Tittle: ALVIN
Author: Fanny Salma
NB: Jangan dicopast please.
Seorang
pemuda berdiri di dekat pintu aula dengan wajah cemas. Di sekitarnya,
teman-teman pemuda tersebut sudah bergembira dengan seragam yang penuh coretan
warna-warni. Yang membedakan dirinya dengan mereka saat ini adalah, seragam
sekolahnya bersih. Tanpa coretan apa pun. Meski sebenarnya dia sudah dipaksa
untuk ikut mencoret seragamnya dengan pilox.
Sampai
sebuah tangan menggapai bahunya, pemuda itu baru tersentak dan mendongak.
Wajahnya menatap seorang pria yang jauh lebih tua darinya. Keningnya pun
berkerut begitu sadar wajah itu... berbeda. Ya, wajah pria itu berbeda dari
orang-orang tua lain. Tepatnya, wajah itu milik ayahnya sedangkan orang-orang
tua lain yang dimaksudkan adalah para wali murid teman-temannya.
“Aku
lulus kan?”
Hanya
itu yang mampu tercetus dari bibir tipisnya yang berwarna gelap. Satu
pertanyaan yang kemudian mengubah pandangan pria tersebut ke arah lain.
“Yah,
Alvin lulus kan?” ulang pemuda itu.
“Kamu
ngulang lagi nggak pa-pa?”
“Hah?”
Otaknya
berputar begitu cepat. Mengulang? Maksudnya..
“Aku
nggak lulus?” tanyanya dengan nada tajam.
“Lulus,”
jawab sang ayah yang kemudian menyerahkan amplop berwarna putih berhias namanya
di sampul.
“Tapi
Ayah kecewa,” lanjut pria itu.
Alvin—pemuda
tersebut—mengerutkan kening saat sang ayah tiba-tiba pergi meninggalkan halaman
sekolahnya. Diikuti keheranan dari wajah-wajah teman-temannya, Alvin pun
memutuskan untuk menyingkir dari kerumunan ini dan mencari tempat sepi.
Pelan
tapi pasti, amplop itu dibuka dengan hati-hati. Sederetan angka pun muncul di
bawah kata ‘LULUS’ dengan ukuran kecil.
“Kenapa
bisa gini?” desisnya sambil menatap nanar sederetan angka yang tak lebih dari
sembilan.
Bahkan,
angka lima pun menyempil di antaranya.
Sambil
menghela nafas berat, pemuda itu memasukkan amplop tersebut ke dalam tasnya.
Sesak. Apa yang diimpikannya tak bisa terwujud saat ini. Bayangan kekecewaan
sang Ayah pun menyambut lamunanya.
“Maafin
Alvin, Yah. Alvin jahat karena nggak bisa bikin Ayah bahagia,” lirih Alvin.
Tanpa
terasa, setetes cairan bening mengalir dari kelopak matanya hingga terjatuh ke
tanah. Alvin segera menghapus sisa-sisa cairan itu dan melangkah keluar dari
persembunyiannya saat ini.
“Alvin!!!
Alvinnn!!! Nem lo berapa?”
Pemuda
itu tersentak mendengar pertanyaan yang dilontarkan beberapa teman-temannya.
Dengan malas, dia hanya menggeleng lalu melangkah pergi. Hal yang membuat
mereka heran. Apa yang terjadi pada pemuda itu?
“Halah,
palingan juga jelek makanya disembunyiin. Kalau bagus aja dipamerin, ciiihhh!”
Dia
masih bisa mendengar sederetan makian yang ditujukan padanya. Alvin hanya
bergeming dan tetap melanjutkan langkahnya. Dia ingin segera pulang. Tapi, dia
juga takut melihat amarah dari kedua orang tuanya.
***
“Alvin
pulang!”
Tak ada
sahutan. Padahal, dua orang tua yang dicari Alvin sudah bertengger di atas
kursi dan tengah menonton televisi.
Alvin
mendesah dan melangkah menuju kamarnya.
Sesampainya
di kamar, pemuda tersebut menghempaskan tubuh ke atas kasur dengan sembarangan.
Ditatapnya kembali sederetan angka hasil Ujian Nasional bertaraf Internasional
yang menjadi miliknya saat ini. Kecewa. Sangat kecewa.
“Argh!”
Dengan
sekali sentakan, selembar kertas itu pun terjatuh tak berdaya. Selanjutnya,
Alvin menangis.
“Dari
sekian juta orang, kenapa harus gue? Kenapa?”
Sekali
lagi, dia kecewa. Kecewa yang teramat besar.
***
Teruntuk Bapak Kemdikbud yang ‘terhormat’.
Setelah mendapat informasi hasil kelulusan
kami, apa pendapat Bapak? Apa Bapak senang dengan hasil ini? Atau justru
kecewa? Ah, lagipula untuk apa Bapak senang atau kecewa? Toh yang menjalankan
ini bukan Bapak. Tapi kami.
Pak, mengapa harus ada UN? Saya tak masalah
dengan UN ini. Saya tak masalah dengan Uji Nyali ini. Tapi yang saya
permasalahkan, sistem yang digunakan. Bapak menyuruh kami untuk jujur karena
menurut Bapak, nilai tak penting, yang penting adalah kejujuran. Sekarang saya
tanya, kalau kami jujur, apa kami semua akan lulus? Jawabannya tentu tidak.
Karena yang menyatakan kelulusan kami adalah NILAI. Ya. Nilai yang berbicara
mengenai masa depan kami.
Demi UN, saya belajar setiap hari. Saya belajar
tiada mengenal waktu. Lalu, apa yang saya dapat? Nilai yang sama sekali tak
bisa membayar jerih payah saya selama ini. Saya mengatakan jerih payah bukan
karena saya malas mencari ilmu, tapi saya hanya satu dari sekian banyak orang
yang tak bisa membeli ilmu. Saya tak punya cukup uang untuk mengikuti les yang
teman-teman saya ikuti. Saya tak punya cukup uang untuk membeli buku-buku
persiapan seperti yang teman-teman saya beli. Saya tak punya cukup uang untuk
berlari ke warnet demi mencari referensi lain. Saya hanya mengandalkan
buku-buku yang diberikan sekolah—yang terkadang tak sanggup untuk saya bayar.
Lalu, bagaimana nasib mereka yang jauh lebih
susah dibanding saya, Pak? Bagaimana pula nasib mereka yang menyaksikan kata
‘TIDAK LULUS’ di amplop yang mereka terima? Sungguh saya kecewa dengan
tanggapan Bapak yang mengatakan ‘masih ada kejar paket’. Apa gunanya mereka
sekolah kalau pada akhirnya, ijazah yang mereka terima sama persis dengan
mereka yang tidak bersekolah! Bisa Bapak rasakan kekecewaan itu? Tak jarang,
mereka merasa terbunuh karena itu.
Bapak yang terhormat, menjunjung kualitas bukan
dengan meningkatkan pendidikan yang seperti ini. Karena saya yakin, jika
semuanya ‘jujur’ maka hasil kelulusan tak akan berada di tingkat tinggi.
Mengapa Bapak tak meningkatkan kualitas ‘alat pemerintahan’ terlebih dahulu?
Menghilangkan koruptor yang semakin hari meningkat jumlahnya? Mengapa harus
kami yang menjadi korban?
Mungkin memang benar kekecewaan saya atas hasil
UN ini karena usaha saya yang ‘kurang’. Lantas, bagaimana dengan mereka yang
dapat lulus maksimal tanpa usaha apa-apa? Bisa dijelaskan?
Saya mohon, bantu saya mencari jawaban atas
segala pertanyaan saya selama ini.
Dari peserta UN yang kecewa tanpa bisa dicegah.
Alvin Jo
Alvin
menatap tulisannya yang mulai menyebar ke penjuru Indonesia. Pemuda itu menarik
nafas pelan lalu mendengus, dia sudah yakin dengan apa yang diperbuatnya. Dia
juga siap menerima semua cacian yang akan melintasi timeline-nya.
Meski
banyak orang yang berada dipihaknya, Alvin tak acuh.
Sekarang,
pemuda tersebut menatap web yang
memberikan info snmptn. Sambil berdoa, pemuda itu mencari namanya.
“Yes
keterima di FHUI!” serunya saat mendapati namanya berada di kolom fakultas
hukum UI.
“Semoga
ini langkah yang indah,” gumam Alvin.
***
5 tahun kemudian...
Alvin
menatap bangunan kokoh yang berada di depannya. Bangunan yang merupakan bekas
SMA-nya dulu. Papan bertuliskan ‘SMA Harapan Besar’ masih terpasang di atas
gapura yang menjadi pembuka sekolah ini. Dengan ragu, pemuda itu melangkah
masuk.
Dia
ingat persis, saat pengumuman kelulusan Alvin memilih pergi diringi cacian
teman-temannya. Bahkan Alvin ingat saat ada yang mengejeknya hanya karena
NEM-nya rendah.
Sekarang,
Alvin harus kembali untuk acara reuni.
“Alvin?”
Pemuda
itu berbalik dan mendapati seorang gadis cantik menyapanya dengan senyum yang
merekah. Alvin pun balas tersenyum—meski sempat terdiam karena keterpanaan.
“Ify,
ya?” tanya Alvin ragu.
“Iya! Ih
sama temen sekelas sendiri malah lupa,” sahut gadis itu sambil mengerucutkan
bibirnya.
Alvin
menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. “Lo... beda banget.”
Dia bisa
melihat gadis ini—Ify—tersipu malu. Dia mengenakan dress berwarna merah dengan ujung yang meliuk-liuk seperti ombak.
Lalu rambutnya yang terpangkas pendek dibiarkan terurai bebas tanpa hiasan
apa-apa. Kemudian, wajahnya terpoles bedak yang tipis. Sungguh cantik. Meski
tanpa high heels, tinggi gadis ini
hampir sama dengannya.
“Gue
sekarang jadi polwan,” celetuk gadis itu.
“Hah?”
“Serius!”
Alvin tertawa
kecil. “Padahal dulu elo kan model,” ledek Alvin yang membuat Ify reflek
memukul bahu pemuda itu.
“Sialan!
Masih inget aja lo!” dengus Ify.
Ya. Dulu
gadis ini memang selalu dijadikan ‘model’ oleh teman-teman sekelasnya di setiap
acara yang diadakan sekolah mereka karena memang Ify tergolong siswa yang
paling cantik. Tak jarang, Ify malah dimintai tanda tangan.
“Oh iya,
gue baca tulisan elo yang nyebar itu. Salut deh sama elo!” puji Ify berlebihan.
“Haha,
oh iya?”
“Beneran.
Pas gue mau contact, nomor lo nggak
aktif. Lo kan tahu gue nggak punya akun sosmed kayak twitter atau facebook,”
cerocos Ify.
“Iya.
Gue ganti nomor. Eh tapi, ini lo nggak lagi kode biar dapetin nomor gue kan?”
goda Alvin dengan seringai lebarnya.
Ify
salah tingkah. “Ng—tau aja lo.”
Pemuda
itu geleng-geleng kepala mendengarnya. Ah satu hal lagi. Dulu saat sekolah, Ify
memang menyukai Alvin dan bahkan mengatakannya pada pemuda ini secara
terang-terangan. Namun ditolak karena Alvin ingin fokus ke pendidikan.
“Eh,
Alvin? Ify?”
Sebuah
suara membuat mereka menoleh.
“Angel?”
Mereka
pun berpelukan untuk melepas rindu.
“Wah
polwan kita cantik banget ya,” ceplos Angel.
“Ya
dong!” sahut Ify dengan bangga.
“Lo
sendiri, Vin? Gimana?” tanya Angel.
“Gue
udah jadi pengacara nih, Ngel. Kalo butuh gue tinggal calling aja,” jawab Alvin.
“Hebat!
Keren lo! Gue aja masih nyelesein skripsi. Sialan banget gue belom wisuda juga
sampai hari ini,” keluh Angel.
“Percaya,
Ngel. Lo pasti bisa deh.”
“Amin.”
Kemudian,
empat pemuda datang menghampiri mereka. Alvin yang sadar akan kedatangan mereka
pun melengos.
“Alvin
sombong nih mentang-mentang udah jadi pengacara,” celetuk salah seorang dari
mereka yang bernama Gabriel.
“Tahu
nih! Inget temen dong!” sahut seseorang lain yang bernama Cakka.
“Jangan
kacang lupa sama kulit. Bagi-bagi kesenengan kan berkah, Vin.” Kali ini adalah
Rio. Sedangkan yang mengangguk-angguk saja adalah Ray.
Alvin
hanya tersenyum miring sebelum berucap. “Ke mana kalian waktu gue terlempar ke
jurang lima tahun lalu? Enak banget sih ngata-ngatain orang eh giliran gue lagi
di atas, kalian bilang gue sombong.”
Empat
pemuda itu terdiam.
“Ayo
Fy!” seru Alvin yang kemudian menarik tangan Ify.
Gadis
itu pun pasrah sambil meminta maaf pada empat pemuda tersebut.
Alvin
membawa gadis itu ke taman yang jauh dari tempat acara. Sekarang, dua insan itu
duduk di bangku panjang yang terbuat dari besi.
“Perjuangan
gue sampai di sini nggak mudah, Fy,” ujar Alvin membuka suara.
“Kenapa?”
tanya Ify.
“Lo tahu
sendiri kan, NEM gue paling rendah di kelas kita dulu. Banyak yang ngomongin
gue jelek-jelek cuma karena NEM. Lo tahu rasanya kayak gimana? Sakit banget.”
Alvin
menghela nafas. “Mereka lupain gue. Setiap kali ulangan, siapa yang bantuin
mereka biar tuntas KKM? Gue. Yang nyontekin PR ke mereka? Gue. Yang bantuin
ngejelasin materi? Gue. Tapi...”
“Iya gue
ngerti,” potong Ify.
“Tapi,
jangan hakimi mereka kayak gini. Itu artinya lo nggak ada bedanya dong sama
mereka? Belajar lah memaafkan, Vin. Toh sekarang lo sukses kan? Lebih sukses
dari mereka,” lanjutnya.
“Iya
sekarang gue sukses. Lalu, seandainya gue nggak sukses gimana?”
Sesaat,
keduanya sama-sama terdiam. Ify pun menyingkap rambut yang menghalangi
pandangannya dan menyelipkannya ke belakang telinga.
“Fy...
jadi pacar gue, ya?”
Gadis
itu terkesiap. “Apa?”
“Ng—ralat.
Jadiin gue cowok elo, ya? Lo mau kan?” ulang Alvin.
“Lo
serius?” tanya Ify yang masih shocked.
Tapi
Alvin justru mengangguk. “Mau kan?”
“Tapi—“
“Tapi
apa?”
“Lo
harus janji sama gue buat maafin mereka. Baru gue mau jadiin lo cowok gue,”
jawab Ify polos.
Alvin
pun terkekeh mendengarnya. “Oke.”
Tanpa
aba-aba, Ify memeluk sosok Alvin. Pemuda itu sendiri tak segan untuk
membalasnya. “Ini yang gue tunggu sejak delapan tahun lalu,” bisik Ify.
Alvin
tertawa kecil.
“Tuhan, terima kasih atas timpaan batu besar
di punggungku lima tahun lalu. Berkat batu besar itu, aku tahu caranya berdiri
tegak.”
***
0 komentar:
Posting Komentar