"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Selasa, 13 September 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 24

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Halo everyone! Maafkan karena lama update. Maklum, udah masuk kuliah & sering kehabisan kuota hehe btw maaf ya kalau di part ini ada typo/salah penulisan. Langsung saja ~

Hope you like it...

24


Sinar matahari berhasil menembus celah jendela gadis yang masih terlelap di balik selimut saat ini. Tak ayal tubuhnya menggeliat ketika sinar mata itu tak hanya berhasil menembus kamarnya, tapi juga mengusik wajahnya. Sivia mendegus, tak bisa memejamkan mata karena silau. Gadis itu lantas menyibak selimutnya dengan sedikit kesal. Saat pupil matanya bergerak tanpa sengaja menatap jam weker yang berada di atas nakas, Sivia dengan spontan melompat dari tempat tidur, menyambar handuknya lalu masuk ke kamar mandi dengan kecepatan kilat.
Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk menyelesaikan acara mandinya. Lima belas menit kemudian dia sudah siap dengan seragam sekolah Budi Karya. Sivia melirik jam wekernya kembali seraya menyambar sepatu yang belum sempat ia cuci sebulan ini, ah persetan dengan sepatu ini.
“Sivia astagaaaa,” pekik Desi yang sudah berada di ambang pintu.
“Lintar aja jam lima pagi udah pergi, kamu malah masih asik di kamar. Perasaan Mama udah nggak enak karena kamu nggak keluar-keluar. Alvin udah nunggu di depan tuh!” omel Desi sambil berkacak pinggang.
Sivia nyengir, gadis itu nyaris saja berangkat sekolah tanpa menyisir rambut jika Desi tidak menariknya. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa nyengir karena tak ingin obrolan ini menjadi kemana-mana dan ia akan semakin terlambat.
“Ponsel!” seru Desi.
“Oh iya,” cetus Sivia spontan menepuk keningnya sendiri.
“Sivia berangkat!” serunya kemudian membuat Desi geleng-geleng kepala.
Dengan langkah cepat gadis itu menuruni anak tangga dan menuju keluar. Sivia meringis mendengar Alvin mengklakson dengan tak sabaran. Pasti pemuda itu akan mengomelinya habis-habisan.
Morning,” kata Sivia begitu masuk ke dalam mobil.
“Cepet banget sih,” sindir Alvin lalu melajukan mobilnya dengan sedikit ngebut.
“Gue kesiangan gara-gara semalem nonton drama korea,” balas Sivia polos tanpa rasa bersalah.
Alvin melirik gadis itu yang mulai sibuk menceritakan kronologi mengapa ia bisa bangun kesiangan. Katanya, drama korea yang semalam ditontonnya benar-benar romantis sehingga Sivia bertekat tidak akan tidur sampai ia selesai menonton. Jam 3 pagi barulah gadis itu terlelap.
“Jangan-jangan lo naksir gue gara-gara mirip artis korea ya?” selidik Alvin.
“Itu bonus aja kali,” sahut Sivia kalem.
Gadis itu tak menyangkal jika Alvin memang merasa dirinya mirip artis korea. Wajahnya memang tampan, sikapnya pun seperti tokoh utama yang sering ia tonton. Kadang pemuda itu sinis, kadang lucu, kadang romantis, kadang menyebalkan. Pokoknya Sivia suka dengan semua hal tentang pemuda di sampingnya ini.
“Pulang sekolah jalan-jalan yuk!” ajak Sivia.
“Ke mana?” tanya Alvin tanpa mengalihkan pandangan.
“Ke mana aja deh. Asal jangan ke Mall. Gue takut lo tinggalin lagi.”
Alvin tak dapat menyembunyikan kegeliannya. Pemuda itu terkekeh lalu mengingat saat ia meninggalkan Sivia di Mall.
“Gue sampai diumumin di bagian anak hilang tahu! Hih malu anjir! Eh omong-omong, waktu itu kenapa tiba-tiba lo pergi sih?” ceplos Sivia.
Bibir Alvin berubah datar kembali. Ingatannya berputar. Saat itu, saat ia meninggalkan Sivia karena tidak ingin mengecewakan Shilla. Saat ia terpaksa turun dari taksi dan berlari sepanjang kilometer hanya karena tak ingin membuat gadis itu menunggu. Saat ia tersenyum lega menyaksikan Shilla berlaga di atas catwalk dengan sempurna. Saat gadis itu memeluknya erat, lebih erat dari seluruh pelukan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Saat Shilla dengan gamblang menyatakan bahwa yang paling ia tunggu bukan dirinya. Dan...
“Woi anjir! Alviiinn! Depan kita pohon!!”
Alvin gelagapan mendengar seruan Sivia secara tiba-tiba lalu dengan reflek menginjak rem. Detik berikutnya pemuda itu mengurut dada dan memastikan gadis di sebelahnya baik-baik saja.
“Lo nggak pa-pa? Nggak kepentok kan?” tanyanya khawatir.
“Kena dashboard dikit, agak nyeri sih,” jawab Sivia menutup keningnya dengan telapak tangan.
Mendengar itu, Alvin melepas seat belt-nya lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Sivia. Beberapa saat kemudian Sivia bisa merasakan telapak tangan Alvin menyentuh keningnya, pemuda itu bahkan meniup kening Sivia seolah dengan begitu nyeri yang dirasakan gadis itu akan musnah dengan ajaib.
Nafas Sivia tercekat. Kali ini bukan hanya meniup, Alvin bahkan kembali mengecup keningnya seperti saat mereka berada di depan kelas.
“Masih nyeri?” tanya Alvin.
Tak mampu berkata-kata, Sivia hanya dapat menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri beberapa kali. Detik berikutnya gadis itu kembali dibuat terperanjat dengan tingkah laku Alvin yang tiba-tiba memeluknya. Hanya sekejap. Tapi ia bisa mencium aroma maskulin pemuda itu hingga membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
“Lain kali jangan lupa pasang seat belt lagi biar nggak ada kejadian kayak tadi. Gue nggak mau lo kenapa-napa,” ujar Alvin seraya memasangkan seat belt Sivia.
Sivia meneguk ludahnya kemudian mengangguk patuh.
***
“Sivia sama Alvin nggak bisa lo hubungin sama sekali?” tanya Shilla yang sedang bertopang dagu.
Ify menggeleng, tidak biasanya Sivia seterlambat ini. Apalagi Alvin. Sejak gadis itu berangkat dan pulang dengan Alvin, tidak pernah sekalipun keduanya terlambat karena Alvin selalu on time. Ya, meskipun hal itu membuat Sivia yang tidak bisa bangun pagi jadi tersiksa setidaknya hal itu bisa melatih kedisplinan gadis tersebut.
“Kalian kok masih di sini? Buruan baris! Pak Remi udah keliling tuh,” ceplos Debo tanpa sengaja melewati dua gadis yang masih betah berdiri di ambang pintu kelas.
“Hm, Shil. Gue baris dulu ya? Lo juga,” kata Ify.
“Iya deh.”
Ify lantas menuju ke lapangan bersama Debo. Shilla, gadis itu menghela nafas kemudian melangkahkan kakinya menuju lapangan. Berhubung kelasnya baris di ujung, ia tak bisa mengekori Ify dan Debo. Rio sudah baris sejak beberapa menit yang lalu, Gabriel entah ke mana, dan Cakka, pemuda itu jadi lebih pendiam hingga Shilla sungkan mengajaknya ke lapangan.
Terpaksa ia melangkah sendirian menuju barisan kelasnya. Ah, hari senin memang menyebalkan. Bukan karena ada upacara, tapi karena sudah terlena dengan libur di hari minggu. Rasanya masih ingin libur.
“Gabriel mana, Shil?” tanya Rio.
Shilla menoleh kemudian menggeleng, “Gue pikir lo tahu.”
“Tadi sih katanya mau nemuin kepsek, tapi belum balik lagi  sampai sekarang.”
“Eh itu dia,” cetus Shilla menunjuk seseorang yang tengah berlari kecil seraya mengenakan topi.
“Darimana aja?” tanya Shilla begitu sosok yang dimaksud sudah berdiri di hadapannya.
“Ada urusan sama kepsek. Yo, geser dong! Biar gue baris di belakang Shilla.”
Rio mengangguk lalu bergeser.
Di lain sisi, Ify masih mencari-cari keberadaan Sivia. Upacara telah dimulai dan gadis itu belum tampak hingga detik ini. Beberapa saat kemudian mata Ify membulat sempurna saat menangkap sosok sahabatnya di barisan anak-anak terlambat.
“Lah itu Sivia sama Alvin kan?” celetuk Debo.
Meskipun pemuda itu berbaris di belakang, suaranya sampai ke telinga Ify yang kebetulan baris di tengah. Barulah Ify menyadari bahwa ada Alvin pula di sana. Sepertinya anak laki-laki tengah membicaran pasangan itu.
“Mereka mikir apa sih sampai bisa telat di hari senin,” gumam Ify.
Baginya, terlambat di hari senin itu petaka. Bagaimana tidak? Semua anak yang terlambat akan tetap mengikuti upacara namun membuat barisan khusus di dekat guru-guru. Tentu itu lebih mengerikan karena mereka jadi pusat perhatian.
***
Gabriel tak bisa fokus pada sosok kepala sekolah yang kini tengah menyampaikan pengumuman. Pemuda itu melirik barisan khusus anak-anak terlambat, lebih tepatnya lagi ia melirik Sivia dan Alvin. Dia mendengus, membenci dirinya sendiri yang tampak bodoh. Sudah jelas ia sakit hati, tapi tak bisa berhenti memandangi.
“... pengumuman penting ini akan disampaikan langsung oleh Gabriel Stevent. Bagi Gabriel, waktu dan tempat saya persilahkan.”
Tak ada reaksi. Matanya masih memandang nanar pada dua sosok di depan sana. Anak-anak yang ada di sekitarnya pun tak kuasa untuk tidak menghujami pemuda itu dengan tetapan heran. Mengapa Gabriel masih diam di tempat?
“Yel, lo dipanggil,” bisik Rio.
Shilla ikut menatap pemuda di belakangnya. “Gabriel!”
“Eh,” cetus Gabriel gelagapan.
“Lo udah dipanggil daritadi. Sana maju!” tandas Shilla.
Selanjutnya pemuda itu hanya bisa melangkah ke depan diiringi tatapan bingung dari anak-anak lain. Gabriel mendesah, kemudian berdiri di hadapan kepala sekolah setelah melemparkan tatapan meminta maaf. Tangan pemuda itu mulai bergerak meraih mikrofon yang berada di hadapannya.
“Tes... ehem,” dehem Gabriel untuk menetralisir kegugupannya.
Sudah sering menghadapi situasi seperti ini, rasanya biasa. Namun entah mengapa kejadian  tadi membuatnya sedikit gugup. Gabriel menghela nafas panjang lalu menghembuskannya melalui mulut. Terlahir menjadi putra pemilik yayasan memang membuat kedudukannya tinggi. Ya, itu memang terdengar tidak adil, tapi percayalah Gabriel mengemban tugas lebih berat dari ketua OSIS.
“Selamat pagi semuanya. Di sini saya akan mengumumkan sesuatu berkaitan dengan acara surprise yang rutin diadakan untuk anak-anak kelas XI,” katanya lalu mengambil jeda cukup panjang.
Kasak-kusuk mulai terdengar. Gabriel menarik sudut kiri bibirnya, ia tahu bahwa mereka semua mulai tak sabar namun dia tetap diam menunggu hingga suara-suara bising itu mereda.
“Seperti biasa setiap tahun akan ada secret project bagi kelas XI. Kalau tahun lalu ada mini concert, tahun ini saya dan teman-teman pengurus OSIS punya sesuatu yang lain dan sudah disepakati kepala sekolah yang terhormat.”
Sontak mereka semua melirik barisan pengurus OSIS yang bertugas sebagai paduan suara dengan tatapan iri. Selain kelas XI, siapapun yang tergabung dalam kepengurusan OSIS bebas mengikuti secret project. Mengingat tahun ini Gabriel sendiri yang turun tangan, pasti acaranya akan lebih hebat dari sebelumnya.
“Dan secret project tahun ini adalah...”
Gabriel tersenyum, sengaja mengulur waktu.
BLIND DATE!!!”
Huaaah. Sorakan meriah memenuhi lapangan pada pagi hari itu seolah tak percuma mereka berangkat di hari senin yang sering disebut-sebut sebagai monster day. Setelah menjelaskan bahwa info lebih lanjut akan di-share di masing-masing kelas, pemuda itu kembali ke barisannya.
***
Pengumuman mengenai secret project SMA Budi Karya yang diumumkan Gabriel masih menjadi trending topic. Yang kelas X berharap tahun depan secret project bagi angkatan mereka akan lebih meriah, dan kelas XII mulai berniat menyusup ke dalam acara—tentu mustahil. Sementara itu, para anak kelas XI yang paling excited, terutama yang masih single karena berharap akan menemukan jodoh mereka di acara tersebut.
“Aduh ini pasti bakalan seru banget. Belum ada anak OSIS yang dateng ke sini ya? Gue penasaran anjir,” ceplos Sivia.
“Kok lo jadi semangat gitu? Inget Alvin, Vi,” timpal Ify tampak santai bersama novel di tangannya.
“Inget. Selalu inget. Tapi kan gue yakin ntar gue sama Alvin pasangan.”
Ify mencibir, “Belum tentu. Gue yakin deh Gabriel sama yang lain udah mikirin itu mateng-mateng biar acaranya bener-bener blind. Mungkin juga gue nggak akan ngenalin elo di acara.”
“Iya juga sih. Ya kalo hoki bisa dapet yang lebih cakep dari Alvin,” seloroh Sivia.
Beberapa menit yang lalu gadis itu bercerita pada Ify mengenai alasannya datang terlambat. Seperti biasa, kesiangan karena menonton drama korea. Ify pun geleng-geleng kepala mendengarkannya. Dan kini, sahabatnya itu berhasil membuat Ify kembali melakukan hal yang sama.
“Eh novel lo baru ya?” celetuk Sivia.
Ify mengangguk, “Semalem beli sama Rio.”
“Dia mau nemenin lo masuk ke toko buku? Betah? Apa lo ditinggal?”
“Kok lo nanyanya gitu?” sewot Ify.
“Gimana ya? Emang lo nggak nyadar ya, Fy? Tiap lo udah diantara rak yang isinya novel-novel, dunia lo tuh pindah ke sana. Bener-bener nggak sadar diri ada orang yang bete nungguin lo kelar,” cerocos Sivia panjang lebar.
Ify sedikit menekuk wajahnya. Saat pertama kali Sivia mengantarnya membeli novel, gadis itu meninggalkannya sendirian karena tidak betah dan berakhir diumumkan di tempat kehilangan anak. Sejak saat itu Sivia tidak pernah mau mengantarnya ke toko buku manapun, mau kecil atau besar. Ify sendiri heran mengapa Sivia tidak pernah hafal dengan sudut-sudut Mall.
“Eh ada anak OSIS dateng!” seru Septian.
Seruan itu membuat seluruh siswa di kelasnya rusuh dan fokus pada salah satu anak pengurus OSIS yang sudah berdiri di depan kelas.
“Selamat pagi semua,” sapa pengurus OSIS tersebut.
“Pagiiii!”
“Kalian pasti udah tahu tujuan gue ke sini. Ada beberapa hal yang akan saya sampaikan sekaligus tegaskan mengenai acara blind date, selebihnya nanti kalian bisa baca sendiri. Jadi, gue harap kalian tenang dulu.”
Seketika ruangan ini berubah senyap. Pemuda yang bertugas di depan sana pun tampak puas lalu melanjutkan ucapannya.
“Yang pertama, dresscode untuk cewek adalah short dress putih polos tanpa hiasan mencolok. Rambutnya juga digulung ke atas ya, jangan pakai bandana atau jepit rambut dalam bentuk apapun. Satu-satunya barang yang boleh kalian bawa adalah dompet putih polos. Kalian juga wajib menggunakan high heels, ingat! Hanya boleh high heels. Warnanya juga putih. Topeng pun nantinya akan dapat dari kami, jadi semuanya sama, hanya beda warna untuk laki-laki dan perempuan.”
What?” pekik Sivia tertahan.
Di sebelahnya, Ify terkekeh karena dugaannya sangat tepat. Tidak mungkin Budi Karya mengadakan acara yang ‘pasaran’ atau abal-abal.
“Sementara laki-laki mengenakan kemeja putih polos, celana hitam dan jas juga hitam. Tanpa dasi! Untuk sepatu, semuanya menggunakan pantopel hitam.”
“Udah?” celetuk Septian.
Pemuda itu menggeleng, “Saat hari H kalian dilarang keras janjian. Semuanya harus berangkat sendiri-sendiri. Tapi, bukan berarti kalian boleh membawa kendaraan atau nyetir sendiri.”
“LAHHH KOK GITU?” protes Debo.
Tampaknya pemuda itu tidak mempedulikan teriakan Debo karena ia terus melanjutkan ucapannya.
“Kalian punya tiga opsi. Naik angkutan umum, diantar atau bawa kendaraan yang belum pernah dilihat anak Budi Karya sama sekali.”
“Udah?” tanya Septian—lagi.
Lagi-lagi pemuda itu menggeleng. “Begitu sampai, kalian wajib langsung masuk ke dalam ruangan. Terus juga masing-masing dari kalian wajib menyiapkan kertas kecil yang berisikan nama kalian. Satu kata aja. Boleh nama panggilan, nama depan, tengah atau belakang. Disimpen aja di saku atau dompet aja bareng sama ponsel kalian.”
“Ya kalo ngarang juga nggak akan tahu,” cibir Debo.
“Tahu.”
“Kok?”
Pemuda itu tersenyum misterius.
“Masih ada lagi nggak?” tanya Septian.
“Terakhir, ponsel kalian harus sudah dalam keadaan mati saat di dalam ruangan. Mati ya, bukan silent mode. Kalau ketahuan siap-siap dirampas sama panitia,” jawabnya.
Beberapa anak tampak melongo. Gila! Banyak sekali aturannya.
“Ya sudah itu saja. Makasih waktunya. Undangannya gue taruh meja, udah sepaket sama topeng, nanti dibagikan sesuai nama. Semua yang gue sampaikan ada di situ buat jaga-jaga kalau kalian lupa,” cerocosnya panjang lebar.
“Yeee aneh lu! Udah ditulis ngapa ngomong segala?” cibir Sivia.
“Namanya juga menegaskan. Dah ah, gue cabut.”
Saat sudah melangkah, pemuda itu justru kembali lagi.
“Satu lagi deng. Undangannya dibawa. Nanti bakal disiapin kotak buat masukin undangan itu. Bakal ada yang ngawasin jadi nggak bisa ngeloyor gitu aja.”
“IYAAAAA!”
Pemuda itu tertawa lalu kabur sebelum mereka menerkam karena gemas.
“Sumpah ini blind date terniat!” seru Debo disetujui yang lainnya.
“Tapi gue yakin bakal seru banget. Lihat aja kita semua dibuat sama bentuknya biar nggak bisa ngenalin satu sama lain, kita bener-bener nggak akan tahu ntar pasangan date kita siapa,” ceplos Septian.
“Eh undangan kalian nih. Debo, Septian, Sivia sama... Ify,” kata Radit membagikan undangan blind date.
Mereka berempat menerima undangan tersebut lalu mulai meneliti. Ah, pantas saja mengarang nama bisa dikenali. Ternyata mereka didata secara tidak langsung. Undangan yang dibagikan sudah dituliskan nama penerimanya, lengkap bersama topeng. Untuk perempuan berwarna hitam, laki-laki putih.
“Baca tanggal baca tanggal!” seru Debo.
“Woi anjir minggu depan pas,” pekik Sivia.
Ify dan Septian lantas ikut melihat tanggal.
“ANJIR ADA BINTANG TAMU RAHASIA!” seru Septian salah fokus.
***
Kedua alis Shilla terangkat membaca segala macam peraturan di dalam undangannya. Ia menoleh, kemudian mendesah saat sadar bahwa orang yang dicari sudah menghilang lagi, entah ke mana.
“Ini gawat nih,” gumam Rio.
Shilla mendongak menatap pemuda itu, “Apa yang gawat?”
“Kalau sistemnya kayak gini gue pasti susah ngenalin Ify,” jawab Rio.
“Ye gue kira apa! Namanya juga blind date. Kalau beruntung ya kalian pasangan, kalau enggak ya udah.”
“Kalau blind date mah belum pernah ketemu sama sekali, Shil. Ini kita semua tiap hari ketemu di sekolah,” celetuk Alvin.
Shilla memutar bola matanya, “Iya sih. Makanya kan kita diseragamin gini sampai pakai topeng segala. Anggap aja nggak pernah ketemu.”
“Maksa,” cibir Alvin
“Eh Gabriel mana?” tanya Shilla.
Berhubung setelah upacara digunakan para pengurus OSIS untuk menyampaikan hal-hal berkenaan dengan secret project, guru-guru pun baru akan mengajar setelah istirahat. Memang yang meng-handle kegiatan-kegiatan di sekolah adalah para pengurus OSIS, nantinya mereka juga yang akan bertugas menjadi panitia blind date—kecuali yang kelas XI.
“Nggak tahu. Dia sekarang suka ilang-ilangan,” kata Alvin.
“Mungkin masih ada urusan soal secret project ini,” sanggah Rio.
“Mending ke kantin yuk!” ajak Shilla.
“Gue chat Ify dulu,” balas Rio kemudian berselancar dengan ponselnya.
“Katanya mereka nanti nyusul. Kita langsung aja.”
Shilla mengangguk-angguk lalu melirik Cakka yang sedari tadi hanya diam, “Nggak ikut ke kantin, Cak?”
“Gue lagi males,” jawab pemuda itu.
“Males kenapa? Nanti juga ketemu Agni langsung semangat lagi,” celetuk Alvin yang hanya dibalas dengan seulas senyum tipis.
“Ng—kalo gitu kita duluan aja, nanti kalo udah nggak males langsung nyusul,” ujar Shilla menengahi.
Dia memang belum bercerita mengenai kejadian kemarin pada yang lain. Hanya dia dan Gabriel yang tahu. Jika Cakka diam, Agni diam dan Gabriel sendiri tidak membahas apapun setelah mengantar Agni pulang, Shilla juga tak berani cerita apapun.
***
Kening Ify berkerut menyadari ada yang aneh. Ia menatap sahabatnya satu persatu, kemudian menghela nafas panjang.
“Kenapa jadi berkurang?” gumamnya.
Rio yang duduk di sebelah gadis itu lantas menoleh, paham akan maksud gadisnya.
“Iya ya? Gabriel, Cakka sama Agni. Mereka ke mana?” sambar Sivia.
“Tadi sih Cakka bilang lagi males,” jawab Alvin.
“Agni pas liat kita langsung kabur,” timpal Rio.
“Gabriel?” tanya Sivia lagi.
“Entah. Dia tadi sempet masuk kelas tapi nggak tahu lagi ke mana,” jawab Alvin lagi sekenanya.
“Gabriel akhir-akhir sih emang susah diajak kumpul. Nah Cakka sama Agni? Kenapa tuh mereka? Nggak biasanya,”  ceplos Sivia.
Yang lain hanya menggelengkan kepala seraya mengedikkan bahu. Shilla sendiri tampak gusar, kemudian gadis itu tiba-tiba sudah berdiri.
“Mau ke mana, Shil?” tanya Ify.
Shilla mengibaskan tangan kanannya, “Hmm—gue... mau... ada  urusan bentar.”
“Urusan apa?” tanya Rio.
“Biasa, masalah job. Tadi manager nyuruh ngehubungin, mau ngomong penting katanya. Gue baru keinget,” jawab Shilla berusaha meyakinkan.
“Gue cabut dulu ya,” imbuhnya.
Setelah sahabat-sahabatnya menganggukkan kepala, gadis itu cepat-cepat pergi. Berada diantara mereka membuat Shilla bingung. Ia tidak bisa pura-pura tidak tahu dan tidak mau keceplosan. Jadi, dia memilih kabur.
Diam-diam Ify mendesah, entah apa yang membuatnya khawatir.
“Omong-omong, gue bingung nih pas blind date ntar berangkat sama siapa,” celetuk Sivia.
“Sama Alvin,” sahut Rio.
“Ye dodol! Kan nggak boleh janjian,” dengus Sivia.
“Bilang aja ketemu di jalan. Alvin nggak sengaja lihat cewek jalan sendirian karna diasingkan, terus dipungut. Panitia pasti kasih dispensasi,” seloroh Rio membuat Sivia yang tak pernah absen menjadi bahan ledekan melotot tajam.
Ify tertawa lebar, membuat matanya sedikit menyipit namun tidak mengurangi kecantikannya. Ia justru tampak cantik dengan tawa itu. Tidak kurang dan tidak lebih. Perpaduan yang pas. Pemandangan yang indah.
***
Kelas sudah sepi sejak sepeninggalan Shilla, Alvin dan Rio. Hanya ada Cakka di dalam sini yang enggan bergerak dari posisinya. Disaat seperti ini ia tidak tahu harus meminta pertimbangan pada siapa. Ify. Nama itu tiba-tiba terlintas, tapi Cakka langsung membuang pikirannya. Sudah berkali-kali ia merepotkan gadis itu, harusnya sekarang ia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri.
Sampai saat ini pun dia belum menghubungi Agni dan gadis itu pun seperti menghilang. Untuk sekarang, Cakka hanya ingin menemukan solusi yang tepat. Ia ingin berpikir jernih tanpa campur tangan siapapun.
Di lain sisi, Gabriel kembali ke taman belakang. Menyendiri. Kembali ia menghilang meskipun urusannya mengenai secret project sudah di-handle tim pengurus OSIS. Seharusnya pemuda itu berada di kantin bersama yang lain, namun kakinya membawa ia melangkah ke mari.
“Yel...”
Pemuda itu mengangkat wajah dan terkejut mendapati Shilla sudah ada di hadapannya.
“Kok di sini?” tanyanya spontan, tanpa basi-basi.
Shilla mengulum senyum lalu duduk di sebelahnya. “Gue bingung pada ngebahas soal Cakka sama Agni yang ikut ngilang kayak elo.”
“Terus?”
“Cakka sama Agni nggak bilang apa-apa. Lo juga diem. Masa gue mau seenaknya bilang soal kejadian kemarin?” ceplos gadis itu.
Gabriel tampak manggut-manggut, “Terus kok tahu gue di sini?”
“Nggak tahu. Tadi emang niatnya ke sini.”
Setelah itu mereka terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa menit kemudian, Gabriel menegakkan duduknya. Ia mengamati sosok Shilla dari samping. Pandangan mata gadis itu tampak kosong.
“Ngalamun, Shil?” cetus Gabriel.
Shilla gelagapan, “Hmm—dikit.”
Kemudian pemuda itu teringat pikiran anehnya mengenai perasaan Shilla padanya. Gabriel berpikir untuk membahas, setidaknya memastikan bahwa pikiran itu tidak benar.
“Shil, gue boleh ngomong agak serius?” tanya Gabriel memulai.
“Apa?” sahutnya seraya menelengkan kepala untuk menghadap Gabriel.
“Gimana ya? Hm, masa gue sempet mikir lo suka sama gue, suka yang bener-bener dari hati ke hati. Itu nggak mungkin kan?”
Sesaat Shilla merasa waktu seolah berhenti di sekitarnya. Jantungnya berpacu cepat, tatapannya masih menuju ke bola mata Gabriel yang sedang mencari jawaban atas pertanyaan barusan. Shilla mendesah kasar, ia segera memalingkan wajah.
“Nggak mungkin,” jawabnya sangat pelan dengan seribu sesak yang menyeruak.
“Sudah gue duga. Ada-ada aja ya gue mikirnya? Aneh banget gitu tiba-tiba kepikiran kayak gitu,” kekeh Gabriel belum menyadari perubahan ekspresi Shilla.
“Gue nggak pernah suka sama lo, Yel. Tapi, gue cinta,” imbuh Shilla tanpa memandang pemuda di sebelahnya.
Gabriel terperanjat. Apa? Cinta? Pemuda itu masih menunggu Shilla menatapnya, berharap bahwa apa yang diucapkan gadis itu hanyalah bentuk gurauan. Namun Shilla masih kukuh untuk tidak menolehkan wajah. Ia justru semakin merundukkan kepala. Tangan Gabriel terangkat, menyentuh wajah gadis itu dan diarahkan untuk menghadapnya. Detik selanjutnya hati Gabriel mencelos karena yang dilihatnya justru bola mata sendu yang siap memproduksi ribuan air mata.
“Sejak kapan, Shil?” tanya Gabriel lembut.
Shilla menggeleng, air mata pertama menyusuri pipinya. Kemudian air mata yang lain menyusul.
“Shil...”
“Gue sayang sama lo, Yel. Nggak tahu sejak kapan. Gue ngerasain sesuatu yang nggak pernah gue rasain ke cowok manapun, termasuk ke Cakka atau Rio atau Alvin. Maafin gue, Yel... maaf...,” ujar Shilla terbata-bata.
“Harusnya gue yang minta maaf,” balas Gabriel.
Shilla kembali menggeleng. Ia tak menyangka hari ini tiba begitu cepat. Hari dimana Gabriel mengetahui semuanya. Awalnya dia siap, tapi mengapa air matanya tumpah juga?
“Gue—“
“Sivia kan, Yel?” potong Shilla cepat.
Pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Pertanyaan yang sudah ingin ia tujukan pada pemuda ini sekitar dua minggu lalu. Setelah ia menerima sesuatu yang bukan haknya.
Mata Gabriel terbelalak lebar. “Maksudnya?”
“Orang yang ada di hati lo. Sivia, kan?” ulang Shilla miris.
“Lo—tahu dari mana?” balas Gabriel kaget.
Shilla terhenyak. Ternyata benar. “Bunga yang lo kasih waktu itu harusnya buat Sivia kan? Bukan gue? Ada nama penerimanya, Yel.”
Sontak bahu Gabriel merosot mendengar penjelasan Shilla. Astaga—bagaimana bisa ia lupa? Isi post card itu masih diingat betul olehnya.
Sivia, would you be my girl?
With Love,
Gabriel
Tak ada yang bisa dilakukan Gabriel selain membawa Shilla ke dalam rengkuhannya. Ia tahu bagaimana rasanya patah hati. Dan Shilla, bagaimana bisa? Kejadian itu sudah cukup lama, tapi Shilla tetap berada di sampingnya. Ia tidak pergi, tapi justru mendekat. Apa yang telah Gabriel lakukan pada gadis sebaik ini?
“Maafin gue, Shil. Maaf.”
Shilla tak menjawab. Ia semakin terisak dalam pelukan Gabriel. Dan Shilla anggap pelukan ini adalah pelukan perpisahan. Gadis itu merapatkan tubuhnya, membalas pelukan Gabriel dengan sangat erat. Setelah ini Shilla berjanji akan berhenti mencintai pemuda ini.
Malam itu di hari ia menemukan post card bucket mawar dari Gabriel.
“Mama kenapa cerai sama Papa? Mama udah nggak sayang sama Papa? Apa dari awal Mama sama papa emang nggak saling cinta?” tanya Shilla pelan.
Mamanya menoleh, tak menyangka akan disodori pertanyaan semacam itu. “Mama sayang sama Papa, Shil.”
“Terus?”
“Oke, Mama akan cerita yang sebenarnya,” putus mamanya membuat Shilla semakin fokus menyimak.
“Dulu kami dijodohkan dan papamu waktu itu sudah ada calon sendiri. Mama pikir setelah menikah perasaan papamu akan berubah, apalagi setelah ada kamu, tapi ternyata sampai sekarang pun Papa belum bisa menerima Mama sepenuhnya.”
“Dan Mama ceraiin Papa?” tebak Shilla.
Mamanya mengangguk, “Buat apa sih mempertahankan sesuatu yang nggak bisa dipertahankan? Lagipula papamu sudah terlalu baik, dia bertahan sama Mama bertahun-tahun. Sudah saatnya Mama melepaskan.”
“Kalau aku di posisi Mama, apa aku juga harus mengambil keputusan seperti Mama?” tanya Shilla.
Wanita itu sedikit tertegun namun kemudian menganggukkan kepalanya.
“Cinta itu bukan tentang saling memiliki karena meskipun dia di samping kamu, tapi di hatinya nggak ada kamu, itu namanya bukan cinta.”
Lantas Shilla mengurai pelukan mereka terlebih dahulu.
Thanks ya, Yel,” kata Shilla kemudian beranjak meninggalkan Gabriel yang masih termangu. Shilla mempercepat langkahnya, tiba-tiba ia kembali mengingat ucapan Ify.
One day, you’ll find. Lo akan menemukan kebahagiaan lo sendiri sekalipun not with him.”
***
Bel pulang sekolah menggema ke seluruh sudut Budi Karya. Hari ini terasa berat. Cakka melangkahkan kakinya sendirian untuk menuju ke lapangan basket untuk latihan rutin setiap minggunya.
“Cak, gue duluan ya!”
Pemuda itu menoleh dan mendapati sosok Rio bersama Ify di sampingnya.  Gadis itu menatap tajam ke arahnya seolah tengah menyelidiki sesuatu.
“Iya,” cicit Cakka lalu buru-buru ke lapangan.
Sesampainya, baru ada segelintir anak yang tengah mengobrol ringan di bagian tepi.
“Sendirian aja, Cak?” tanya Olin.
Cakka tersenyum paksa lalu mengangguk. Ia paham bahwa Olin pasti menanyakan keberadaan Agni.
“Tadi kan Agni ijin katanya lagi nggak enak badan,” celetuk Debo.
“Nggak enak badan kenapa?” tanya Cakka reflek.
Semua anak lantas memandangnya dengan tatapan aneh.
“Kan lo cowoknya, masa nggak tahu?” balas Debo membuat Cakka meneguk ludahnya sendiri.
Pemuda itu tercenung. Apa masih bisa ia disebut sebagai  ‘cowoknya’ Agni? Ya, setelah kemarin dengan semena-mena mengatakan bahwa mereka break. Sumpah, Cakka tak akan menyalahkan gadis itu jika pada akhirnya Agni tidak mau mengakuinya sebagai pacar lagi.
“Jangan bilang kalian putus,” selidik Olivia.
Cakka tak mengatakan apa-apa. Pemuda itu justru berjalan menuju ruang ganti pakaian. Lagi-lagi ia merasakan anak-anak itu menghujaminya dengan tatapan aneh. Bukannya mengganti seragam sekolah dengan seragam basket, Cakka memilih untuk duduk di kursi yang biasa digunakan untuk mengantri.
Baru sehari memutuskan menjauh dari Agni saja ia sudah serindu ini pada gadis itu. Cakka rindu aroma bedak bayi yang selalu menyeruak ketika bersama Agni. Argh, dia bingung. Benar-benar bingung.
“Hubungan lo sama Agni lagi nggak baik?”
Cakka terkejut dengan kedatangan Debo yang tiba-tiba.
“Kok lo di sini?” balas Cakka.
Debo tak menyahut, pemuda itu lantas duduk di sebelah Cakka kemudian menarik nafas panjang. Sepertinya firasat mengenai hubungan Cakka dan Agni yang merenggang memang benar terjadi.
“Kita kenal nggak begitu lama, Cak. Tapi gue tahu arti baket buat elo itu seperti apa.”
Cakka menatap ujung sepatunya dengan risau.
“Percaya sama gue. Sekarang Agni pun ada di posisi yang sama persis kayak elo,” lanjut Debo.
“Gue nggak  bisa bantu apa-apa. Tapi, gue perlu menjelaskan kalau anak-anak bukan nggak suka sama hubungan kalian. Kami lebih nggak suka sama sikap kalian yang sekarang, cenderung lalai sama tanggung jawab.”
Cakka menghela nafas panjang. Ia tahu itu. Masalahnya, dia berpikir jika tetap bersama Agni, mereka akan ‘lupa diri’ lagi.
***
“Kayaknya mendingan kita sampai di sini aja. Aku capek, Fy...”
Ify menatap sosok Rio dengan tatapan tak percaya.
“Kamu ngomong apa sih, Yo? Lagi ngajakin bercanda?” tanya Ify berusaha tertawa namun terdengar hambar.
Rio menggelengkan kepalanya, “Aku beneran capek, Fy. Aku capek jadi orang yang nggak berguna. Aku capek jadi orang yang nggak dibutuhkan sama kamu,”
“Kamu sakit?”
“Kamu tahu apa yang diimpikan laki-laki?” balas Rio.
Ify tak menjawab. Gadis itu menatap Rio dalam-dalam, mencoba menelusuri apa yang  akan dikatakan pemuda itu.
“Jadi orang yang selalu dicari dan dibutuhkan. Sementara selama ini kamu selalu melakukan semuanya sendiri. Tanpa aku.”
“Itu karena aku bisa melakukannya sendiri!” bantahnya.
Rio tersenyum, “Iya. Kamu bener. Kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Kamu terlalu sempurna, Ify. Kamu mengisi semua kekosongan yang aku butuhkan, sementara aku nggak pernah mengisi apapun di hidup kamu.”
Ify memejamkan matanya, menahan sesak yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Selanjutnya ia merasakan sesuatu menyusuri pipinya. Ia menangis.
“Ada atau enggaknya aku di hidup kamu, nggak akan punya arti apa-apa,” lanjut Rio.
Perlahan hati Ify mulai tersayat. “Mau kamu apa, Yo?”
“Maafin aku, Fy. Aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Tapi, sayang dan cinta bukan berarti harus pacaran kan, Fy?”
“Ok. We’re done.”
***
Bersambung...

Duh maaf banget lama update. Aku udah masuk kuliah dan langsung dapet tugas jadi sulit mencari waktu luang hmm. Btw kalau ada salah-salah penulisan di part ini akan saya perbarui tapi nggak bisa cepet hehe. Ditunggu komentarnya