"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 11 Juli 2014

Cerpen - Story About Us



Tittle: Story About Us
Author: Fanny Salma

NB: Jangan dicopast please.


Seorang pemuda tengah men-dribble bola basket ke arah ring. Dengan lincah, kaki itu bergerak dengan tenang namun tepat. Saat sudah berada di depan ring, dia sedikit mendongak seolah mencari sebuah peluang. Lantas, bola yang awalnya berada di tangannya kini melayang melintasi ring tanpa menyentuh bibir ring sama sekali.
“Gimana?”
“Hhh...”
Desahan pelan terdengar diikuti suara tapak kaki menuju ke arahnya. Pemuda itu pun berbalik dan mendapati gadis yang dia tanya menatapnya sebal.
“Ter-se-rah!”
Sejurus kemudian, pemuda itu tertawa pelan.
“Ify Yuanita. Lo nggak ada apa-apanya dibanding gue. Ngerti?” ujar pemuda itu dengan tajam dan kemudian membanting bola basket yang berada di tangannya tepat di hadapan si gadis yang disebutnya sebagai ‘Ify’.
“Nggak usah sok lo! Emang lo siapa? Baru segitu aja udah sombong,” cibir Ify.
“Terus gue musti bilang wow gitu?” balas si pemuda dengan sengaknya.
“Halah! Basi. Emang ya, semua yang ada di diri lo itu ba-si,” balas Ify dengan sangat tajam.
Kini, si pemuda mulai melangkah maju tanpa mengalihkan pandangannya. Tak urung, Ify mulai beringsut mundur demi menghindari hal yang tak diinginkannya. Kakinya terus berjalan mundur hingga tiba-tiba punggungnya menabrak sebuah tembok. Ify meneguk salivanya dengan susah payah. Di hadapannya, si pemuda itu semakin dekat. Dia bahkan tersenyum miring.
“Mau apa lo?!”
“Gue?” tanya pemuda itu dengan tenang.
“Menjauh!!!” teriak Ify dengan wajah ketakutan. Ya. Wajahnya sudah pucat pasi.
Sebuah tawa sontak meledak memekakkan telinganya. “Emang gue mau ngapain elo sih?” tanya pemuda itu tanpa menghentikan tawanya.
Nafas Ify kembali normal. Dengan kesal, dia menendang bagian selakangan pemuda tersebut hingga dia menjerit kesakitan. “KAMFREEETTT!!! WOIII!!! SIALAAANNN!!!”
Ify tak peduli. Dia berlari setelah sebelumnya menjulurkan lidah.
“Awas lo cewek jadi-jadian! Lo pikir, lo bisa bikin keki seorang Cakka Ferdian yang notabene cowok paling ganteng di SMA ini? Jangan harap!”
Cakka pun melangkah pergi sambil menenteng bola basketnya.
‘Masih ingatkah kamu? Itu pertama kalinya aku melakukan hal bodoh sebagai most wanted. Sebagai cowok populer. Hanya karena seorang gadis jadi-jadian yang meremehkan kemampuanku.’
***
Suasana kelas berubah hening hanya karena dua remaja yang tengah berebut spidol di depan kelas. Dua remaja yang tak lagi asing di mata mereka. Dua remaja yang selalu berusaha menunjukkan kelebihan masing-masing. Dua remaja yang sulit sekali didamaikan.
Guru yang memberikan soal pun geleng-geleng kepala melihat dua anak didiknya itu bertengkar hanya karena sebuha spidol. Tak segan-segan, kedua tangan milik guru tersebut bergerak menjawil telinga mereka.
“Aduhhh,” ringis keduanya secara bersamaan.
“Ify, Cakka. Hormat di depan tiang bendera sekarang juga!”
“Ah elo sih!” seloroh Ify.
“Elo yang mulai!” nyolot Cakka.
“SE-KA-RANG.”
Ify dan Cakka buru-buru keluar kelas diiringi tawa teman-teman sekelas.
Di koridor pun, mereka masih sempat membahas acara spidol tadi. Entah apa yang membuat dua kubu ini selalu menyerang satu sama lain. Bahkan, tak pernah ada yang tahu apa yang menyebabkan mereka saling mengunggulkan diri seperti ini.
“Kalo lo tadi nyerahin spidolnya, kita nggak akan dihukum!” tuding Cakka.
“Heh enak aja lo nyalahin gue! Lo tuh jadi cowok kenapa cemen banget sok nggak mau ngalah sama cewek,” balas Ify tak terima.
“Emang lo cewek?” ledek Cakka.
Ify merengut. Kesal sekali pemuda ini selalu mengatainya seperti itu. Tiba-tiba, sebuah ide jahil melintas di kepalanya. Dengan sengaja Ify mengacak-acak rambut Cakka yang sudah tertata rapi.
“IFFFYYY!!!”
“HAHAHAHA SUKURIIINNN!!!”
Gadis itu berlari demi menghindari serangan balasan dari Cakka. Sepanjang koridor, mereka terus kejar-kejaran tanpa peduli dengan beberapa kelas yang merasa diganggu.
Sesekali Ify membalikkan kepalanya untuk mengetahui jarak yang terbentang antara dia dan pemuda itu—meski dengan tawa yang meledak. Rambut ikalnya terus bergerak mengikuti ayunan kakinya.
Cakka tak menyerah. Dia mempercepat larinya.
“AWAS AJA LO! GUE SATE!!!”
“NGGAK TAKUUUTTT!!! WLEEEKKK!!!”
Cakka merasa terpancing dengan ledekan gadis menyebalkan itu. Dia pun berlari kembali menerjang genangan air yang menghiasi lapangan.
Bukannya melaksanakan tugas, dua insan itu justru berlarian mengitari tiang bendera.
‘Aku ingin tertawa jika mengingatnya. Itu adalah memori terindah dalam hidupku. Sebab, hari itu pertama kalinya aku bermain kejar-kejaran meski dalam keadaan kesal akibat ulahmu.’
***
“Fiuuuhhh, gue nyerah deh Cak! Capek banget,” keluh Ify.
“Sama,” balas Cakka.
Mereka pun duduk dengan punggung saling menempel satu sama lain. Peluh sebesar biji jagung mengalir di wajah keduanya. Ditambah lagi, sengatan matahari yang sangat terik menerpa tubuh mereka yang hanya memakai seragam berbahan tipis.
“Gue haus nih,” celetuk Ify.
“Sama,” timpal Cakka sambil mengusap peluhnya.
“Ah lo mah dari tadi sama mulu,” seloroh Ify yang sudah selonjoran.
“Ya terus gue musti gimana? Ini juga gara-gara elo bego!” ketus Cakka.
Ify nyengir—meski Cakka tak dapat melihat wajahnya—lalu mulai berpikir. Matanya pun beralih pada ruang guru yang letaknya tak jauh dari lapangan. Layaknya seorang mata-mata, gadis itu menyelidiki apakah guru kejam yang memberikannya hukuman sedang mengawasi mereka berdua.
“Kantin!” koor Ify.
“Heh! Nanti kalau di hukum lagi gimana? Lo mau?!”
“Ya udah kalau nggak mau. Gue sih haus banget,” acuh Ify.
Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar arena lapangan. Meninggalkan Cakka yang saat ini terbengong melihat kelakuannya.
“WOIII!!! IKUUUTTT!!!”
Dengan langkah cepat, Cakka menyusul Ify yang berjalan menuju kantin.
Sesampainya, mereka memesan es jeruk hingga dua gelas. Wajah ibu kantin pun terlihat keheranan. Sebab, mereka berkeringat hebat dan ini bukan saatnya istirahat. Namun beliau tetap melayani pesanan kedua remaja itu.
“Segeeerrr,” ceplos Ify setelah meneguk es jeruknya.
“Banget,” timpal Cakka.
“Halah dasar jaim! Tadi aja nggak mau ikutan,” cibir Ify.
“Diam kau cewek jadi-jadian. Gue nggak mau mati konyol karena terbakar sinar matahari,” ujar Cakka asal-asalan.
“Emangnya lo Edward Cullen?” ledek Ify.
“Gue kan kembarannya. Mau apa lo?!” balas Cakka mulai nyolot.
“Edward Keculek lo!”
“Sialaaaannn!!!”
Ify tergelak melihat wajah garang Cakka yang katanya ganteng itu. Entah mengapa, hati Cakka berdesir hebat menyaksikan tawa Ify yang begitu lepas.
Ini pertama kalinya aku berbuat gila. Cowok populer dihukum dan melarikan diri di kantin? Hahaha. Tapi aku tak pernah menyesal. Kenapa? Karena kegilaanku membuatku bisa menyadari wajah cantikmu. Iya. Kamu cantik tanpa harus menjelma menjadi bidadari. Dan yang terpenting, sejak saat itu kita menjadi dekat. Lebih dekat tanpa pernah aku bayangkan.
***
Mikroskop berukuran mini diletakkan oleh Ify begitu saja. Dia enggan sekali melaksanakan tugas praktikum yang tak pernah disukainya ini. Disaat teman-teman sekelasnya sedang bekerja dengan baik, Ify justru lebih memilih menghempaskan pantatnya ke atas kursi kayu yang disediakan.
Laborat kali ini memang dihuni siswa-siswa dari kelasnya saja. Tidak seperti biasanya yang digabung dengan kelas lain. Meski begitu, Ify tetap tak suka praktikum.
“Hehe cewek jadi-jadian, lo ngapain sih diem aja?”
Ify mendongak dan menatap kesal ke arah orang yang sudah nyeletuk seenaknya.
“Pergi lo! Nggak liat gue lagi nggak  mood?” kesal Ify.
“Ah nggak asik lo! Sini gue bantuin.”
Tanpa menunggu persetujuan, Cakka—orang itu—menyerobot mikroskop Ify. Gadis itu sendiri mengamati sosok Cakka yang kini justru mengerjakan tugasnya.
“Lo ngapain, Cak?”
Cakka tersenyum. Memang, hanya gadis ini yang berani memanggilnya ‘Cak’. Panggilan yang tak pernah disukai olehnya. Tapi entah mengapa, Ify mendapat perlakuan khusus untuk bisa memanggilnya dengan sebutan itu.
“Nggak liat gue lagi ngerjain tugas lo?” acuh Cakka.
Ify melongo. “Serius? Emang lo udah selesai? Terus kok lo mau sih ngerjain tugas gue?” cerocos Ify memberondong banyak pertanyaan.
“Lo nanya kayak wartawan. Mending lo diem deh. Capek tau dengerin lo ngomong kayak kereta api!”
Sontak Ify mengerucutkan bibirnya. Mau tak mau, itu membuat Cakka tertawa geli. Pemuda itu pun mulai meneruskan pekerjaan Ify yang dikerjakannya.
Aku suka melihat wajah-wajah ekspresifmu. Aku suka mendengar suara cerocosanmu yang menakjubkan. Aku juga suka membantumu. Kamu harus ingat saat-saat itu, Ify. Sama seperti aku yang selalu mengingatmu.
***
Hari ini Cakka sengaja mengajak Ify jalan-jalan. Mereka sedang berada di Mall, tepatnya di area timezone. Entah mengapa Cakka ingin sekali bermain sepuasnya di timezone sebagai Cakka umur sepuluh tahun.
Dengan semangat, pemuda itu beradu dengan Ify di stand bola basket. Ya. Sebuah permainan yang khas dengan sosoknya. Lebih-lebih, basket adalah nama tengahnya. Mereka pun berusaha mencetak angka tertinggi dengan iming-iming ‘siapa yang skor-nya paling banyak, dia boleh meminta apa saja’. Kesempatan itu tentu saja tak disia-siakan Cakka.
“Gue pasti menang!” tegas Ify sambil terus meng-shoot bola.
“Jangan pede!”
Angka di papan masing-masing dari mereka terus berganti angka. Waktu yang ditentukan pun akhirnya berakhir. Kemenangan berada di tangan Cakka.
“Gimana?” tanya Cakka memainkan alisnya.
Ify mendengus. “Ya udah. Lo minta apa? Asal jangan aneh-aneh.”
“Gue—“
“Dan jangan macem-macem. Gue nggak bawa duit banyak nih,” potong Ify.
“Gue—“
“Oh iya, jangan permaluin gue juga!”
“Ih lo diem kek! Gue belum selesai ngomong,” dengus Cakka.
Gadis itu nyengir lebar sambil membenarkan letak snapback-nya. Cakka pun mulai membuka suara kembali.
“Temenin gue jalan-jalan ke taman.”
“HAH?!”
“Ayooo!!!”
Ify hanya pasrah saat tangannya ditarik keluar Mall oleh Cakka. Mereka pun naik taksi untuk menuju ke taman.
Sesampainya, Cakka—dengan tanpa dosa—menarik tangan Ify lagi untuk membeli balon. Wajah Ify yang terheran kini semakin heran menyaksikan kelakuan Cakka. Untuk apa pemuda itu membeli balon?
“Buat apa sih?” tanya Ify penasaran.
“Nih yang biru muda buat elo. Yang putih buat gue,” ujar Cakka menyodorkan balon berwarna balon biru muda pada Ify.
Gadis itu hanya menerimanya.
“Kita lepasin sama-sama ya,” koor Cakka.
Ify yang bingung hanya bisa mengangguk. “1... 2... 3...”
Dua balon berwarna biru muda dan putih itu pun terlepas secara bersamaan. Terbang tinggi menghiasi langit sore yang mulai kehilangan warna birunya. Namun, ada sesuatu yang mengganggu penglihatan Ify. Sebuah kertas yang terjatuh menimpa dirinya.
“Ini apaan?” tanya Ify.
Gadis itu mulai membaca tulisan di kertas tersebut.
Langit, sampaikan ke gadis yang sekarang membaca surat ini. Aku cinta sama dia. Melebihi luasnya engkau.
Cakka
Ify terkesiap saat membacanya. Dia menoleh ke arah pemuda yang kini mengulum senyum ke arahnya. “Lo...”
“Awalnya gue ragu apa benangnya bisa putus sesuai yang gue inginkan. Soalnya, cuma pakai feeling. Eh ternyata nggak cuma putus tapi juga sampai ke tangan yang tepat,” ceplos Cakka tanpa memudarkan senyumnya.
“Ini...”
Gadis itu sama sekali tak dapat menyelesaikan kalimatnya. Dia menatap haru ke arah Cakka. Tak urung, senyumnya merekah juga.
“Wah kayaknya gue lupa nanyain ke langit apa dia mau jadi pacar gue atau enggak,” celetu Cakka sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
Ify terkikik geli. “Kata sang langit, dia mau,” ujarnya.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba mereka sudah berpelukan di bawah langit sore. Membuat orang-orang yang berlalu lalang melirik iri sekaligus harus berpura-pura tak melihat.
Dan itu adalah memori yang tak akan pernah hilang dari ingatanku. Di mana seorang most wanted resmi menyandang gelar sebagai kekasih cewek jadi-jadian. I love you, Ify.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Haii Kak Fanny Salma. Aku suka sama buku terbitan kakak yang judulnya kalau gak salah 'Sorry I Love You' aku juga suka sama karya kakak yang di blog ini°︶° Aku minta email kakak nih, mau chat sekalian nanya-nanya gitu kak. Makasih... ^^

Posting Komentar