"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 11 Juli 2014

Cerpen - ALVIN



Tittle: ALVIN
Author: Fanny Salma

NB: Jangan dicopast please.


Seorang pemuda berdiri di dekat pintu aula dengan wajah cemas. Di sekitarnya, teman-teman pemuda tersebut sudah bergembira dengan seragam yang penuh coretan warna-warni. Yang membedakan dirinya dengan mereka saat ini adalah, seragam sekolahnya bersih. Tanpa coretan apa pun. Meski sebenarnya dia sudah dipaksa untuk ikut mencoret seragamnya dengan pilox.
Sampai sebuah tangan menggapai bahunya, pemuda itu baru tersentak dan mendongak. Wajahnya menatap seorang pria yang jauh lebih tua darinya. Keningnya pun berkerut begitu sadar wajah itu... berbeda. Ya, wajah pria itu berbeda dari orang-orang tua lain. Tepatnya, wajah itu milik ayahnya sedangkan orang-orang tua lain yang dimaksudkan adalah para wali murid teman-temannya.
“Aku lulus kan?”
Hanya itu yang mampu tercetus dari bibir tipisnya yang berwarna gelap. Satu pertanyaan yang kemudian mengubah pandangan pria tersebut ke arah lain.
“Yah, Alvin lulus kan?” ulang pemuda itu.
“Kamu ngulang lagi nggak pa-pa?”
“Hah?”
Otaknya berputar begitu cepat. Mengulang? Maksudnya..
“Aku nggak lulus?” tanyanya dengan nada tajam.
“Lulus,” jawab sang ayah yang kemudian menyerahkan amplop berwarna putih berhias namanya di sampul.
“Tapi Ayah kecewa,” lanjut pria itu.
Alvin—pemuda tersebut—mengerutkan kening saat sang ayah tiba-tiba pergi meninggalkan halaman sekolahnya. Diikuti keheranan dari wajah-wajah teman-temannya, Alvin pun memutuskan untuk menyingkir dari kerumunan ini dan mencari tempat sepi.
Pelan tapi pasti, amplop itu dibuka dengan hati-hati. Sederetan angka pun muncul di bawah kata ‘LULUS’ dengan ukuran kecil.
“Kenapa bisa gini?” desisnya sambil menatap nanar sederetan angka yang tak lebih dari sembilan.
Bahkan, angka lima pun menyempil di antaranya.
Sambil menghela nafas berat, pemuda itu memasukkan amplop tersebut ke dalam tasnya. Sesak. Apa yang diimpikannya tak bisa terwujud saat ini. Bayangan kekecewaan sang Ayah pun menyambut lamunanya.
“Maafin Alvin, Yah. Alvin jahat karena nggak bisa bikin Ayah bahagia,” lirih Alvin.
Tanpa terasa, setetes cairan bening mengalir dari kelopak matanya hingga terjatuh ke tanah. Alvin segera menghapus sisa-sisa cairan itu dan melangkah keluar dari persembunyiannya saat ini.
“Alvin!!! Alvinnn!!! Nem lo berapa?”
Pemuda itu tersentak mendengar pertanyaan yang dilontarkan beberapa teman-temannya. Dengan malas, dia hanya menggeleng lalu melangkah pergi. Hal yang membuat mereka heran. Apa yang terjadi pada pemuda itu?
“Halah, palingan juga jelek makanya disembunyiin. Kalau bagus aja dipamerin, ciiihhh!”
Dia masih bisa mendengar sederetan makian yang ditujukan padanya. Alvin hanya bergeming dan tetap melanjutkan langkahnya. Dia ingin segera pulang. Tapi, dia juga takut melihat amarah dari kedua orang tuanya.
***
“Alvin pulang!”
Tak ada sahutan. Padahal, dua orang tua yang dicari Alvin sudah bertengger di atas kursi dan tengah menonton televisi.
Alvin mendesah dan melangkah menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar, pemuda tersebut menghempaskan tubuh ke atas kasur dengan sembarangan. Ditatapnya kembali sederetan angka hasil Ujian Nasional bertaraf Internasional yang menjadi miliknya saat ini. Kecewa. Sangat kecewa.
Argh!”
Dengan sekali sentakan, selembar kertas itu pun terjatuh tak berdaya. Selanjutnya, Alvin menangis.
“Dari sekian juta orang, kenapa harus gue? Kenapa?”
Sekali lagi, dia kecewa. Kecewa yang teramat besar.
***
Teruntuk Bapak Kemdikbud yang ‘terhormat’.
Setelah mendapat informasi hasil kelulusan kami, apa pendapat Bapak? Apa Bapak senang dengan hasil ini? Atau justru kecewa? Ah, lagipula untuk apa Bapak senang atau kecewa? Toh yang menjalankan ini bukan Bapak. Tapi kami.
Pak, mengapa harus ada UN? Saya tak masalah dengan UN ini. Saya tak masalah dengan Uji Nyali ini. Tapi yang saya permasalahkan, sistem yang digunakan. Bapak menyuruh kami untuk jujur karena menurut Bapak, nilai tak penting, yang penting adalah kejujuran. Sekarang saya tanya, kalau kami jujur, apa kami semua akan lulus? Jawabannya tentu tidak. Karena yang menyatakan kelulusan kami adalah NILAI. Ya. Nilai yang berbicara mengenai masa depan kami.
Demi UN, saya belajar setiap hari. Saya belajar tiada mengenal waktu. Lalu, apa yang saya dapat? Nilai yang sama sekali tak bisa membayar jerih payah saya selama ini. Saya mengatakan jerih payah bukan karena saya malas mencari ilmu, tapi saya hanya satu dari sekian banyak orang yang tak bisa membeli ilmu. Saya tak punya cukup uang untuk mengikuti les yang teman-teman saya ikuti. Saya tak punya cukup uang untuk membeli buku-buku persiapan seperti yang teman-teman saya beli. Saya tak punya cukup uang untuk berlari ke warnet demi mencari referensi lain. Saya hanya mengandalkan buku-buku yang diberikan sekolah—yang terkadang tak sanggup untuk saya bayar.
Lalu, bagaimana nasib mereka yang jauh lebih susah dibanding saya, Pak? Bagaimana pula nasib mereka yang menyaksikan kata ‘TIDAK LULUS’ di amplop yang mereka terima? Sungguh saya kecewa dengan tanggapan Bapak yang mengatakan ‘masih ada kejar paket’. Apa gunanya mereka sekolah kalau pada akhirnya, ijazah yang mereka terima sama persis dengan mereka yang tidak bersekolah! Bisa Bapak rasakan kekecewaan itu? Tak jarang, mereka merasa terbunuh karena itu.
Bapak yang terhormat, menjunjung kualitas bukan dengan meningkatkan pendidikan yang seperti ini. Karena saya yakin, jika semuanya ‘jujur’ maka hasil kelulusan tak akan berada di tingkat tinggi. Mengapa Bapak tak meningkatkan kualitas ‘alat pemerintahan’ terlebih dahulu? Menghilangkan koruptor yang semakin hari meningkat jumlahnya? Mengapa harus kami yang menjadi korban?
Mungkin memang benar kekecewaan saya atas hasil UN ini karena usaha saya yang ‘kurang’. Lantas, bagaimana dengan mereka yang dapat lulus maksimal tanpa usaha apa-apa? Bisa dijelaskan?
Saya mohon, bantu saya mencari jawaban atas segala pertanyaan saya selama ini.
Dari peserta UN yang kecewa tanpa bisa dicegah.
Alvin Jo
Alvin menatap tulisannya yang mulai menyebar ke penjuru Indonesia. Pemuda itu menarik nafas pelan lalu mendengus, dia sudah yakin dengan apa yang diperbuatnya. Dia juga siap menerima semua cacian yang akan melintasi timeline-nya.
Meski banyak orang yang berada dipihaknya, Alvin tak acuh.
Sekarang, pemuda tersebut menatap web yang memberikan info snmptn. Sambil berdoa, pemuda itu mencari namanya.
“Yes keterima di FHUI!” serunya saat mendapati namanya berada di kolom fakultas hukum UI.
“Semoga ini langkah yang indah,” gumam Alvin.
***
5 tahun kemudian...
Alvin menatap bangunan kokoh yang berada di depannya. Bangunan yang merupakan bekas SMA-nya dulu. Papan bertuliskan ‘SMA Harapan Besar’ masih terpasang di atas gapura yang menjadi pembuka sekolah ini. Dengan ragu, pemuda itu melangkah masuk.
Dia ingat persis, saat pengumuman kelulusan Alvin memilih pergi diringi cacian teman-temannya. Bahkan Alvin ingat saat ada yang mengejeknya hanya karena NEM-nya rendah.
Sekarang, Alvin harus kembali untuk acara reuni.
“Alvin?”
Pemuda itu berbalik dan mendapati seorang gadis cantik menyapanya dengan senyum yang merekah. Alvin pun balas tersenyum—meski sempat terdiam karena keterpanaan.
“Ify, ya?” tanya Alvin ragu.
“Iya! Ih sama temen sekelas sendiri malah lupa,” sahut gadis itu sambil mengerucutkan bibirnya.
Alvin menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. “Lo... beda banget.”
Dia bisa melihat gadis ini—Ify—tersipu malu. Dia mengenakan dress berwarna merah dengan ujung yang meliuk-liuk seperti ombak. Lalu rambutnya yang terpangkas pendek dibiarkan terurai bebas tanpa hiasan apa-apa. Kemudian, wajahnya terpoles bedak yang tipis. Sungguh cantik. Meski tanpa high heels, tinggi gadis ini hampir sama dengannya.
“Gue sekarang jadi polwan,” celetuk gadis itu.
“Hah?”
“Serius!”
Alvin tertawa kecil. “Padahal dulu elo kan model,” ledek Alvin yang membuat Ify reflek memukul bahu pemuda itu.
“Sialan! Masih inget aja lo!” dengus Ify.
Ya. Dulu gadis ini memang selalu dijadikan ‘model’ oleh teman-teman sekelasnya di setiap acara yang diadakan sekolah mereka karena memang Ify tergolong siswa yang paling cantik. Tak jarang, Ify malah dimintai tanda tangan.
“Oh iya, gue baca tulisan elo yang nyebar itu. Salut deh sama elo!” puji Ify berlebihan.
“Haha, oh iya?”
“Beneran. Pas gue mau contact, nomor lo nggak aktif. Lo kan tahu gue nggak punya akun sosmed kayak twitter atau facebook,” cerocos Ify.
“Iya. Gue ganti nomor. Eh tapi, ini lo nggak lagi kode biar dapetin nomor gue kan?” goda Alvin dengan seringai lebarnya.
Ify salah tingkah. “Ng—tau aja lo.”
Pemuda itu geleng-geleng kepala mendengarnya. Ah satu hal lagi. Dulu saat sekolah, Ify memang menyukai Alvin dan bahkan mengatakannya pada pemuda ini secara terang-terangan. Namun ditolak karena Alvin ingin fokus ke pendidikan.
“Eh, Alvin? Ify?”
Sebuah suara membuat mereka menoleh.
“Angel?”
Mereka pun berpelukan untuk melepas rindu.
“Wah polwan kita cantik banget ya,” ceplos Angel.
“Ya dong!” sahut Ify dengan bangga.
“Lo sendiri, Vin? Gimana?” tanya Angel.
“Gue udah jadi pengacara nih, Ngel. Kalo butuh gue tinggal calling aja,” jawab Alvin.
“Hebat! Keren lo! Gue aja masih nyelesein skripsi. Sialan banget gue belom wisuda juga sampai hari ini,” keluh Angel.
“Percaya, Ngel. Lo pasti bisa deh.”
“Amin.”
Kemudian, empat pemuda datang menghampiri mereka. Alvin yang sadar akan kedatangan mereka pun melengos.
“Alvin sombong nih mentang-mentang udah jadi pengacara,” celetuk salah seorang dari mereka yang bernama Gabriel.
“Tahu nih! Inget temen dong!” sahut seseorang lain yang bernama Cakka.
“Jangan kacang lupa sama kulit. Bagi-bagi kesenengan kan berkah, Vin.” Kali ini adalah Rio. Sedangkan yang mengangguk-angguk saja adalah Ray.
Alvin hanya tersenyum miring sebelum berucap. “Ke mana kalian waktu gue terlempar ke jurang lima tahun lalu? Enak banget sih ngata-ngatain orang eh giliran gue lagi di atas, kalian bilang gue sombong.”
Empat pemuda itu terdiam.
“Ayo Fy!” seru Alvin yang kemudian menarik tangan Ify.
Gadis itu pun pasrah sambil meminta maaf pada empat pemuda tersebut.
Alvin membawa gadis itu ke taman yang jauh dari tempat acara. Sekarang, dua insan itu duduk di bangku panjang yang terbuat dari besi.
“Perjuangan gue sampai di sini nggak mudah, Fy,” ujar Alvin membuka suara.
“Kenapa?” tanya Ify.
“Lo tahu sendiri kan, NEM gue paling rendah di kelas kita dulu. Banyak yang ngomongin gue jelek-jelek cuma karena NEM. Lo tahu rasanya kayak gimana? Sakit banget.”
Alvin menghela nafas. “Mereka lupain gue. Setiap kali ulangan, siapa yang bantuin mereka biar tuntas KKM? Gue. Yang nyontekin PR ke mereka? Gue. Yang bantuin ngejelasin materi? Gue. Tapi...”
“Iya gue ngerti,” potong Ify.
“Tapi, jangan hakimi mereka kayak gini. Itu artinya lo nggak ada bedanya dong sama mereka? Belajar lah memaafkan, Vin. Toh sekarang lo sukses kan? Lebih sukses dari mereka,” lanjutnya.
“Iya sekarang gue sukses. Lalu, seandainya gue nggak sukses gimana?”
Sesaat, keduanya sama-sama terdiam. Ify pun menyingkap rambut yang menghalangi pandangannya dan menyelipkannya ke belakang telinga.
“Fy... jadi pacar gue, ya?”
Gadis itu terkesiap. “Apa?”
“Ng—ralat. Jadiin gue cowok elo, ya? Lo mau kan?” ulang Alvin.
“Lo serius?” tanya Ify yang masih shocked.
Tapi Alvin justru mengangguk. “Mau kan?”
“Tapi—“
“Tapi apa?”
“Lo harus janji sama gue buat maafin mereka. Baru gue mau jadiin lo cowok gue,” jawab Ify polos.
Alvin pun terkekeh mendengarnya. “Oke.”
Tanpa aba-aba, Ify memeluk sosok Alvin. Pemuda itu sendiri tak segan untuk membalasnya. “Ini yang gue tunggu sejak delapan tahun lalu,” bisik Ify.
Alvin tertawa kecil.
Tuhan, terima kasih atas timpaan batu besar di punggungku lima tahun lalu. Berkat batu besar itu, aku tahu caranya berdiri tegak.”
***

0 komentar:

Posting Komentar