Tittle: Now And Forever (Sekuel Always Be My Baby)
Author: Fanny Salma
NB: Jangan dicopast please.
Seorang
pemuda tengah merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Setelah mendengar
bunyi ‘klek’ di beberapa bagian tubuhnya, pemuda itu menghentikan aktivitasnya.
Lantas, dia menatap sebuah figura yang telah dua minggu menghiasi kamarnya. Di
mana dalam figura tersebut terdapat fotonya bersama seorang gadis cantik
berdagu tirus.
“Hampir
satu bulan kita jadian, tapi kenapa kadang gue masih suka mikirin mantan ya?”
gumamnya.
Pemuda
itu mendesah lalu menggelengkan kepalanya. Kembali ditatapnya wajah manis gadis
itu. Berbeda dari foto-fotonya yang sering beredar, di sini gadis itu terlihat
‘berbeda’ dengan wajah konyolnya. Ya. Mereka sengaja berfoto dengan gaya silly face. Sesuatu yang sama-sama belum
pernah mereka lakukan sama sekali.
“Tapi
tetep aja, cepat atau lambat kita akan sama-sama saling melepas,” pemuda itu
kembali menggumam.
Tiba-tiba,
seorang gadis kecil menghampirinya dengan wajah polos.
“Abang
ngapain?” tanyanya.
“Enggak
ngapa-ngapain. Kamu sendiri?” balas pemuda itu.
“Nia
galau bang.”
Pemuda
tersebut memincingkan kepalanya. Dia menatap wajah adik kecilnya yang kini menopang
dagunya dengan kedua tangan. Bahkan, tak segan-segan gadis kecil itu memasang
wajah bimbang.
Gabriel—pemuda
tersebut—semakin mengernyit heran. Setelah kala itu gadis kecil ini mengucap
kata ‘playboy’ eh mengapa sekarang dia mengetahui istilah ‘galau’? Dan tertuduh
kali ini adalah Bang Jully. Pria yang berbeda beberapa tahun darinya dan
dianggap kakak.
“Galau
kenapa?” tanya Gabriel.
“Nia
kangen sama Khalif,” jawabnya polos.
“Hah?”
Hanya
itu yang keluar dari bibir Gabriel. Satu-satunya Khalif yang dikenalnya adalah
adik dari kekasihnya sendiri. Tapi, sudah lama Nia dan Khalif tidak bertemu
sejak ajang menyanyi angkatan mereka tak lagi dibutuhkan.
“Khalif
adeknya Ify?” tanyanya lagi.
Nia
mengangguk—masih dengan menopang dagunya.
“Jangan
bilang, kamu...”
Ucapan
Gabriel menggantung di udara. Tidak mungkin dia membahas masalah ‘percintaan’
di depan gadis kecil yang umurnya tidak ada separuh dari umurnya.
“Khalif
makin ganteng pasti deh bang.”
“Hah?”
Gabriel semakin bingung bagaimana cara menanggapinya.
“Bang
Jully ngomong apa aja sama adek gue sih,” gumam Gabriel.
“ABANG!
KENAPA BENGONG?! AH NIA KAN LAGI GALAU!” teriak Nia yang kemudian memukul
lengan abangnya.
“Aduh...
iya iya. Besok kita ketemu Khalif,” kesal Gabriel.
“Serius?
Huaaa yeee!!!”
Pemuda
itu geleng-geleng kepala melihat kelakuan sodara perempuan satu-satunya yang
dia punya. Sebagai abang, dia lebih
sering menuruti keinginan Nia.
***
Di
sebuah kawasan di daerah bekasi, seperti biasa sinetron unggulan suatu stasiun
televisi tengah sibuk melakukan shooting.
Kali ini, Blink—girlband yang
membintangi sinetron tersebut—sedang bersiap untuk melakukan take. Ify dan Via sama-sama sedang
memoles pipi mereka dengan sentuhan bedak tabur. Lalu Pricilla, gadis itu sibuk
mencatok rambut. Sedangkan si pemeran utama alias Febby, dia sudah siap dengan
rambut ikat dua dan kacamatanya.
“The Pinkers ayo!”
Sang
sutradara mulai memanggil The Pinkers—Ify,
Via, Pricilla dan Audi Marissa—sehingga empat gadis itu menghentikan aktivitas
mereka. Kemudian, mereka meletakkan script yang sedari tadi bertengger di
pangkuan mereka dan mulai melangkah menuju arena.
“Action!”
Empat
gadis itu mulai beradu acting.
Beberapa artis yang sedang istirahat menyempatkan diri untuk melihat empat
gadis itu sambil sesekali menahan tawa. Memang, adegan The Pinkers sering kali ditunggu dan menghebohkan.
“Pokoknya
kita harus bikin perhitungan sama Sri Akamso! Berani-beraninya dia ambil perhatian
cowok paling ganteng di Screen Sun!
Emang dia pikir dia siapa?!! Kaum low to
the genk itu nggak pantes naik sepeda sama Dave!” teriak Pricilla sebagai Princess.
“PINKY
SWEAR KITTY SWEAR BANANA CHERRY STRAWBERRY SWEAR!!! GUE SETUJU!” sahut Audi Marissa
sebagai Naomi—dengan suara cemprengnya yang khas.
“YESSS!!!
Kita semprot akamso!!!” Kali ini, suara Via sebagai Jesica lah yang terlontar.
“Tapi, Princess... Akamso sama tuh so sweet
bingitsss. Ah gue jadi kangen sama Udin,” ujar Ify yang memerankan tokoh Fio.
Gadis itu khas dengan ke-lemot-annya.
“FIIIOOO!!!”
Ify
lantas berpura-pura menutup telinga.
“CUTTT!!!”
Empat
gadis itu kemudian tertawa terbahak-bahak. Memang, setiap kali mereka yang
harus acting, mereka pula yang
menahan tawa sedari tadi karena tak kuat melihat karakter masing-masing.
“Asem
Via mukanya minta dibayar! Hahahaha,” tawa Audi Marissa.
“Tau tuh
pea banget!” sahut Ify yang kemudian ikut tertawa.
Via
sendiri masih meneruskan tawanya sambil memegangi perut. Tak hanya itu,
artis-artis lain pun ikut tertawa geli karena kelakuan mereka.
“Gue
istirahat dulu deh. Capek ketawa mulu,” celetuk Ify yang kemudian berjalan
keluar arena. Dia memilih untuk mencari tempat sepi bersama gadget-nya.
Gadis
itu duduk di pojokan dengan tatapan fokus ke arah iPhone kesayangannya. Sambil
membalas chat yang masuk, dia juga
menyempatkan diri untuk meng-greet
kekasihnya melalui whatsapp.
To: Gabriel{}
Mommy, aku lagi istirahat sambil nunggu take
lagi yeeayy
Tak
butuh waktu lama, pemuda di ujung sana langsung membalasnya karena memang ia
telah menunggu sedari tadi.
From: Gabriel{}
Cieee. Nggak ada adegan peluk-pelukan sama
cowok kan? Hahaha
To: Gabriel{}
Hahaha PR. Makanya nonton dong! :p
From: Gabriel{}
Males. Sinetron lo kan alay. Mending nontonin
MU main .-.
To: Gabriel{}
Jahat ih :(
From: Gabriel{}
Jangan ngambek ah. Cium nih kalau ngambekan
Dan
acara chatting itu berlangsung.
***
Sedari
tadi Gabriel menguap. Di depannya, adik kecil yang tak lain adalah Nia duduk
sambil memainkan game candy crush
melalui tablet.
Tak lama
kemudian, orang-orang yang ditunggunya berdatangan.
“Hallo
bro!!”
Gabriel
membalas. “Hallo juga bro! Long time no
see.”
“Ng—hallo,
Yel,” sapa seorang pemuda lain.
“Hallo
Rio!”
“Hai kak
Patton dan kak Rio! Nia ikutan nggak pa-pa kan?”
Mereka
mengalihkan pandangannya pada gadis kecil yang notabene adik Gabriel. Lalu,
secara bergantian mereka menganggukkan kepala. Nia pun kembali fokus pada
tablet-nya.
“Sambil
nunggu pesenan, kita bahas project
baru ya,” koor Patton.
“Sip!”
Mereka
pun mulai membahas project yang akan
mereka surprise-kan kepada fans-fans
mereka semua. Sampai pesanan datang, mereka masih membahasnya sambil sesekali
menyesap juice yang mereka pesan.
“Konsepnya
keren sih,” komentar Gabriel.
“Lo
setuju?” tanya Patton.
“Setuju.
Cuman gue mau usul dikit nih. Nanti, kita aransement ulang biar beda. Gimana?”
usul Gabriel.
“Boleh
boleh. Lo sendiri gimana, Yo?” Patton mengalihkan pandangannya pada Rio.
“Ng—setuju
juga,” jawab Rio sekenanya.
Pemuda
berkulit cokelat yang memiliki suara sopran itu kini menyalakan tabletnya.
Setelah dirasa selesai, Gabriel dan Patton menikmati makanan mereka sedangkan
Rio justru sibuk dengan akun twitternya.
Entah
mengapa, berada di samping Gabriel saat ini membuat pemuda itu sedikit enggan.
Masih ada rasa tak percaya mengenai pengakuan Gabriel tentang Ify yang ternyata
kekasih pemuda itu.
“Eh gue
buru-buru nih. Ada job. Duluan ya,”
pamit Patton setelah menyelesaikan makannya.
“Dadah
kak Patton!” seru Nia.
Patton
pun berlalu. Tinggal lah Gabriel dan Rio serta gadis kecil yang masih betah
memainkan game candy crush.
“Yo,”
panggil Gabriel.
“Eh...
apa, Yel?” tanya Rio mengalihkan pandangannya.
“Soal
Ify... lo nggak kenapa-napa kan?”
Rio
terkesiap. “Ng—nggak lah,” elaknya berbohong.
“Kali
ini kita bicara sebagai rival. Bukan sahabat. Jadi... apa pun yang lo rasain,
ucapin aja,” tegas Gabriel.
“Yel,
gue—“
“Ungkapin,
Yo. Nggak usah kasih gue kepalsuan,” potong Gabriel.
“Oke,”
putus Rio.
Pemuda
itu menarik nafas secara perlahan. Di depannya—karena Rio sudah mengubah
posisi—Gabriel menunggu apa yang akan diucapkan oleh pemuda itu.
“Gue... gue
nggak rela lo jadian sama Ify. Gue sakit hati. Gue juga cinta sama Ify.”
Cukup. Kalimat
terakhir yang dilontarkan membuat Gabriel berani menarik kerah Rio dengan
kasar. Namun, kemudian dia menghempaskannya secara kasar pula. Pemuda itu pun mengatur
emosinya, lalu melirik Nia yang kini menatap mereka berdua dengan bingung,
terutama pada Gabriel—abangnya.
“Intinya,
sekarang Ify udah sama gue,” ujar Gabriel datar.
“Gue
nggak pa-pa kalau lo emang cinta sama dia,” lanjutnya.
“Gabriel...”
“Dan gue
nggak ijinin lo deketin Ify selangkah aja! Termasuk tebar kode-kode busuk lo
itu,” ceplos Gabriel sambil tersenyum meremehkan.
“Tapi
itu nggak adil! Gue juga berhak perjuangin Ify,” bantah Rio.
“Perjuangin
lo bilang? Dengan kode-kode lo yang ujungnya bikin Ify risih karena mereka
selalu ngebahas elo sama dia? Lucu!”
Rio
meneguk salivanya—meski kesulitan—dan menatap Gabriel yang matanya sudah
berkilat-kilat seolah menyimpan amarah. Nampak sekali bahwa sahabat barunya ini
sangat mempertahankan sosok Ify.
“Selama
ini gue sok buta, Yo. Karena gue anggep lo temen gue. Tapi kalau ternyata suatu
saat lo makan gue hidup-hidup, semuanya bakalan beda.”
“Lo
kalah telak, Rio. Kalah telak!”
Dalam
keadaan tak terkontrol seperti ini, Rio menganggukkan kepalanya. Telak. Dia
harus melepas Ify.
***
Beberapa
hari setelah kejadian itu, akhirnya Gabriel bisa mempunyai waktu luang untuk
menghabiskan waktu dengan Ify. Gadis itu kini menggunakan celana jins dengan
atasan baju tanpa lengan. Rambutnya terikat.
“Cantik,”
celetuk Gabriel.
Pipi Ify
merona dengan sendirinya. “Emm... hallo Nia!”
Ify
sengaja mengalihkan pandangannya pada gadis cantik dengan rambut ikal di
sebelah Gabriel. Memang, mereka sengaja membawa Nia dan Khalif karena Gabriel
sudah terlanjur terikat janji pada adiknya itu.
“Hallo
kak Ify cantik dan Khalif ganteng,” sapa Nia dengan wajah polos.
Mendengar
adiknya disebut ganteng, Ify menautkan alisnya lalu melirik Gabriel yang kini
menepuk keningnya sendiri.
“Kak,
Khalif sama Nia main dulu ya! Dadah!”
Lamunan
Ify buyar saat adiknya menggandeng tangan Nia kemudian berlari pergi.
“Hati-hati!”
seru Ify. Sayangnya, dua anak kecil yang sudah mulai beranjak besar itu
terlanjur memasuki arena timezone yang tak jauh dari tempat Gabriel dan Ify
sekarang.
“Nia kok
jadi genit begitu? Lo yang ngajarin ya?” selidik Ify.
Gabriel
menggeleng kuat-kuat sambil menggoyangkan tangannya. “Enggak! Suer deh!”
elaknya.
“Terus?
Kan lo kakaknya,” seloroh Ify.
“Dia
kebanyakan gaul sama Bang Jully. Nggak tahu deh diajarin apa sampai bisa galau
segala,” sahut Gabriel.
Ify
terkekeh. “Duplikat elo kayaknya. Lo kan suka galau urusan cewek,” ledek Ify.
“Isshhh!”
Dengan gemas, Gabriel menjawil hidung bangir Ify.
“Nggak
pake cubit juga keles!” sewot Ify.
“Hahaha
keseringan main di sinetron alay dasar, keles keles,” cibir Gabriel.
Gadis
itu hanya tersenyum menanggapinya. Dia tahu kalau Gabriel berbohong saat
mengatakan dia tak menonton sinetronnya. Kalau tak menonton, bagaimana bisa dia
tahu kalau ‘keles’ ada di sinetronnya?
“Oh iya,
ada yang mau aku omongin sama kamu,” ujar Gabriel serius.
“Cieilah
aku-kamu nih,” ledek Ify. Gabriel melotot, membuat Ify reflek mengucapkan maaf
meski sambil cengengesan.
“Apa
sih?”
“Ng—Rio
suka sama kamu.”
“Rio?”
Gabriel
mengangguk. “Rio yang dulu duet sama kamu.”
Jawaban
Gabriel tiba-tiba membuat Ify mendengus sebal, mood-nya rusak seketika. “Terus gue musti ngapain?” acuhnya.
Mendengar
nada itu, Gabriel lantas mengulum senyum. “Jangan gitu, Fy. Aku takut kalau
kamu benci sama dia, tiba-tiba bisa bikin kamu cinta sama dia.”
Ify
tertegun. “Maksudnya?”
“Beda
benci sama cinta itu setipis kertas. Aku cuma nggak siap kalau tiba-tiba kamu
pergi ninggalin aku.”
Reflek,
Ify menubruk tubuh Gabriel dan membenamkan wajahnya di dada bidang pemuda
tersebut. “Jangan bilang gitu. Kamu pikir enak nungguin kamu putus sama
mantan-mantan kamu? Sementara aku masih nggak bisa move ke mana pun.”
“Iya,
maaf,” bisik Gabriel.
“Kalau
suatu saat kita emang harus saling melepas, kita harus melepas sama-sama ya. Now and forever, I’m grateful to be part of you,” tambahnya.
Ify
mengangguk dalam rengkuhan Gabriel.
“Kamu
ngomong gitu ke semua mantan kamu ya?” selidik Ify.
Terdengar
Gabriel terkekeh pelan. “Kamu yang pertama dan terakhir.”
Setelahnya,
pemuda itu mengecup bagian puncak kepala Ify cukup lama seolah menyalurkan
semua perasaannya tanpa sisa.
Bayangan
mengenai status mereka sebagai umat beragama membuat Gabriel meringis pelan.
Tak lama kemudian, pemuda itu melepaskan pelukan Ify dan menatap gadis itu
lekat-lekat. Detik berikutnya, Gabriel melepaskan kalung berbandul salib yang
bertengger di lehernya.
“Kenapa
dilepas?” tanya Ify.
“Aku
nggak enak sama kamu,” jawab Gabriel pelan.
Ify
tersenyum lalu mengambil kalung tersebut dan memakaikannya kembali ke leher
kekasihnya. “Ini bukan salah Tuhan, Yel. Ini salah kita yang terlanjur
mencinta. Dan kamu... nggak boleh ngelepas ini karena aku.”
“Kenapa?”
“Karena
suatu saat nanti, kamu harus ngelepas aku karena kalung ini. Aku pun begitu.”
Meski
terdengar perih, tak urung keduanya sama-sama tersenyum tulus.
***
0 komentar:
Posting Komentar