Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Halooo tim #BangkitkanCRAGSISA (?) saya datang bawain part 12 nih. Semoga ditunggu-tunggu sama kalian ya (?)
Hope you like it...
12
Mata
sembab Shilla sudah sirna digantikan dengan wajah yang lebih cerah. Dia
melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan kedua orang tuanya. Mungkin
hanya sejenak, sampai mobil yang ditumpanginya ini membawanya kembali ke istana
yang membuatnya sepi.
Malam
ini, seperti janji The Wanted, mereka akan menemani Shilla mempersiapkan ulang
tahunnya. Pada awalnya Shilla ingin membatalkan pesta itu, tetapi Alvin
meyakinkan dirinya untuk tetap menggelar pesta supaya ia tak larut dalam
huru-hara orang tuanya. Untuk itu, Shilla tak ingin terlihat menyedihkan di
depan Gabriel.
Tak lama
kemudian, mobil Alvin terparkir di depan rumah Rio. Rumah Gabriel memang lebih
dekat dengan Shilla, akan tetapi pemuda itu justru sudah berada di rumah Rio.
Tanpa kecurigaan sedikitpun, mereka mulai menjamah rumah Rio. Rumah ini nyaris
sama dengan rumah Shilla yang sepi. Bedanya, Rio sudah biasa dan menikmatinya.
Lagipula jarang sekali pemuda itu berada di rumah karena lebih sering
menghabiskan waktu di kantor papanya.
“Yang
mau ulang tahun seneng banget sih,” goda Gabriel.
“Iya
dong!” seru Shilla.
Tak ada
yang membahas masalah telepon Shilla sama sekali. Sementara itu, Alvin merasa
ada sesuatu yang menyayat hatinya. Tanpa Gabriel berbuat apapun, dia mampu
mencetak senyuman di wajah Shilla.
“Jadi,
kita mau ke EO yang pernah dipakai Angel dulu atau hangout?” tanya Rio.
“Ke EO
dulu deh,” usul Alvin.
“Biar hangout-nya bisa lama,” imbuhnya.
Keputusan
itu akhirnya disepakati bersama. Kali ini, Alvin membiarkan kursi yang awalnya
diduduki Shilla digantikan oleh Rio sedangkan gadis itu duduk di belakang
bersama Gabriel.
Alvin
berusaha fokus mengemudi. Sedari tadi, Shilla dan Gabriel sibuk bercanda di
belakang sana. Pemuda itu reflek mencengkram stir dengan kuat sebagai
pelampiasan amarahnya. Perlahan, cengkraman itu melemah. Mengapa ia tak pernah
bisa berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri?
“Lo
kenapa,Vin?”
Pertanyaan
Rio membuatnya gelagapan. Alvin memaksa terkekeh lalu menggelengkan kepala.
“Aneh,”
gumam Rio.
“Shil,
lo ngadain pesta dimana?” tanya Rio beralih ke Shilla.
“Di
rumah aja kayaknya. Sekali-kali, biar rumah gue nggak sepi terus,” jawab
Shilla.
“Dateng
bawa temen boleh nggak?” tanya Rio—lagi.
Baik
Shilla maupun Alvin sama-sama mengernyitkan kepala.
“Temen
mana yang mau lo ajak? Tumben banget,” seloroh Alvin tanpa mengalihkan
pandangannya.
Rio
terkekeh sejenak, “Ada. Kalian tahu kok.”
“Oalahh...
boleh dong. Ajak siapa aja sesuka kalian,” sahut Shilla sengaja menyebut
‘kalian’ yang berarti itu tak hanya berlaku untuk Rio.
Sejujurnya,
Shilla mengira Rio akan mengajak Mas Dayat. Lalu terlintas hal lain seperti
misalnya Alvin ingin mengajak Deva atau mungkin teman lain.
***
Acara
menginap dilakukan dadakan antara Ify dan Sivia. Setelah jalan-jalan bersama
Rio dan Gabriel, Sivia memutuskan untuk menginap di rumah Ify karena malas.
Orang tua Ify yang sudah biasa dengan kedatangan Sivia pun tak masalah. Justru
Ify yang merasa terganggu karena Sivia kompak dengan Ozy sejak dulu.
Mereka
berdua sedari tadi sibuk menggodanya soal Rio. Sialnya, Ify lupa men-lock
ponselnya sehingga chat Rio masuk,
Sivia dapat dengan mudah membacanya.
“Thanks for today, Alyssa. Uuuu tayang
tayang so sweet sekali,” ledek Sivia.
Ify
melotot lalu merebut ponselnya dengan paksa. Tahu begini dia memilih untuk
mengusir gadis itu dari rumahnya. Lalu, Ozy datang dan menjadi sekutu.
Terkadang Ify heran, mengapa bukan Sivia yang menjadi kakaknya Ozy? Mereka
cocok sekali.
“Ntar
kalo jadian sama Rio pokoknya lo nggak boleh lupain gue. Harus main sama gue!
Jangan main sama The Wanted!” seloroh Sivia mulai posesif.
“Kenapa
nggak ngomong depan kaca aja lu?” sahut Ify dongkol.
“Hmm...
iya ya? Abisan kayaknya Alvin nggak suka sama gue,” sahut Sivia seraya
merebahkan tubuhnya di kasur Ify.
“Alvin?”
tanya Ify bingung.
“Iya,
Alvin. Nggak tahu kenapa gue jadi suka mikirin dia. Menurut lo ini namanya
jatuh cinta nggak?” balas Sivia.
Ify yang tak tahu menahu soal Alvin dan Sivia
reflek mendekati Sivia lalu duduk bersila di sebelah gadis itu. Sivia pun ikut
merubah posisinya.
“Kok lo
nggak pernah cerita soal Alvin?” tanya Ify heran.
“Nyaris
cerita. Waktu kita sama-sama ngalamun, terus gue mau cerita eh keburu elo
curhat soal bokap nyokap lo yang temenan sama bokapnya Rio. Habis itu Agni sama
Cakka dateng. Gue jadi lupa,” jelas Sivia apa adanya.
“Terus?
Terus?”
Sivia
lantas menceritakan pertemuannya dengan Alvin beberapa kali tanpa terlewatkan.
Ia juga mengungkapkan pada Ify mengenai perasaannya pada pemuda itu. Semua yang
diceritakan Sivia benar-benar runtut. Terkadang, Sivia jadi membayangkan wajah
Alvin saat pemuda itu menahan tubuhnya saat ia nyaris terpeleset.
“Jadi,
Alvin? Bukan Gabriel ya?” gumam Ify.
Sahabatnya
itu tak mendengar apa yang digumamkan oleh Ify.
“Tanggepan
lo tentang Alvin gimana?” tanya Sivia penasaran.
Dia tahu
persis bahwa sahabatnya ini memang pengamat yang baik. Sivia tak pernah sungkan meminta pendapat Ify
tentang seseorang.
“Sama
seperti dulu. Misterius,” sahut Ify sekenanya.
Sontak
Sivia mengerucutkan bibirnya. Ternyata jawaban Ify masih sama. Dulu, mereka
memang sempat membicarakan tentang The Wanted dan kata Ify, Alvin itu yang
paling misterius.
“Masa
pengamatan lo nggak ada yang berubah sedikitpun?” selidik Sivia.
“Nggak.
Terus kenapa tiba-tiba lo suka sama Alvin?” sahut Ify.
“I don’t know. Semuanya mengalir begitu
aja. Tapi, sikap dia yang terlalu cuek itu kayaknya bikin gue pesimis,” keluh
Sivia yang tengah memeluk boneka kesayangan Ify.
“Bukannya
dulu elo yang mati-matian anti sama The Wanted?” tanya Ify retoris.
Terdengar
desahan nafas Sivia setelah pertanyaan itu terlontar. Sivia memejamkan matanya,
mencerna kembali ucapan Ify yang akhir-akhir ini juga menjadi pertanyaannya.
Gadis itu menggeleng pelan karena tak menemukan jawabannya.
***
Problematika
itu menyerang semua tokoh utama. Agni, entah mengapa hari ini dia begitu aneh.
Sejak pulang dengan keadaan yang bisa dibilang miris, dia hanya menanggapi
Cakka seperlunya. Gadis itu masih bingung harus mengambil keputusan seperti
apa. Melihat Sion dari sudut bangkunya, perasaan bersalah itu terasa semakin
nyata. Ternyata huru-hara yang disampaikan teman-teman sekelasnya mengenai
perubahan Sion benar-benar ada. Mengapa Agni baru sadar? Sion tak banyak bicara
seperti dulu, dia seolah tersedot oleh dunianya sendiri, pemuda itu membentengi
diri supaya tak ada yang bisa menyentuhnya. Termasuk Agni yang menjadi alasan
utama.
Di sisi
lain, Agni tak sanggup melepaskan Cakka, seseorang yang baru saja menghiasi
hari-harinya. Pemuda itu membuat harinya jadi lebih indah. Agni mencintai Cakka
sejak pertama kali menemukannya di lapangan indoor. Lantas, apakah dia harus
mengenyahkan perasaan ini begitu saja? Sejujurnya... Agni tak bisa...
“Agni!”
Tahu-tahu
Patton muncul di kelasnya. Gadis itu tak pernah siap jika ditanya macam-macam
oleh Patton.
“Kayaknya
lo tahu maksud kedatangan gue,” kekeh Patton lalu duduk di bangku depan Agni.
Dia sengaja memutar kursinya supaya menghadap gadis itu.
“Apapun
itu, menangkan pertarungan di hati lo dulu, baru lo menangin kenyataan.
Cakrawala menanti Cakradara di pertandingan,” ujar Patton.
Semalam,
pemuda itu menelpon Agni berkali-kali tetapi tak ada satu panggilan pun yang
direspon. Makanya begitu tahu Agni sudah berada di kelas, Patton buru-buru
menemui gadis ini sebelum menghindarinya lagi.
“Yang
mau ada pertandingan kan Cakrawala,” bantah Agni.
“Kata
siapa? Cakradara juga. Jadi, lo harus mempersiapkan tim lo untuk berhadapan
dengan sekolah-sekolah lain. Lo mengerti kan?”
Agni
lupa kemarin dia pulang dan tak mendapat kabar apa-apa mengenai tim basket
putri yang dipimpinnya. Sekarang, Agni semakin merasa bersalah karena
menelantarkan Cakradara. Patton benar, dia harus memenangkan pertarungan di
hatinya dulu.
“Thanks, Kak,” cicit Agni.
“Oh iya,
Cakka khawatir sama elo. Simpan ego lo dulu ya, biarin Cakka fokus sama
pertarungan pertamanya. Gue balik ke kelas dulu,” pamit Patton.
Cakka,
pemuda itu mengkhawatirkannya. Agni jadi semakin bingung harus berbuat apa. Dia
lupa bahwa Cakka begitu percaya akan persahabatan. Lalu, jika dia mengetahui
maksud Agni mendekatinya karena perasaan terselubung itu, apakah dia masih bisa
mempercayainya?
Di lain
sisi, urusan Shilla bersama kedua orang tuanya belum sepenuhnya selesai meski
Shilla tak ingin membahas apa-apa lagi. Hanya Alvin yang tahu mengenai
perceraian kedua orang tuanya dan Shilla merasa sudah cukup membaginya pada
pemuda itu. Sejak dulu, dia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan The
Wanted, bahkan di depan orang-orang. Shilla lebih senang dilihat sebagai gadis
yang kejam dan tak berperasaan dibandingkan terlihat sebagai gadis yang lemah.
Kepala
Shilla semakin pusing saat dia berpapasan dengan Cakka di pintu kelas. Dia
benci menghadapi kenyataan bahwa Cakka sudah berlari meninggalkan The Wanted. Mati-matian
gadis itu menahan diri supaya tak menyapa Cakka, tak gembar-gembor mengenai
pesta ulang tahunnya dan apapun yang dulu selalu dilakukannya. Shilla benci
menyadari Cakka bukan lagi bagian dari The Wanted. Rencana mengenai penghasutan
cewek-cewek rusuh—Ify dan Sivia—pun terlupakan.
Sejujurnya,
jika ingin melihat kenyataan lebih detail, bukan hanya Shilla yang membenci
keadaan ini. Tapi juga Cakka. Apalagi setelah memergoki Shilla menangis di
danau bersama Alvin, pemuda itu jadi bertanya-tanya apa saja yang sudah
dilewatkannya. Hati Cakka ikut berkonflik antara ingin kembali atau tidak. Pada
akhirnya, Cakka memilih untuk tetap berada di zonanya saat ini.
“Shilla,”
panggil Rio.
Shilla
yang awalnya mengamati Cakka dari sudut matanya lantas beralih pada Rio yang
duduk di belakangnya. Tanpa memberikan kesempatan untuk bertanya, Rio sudah
lebih dulu menyodorkan macam-macam desain undangan pesta ulang tahun.
“Udah
dikasih ya, Yo?” tanya Gabriel yang sedari tadi mencoba menyelesaikan soal matematika
di buku cetaknya.
Rio
mengangguk, “Tadi pagi dianterin Mas Dayat.”
“Menurut
kalian bagusan yang mana?” tanya Shilla.
Awalnya
Alvin sibuk memainkan game tetapi
mendengar pertanyaan Shilla, dia ikut bergabung. Dia melihat ada beberapa
desain yang memang telah disaring sebagai desain terbaik dari pihak EO. Tetapi,
ada satu desain yang paling menyita perhatian Alvin. Desain tersebut berbentuk
seorang gadis yang mengenakan gaun dan mahkota, mengingatkan Alvin pada sosok
Shilla yang sering kali disebutnya sebagai Tuan Puteri—dan terkadang Gabriel,
Rio dan Cakka ikut menyebut demikian.
“Ini
gimana?” usul Alvin.
“Tapi
diganti siluet lo,” imbuhnya.
The
Wanted reflek mengamati desain yang ditunjuk Alvin. Dari semua desain yang
terlihat mewah, desain ini yang paling sederhana tetapi tetap elegant.
“Menurut
kalian gimana?” tanya Shilla—lagi.
“Bagus.
Itu aja,” dukung Rio.
Shilla
tampaknya masih ragu.
“Kayaknya
oke juga yang dibilang Alvin. Nanti diganti siluet lo. Sekalian ngasih asupan
vitamin A buat orang-orang,” timpal Gabriel seraya terkekeh.
“Bener
ini aja?” tanya Shilla merespon Gabriel. Lelaki itu hanya menganggukkan kepala
sebagai jawaban.
“Ya
udah, ini aja. Tolong sampaiin ke Om Dian ya, Yo,” ujar Shilla.
“Siap.”
Lagi-lagi
hal sederhana yang dilakukan Gabriel bisa membuat Shilla mengangguk patuh. Saat
Alvin memberi usul, Shilla terlihat ragu, termasuk saat Rio menyetujui. Giliran
Gabriel buka suara, Shilla justru menyetujui. Mengapa Alvin selalu jadi
bayangan?
***
Jam
olahraga adalah hal yang membuat Ify ingin kabur dari sekolah. Bukan karena dia
payah dalam berolahraga—Ify justru sangat jago—tetapi karena jam olahraganya
bersamaan dengan jam olahraga kelas Rio. Meski sudah akrab dengan lelaki itu, Ify
masih belum bisa menyesuaikan diri bertemu dengan Rio di jam sekolah. Mereka
bahkan pura-pura tak kenal. Berbeda dengannya, Sivia justru semangat karena
bisa menonton Alvin yang biasanya kabur dari jam olahraga.
Tanpa
mempedulikan Sivia yang curi-curi pandang ke arah pemuda itu, perhatian Ify
tersita oleh sosok Rio yang duduk di tepi lapangan bersama Shilla. Dia bisa
melihat Rio yang masih mengantuk. Ify jadi ingat Rio pernah berkata mengenai
rapat perusahaan yang disalahartikan olehnya. Dia pikir, rapat perusahaan yang
dimaksud adalah rapat bersama The Wanted. Lalu, Ify jadi tahu kalau Rio sudah
mendapat wewenang sebagai bos di perusahaan papanya—Reon Haling.
“Lihatin
apa lo?”
Tahu-tahu
sudah ada Debo yang duduk di sebelahnya. Ify sedikit terkesiap namun dapat
menyesuaikan diri kembali.
“Tuh,
kelasnya The Wanted,” jawab Ify tak sepenuhnya berbohong.
“Pak
Reihan sama Pak Dave sepakat ngadain sparing
antara kelas kita sama kelas mereka,” sahut Debo tidak nyambung.
“Sparing apa?” tanya Ify menanggapi.
“Futsal.
Apalagi emangnya? Pak Dave kan basic-nya
di futsal, nggak kayak Pak Reihan yang jago basket. Kebetulan sekali Pak Reihan
lagi ke Jogja buat ngurusin pertandingan basket Cakrawala sama Cakradara,”
jelas Debo.
Ify
hanya ber-oh-ria karena baru sadar ini pertama kalinya kelas mereka menggunakan
lapangan yang sama. Lalu, Ify berpikir Pak Dave akan menunjuk tim yang futsal
adalah dari anak-anak putra. Sayangnya, Pak Dave justru menunjuk anak-anak
putri dan sialnya Ify terpilih.
Niat
terselubung Rio untuk tidur di rooftop seperti
biasa tiba-tiba digagalkannya sendiri karena nama Ify disebutkan. Dia lebih
berminat menonton Ify yang sedang futsal daripada melewatkannya. Dalam hati,
Rio bertanya-tanya apakah gadis yang pembawaannya selalu tenang itu bisa
bermain futsal?
“Kapten
kelas XI IPA 1 Ashilla dan XI IPA 4 Alyssa,” ujar Pak Dave membuat mata Ify
terbelalak lebar.
Dia
berhadapan dengan Shilla! Yang benar saja?
Sivia
yang tak terpilih memberi dukungan pada sahabatnya dengan semangat 45. Bahkan,
gadis itu ingin sekali ikut. Pak Dave memang tidak pernah kompak dan sejalan
dengan Sivia. Lagipula, Sivia lebih jago olahraga senam lantai dibandingkan
futsal.
Bukan
hanya Sivia yang bersemangat, tetapi juga teman-teman sekelas yang terpilih
sebagai penonton. Sejujurnya, kelas XI IPA 1 memang didominasi oleh anak
laki-laki sehingga mau tak mau semua kaum putri di kelas tersebut harus
berpartipasi. Pemandangan ini sangat langka mengingat karakter Shilla dan Ify
yang sangat kontras. Namun, ada satu sifat mereka yang sama persis. Percaya
diri. Dalam keadaan apapun, sadar atau tidak, dua gadis itu selalu percaya diri
hingga tak ada yang dapat membaca kegusaran mereka sedikitpun.
The
Wanted sendiri biasa saja, termasuk Cakka. Mereka mengira semuanya akan aman
terkendali. Akan tetapi, ucapan Debo yang duduk di sebelah Cakka membuat Rio,
Gabriel dan Alvin reflek terkesiap.
“Ify
jago banget kalo soal olahraga. Kayaknya Shilla bakal dibabat habis sama Ify,”
ucap Debo.
“Lo
serius? Tapi, kayaknya...”
“Kayaknya
Ify bukan anak olahraga gitu? Waktu SMP dia sering dapet penghargaan di bidang
olahraga termasuk karate. Basketnya juga nggak kalah dari Agni. Pak Dave tahu,
makanya Ify sengaja dipilih jadi pentolan. Mungkin itu sebabnya kita nggak bisa
menilai orang dari luarnya aja,” sela Debo seraya terkekeh.
Dan
detik itu, mereka tahu akan ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang di luar
dugaan karena pemikiran mereka pada Ify pun diluar dugaan.
***
Hal yang
tak pernah dibayangkan Shilla dalam hidupnya adalah dia harus bermain futsal di
tengah-tengah lapangan dan menjadi tontonan. Dia memang sudah terbiasa menarik
perhatian, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Sayangnya Shilla sudah tak
bisa berkelit saat anak berbando pink di tim lawan menendang bola.
Shilla
memilih mengikuti alur. Gadis itu berlari mengejar bola, di sisi lain gadis
yang disebut Pak Dave sebagai Alyssa melakukan hal yang sama. Di luar
dugaannya, gadis rusuh yang dipikir Shilla tak punya kemampuan apa-apa di
futsal seperti dirinya justru sangat lihai. Dengan gesit Alyssa menendang bola,
mengopernya, berlari lagi menghampiri bola tersebut lalu mencetak gol dengan
sempurna. Shilla sempat terpukau namun akhirnya sadar kembali.
Sialnya,
di timnya tak ada yang mau bekerja sama dengannya. Shilla tahu petaka ini.
Setiap kali dia mengoper bola, tak ada yang mau menerima hingga bola itu dapat
dengan mudah dicuri tim lawan, sedangkan saat timnya yang memegang kendali atas
bola tersebut maka dia tak memiliki kesempatan untuk menerima operan. Sial!
Shilla bersungut menyadari bahwa tak ada yang menganggapnya di permainan ini.
Sementara
itu, Shilla dapat melihat betapa Alyssa dapat menjadi kapten yang baik. Dia
dengan mudah memberi intruksi dan semua anak di timnya akan mengikuti. Tak
ayal, tim Shilla dibabat habis oleh tim Alyssa hingga timnya kualahan.
“Anjir!
Satu jam main tapi kelas belum dapet poin sama sekali. Itu yang namanya Alyssa
keren banget mainnya,” ceplos salah satu anak di kelas XI IPA 1 dengan
bersungut-sungut.
“Eleh
nggak pa-pa. Yang penting gue bisa lihat muka panik Shilla. Sukurin itu anak
sombong, biar nggak banyak gaya,” timpal teman di sebelahnya.
Yang
lain menyetujui apa yang dikatakan anak ini. Sementara itu, Cakka yang berada
tak jauh dari posisi mereka mengobrol berusaha menahan diri untuk tak menerjang
teman-teman sekelasnya. Untungnya The Wanted terlalu fokus pada pertandingan
hingga tak mendengar obrolan teman-teman sekelasnya.
Debo
yang tahu ekspresi wajah Cakka berubah lantas menepuk bahu pemuda itu lalu
tersenyum padanya. Rikuh, Cakka balas tersenyum.
Pertandingan
antara tim XI IPA 1 dan XI IPA 4 semakin seru. Pak Dave yang menonton tak ada
niatan menghentikan. Padahal biasanya futsal anak-anak putri tak seseru ini. Di
lain sisi, Ify tahu tenaga Shilla semakin habis menghadapi perlawanan dari
kelasnya sehingga membuatnya mengkoordinasi supaya mereka mengurangi perlawanan
karena mereka sudah unggul jauh.
“Fy,
bener nih?” tanya Irva.
Ify
hanya mengangguk lalu fokus kembali. Sejujurnya, Ify lebih fokus pada Shilla
daripada pertandingan ini. Dia tahu Shilla berusaha sendirian di timnya dan
tenaganya mulai terkuras habis. Kali ini Ify memilih tak tampak.
Sampai
pada akhirnya, sebuah bola melayang cepat ke arah Shilla. Ify berlari secara
reflek untuk menyelamatkan gadis itu. Kaki Shilla mendadak lumpuh menyaksikan
tendangan bola tersebut menuju ke arahnya. Gadis itu memejamkan mata, siap
menerima apabila bola tersebut menghantam wajahnya dengan sangat keras. Akan
tetapi, gadis itu tak merasakan apa-apa, dia justru mendengar semua orang
meneriakkan nama Ify dengan nada panik. Shilla lantas membuka matanya dan
terkesiap ketika tahu bola itu justru menghantam Alyssa hingga gadis itu tersungkur
kesakitan.
Semua
orang mengerubungi Alyssa. Tak lama kemudian, Alyssa diangkat dan dibawa ke UKS
oleh Cakka dan teman barunya. Sementara Shilla benar-benar masih shock. Gadis itu hanya terdiam di
tempatnya seperti patung.
“Shilla,
lo nggak pa-pa kan? Shilla...”
Bahkan,
saat Alvin datang tergopoh-gopoh menghampirinya dengan panik pun Shilla masih
bungkam. Gadis itu sangat shock.
***
Tak
butuh waktu lama peristiwa di lapangan sampai ke seluruh penjuru Budi Karya.
Tak sedikit yang mengolok-olok Shilla karena gadis yang diselamatkan oleh Ify
itu justru diam saja sementara Ify menahan sakit. Bahkan, The Wanted yang
biasanya cuek dengan pemberitaan apapun mengenai mereka kini justru ingin
membalas olokan tersebut. Di lain sisi, Shilla masih setia dengan aksi
bungkamnya. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Saat Rio memberitahukan
keadaan Ify pun, Shilla tetap bungkam.
Semua
orang mengira Shilla tak tahu berterima kasih atau mengira hati Shilla sudah
benar-benar mati. Kenyataannya, Shilla hanya tak tahu harus berbuat apa. Tak
pernah ada yang memberikan pertolongan padanya selain The Wanted. Lebih-lebih,
pertolongan tersebut justru mengorbankan dirinya hanya untuk Shilla.
Sementara
itu Ify yang masih berada di UKS berpesan pada sahabat-sahabatnya supaya tak
menghakimi Shilla. Awalnya, Sivia yang paling marah akan keputusan Ify, tapi
akhirnya mengerti kalau Ify tidak mau ada keributan. Sivia tahu Ify begitu
tulus dan baik.
“Jadi,
gimana, Dok?” tanya Pak Dave pada dr. Permana.
Sivia,
Cakka, Debo dan Agni yang tetap menemani Ify ikut menyimak pembicaraan
tersebut. Biar bagaimanapun, mereka perlu tahu kondisi Ify.
“Saya
perkirakan minggu depan Ify sudah sembuh total. Yang terbentur bola hanya bahu
sebelah kiri, saya tahu benturan itu sangat keras karena kulitnya sobek dan
berdarah. Apa saat itu Ify juga sempat terjatuh?”
Pak Dave
mengangguk. “Ify bergerak secara reflek.”
“Oh,
saya paham. Jadi, karena gerakan itu reflek maka dia tidak sanggup menahan dan
akhirnya terjatuh dengan cukup keras pula. Ada luka-luka kecil dimana-mana,
kakinya pun keseleo. Sampai minggu depan, kakinya baru bisa dibuat berjalan
normal. Untuk sementara saya sarankan pakai tongkat terlebih dahulu,” jelas dr.
Permana yang membuat Sivia menatap sendu ke arah Ify.
Disaat
dia harus menanggung hal yang seharusnya diperuntukkan Shilla pun, sahabatnya
tak menyesal melakukan tindakan bodoh tersebut. Lagi-lagi, Ify meminta mereka
untuk tidak menghakimi Shilla.
“Cakka
dan Debo, kalian ada latihan ya setelah ini?” tanya Pak Dave.
Dua
pemuda itu sontak mengangguk. Pertandingan semakin dekat, Pak Reihan lantas
meminta dispensasi untuk Cakka dan Debo yang merupakan tim Cakrawala supaya
dapat berlatih keras.
“Agni,
tolong carikan orang yang bisa mengantarkan Ify pulang,” titah Pak Dave.
Belum
sempat Agni menjawab, seseorang lebih dulu menyela.
“Biar
saya saja yang mengantar Ify.”
Pandangan
mereka tertuju pada Rio yang entah sejak kapan telah berada di ambang pintu
UKS. Tanpa keraguan sedikitpun, Rio meminta Pak Dave supaya mengijinkannya
mengantarkan Ify. Asal tahu saja, pemuda itu sama paniknya dengan Sivia, tetapi
ia tak bisa melakukan apa-apa mengingat posisinya sebagai sahabat Shilla.
“Kamu
yakin, Rio?” tanya Pak Dave memastikan.
Rio
mengangguk. Dia tahu, saat ini Cakka, Debo dan Agni memandangnya dengan aneh
tetapi ia tak peduli. Kekhawatirannya pada Ify telah mendominasi.
“Kalau
Bapak setuju, saya bisa ijin sebentar untuk mengantar Ify,” sahut Cakka.
Pandangan
Pak Dave beralih pada Cakka. Rio, pemuda itu mengepalkan tangannya. Pada saat
seperti ini Cakka justru mengibarkan bendera perang. Sepertinya pemuda itu tak
rela jika Ify harus pulang bersamanya.
“Lo kan
ada latihan,” balas Rio sangsi.
“Nggak
lebih penting dari Ify kok,” bantah Cakka seolah mempertegas posisi Ify yang
telah menggeser The Wanted di hidupnya.
“Saya
pulang sama Rio aja, Pak,” kata Ify menengahi.
“Tapi,
Fy—“
“Cak, lo
kan kapten. Kalo lo mau lihat gue baik-baik aja, pimpin Cakrawala ke final. Gue
pulang sama Rio,” potong Ify.
Cakka
mengerucutkan bibir lalu pasrah. Sementara itu, Rio ingin sekali menampar dua
anak ini karena mempertontonkan drama menjijikkan. Lebih tepatnya lagi, dia tak
rela Ify mengatakan kalimat yang biasa diucapkan pasangan kekasih di film romantic.
“Lu
jangan manyun-manyun! Ini bantuin Ify jalan,” semprot Sivia.
Diam-diam
Pak Dave tersenyum menyaksikan persahabatan mereka. Pak Dave tahu betapa
khawatirnya anak-anak ini pada keadaan Ify meskipun dr. Permana telah
mengatakan bahwa Ify akan sembuh total minggu depan.
***
“Marshmallow.”
Shilla
mendapati sebungkus marshmallow berwarna pink di hadapannya. Gadis itu
mendongak dan tahu bahwa Alvin lah yang menyodorkan marshmallow tersebut.
Sejenak, Shillla terkekeh lalu menerima marshmallow tersebut. Tanpa segan,
Shilla membuka dan memakan marshmallow-nya. Manis.
“Udah
lebih baik?” tanya Alvin.
Sejenak,
Shilla tertegun. Ternyata Alvin menyadari kepanikannya. Dia pikir, Alvin sama
saja dengan orang-orang yang mengambil kesimpulan lain atas sikapnya.
“Lo
selalu mengerti gue,” lirih Shilla tersenyum getir.
Alvin
sontak merangkul Shilla supaya jarak diantara mereka terhapuskan. Pemuda itu
memberikan kenyamanan yang tak Shilla dapat dari siapapun. Bahkan, harapan
Shilla mengenai Gabriel yang akan datang menenangkannya musnah. Selalu. Disaat
dia mengharapkan kehadiran Gabriel, Alvinlah yang selalu datang.
“Lo
nggak berpikiran kalau gue nggak berperasaan? Gue cuma diem, sementara gue tahu
cewek itu berdarah untuk gue,” racau Shilla.
Kelas memang
sepi, hanya ada mereka berdua. Gabriel dan Rio entah kemana. Mereka tak
terlihat lagi setelah Rio mengabarkan keadaan Ify padanya.
“Lo cuma
lagi mencerna,” ralat Alvin.
Dan
untuk ke-tiga kalinya, air mata Shilla meluruh menyusuri pipi putihnya. Dengan sigap,
Alvin menyapu titik bening itu seperti biasa.
“Akhir-akhir
ini lo suka nangis,” gumam Alvin.
Di sisi
lain, Gabriel tengah berhadapan dengan kepala sekolah. Kabar yang beredar
mengenai kecelakaan di lapangan ternyata sampai ke telinga beliau. Jadilah sedari
tadi pemuda itu berada di ruangan kepala sekolah dan terjadi perdebatan sengit
antara mereka berdua. Meski Gabriel adalah anak dari pemilik yayasan, kepala
sekolah tidak tunduk di bawah Gabriel begitu saja. Biar bagaimanapun, beliau
yang memegang kendali atas Budi Karya.
“Saya
harap semuanya akan baik-baik saja, Gabriel.”
Rikuh,
pemuda itu mengangguk pelan lalu pamit dan kembali ke kelas.
Koridor
yang awalnya ramai membahas Shilla mendadak hening diiringi bisik-bisik dari
segala arah saat Gabriel melintas. Tepat saat itu, ia menangkap sosok Rio
bersama Ify dan teman-temannya di parkiran. Pantas saja semakin ramai. Ternyata
Rio penyebabnya.
Gosip
itu semakin menjadi. Rata-rata menganggap Rio adalah orang suruhan Shilla
karena gadis itu tidak sudi berurusan dengan Ify. Lalu, perdebatan sengit
antara Shilla dengan Ify saat berada di kantin dan koridor pun kembali naik ke
permukaan seolah-olah hal tersebut cukup membuktikan bahwa Shilla memang
membenci Ify. Belum lagi ada yang menambahi mengenai Cakka yang sekarang berada
di pihak Ify.
Gabriel
menjambak rambutnya dengan frustasi. Pemuda itu berusaha menulikan telinga dan
kembali ke kelas. Langkah Gabriel terhenti saat tahu di kelas hanya ada Alvin
dan Shilla. Pemuda itu sengaja tak menampakkan diri.
“Percaya
sama gue, suatu saat kita akan punya kesempatan untuk jadi diri sendiri.”
Ucapan
Alvin yang menyapa telinga Gabriel cukup membuatnya tersentak. Jadi, apakah selama
ini mereka sadar mengenai kepura-puraan yang tercipta saat ini?
***
Sepulang
sekolah, Alvin langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa tanpa mengganti
seragamnya. Ingin sekali dia berkata bahwa dia lelah. Masalah Shilla, entah
mengapa menjadi masalahnya. Di sisi lain, dia masih menanggung sekelumit
masalah dengan Deva. Sejak pengakuan Deva mengenai ketidaksukaannya pada The
Wanted, pemuda itu tak pernah muncul di rumah ini lagi.
Alvin
menjambak rambutnya. Memikirkan kisah cinta diam-diamnya yang sudah berlangsung
enam tahun saja membuatnya ingin bunuh diri. Ditambah kenyataan bahwa gadis yang
selama ini mengisi hatinya itu justru mencintai sahabatnya sendiri. Sekarang,
dia harus memikirkan banyak hal dalam waktu bersamaan.
“Gue
bisa gila kalo gini terus,” gumamnya.
Pemuda
itu berdiri lalu menuju ke kamarnya. Foto-foto polaroid yang berisikan foto candid Shilla dan tersusun rapi dalam
kalimat MY DREAM itu menyapanya. Ya, sejak memasang, dia tak pernah berniat
mencopotnya.
Sesaat
dia tertegun menyadari kalimat itu. MY DREAM. Bahkan, sejak pertama kali jatuh
cinta, Alvin sudah yakin bahwa Shilla hanyalah bagian dari mimpi.
“Cantik,”
gumam Alvin menunjuk salah satu foto Shilla.
Foto itu
favoritnya. Shilla yang tengah tertawa lebar tanpa ada guratan beban di
wajahnya. Alvin meringis, akhir-akhir ini gadis itu lebih sering menangis
timbang tertawa. Alvin berjanji akan selalu menghapus air mata itu sampai
seseorang menggantikan posisinya. Mungkin orang itu adalah Gabriel,
pengisi hati gadisnya.
Tok... tok... tok...
Alvin
terkesiap lalu buru-buru membuka pintu. Deva. Kakaknya yang lama menghilang
kini ada di hadapannya.
“Papa
mau ketemu nanti malam,” ujar Deva to the
point.
Tanpa
berucap lagi, Deva membalikkan tubuhnya.
“Dev,”
panggil Alvin secara reflek.
Langkah kakaknya
itu pun terhenti. Deva membalikkan badan kembali, lalu melempar pertanyaan
melalui sorot matanya.
“Everything is ok, right?” tanya Alvin
menyiratkan sebuah perdamaian.
“Maybe,” balas Deva menggantung kemudian
melanjutkan langkahnya.
Deva pergi lagi. Sejurus kemudian, Alvin mendesah. Sepertinya Deva memang
belum bisa berdamai dengannya. Mendadak dia ingin masuk ke kamar kakaknya.
Dilancarkannya niat itu sebelum Deva kembali.
Alvin
membuka pintu kamar Deva perlahan. Meski Alvin dan Deva memiliki kebiasaan yang
sama, yakni tidak pernah mengunci kamar, mereka sama-sama tak pernah masuk ke
kamar yang bukan areanya. Biasanya Alvin hanya berdiri di ambang pintu sehingga
tak begitu tahu mengenai detail kamar Deva, begitu pula sebaliknya.
Hal yang
paling menyita perhatian Alvin saat pertama kali membuka pintu adalah sebuah foto-foto
berukuran kecil yang digantung dengan lucu. Alvin terkekeh, tak tahu bahwa ia
dan Deva memiliki banyak kesamaan. Kekehan itu sirna karena Alvin baru sadar
foto-foto tersebut berisi foto masa kecilnya bersama Deva. Masa-masa ketika
waktu bermain Alvin hanya untuk Deva. Kakaknya itu bahkan menuliskan tahun foto
tersebut diambil. Sampai akhirnya, ada bagian yang kosong tetapi masih tetap
diberi keterangan tahun. Tahun dimana ia mulai mengenal The Wanted dan
melupakan sosok Deva.
Untuk
pertama kalinya, Alvin menangisi kebodohannya. Dia tak pernah tahu akan
kesepian yang didera Deva sejak ia bertemu The Wanted.
***
Bersambung...
Makin ke sini makin nggak greget ya -_- saya sebagai author pun bingung mau dibawa kemana cerita ini(?) semoga kalian masih berniat baca part selanjutnya sampai ending ya;')
Btw apa sih pesan yang kalian dateng dari WYHM setelah baca dari part 1 sampai 12 ini? (kalo kalian mau jawab sih._.)
Oh iya, yang mau nanya-nanya bisa ke ask.fm/fannyslma hehe maaf saya jarang balesin komentar tapi dibaca semua kok:)