble Cakka semakin gesit. Setiap harinya, pemuda itu mengalami kemajuan yang berarti dia benar-benar serius dengan Cakrawala. Bahkan, Patton tak pernah menyesal menghadiahkan jabatan kapten sementara karena pemuda itu membuktikan kerja kerasnya pada Patton. Jika suatu saat Patton resmi meninggalkan Cakrawala, dia tak akan khawatir karena ada Cakka yang bisa diandalkan.
Puas mengamati Cakka, Patton memutuskan untuk bergegas menuju tempat les. Saat ini dia sudah bisa tenang jika dia memilih untuk memprioritaskan Ujian Nasional yang semakin dekat.
Sudah satu setengah jam bermain, semuanya berjalan dengan mulus. Debo tampaknya paling bahagia diantara semuanya karena laki-laki itu kini tetap berlatih disaat yang lain memilih istirahat. Cakka sendiri membiarkannya karena dia tahu mood Debo sedang bagus, jadi tak ada salahnya juga. Asalkan permainan basket tidak didasari dengan pelampiasan, Cakka akan mendukung.
“Lawan terberat kita tahun ini masih dari sekolah yang sama?” tanya Cakka pada teman-teman seperjuangannya.
“Iya, Cak,” sahut Ian.
“Nih ya, gue kasih tahu, sekasar apapun permainan basket lawan, kita harus bisa mengendalikan diri. Kalau mereka matik api, kita bikin hujan, jadi kita nggak akan kebakar,”  ucap Cakka pada teman-teman setimnya.
Melihat itu, Debo ikut bergabung.
“Salut gue sama lo. Meski lama nggak main basket, jiwa lo itu  sepenuhnya masih milik basket,” cetus Debo.
Yang lain ikut setuju dengan pendapat Debo. Sementara Cakka, dia hanya menyunggingkan senyumnya dengan sendu. Sekali lagi, Cakka teringat kebersamaannya dengan The Wanted.
***
Agni meringkuk di pojokan kamarnya. Sejak pulang diantarkan Cakka, gadis itu tak keluar dari kamar sama sekali. Dia masih memikirkan kejadian tak terduga yang dialaminya mengenai Sion. Dia tak pernah tahu begitu dalam luka yang ia torehkan pada lelaki yang mencintainya dengan setulus hati.
Tak pernah dibayangkannya bahwa selama ini ialah tokoh antagonis dalam permainannya. Dia melukai perasaan Sion, membuat pemuda itu kehilangan kepercayaan pada siapapun, mungkin pula pada dirinya sendiri. Dia pula yang melukai perasaan Shilla dengan merebut kedudukan Shilla dalam hidup Cakka. Harusnya dia sadar, bukan Cakka yang datang padanya, tetapi dialah yang meminta Cakka untuk datang padanya. Dia yang membuat fokus Cakka pada Shilla mengabur. Lalu, atas nama cinta Agni datang membuat posisi Shilla benar-benar tak tampak.
Shilla benar. Seharusnya dia malu karena telah merusak persahabatan yang dibangun selama bertahun-tahun. Lantas, masih layak kah Agni berada di samping Cakka? Masih layak kah Agni gembar-gembor pada pemuda itu tentang sahabat dan mimpi? Sedangkan jauh di lubuk hatinya, Agni tetaplah seseorang yang mencintai Cakka dengan caranya sendiri, tentunya sewaktu-waktu cinta dan keegoisan itu tak dapat dibedakan lagi. Dan inilah tepatnya. Ini puncaknya.
Agni tak tahu harus berbagi pada siapa. Dia terlalu naif.
“Agni sayang,” panggil mamanya.
Gadis itu bergeming. Dia membiarkan mamanya membuka pintu dan menerobos masuk ke areanya. Wanita itu sedikit mengendap supaya Agni tak terganggu.
“Kadang cinta emang menyakitkan,” ujar mamanya tiba-tiba.
Walau terkejut dengan ucapan sang mama, Agni tetap bungkam. Mungkin itu yang dinamakan naluri seorang ibu. Meski Cakka telah menjelaskan bahwa Agni sakit, mamanya tetap tak percaya karena Agni tak akan selemah ini. Saat itu pula dia tahu, anaknya memandang Cakka dengan penuh luka. Mungkin benar putrinya sakit, tetapi sakit yang dirasakannya tak berupa.
“Orang-orang bersembunyi di balik kata cinta sampai tanpa sadar dia menciptakan luka. Bukan hanya orang lain yang terluka, tapi juga dirinya sendiri.”
Detik itu Agni merengkuh mamanya dengan erat. Saat ini, hanya mamanya yang bisa mengerti.
***
“Senyum, Tuan Puteri. Nanti malam kan kita nyiapin pesta ulang tahun lo. Bareng Gabriel pula,” ucap Alvin.
Shilla benar-benar tersenyum tapi justru membuat perih hati Alvin. Sedari tadi dia menghibur gadis itu, tapi tak berhasil. Hanya dengan menyebutkan nama Gabriel sekali, Shilla menyunggingkan senyuman manis. Entah Alvin harus berterima kasih atau justru menghakimi Gabriel dalam hatinya. Untuk kali ini, Alvin memilih opsi yang pertama. Apapun, asal Shilla tidak terluka.
“Sekarang gue temenin balik ya, lo perlu berbenah diri,” kata Alvin.
Sontak Shilla mengambil ponselnya lalu menjadikan benda itu sebagai cermin dadakan. Benar saja, rambutnya berantakan dan matanya sembab. Walau begitu, Alvin tetap melihat kecantikan dalam diri Shilla.
“Kalau balik ke rumah lo aja gimana?” tawar Shilla.
“Gue kan nggak punya baju cewek,” kekeh Alvin.
“Nggak pa-pa yuk. Ada gue, Tuan Puteri,” tambah Alvin manis sekali.
Sayangnya Shilla menganggap apa yang dilakukan Alvin hanyalah bentuk perhatian sahabat ke sahabatnya. Apalagi selama ini Alvin memang sering menghabiskan waktu bersamanya.
Akhirnya gadis itu setuju untuk kembali ke rumahnya. Meski kemungkinan bertemu kedua orang tuanya sangat kecil, Shilla tetap merasa enggan. Jadilah ia memastikan Alvin benar-benar ikut. Mereka lantas menuju rumah Shilla dengan mobil masing-masing. Demi membuat Alvin tak berubah pikiran, gadis itu menyuruh Alvin melajukan mobilnya terlebih dahulu sementara Shilla mengikuti di belakangnya.
Sesampainya di rumah Shilla, seperti dugaan, rumah itu sepi seperti biasa. Itu artinya kedua orangnya pergi lagi. Terkadang Shilla heran, mengapa mereka membangun rumah sebesar ini jika tak dihuni? Jika hanya meninggalkan seorang gadis yang kesepian di dalamnya? Pikiran itu segera ditepis sebelum emosi Shilla memuncak kembali.
“Gue nggak harus nemenin di kamar lo kan?” canda Alvin mencairkan suasana.
Tinjuan kecil Shilla reflek mengenai bahu Alvin dan membuat pemuda itu terkikik geli. Tak urung, Shilla ikut tertawa dan melupakan kesedihannya.
“Tunggu ya,” ucap Shilla.
“Iya deh yang mau dandan cantik buat Gabriel,” goda Alvin.
Sekali lagi, Shilla terkekeh lalu meninju bahu Alvin dengan pelan. Sepeninggalan gadis itu, Alvin melepaskan topengnya. Tak ada lagi wajah tengil  untuk menggoda Shilla, tak ada senyum sumringah yang ditunjukkannya pada gadis itu. Ini Alvin yang sebenarnya. Alvin yang tak terbaca oleh siapapun.
Hati Alvin begitu perih. Andai saja Shilla mau melihat sedikit saja luka yang ia torehkan, tapi biarlah, biar gadis itu tak pernah tahu perasaannya yang sesungguhnya. Biarlah perasaan yang ia pendam bertahun-tahun tetap berada di tempatnya. Apapun, apapun akan ia lakukan demi kebahagiaan Shilla. Tuan Puterinya. Sebab ia tahu persis, tak akan mudah menggeser posisi Gabriel yang telah terpatri di sana.
Terkadang, Alvin ingin menyerah. Tapi kenyataan memang tak pernah sesuai dengan ekspektasi. Setiap kali Alvin mencoba pergi, dia justru bertahan di samping Shilla seolah-olah hanya gadis itu tempatnya pulang.
***
Tim Rio-Ify berhasil memenangkan battle ini. Mereka ber-tos-ria dan tanpa sadar membuang segala beban yang dirasakan Rio akhir-akhir ini karena pekerjaan kantor. Sementara itu, Gabriel sama sekali tak kecewa meskipun dia tak berhasil mengalahkan kekompakan Rio dan Ify. Berbeda sekali dengan Rio dan Ify yang kompak, dia dan Sivia memang lebih banyak nyolot-nyolotan seperti biasa sehingga lawan mereka dapat mengambil celah kemenangan dengan cepat.
Menyaksikan tawa Rio yang lepas sedari tadi, Gabriel langsung sadar bahwa sahabatnya telah menemukan apa yang selama ini ia cari. Ify. Sadar atau tidak, Ify mengubah Rio menjadi manusia sungguhan, bukan robot seperti biasanya. Itu artinya Ify, Sivia dan gadis bernama Agni memang sengaja dikirim Tuhan untuk menunjukkan keindahan dunia yang tak pernah mereka jamah sebelumnya. Dunia yang lebih indah dari sekedar The Wanted. Dunia yang dulu mereka hindari mati-matian.
“Jadi, siap traktir kita, Gabriel?” tanya Ify seraya mengerling.
“Kok lo jadi genit sih, Fy?” protes Sivia.
“Nggak ah. Lo aja yang cemburu makanya bilang gue genit,” sahut Ify acuh tak acuh.
“Ini fans-fans gue kenapa jadi fanwar sih? Yuk deh gue traktir sesuka kalian. Tapi, temenin gue sama Rio nyari barang buat cewek dulu ya,” balas Gabriel.
Mendengar kalimat barang buat cewek membuat Ify dan Sivia salah mengartikan. Kalimat itu benar-benar ambigu. Sesaat, Gabriel tersadar akan ucapannya lalu cepat-cepat meralat sebelum pikiran dua gadis itu melayang jauh.
“Kado ulang tahun buat cewek,” ralat pemuda itu.
“Buat Shilla?” tebak Ify tepat sasaran.
Baik Gabriel maupun Rio tampak terperangah. Sepertinya Ify memang mudah sekali peka, berbeda dengan Sivia yang harus diucapkan dengan gamblang, barulah gadis itu akan mengerti.
“Kita temenin mereka kan, Siv?” tanya Ify pada Sivia.
Meski masih badmood dengan Shilla, gadis itu tetap menganggukkan kepalanya. Lagipula dia tak mungkin menolak karena Gabriel sudah bersedia mengajaknya jalan-jalan hari ini. Bahkan, dia pula yang membayar semuanya. Sivia merasa berhutang budi.
“Shilla sukanya apa?” tanya Ify.
“Kadoin tai ayam aja,” cetus Sivia yang langsung dipelototi Ify.
“Bacot lo di-rem dulu nyet. Ini kita mau serius bantuin mereka tahu,” omel Ify.
Jika sudah begini, Ify jadi seperti kakak yang mengomeli adiknya. Sementara Sivia hanya bisa mencibir. Sepertinya memang cuma Sivia yang senewen setiap ada hal berkaitan dengan Shilla.
“Kalau lo nggak mau bantuin nggak pa-pa kok, Siv,” ceplos Gabriel.
Sivia mendadak kikuk ditegur seperti itu. Meski tidak secara langsung, dia bisa merasakan Gabriel tak suka dengan sikap Sivia yang berlebihan terhadap Shilla. Biar bagaimanapun, Shilla adalah sahabat pemuda itu.
“Maaf deh. Gue masih kesel. Nih nih nih, gue lagi menata hati untuk ikhlas. Tapi untuk sementara bisa nggak kalau namanya nggak usah disebut dulu?” tanya Sivia mulai bernegoisasi.
Deal,” sahut Gabriel pendek.
Ternyata Gabriel memilih masuk ke toko sepatu terlebih dahulu. Sivia meneguk ludahnya ketika melihat jajaran sneakers terpajang di sana. Ketika Gabriel lebih memilih untuk melihat-lihat high heels, Sivia berbelok arah untuk melihat-lihat sneakers dan meringis membaca harganya.
Sneakers yang paling menarik minat Sivia masih berada di tempatnya. Terakhir kali dia melihat sneakers ini pada saat ditinggal Deva dan Lintar, lalu dia ditinggalkan oleh Alvin.
“Ini cocok nggak buat Shilla?” tanya Gabriel pada Ify yang berada di dekatnya.
Ify mengamati dengan detail lalu menggelengkan kepala. Lantas, gadis itu meraih high heels lain yang berada di dekat Rio. High heels berwarna tosca mengkilap dan dibalut dengan diamond di beberapa sudut.
“Kalau ini gimana? Lebih glamour dan Shilla banget,” usul Ify.
Dengan senyum lebar, Gabriel menganggukkan kepala dan segera membayar high heels pilihan Ify. Dia berharap Shilla akan menyukainya dan dia akan mengatakan bahwa itu adalah pilihan Ify. Kira-kira, apa reaksinya?
“Lo sendiri mau kadoin apa buat Shilla, Yo?” tanya Ify pada Rio.
“Gue udah ada kado buat dia. Tiket konser Taylor Swift sekaligus merchandise eksklusif Taylor yang udah ditandatangani,” jawab Rio membuat Ify terperangah.
Betapa beruntungnya Shilla. Dia pun akan dengan senang hati menerima jika diberikan tiket konser Taylor.
“Loh, Sivia mana?” cetus Gabriel.
Barulah mereka menyadari Sivia tengah mengamati sneakers dengan wajah serius hingga tak mendengar kepanikan teman-temannya. Setelah menerima bungkusan high heels untuk Shilla, Gabriel berniat mengomeli Sivia tetapi langkah itu terhenti saat mendengar celetukan Ify.
“Sneakers incerannya belum kebeli ternyata.”
“Dia ngincer sneakers?” tanya Gabriel dengan reflek.
Ify mengangguk, “Udah berbulan-bulan dia ngincer sneakers yang lagi diliatnya itu.”
Sebuah ide terlintas. Gabriel membayar sneakers itu secara khusus untuk dihadiahkan pada Sivia. Wajah Sivia yang awalnya mendung berubah cerah kembali. Dia benar-benar tak menyangka akan dihadiahi sneakers impiannya.
“Ini serius buat gue, Yel?” tanya Sivia tak percaya.
“Bener. Lo jaga baik-baik ya dan anggap aja itu hadiah karena lo bersedia nemenin gue nyariin kado buat orang yang bikin lo senewen,” canda Gabriel.
Hanya saja, Sivia terlanjur terharu. Sivia memeluk Gabriel sebagai tanda terima kasih. Rio dan Ify saling melirik lalu terkikik geli.
***

Bersambung...
Saya cuma berharap penantian kalian terbayarkan dengan saya post part 11. Itu juga kalo ada yang nungguin. Sekali lagi, untuk wattpad, sengaja saya privacy sehingga kalian yang baca WYHM di wattpad harus follow akun saya dulu wattpad.com/fannysalma terima kasihhh

NB: Saya nggak bisa janji untuk part selanjutnya itu kapan dilanjut :(