"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Rabu, 08 Juni 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 11

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hellooo. Saya kembali! Entah ini masih dalam rangka #BangkitkanCRAGSISA apa tidak karena ini super ngaret. Maklum, manusia bisa berencana tapi yang menentukan semuanya tetap Allah Yang Maha Esa ._.
Niatnya mau post tanpa ngaret eh ada aja tugas kuliah yang jadi penghalang. Setiap kali buka laptop, gatel sekali pingin buka file WYHM tapi nyatanya tetap prioritaskan pendidikan. Sebelum curhat ini semakin panjang, langsung saja ya....

Hope you like it guys

11


Bel pulang sekolah memaksa Ify dan Sivia untuk bergegas meninggalkan kelas dan menuju lapangan indoor. Sesampainya, mereka hanya menemukan Cakka yang tengah mengganti kemejanya dengan kaos kebanggaan Cakrawala. Dua gadis itu pun menghampiri.
“Woi curut!” seru Sivia tepat di telinga Cakka.
Cakka reflek berjingkat lalu mengelus dadanya seraya mendengus sebal.
“Untung gue nggak punya penyakit jantung. Kalo punya, kayaknya gue udah tewas di tempat terus nggak jadi latihan,” dumel Cakka.
“Hus! Pamali ngomong begitu, Cak,” tegur Ify.
Pemuda itu hanya nyengir sementara Sivia yang menjadi tersangka justru cekikikan. Sivia memang paling senang menjahili Cakka karna pemuda itu akan mendumel—ngawur—secara spontan dan Ify akan menegur. Bagi Sivia, moment seperti itu sangat lucu.
“Agni mana?” tanya Ify mengedarkan pandangan.
“Biasanya dia paling semangat kalo latihan basket,” cetus Sivia.
“Mungkin masih ada guru. Kalian duduk aja dulu, gue juga mau ganti celana nih,” ujar Cakka menunjuk celana yang ia kenakan.
“Tenang aja gue gantinya di ruang ganti kok, bukan di depan kalian,” tambah Cakka.
Sontak Sivia meninju bahu Cakka dengan pelan. Cakka sendiri mengaduh namun tetap terkikik geli.
“Tapi sori nih Cak, gue sama Sivia mau ada urusan jadi nggak bisa nonton kalian latihan. Nggak pa-pa kan?” tanya Ify.
“Urusan apaan, Fy? Urusan hati?” kekeh Cakka.
“Bacot banget sih, Cak. Udah dulu ye gue sama Ify pergi dulu biar nggak kesorean pulangnya,” cetus Sivia.
Cakka hanya mengangguk lalu berdadah-dadahria dengan dua gadis yang kemudian membentangkan jarak itu. Baginya, dua gadis tersebut dan  juga satu lagi yang tak lain adalah Agni adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Sejak mereka hadir, dunianya yang abu-abu berubah jadi pelangi.
Seperti yang pernah ia katakan pada Ify, Cakka tak akan pernah meninggalkan mereka dan jika suatu saat ia kembali pada The Wanted itu karena dia berbagi Ify, Sivia dan Agni. Begitu mengetahui kenyataan kedekatan Ify dan Sivia dengan Rio dan Gabriel, dia berharap Alvin dan Shilla juga akan menerima kehadiran sahabat-sahabat barunya.
***
Sivia dan Ify mulai mencari-cari Gabriel dan Rio yang berada di parkiran. Ternyata dua pemuda itu sengaja berdiri di belakang plang besar sehingga tak akan ada anak yang curiga.
“Kok ngumpet-ngumpetan sih? Malu ya ketemu sama kita?” ceplos Sivia.
“Langsung aja ya, takut kesorean,” ujar Ify mengalihkan perhatian.
Baik Gabriel maupun Rio sama-sama bernafas lega karena tak harus menjawab pertanyaan Sivia. Jelas saja, menjawab pertanyaan tadi sama saja cari mati.
“Kita ikut Gabriel sama Sivia dulu ya, belajarnya nanti sambil makan siang,” sahut Rio membuat Sivia menekuk wajahnya.
“Kenapa muka lo?” tanya Gabriel ke Sivia.
“Lo nggak akan traktir mereka juga kan? Kalo iya, mending jatah mereka buat gue aja,” jawab Sivia tanpa dosa.
Sebagai sahabat, Ify spontan menoyor sahabatnya tersebut dan berkata jaga image kek dengan pelan. Sementara Gabriel dan Rio terkekeh melihat kelakuan dua gadis itu yang sebenarnya sudah sering mereka saksikan akhir-akhir ini.
“Gue traktir Ify, Gabriel traktir elo,” kata Rio.
“Ify aja nih?” sahut Sivia masih tanpa dosa.
“Buset. Terus lo dapet dua traktiran sekaligus gitu?” sinis Ify.
“Udah udah, kita jalan dulu aja. Nanti apapun yang kalian mau kita yang bayarin deh sebagai ucapan terima kasih,” ceplos Gabriel membuat Sivia sumringah.
“Sering-sering aja Fy kita main sama mereka, lumayan ngirit uang saku,” bisik Sivia.
“Suka-suka lo aja,” balas Ify.
Mereka pun naik ke mobil Gabriel. Awalnya, Sivia mau duduk di depan dengan songongnya tetapi lantas ditarik oleh Ify supaya menemaninya duduk di belakang. Gabriel dan Rio tertawa kecil melihatnya.
Mobil itu melaju membelah kepadatan Jakarta. Di dalam mobil, Sivia terus saja bercerocos, berbeda dengan Ify yang fokus pada jalanan.
“Yel, udah pernah makan lesehan di pinggiran jalan belum?” tanya Sivia.
“Menurut lo?” balas Gabriel yang sedang menyetir.
“Menurut gue sih belum. Lagian lo bawa mobil mewah gini terus makannya di pinggiran jalan pasti malu kan?” tebak Sivia.
Gabriel meringis mendengarnya.
“Nggak usah didengerin, Yel. Sivia emang suka ngaco,” ceplos Ify tiba-tiba.
“Udah kelar ngalamunnya?” nimbrung Rio.
Detik itu Sivia lantas menggoda Rio dan Ify. Seakan sudah kebal dengan ulah sahabatnya, Ify hanya mengabaikan.
“Ngalamun apa sih?” tanya Rio.
Ify hendak membuka mulut tetapi sudah disela Sivia. “Mikirin elo lah! Cieee Rio pipinya merah aduh lucu banget sihhh, ternyata lo bisa salah tingkah juga ya,” goda Sivia.
“Ini kayaknya AC mobil Gabriel lagi rusak jadinya gue kepanasan,” elak Rio.
“Kok jadi nyalahin AC mobil gue? Lagian gue nggak ngerasa kepanasan kok,” bantah Gabriel bersekutu dengan Sivia.
Ify hanya geleng-geleng kepala karena tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejak dulu, Sivia memang suka sekali menggodanya jadi yang barusan bukan apa-apa.
***
Mata Cakka memincing saat mendapati sosok Agni di tepi lapangan indoor sedang menundukkan kepalanya. Buru-buru lelaki itu menghampiri sahabatnya dengan wajah sumringah. Akan tetapi, wajah itu berubah saat menyadari ada yang berbeda dari Agni. Gadis itu terlihat tak bersemangat.
“Ag, lo kenapa?” tanya Cakka bingung.
Agni masih menundukkan kepalanya. Gadis itu membungkam.
“Agni...”
Agni terkesiap kala jemari Cakka tiba-tiba bergerak mengangkat dagunya hingga wajahnya menengadah. Cakka menahan nafasnya selama beberapa detik. Agni menangis....
“Agni, lo kenapa? Bilang sama gue,” ujar Cakka panik.
Pemuda itu membawa Agni ke dalam pelukannya lalu mengusap lembut puncak kepala Agni. Tangis itu bukannya semakin mereda justru semakin menjadi. Agni terisak-isak, menumpahkan seluruh air matanya dalam rengkuhan Cakka.
Selama beberapa detik mereka berada di posisi tersebut. Setelah tangis itu mereda, barulah Cakka angkat bicara.
“Gue anterin pulang ya,” ujarnya pelan.
Agni hanya menganggukkan kepala lalu menggurai pelukan mereka. Detik berikutnya Cakka mencari Debo untuk meminta ijin. Meski sedikit bingung, Debo membiarkan Cakka dan Agni meninggalkan lapangan indoor.
Di lain sisi, Shilla yang baru sampai rumah merebahkan tubuhnya di sofa sebelum naik ke kamarnya. Tak lama kemudian suara mobil di halaman membuat Shilla terbangun dari posisi sebelumnya. Itu adalah suara mobil kedua orang tuanya.
“Papa sama Mama kenapa?” gumam Shilla.
Selanjutnya pintu rumah itu terbuka dan menampilkan wajah masam dari kedua orang tuanya. Entah mengapa, perasaan tak enak menyergap Shilla secara tiba-tiba.
“Shilla,” gumam mamanya tertahan.
“Itu surat apa, Ma?” tanya Shilla menunjuk berkas-berkas di tangan mamanya.
Dia bisa menangkap dengan jelas saat kedua orang tuanya berubah panik dan saling melirik satu sama lain. Kemelut perasaan tak enak itu lagi-lagi datang.
“Ini...”
“Berkas-berkas kantor. Emangnya apa lagi, Shil?” potong papanya cepat.
Dengan cepat Shilla merebut berkas-berkas tersebut dari tangan mamanya. Mata gadis itu terbelalak.
“Surat Perceraian? Jelasin ke Shilla ini maksudnya apa!” tandas Shilla.
“Shilla...”
“Ini nggak bener kan Pa, Ma? Kalian nggak akan cerai kan? Ini pasti Shilla salah baca. Mana mungkin kalian cerai,” racau Shilla sambil terkikik paksa. Tanpa sadar ia tak bisa menahan air matanya.
“Maafkan kami Shilla. Kami bersama atau tidak, kami tetap sayang sama kamu,” ujar papanya membuat Shilla hancur.
“Kalian emang nggak pernah ngertiin perasaan Shilla,” tandas Shilla lantas menyahut kunci mobilnya lalu meninggalkan rumah.
“Shilla...”
Kedua orang tuanya hanya menatapi anak gadisnya tersebut dengan pandangan nanar. Tak ada niatan untuk mencegah putri semata wayangnya supaya tetap tinggal.
***
Shilla men-dial nomor Gabriel berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Dia menyerah lalu menghubungi Alvin. Tak perlu menunggu lama karena Alvin dengan cepat menjawab teleponnya.
“Halo, Vin...”
“Shilla lo kenapa? Lo nangis? Lo dimana sekarang, Shil? Tell me.”
“Danau,” sahut Shilla pelan.
“Sepuluh menit lagi gue sampai.”
Sambungan telepon itu terputus. Shilla menyimpan ponselnya lalu menatap lurus ke arah danau yang terbentang di hadapannya.
Seperti janji Alvin, pemuda itu sampai tepat sepuluh menit setelah menutup telepon. Saat mendengar suara Shill tadi, dia benar-benar panik dan menerobos jalanan dengan kecepatan penuh hanya karena takut terjadi sesuatu pada gadisnya.
“Lo kebut-kebutan ya?” tanya Shilla tanpa mengalihkan pandangan.
Tanpa membalas, Alvin membawa Shilla ke dalam rengkuhannya.
“Nangis aja Shil... nangis sampai lo nggak  bisa nangis lagi,” lirih Alvin.
Selanjutnya Alvin bisa merasakan bahunya basah. Air mata yang awalnya ditahan mati-matian meluruh begitu saja mendengar ucapan Alvin. Sampai sepuluh menit kemudian, tangis itu belum mereda, tetapi Alvin dengan setia membiarkan gadis itu membasahi bahunya tanpa bekata apa-apa.
Alvin bisa merasakan luka seperti apa yang dirasakan Shilla saat ini meski ia belum tahu penyebabnya. Seperti yang pernah ia katakan, gadis ini adalah gadis terkuat, gadis yang paling tegar dan tak mudah menumbangkannya. Jadi, jika ia mengeluarkan air mata seperti ini, luka itu pasti sangat menyayat hatinya.
Thanks,” gumam Shilla mengurai pelukannya.
“Nggak perlu berterima kasih,” balas Alvin tersenyum.
“Orang tua gue cerai, Vin,” ujar Shilla pelan.
Pemuda itu sedikit terkejut tapi tak berkomentar apa-apa. Dia hanya ingin membiarkan Shilla meledakkan semua yang dipendamnya.
“Gue nggak tahu kenapa mereka cerai padahal gue pikir hubungan mereka baik-baik aja. Setelah gue pikir-pikir, gue baru sadar sesuatu, setiap Mama di rumah itu artinya Papa nggak di rumah dan sebaliknya.”
“Mereka pasti punya alasan yang nggak bisa lo ngerti, Tuan Puteri,” balas Alvin seraya meletakkan tangannya di bahu Shilla.
“Alasan apa? Alasan untuk meninggalkan gue sendirian?” bantah Shilla.
Alvin menggeleng, “Lo nggak sendirian. Ada gue.”
“Gue capek sama kelakuan mereka, Vin. Mereka bertingkah seolah-olah gue nggak pernah ada di kehidupan mereka. Gue tuh merasa nggak dianggap!” racau Shilla.
“Ada gue, Tuan Puteri,” balas Alvin lagi.
Hanya itu yang bisa dikatakan Alvin karna memang itulah kenyataannya. Alvin akan selalu ada untuk Shilla sekalipun suatu saat nanti gadis itu menemukan seseorang yang lebih darinya. Alvin tetap ada.
***
“Shilla nelponin lo terus?” tanya Rio tak sengaja melirik ponsel Gabriel.
Pemuda itu hanya menganggukkan kepala lalu menyimpan teleponnya kembali.
“Kalau diangkat bisa rusuh, apalagi kalo sampe dia denger suara Sivia sama Ify,” jawab Gabriel pelan.
Rio mengangguk sebagai tanda persetujuan. Dua pemuda itu tengah menunggu Sivia dan Ify yang sedang membeli es krim, tak lama kemudian mereka kembali dan menyerahkan es krim untuk Gabriel dan Rio.
“Kita mau ke mana nih?” tanya Ify.
“Main time zone yuk!” ajak Sivia.
“Males main sama elo ah. Lo kan suka curang mulu,” balas Ify.
Sivia mencebikkan bibirnya, “Jangan suka fitnah dong! Kan gue curang sekali doang pas kepepet karna nggak bawa duit.”
“Sekali mbahmu. Pas kita ke sini bareng Cakka sama Debo itu lo juga curang ya nyet,” bantah Ify nyolot.
“Itu sih emang karna lebih jago Cakka daripada Debo. Untung gue setim sama Cakka jadi nggak kena deh,” balas Sivia tanpa dosa.
“Kalian pernah jalan bareng Cakka sama Debo? Maksudnya double date?” tanya Gabriel spontan.
Ify dan Sivia saling pandang lalu melirik ke arah Gabriel. Sepertinya mereka bercerocos tanpa mengingat ada siapa saja di tempat ini.
“Bukan double date. Nggak sengaja ketemu aja, mereka habis latihan basket,” jawab Ify sekaligus meralat.
“Emang kenapa kalo double date? Cakka sama Debo kan single wleee,” celetuk Sivia.
“Hmm, nggak. Si Rio nanti patah hati kalo Ify sama Debo. Ya kan, Yo?” ceplos Gabriel  membuat Rio menginjak kaki sahabatnya itu.
Padahal Rio hanya menyimak saja. Kenapa dia jadi dibawa-bawa?
“Daripada ribut terus, mending kita ke time zone sekarang. Yuk!” ajak Ify.
Di belakangnya, Sivia sibuk mencibir gadis itu. Bukankah tadi dia menolak keras diajak ke time zone? Memang, Ify senang sekali mengalihkan perhatian supaya tak ada obrolan panjang yang membuatnya merasa terpojokkan. Dasar licik, begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran Sivia.
Sesampainya di lokasi time zone, mereka lantas membuat kesepakatan.
“Jadi, kita bagi jadi dua tim, tim yang kalah wajib traktir makan tim yang menang. Gimana?” usul Gabriel.
“Yahh... kalo kita kalah gimana, Fy?” cetus Sivia menatap Ify melas.
“Siapa bilang lo setim sama Ify?” sela Gabriel.
“Terus?”
Gabriel terkekeh sebentar lalu melirik Rio, “Rio setim sama Ify dan gue sama elo.”
“Kok gitu?” protes Ify.
“Kalo gue yang kalah, gue yang berkewajiban nraktir, bukan Sivia. Kalo tim lo kalah nih Fy, Rio yang nraktir. Kalo kalian mau setim sih nggak pa-pa asal sanggup nraktir gue sama Rio aja. Lo kan tahu selera makan kita,” jelas Gabriel licik.
“Tai. Ini namanya manipulatif. Yaudah, gue sama Rio. Bodo amat menang apa kalah, toh bukan gue yang nraktir,” cerocos Ify bersumpah serapah.
“Setuju sama Ify!” sambung Sivia.
Rio benar-benar tergelak. Sumpah, dia pun tak tahu Gabriel punya akal sebusuk itu. .Bilang saja dia ingin dekat-dekat dengan Sivia. Ah, bukankah dia sendiri ingin dekat dengan Ify? Kalau begitu, Rio berada di pihak Gabriel.
“Permainan pertama... basket.”
***
Sebagai lelaki yang dididik bertanggung jawab oleh kedua orang tuanya, Cakka mengantarkan Agni dan menjelaskan kronologisnya pada wanita yang tak lain adalah mama dari Agni. Setelah dirasa cukup, pemuda itu kembali ke sekolah dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Apa yang terjadi pada gadis itu?
“Mungkin dia lagi nggak enak badan,” sangkalnya mencoba tak memikirkan.
Dia harus kembali ke lapangan indoor dengan cepat sebelum Patton datang dan berubah pikiran. Biar bagaimanapun, Patton lah yang sudah menjadikan posisinya terasa penting di Cakrawala, jadi dia tak boleh mengecewakan kakak kelasnya itu.
Beruntung sekali jalanan tak begitu ramai dan pemuda itu dapat menerobos menggunakan motornya dengan gesit. Saat melewati danau, tanpa sengaja mata Cakka menangkap sosok Shilla bersama Alvin. Danau itu... danau yang dulu sering menjadi tempat bermain The Wanted.
Cakka bisa melihat Shilla menundukkan kepalanya, lalu mengusap matanya dengan cepat. Gadis itu menangis? Pikiran Cakka sontak terbagi antara ingin menghampiri dan ingin cepat sampai ke sekolah. Lantas, dia memilih pilihan kedua. Dia tahu, keberadaan Alvin di sana sudah cukup membuat hatinya tenang.
Tak sampai dua puluh menit, Cakka sampai di parkiran Budi Karya. Parkiran sudah tampak lenggang karna hanya ada beberapa motor yang bertengger di sana. Tentunya motor-motor itu adalah milik anak basket yang masih latihan. Kemudian, Cakka buru-buru menuju lapangan indoor.
“Cakkaaa.”
Pemuda itu tersenyum rikuh seraya meminta maaf atas keterlambatannya.
“Tadi nganterin Agni dulu, Kak. Kayaknya dia lagi sakit,” ujar Cakka pada Patton.
“Iya gue tahu. Makanya ini gue mau nanya, dia sakit apa? Dia jarang banget sakit soalnya. Belum pernah juga dia ninggalin latihan karna sakit,” balas Patton membuat Cakka tersentak.
“Gitu, Kak? Mungkin tadi sakitnya bener-bener sakit,” kata Cakka ambigu.
“Ya udah nanti malem gue coba telepon dia aja. Lo latihan gih, yang lain udah nungguin. Gue mau pulang dulu ya soalnya ada les.”
Cakka hanya menganggukkan kepalanya lalu bergabung dengan tim Cakrawala. Sejujurnya, pikirannya masih tertuju pada Agni. Kalau Patton saja sampai seheran itu, artinya ada sesuatu yang lain—yang mungkin disembunyikan gadis itu.
“Cak, fokus,” tegur Debo.
Kali ini Cakka mengesampingkan Agni terlebih dahulu dan memilih untuk fokus latihan seperti yang diperintahkan Debo. Biar bagaimanapun, pertandingan tinggal menghitung hari sementara latihan mereka akan dihentikan H-5 dan kembali latihan terakhir pada H-1.
Patton menyempatkan diri untuk melihat latihan meski hanya sejenak selalu terpukau saat mengamati Cakka. Gerakan dribble Cakka semakin gesit. Setiap harinya, pemuda itu mengalami kemajuan yang berarti dia benar-benar serius dengan Cakrawala. Bahkan, Patton tak pernah menyesal menghadiahkan jabatan kapten sementara karena pemuda itu membuktikan kerja kerasnya pada Patton. Jika suatu saat Patton resmi meninggalkan Cakrawala, dia tak akan khawatir karena ada Cakka yang bisa diandalkan.
Puas mengamati Cakka, Patton memutuskan untuk bergegas menuju tempat les. Saat ini dia sudah bisa tenang jika dia memilih untuk memprioritaskan Ujian Nasional yang semakin dekat.
Sudah satu setengah jam bermain, semuanya berjalan dengan mulus. Debo tampaknya paling bahagia diantara semuanya karena laki-laki itu kini tetap berlatih disaat yang lain memilih istirahat. Cakka sendiri membiarkannya karena dia tahu mood Debo sedang bagus, jadi tak ada salahnya juga. Asalkan permainan basket tidak didasari dengan pelampiasan, Cakka akan mendukung.
“Lawan terberat kita tahun ini masih dari sekolah yang sama?” tanya Cakka pada teman-teman seperjuangannya.
“Iya, Cak,” sahut Ian.
“Nih ya, gue kasih tahu, sekasar apapun permainan basket lawan, kita harus bisa mengendalikan diri. Kalau mereka matik api, kita bikin hujan, jadi kita nggak akan kebakar,”  ucap Cakka pada teman-teman setimnya.
Melihat itu, Debo ikut bergabung.
“Salut gue sama lo. Meski lama nggak main basket, jiwa lo itu  sepenuhnya masih milik basket,” cetus Debo.
Yang lain ikut setuju dengan pendapat Debo. Sementara Cakka, dia hanya menyunggingkan senyumnya dengan sendu. Sekali lagi, Cakka teringat kebersamaannya dengan The Wanted.
***
Agni meringkuk di pojokan kamarnya. Sejak pulang diantarkan Cakka, gadis itu tak keluar dari kamar sama sekali. Dia masih memikirkan kejadian tak terduga yang dialaminya mengenai Sion. Dia tak pernah tahu begitu dalam luka yang ia torehkan pada lelaki yang mencintainya dengan setulus hati.
Tak pernah dibayangkannya bahwa selama ini ialah tokoh antagonis dalam permainannya. Dia melukai perasaan Sion, membuat pemuda itu kehilangan kepercayaan pada siapapun, mungkin pula pada dirinya sendiri. Dia pula yang melukai perasaan Shilla dengan merebut kedudukan Shilla dalam hidup Cakka. Harusnya dia sadar, bukan Cakka yang datang padanya, tetapi dialah yang meminta Cakka untuk datang padanya. Dia yang membuat fokus Cakka pada Shilla mengabur. Lalu, atas nama cinta Agni datang membuat posisi Shilla benar-benar tak tampak.
Shilla benar. Seharusnya dia malu karena telah merusak persahabatan yang dibangun selama bertahun-tahun. Lantas, masih layak kah Agni berada di samping Cakka? Masih layak kah Agni gembar-gembor pada pemuda itu tentang sahabat dan mimpi? Sedangkan jauh di lubuk hatinya, Agni tetaplah seseorang yang mencintai Cakka dengan caranya sendiri, tentunya sewaktu-waktu cinta dan keegoisan itu tak dapat dibedakan lagi. Dan inilah tepatnya. Ini puncaknya.
Agni tak tahu harus berbagi pada siapa. Dia terlalu naif.
“Agni sayang,” panggil mamanya.
Gadis itu bergeming. Dia membiarkan mamanya membuka pintu dan menerobos masuk ke areanya. Wanita itu sedikit mengendap supaya Agni tak terganggu.
“Kadang cinta emang menyakitkan,” ujar mamanya tiba-tiba.
Walau terkejut dengan ucapan sang mama, Agni tetap bungkam. Mungkin itu yang dinamakan naluri seorang ibu. Meski Cakka telah menjelaskan bahwa Agni sakit, mamanya tetap tak percaya karena Agni tak akan selemah ini. Saat itu pula dia tahu, anaknya memandang Cakka dengan penuh luka. Mungkin benar putrinya sakit, tetapi sakit yang dirasakannya tak berupa.
“Orang-orang bersembunyi di balik kata cinta sampai tanpa sadar dia menciptakan luka. Bukan hanya orang lain yang terluka, tapi juga dirinya sendiri.”
Detik itu Agni merengkuh mamanya dengan erat. Saat ini, hanya mamanya yang bisa mengerti.
***
“Senyum, Tuan Puteri. Nanti malam kan kita nyiapin pesta ulang tahun lo. Bareng Gabriel pula,” ucap Alvin.
Shilla benar-benar tersenyum tapi justru membuat perih hati Alvin. Sedari tadi dia menghibur gadis itu, tapi tak berhasil. Hanya dengan menyebutkan nama Gabriel sekali, Shilla menyunggingkan senyuman manis. Entah Alvin harus berterima kasih atau justru menghakimi Gabriel dalam hatinya. Untuk kali ini, Alvin memilih opsi yang pertama. Apapun, asal Shilla tidak terluka.
“Sekarang gue temenin balik ya, lo perlu berbenah diri,” kata Alvin.
Sontak Shilla mengambil ponselnya lalu menjadikan benda itu sebagai cermin dadakan. Benar saja, rambutnya berantakan dan matanya sembab. Walau begitu, Alvin tetap melihat kecantikan dalam diri Shilla.
“Kalau balik ke rumah lo aja gimana?” tawar Shilla.
“Gue kan nggak punya baju cewek,” kekeh Alvin.
“Nggak pa-pa yuk. Ada gue, Tuan Puteri,” tambah Alvin manis sekali.
Sayangnya Shilla menganggap apa yang dilakukan Alvin hanyalah bentuk perhatian sahabat ke sahabatnya. Apalagi selama ini Alvin memang sering menghabiskan waktu bersamanya.
Akhirnya gadis itu setuju untuk kembali ke rumahnya. Meski kemungkinan bertemu kedua orang tuanya sangat kecil, Shilla tetap merasa enggan. Jadilah ia memastikan Alvin benar-benar ikut. Mereka lantas menuju rumah Shilla dengan mobil masing-masing. Demi membuat Alvin tak berubah pikiran, gadis itu menyuruh Alvin melajukan mobilnya terlebih dahulu sementara Shilla mengikuti di belakangnya.
Sesampainya di rumah Shilla, seperti dugaan, rumah itu sepi seperti biasa. Itu artinya kedua orangnya pergi lagi. Terkadang Shilla heran, mengapa mereka membangun rumah sebesar ini jika tak dihuni? Jika hanya meninggalkan seorang gadis yang kesepian di dalamnya? Pikiran itu segera ditepis sebelum emosi Shilla memuncak kembali.
“Gue nggak harus nemenin di kamar lo kan?” canda Alvin mencairkan suasana.
Tinjuan kecil Shilla reflek mengenai bahu Alvin dan membuat pemuda itu terkikik geli. Tak urung, Shilla ikut tertawa dan melupakan kesedihannya.
“Tunggu ya,” ucap Shilla.
“Iya deh yang mau dandan cantik buat Gabriel,” goda Alvin.
Sekali lagi, Shilla terkekeh lalu meninju bahu Alvin dengan pelan. Sepeninggalan gadis itu, Alvin melepaskan topengnya. Tak ada lagi wajah tengil  untuk menggoda Shilla, tak ada senyum sumringah yang ditunjukkannya pada gadis itu. Ini Alvin yang sebenarnya. Alvin yang tak terbaca oleh siapapun.
Hati Alvin begitu perih. Andai saja Shilla mau melihat sedikit saja luka yang ia torehkan, tapi biarlah, biar gadis itu tak pernah tahu perasaannya yang sesungguhnya. Biarlah perasaan yang ia pendam bertahun-tahun tetap berada di tempatnya. Apapun, apapun akan ia lakukan demi kebahagiaan Shilla. Tuan Puterinya. Sebab ia tahu persis, tak akan mudah menggeser posisi Gabriel yang telah terpatri di sana.
Terkadang, Alvin ingin menyerah. Tapi kenyataan memang tak pernah sesuai dengan ekspektasi. Setiap kali Alvin mencoba pergi, dia justru bertahan di samping Shilla seolah-olah hanya gadis itu tempatnya pulang.
***
Tim Rio-Ify berhasil memenangkan battle ini. Mereka ber-tos-ria dan tanpa sadar membuang segala beban yang dirasakan Rio akhir-akhir ini karena pekerjaan kantor. Sementara itu, Gabriel sama sekali tak kecewa meskipun dia tak berhasil mengalahkan kekompakan Rio dan Ify. Berbeda sekali dengan Rio dan Ify yang kompak, dia dan Sivia memang lebih banyak nyolot-nyolotan seperti biasa sehingga lawan mereka dapat mengambil celah kemenangan dengan cepat.
Menyaksikan tawa Rio yang lepas sedari tadi, Gabriel langsung sadar bahwa sahabatnya telah menemukan apa yang selama ini ia cari. Ify. Sadar atau tidak, Ify mengubah Rio menjadi manusia sungguhan, bukan robot seperti biasanya. Itu artinya Ify, Sivia dan gadis bernama Agni memang sengaja dikirim Tuhan untuk menunjukkan keindahan dunia yang tak pernah mereka jamah sebelumnya. Dunia yang lebih indah dari sekedar The Wanted. Dunia yang dulu mereka hindari mati-matian.
“Jadi, siap traktir kita, Gabriel?” tanya Ify seraya mengerling.
“Kok lo jadi genit sih, Fy?” protes Sivia.
“Nggak ah. Lo aja yang cemburu makanya bilang gue genit,” sahut Ify acuh tak acuh.
“Ini fans-fans gue kenapa jadi fanwar sih? Yuk deh gue traktir sesuka kalian. Tapi, temenin gue sama Rio nyari barang buat cewek dulu ya,” balas Gabriel.
Mendengar kalimat barang buat cewek membuat Ify dan Sivia salah mengartikan. Kalimat itu benar-benar ambigu. Sesaat, Gabriel tersadar akan ucapannya lalu cepat-cepat meralat sebelum pikiran dua gadis itu melayang jauh.
“Kado ulang tahun buat cewek,” ralat pemuda itu.
“Buat Shilla?” tebak Ify tepat sasaran.
Baik Gabriel maupun Rio tampak terperangah. Sepertinya Ify memang mudah sekali peka, berbeda dengan Sivia yang harus diucapkan dengan gamblang, barulah gadis itu akan mengerti.
“Kita temenin mereka kan, Siv?” tanya Ify pada Sivia.
Meski masih badmood dengan Shilla, gadis itu tetap menganggukkan kepalanya. Lagipula dia tak mungkin menolak karena Gabriel sudah bersedia mengajaknya jalan-jalan hari ini. Bahkan, dia pula yang membayar semuanya. Sivia merasa berhutang budi.
“Shilla sukanya apa?” tanya Ify.
“Kadoin tai ayam aja,” cetus Sivia yang langsung dipelototi Ify.
“Bacot lo di-rem dulu nyet. Ini kita mau serius bantuin mereka tahu,” omel Ify.
Jika sudah begini, Ify jadi seperti kakak yang mengomeli adiknya. Sementara Sivia hanya bisa mencibir. Sepertinya memang cuma Sivia yang senewen setiap ada hal berkaitan dengan Shilla.
“Kalau lo nggak mau bantuin nggak pa-pa kok, Siv,” ceplos Gabriel.
Sivia mendadak kikuk ditegur seperti itu. Meski tidak secara langsung, dia bisa merasakan Gabriel tak suka dengan sikap Sivia yang berlebihan terhadap Shilla. Biar bagaimanapun, Shilla adalah sahabat pemuda itu.
“Maaf deh. Gue masih kesel. Nih nih nih, gue lagi menata hati untuk ikhlas. Tapi untuk sementara bisa nggak kalau namanya nggak usah disebut dulu?” tanya Sivia mulai bernegoisasi.
Deal,” sahut Gabriel pendek.
Ternyata Gabriel memilih masuk ke toko sepatu terlebih dahulu. Sivia meneguk ludahnya ketika melihat jajaran sneakers terpajang di sana. Ketika Gabriel lebih memilih untuk melihat-lihat high heels, Sivia berbelok arah untuk melihat-lihat sneakers dan meringis membaca harganya.
Sneakers yang paling menarik minat Sivia masih berada di tempatnya. Terakhir kali dia melihat sneakers ini pada saat ditinggal Deva dan Lintar, lalu dia ditinggalkan oleh Alvin.
“Ini cocok nggak buat Shilla?” tanya Gabriel pada Ify yang berada di dekatnya.
Ify mengamati dengan detail lalu menggelengkan kepala. Lantas, gadis itu meraih high heels lain yang berada di dekat Rio. High heels berwarna tosca mengkilap dan dibalut dengan diamond di beberapa sudut.
“Kalau ini gimana? Lebih glamour dan Shilla banget,” usul Ify.
Dengan senyum lebar, Gabriel menganggukkan kepala dan segera membayar high heels pilihan Ify. Dia berharap Shilla akan menyukainya dan dia akan mengatakan bahwa itu adalah pilihan Ify. Kira-kira, apa reaksinya?
“Lo sendiri mau kadoin apa buat Shilla, Yo?” tanya Ify pada Rio.
“Gue udah ada kado buat dia. Tiket konser Taylor Swift sekaligus merchandise eksklusif Taylor yang udah ditandatangani,” jawab Rio membuat Ify terperangah.
Betapa beruntungnya Shilla. Dia pun akan dengan senang hati menerima jika diberikan tiket konser Taylor.
“Loh, Sivia mana?” cetus Gabriel.
Barulah mereka menyadari Sivia tengah mengamati sneakers dengan wajah serius hingga tak mendengar kepanikan teman-temannya. Setelah menerima bungkusan high heels untuk Shilla, Gabriel berniat mengomeli Sivia tetapi langkah itu terhenti saat mendengar celetukan Ify.
“Sneakers incerannya belum kebeli ternyata.”
“Dia ngincer sneakers?” tanya Gabriel dengan reflek.
Ify mengangguk, “Udah berbulan-bulan dia ngincer sneakers yang lagi diliatnya itu.”
Sebuah ide terlintas. Gabriel membayar sneakers itu secara khusus untuk dihadiahkan pada Sivia. Wajah Sivia yang awalnya mendung berubah cerah kembali. Dia benar-benar tak menyangka akan dihadiahi sneakers impiannya.
“Ini serius buat gue, Yel?” tanya Sivia tak percaya.
“Bener. Lo jaga baik-baik ya dan anggap aja itu hadiah karena lo bersedia nemenin gue nyariin kado buat orang yang bikin lo senewen,” canda Gabriel.
Hanya saja, Sivia terlanjur terharu. Sivia memeluk Gabriel sebagai tanda terima kasih. Rio dan Ify saling melirik lalu terkikik geli.
***

Bersambung...
Saya cuma berharap penantian kalian terbayarkan dengan saya post part 11. Itu juga kalo ada yang nungguin. Sekali lagi, untuk wattpad, sengaja saya privacy sehingga kalian yang baca WYHM di wattpad harus follow akun saya dulu wattpad.com/fannysalma terima kasihhh

NB: Saya nggak bisa janji untuk part selanjutnya itu kapan dilanjut :(

0 komentar:

Posting Komentar