"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 11 Juli 2014

Cerpen - Now And Forever (Sekuel ABMB)



Tittle: Now And Forever (Sekuel Always Be My Baby)
Author: Fanny Salma

NB: Jangan dicopast please.


Seorang pemuda tengah merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Setelah mendengar bunyi ‘klek’ di beberapa bagian tubuhnya, pemuda itu menghentikan aktivitasnya. Lantas, dia menatap sebuah figura yang telah dua minggu menghiasi kamarnya. Di mana dalam figura tersebut terdapat fotonya bersama seorang gadis cantik berdagu tirus.
“Hampir satu bulan kita jadian, tapi kenapa kadang gue masih suka mikirin mantan ya?” gumamnya.
Pemuda itu mendesah lalu menggelengkan kepalanya. Kembali ditatapnya wajah manis gadis itu. Berbeda dari foto-fotonya yang sering beredar, di sini gadis itu terlihat ‘berbeda’ dengan wajah konyolnya. Ya. Mereka sengaja berfoto dengan gaya silly face. Sesuatu yang sama-sama belum pernah mereka lakukan sama sekali.
“Tapi tetep aja, cepat atau lambat kita akan sama-sama saling melepas,” pemuda itu kembali menggumam.
Tiba-tiba, seorang gadis kecil menghampirinya dengan wajah polos.
“Abang ngapain?” tanyanya.
“Enggak ngapa-ngapain. Kamu sendiri?” balas pemuda itu.
“Nia galau bang.”
Pemuda tersebut memincingkan kepalanya. Dia menatap wajah adik kecilnya yang kini menopang dagunya dengan kedua tangan. Bahkan, tak segan-segan gadis kecil itu memasang wajah bimbang.
Gabriel—pemuda tersebut—semakin mengernyit heran. Setelah kala itu gadis kecil ini mengucap kata ‘playboy’ eh mengapa sekarang dia mengetahui istilah ‘galau’? Dan tertuduh kali ini adalah Bang Jully. Pria yang berbeda beberapa tahun darinya dan dianggap kakak.
“Galau kenapa?” tanya Gabriel.
“Nia kangen sama Khalif,” jawabnya polos.
“Hah?”
Hanya itu yang keluar dari bibir Gabriel. Satu-satunya Khalif yang dikenalnya adalah adik dari kekasihnya sendiri. Tapi, sudah lama Nia dan Khalif tidak bertemu sejak ajang menyanyi angkatan mereka tak lagi dibutuhkan.
“Khalif adeknya Ify?” tanyanya lagi.
Nia mengangguk—masih dengan menopang dagunya.
“Jangan bilang, kamu...”
Ucapan Gabriel menggantung di udara. Tidak mungkin dia membahas masalah ‘percintaan’ di depan gadis kecil yang umurnya tidak ada separuh dari umurnya.
“Khalif makin ganteng pasti deh bang.”
“Hah?” Gabriel semakin bingung bagaimana cara menanggapinya.
“Bang Jully ngomong apa aja sama adek gue sih,” gumam Gabriel.
“ABANG! KENAPA BENGONG?! AH NIA KAN LAGI GALAU!” teriak Nia yang kemudian memukul lengan abangnya.
“Aduh... iya iya. Besok kita ketemu Khalif,” kesal Gabriel.
“Serius? Huaaa yeee!!!”
Pemuda itu geleng-geleng kepala melihat kelakuan sodara perempuan satu-satunya yang dia punya. Sebagai  abang, dia lebih sering menuruti keinginan Nia.
***
Di sebuah kawasan di daerah bekasi, seperti biasa sinetron unggulan suatu stasiun televisi tengah sibuk melakukan shooting. Kali ini, Blink—girlband yang membintangi sinetron tersebut—sedang bersiap untuk melakukan take. Ify dan Via sama-sama sedang memoles pipi mereka dengan sentuhan bedak tabur. Lalu Pricilla, gadis itu sibuk mencatok rambut. Sedangkan si pemeran utama alias Febby, dia sudah siap dengan rambut ikat dua dan kacamatanya.
The Pinkers ayo!”
Sang sutradara mulai memanggil The Pinkers—Ify, Via, Pricilla dan Audi Marissa—sehingga empat gadis itu menghentikan aktivitas mereka. Kemudian, mereka meletakkan script yang sedari tadi bertengger di pangkuan mereka dan mulai melangkah menuju arena.
Action!”
Empat gadis itu mulai beradu acting. Beberapa artis yang sedang istirahat menyempatkan diri untuk melihat empat gadis itu sambil sesekali menahan tawa. Memang, adegan The Pinkers sering kali ditunggu dan menghebohkan.
“Pokoknya kita harus bikin perhitungan sama Sri Akamso! Berani-beraninya dia ambil perhatian cowok paling ganteng di Screen Sun! Emang dia pikir dia siapa?!! Kaum low to the genk itu nggak pantes naik sepeda sama Dave!” teriak Pricilla sebagai Princess.
“PINKY SWEAR KITTY SWEAR BANANA CHERRY STRAWBERRY SWEAR!!! GUE SETUJU!” sahut Audi Marissa sebagai Naomi—dengan suara cemprengnya yang khas.
“YESSS!!! Kita semprot akamso!!!” Kali ini, suara Via sebagai Jesica lah yang terlontar.
“Tapi, Princess... Akamso sama tuh so sweet bingitsss. Ah gue jadi kangen sama Udin,” ujar Ify yang memerankan tokoh Fio. Gadis itu khas dengan ke-lemot-annya.
“FIIIOOO!!!”
Ify lantas berpura-pura menutup telinga.
CUTTT!!!”
Empat gadis itu kemudian tertawa terbahak-bahak. Memang, setiap kali mereka yang harus acting, mereka pula yang menahan tawa sedari tadi karena tak kuat melihat karakter masing-masing.
“Asem Via mukanya minta dibayar! Hahahaha,” tawa Audi Marissa.
“Tau tuh pea banget!” sahut Ify yang kemudian ikut tertawa.
Via sendiri masih meneruskan tawanya sambil memegangi perut. Tak hanya itu, artis-artis lain pun ikut tertawa geli karena kelakuan mereka.
“Gue istirahat dulu deh. Capek ketawa mulu,” celetuk Ify yang kemudian berjalan keluar arena. Dia memilih untuk mencari tempat sepi bersama gadget-nya.
Gadis itu duduk di pojokan dengan tatapan fokus ke arah iPhone kesayangannya. Sambil membalas chat yang masuk, dia juga menyempatkan diri untuk meng-greet kekasihnya melalui whatsapp.
To: Gabriel{}
Mommy, aku lagi istirahat sambil nunggu take lagi yeeayy
Tak butuh waktu lama, pemuda di ujung sana langsung membalasnya karena memang ia telah menunggu sedari tadi.
From: Gabriel{}
Cieee. Nggak ada adegan peluk-pelukan sama cowok kan? Hahaha
To: Gabriel{}
Hahaha PR. Makanya nonton dong! :p
From: Gabriel{}
Males. Sinetron lo kan alay. Mending nontonin MU main .-.
To: Gabriel{}
Jahat ih :(
From: Gabriel{}
Jangan ngambek ah. Cium nih kalau ngambekan
Dan acara chatting itu berlangsung.
***
Sedari tadi Gabriel menguap. Di depannya, adik kecil yang tak lain adalah Nia duduk sambil memainkan game candy crush melalui tablet.
Tak lama kemudian, orang-orang yang ditunggunya berdatangan.
“Hallo bro!!”
Gabriel membalas. “Hallo juga bro! Long time no see.”
“Ng—hallo, Yel,” sapa seorang pemuda lain.
“Hallo Rio!”
“Hai kak Patton dan kak Rio! Nia ikutan nggak pa-pa kan?”
Mereka mengalihkan pandangannya pada gadis kecil yang notabene adik Gabriel. Lalu, secara bergantian mereka menganggukkan kepala. Nia pun kembali fokus pada tablet-nya.
“Sambil nunggu pesenan, kita bahas project baru ya,” koor Patton.
“Sip!”
Mereka pun mulai membahas project yang akan mereka surprise-kan kepada fans-fans mereka semua. Sampai pesanan datang, mereka masih membahasnya sambil sesekali menyesap juice yang mereka pesan.
“Konsepnya keren sih,” komentar Gabriel.
“Lo setuju?” tanya Patton.
“Setuju. Cuman gue mau usul dikit nih. Nanti, kita aransement ulang biar beda. Gimana?” usul Gabriel.
“Boleh boleh. Lo sendiri gimana, Yo?” Patton mengalihkan pandangannya pada Rio.
“Ng—setuju juga,” jawab Rio sekenanya.
Pemuda berkulit cokelat yang memiliki suara sopran itu kini menyalakan tabletnya. Setelah dirasa selesai, Gabriel dan Patton menikmati makanan mereka sedangkan Rio justru sibuk dengan akun twitternya.
Entah mengapa, berada di samping Gabriel saat ini membuat pemuda itu sedikit enggan. Masih ada rasa tak percaya mengenai pengakuan Gabriel tentang Ify yang ternyata kekasih pemuda itu.
“Eh gue buru-buru nih. Ada job. Duluan ya,” pamit Patton setelah menyelesaikan makannya.
“Dadah kak Patton!” seru Nia.
Patton pun berlalu. Tinggal lah Gabriel dan Rio serta gadis kecil yang masih betah memainkan game candy crush.
“Yo,” panggil Gabriel.
“Eh... apa, Yel?” tanya Rio mengalihkan pandangannya.
“Soal Ify... lo nggak kenapa-napa kan?”
Rio terkesiap. “Ng—nggak lah,” elaknya berbohong.
“Kali ini kita bicara sebagai rival. Bukan sahabat. Jadi... apa pun yang lo rasain, ucapin aja,” tegas Gabriel.
“Yel, gue—“
“Ungkapin, Yo. Nggak usah kasih gue kepalsuan,” potong Gabriel.
“Oke,” putus Rio.
Pemuda itu menarik nafas secara perlahan. Di depannya—karena Rio sudah mengubah posisi—Gabriel menunggu apa yang akan diucapkan oleh pemuda itu.
“Gue... gue nggak rela lo jadian sama Ify. Gue sakit hati. Gue juga cinta sama Ify.”
Cukup. Kalimat terakhir yang dilontarkan membuat Gabriel berani menarik kerah Rio dengan kasar. Namun, kemudian dia menghempaskannya secara kasar pula. Pemuda itu pun mengatur emosinya, lalu melirik Nia yang kini menatap mereka berdua dengan bingung, terutama pada Gabriel—abangnya.
“Intinya, sekarang Ify udah sama gue,” ujar Gabriel datar.
“Gue nggak pa-pa kalau lo emang cinta sama dia,” lanjutnya.
“Gabriel...”
“Dan gue nggak ijinin lo deketin Ify selangkah aja! Termasuk tebar kode-kode busuk lo itu,” ceplos Gabriel sambil tersenyum meremehkan.
“Tapi itu nggak adil! Gue juga berhak perjuangin Ify,” bantah Rio.
“Perjuangin lo bilang? Dengan kode-kode lo yang ujungnya bikin Ify risih karena mereka selalu ngebahas elo sama dia? Lucu!”
Rio meneguk salivanya—meski kesulitan—dan menatap Gabriel yang matanya sudah berkilat-kilat seolah menyimpan amarah. Nampak sekali bahwa sahabat barunya ini sangat mempertahankan sosok Ify.
“Selama ini gue sok buta, Yo. Karena gue anggep lo temen gue. Tapi kalau ternyata suatu saat lo makan gue hidup-hidup, semuanya bakalan beda.”
“Lo kalah telak, Rio. Kalah telak!”
Dalam keadaan tak terkontrol seperti ini, Rio menganggukkan kepalanya. Telak. Dia harus melepas Ify.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, akhirnya Gabriel bisa mempunyai waktu luang untuk menghabiskan waktu dengan Ify. Gadis itu kini menggunakan celana jins dengan atasan baju tanpa lengan. Rambutnya terikat.
“Cantik,” celetuk Gabriel.
Pipi Ify merona dengan sendirinya. “Emm... hallo Nia!”
Ify sengaja mengalihkan pandangannya pada gadis cantik dengan rambut ikal di sebelah Gabriel. Memang, mereka sengaja membawa Nia dan Khalif karena Gabriel sudah terlanjur terikat janji pada adiknya itu.
“Hallo kak Ify cantik dan Khalif ganteng,” sapa Nia dengan wajah polos.
Mendengar adiknya disebut ganteng, Ify menautkan alisnya lalu melirik Gabriel yang kini menepuk keningnya sendiri.
“Kak, Khalif sama Nia main dulu ya! Dadah!”
Lamunan Ify buyar saat adiknya menggandeng tangan Nia kemudian berlari pergi.
“Hati-hati!” seru Ify. Sayangnya, dua anak kecil yang sudah mulai beranjak besar itu terlanjur memasuki arena timezone yang tak jauh dari tempat Gabriel dan Ify sekarang.
“Nia kok jadi genit begitu? Lo yang ngajarin ya?” selidik Ify.
Gabriel menggeleng kuat-kuat sambil menggoyangkan tangannya. “Enggak! Suer deh!” elaknya.
“Terus? Kan lo kakaknya,” seloroh Ify.
“Dia kebanyakan gaul sama Bang Jully. Nggak tahu deh diajarin apa sampai bisa galau segala,” sahut Gabriel.
Ify terkekeh. “Duplikat elo kayaknya. Lo kan suka galau urusan cewek,” ledek Ify.
“Isshhh!” Dengan gemas, Gabriel menjawil hidung bangir Ify.
“Nggak pake cubit juga keles!” sewot Ify.
“Hahaha keseringan main di sinetron alay dasar, keles keles,” cibir Gabriel.
Gadis itu hanya tersenyum menanggapinya. Dia tahu kalau Gabriel berbohong saat mengatakan dia tak menonton sinetronnya. Kalau tak menonton, bagaimana bisa dia tahu kalau ‘keles’ ada di sinetronnya?
“Oh iya, ada yang mau aku omongin sama kamu,” ujar Gabriel serius.
“Cieilah aku-kamu nih,” ledek Ify. Gabriel melotot, membuat Ify reflek mengucapkan maaf meski sambil cengengesan.
“Apa sih?”
“Ng—Rio suka sama kamu.”
“Rio?”
Gabriel mengangguk. “Rio yang dulu duet sama kamu.”
Jawaban Gabriel tiba-tiba membuat Ify mendengus sebal, mood-nya rusak seketika. “Terus gue musti ngapain?” acuhnya.
Mendengar nada itu, Gabriel lantas mengulum senyum. “Jangan gitu, Fy. Aku takut kalau kamu benci sama dia, tiba-tiba bisa bikin kamu cinta sama dia.”
Ify tertegun. “Maksudnya?”
“Beda benci sama cinta itu setipis kertas. Aku cuma nggak siap kalau tiba-tiba kamu pergi ninggalin aku.”
Reflek, Ify menubruk tubuh Gabriel dan membenamkan wajahnya di dada bidang pemuda tersebut. “Jangan bilang gitu. Kamu pikir enak nungguin kamu putus sama mantan-mantan kamu? Sementara aku masih nggak bisa move ke mana pun.”
“Iya, maaf,” bisik Gabriel.
“Kalau suatu saat kita emang harus saling melepas, kita harus melepas sama-sama ya. Now and forever, I’m grateful to be part of you,” tambahnya.
Ify mengangguk dalam rengkuhan Gabriel.
“Kamu ngomong gitu ke semua mantan kamu ya?” selidik Ify.
Terdengar Gabriel terkekeh pelan. “Kamu yang pertama dan terakhir.”
Setelahnya, pemuda itu mengecup bagian puncak kepala Ify cukup lama seolah menyalurkan semua perasaannya tanpa sisa.
Bayangan mengenai status mereka sebagai umat beragama membuat Gabriel meringis pelan. Tak lama kemudian, pemuda itu melepaskan pelukan Ify dan menatap gadis itu lekat-lekat. Detik berikutnya, Gabriel melepaskan kalung berbandul salib yang bertengger di lehernya.
“Kenapa dilepas?” tanya Ify.
“Aku nggak enak sama kamu,” jawab Gabriel pelan.
Ify tersenyum lalu mengambil kalung tersebut dan memakaikannya kembali ke leher kekasihnya. “Ini bukan salah Tuhan, Yel. Ini salah kita yang terlanjur mencinta. Dan kamu... nggak boleh ngelepas ini karena aku.”
“Kenapa?”
“Karena suatu saat nanti, kamu harus ngelepas aku karena kalung ini. Aku pun begitu.”
Meski terdengar perih, tak urung keduanya sama-sama tersenyum tulus.
***

0 komentar:

Posting Komentar