Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Hellooo. Saya kembali! Entah ini masih dalam rangka #BangkitkanCRAGSISA apa tidak karena ini super ngaret. Maklum, manusia bisa berencana tapi yang menentukan semuanya tetap Allah Yang Maha Esa ._.
Niatnya mau post tanpa ngaret eh ada aja tugas kuliah yang jadi penghalang. Setiap kali buka laptop, gatel sekali pingin buka file WYHM tapi nyatanya tetap prioritaskan pendidikan. Sebelum curhat ini semakin panjang, langsung saja ya....
Niatnya mau post tanpa ngaret eh ada aja tugas kuliah yang jadi penghalang. Setiap kali buka laptop, gatel sekali pingin buka file WYHM tapi nyatanya tetap prioritaskan pendidikan. Sebelum curhat ini semakin panjang, langsung saja ya....
Hope you like it guys
11
Bel
pulang sekolah memaksa Ify dan Sivia untuk bergegas meninggalkan kelas dan
menuju lapangan indoor. Sesampainya,
mereka hanya menemukan Cakka yang tengah mengganti kemejanya dengan kaos
kebanggaan Cakrawala. Dua gadis itu pun menghampiri.
“Woi
curut!” seru Sivia tepat di telinga Cakka.
Cakka
reflek berjingkat lalu mengelus dadanya seraya mendengus sebal.
“Untung
gue nggak punya penyakit jantung. Kalo punya, kayaknya gue udah tewas di tempat
terus nggak jadi latihan,” dumel Cakka.
“Hus!
Pamali ngomong begitu, Cak,” tegur Ify.
Pemuda
itu hanya nyengir sementara Sivia yang menjadi tersangka justru cekikikan.
Sivia memang paling senang menjahili Cakka karna pemuda itu akan
mendumel—ngawur—secara spontan dan Ify akan menegur. Bagi Sivia, moment seperti itu sangat lucu.
“Agni
mana?” tanya Ify mengedarkan pandangan.
“Biasanya
dia paling semangat kalo latihan basket,” cetus Sivia.
“Mungkin
masih ada guru. Kalian duduk aja dulu, gue juga mau ganti celana nih,” ujar
Cakka menunjuk celana yang ia kenakan.
“Tenang
aja gue gantinya di ruang ganti kok, bukan di depan kalian,” tambah Cakka.
Sontak
Sivia meninju bahu Cakka dengan pelan. Cakka sendiri mengaduh namun tetap
terkikik geli.
“Tapi
sori nih Cak, gue sama Sivia mau ada urusan jadi nggak bisa nonton kalian
latihan. Nggak pa-pa kan?” tanya Ify.
“Urusan
apaan, Fy? Urusan hati?” kekeh Cakka.
“Bacot
banget sih, Cak. Udah dulu ye gue sama Ify pergi dulu biar nggak kesorean
pulangnya,” cetus Sivia.
Cakka
hanya mengangguk lalu berdadah-dadahria dengan dua gadis yang kemudian
membentangkan jarak itu. Baginya, dua gadis tersebut dan juga satu lagi yang tak lain adalah Agni
adalah bagian terpenting dalam hidupnya. Sejak mereka hadir, dunianya yang
abu-abu berubah jadi pelangi.
Seperti
yang pernah ia katakan pada Ify, Cakka tak akan pernah meninggalkan mereka dan
jika suatu saat ia kembali pada The Wanted itu karena dia berbagi Ify, Sivia
dan Agni. Begitu mengetahui kenyataan kedekatan Ify dan Sivia dengan Rio dan
Gabriel, dia berharap Alvin dan Shilla juga akan menerima kehadiran
sahabat-sahabat barunya.
***
Sivia
dan Ify mulai mencari-cari Gabriel dan Rio yang berada di parkiran. Ternyata
dua pemuda itu sengaja berdiri di belakang plang besar sehingga tak akan ada
anak yang curiga.
“Kok
ngumpet-ngumpetan sih? Malu ya ketemu sama kita?” ceplos Sivia.
“Langsung
aja ya, takut kesorean,” ujar Ify mengalihkan perhatian.
Baik
Gabriel maupun Rio sama-sama bernafas lega karena tak harus menjawab pertanyaan
Sivia. Jelas saja, menjawab pertanyaan tadi sama saja cari mati.
“Kita
ikut Gabriel sama Sivia dulu ya, belajarnya nanti sambil makan siang,” sahut
Rio membuat Sivia menekuk wajahnya.
“Kenapa
muka lo?” tanya Gabriel ke Sivia.
“Lo
nggak akan traktir mereka juga kan? Kalo iya, mending jatah mereka buat gue
aja,” jawab Sivia tanpa dosa.
Sebagai
sahabat, Ify spontan menoyor sahabatnya tersebut dan berkata jaga image kek dengan pelan. Sementara
Gabriel dan Rio terkekeh melihat kelakuan dua gadis itu yang sebenarnya sudah
sering mereka saksikan akhir-akhir ini.
“Gue
traktir Ify, Gabriel traktir elo,” kata Rio.
“Ify aja
nih?” sahut Sivia masih tanpa dosa.
“Buset.
Terus lo dapet dua traktiran sekaligus gitu?” sinis Ify.
“Udah
udah, kita jalan dulu aja. Nanti apapun yang kalian mau kita yang bayarin deh
sebagai ucapan terima kasih,” ceplos Gabriel membuat Sivia sumringah.
“Sering-sering
aja Fy kita main sama mereka, lumayan ngirit uang saku,” bisik Sivia.
“Suka-suka
lo aja,” balas Ify.
Mereka
pun naik ke mobil Gabriel. Awalnya, Sivia mau duduk di depan dengan songongnya
tetapi lantas ditarik oleh Ify supaya menemaninya duduk di belakang. Gabriel
dan Rio tertawa kecil melihatnya.
Mobil
itu melaju membelah kepadatan Jakarta. Di dalam mobil, Sivia terus saja
bercerocos, berbeda dengan Ify yang fokus pada jalanan.
“Yel,
udah pernah makan lesehan di pinggiran jalan belum?” tanya Sivia.
“Menurut
lo?” balas Gabriel yang sedang menyetir.
“Menurut
gue sih belum. Lagian lo bawa mobil mewah gini terus makannya di pinggiran
jalan pasti malu kan?” tebak Sivia.
Gabriel
meringis mendengarnya.
“Nggak
usah didengerin, Yel. Sivia emang suka ngaco,” ceplos Ify tiba-tiba.
“Udah
kelar ngalamunnya?” nimbrung Rio.
Detik
itu Sivia lantas menggoda Rio dan Ify. Seakan sudah kebal dengan ulah
sahabatnya, Ify hanya mengabaikan.
“Ngalamun
apa sih?” tanya Rio.
Ify
hendak membuka mulut tetapi sudah disela Sivia. “Mikirin elo lah! Cieee Rio
pipinya merah aduh lucu banget sihhh, ternyata lo bisa salah tingkah juga ya,”
goda Sivia.
“Ini
kayaknya AC mobil Gabriel lagi rusak jadinya gue kepanasan,” elak Rio.
“Kok
jadi nyalahin AC mobil gue? Lagian gue nggak ngerasa kepanasan kok,” bantah Gabriel
bersekutu dengan Sivia.
Ify
hanya geleng-geleng kepala karena tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sejak
dulu, Sivia memang suka sekali menggodanya jadi yang barusan bukan apa-apa.
***
Mata
Cakka memincing saat mendapati sosok Agni di tepi lapangan indoor sedang
menundukkan kepalanya. Buru-buru lelaki itu menghampiri sahabatnya dengan wajah
sumringah. Akan tetapi, wajah itu berubah saat menyadari ada yang berbeda dari
Agni. Gadis itu terlihat tak bersemangat.
“Ag, lo
kenapa?” tanya Cakka bingung.
Agni
masih menundukkan kepalanya. Gadis itu membungkam.
“Agni...”
Agni
terkesiap kala jemari Cakka tiba-tiba bergerak mengangkat dagunya hingga
wajahnya menengadah. Cakka menahan nafasnya selama beberapa detik. Agni
menangis....
“Agni,
lo kenapa? Bilang sama gue,” ujar Cakka panik.
Pemuda
itu membawa Agni ke dalam pelukannya lalu mengusap lembut puncak kepala Agni.
Tangis itu bukannya semakin mereda justru semakin menjadi. Agni terisak-isak,
menumpahkan seluruh air matanya dalam rengkuhan Cakka.
Selama
beberapa detik mereka berada di posisi tersebut. Setelah tangis itu mereda,
barulah Cakka angkat bicara.
“Gue
anterin pulang ya,” ujarnya pelan.
Agni
hanya menganggukkan kepala lalu menggurai pelukan mereka. Detik berikutnya
Cakka mencari Debo untuk meminta ijin. Meski sedikit bingung, Debo membiarkan
Cakka dan Agni meninggalkan lapangan indoor.
Di lain
sisi, Shilla yang baru sampai rumah merebahkan tubuhnya di sofa sebelum naik ke
kamarnya. Tak lama kemudian suara mobil di halaman membuat Shilla terbangun
dari posisi sebelumnya. Itu adalah suara mobil kedua orang tuanya.
“Papa
sama Mama kenapa?” gumam Shilla.
Selanjutnya
pintu rumah itu terbuka dan menampilkan wajah masam dari kedua orang tuanya.
Entah mengapa, perasaan tak enak menyergap Shilla secara tiba-tiba.
“Shilla,”
gumam mamanya tertahan.
“Itu
surat apa, Ma?” tanya Shilla menunjuk berkas-berkas di tangan mamanya.
Dia bisa
menangkap dengan jelas saat kedua orang tuanya berubah panik dan saling melirik
satu sama lain. Kemelut perasaan tak enak itu lagi-lagi datang.
“Ini...”
“Berkas-berkas
kantor. Emangnya apa lagi, Shil?” potong papanya cepat.
Dengan
cepat Shilla merebut berkas-berkas tersebut dari tangan mamanya. Mata gadis itu
terbelalak.
“Surat
Perceraian? Jelasin ke Shilla ini maksudnya apa!” tandas Shilla.
“Shilla...”
“Ini
nggak bener kan Pa, Ma? Kalian nggak akan cerai kan? Ini pasti Shilla salah
baca. Mana mungkin kalian cerai,” racau Shilla sambil terkikik paksa. Tanpa
sadar ia tak bisa menahan air matanya.
“Maafkan
kami Shilla. Kami bersama atau tidak, kami tetap sayang sama kamu,” ujar
papanya membuat Shilla hancur.
“Kalian
emang nggak pernah ngertiin perasaan Shilla,” tandas Shilla lantas menyahut
kunci mobilnya lalu meninggalkan rumah.
“Shilla...”
Kedua
orang tuanya hanya menatapi anak gadisnya tersebut dengan pandangan nanar. Tak
ada niatan untuk mencegah putri semata wayangnya supaya tetap tinggal.
***
Shilla
men-dial nomor Gabriel berkali-kali,
tapi tak ada jawaban. Dia menyerah lalu menghubungi Alvin. Tak perlu menunggu
lama karena Alvin dengan cepat menjawab teleponnya.
“Halo,
Vin...”
“Shilla lo kenapa? Lo nangis? Lo dimana
sekarang, Shil? Tell me.”
“Danau,”
sahut Shilla pelan.
“Sepuluh menit lagi gue sampai.”
Sambungan
telepon itu terputus. Shilla menyimpan ponselnya lalu menatap lurus ke arah
danau yang terbentang di hadapannya.
Seperti
janji Alvin, pemuda itu sampai tepat sepuluh menit setelah menutup telepon.
Saat mendengar suara Shill tadi, dia benar-benar panik dan menerobos jalanan
dengan kecepatan penuh hanya karena takut terjadi sesuatu pada gadisnya.
“Lo
kebut-kebutan ya?” tanya Shilla tanpa mengalihkan pandangan.
Tanpa
membalas, Alvin membawa Shilla ke dalam rengkuhannya.
“Nangis
aja Shil... nangis sampai lo nggak bisa
nangis lagi,” lirih Alvin.
Selanjutnya
Alvin bisa merasakan bahunya basah. Air mata yang awalnya ditahan mati-matian
meluruh begitu saja mendengar ucapan Alvin. Sampai sepuluh menit kemudian,
tangis itu belum mereda, tetapi Alvin dengan setia membiarkan gadis itu
membasahi bahunya tanpa bekata apa-apa.
Alvin
bisa merasakan luka seperti apa yang dirasakan Shilla saat ini meski ia belum
tahu penyebabnya. Seperti yang pernah ia katakan, gadis ini adalah gadis
terkuat, gadis yang paling tegar dan tak mudah menumbangkannya. Jadi, jika ia
mengeluarkan air mata seperti ini, luka itu pasti sangat menyayat hatinya.
“Thanks,” gumam Shilla mengurai
pelukannya.
“Nggak
perlu berterima kasih,” balas Alvin tersenyum.
“Orang
tua gue cerai, Vin,” ujar Shilla pelan.
Pemuda
itu sedikit terkejut tapi tak berkomentar apa-apa. Dia hanya ingin membiarkan
Shilla meledakkan semua yang dipendamnya.
“Gue
nggak tahu kenapa mereka cerai padahal gue pikir hubungan mereka baik-baik aja.
Setelah gue pikir-pikir, gue baru sadar sesuatu, setiap Mama di rumah itu
artinya Papa nggak di rumah dan sebaliknya.”
“Mereka
pasti punya alasan yang nggak bisa lo ngerti, Tuan Puteri,” balas Alvin seraya
meletakkan tangannya di bahu Shilla.
“Alasan
apa? Alasan untuk meninggalkan gue sendirian?” bantah Shilla.
Alvin
menggeleng, “Lo nggak sendirian. Ada gue.”
“Gue
capek sama kelakuan mereka, Vin. Mereka bertingkah seolah-olah gue nggak pernah
ada di kehidupan mereka. Gue tuh merasa nggak dianggap!” racau Shilla.
“Ada
gue, Tuan Puteri,” balas Alvin lagi.
Hanya
itu yang bisa dikatakan Alvin karna memang itulah kenyataannya. Alvin akan
selalu ada untuk Shilla sekalipun suatu saat nanti gadis itu menemukan
seseorang yang lebih darinya. Alvin tetap ada.
***
“Shilla
nelponin lo terus?” tanya Rio tak sengaja melirik ponsel Gabriel.
Pemuda
itu hanya menganggukkan kepala lalu menyimpan teleponnya kembali.
“Kalau diangkat
bisa rusuh, apalagi kalo sampe dia denger suara Sivia sama Ify,” jawab Gabriel
pelan.
Rio
mengangguk sebagai tanda persetujuan. Dua pemuda itu tengah menunggu Sivia dan
Ify yang sedang membeli es krim, tak lama kemudian mereka kembali dan menyerahkan
es krim untuk Gabriel dan Rio.
“Kita
mau ke mana nih?” tanya Ify.
“Main
time zone yuk!” ajak Sivia.
“Males
main sama elo ah. Lo kan suka curang mulu,” balas Ify.
Sivia
mencebikkan bibirnya, “Jangan suka fitnah dong! Kan gue curang sekali doang pas
kepepet karna nggak bawa duit.”
“Sekali
mbahmu. Pas kita ke sini bareng Cakka sama Debo itu lo juga curang ya nyet,”
bantah Ify nyolot.
“Itu sih
emang karna lebih jago Cakka daripada Debo. Untung gue setim sama Cakka jadi
nggak kena deh,” balas Sivia tanpa dosa.
“Kalian
pernah jalan bareng Cakka sama Debo? Maksudnya double date?” tanya Gabriel spontan.
Ify dan
Sivia saling pandang lalu melirik ke arah Gabriel. Sepertinya mereka bercerocos
tanpa mengingat ada siapa saja di tempat ini.
“Bukan double date. Nggak sengaja ketemu aja,
mereka habis latihan basket,” jawab Ify sekaligus meralat.
“Emang
kenapa kalo double date? Cakka sama
Debo kan single wleee,” celetuk
Sivia.
“Hmm,
nggak. Si Rio nanti patah hati kalo Ify sama Debo. Ya kan, Yo?” ceplos
Gabriel membuat Rio menginjak kaki
sahabatnya itu.
Padahal
Rio hanya menyimak saja. Kenapa dia jadi dibawa-bawa?
“Daripada
ribut terus, mending kita ke time zone sekarang. Yuk!” ajak Ify.
Di
belakangnya, Sivia sibuk mencibir gadis itu. Bukankah tadi dia menolak keras
diajak ke time zone? Memang, Ify senang sekali mengalihkan perhatian supaya tak
ada obrolan panjang yang membuatnya merasa terpojokkan. Dasar licik, begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran Sivia.
Sesampainya
di lokasi time zone, mereka lantas membuat kesepakatan.
“Jadi,
kita bagi jadi dua tim, tim yang kalah wajib traktir makan tim yang menang.
Gimana?” usul Gabriel.
“Yahh...
kalo kita kalah gimana, Fy?” cetus Sivia menatap Ify melas.
“Siapa
bilang lo setim sama Ify?” sela Gabriel.
“Terus?”
Gabriel
terkekeh sebentar lalu melirik Rio, “Rio setim sama Ify dan gue sama elo.”
“Kok
gitu?” protes Ify.
“Kalo
gue yang kalah, gue yang berkewajiban nraktir, bukan Sivia. Kalo tim lo kalah
nih Fy, Rio yang nraktir. Kalo kalian mau setim sih nggak pa-pa asal sanggup
nraktir gue sama Rio aja. Lo kan tahu selera makan kita,” jelas Gabriel licik.
“Tai.
Ini namanya manipulatif. Yaudah, gue sama Rio. Bodo amat menang apa kalah, toh
bukan gue yang nraktir,” cerocos Ify bersumpah serapah.
“Setuju
sama Ify!” sambung Sivia.
Rio
benar-benar tergelak. Sumpah, dia pun tak tahu Gabriel punya akal sebusuk itu.
.Bilang saja dia ingin dekat-dekat dengan Sivia. Ah, bukankah dia sendiri ingin
dekat dengan Ify? Kalau begitu, Rio berada di pihak Gabriel.
“Permainan
pertama... basket.”
***
Sebagai
lelaki yang dididik bertanggung jawab oleh kedua orang tuanya, Cakka
mengantarkan Agni dan menjelaskan kronologisnya pada wanita yang tak lain
adalah mama dari Agni. Setelah dirasa cukup, pemuda itu kembali ke sekolah
dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Apa yang terjadi pada gadis itu?
“Mungkin
dia lagi nggak enak badan,” sangkalnya mencoba tak memikirkan.
Dia
harus kembali ke lapangan indoor dengan cepat sebelum Patton datang dan berubah
pikiran. Biar bagaimanapun, Patton lah yang sudah menjadikan posisinya terasa
penting di Cakrawala, jadi dia tak boleh mengecewakan kakak kelasnya itu.
Beruntung
sekali jalanan tak begitu ramai dan pemuda itu dapat menerobos menggunakan
motornya dengan gesit. Saat melewati danau, tanpa sengaja mata Cakka menangkap
sosok Shilla bersama Alvin. Danau itu... danau yang dulu sering menjadi tempat
bermain The Wanted.
Cakka
bisa melihat Shilla menundukkan kepalanya, lalu mengusap matanya dengan cepat.
Gadis itu menangis? Pikiran Cakka sontak terbagi antara ingin menghampiri dan
ingin cepat sampai ke sekolah. Lantas, dia memilih pilihan kedua. Dia tahu,
keberadaan Alvin di sana sudah cukup membuat hatinya tenang.
Tak
sampai dua puluh menit, Cakka sampai di parkiran Budi Karya. Parkiran sudah
tampak lenggang karna hanya ada beberapa motor yang bertengger di sana.
Tentunya motor-motor itu adalah milik anak basket yang masih latihan. Kemudian,
Cakka buru-buru menuju lapangan indoor.
“Cakkaaa.”
Pemuda
itu tersenyum rikuh seraya meminta maaf atas keterlambatannya.
“Tadi
nganterin Agni dulu, Kak. Kayaknya dia lagi sakit,” ujar Cakka pada Patton.
“Iya gue
tahu. Makanya ini gue mau nanya, dia sakit apa? Dia jarang banget sakit
soalnya. Belum pernah juga dia ninggalin latihan karna sakit,” balas Patton
membuat Cakka tersentak.
“Gitu,
Kak? Mungkin tadi sakitnya bener-bener sakit,” kata Cakka ambigu.
“Ya udah
nanti malem gue coba telepon dia aja. Lo latihan gih, yang lain udah nungguin.
Gue mau pulang dulu ya soalnya ada les.”
Cakka
hanya menganggukkan kepalanya lalu bergabung dengan tim Cakrawala. Sejujurnya,
pikirannya masih tertuju pada Agni. Kalau Patton saja sampai seheran itu,
artinya ada sesuatu yang lain—yang mungkin disembunyikan gadis itu.
“Cak,
fokus,” tegur Debo.
Kali ini
Cakka mengesampingkan Agni terlebih dahulu dan memilih untuk fokus latihan
seperti yang diperintahkan Debo. Biar bagaimanapun, pertandingan tinggal
menghitung hari sementara latihan mereka akan dihentikan H-5 dan kembali
latihan terakhir pada H-1.
Patton
menyempatkan diri untuk melihat latihan meski hanya sejenak selalu terpukau
saat mengamati Cakka. Gerakan dribble
Cakka semakin gesit. Setiap harinya, pemuda itu mengalami kemajuan yang berarti
dia benar-benar serius dengan Cakrawala. Bahkan, Patton tak pernah menyesal
menghadiahkan jabatan kapten sementara karena pemuda itu membuktikan kerja
kerasnya pada Patton. Jika suatu saat Patton resmi meninggalkan Cakrawala, dia
tak akan khawatir karena ada Cakka yang bisa diandalkan.
Puas
mengamati Cakka, Patton memutuskan untuk bergegas menuju tempat les. Saat ini
dia sudah bisa tenang jika dia memilih untuk memprioritaskan Ujian Nasional
yang semakin dekat.
Sudah
satu setengah jam bermain, semuanya berjalan dengan mulus. Debo tampaknya
paling bahagia diantara semuanya karena laki-laki itu kini tetap berlatih
disaat yang lain memilih istirahat. Cakka sendiri membiarkannya karena dia tahu
mood Debo sedang bagus, jadi tak ada salahnya juga. Asalkan permainan basket
tidak didasari dengan pelampiasan, Cakka akan mendukung.
“Lawan
terberat kita tahun ini masih dari sekolah yang sama?” tanya Cakka pada
teman-teman seperjuangannya.
“Iya,
Cak,” sahut Ian.
“Nih ya,
gue kasih tahu, sekasar apapun permainan basket lawan, kita harus bisa
mengendalikan diri. Kalau mereka matik api, kita bikin hujan, jadi kita nggak
akan kebakar,” ucap Cakka pada
teman-teman setimnya.
Melihat
itu, Debo ikut bergabung.
“Salut
gue sama lo. Meski lama nggak main basket, jiwa lo itu sepenuhnya masih milik basket,” cetus Debo.
Yang
lain ikut setuju dengan pendapat Debo. Sementara Cakka, dia hanya
menyunggingkan senyumnya dengan sendu. Sekali lagi, Cakka teringat
kebersamaannya dengan The Wanted.
***
Agni
meringkuk di pojokan kamarnya. Sejak pulang diantarkan Cakka, gadis itu tak
keluar dari kamar sama sekali. Dia masih memikirkan kejadian tak terduga yang
dialaminya mengenai Sion. Dia tak pernah tahu begitu dalam luka yang ia
torehkan pada lelaki yang mencintainya dengan setulus hati.
Tak
pernah dibayangkannya bahwa selama ini ialah tokoh antagonis dalam
permainannya. Dia melukai perasaan Sion, membuat pemuda itu kehilangan
kepercayaan pada siapapun, mungkin pula pada dirinya sendiri. Dia pula yang
melukai perasaan Shilla dengan merebut kedudukan Shilla dalam hidup Cakka.
Harusnya dia sadar, bukan Cakka yang datang padanya, tetapi dialah yang meminta
Cakka untuk datang padanya. Dia yang membuat fokus Cakka pada Shilla mengabur.
Lalu, atas nama cinta Agni datang membuat posisi Shilla benar-benar tak tampak.
Shilla
benar. Seharusnya dia malu karena telah merusak persahabatan yang dibangun
selama bertahun-tahun. Lantas, masih layak kah Agni berada di samping Cakka?
Masih layak kah Agni gembar-gembor pada pemuda itu tentang sahabat dan mimpi?
Sedangkan jauh di lubuk hatinya, Agni tetaplah seseorang yang mencintai Cakka
dengan caranya sendiri, tentunya sewaktu-waktu cinta dan keegoisan itu tak
dapat dibedakan lagi. Dan inilah tepatnya. Ini puncaknya.
Agni tak
tahu harus berbagi pada siapa. Dia terlalu naif.
“Agni
sayang,” panggil mamanya.
Gadis
itu bergeming. Dia membiarkan mamanya membuka pintu dan menerobos masuk ke areanya.
Wanita itu sedikit mengendap supaya Agni tak terganggu.
“Kadang
cinta emang menyakitkan,” ujar mamanya tiba-tiba.
Walau
terkejut dengan ucapan sang mama, Agni tetap bungkam. Mungkin itu yang
dinamakan naluri seorang ibu. Meski Cakka telah menjelaskan bahwa Agni sakit,
mamanya tetap tak percaya karena Agni tak akan selemah ini. Saat itu pula dia
tahu, anaknya memandang Cakka dengan penuh luka. Mungkin benar putrinya sakit,
tetapi sakit yang dirasakannya tak berupa.
“Orang-orang
bersembunyi di balik kata cinta sampai tanpa sadar dia menciptakan luka. Bukan
hanya orang lain yang terluka, tapi juga dirinya sendiri.”
Detik
itu Agni merengkuh mamanya dengan erat. Saat ini, hanya mamanya yang bisa
mengerti.
***
“Senyum,
Tuan Puteri. Nanti malam kan kita nyiapin pesta ulang tahun lo. Bareng Gabriel
pula,” ucap Alvin.
Shilla
benar-benar tersenyum tapi justru membuat perih hati Alvin. Sedari tadi dia
menghibur gadis itu, tapi tak berhasil. Hanya dengan menyebutkan nama Gabriel
sekali, Shilla menyunggingkan senyuman manis. Entah Alvin harus berterima kasih
atau justru menghakimi Gabriel dalam hatinya. Untuk kali ini, Alvin memilih
opsi yang pertama. Apapun, asal Shilla tidak terluka.
“Sekarang
gue temenin balik ya, lo perlu berbenah diri,” kata Alvin.
Sontak
Shilla mengambil ponselnya lalu menjadikan benda itu sebagai cermin dadakan.
Benar saja, rambutnya berantakan dan matanya sembab. Walau begitu, Alvin tetap
melihat kecantikan dalam diri Shilla.
“Kalau
balik ke rumah lo aja gimana?” tawar Shilla.
“Gue kan
nggak punya baju cewek,” kekeh Alvin.
“Nggak
pa-pa yuk. Ada gue, Tuan Puteri,” tambah Alvin manis sekali.
Sayangnya
Shilla menganggap apa yang dilakukan Alvin hanyalah bentuk perhatian sahabat ke
sahabatnya. Apalagi selama ini Alvin memang sering menghabiskan waktu
bersamanya.
Akhirnya
gadis itu setuju untuk kembali ke rumahnya. Meski kemungkinan bertemu kedua
orang tuanya sangat kecil, Shilla tetap merasa enggan. Jadilah ia memastikan
Alvin benar-benar ikut. Mereka lantas menuju rumah Shilla dengan mobil
masing-masing. Demi membuat Alvin tak berubah pikiran, gadis itu menyuruh Alvin
melajukan mobilnya terlebih dahulu sementara Shilla mengikuti di belakangnya.
Sesampainya
di rumah Shilla, seperti dugaan, rumah itu sepi seperti biasa. Itu artinya
kedua orangnya pergi lagi. Terkadang Shilla heran, mengapa mereka membangun
rumah sebesar ini jika tak dihuni? Jika hanya meninggalkan seorang gadis yang
kesepian di dalamnya? Pikiran itu segera ditepis sebelum emosi Shilla memuncak
kembali.
“Gue
nggak harus nemenin di kamar lo kan?” canda Alvin mencairkan suasana.
Tinjuan
kecil Shilla reflek mengenai bahu Alvin dan membuat pemuda itu terkikik geli.
Tak urung, Shilla ikut tertawa dan melupakan kesedihannya.
“Tunggu
ya,” ucap Shilla.
“Iya deh
yang mau dandan cantik buat Gabriel,” goda Alvin.
Sekali
lagi, Shilla terkekeh lalu meninju bahu Alvin dengan pelan. Sepeninggalan gadis
itu, Alvin melepaskan topengnya. Tak ada lagi wajah tengil untuk menggoda Shilla, tak ada senyum
sumringah yang ditunjukkannya pada gadis itu. Ini Alvin yang sebenarnya. Alvin
yang tak terbaca oleh siapapun.
Hati
Alvin begitu perih. Andai saja Shilla mau melihat sedikit saja luka yang ia
torehkan, tapi biarlah, biar gadis itu tak pernah tahu perasaannya yang
sesungguhnya. Biarlah perasaan yang ia pendam bertahun-tahun tetap berada di
tempatnya. Apapun, apapun akan ia lakukan demi kebahagiaan Shilla. Tuan
Puterinya. Sebab ia tahu persis, tak akan mudah menggeser posisi Gabriel yang
telah terpatri di sana.
Terkadang,
Alvin ingin menyerah. Tapi kenyataan memang tak pernah sesuai dengan
ekspektasi. Setiap kali Alvin mencoba pergi, dia justru bertahan di samping
Shilla seolah-olah hanya gadis itu tempatnya pulang.
***
Tim
Rio-Ify berhasil memenangkan battle
ini. Mereka ber-tos-ria dan tanpa sadar membuang segala beban yang dirasakan
Rio akhir-akhir ini karena pekerjaan kantor. Sementara itu, Gabriel sama sekali
tak kecewa meskipun dia tak berhasil mengalahkan kekompakan Rio dan Ify.
Berbeda sekali dengan Rio dan Ify yang kompak, dia dan Sivia memang lebih
banyak nyolot-nyolotan seperti biasa sehingga lawan mereka dapat mengambil
celah kemenangan dengan cepat.
Menyaksikan
tawa Rio yang lepas sedari tadi, Gabriel langsung sadar bahwa sahabatnya telah
menemukan apa yang selama ini ia cari. Ify. Sadar atau tidak, Ify mengubah Rio
menjadi manusia sungguhan, bukan robot seperti biasanya. Itu artinya Ify, Sivia
dan gadis bernama Agni memang sengaja dikirim Tuhan untuk menunjukkan keindahan
dunia yang tak pernah mereka jamah sebelumnya. Dunia yang lebih indah dari
sekedar The Wanted. Dunia yang dulu mereka hindari mati-matian.
“Jadi,
siap traktir kita, Gabriel?” tanya Ify seraya mengerling.
“Kok lo
jadi genit sih, Fy?” protes Sivia.
“Nggak
ah. Lo aja yang cemburu makanya bilang gue genit,” sahut Ify acuh tak acuh.
“Ini
fans-fans gue kenapa jadi fanwar sih? Yuk deh gue traktir sesuka kalian. Tapi,
temenin gue sama Rio nyari barang buat cewek dulu ya,” balas Gabriel.
Mendengar
kalimat barang buat cewek membuat Ify
dan Sivia salah mengartikan. Kalimat itu benar-benar ambigu. Sesaat, Gabriel
tersadar akan ucapannya lalu cepat-cepat meralat sebelum pikiran dua gadis itu
melayang jauh.
“Kado ulang
tahun buat cewek,” ralat pemuda itu.
“Buat
Shilla?” tebak Ify tepat sasaran.
Baik
Gabriel maupun Rio tampak terperangah. Sepertinya Ify memang mudah sekali peka,
berbeda dengan Sivia yang harus diucapkan dengan gamblang, barulah gadis itu
akan mengerti.
“Kita
temenin mereka kan, Siv?” tanya Ify pada Sivia.
Meski
masih badmood dengan Shilla, gadis
itu tetap menganggukkan kepalanya. Lagipula dia tak mungkin menolak karena
Gabriel sudah bersedia mengajaknya jalan-jalan hari ini. Bahkan, dia pula yang
membayar semuanya. Sivia merasa berhutang budi.
“Shilla
sukanya apa?” tanya Ify.
“Kadoin tai
ayam aja,” cetus Sivia yang langsung dipelototi Ify.
“Bacot
lo di-rem dulu nyet. Ini kita mau serius bantuin mereka tahu,” omel Ify.
Jika
sudah begini, Ify jadi seperti kakak yang mengomeli adiknya. Sementara Sivia
hanya bisa mencibir. Sepertinya memang cuma Sivia yang senewen setiap ada hal
berkaitan dengan Shilla.
“Kalau
lo nggak mau bantuin nggak pa-pa kok, Siv,” ceplos Gabriel.
Sivia
mendadak kikuk ditegur seperti itu. Meski tidak secara langsung, dia bisa
merasakan Gabriel tak suka dengan sikap Sivia yang berlebihan terhadap Shilla.
Biar bagaimanapun, Shilla adalah sahabat pemuda itu.
“Maaf
deh. Gue masih kesel. Nih nih nih, gue lagi menata hati untuk ikhlas. Tapi
untuk sementara bisa nggak kalau namanya nggak usah disebut dulu?” tanya Sivia
mulai bernegoisasi.
“Deal,” sahut Gabriel pendek.
Ternyata
Gabriel memilih masuk ke toko sepatu terlebih dahulu. Sivia meneguk ludahnya ketika
melihat jajaran sneakers terpajang di sana. Ketika Gabriel lebih memilih untuk
melihat-lihat high heels, Sivia
berbelok arah untuk melihat-lihat sneakers dan meringis membaca harganya.
Sneakers
yang paling menarik minat Sivia masih berada di tempatnya. Terakhir kali dia
melihat sneakers ini pada saat ditinggal Deva dan Lintar, lalu dia ditinggalkan
oleh Alvin.
“Ini
cocok nggak buat Shilla?” tanya Gabriel pada Ify yang berada di dekatnya.
Ify mengamati
dengan detail lalu menggelengkan kepala. Lantas, gadis itu meraih high heels
lain yang berada di dekat Rio. High heels
berwarna tosca mengkilap dan dibalut dengan diamond di beberapa sudut.
“Kalau
ini gimana? Lebih glamour dan Shilla banget,” usul Ify.
Dengan
senyum lebar, Gabriel menganggukkan kepala dan segera membayar high heels pilihan Ify. Dia berharap
Shilla akan menyukainya dan dia akan mengatakan bahwa itu adalah pilihan Ify.
Kira-kira, apa reaksinya?
“Lo
sendiri mau kadoin apa buat Shilla, Yo?” tanya Ify pada Rio.
“Gue
udah ada kado buat dia. Tiket konser Taylor Swift sekaligus merchandise eksklusif
Taylor yang udah ditandatangani,” jawab Rio membuat Ify terperangah.
Betapa
beruntungnya Shilla. Dia pun akan dengan senang hati menerima jika diberikan
tiket konser Taylor.
“Loh,
Sivia mana?” cetus Gabriel.
Barulah
mereka menyadari Sivia tengah mengamati sneakers dengan wajah serius hingga tak
mendengar kepanikan teman-temannya. Setelah menerima bungkusan high heels untuk Shilla, Gabriel berniat
mengomeli Sivia tetapi langkah itu terhenti saat mendengar celetukan Ify.
“Sneakers
incerannya belum kebeli ternyata.”
“Dia
ngincer sneakers?” tanya Gabriel dengan reflek.
Ify
mengangguk, “Udah berbulan-bulan dia ngincer sneakers yang lagi diliatnya itu.”
Sebuah
ide terlintas. Gabriel membayar sneakers itu secara khusus untuk dihadiahkan
pada Sivia. Wajah Sivia yang awalnya mendung berubah cerah kembali. Dia
benar-benar tak menyangka akan dihadiahi sneakers impiannya.
“Ini
serius buat gue, Yel?” tanya Sivia tak percaya.
“Bener.
Lo jaga baik-baik ya dan anggap aja itu hadiah karena lo bersedia nemenin gue nyariin
kado buat orang yang bikin lo senewen,” canda Gabriel.
Hanya saja, Sivia
terlanjur terharu. Sivia memeluk Gabriel sebagai tanda terima kasih. Rio dan
Ify saling melirik lalu terkikik geli.
***
Saya cuma berharap penantian kalian terbayarkan dengan saya post part 11. Itu juga kalo ada yang nungguin. Sekali lagi, untuk wattpad, sengaja saya privacy sehingga kalian yang baca WYHM di wattpad harus follow akun saya dulu wattpad.com/fannysalma terima kasihhh
NB: Saya nggak bisa janji untuk part selanjutnya itu kapan dilanjut :(
0 komentar:
Posting Komentar