Tittle: Story About Us
Author: Fanny Salma
NB: Jangan dicopast please.
Seorang
pemuda tengah men-dribble bola basket
ke arah ring. Dengan lincah, kaki itu
bergerak dengan tenang namun tepat. Saat sudah berada di depan ring, dia
sedikit mendongak seolah mencari sebuah peluang. Lantas, bola yang awalnya
berada di tangannya kini melayang melintasi ring
tanpa menyentuh bibir ring sama sekali.
“Gimana?”
“Hhh...”
Desahan
pelan terdengar diikuti suara tapak kaki menuju ke arahnya. Pemuda itu pun
berbalik dan mendapati gadis yang dia tanya menatapnya sebal.
“Ter-se-rah!”
Sejurus
kemudian, pemuda itu tertawa pelan.
“Ify
Yuanita. Lo nggak ada apa-apanya dibanding gue. Ngerti?” ujar pemuda itu dengan
tajam dan kemudian membanting bola basket yang berada di tangannya tepat di
hadapan si gadis yang disebutnya sebagai ‘Ify’.
“Nggak
usah sok lo! Emang lo siapa? Baru segitu aja udah sombong,” cibir Ify.
“Terus
gue musti bilang wow gitu?” balas si pemuda dengan sengaknya.
“Halah!
Basi. Emang ya, semua yang ada di diri lo itu ba-si,” balas Ify dengan sangat
tajam.
Kini, si
pemuda mulai melangkah maju tanpa mengalihkan pandangannya. Tak urung, Ify
mulai beringsut mundur demi menghindari hal yang tak diinginkannya. Kakinya
terus berjalan mundur hingga tiba-tiba punggungnya menabrak sebuah tembok. Ify
meneguk salivanya dengan susah payah. Di hadapannya, si pemuda itu semakin
dekat. Dia bahkan tersenyum miring.
“Mau apa
lo?!”
“Gue?”
tanya pemuda itu dengan tenang.
“Menjauh!!!”
teriak Ify dengan wajah ketakutan. Ya. Wajahnya sudah pucat pasi.
Sebuah
tawa sontak meledak memekakkan telinganya. “Emang gue mau ngapain elo sih?”
tanya pemuda itu tanpa menghentikan tawanya.
Nafas
Ify kembali normal. Dengan kesal, dia menendang bagian selakangan pemuda
tersebut hingga dia menjerit kesakitan. “KAMFREEETTT!!! WOIII!!! SIALAAANNN!!!”
Ify tak
peduli. Dia berlari setelah sebelumnya menjulurkan lidah.
“Awas lo
cewek jadi-jadian! Lo pikir, lo bisa bikin keki seorang Cakka Ferdian yang
notabene cowok paling ganteng di SMA ini? Jangan harap!”
Cakka
pun melangkah pergi sambil menenteng bola basketnya.
‘Masih ingatkah kamu? Itu pertama kalinya aku
melakukan hal bodoh sebagai most wanted. Sebagai cowok populer. Hanya karena
seorang gadis jadi-jadian yang meremehkan kemampuanku.’
***
Suasana
kelas berubah hening hanya karena dua remaja yang tengah berebut spidol di
depan kelas. Dua remaja yang tak lagi asing di mata mereka. Dua remaja yang
selalu berusaha menunjukkan kelebihan masing-masing. Dua remaja yang sulit
sekali didamaikan.
Guru
yang memberikan soal pun geleng-geleng kepala melihat dua anak didiknya itu
bertengkar hanya karena sebuha spidol. Tak segan-segan, kedua tangan milik guru
tersebut bergerak menjawil telinga mereka.
“Aduhhh,”
ringis keduanya secara bersamaan.
“Ify,
Cakka. Hormat di depan tiang bendera sekarang juga!”
“Ah elo
sih!” seloroh Ify.
“Elo
yang mulai!” nyolot Cakka.
“SE-KA-RANG.”
Ify dan
Cakka buru-buru keluar kelas diiringi tawa teman-teman sekelas.
Di
koridor pun, mereka masih sempat membahas acara spidol tadi. Entah apa yang
membuat dua kubu ini selalu menyerang satu sama lain. Bahkan, tak pernah ada
yang tahu apa yang menyebabkan mereka saling mengunggulkan diri seperti ini.
“Kalo lo
tadi nyerahin spidolnya, kita nggak akan dihukum!” tuding Cakka.
“Heh
enak aja lo nyalahin gue! Lo tuh jadi cowok kenapa cemen banget sok nggak mau
ngalah sama cewek,” balas Ify tak terima.
“Emang
lo cewek?” ledek Cakka.
Ify merengut.
Kesal sekali pemuda ini selalu mengatainya seperti itu. Tiba-tiba, sebuah ide
jahil melintas di kepalanya. Dengan sengaja Ify mengacak-acak rambut Cakka yang
sudah tertata rapi.
“IFFFYYY!!!”
“HAHAHAHA
SUKURIIINNN!!!”
Gadis
itu berlari demi menghindari serangan balasan dari Cakka. Sepanjang koridor,
mereka terus kejar-kejaran tanpa peduli dengan beberapa kelas yang merasa
diganggu.
Sesekali
Ify membalikkan kepalanya untuk mengetahui jarak yang terbentang antara dia dan
pemuda itu—meski dengan tawa yang meledak. Rambut ikalnya terus bergerak
mengikuti ayunan kakinya.
Cakka
tak menyerah. Dia mempercepat larinya.
“AWAS
AJA LO! GUE SATE!!!”
“NGGAK
TAKUUUTTT!!! WLEEEKKK!!!”
Cakka
merasa terpancing dengan ledekan gadis menyebalkan itu. Dia pun berlari kembali
menerjang genangan air yang menghiasi lapangan.
Bukannya
melaksanakan tugas, dua insan itu justru berlarian mengitari tiang bendera.
‘Aku ingin tertawa jika mengingatnya. Itu
adalah memori terindah dalam hidupku. Sebab, hari itu pertama kalinya aku bermain
kejar-kejaran meski dalam keadaan kesal akibat ulahmu.’
***
“Fiuuuhhh,
gue nyerah deh Cak! Capek banget,” keluh Ify.
“Sama,”
balas Cakka.
Mereka
pun duduk dengan punggung saling menempel satu sama lain. Peluh sebesar biji
jagung mengalir di wajah keduanya. Ditambah lagi, sengatan matahari yang sangat
terik menerpa tubuh mereka yang hanya memakai seragam berbahan tipis.
“Gue
haus nih,” celetuk Ify.
“Sama,”
timpal Cakka sambil mengusap peluhnya.
“Ah lo
mah dari tadi sama mulu,” seloroh Ify yang sudah selonjoran.
“Ya
terus gue musti gimana? Ini juga gara-gara elo bego!” ketus Cakka.
Ify
nyengir—meski Cakka tak dapat melihat wajahnya—lalu mulai berpikir. Matanya pun
beralih pada ruang guru yang letaknya tak jauh dari lapangan. Layaknya seorang
mata-mata, gadis itu menyelidiki apakah guru kejam yang memberikannya hukuman
sedang mengawasi mereka berdua.
“Kantin!”
koor Ify.
“Heh!
Nanti kalau di hukum lagi gimana? Lo mau?!”
“Ya udah
kalau nggak mau. Gue sih haus banget,” acuh Ify.
Gadis
itu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar arena lapangan. Meninggalkan
Cakka yang saat ini terbengong melihat kelakuannya.
“WOIII!!!
IKUUUTTT!!!”
Dengan
langkah cepat, Cakka menyusul Ify yang berjalan menuju kantin.
Sesampainya,
mereka memesan es jeruk hingga dua gelas. Wajah ibu kantin pun terlihat
keheranan. Sebab, mereka berkeringat hebat dan ini bukan saatnya istirahat.
Namun beliau tetap melayani pesanan kedua remaja itu.
“Segeeerrr,”
ceplos Ify setelah meneguk es jeruknya.
“Banget,”
timpal Cakka.
“Halah
dasar jaim! Tadi aja nggak mau ikutan,” cibir Ify.
“Diam
kau cewek jadi-jadian. Gue nggak mau mati konyol karena terbakar sinar
matahari,” ujar Cakka asal-asalan.
“Emangnya
lo Edward Cullen?” ledek Ify.
“Gue kan
kembarannya. Mau apa lo?!” balas Cakka mulai nyolot.
“Edward
Keculek lo!”
“Sialaaaannn!!!”
Ify
tergelak melihat wajah garang Cakka yang katanya ganteng itu. Entah mengapa,
hati Cakka berdesir hebat menyaksikan tawa Ify yang begitu lepas.
‘Ini pertama kalinya aku berbuat gila. Cowok
populer dihukum dan melarikan diri di kantin? Hahaha. Tapi aku tak pernah
menyesal. Kenapa? Karena kegilaanku membuatku bisa menyadari wajah cantikmu.
Iya. Kamu cantik tanpa harus menjelma menjadi bidadari. Dan yang terpenting,
sejak saat itu kita menjadi dekat. Lebih dekat tanpa pernah aku bayangkan.’
***
Mikroskop
berukuran mini diletakkan oleh Ify begitu saja. Dia enggan sekali melaksanakan
tugas praktikum yang tak pernah disukainya ini. Disaat teman-teman sekelasnya
sedang bekerja dengan baik, Ify justru lebih memilih menghempaskan pantatnya ke
atas kursi kayu yang disediakan.
Laborat
kali ini memang dihuni siswa-siswa dari kelasnya saja. Tidak seperti biasanya
yang digabung dengan kelas lain. Meski begitu, Ify tetap tak suka praktikum.
“Hehe
cewek jadi-jadian, lo ngapain sih diem aja?”
Ify
mendongak dan menatap kesal ke arah orang yang sudah nyeletuk seenaknya.
“Pergi
lo! Nggak liat gue lagi nggak mood?” kesal Ify.
“Ah
nggak asik lo! Sini gue bantuin.”
Tanpa
menunggu persetujuan, Cakka—orang itu—menyerobot mikroskop Ify. Gadis itu
sendiri mengamati sosok Cakka yang kini justru mengerjakan tugasnya.
“Lo
ngapain, Cak?”
Cakka
tersenyum. Memang, hanya gadis ini yang berani memanggilnya ‘Cak’. Panggilan
yang tak pernah disukai olehnya. Tapi entah mengapa, Ify mendapat perlakuan
khusus untuk bisa memanggilnya dengan sebutan itu.
“Nggak
liat gue lagi ngerjain tugas lo?” acuh Cakka.
Ify
melongo. “Serius? Emang lo udah selesai? Terus kok lo mau sih ngerjain tugas
gue?” cerocos Ify memberondong banyak pertanyaan.
“Lo
nanya kayak wartawan. Mending lo diem deh. Capek tau dengerin lo ngomong kayak
kereta api!”
Sontak
Ify mengerucutkan bibirnya. Mau tak mau, itu membuat Cakka tertawa geli. Pemuda
itu pun mulai meneruskan pekerjaan Ify yang dikerjakannya.
‘Aku suka melihat wajah-wajah ekspresifmu.
Aku suka mendengar suara cerocosanmu yang menakjubkan. Aku juga suka
membantumu. Kamu harus ingat saat-saat itu, Ify. Sama seperti aku yang selalu
mengingatmu.’
***
Hari ini
Cakka sengaja mengajak Ify jalan-jalan. Mereka sedang berada di Mall, tepatnya
di area timezone. Entah mengapa Cakka ingin sekali bermain sepuasnya di
timezone sebagai Cakka umur sepuluh tahun.
Dengan
semangat, pemuda itu beradu dengan Ify di stand
bola basket. Ya. Sebuah permainan yang khas dengan sosoknya. Lebih-lebih,
basket adalah nama tengahnya. Mereka pun berusaha mencetak angka tertinggi
dengan iming-iming ‘siapa yang skor-nya paling banyak, dia boleh meminta apa
saja’. Kesempatan itu tentu saja tak disia-siakan Cakka.
“Gue
pasti menang!” tegas Ify sambil terus meng-shoot
bola.
“Jangan
pede!”
Angka di
papan masing-masing dari mereka terus berganti angka. Waktu yang ditentukan pun
akhirnya berakhir. Kemenangan berada di tangan Cakka.
“Gimana?”
tanya Cakka memainkan alisnya.
Ify
mendengus. “Ya udah. Lo minta apa? Asal jangan aneh-aneh.”
“Gue—“
“Dan
jangan macem-macem. Gue nggak bawa duit banyak nih,” potong Ify.
“Gue—“
“Oh iya,
jangan permaluin gue juga!”
“Ih lo
diem kek! Gue belum selesai ngomong,” dengus Cakka.
Gadis
itu nyengir lebar sambil membenarkan letak snapback-nya.
Cakka pun mulai membuka suara kembali.
“Temenin
gue jalan-jalan ke taman.”
“HAH?!”
“Ayooo!!!”
Ify
hanya pasrah saat tangannya ditarik keluar Mall oleh Cakka. Mereka pun naik
taksi untuk menuju ke taman.
Sesampainya,
Cakka—dengan tanpa dosa—menarik tangan Ify lagi untuk membeli balon. Wajah Ify
yang terheran kini semakin heran menyaksikan kelakuan Cakka. Untuk apa pemuda
itu membeli balon?
“Buat
apa sih?” tanya Ify penasaran.
“Nih
yang biru muda buat elo. Yang putih buat gue,” ujar Cakka menyodorkan balon
berwarna balon biru muda pada Ify.
Gadis
itu hanya menerimanya.
“Kita
lepasin sama-sama ya,” koor Cakka.
Ify yang
bingung hanya bisa mengangguk. “1... 2... 3...”
Dua
balon berwarna biru muda dan putih itu pun terlepas secara bersamaan. Terbang
tinggi menghiasi langit sore yang mulai kehilangan warna birunya. Namun, ada
sesuatu yang mengganggu penglihatan Ify. Sebuah kertas yang terjatuh menimpa
dirinya.
“Ini
apaan?” tanya Ify.
Gadis
itu mulai membaca tulisan di kertas tersebut.
Langit,
sampaikan ke gadis yang sekarang membaca surat ini. Aku cinta sama dia.
Melebihi luasnya engkau.
Cakka
Ify
terkesiap saat membacanya. Dia menoleh ke arah pemuda yang kini mengulum senyum
ke arahnya. “Lo...”
“Awalnya
gue ragu apa benangnya bisa putus sesuai yang gue inginkan. Soalnya, cuma pakai
feeling. Eh ternyata nggak cuma putus
tapi juga sampai ke tangan yang tepat,” ceplos Cakka tanpa memudarkan
senyumnya.
“Ini...”
Gadis
itu sama sekali tak dapat menyelesaikan kalimatnya. Dia menatap haru ke arah
Cakka. Tak urung, senyumnya merekah juga.
“Wah
kayaknya gue lupa nanyain ke langit apa dia mau jadi pacar gue atau enggak,”
celetu Cakka sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
Ify
terkikik geli. “Kata sang langit, dia mau,” ujarnya.
Entah
siapa yang memulai, tiba-tiba mereka sudah berpelukan di bawah langit sore.
Membuat orang-orang yang berlalu lalang melirik iri sekaligus harus
berpura-pura tak melihat.
‘Dan itu adalah memori yang tak akan pernah
hilang dari ingatanku. Di mana seorang most wanted resmi menyandang gelar
sebagai kekasih cewek jadi-jadian. I love you, Ify.’