Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Hellooo. Saya kembali! Kayaknya mulai sekarang WYHM bukan dalam rangka #BangkitkanCRAGSISA tapi lebih ke bangkitkan semangat menulis saya. Eh._.
Ya entahlah ini dalam rangka apa, tapi saya minta maaf karna super ngaret. Maklum, anak kuliahan yang super sibuk dan butuh libur *curhat*
Oke langsung aja..........
Hope you like it guys
10
Sivia
tengah menyusuri koridor. Masih cukup pagi karena koridor ini sangat sepi.
Paling-paling hanya ada petugas kebersihan yang berkeliaran membersihkan
kelas-kelas seperti biasa. Gadis itu tidak begitu memperhatikan jalannya hingga
tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan.
Detik
berikutnya, dia merasakan seseorang menahannya dan membuatnya tak jadi
mencicipi lantai marmer. Sivia mendongak dan terkejut. Seseorang yang
menahannya adalah Alvin! Pemuda yang beberapa hari lalu meninggalkannya di
Mall. Mereka beradu tatap beberapa detik. Entah apa yang dirasakannya, tapi
jantung Sivia berdetak dengan kecepatan di atas rata-rata. Sorot mata Alvin
yang dingin dan tak terbaca mampu menyedot dunianya hingga gadis itu hanya bisa
terpaku.
“Astaga,
Neng nyaris kepeleset? Lantainya baru Bapak pel dan nggak tahu kalo Eneng mau lewat.”
Suara
itu menyentakkan Sivia. Reflek, gadis itu memperbaiki posisinya supaya pria
yang baru datang ini tak berpikir macam-macam. Sebelumnya dia melirik Alvin,
pemuda itu tampak biasa seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka.
“Ng—iya,
Pak. Lain kali dikasih papan keterangan ya biar Sivia jalannya lebih
hati-hati,” balas Sivia mendadak kikuk.
“Ya
sudah, Neng. Sekali lagi Bapak minta maaf, tapi sekarang Bapak harus nyelesaiin
pekerjaan yang lain.”
Sivia
hanya menganggukkan kepalanya dan membiarkan pria itu pergi. Saat hendak
melanjutkan langkah ke kelas, dia baru sadar kalau ternyata Alvin masih berdiri
di tempatnya, menatap datar ke arah dirinya.
“Gue
nggak tahu kalo nyaris kepentok lantai juga bisa bikin orang lain jadi beda,”
ucap Alvin sangat datar.
Tahu
dengan apa yang dimaksudkan pemuda itu, Sivia melotot tajam. Jangan sampai
pemuda ini mengira Sivia terpesona padanya! Kalau sampai dia berpikir
demikian... tidak. Alvin tidak boleh punya pikiran seperti itu.
“Gue—“
Ucapan
Sivia terhenti saat Alvin meninggalkannya. Gadis itu mendesis, ini kedua
kalinya pemuda itu meninggalkannya.
“Alvin
sialan! Tungguin gue jir!”
Tapi,
mengapa dia selalu ingin menahannya?
Sivia
tak mempedulikan pikiran-pikiran yang memenuhi otaknya. Dia berlari, berusaha menyejajarkan
langkah dengan Alvin, sama seperti yang dilakukannya pada saat mereka berada di
Mall. Beruntung sekali saat ini sekolah masih sangat sepi. Omong-omong, ini
pertama kalinya dia melihat Alvin berkeliaran di pagi hari tanpa The Wanted. Ke
mana sahabat-sahabatnya?
“Ngapain
ngikutin gue?” tanya Alvin ketus tanpa mengalihkan pandangan.
“Kenapa
lo nggak suka gue ikutin?” balas Sivia menyebalkan.
“Simple. Karena lo berisik.”
Mendengar
itu, Sivia mengerucutkan bibirnya. Sudah ribuan orang mengatakan bahwa dirinya
berisik, tetapi hanya Alvin yang membenci keberisikannya.
***
Jam
menunjukkan pukul 05.30 WIB saat Ify duduk di ruang makan. Di sana sudah ada
Ozy, Papa dan Mama yang tengah menuangkan susu ke gelas Ozy. Bagi keluarga ini,
sarapan bersama adalah hal yang tidak boleh dilewatkan.
“Rio
nggak ke sini lagi, Fy?”
Gadis
itu nyaris tersedak mendengar pertanyaan mamanya. Ify mendongak, menatap
bingung sang Mama mengapa tiba-tiba menanyakan Rio. Memang sih mereka sempat
bertemu tetapi itu cuma sebentar, saat Rio mengantarkannya pulang setelah
belajar. Ify pun berpikir kalau mamanya akan lupa.
“Mama
kenal Kak Rio?” cablak Ozy.
Mamanya
mengangguk. “Kemarin nganterin Ify pulang, katanya sih habis belajar bareng. Dia
anaknya Reon Haling kan?” sahut mamanya.
“Reon
Haling? Kamu temenan sama anaknya, Fy?” timpal papanya.
Ify
mengibaskan tangannya. “Cuma kenal biasa. Ify disuruh Bu Maryam bantu ngajarin
Rio, makanya kita sering belajar bareng,” jawab Ify sekenanya.
Dia tak
berbohong kan?
“Gue
dukung elo jadian sama Kak Rio kok,” cetus Ozy membuat Ify reflek menjitaknya.
“Sembarangan
lu bocah,” dengus Ify.
“Setahu
Papa, perusahaannya Reon Haling sekarang dipegang anaknya yang masih SMA. Jadi,
Rio ya? Papa nggak nyangka kamu temenan sama anak konglomerat. Kamu deketin Rio
bukan karna dia kaya kan?” ceplos papanya.
“Papa! Ify
aja nggak tahu itu. Papa mah nggak baik su’udzon sama anak sendiri, kan Ify
udah bilang belum mau pacaran lagi. Yang kemarin bekasnya masih ada,” elak Ify.
Diam-diam
dia terkejut juga saat mendengar ucapan papanya mengenai Rio yang mengurus
perusahaan.
“Mungkin
Kak Rio dikirim buat ngilangin bekasnya,” cetus Ozy—lagi.
Ify
melotot dan menjitak pria kecil itu untuk kedua kalinya. Kali ini Ozy
mengerucutkan bibirnya, kedua orang tua mereka hanya geleng-geleng kepala
menyaksikan kelakuan Ify dan Ozy yang tak pernah akur. Saat jauh mereka saling mencari, giliran
sama-sama di rumah mereka justru seperti kucing dan tikus.
“Bener
juga kata Ozy. Kapan-kapan kamu kenalin Rio ke Papa ya, biar Papa yang menilai,”
ucap papanya. Ify semakin mendengus.
“Papa
nggak akan suka sama Rio. Dia itu anti sosial, nilai-nilainya ancur banget
sampai katanya bisa nggak naik kelas
makanya Ify disuruh Bu Maryam ngajarin dia,” balas Ify mengompori. Masalahnya,
kalau papanya sudah ikut campur seperti ini pasti ujung-ujungnya dia akan jadi
bahan obrolan setiap pagi.
Mama Ify
yang telah menyelesaikan sarapannya lantas meletakkan sendok dan garpu, kemudian tersenyum menatap putrinya yang
sudah beranjak dewasa.
“Kamu
lihat Papa setiap hari bolak-balik kantor kan, Fy?” tanya mamanya.
Meski
bingung, dia tetap mengangguk.
“Kamu
juga lihat betapa sibuknnya Papa? Berangkat pagi dan pulang malem setiap hari?
Bahkan kadang harus ngelembur seharian?”
Ify
mengangguk.
“Nah,
itu juga yang dilakukan Rio. Mengurus perusahaan itu nggak mudah, Fy. Banyak
waktu yang tersita. Hm, apa Rio susah tanggap waktu diajarin sama kamu?”
cerocos mamanya.
Kali ini
Ify menggelengkan kepala.
“Itu point-nya! Nilai-nilai Rio hancur kayak
yang kamu bilang pasti ada alasan di baliknya. Bukan karna dia bodoh. Nggak ada
orang bodoh yang bisa ngurus perusahaan sebesar perusahaan milik Reon Haling
loh, Fy! Kamu ngerti kan maksud Mama?” jelas mamanya panjang lebar.
“Betul
kata mamamu. Reon itu keras kepala dan kaku, apapun yang dia mau harus
terlaksana. Mungkin Rio nggak mampu menolak waktu Reon nyuruh dia ngurus
perusahaan padahal anaknya masih sekolah,” imbuh papanya membuat Ify berpikir
keras.
“Satu
lagi, kamu nggak pernah ngejelekin orang loh, Fy,” kekeh mamanya.
Tak perlu
waktu lama untuk mencerna ucapan kedua orang tuanya karena gadis itu memang
cepat tanggap. Ya, Ify mengerti kalau Rio lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk perusahaan papanya. Detik itu Ify
paham kalau hambatan yang dihadapi Rio sebatas papanya. Hanya satu hambatan,
tapi tak pernah bisa dilaluinya.
Rio
mengubur mimpinya sebagai musisi. Dia juga merelakan nilai-nilai sekolahnya
hancur. Sumpah, Ify tak tahu beban Rio begitu berat.
“Papa
sama Mama kenal papanya Kak Rio ya?” tanya Ozy mulai penasaran.
Dan Ify
pun sadar kalau sedari tadi kedua orang tuanya berbicara banyak hal seakan
sudah mengenal Papa Rio sejak lama. Bahkan Ify tak pernah memberitahukan pada
mamanya kalau Rio ini anak dari pemilik perusahaan paling berpengaruh.
“Reon
sahabat kami waktu SMA. Dia juga yang bantuin papa deketin mamamu sampai
akhirnya kami menikah,” kekeh sang papa.
“Hah?
Demi apa?” pekik Ozy dan Ify bersamaan.
Kedua
orang tua mereka hanya tertawa kecil.
***
Agni: Nanti latihan?
Cakka: Yoi. Latihan juga?
Agni: He eh. Gue nebeng ya
pulangnya
Cakka: Siap. See you ~
Cakka
lantas menyimpan ponselnya ke dalam saku dan bersiap menuju Budi Karya. Kali
ini dia menggunakan motornya karena sudah bertekat menggunakan mobil saat
keadaan darurat saja. Kalau dulu dia menggunakan mobilnya karena terkadang
Gabriel atau Shilla suka numpang karena malas menyetir, Rio tak usah ditanya
karena dia lebih sering disopiri supaya bisa tidur atau meneruskan pekerjaan.
Seperti
yang telah dia duga, pagi ini dia
kembali menemukan kemacetan. Untung motor yang digunakan memudahkannya untuk
menyalip. Di lampu merah, tanpa diduga dia bersebelahan dengan mobil Shilla.
Gadis itu tak akan tahu tentang keberadaannya—terlebih karena helm fullface yang menutupi wajah Cakka.
Shilla
melamun. Di dalam benak Cakka, dia kasihan melihatnya. Andai gadis itu mau
memberikannya kesempatan untuk bergelut dengan dunia luar, dunia yang menyimpan
impiannya, pasti saat ini Cakka masih ada di sana. Di sampingnya.
Begitu
lampu merah itu berubah menjadi hijau, Cakka lantas melajukan motornya kembali.
Hanya butuh setengah jam untuk sampai ke Budi Karya. Tahu begini, dia naik
motor sejak dulu supaya terhindar dari kemacetan.
“Naik
motor, bro?”
Cakka
menoleh dan mendapati Debo yang tak jauh darinya.
“Kalau
gue naik mobil nggak akan parkir di sini kali,” balas Cakka seraya berseringai.
Debo
tertawa kecil lantas menghampiri temannya itu. Ya, Cakka adalah temannya dan
sepertinya Cakka juga akan menjadi kapten barunya. Semua anak basket sudah
membicarakan masalah kapten basket yang akan menggantikan posisi Patton dan
nyaris semuanya mengatakan bahwa Cakka yang akan mendapatkan posisi itu.
“Lo
sekarang nggak pernah bareng The Wanted. Gosip lo keluar dari The Wanted itu
beneran ya?” tanya Debo.
“Begitulah,”
sahut Cakka pendek seakan dia tak mau membicarakannya.
“Hm,
sori jadi ngebahas—eh nanti pulang sekolah jangan lupa latihan. Kak Patton udah
semangat nelponin gue dari semalem,” ceplos Debo mengalihkan pembicaraan.
Mereka
lantas mengobrol sambil berjalan menuju kelas.
“Nggak
akan lupa. Gue deg-degan soalnya ini pertandingan pertama gue,” balas Cakka
membuat Debo meninju bahu pemuda itu.
“Gaya
banget lu! Eh itu Ify sama Sivia. Buset itu anak berdua lengket mulu kayak upil
sama idung.”
Cakka
yang awalnya tak fokus reflek menatap Ify dan Sivia yang tengah tertawa
lebar—entah membicarakan apa. Melihat dua anak itu, selalu saja membuat Cakka
iri. Mereka berdua punya kisah yang sama seperti The Wanted. Bersahabat sejak
kecil. Tapi mengapa mereka seakan tak pernah menghadapi problem layaknya persahabatan-persahabatan lainnya?
***
“Dua
minggu lagi lo ulang tahun,” cetus Alvin.
Shilla
mengernyitkan dahinya. “Lo inget ulang tahun gue? Gue aja lupa,” balasnya.
Pemuda
itu tersenyum paksa mendengar respon Shilla. Bahkan, gadis ini tak pernah sadar
bahwa Alvin lah yang selalu mengingat ulang tahunnya disaat yang lain lupa.
“Lo mau
ngadain pesta kan?” tanya Alvin—lagi.
Dan dia
satu-satunya yang mengingat semua impian Shilla—termasuk yang dilupakan gadis
itu sendiri. Saat mengetahui perasaan Shilla sesungguhnya hanya untuk Gabriel,
terjawab sudah mengapa gadis ini tak pernah menyadari kehadirannya.
“Oh iya,
baru inget. Tapi gue masih bingung nentuin tema nih. Hmm, bentar gue tanya
Gabriel dulu. Dia kan suka punya ide bagus,” ceplos Shilla membuat Alvin
mendesah.
“Yel, lo
ada ide nggak buat tema ulang tahun gue?” tanya Shilla.
Gabriel
yang awalnya sibuk membaca buku fisika mendongakkan kepala. Pemuda itu tampak
berpikir keras sampai akhirnya terlintas sebuah ide.
“Dibikin
semacam fairy tale gimana?” usul
Gabriel.
“Boleh
juga tuh! Gimana, Vin?” balas Shilla beralih ke Alvin.
Pemuda
itu hanya menganggukkan kepalanya. Mungkin bagi Shilla hanya Gabriel yang
paling bersinar hingga dia tak pernah menyadari kehadiran Alvin. Begitu pula
dengan Alvin, Shilla lah yang paling bersinar hingga dia tak menyadari ada
sosok Gabriel di sana.
“Lo mau
ngundang siapa aja?” tanya Gabriel.
Shilla
tampak berpikir. “Satu kelas,” sahutnya mantap.
“Nggak
salah?” nimbrung Rio yang sedari tadi hanya menyimak.
“Nggak.
Sebenernya mau satu sekolah, tapi kayaknya kebanyakan. Belum lagi ada Angel,
Brian, semua temen-temen artis pokoknya. Oh iya, ajakin Kak Deva juga ya, Vin!
Kalau dia nggak sibuk sih,” cerocos Shilla bersemangat.
“Nggak
janji ya. Gue lagi ada sedikit masalah sama Deva,” balas Alvin.
Dia jadi
mengingat obrolannya dengan Deva. Sejak saat itu, mereka belum mengobrol lagi
dan Alvin belum memiliki keberanian untuk mengajak Deva bicara.
“Ya udah
nggak pa-pa kalo nggak disampaiin, lagian Kak Deva pasti sibuk banget,” ujar Shilla
memaklumi.
“Shil,
lo nggak kangen Cakka?”
Tahu-tahu
saja pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Rio. Shilla yang dilempari
pertanyaan tersebut secara reflek meneguk ludahnya
“Lo
nggak mau ngancurin mood gue pagi ini
kan, Yo?” balas Shilla retoris.
Rio
menggeleng pelan. “Gue cuma—“
“Kalian
tahu event organizer buat pesta ulang
tahun yang profesional nggak?” potong Shilla sebelum Rio sempat melanjutkan
ucapannya.
“Cakka
tahu,” ceplos Rio.
Shilla
menggigit bibir bawahnya.
“Lo
nggak bisa ngalihin pembicaraan dari gue semudah itu, Shilla. Gue pun nggak ada
niat merusak mood lo sama sekali.
Tapi—“
“Lo
stres gara-gara kantor?”
Kali ini
bukan Shilla yang memotong ucapannya, tetapi Alvin. Pemuda itu tidak tahan
mendengar Rio yang berusaha membahas Cakka. Alvin hanya tak ingin melihat
Shilla merasa terpojokkan.
“Gue
tahu lo nggak bodoh buat ngebaca suasana. Untuk saat ini, simpen apapun yang
ada di benak lo,” tandas Alvin membuat Rio bungkam.
***
Di kelas
Ify dan Sivia. Dua gadis itu tengah sibuk melamun. Bila Ify sedang berpikir
keras tentang orang tuanya yang bersahabat dengan papanya Rio, Sivia justru tak
berhenti mengembangkan senyumnya sejak pagi tadi. Dia tak mengerti mengapa
dirinya jadi seperti ini. Yang terpenting, hanya kejadian di koridor saat dia nyaris
terpeleset yang terputar di otaknya.
“Fy,
menurut lo Alvin gimana?” tanya Sivia tiba-tiba.
“Monyettt!”
dengus Sivia karna sahabatnya itu tak kunjung merespon.
Sivia
merebut paksa novel di tangan Ify dan dia pun tahu bahwa sedari tadi Ify tak
membaca, tetapi melamun—sama seperti dirinya. Akan tetapi, wajah Ify terlihat
serius, bukan senyum-senyum ala orang kasmaran.
“Mikirin
apa lo?” tanya Sivia heran.
“Nggak
tahu. Dari tadi kepikiran kenapa gue nggak tahu kalau bokap sama nyokap gue
sahabatan sama bokapnya Rio,” sahut Ify sekenanya.
“Demi
apa?!” tanya Sivia histeris.
Ify
sampai harus menutup telinganya. Tepat saat itu, Agni dan Cakka bergabung di
bangku mereka. Bahkan baik Ify dan Sivia sama-sama tak sadar kalau bel
istirahat sudah berbunyi.
“Ngomongin
apa sih? Seru amat,” ceplos Cakka.
“Pasti
ngomongin sahabat-sahabat lo, Cak. Mereka kan lagi—“
Agni
secara reflek menutup mulutnya. Dia lupa kalau Cakka tak tahu tentang hubungan
Ify dan Sivia dengan sahabat-sahabatnya di The Wanted.
“Kalian
nyembunyiin sesuatu dari gue?” selidik Cakka.
Tiga
gadis itu menggigit bibir bawahnya, terutama Agni yang keceplosan. Mereka
saling pandang sementara Cakka masih menunggu jawaban mereka. Ify lah yang
pertama bereaksi, gadis itu menghembuskan nafasnya perlahan lalu membalas
tatapan Cakka.
“Bukan
nyembunyiin. Lebih tepatnya, kami merasa nggak perlu cerita,” jelas Ify.
“Ada apa
sih?” tanya Cakka tak paham.
“Hm... Sivia
lagi deket sama Gabriel, gue deket sama Rio. Semuanya nggak sengaja. Sama
persis kayak elo sama Agni. Bedanya, kalian ketemu baik-baik sementara
pertemuan gue dan Sivia dengan Rio dan Gabriel kurang menyenangkan,” jelas Ify
lalu mengambil jeda.
“Kita
bukannya mau—“
“It’s ok. Gue ngerti kok,” potong Cakka
cepat.
“Jadi,
kalian lagi ada something sama
mereka?” imbuhnya.
Ternyata
reaksi Cakka justru di luar dugaan.
“Kalo
Ify sama Rio sih bisa jadi, kalo gue sama Gabriel nggak ada something apapun,” elak Sivia membuat
Ify melotot.
“Sahabat
macem apa sih lu,” dengus Ify.
Cakka
tertawa kecil. Dalam hati, dia sudah menduga bahwa mereka ada something dengan
sahabat-sahabatnya di The Wanted. Dugaan itu muncul saat kejadian di koridor.
Gabriel, cowok yang biasanya diam saja saat Shilla tiba-tiba berbuat ulah
tiba-tiba angkat bicara meskipun diabaikan. Sementara Rio, Cakka tahu kala itu
Rio tak bisa melepaskan pandangannya ke arah Ify.
“Dua
minggu lagi Shilla ulang tahun,” cetus Cakka membuat tiga gadis itu terdiam.
Dia
menghela nafas sejenak, “Menurut kalian gue masih layak nggak kadoin dia
sesuatu?” lirih Cakka.
Sivia
yang pertama membelalakkan matanya. Dia tak habis pikir dengan Cakka, setelah
semua yang dilakukan Shilla ternyata Cakka masih punya pikiran untuk memberi
kado. Kalau Sivia jadi Cakka, dia tak akan sudi! Tentu saja Sivia tak berani
mengungkapkan itu pada Cakka karena tatapan Ify yang menyeramkan. Jadilah Sivia
menelan ucapannya yang baru sampai di tenggorokan.
“Selalu
layak. Biar gimanapun, dia sahabat lo sejak sebelas tahun yang lalu,” sahut Ify
seperti biasa. Tenang dan bijaksana.
“Lo
masih inget ulang tahunnya, Cak?” tanya Sivia.
Cakka
mengangguk. “Gue inget semua tanggal lahir anak The Wanted. Gue juga hafal
ulang tahun kalian,” kekeh Cakka.
“Lo tahu
darimana ulang tahun gue?” selidik Sivia.
“Believe or not, dari facebook Chipieea
ChayankKamoehCelalue yang nggak sengaka gue temuin pas add facebook Agni,” jawab Cakka polos.
“CAKKAAAA
SIALANNNN!!!”
Sejurus
kemudian tawa Ify dan Agni memenuhi ruang kelas. Mereka tak menyangka kalau Cakka menemukan
facebook jahanam—sebutan dari Ify—milik Sivia, tepatnya facebook pertama gadis
itu. Sialnya lagi, akun itu memang publik. Sivia lupa email dan password-nya sehingga tak bisa menghapus
akun tersebut.
“Chipieea
eeaaa,” ledek Agni.
“Diem lu
curut! Kan gue udah bilang, blokir aja facebooknya! Kampret emang lu Ag! Gue
maluuuu,” cerocos Sivia semakin meledakkan tawa mereka.
“Geli
gue. Mana Cakka hapal banget,” kekeh Ify.
“Monyet!
Nggak usah ikutan ketawa lu! Sebel gue! Kayak kalian nggak pernah alay aja
idih,” dengus Sivia.
“EMANG
NGGAK PERNAH!” seru Agni, Cakka dan Ify bersamaan.
Gadis
itu semakin nelangsa. Dia baru ingat Agni dan Ify itu memang bukan tipe anak
yang suka berurusan dengan media sosial.
***
“Sivia.”
Langkah
Sivia terhenti, begitu pula dengan Ify yang berjalan di sampingnya. Keduanya
berbalik dan mendapati Gabriel bersama Rio yang sedang mengenakan jas
laboratorium.
“Apa
lo?” galak Sivia membuat Gabriel mengembangkan senyumnya.
“Biasa
aja kali,” balas Gabriel.
“Udah
biasa. Cepetan bilang, ada apaan? Gue mau ke ruang guru,” sahut Sivia.
“Pulang
sekolah ada acara?” tanya Gabriel membuat Sivia mengernyit.
Terjadilah
drama dari Sivia, gadis itu sok mengingat jadwal-jadwalnya seakan-akan dia
makhluk tersibuk di seluruh dunia. Namun Gabriel tetap menunggu walau dia tahu
Sivia hanya sedang berakting.
“Nggak
ada.”
Bukan.
Bukan Sivia yang menjawab, melainkan sosok Ify yang tak sabar menunggu respon
sahabatnya itu.
“Kok
jadi elo yang jawab? Kan bukan Rio yang nanya,” protes Sivia membuat Ify
melotot karena kebiasaan cablak Sivia.
“Emang
lo nggak ada acara apa-apa kan? Jangan sok taken
gitu kali, jomblo ya jomblo aja. Lagian selama lo nafas di dunia ini belum
pernah ada yang nanya ada acara pulang sekolah apa ngga,” ceplos Ify.
Reflek,
Sivia menginjak kaki Ify hingga gadis itu mengaduh. Sementara itu Gabriel dan
Rio sibuk menahan tawa mereka.
“Lo
jangan jatohin kejombloan gue dong,” dengus Sivia.
Ify
hanya mencibirnya.
“Jadi,
gimana? Nggak ada kan?” goda Gabriel.
“Jangan
pura-pura nggak denger yang dibilang monyet ini lu! Kenapa emang nanya-nanya?
Mau ngajak jalan ya?” sahut Sivia semangat.
“Lah dia
sendiri yang jatohin kejombloannya,” cibir Ify yang diabaikan oleh Sivia.
“Hm, mau
minta temenin aja sekalian gue traktir,” jawab Gabriel.
Mendengar
kata ‘traktir’ gadis itu semakin bersemangat. Apalagi Sivia adalah penganut
prinsip rejeki nggak boleh ditolak
jadi dia juga tak mungkin menolak ajakan Gabriel.
“Wihh!
Mau banget gue!” seru Sivia.
“Tuh kan
emang dia sendiri yang jatohin kejombloannya,” cibir Ify lagi.
“Rio,
ajakin dia nih biar nggak ribut. Jomblo emang suka sirik gitu kalau nggak ada
yang ngajakin jalan,” seloroh Sivia membuat Ify melotot.
“Nanti
pulang sekolah gue emang ada jadwal belajar bareng Ify kok,” sahut Rio kalem.
Sivia ber-oh-ria lalu kembali fokus pada Gabriel, ternyata laki-laki itu tak
bisa menahan kegeliannya.
“Pulang
sekolah nanti lo tunggu di parkiran aja. Gue sama Ify harus ke lapangan indoor dulu soalnya,” jelas
Sivia.
“Siap.
Kalau gitu, kita pergi dulu ya,” pamit Gabriel dan dibalas anggukan oleh Sivia.
“Eh! Eh!
Tunggu dulu!” cegah Sivia.
Gabriel
dan Rio mengernyitkan keningnya.
“Apa
lagi sih, Siv? Lo masih kangen Gabriel? Kita bisa diamuk nih,” dumel Ify.
“Bukan
gue. Itu Rio masih kangen elo tahu! Lo nggak mau ngomong sesuatu dulu sama Ify,
Yo? Daripada nanti nyesel,” cablak Sivia.
Ify yang
awalnya sudah tak sabaran memilih diam. Dia mengamati Rio yang juga tengah
mengamatinya. Mereka sama-sama terdiam, tak tahu harus bicara apa.
“Heleh
ini bocah malah telepati. Yaudah yuk!” cetus Sivia.
“See you again,” ucap Rio pelan namun masih sempat didengar oleh Ify.
Ify
menganggukkan kepalanya kemudian mengikuti langkah Sivia.
***
Alvin
mengamati Shilla yang sedang serius mempersiapkan pestanya. Demi neptunus,
Shilla seribu kali lebih cantik dalam pose seperti itu.
Mungkin kau takkan pernah tahu
Betapa mudahnya kau tuk dikagumi
Mungkin kau takkan pernah sadar
Betapa mudahnya kau tuk dicintai
Tiba-tiba
saja Alvin bersenandung dan memecah fokus Shilla. Gadis itu mendongak seakan
menyelidiki sesuatu.
“Lo
nggak lagi nyindir gue kan?” tanya Shilla membuat Alvin meneguk ludahnya.
“Itu
lagu beneran gue banget, lirik tadi itu pas gitu ya buat Gabriel,” cetusnya.
Shilla
menopang dagu seakan mem-play back
lagu tersebut. Sementara Alvin, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Alvin
meringis, bodoh sekali karena dia sempat berpikir bahwa Shilla mulai peka akan
perasaannya, tapi ternyata dia malah memikirkan Gabriel. Lucu.
“Gabriel
sama Rio kok lama ya balikin jas ke kelas?” tanya Shilla.
Belum
sempat Alvin menjawab, dua pemuda itu datang dan langsung mengambil tempat.
Gabriel di depan Alvin dan Rio di depan Shilla.
“Panjang
umur. Baru aja gue omongin kok kalian lama eh langsung muncul,” cetus Shilla.
“Tadi
mampir ke toilet dulu,” sahut Rio.
Shilla
hanya mengangguk-angguk lalu menjulurkan iPadnya. Di layar iPad tersebut
terdapat contoh-contoh pesta ulang tahun dengan tema fairy tale.
“Ini EO
rekomendasi dari Angel. Menurut kalian gimana?” tanya Shilla.
“Hm, gue
tau nih. Lo pake itu aja, total kok kalo masalah beginian,” jawab Rio.
“Beneran?
Oke deh gue pake EO ini. Lo tahu tempatnya nggak, Yo? Anterin gue dong pulang
sekolah nanti,” ceplos Shilla.
“Malem
aja gimana? Gabriel sama Alvin free
kan malem ini? Ntar sekalian kita hangout
mumpung gue juga nggak ke kantor,” usul Rio.
“Gue
ngikut aja,” ujar Alvin dan Gabriel bersamaan.
Shilla
semakin tersenyum lebar. “Siap! Tapi jemput gue ya?” kekeh Shilla.
“Gue
jemput, tuan puteri,” ujar Alvin.
“Habis
itu jemput Gabriel sama Rio. Biar nggak kebanyakan mobil,” sambung Shilla.
Alvin
menganggukkan kepalanya. Apapun, selama itu untuk Shilla, Alvin akan
melakukannya. Obrolan mereka terhenti karena bel masuk sudah menggema. Gabriel
menatapi makanannya yang belum sempat ia sentuh, lalu mereka bergegas kembali
ke kelas.
Di
perjalanan, mereka berpapasan dengan Cakka dan Agni. Tak ada kehangatan saat
mereka bertemu. Shilla pun berpura-pura tak tahu keberadaan Cakka.
***
Kata orang rindu itu indah
Namun bagiku ini menyiksa
Sejenak kufikirkan untuk kubenci saja
Dirimu...
Agni
dapat memaklumi jika mata Cakka memperlihatkan kerinduan yang mendalam pada
sahabat-sahabatnya di The Wanted. Meski pemuda itu sudah mendapatkan yang
diinginkannya, bukan berarti memori tentang The Wanted bisa terhapus begitu
saja bukan? Maka, saat mereka berpapasan dengan The Wanted, Agni bisa melihat
betapa rindunya Cakka pada mereka.
“Are you okay, bro?” tanya Agni membuat Cakka tergagap.
“Gue
lagi kepikiran pertandingan aja kok. Hm, ya udah kita pisah di sini ya. Nanti
pulang sekolah kita ketemu lagi,” jawab Cakka.
“Kok gue
geli ya dengernya?” kekeh Agni.
Cakka ikut terkekeh, baru menyadari apa yang
diucapkannya sedikit ‘aneh’.
“Ya
pokoknya nanti kita ketemu lagi. Gue ke kelas dulu,” pamit Cakka.
Agni
mengangguk dan memandangi pemuda itu. Barulah ketika Cakka masuk ke kelas dia
kembali ke kelasnya sendiri.
“Lo
makin deket sama Cakka,” cetus seseorang di depan kelasnya.
“Nggak
masuk ke kelas, Yon?” tanya Agni seraya duduk di sebelah Sion, teman
sekelasnya.
“Nggak
ada guru. Hm, lo udah jadian sama Cakka ya?” sahut Sion.
Mendengar
itu, Agni tertawa kecil. “Ngaco banget sih lo. Dapet gosip darimana? Apa malah
elo yang ngegosipin gue?” canda Agni.
“Oh,
belum ternyata. Gimana rasanya, Ag?”
Sejurus
kemudian Agni berhenti tertawa dan memandang bingung ke arah Sion. Pemuda itu
balik menatapnya, menunggu gadis di hadapannya ini mengatakan sesuatu.
“Lo
ngomongin apa sih? Kok gue nggak paham ya? Apa gue mulai lemot?” tanya Agni
beruntut.
Sion
menarik ujung kiri bibirnya. “Harus banget gue perjelas ya, Ag?”
Meskipun
bingung, Agni tetap mengangguk.
“Gimana
rasanya mengagumi dari jauh dan tiba-tiba bisa sedekat ini sama dia?”
Detik
itu tubuh Agni menegang. Mata Agni terbelalak, apa yang disimpannya rapat-rapat
ternyata diketahui oleh seseorang. Dan itu Sion! Mantan kekasihnya sendiri.
“L—lo
ngo-mong apa sih,” elak Agni berusaha menata diri.
Sion
kembali menarik ujung bibirnya.
“Gue
ngomongin kenyataan,” ujar Sion pendek dan terdengar dingin.
“Gue
emang sering bareng sama Cakka tapi itu karna dia temen gue, bahkan udah jadi
sahabat gue. Kenyataan nggak selalu tentang apa yang lo lihat,” bantah Agni.
“Emang
apa yang gue lihat? Lo ke lapangan indoor
setiap hari buat liatin dia main sendirian kayak orang bego?”
Telak.
Agni tak mempercayainya. Dia tak percaya kalau Sion tahu rahasia terbesarnya
yang bahkan tak Ify atau Sivia tahu.
“Lo
mutusin gue bukan karna mau fokus sama basket, tapi karna lo mulai suka sama
Cakka. Dan waktu lo berantem sama Shilla di toilet, gue nggak sengaja denger,
lo mempertahankan Cakka bukan karena dia datang ke elo tapi karena lo nggak mau
kehilangan kesempatan. Ya kan, Ag?” cerocos Sion menahan emosinya yang siap
meledak-ledak.
“Gue
biarin elo ngamatin dia setiap hari karna gue pikir pada akhirnya lo bakalan
bener-bener sayang sama gu—“
“Jangan
diterusin,” potong Agni.
“Gue
ngerasa bego. Disaat gue cuma bisa berharap, dia datang dan dapetin semuanya
tanpa pernah meminta ke elo. Lo kasihin semuanya buat dia. Tahu rasanya gimana?
Berantakan.”
Agni
memejamkan matanya dalam-dalam. Perlahan, air matanya meluruh. Dadanya mendadak
sesak.
“Gue
jahat banget ya, Yon? Gue ngambil Cakka dari Shilla, gue juga ninggalin elo
demi cowok yang nganggep gue sahabatnya,” lirih Agni.
Gadis
itu menundukkan kepalanya.
“Jangan
nangis, Ag. Gue nggak punya hak buat ngehapus air mata lo. Tolong, jangan
nangis,” ucap Sion pelan.
“Gue
ngomong begini karna luka yang lo buat bener-bener dahsyat. Sekeras apapun gue
mencoba benci sama elo, hasilnya tetep sama, gue semakin sayang sama lo,”
lanjut Sion.
“Maafin
gue. Maafin gue. Gue beneran nggak tahu,” lirih Agni.
Sion
terkekeh. “Seandainya lo tahu, apa lo bakalan tetep di samping gue? Apa lo
bakalan lupain Cakka? Coba lo jawab.”
Namun
Agni memilih untuk membungkam. Gadis itu bergelut dengan pikirannya yang
mendadak kacau atas pernyataan-pernyataan Sion. Dia pikir, setelah dia
memutuskan pemuda itu semuanya selesai dan mereka menjadi teman. Ternyata tak
sesederhana itu.
“Itu
jawabannya, Ag. Mau lo tahu apa yang gue rasain atau enggak, nggak akan punya
pengaruh apa-apa.”
Sejurus
kemudian pemuda itu masuk ke kelas dan meninggalkan Agni yang masih tak bisa
membendung air matanya.
***
Bersambung...
Hehehe semoga penantian kalian tidak mengecewakan *berdoa* dan info buat kalian yang baca WYHM di wattpad mulai sekarang ceritanya saya private jadi yang nggak follow akun saya harus follow dulu supaya bisa baca. Begitu....
Sampai jumpa di part berikutnya :)