Eliza
Author: Fanny Salma
Aku Eliza. Meskipun namaku Eliza, tapi aku lebih dikenal sebagai
Icho. Entah nyambungnya dari mana, setidaknya aku lebih suka dipanggil Icho
daripada Eliza, sebab nama Eliza terkesan sebagai perempuan alim yang hobinya
jadi anak baik. Bukan aku banget! Hampir semua siswa SMA Hujan tahu siapa itu
Icho, tukang palak level dewa, premannya preman dan lebih parah lagi, tukang
sedot dompet.
Jangan bilang aku kere! Aku bukan anak orang miskin, justru papa
sanggup untuk bayar uang sekolah anak-anak SMA Hujan ini. Hidup memang keras
dan gila. Saking gilanya, aku malah lebih bangga jadi tukang palak.
Mama sudah lama meninggal, papa sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun
jarang pulang ke rumah. Dan satu lagi, aku punya adik yang wajahnya sangat
mirip denganku, namanya Harisa dan dipanggil Icha. Persetan dengan bocah itu!
Aku dan dia berbeda seribu derajat. Simple-nya,
semua yang baik ada di dia, yang buruk aku saja yang punya.
Sekarang ini aku sedang berjalan di koridor sekolah. Tidak perlu
bertanya bagaimana reaksi anak-anak ketika melihatku. Penuh benci, penuh caci,
penuh maki. Tapi aku selalu bersikap seolah sedang berjalan di koridor yang
sepi dengan seragam sekolah amburadul.
Sebagai anak yang reputasinya sudah jelek, tidak tanggung-tanggung
aku membuat diriku semakin mengenaskan. Seragam penuh coretan, kekecilan dan
tidak sesuai aturan. Biar tahu rasa guru-gurunya. Semakin aku diatur, semakin
aku berulah. Meski begitu, aku tidak akan memakai baju yang belum dicuci,
seragamku pun wangi. Sumpah! Kalau tidak percaya, kalian semua boleh mencium ketiakku
dengan gratis.
Aku ditempatkan di kelas XI IPS 2 dimana isinya hanya anak-anak
menakjubkan seperti aku ini, tidak peduli otak kalian segenius apa. Asal kalian
tahu, aku justru senang dapat masuk di kelas ini. Bukan kelas-kelas lain yang
kebanyakan merasa paling sempurna, paling princess
dan penuh drama queen. Woi! Ini dunia
nyata! Bukan dongeng!
“Ke mana aja lo? Jam segini baru sampai kelas,” tegur Emeur—tapi
aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Silvi. Sohib sejati yang sama saja
sepertiku. Omong-omong, aku sering menginap di rumahnya.
“Biasa,” jawabku sekenanya.
Selanjutnya, aku duduk di bangku tanpa rasa berdosa. Okay aku harus
mengakui sesuatu, sekarang memang sudah jam istirahat, itu artinya aku
melewatkan empat jam pelajaran.
“Lama-lama warung depan bubar gara-gara elo,” celoteh Emeur. Satu point lebih dari ini anak, pandai bersilat
lidah alias cablak.
“Saus tartar! Gue cuma makan bakwan empat biji sama es teh.
Palingan cuma tiga ribu lima ratus, nggak bakalan bikin kere,” balasku setengah
sewot.
“Haha sialan! Belagu banget lu. Tiga ribu lima ratus juga lo nggak
sanggup bayar. Lagian nggak akan bikin kere kan kata elo, siapa tahu si Parjo
berbaik hati buat nggak ngeluh karna utang lo numpuk.”
Ah masa bodoh dengan bocah ini, aku sedang tidak mood nyari ribut.
Tapi sepertinya Emeur memang tidak mudah menyerah, dia menyerangku
dengan gelitikan menyebalkan dan membuatku tertawa sambil menghindar. Sialan. Mana ada preman kalah dengan
gelitikan? Aku jadi merasa kesal dengan peranku di sini.
“Iya iya gue kalah,” dengusku.
Akhirnya penyiksaan Emeur berakhir. Aku heran mengapa aku betah
sekali berteman dengannya, padahal aku tidak pernah berharap punya teman yang
hobi menggelitikiku seperti tadi. Untungnya hanya dia yang tahu kelemahanku.
Kalau sampai musuh besar tahu, habis sudah. Memalukan.
***
“Cho, dapet salam dari anak sebelah,” ceteluk Ainy. Ainy ini
tetanggaan dengan Emeur, makanya aku mengenal. Tapi aku dan Emeur lebih suka
memanggilnya dengan sebutan Tullinah.
“Siapa?” sahutku acuh tak acuh. Lagian, sejak kapan ada yang kirim
salam segala?
“Pocong perawan.”
Aku melongo mendengar jawaban Ainy. Memangnya di SMA Hujan yang
elit ini punya murid pocong? Ya meskipun ini bangunan Belanda, aku yakin kalau
sekolah ini nggak punya setan senorak pocong. Eh—norak? Ya maksudku, tentara
Belanda yang meninggal nggak mungkin dipocongin dulu kan? Ah sudahlah.
“Ngapain lo berdiri depan pintu?”
Mendengar suara yang tak asing, aku menoleh. Ini Fanny, cewek
paling alim di sekolah. Dia rajin mengerjakan PR, tidak nakal, tidak banyak
ulah dan santun di depan orang yang lebih tua. Ah, Tullinah—eh maksudku Ainy
ternyata sudah pergi.
“Lo tahu yang namanya pocong perawan nggak?” tanyaku tidak
nyambung.
Fanny mengangguk. Oh, jelas dia tahu lah. Fanny kan ramah dengan
semua orang. Omong-omong, pocong perawan termasuk jenis orang nggak sih?
“Anak kelas sebelah. Masak lo nggak tahu?” sahutnya.
“Ya kalo gue tahu nggak mungkin nanya,” oke aku mulai sewot.
“Namanya Arip, pacarnya Difna.”
Kali ini aku melongo. Pacar Difna? Demi apa?!
“Serius lo?” tanyaku tak percaya, tapi Fanny mengangguk polos. Eh
emang dia polos deng.
“WOIII!”
“Ucetguemaulangsungnikahaja.”
Ups. Iya, itu aku yang latah. Kenapa? Mau protes? Aku langsung melirik
ke arah orang yang sudah datang tanpa permisi, pakai teriak-teriak segala. Dan
detik itu aku mendapati Emeur yang nyengir tak jelas. Sialan.
“Lo mau gue mati cepet, Sil?”
“Nggak. Gue mau lo langsung nikah aja,” sahut Emeur sambil
cekikikan.
Lama-lama pamorku sebagai preman di sekolah ini turun drastis cuma
karna Emeur yang suka menghayal jadi bintang jatuh ini. Halah.
“Oh, lo mau nikah sama Arip, Cho?” tanya Fanny lagi-lagi sangat
polos.
“Nggak lah! Gue aja nggak tahu siapa dia. Lagian gue nggak suka
pacar orang,” elakku cepat.
“Cho! Cho!”
Aku mengernyit heran. Kenapa nih si Fanny? Tiba-tiba saja dia
memutar badanku hingga nyaris menabrak cowok gendut berkacamata, tingginya
hanya beda beberapa centi denganku. Saat aku mencoba melihat dengan jelas
wajahnya, dia malah kabur. Ah, aku lupa kalau aku preman sekolah.
“Itu tadi namanya Arip,” cetus Fanny yang membuatku hampir
tersedak.
“Demi apa lo?” tanyaku sambil melotot.
“Kayaknya dia salting lihat elo.”
Hah?! “Jangan ngaco!”
Fanny terkekeh, begitu pula si sialan Emeur. Dua bocah ini minta
ditendang ke tempat sampah. Ah tapi Fanny bagusnya dibuang ke pelukan Gabriel,
dia cocok sekali dengan Gabriel.
“Tiati lo, Cho. Bentar lagi status preman lo ilang dan digantikan
perusak hubungan orang,” celetuk Emeur.
“Elo tuh! Perusak mood
gue.”
Tanpa sengaja kulihat si Arip—yang harus kuakui, namanya terlalu
bagus dan tidak sesuai dengan wajahnya—sedang berjalan bersama Difna. Difna ini
pernah bertengkar denganku saat di kantin karena berebut bakso. Jangan tanya
siapa yang menang! Icho tentunya. Difna berhasil kutendang hingga baksonya
menyumpal mulutnya. Keren kan, aku?
“Apa lo?!”
Etdah. Difna ini galak juga.
“Eh, halo Difna! Cieee pacarnya cantik banget sih,” balasku tak mau
kalah.
Difna melotot lalu memandangku sengit. “Ngiri?”
***
Terkutuk sudah manusia bernama Arip. Si pocong perawan itu berhasil
membuatku malu di depan banyak orang! Sekarang gue menyayangkan kenapa harus
ada makhluk seperti dia di bumi ini. Ya tidak apa-apa dia ada di bumi ini,
asalkan dia berada di belahan bumi selatan dan aku utara.
Setelah acara pelototan mata dengan Difna, aku dan Difna mengulang
kembali kejadian di kantin yang kuceritakan, bedanya tanpa bakso yang menyumpal
di bibir Difna. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Si pocong perawan itu
membelaku.
Memangnya aku selemah apa sih segala dibelain?!
“Sialan! Brengsek! Sialan! Brengsek!”
Hanya dua kata itu yang kuserukan sedari tadi.
Di sekelilingku ada Emeur—sahabat setiaku, meski hati kecilnya
sering sakit karna digantung—lalu Fanny, dan Tullinah—eh maksudku Ainy. Mereka
bertiga hanya terdiam sambil mendengarkan suara kotorku sedari tadi.
Kalau seperti ini aku jadi merasa seperti orang yang sedang dirukiyah.
Sialan.
“Kayaknya Arip naksir elo beneran deh,” kata Fanny memecah
keheningan.
Aku menoleh dan menunjukkan wajah sangarku tapi cewek itu malah
tertawa.
“Jangan sok galak deh, Cho. Muka lo nggak mendukung,” kilahnya.
Halah. Percuma ternyata.
“Terus sekarang lo mau apa?” tanya Ainy.
“Gue mau... bikin pocong perawan sama Difna putus beneran.”
“HAH?!”
*end*