"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Selasa, 27 Januari 2015

Cerpen - ELIZA


Eliza 
Author: Fanny Salma
 


Aku Eliza. Meskipun namaku Eliza, tapi aku lebih dikenal sebagai Icho. Entah nyambungnya dari mana, setidaknya aku lebih suka dipanggil Icho daripada Eliza, sebab nama Eliza terkesan sebagai perempuan alim yang hobinya jadi anak baik. Bukan aku banget! Hampir semua siswa SMA Hujan tahu siapa itu Icho, tukang palak level dewa, premannya preman dan lebih parah lagi, tukang sedot dompet.
Jangan bilang aku kere! Aku bukan anak orang miskin, justru papa sanggup untuk bayar uang sekolah anak-anak SMA Hujan ini. Hidup memang keras dan gila. Saking gilanya, aku malah lebih bangga jadi tukang palak.
Mama sudah lama meninggal, papa sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun jarang pulang ke rumah. Dan satu lagi, aku punya adik yang wajahnya sangat mirip denganku, namanya Harisa dan dipanggil Icha. Persetan dengan bocah itu! Aku dan dia berbeda seribu derajat. Simple-nya, semua yang baik ada di dia, yang buruk aku saja yang punya.
Sekarang ini aku sedang berjalan di koridor sekolah. Tidak perlu bertanya bagaimana reaksi anak-anak ketika melihatku. Penuh benci, penuh caci, penuh maki. Tapi aku selalu bersikap seolah sedang berjalan di koridor yang sepi dengan seragam sekolah amburadul.
Sebagai anak yang reputasinya sudah jelek, tidak tanggung-tanggung aku membuat diriku semakin mengenaskan. Seragam penuh coretan, kekecilan dan tidak sesuai aturan. Biar tahu rasa guru-gurunya. Semakin aku diatur, semakin aku berulah. Meski begitu, aku tidak akan memakai baju yang belum dicuci, seragamku pun wangi. Sumpah! Kalau tidak percaya, kalian semua boleh mencium ketiakku dengan gratis.
Aku ditempatkan di kelas XI IPS 2 dimana isinya hanya anak-anak menakjubkan seperti aku ini, tidak peduli otak kalian segenius apa. Asal kalian tahu, aku justru senang dapat masuk di kelas ini. Bukan kelas-kelas lain yang kebanyakan merasa paling sempurna, paling princess dan penuh drama queen. Woi! Ini dunia nyata! Bukan dongeng!
“Ke mana aja lo? Jam segini baru sampai kelas,” tegur Emeur—tapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Silvi. Sohib sejati yang sama saja sepertiku. Omong-omong, aku sering menginap di rumahnya.
“Biasa,” jawabku sekenanya.
Selanjutnya, aku duduk di bangku tanpa rasa berdosa. Okay aku harus mengakui sesuatu, sekarang memang sudah jam istirahat, itu artinya aku melewatkan empat jam pelajaran.
“Lama-lama warung depan bubar gara-gara elo,” celoteh Emeur. Satu point lebih dari ini anak, pandai bersilat lidah alias cablak.
“Saus tartar! Gue cuma makan bakwan empat biji sama es teh. Palingan cuma tiga ribu lima ratus, nggak bakalan bikin kere,” balasku setengah sewot.
“Haha sialan! Belagu banget lu. Tiga ribu lima ratus juga lo nggak sanggup bayar. Lagian nggak akan bikin kere kan kata elo, siapa tahu si Parjo berbaik hati buat nggak ngeluh karna utang lo numpuk.”
Ah masa bodoh dengan bocah ini, aku sedang tidak mood nyari ribut.
Tapi sepertinya Emeur memang tidak mudah menyerah, dia menyerangku dengan gelitikan menyebalkan dan membuatku tertawa sambil menghindar. Sialan. Mana ada preman kalah dengan gelitikan? Aku jadi merasa kesal dengan peranku di sini.
“Iya iya gue kalah,” dengusku.
Akhirnya penyiksaan Emeur berakhir. Aku heran mengapa aku betah sekali berteman dengannya, padahal aku tidak pernah berharap punya teman yang hobi menggelitikiku seperti tadi. Untungnya hanya dia yang tahu kelemahanku. Kalau sampai musuh besar tahu, habis sudah. Memalukan.
***
“Cho, dapet salam dari anak sebelah,” ceteluk Ainy. Ainy ini tetanggaan dengan Emeur, makanya aku mengenal. Tapi aku dan Emeur lebih suka memanggilnya dengan sebutan Tullinah.
“Siapa?” sahutku acuh tak acuh. Lagian, sejak kapan ada yang kirim salam segala?
“Pocong perawan.”
Aku melongo mendengar jawaban Ainy. Memangnya di SMA Hujan yang elit ini punya murid pocong? Ya meskipun ini bangunan Belanda, aku yakin kalau sekolah ini nggak punya setan senorak pocong. Eh—norak? Ya maksudku, tentara Belanda yang meninggal nggak mungkin dipocongin dulu kan? Ah sudahlah.
“Ngapain lo berdiri depan pintu?”
Mendengar suara yang tak asing, aku menoleh. Ini Fanny, cewek paling alim di sekolah. Dia rajin mengerjakan PR, tidak nakal, tidak banyak ulah dan santun di depan orang yang lebih tua. Ah, Tullinah—eh maksudku Ainy ternyata sudah pergi.
“Lo tahu yang namanya pocong perawan nggak?” tanyaku tidak nyambung.
Fanny mengangguk. Oh, jelas dia tahu lah. Fanny kan ramah dengan semua orang. Omong-omong, pocong perawan termasuk jenis orang nggak sih?
“Anak kelas sebelah. Masak lo nggak tahu?” sahutnya.
“Ya kalo gue tahu nggak mungkin nanya,” oke aku mulai sewot.
“Namanya Arip, pacarnya Difna.”
Kali ini aku melongo. Pacar Difna? Demi apa?!
“Serius lo?” tanyaku tak percaya, tapi Fanny mengangguk polos. Eh emang dia polos deng.
“WOIII!”
“Ucetguemaulangsungnikahaja.”
Ups. Iya, itu aku yang latah. Kenapa? Mau protes? Aku langsung melirik ke arah orang yang sudah datang tanpa permisi, pakai teriak-teriak segala. Dan detik itu aku mendapati Emeur yang nyengir tak jelas. Sialan.
“Lo mau gue mati cepet, Sil?”
“Nggak. Gue mau lo langsung nikah aja,” sahut Emeur sambil cekikikan.
Lama-lama pamorku sebagai preman di sekolah ini turun drastis cuma karna Emeur yang suka menghayal jadi bintang jatuh ini. Halah.
“Oh, lo mau nikah sama Arip, Cho?” tanya Fanny lagi-lagi sangat polos.
“Nggak lah! Gue aja nggak tahu siapa dia. Lagian gue nggak suka pacar orang,” elakku cepat.
“Cho! Cho!”
Aku mengernyit heran. Kenapa nih si Fanny? Tiba-tiba saja dia memutar badanku hingga nyaris menabrak cowok gendut berkacamata, tingginya hanya beda beberapa centi denganku. Saat aku mencoba melihat dengan jelas wajahnya, dia malah kabur. Ah, aku lupa kalau aku preman sekolah.
“Itu tadi namanya Arip,” cetus Fanny yang membuatku hampir tersedak.
“Demi apa lo?” tanyaku sambil melotot.
“Kayaknya dia salting lihat elo.”
Hah?! “Jangan ngaco!”
Fanny terkekeh, begitu pula si sialan Emeur. Dua bocah ini minta ditendang ke tempat sampah. Ah tapi Fanny bagusnya dibuang ke pelukan Gabriel, dia cocok sekali dengan Gabriel.
“Tiati lo, Cho. Bentar lagi status preman lo ilang dan digantikan perusak hubungan orang,” celetuk Emeur.
“Elo tuh! Perusak mood gue.”
Tanpa sengaja kulihat si Arip—yang harus kuakui, namanya terlalu bagus dan tidak sesuai dengan wajahnya—sedang berjalan bersama Difna. Difna ini pernah bertengkar denganku saat di kantin karena berebut bakso. Jangan tanya siapa yang menang! Icho tentunya. Difna berhasil kutendang hingga baksonya menyumpal mulutnya. Keren kan, aku?
“Apa lo?!”
Etdah. Difna ini galak juga.
“Eh, halo Difna! Cieee pacarnya cantik banget sih,” balasku tak mau kalah.
Difna melotot lalu memandangku sengit. “Ngiri?”
***
Terkutuk sudah manusia bernama Arip. Si pocong perawan itu berhasil membuatku malu di depan banyak orang! Sekarang gue menyayangkan kenapa harus ada makhluk seperti dia di bumi ini. Ya tidak apa-apa dia ada di bumi ini, asalkan dia berada di belahan bumi selatan dan aku utara.
Setelah acara pelototan mata dengan Difna, aku dan Difna mengulang kembali kejadian di kantin yang kuceritakan, bedanya tanpa bakso yang menyumpal di bibir Difna. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Si pocong perawan itu membelaku.
Memangnya aku selemah apa sih segala dibelain?!
“Sialan! Brengsek! Sialan! Brengsek!”
Hanya dua kata itu yang kuserukan sedari tadi.
Di sekelilingku ada Emeur—sahabat setiaku, meski hati kecilnya sering sakit karna digantung—lalu Fanny, dan Tullinah—eh maksudku Ainy. Mereka bertiga hanya terdiam sambil mendengarkan suara kotorku sedari tadi.
Kalau seperti ini aku jadi merasa seperti orang yang sedang dirukiyah. Sialan.
“Kayaknya Arip naksir elo beneran deh,” kata Fanny memecah keheningan.
Aku menoleh dan menunjukkan wajah sangarku tapi cewek itu malah tertawa.
“Jangan sok galak deh, Cho. Muka lo nggak mendukung,” kilahnya.
Halah. Percuma ternyata.
“Terus sekarang lo mau apa?” tanya Ainy.
“Gue mau... bikin pocong perawan sama Difna putus beneran.”
“HAH?!”
*end*

Senin, 26 Januari 2015

Rash Band Ready to Fly!


Hallo!

Kali ini gue kembali ngebahas Rash Band. Ya, gue sempet ngenalin siapa aja personil Rash Band di postingan sebelumnya (bisa dilihat di sini). Okay, back to tulisan gue. Seperti judul, Rash Band Ready to Fly! Sebelumnya, gue mau bikin pengakuan kalau judul postingan ini tiba-tiba muncul sebelum gue mau tidur (bukannya inget doa tidur malah inget Rash Band).

Finally, band baru yang gue yakini punya kualitas dan akan mampu bersaing di permusikan Indonesia ini berhasil menggarap single pertama mereka. Bagian terpenting di sini, lagunya ciptaan salah satu personilnya sendiri, Gabriel. Buat GabFC atau yang mengikuti perkembangan Gabriel sih nggak akan heran karna sebelumnya Gabriel sudah pernah menciptakan lagu (dan semoga lagunya juga bakal masuk di album Rash Band ya. Hihi) tapi yang namanya kekaguman dan kebangaan pasti selalu ada. Seperti lagu ciptaan Gabriel sebelumnya (Menanti Dirimu), cowok ini kembali menciptakan lagu dengan judul dan lirik teramat galau. Harapan semu.
Jawaban Gabriel mengenai lagu ciptaannya


Penampakan lirik lagu Harapan Semu ciptaan Gabriel

 Bisa dilihat liriknya yang begitu dalem. Ini baru liriknya. Gimana lagunya? Mungkin bisa lebih galau lagi. I think, ini permulaan yang hebat. Nyatanya baru dikasih lihat liriknya aja udah banyak yang nggak sabar mau dengerin. Including me! 

Setelah dibuat kepo dengan tweet-tweet Gabriel dan yang lainnya, akhirnya cowok-cowok ini berhasil rekaman juga. Kalau dilihat di twitter, Gabriel memang sedang sibuk-sibuknya dengan sekolah, muncul di twitter pun jarang, kalo pun muncul yang diomongin nggak jauh-jauh dari masalah sekolah. Maklum, mau UN. Dan ketika kabar gembira mengenai single perdana Rash Band ini meluap, banyak sekali yang support. Alhamdulillah.
Tweet-tweet Gabriel saat tahun baru (sukses ya buat Try Out dan UN-nya) 





Tweet personil Rash Band mengenai rekaman Harapan Semu

Suasana rekaman single Harapan Semu
 
Gabriel dan Dhanu juga sempat meng-cover lagu Sayap Pelindungmu (by The Overtunes) (NB: sekalian follow ya) yang di-upload di soundcloud. Pertama kali denger, seperti biasa langsung suka dengan suara Gabriel (halah ini mah curahan fans ya-_-) dan makin kagum juga sama Dhanu. Dari awal memang gue tertarik sama yang namanya Dhanu wkw. Bayangin, itu baru berdua, gimana kalau lengkap? Lebih dari perfect kali ya.


 Update Gabriel dan Dhanu mengenai lagu coveran mereka
Oh iya, tanggal 24 kemarin Gabriel berumur 17th. Tanggal 25-nya ada B’day Party yang katanya Gabriel nyanyiin Harapan Semu perdana di acara itu (waktu itu Gabriel juga sempet nge-tweet, katanya nggak boleh direkam wkw). Makin penasaran! Galuh juga ulang tahun di tanggal 26 kalau nggak salah, soalnya saya telat ngucapin._.

Rasanya bener-bener nggak nyangka langkah Gabriel sampai di sini. Sama seperti Ify (another inspirator). Gabriel sama Ify dulu terlihat paling pendek di Idola Cilik 1, tapi sekarang dua-duanya sama-sama pandai di akademis & non-akademis, udah tinggi juga. Lain kali saya bahas mereka berdua ya, eksklusif(?)

Untuk kedepannya, gue secara pribadi berharap dan mendoakan supaya Rash Band semakin mengudara. Semoga bisa tour keliling Indonesia (dan plis, semoga kita ketemu-_-), semakin sukses pokoknya. Menggabungkan beberapa orang dengan kepribadian berbeda memang nggak mudah, jadi gue harap personilnya selalu kompak dan solid. Semoga diberikan kemudahan juga dalam partisipasinya di dunia musik. Indonesia butuh anak-anak berprestasi dan berkualitas sepeti kalian :)

Pokoknya untuk Gabriel, Dhanu, Galuh dan Ryan, tetap jadi remaja yang rendah diri, yang ramah sama kami, yang benar-benar inspirating meskipun suatu saat kalian 'terbang' lebih tinggi. Dan untuk Rasher atau siapapun yang baca tulisan ini, terus kejar impian kalian (usaha dan berdoa yang terpenting) tanpa pernah 'lupa diri'.

Sukses untuk Rash Band dan 'Harapan Semu'-nya. Yang punya harapan semu biarin tokoh yang ada di lirik lagu ya, kalian jangan(?)

The Last,
"Bermimpi itu mudah, yang sulit adalah ketika Anda harus berjuang untuk mewujudkan mimpi tersebut."