"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Rabu, 18 Mei 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 10

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hellooo. Saya kembali! Kayaknya mulai sekarang WYHM bukan dalam rangka #BangkitkanCRAGSISA tapi lebih ke bangkitkan semangat menulis saya. Eh._.
Ya entahlah ini dalam rangka apa, tapi saya minta maaf karna super ngaret. Maklum, anak kuliahan yang super sibuk dan butuh libur *curhat*
Oke langsung aja..........

Hope you like it guys

10


Sivia tengah menyusuri koridor. Masih cukup pagi karena koridor ini sangat sepi. Paling-paling hanya ada petugas kebersihan yang berkeliaran membersihkan kelas-kelas seperti biasa. Gadis itu tidak begitu memperhatikan jalannya hingga tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan.
Detik berikutnya, dia merasakan seseorang menahannya dan membuatnya tak jadi mencicipi lantai marmer. Sivia mendongak dan terkejut. Seseorang yang menahannya adalah Alvin! Pemuda yang beberapa hari lalu meninggalkannya di Mall. Mereka beradu tatap beberapa detik. Entah apa yang dirasakannya, tapi jantung Sivia berdetak dengan kecepatan di atas rata-rata. Sorot mata Alvin yang dingin dan tak terbaca mampu menyedot dunianya hingga gadis itu hanya bisa terpaku.
“Astaga, Neng nyaris kepeleset? Lantainya baru Bapak pel dan nggak tahu kalo Eneng mau lewat.”
Suara itu menyentakkan Sivia. Reflek, gadis itu memperbaiki posisinya supaya pria yang baru datang ini tak berpikir macam-macam. Sebelumnya dia melirik Alvin, pemuda itu tampak biasa seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
“Ng—iya, Pak. Lain kali dikasih papan keterangan ya biar Sivia jalannya lebih hati-hati,” balas Sivia mendadak kikuk.
“Ya sudah, Neng. Sekali lagi Bapak minta maaf, tapi sekarang Bapak harus nyelesaiin pekerjaan yang lain.”
Sivia hanya menganggukkan kepalanya dan membiarkan pria itu pergi. Saat hendak melanjutkan langkah ke kelas, dia baru sadar kalau ternyata Alvin masih berdiri di tempatnya, menatap datar ke arah dirinya.
“Gue nggak tahu kalo nyaris kepentok lantai juga bisa bikin orang lain jadi beda,” ucap Alvin sangat datar.
Tahu dengan apa yang dimaksudkan pemuda itu, Sivia melotot tajam. Jangan sampai pemuda ini mengira Sivia terpesona padanya! Kalau sampai dia berpikir demikian... tidak. Alvin tidak boleh punya pikiran seperti itu.
“Gue—“
Ucapan Sivia terhenti saat Alvin meninggalkannya. Gadis itu mendesis, ini kedua kalinya pemuda itu meninggalkannya.
“Alvin sialan! Tungguin gue jir!”
Tapi, mengapa dia selalu ingin menahannya?
Sivia tak mempedulikan pikiran-pikiran yang memenuhi otaknya. Dia berlari, berusaha menyejajarkan langkah dengan Alvin, sama seperti yang dilakukannya pada saat mereka berada di Mall. Beruntung sekali saat ini sekolah masih sangat sepi. Omong-omong, ini pertama kalinya dia melihat Alvin berkeliaran di pagi hari tanpa The Wanted. Ke mana sahabat-sahabatnya?
“Ngapain ngikutin gue?” tanya Alvin ketus tanpa mengalihkan pandangan.
“Kenapa lo nggak suka gue ikutin?” balas Sivia menyebalkan.
Simple. Karena lo berisik.”
Mendengar itu, Sivia mengerucutkan bibirnya. Sudah ribuan orang mengatakan bahwa dirinya berisik, tetapi hanya Alvin yang membenci keberisikannya.
***
Jam menunjukkan pukul 05.30 WIB saat Ify duduk di ruang makan. Di sana sudah ada Ozy, Papa dan Mama yang tengah menuangkan susu ke gelas Ozy. Bagi keluarga ini, sarapan bersama adalah hal yang tidak boleh dilewatkan.
“Rio nggak ke sini lagi, Fy?”
Gadis itu nyaris tersedak mendengar pertanyaan mamanya. Ify mendongak, menatap bingung sang Mama mengapa tiba-tiba menanyakan Rio. Memang sih mereka sempat bertemu tetapi itu cuma sebentar, saat Rio mengantarkannya pulang setelah belajar. Ify pun berpikir kalau mamanya akan lupa.
“Mama kenal Kak Rio?” cablak Ozy.
Mamanya mengangguk. “Kemarin nganterin Ify pulang, katanya sih habis belajar bareng. Dia anaknya Reon Haling kan?” sahut mamanya.
“Reon Haling? Kamu temenan sama anaknya, Fy?” timpal papanya.
Ify mengibaskan tangannya. “Cuma kenal biasa. Ify disuruh Bu Maryam bantu ngajarin Rio, makanya kita sering belajar bareng,” jawab Ify sekenanya.
Dia tak berbohong kan?
“Gue dukung elo jadian sama Kak Rio kok,” cetus Ozy membuat Ify reflek menjitaknya.
“Sembarangan lu bocah,” dengus Ify.
“Setahu Papa, perusahaannya Reon Haling sekarang dipegang anaknya yang masih SMA. Jadi, Rio ya? Papa nggak nyangka kamu temenan sama anak konglomerat. Kamu deketin Rio bukan karna dia kaya kan?” ceplos papanya.
“Papa! Ify aja nggak tahu itu. Papa mah nggak baik su’udzon sama anak sendiri, kan Ify udah bilang belum mau pacaran lagi. Yang kemarin bekasnya masih ada,” elak Ify.
Diam-diam dia terkejut juga saat mendengar ucapan papanya mengenai Rio yang mengurus perusahaan.
“Mungkin Kak Rio dikirim buat ngilangin bekasnya,” cetus Ozy—lagi.
Ify melotot dan menjitak pria kecil itu untuk kedua kalinya. Kali ini Ozy mengerucutkan bibirnya, kedua orang tua mereka hanya geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan Ify dan Ozy yang tak pernah akur.  Saat jauh mereka saling mencari, giliran sama-sama di rumah mereka justru seperti kucing dan tikus.
“Bener juga kata Ozy. Kapan-kapan kamu kenalin Rio ke Papa ya, biar Papa yang menilai,” ucap papanya. Ify semakin mendengus.
“Papa nggak akan suka sama Rio. Dia itu anti sosial, nilai-nilainya ancur banget sampai katanya  bisa nggak naik kelas makanya Ify disuruh Bu Maryam ngajarin dia,” balas Ify mengompori. Masalahnya, kalau papanya sudah ikut campur seperti ini pasti ujung-ujungnya dia akan jadi bahan obrolan setiap pagi.
Mama Ify yang telah menyelesaikan sarapannya lantas meletakkan sendok dan garpu,  kemudian tersenyum menatap putrinya yang sudah beranjak dewasa.
“Kamu lihat Papa setiap hari bolak-balik kantor kan, Fy?” tanya mamanya.
Meski bingung, dia tetap mengangguk.
“Kamu juga lihat betapa sibuknnya Papa? Berangkat pagi dan pulang malem setiap hari? Bahkan kadang harus ngelembur seharian?”
Ify mengangguk.
“Nah, itu juga yang dilakukan Rio. Mengurus perusahaan itu nggak mudah, Fy. Banyak waktu yang tersita. Hm, apa Rio susah tanggap waktu diajarin sama kamu?” cerocos mamanya.
Kali ini Ify menggelengkan kepala.
“Itu point-nya! Nilai-nilai Rio hancur kayak yang kamu bilang pasti ada alasan di baliknya. Bukan karna dia bodoh. Nggak ada orang bodoh yang bisa ngurus perusahaan sebesar perusahaan milik Reon Haling loh, Fy! Kamu ngerti kan maksud Mama?” jelas mamanya panjang  lebar.
“Betul kata mamamu. Reon itu keras kepala dan kaku, apapun yang dia mau harus terlaksana. Mungkin Rio nggak mampu menolak waktu Reon nyuruh dia ngurus perusahaan padahal anaknya masih sekolah,” imbuh papanya membuat Ify berpikir keras.
“Satu lagi, kamu nggak pernah ngejelekin orang loh, Fy,” kekeh mamanya.
Tak perlu waktu lama untuk mencerna ucapan kedua orang tuanya karena gadis itu memang cepat tanggap. Ya, Ify mengerti kalau Rio lebih banyak menghabiskan waktunya untuk perusahaan papanya. Detik  itu Ify paham kalau hambatan yang dihadapi Rio sebatas papanya. Hanya satu hambatan, tapi tak pernah bisa dilaluinya.
Rio mengubur mimpinya sebagai musisi. Dia juga merelakan nilai-nilai sekolahnya hancur. Sumpah, Ify tak tahu beban Rio begitu berat.
“Papa sama Mama kenal papanya Kak Rio ya?” tanya Ozy mulai penasaran.
Dan Ify pun sadar kalau sedari tadi kedua orang tuanya berbicara banyak hal seakan sudah mengenal Papa Rio sejak lama. Bahkan Ify tak pernah memberitahukan pada mamanya kalau Rio ini anak dari pemilik perusahaan paling berpengaruh.
“Reon sahabat kami waktu SMA. Dia juga yang bantuin papa deketin mamamu sampai akhirnya kami menikah,” kekeh sang papa.
“Hah? Demi apa?” pekik Ozy dan Ify bersamaan.
Kedua orang tua mereka hanya tertawa kecil.
***
Agni: Nanti latihan?
Cakka: Yoi. Latihan juga?
Agni: He eh. Gue nebeng ya pulangnya
Cakka: Siap. See you ~
Cakka lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku dan bersiap menuju Budi Karya. Kali ini dia menggunakan motornya karena sudah bertekat menggunakan mobil saat keadaan darurat saja. Kalau dulu dia menggunakan mobilnya karena terkadang Gabriel atau Shilla suka numpang karena malas menyetir, Rio tak usah ditanya karena dia lebih sering disopiri supaya bisa tidur atau meneruskan pekerjaan.
Seperti yang telah  dia duga, pagi ini dia kembali menemukan kemacetan. Untung motor yang digunakan memudahkannya untuk menyalip. Di lampu merah, tanpa diduga dia bersebelahan dengan mobil Shilla. Gadis itu tak akan tahu tentang keberadaannya—terlebih karena helm fullface yang menutupi wajah Cakka.
Shilla melamun. Di dalam benak Cakka, dia kasihan melihatnya. Andai gadis itu mau memberikannya kesempatan untuk bergelut dengan dunia luar, dunia yang menyimpan impiannya, pasti saat ini Cakka masih ada di sana. Di sampingnya.
Begitu lampu merah itu berubah menjadi hijau, Cakka lantas melajukan motornya kembali. Hanya butuh setengah jam untuk sampai ke Budi Karya. Tahu begini, dia naik motor sejak dulu supaya terhindar dari kemacetan.
“Naik motor, bro?”
Cakka menoleh dan mendapati Debo yang tak jauh darinya.
“Kalau gue naik mobil nggak akan parkir di sini kali,” balas Cakka seraya berseringai.
Debo tertawa kecil lantas menghampiri temannya itu. Ya, Cakka adalah temannya dan sepertinya Cakka juga akan menjadi kapten barunya. Semua anak basket sudah membicarakan masalah kapten basket yang akan menggantikan posisi Patton dan nyaris semuanya mengatakan bahwa Cakka yang akan mendapatkan posisi itu.
“Lo sekarang nggak pernah bareng The Wanted. Gosip lo keluar dari The Wanted itu beneran ya?” tanya Debo.
“Begitulah,” sahut Cakka pendek seakan dia tak mau membicarakannya.
“Hm, sori jadi ngebahas—eh nanti pulang sekolah jangan lupa latihan. Kak Patton udah semangat nelponin gue dari semalem,” ceplos Debo mengalihkan pembicaraan.
Mereka lantas mengobrol sambil berjalan menuju kelas.
“Nggak akan lupa. Gue deg-degan soalnya ini pertandingan pertama gue,” balas Cakka membuat Debo meninju bahu pemuda itu.
“Gaya banget lu! Eh itu Ify sama Sivia. Buset itu anak berdua lengket mulu kayak upil sama idung.”
Cakka yang awalnya tak fokus reflek menatap Ify dan Sivia yang tengah tertawa lebar—entah membicarakan apa. Melihat dua anak itu, selalu saja membuat Cakka iri. Mereka berdua punya kisah yang sama seperti The Wanted. Bersahabat sejak kecil. Tapi mengapa mereka seakan tak pernah menghadapi problem layaknya persahabatan-persahabatan lainnya?
***
“Dua minggu lagi lo ulang tahun,” cetus Alvin.
Shilla mengernyitkan dahinya. “Lo inget ulang tahun gue? Gue aja lupa,” balasnya.
Pemuda itu tersenyum paksa mendengar respon Shilla. Bahkan, gadis ini tak pernah sadar bahwa Alvin lah yang selalu mengingat ulang tahunnya disaat yang lain lupa.
“Lo mau ngadain pesta kan?” tanya Alvin—lagi.
Dan dia satu-satunya yang mengingat semua impian Shilla—termasuk yang dilupakan gadis itu sendiri. Saat mengetahui perasaan Shilla sesungguhnya hanya untuk Gabriel, terjawab sudah mengapa gadis ini tak pernah menyadari kehadirannya.
“Oh iya, baru inget. Tapi gue masih bingung nentuin tema nih. Hmm, bentar gue tanya Gabriel dulu. Dia kan suka punya ide bagus,” ceplos Shilla membuat Alvin mendesah.
“Yel, lo ada ide nggak buat tema ulang tahun gue?” tanya Shilla.
Gabriel yang awalnya sibuk membaca buku fisika mendongakkan kepala. Pemuda itu tampak berpikir keras sampai akhirnya terlintas sebuah ide.
“Dibikin semacam fairy tale gimana?” usul Gabriel.
“Boleh juga tuh! Gimana, Vin?” balas Shilla beralih ke Alvin.
Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya. Mungkin bagi Shilla hanya Gabriel yang paling bersinar hingga dia tak pernah menyadari kehadiran Alvin. Begitu pula dengan Alvin, Shilla lah yang paling bersinar hingga dia tak menyadari ada sosok Gabriel di sana.
“Lo mau ngundang siapa aja?” tanya Gabriel.
Shilla tampak berpikir. “Satu kelas,” sahutnya mantap.
“Nggak salah?” nimbrung Rio yang sedari tadi hanya menyimak.
“Nggak. Sebenernya mau satu sekolah, tapi kayaknya kebanyakan. Belum lagi ada Angel, Brian, semua temen-temen artis pokoknya. Oh iya, ajakin Kak Deva juga ya, Vin! Kalau dia nggak sibuk sih,” cerocos Shilla bersemangat.
“Nggak janji ya. Gue lagi ada sedikit masalah sama Deva,” balas Alvin.
Dia jadi mengingat obrolannya dengan Deva. Sejak saat itu, mereka belum mengobrol lagi dan Alvin belum memiliki keberanian untuk mengajak Deva bicara.
“Ya udah nggak pa-pa kalo nggak disampaiin, lagian Kak Deva pasti sibuk banget,” ujar Shilla memaklumi.
“Shil, lo nggak kangen Cakka?”
Tahu-tahu saja pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Rio. Shilla yang dilempari pertanyaan tersebut secara reflek meneguk ludahnya
“Lo nggak mau ngancurin mood gue pagi ini kan, Yo?” balas Shilla retoris.
Rio menggeleng pelan. “Gue cuma—“
“Kalian tahu event organizer buat pesta ulang tahun yang profesional nggak?” potong Shilla sebelum Rio sempat melanjutkan ucapannya.
“Cakka tahu,” ceplos Rio.
Shilla menggigit bibir bawahnya.
“Lo nggak bisa ngalihin pembicaraan dari gue semudah itu, Shilla. Gue pun nggak ada niat merusak mood lo sama sekali. Tapi—“
“Lo stres gara-gara kantor?”
Kali ini bukan Shilla yang memotong ucapannya, tetapi Alvin. Pemuda itu tidak tahan mendengar Rio yang berusaha membahas Cakka. Alvin hanya tak ingin melihat Shilla merasa terpojokkan.
“Gue tahu lo nggak bodoh buat ngebaca suasana. Untuk saat ini, simpen apapun yang ada di benak lo,” tandas Alvin membuat Rio bungkam.
***
Di kelas Ify dan Sivia. Dua gadis itu tengah sibuk melamun. Bila Ify sedang berpikir keras tentang orang tuanya yang bersahabat dengan papanya Rio, Sivia justru tak berhenti mengembangkan senyumnya sejak pagi tadi. Dia tak mengerti mengapa dirinya jadi seperti ini. Yang terpenting, hanya kejadian di koridor saat dia nyaris terpeleset yang terputar di otaknya.
“Fy, menurut lo Alvin gimana?” tanya Sivia tiba-tiba.
“Monyettt!” dengus Sivia karna sahabatnya itu tak kunjung merespon.
Sivia merebut paksa novel di tangan Ify dan dia pun tahu bahwa sedari tadi Ify tak membaca, tetapi melamun—sama seperti dirinya. Akan tetapi, wajah Ify terlihat serius, bukan senyum-senyum ala orang kasmaran.
“Mikirin apa lo?” tanya Sivia heran.
“Nggak tahu. Dari tadi kepikiran kenapa gue nggak tahu kalau bokap sama nyokap gue sahabatan sama bokapnya Rio,” sahut Ify sekenanya.
“Demi apa?!” tanya Sivia histeris.
Ify sampai harus menutup telinganya. Tepat saat itu, Agni dan Cakka bergabung di bangku mereka. Bahkan baik Ify dan Sivia sama-sama tak sadar kalau bel istirahat sudah berbunyi.
“Ngomongin apa sih? Seru amat,” ceplos Cakka.
“Pasti ngomongin sahabat-sahabat lo, Cak. Mereka kan lagi—“
Agni secara reflek menutup mulutnya. Dia lupa kalau Cakka tak tahu tentang hubungan Ify dan Sivia dengan sahabat-sahabatnya di The Wanted.
“Kalian nyembunyiin sesuatu dari gue?” selidik Cakka.
Tiga gadis itu menggigit bibir bawahnya, terutama Agni yang keceplosan. Mereka saling pandang sementara Cakka masih menunggu jawaban mereka. Ify lah yang pertama bereaksi, gadis itu menghembuskan nafasnya perlahan lalu membalas tatapan Cakka.
“Bukan nyembunyiin. Lebih tepatnya, kami merasa nggak perlu cerita,” jelas Ify.
“Ada apa sih?” tanya Cakka tak paham.
“Hm... Sivia lagi deket sama Gabriel, gue deket sama Rio. Semuanya nggak sengaja. Sama persis kayak elo sama Agni. Bedanya, kalian ketemu baik-baik sementara pertemuan gue dan Sivia dengan Rio dan Gabriel kurang menyenangkan,” jelas Ify lalu mengambil jeda.
“Kita bukannya mau—“
It’s ok. Gue ngerti kok,” potong Cakka cepat.
“Jadi, kalian lagi ada something sama mereka?” imbuhnya.
Ternyata reaksi Cakka justru di luar dugaan.
“Kalo Ify sama Rio sih bisa jadi, kalo gue sama Gabriel nggak ada something apapun,” elak Sivia membuat Ify melotot.
“Sahabat macem apa sih lu,” dengus Ify.
Cakka tertawa kecil. Dalam hati, dia sudah menduga bahwa mereka ada something dengan sahabat-sahabatnya di The Wanted. Dugaan itu muncul saat kejadian di koridor. Gabriel, cowok yang biasanya diam saja saat Shilla tiba-tiba berbuat ulah tiba-tiba angkat bicara meskipun diabaikan. Sementara Rio, Cakka tahu kala itu Rio tak bisa melepaskan pandangannya ke arah Ify.
“Dua minggu lagi Shilla ulang tahun,” cetus Cakka membuat tiga gadis itu terdiam.
Dia menghela nafas sejenak, “Menurut kalian gue masih layak nggak kadoin dia sesuatu?” lirih Cakka.
Sivia yang pertama membelalakkan matanya. Dia tak habis pikir dengan Cakka, setelah semua yang dilakukan Shilla ternyata Cakka masih punya pikiran untuk memberi kado. Kalau Sivia jadi Cakka, dia tak akan sudi! Tentu saja Sivia tak berani mengungkapkan itu pada Cakka karena tatapan Ify yang menyeramkan. Jadilah Sivia menelan ucapannya yang baru sampai di tenggorokan.
“Selalu layak. Biar gimanapun, dia sahabat lo sejak sebelas tahun yang lalu,” sahut Ify seperti biasa. Tenang dan bijaksana.
“Lo masih inget ulang tahunnya, Cak?” tanya Sivia.
Cakka mengangguk. “Gue inget semua tanggal lahir anak The Wanted. Gue juga hafal ulang tahun kalian,” kekeh Cakka.
“Lo tahu darimana ulang tahun gue?” selidik Sivia.
Believe or not, dari facebook Chipieea ChayankKamoehCelalue yang nggak sengaka gue temuin pas add facebook Agni,” jawab Cakka polos.
“CAKKAAAA SIALANNNN!!!”
Sejurus kemudian tawa Ify dan Agni memenuhi ruang kelas.  Mereka tak menyangka kalau Cakka menemukan facebook jahanam—sebutan dari Ify—milik Sivia, tepatnya facebook pertama gadis itu. Sialnya lagi, akun itu memang publik. Sivia lupa email dan password-nya sehingga tak bisa menghapus akun tersebut.
“Chipieea eeaaa,” ledek Agni.
“Diem lu curut! Kan gue udah bilang, blokir aja facebooknya! Kampret emang lu Ag! Gue maluuuu,” cerocos Sivia semakin meledakkan tawa mereka.
“Geli gue. Mana Cakka hapal banget,” kekeh Ify.
“Monyet! Nggak usah ikutan ketawa lu! Sebel gue! Kayak kalian nggak pernah alay aja idih,” dengus Sivia.
“EMANG NGGAK PERNAH!” seru Agni, Cakka dan Ify bersamaan.
Gadis itu semakin nelangsa. Dia baru ingat Agni dan Ify itu memang bukan tipe anak yang suka berurusan dengan media sosial.
***
“Sivia.”
Langkah Sivia terhenti, begitu pula dengan Ify yang berjalan di sampingnya. Keduanya berbalik dan mendapati Gabriel bersama Rio yang sedang mengenakan jas laboratorium.
“Apa lo?” galak Sivia membuat Gabriel mengembangkan senyumnya.
“Biasa aja kali,” balas Gabriel.
“Udah biasa. Cepetan bilang, ada apaan? Gue mau ke ruang guru,” sahut Sivia.
“Pulang sekolah ada acara?” tanya Gabriel membuat Sivia mengernyit.
Terjadilah drama dari Sivia, gadis itu sok mengingat jadwal-jadwalnya seakan-akan dia makhluk tersibuk di seluruh dunia. Namun Gabriel tetap menunggu walau dia tahu Sivia hanya sedang berakting.
“Nggak ada.”
Bukan. Bukan Sivia yang menjawab, melainkan sosok Ify yang tak sabar menunggu respon sahabatnya itu.
“Kok jadi elo yang jawab? Kan bukan Rio yang nanya,” protes Sivia membuat Ify melotot karena kebiasaan cablak Sivia.
“Emang lo nggak ada acara apa-apa kan? Jangan sok taken gitu kali, jomblo ya jomblo aja. Lagian selama lo nafas di dunia ini belum pernah ada yang nanya ada acara pulang sekolah apa ngga,” ceplos Ify.
Reflek, Sivia menginjak kaki Ify hingga gadis itu mengaduh. Sementara itu Gabriel dan Rio sibuk menahan tawa mereka.
“Lo jangan jatohin kejombloan gue dong,” dengus Sivia.
Ify hanya mencibirnya.
“Jadi, gimana? Nggak ada kan?” goda Gabriel.
“Jangan pura-pura nggak denger yang dibilang monyet ini lu! Kenapa emang nanya-nanya? Mau ngajak jalan ya?” sahut Sivia semangat.
“Lah dia sendiri yang jatohin kejombloannya,” cibir Ify yang diabaikan oleh Sivia.
“Hm, mau minta temenin aja sekalian gue traktir,” jawab Gabriel.
Mendengar kata ‘traktir’ gadis itu semakin bersemangat. Apalagi Sivia adalah penganut prinsip rejeki nggak boleh ditolak jadi dia juga tak mungkin menolak ajakan Gabriel.
“Wihh! Mau banget gue!” seru Sivia.
“Tuh kan emang dia sendiri yang jatohin kejombloannya,” cibir Ify lagi.
“Rio, ajakin dia nih biar nggak ribut. Jomblo emang suka sirik gitu kalau nggak ada yang ngajakin jalan,” seloroh Sivia membuat Ify melotot.
“Nanti pulang sekolah gue emang ada jadwal belajar bareng Ify kok,” sahut Rio kalem. Sivia ber-oh-ria lalu kembali fokus pada Gabriel, ternyata laki-laki itu tak bisa menahan kegeliannya.
“Pulang sekolah nanti lo tunggu di parkiran aja. Gue sama Ify  harus ke lapangan indoor dulu soalnya,” jelas Sivia.
“Siap. Kalau gitu, kita pergi dulu ya,” pamit Gabriel dan dibalas anggukan oleh Sivia.
“Eh! Eh! Tunggu dulu!” cegah Sivia.
Gabriel dan Rio mengernyitkan keningnya.
“Apa lagi sih, Siv? Lo masih kangen Gabriel? Kita bisa diamuk nih,” dumel Ify.
“Bukan gue. Itu Rio masih kangen elo tahu! Lo nggak mau ngomong sesuatu dulu sama Ify, Yo? Daripada nanti nyesel,” cablak Sivia.
Ify yang awalnya sudah tak sabaran memilih diam. Dia mengamati Rio yang juga tengah mengamatinya. Mereka sama-sama terdiam, tak tahu harus bicara apa.
“Heleh ini bocah malah telepati. Yaudah yuk!” cetus Sivia.
See you again,” ucap Rio pelan namun masih sempat didengar oleh Ify.
Ify menganggukkan kepalanya kemudian mengikuti langkah Sivia.
***
Alvin mengamati Shilla yang sedang serius mempersiapkan pestanya. Demi neptunus, Shilla seribu kali lebih cantik dalam pose seperti itu.
Mungkin kau takkan pernah tahu
Betapa mudahnya kau tuk dikagumi
Mungkin kau takkan pernah sadar
Betapa mudahnya kau tuk dicintai
Tiba-tiba saja Alvin bersenandung dan memecah fokus Shilla. Gadis itu mendongak seakan menyelidiki sesuatu.
“Lo nggak lagi nyindir gue kan?” tanya Shilla membuat Alvin meneguk ludahnya.
“Itu lagu beneran gue banget, lirik tadi itu pas gitu ya buat Gabriel,” cetusnya.
Shilla menopang dagu seakan mem-play back lagu tersebut. Sementara Alvin, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Alvin meringis, bodoh sekali karena dia sempat berpikir bahwa Shilla mulai peka akan perasaannya, tapi ternyata dia malah memikirkan Gabriel. Lucu.
“Gabriel sama Rio kok lama ya balikin jas ke kelas?” tanya Shilla.
Belum sempat Alvin menjawab, dua pemuda itu datang dan langsung mengambil tempat. Gabriel di depan Alvin dan Rio di depan Shilla.
“Panjang umur. Baru aja gue omongin kok kalian lama eh langsung muncul,” cetus Shilla.
“Tadi mampir ke toilet dulu,” sahut Rio.
Shilla hanya mengangguk-angguk lalu menjulurkan iPadnya. Di layar iPad tersebut terdapat contoh-contoh pesta ulang tahun dengan tema fairy tale.
“Ini EO rekomendasi dari Angel. Menurut kalian gimana?” tanya Shilla.
“Hm, gue tau nih. Lo pake itu aja, total kok kalo masalah beginian,” jawab Rio.
“Beneran? Oke deh gue pake EO ini. Lo tahu tempatnya nggak, Yo? Anterin gue dong pulang sekolah nanti,” ceplos Shilla.
“Malem aja gimana? Gabriel sama Alvin free kan malem ini? Ntar sekalian kita hangout mumpung gue juga nggak ke kantor,” usul Rio.
“Gue ngikut aja,” ujar Alvin dan Gabriel bersamaan.
Shilla semakin tersenyum lebar. “Siap! Tapi jemput gue ya?” kekeh Shilla.
“Gue jemput, tuan puteri,” ujar Alvin.
“Habis itu jemput Gabriel sama Rio. Biar nggak kebanyakan mobil,” sambung Shilla.
Alvin menganggukkan kepalanya. Apapun, selama itu untuk Shilla, Alvin akan melakukannya. Obrolan mereka terhenti karena bel masuk sudah menggema. Gabriel menatapi makanannya yang belum sempat ia sentuh, lalu mereka bergegas kembali ke kelas.
Di perjalanan, mereka berpapasan dengan Cakka dan Agni. Tak ada kehangatan saat mereka bertemu. Shilla pun berpura-pura tak tahu keberadaan Cakka.
***
Kata orang rindu itu indah
Namun bagiku ini menyiksa
Sejenak kufikirkan untuk kubenci saja
Dirimu...
Agni dapat memaklumi jika mata Cakka memperlihatkan kerinduan yang mendalam pada sahabat-sahabatnya di The Wanted. Meski pemuda itu sudah mendapatkan yang diinginkannya, bukan berarti memori tentang The Wanted bisa terhapus begitu saja bukan? Maka, saat mereka berpapasan dengan The Wanted, Agni bisa melihat betapa rindunya Cakka pada mereka.
“Are you okay, bro?” tanya Agni membuat Cakka tergagap.
“Gue lagi kepikiran pertandingan aja kok. Hm, ya udah kita pisah di sini ya. Nanti pulang sekolah kita ketemu lagi,” jawab Cakka.
“Kok gue geli ya dengernya?” kekeh Agni.
Cakka  ikut terkekeh, baru menyadari apa yang diucapkannya sedikit ‘aneh’.
“Ya pokoknya nanti kita ketemu lagi. Gue ke kelas dulu,” pamit Cakka.
Agni mengangguk dan memandangi pemuda itu. Barulah ketika Cakka masuk ke kelas dia kembali ke kelasnya sendiri.
“Lo makin deket sama Cakka,” cetus seseorang di depan kelasnya.
“Nggak masuk ke kelas, Yon?” tanya Agni seraya duduk di sebelah Sion, teman sekelasnya.
“Nggak ada guru. Hm, lo udah jadian sama Cakka ya?” sahut Sion.
Mendengar itu, Agni tertawa kecil. “Ngaco banget sih lo. Dapet gosip darimana? Apa malah elo yang ngegosipin gue?” canda Agni.
“Oh, belum ternyata. Gimana rasanya, Ag?”
Sejurus kemudian Agni berhenti tertawa dan memandang bingung ke arah Sion. Pemuda itu balik menatapnya, menunggu gadis di hadapannya ini mengatakan sesuatu.
“Lo ngomongin apa sih? Kok gue nggak paham ya? Apa gue mulai lemot?” tanya Agni beruntut.
Sion menarik ujung kiri bibirnya. “Harus banget gue perjelas ya, Ag?”
Meskipun bingung, Agni tetap mengangguk.
“Gimana rasanya mengagumi dari jauh dan tiba-tiba bisa sedekat ini sama dia?”
Detik itu tubuh Agni menegang. Mata Agni terbelalak, apa yang disimpannya rapat-rapat ternyata diketahui oleh seseorang. Dan itu Sion! Mantan kekasihnya sendiri.
“L—lo ngo-mong apa sih,” elak Agni berusaha menata diri.
Sion kembali menarik ujung bibirnya.
“Gue ngomongin kenyataan,” ujar Sion pendek dan terdengar dingin.
“Gue emang sering bareng sama Cakka tapi itu karna dia temen gue, bahkan udah jadi sahabat gue. Kenyataan nggak selalu tentang apa yang lo lihat,” bantah Agni.
“Emang apa yang gue lihat? Lo ke lapangan indoor setiap hari buat liatin dia main sendirian kayak orang bego?”
Telak. Agni tak mempercayainya. Dia tak percaya kalau Sion tahu rahasia terbesarnya yang bahkan tak Ify atau Sivia tahu.
“Lo mutusin gue bukan karna mau fokus sama basket, tapi karna lo mulai suka sama Cakka. Dan waktu lo berantem sama Shilla di toilet, gue nggak sengaja denger, lo mempertahankan Cakka bukan karena dia datang ke elo tapi karena lo nggak mau kehilangan kesempatan. Ya kan, Ag?” cerocos Sion menahan emosinya yang siap meledak-ledak.
“Gue biarin elo ngamatin dia setiap hari karna gue pikir pada akhirnya lo bakalan bener-bener sayang sama gu—“
“Jangan diterusin,” potong Agni.
“Gue ngerasa bego. Disaat gue cuma bisa berharap, dia datang dan dapetin semuanya tanpa pernah meminta ke elo. Lo kasihin semuanya buat dia. Tahu rasanya gimana? Berantakan.”
Agni memejamkan matanya dalam-dalam. Perlahan, air matanya meluruh. Dadanya mendadak sesak.
“Gue jahat banget ya, Yon? Gue ngambil Cakka dari Shilla, gue juga ninggalin elo demi cowok yang nganggep gue sahabatnya,” lirih Agni.
Gadis itu menundukkan kepalanya.
“Jangan nangis, Ag. Gue nggak punya hak buat ngehapus air mata lo. Tolong, jangan nangis,” ucap Sion pelan.
“Gue ngomong begini karna luka yang lo buat bener-bener dahsyat. Sekeras apapun gue mencoba benci sama elo, hasilnya tetep sama, gue semakin sayang sama lo,” lanjut Sion.
“Maafin gue. Maafin gue. Gue beneran nggak tahu,” lirih Agni.
Sion terkekeh. “Seandainya lo tahu, apa lo bakalan tetep di samping gue? Apa lo bakalan lupain Cakka? Coba lo jawab.”
Namun Agni memilih untuk membungkam. Gadis itu bergelut dengan pikirannya yang mendadak kacau atas pernyataan-pernyataan Sion. Dia pikir, setelah dia memutuskan pemuda itu semuanya selesai dan mereka menjadi teman. Ternyata tak sesederhana itu.
“Itu jawabannya, Ag. Mau lo tahu apa yang gue rasain atau enggak, nggak akan punya pengaruh apa-apa.”
Sejurus kemudian pemuda itu masuk ke kelas dan meninggalkan Agni yang masih tak bisa membendung air matanya.

***
Bersambung...
Hehehe semoga penantian kalian tidak mengecewakan *berdoa* dan info buat kalian yang baca WYHM di wattpad mulai sekarang ceritanya saya private jadi yang nggak follow akun saya harus follow dulu supaya bisa baca. Begitu....
Sampai jumpa di part berikutnya :)

Sabtu, 07 Mei 2016

Happy Anniv GabFC


“Saya bingung kenapa kalian masih bertahan sama saya. Sebenarnya apa lebihnya saya? Apa yang kalian lihat dari saya? Delapan tahun seharusnya kalian udah pada pergi.” –Gabriel Stevent Damanik, 6 Mei 2016.
Dibuka dengan rangkaian kalimat itu, saya persembahkan tulisan ini untuk kita semua. Untuk inspirator saya Gabriel dan untuk keluarga, saudara, sahabat, teman dan partner saya as known as GabrielFC.
Kalimat itu dikirimkan oleh salah seorang sahabat saya di grup CRAG Gaul, salah satu peserta NTR. Baru baca baris pertama, hati saya sudah terenyuh, ternyata anak ini memikirkan sesuatu yang bahkan nggak saya tahu jawabannya.
Sebenarnya apa lebihnya saya?
 Dear Gabriel, saya yakin semua GabFC akan menjawab ‘banyak’ saat kamu tanya seperti itu. Kamu bisa nyanyi, kamu bisa ciptain lagu, kamu bisa main alat musik, kamu pintar, dan banyak lagi talenta kamu yang lain. Tapi itu semua cuma alasan pendukung mengapa saya pribadi masih bertahan sampai sekarang. Sebab, di luar sana banyak orang yang punya talenta seperti kamu.
Mengapa saya bertahan? Karena saya jatuh hati sama kamu. Saya jatuh hati sama sifat-sifat kamu. Dari kamu, saya belajar bahwa setiap kesuksesan harus disertai usaha keras. Dari kamu, saya belajar menyayangi daripada membenci. Dan bersama kamu, saya nggak takut punya banyak mimpi.
Apa yang kalian lihat dari saya?
Saya melihat banyak hal dari kamu, sesuatu yang nggak bisa orang lain—yang suka ledekin saya—lihat. Inget waktu ada yang mintain video untuk anniv ICL? Sebelum yang mintain cerita soal gimana keadaan kamu waktu itu, saya tahu kamu lagi sakit. Mata kamu sayu sekali, tapi kamu tetep senyum, tetep mau dimintain video (padahal yang nggak kenapa-napa pun belum tentu mau). Saya terharu sekaligus bangga sama kamu, saya tahu saya nggak pernah salah jadiin kamu inspirasi saya. Karena kamu selalu melakukan sesuatu dengan tulus. Tetap seperti itu ya bang :)
Delapan tahun seharusnya kalian udah pada pergi.
Saya nggak mau naif. Saya bertahan karena kamu. Mungkin saya bisa ninggalin GabFC, tapi saya nggak pernah bisa ninggalin kamu. Saya bukan GabFC yang setiap saat muncul. Saya juga nggak ikutan pasang avatar untuk anniv ini (sebenernya karna nggak ada foto saya di ava._.v). Saya juga nggak kayak GabFC lain yang bisa nemuin kamu. Saya nggak bisa kayak mereka yang bisa nekat jauh-jauh dari sana sini cuma untuk kamu. Tapi saya selalu support kamu, saya selalu doain yang terbaik untuk kamu, saya selalu mengamini semua harapan-harapan kamu, saya selalu khawatir sama kesehatan kamu, sama seperti yang lainnya. Saya yakin kamu paham.
Gabriel, tetep begini ya. Tetap jadi Gabriel yang selalu dibanggakan, tetap jadi sosok yang rendah hati, yang tulus, yang taat sama orang tua, rajin ibadah, dan lainnya. Sekarang semakin banyak yang sayang sama kamu, semakin banyak pula yang support kamu.
Beberapa tahun lalu, saya pernah menuliskan sesuatu di sosmed saya. Kira-kira seperti ini ‘Suatu saat nanti Gabriel akan berubah, tapi saya yakin dia akan berubah jadi lebih baik dan lebih baik lagi’ dan wusshhh benar! Kamu semakin dewasa, tanpa sadar bikin saya nggak mau kalah. Semoga selalu dalam lindungan-Nya Gab!

Happy anniversary yang ke delapan untuk kita semua...