Tittle:
When You Hold Me
Author:
Fanny Salma
Selamat
malam minggu, saya post WYHM part 17 hehe semoga tidak mengecewakan lagi. Buat
yang kurang suka percintaan mohon maaf karena dari awal WYHM memang sudah saya
konsep begini :3
Hope you
like it...
17
“Saya
panggil kamu ke sini karena saya ingin meminta kamu mengajari Alvin,” kata Bu
Maryam membuat Ify mendengus tak kentara.
“Bukannya
saya nggak mau, Bu. Tapi, saya nggak sanggup kalau harus mengajari dua orang
sekaligus. Saya kan juga butuh belajar sendiri, Bu,” balas Ify setenang
mungkin.
Bu
Maryam mengangguk-angguk, “Saya sudah menduga. Tapi, saya punya penawaran bagus
untuk kamu kalau kamu bersedia.”
“Penawaran?”
“Beasiswa
kuliah di Aussie setelah lulus dari sini. Saya akan merekomendasikan nama kamu
dan akan saya pastikan kamu lolos jika kamu bersedia mengajari Alvin. Hanya
sampai kenaikan kelas. Setimpal kan?” jelas Bu Maryam.
Kali ini
Ify terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Semua orang pasti menunggu
momentum seperti ini, tidak mungkin ada yang mau menolak kesempatan emas karena
tak akan datang dua kali. Dengan itu pula ia bisa membuat bangga kedua orang
tuanya. Tapi di sisi lain, Ify masih memikirkan nasibnya sendiri jika mengajari
Alvin dan Rio yang berarti harus bisa mengatur waktu dengan baik.
“Kamu
juga sudah boleh menghentikan belajarmu dengan Rio karena nilainya sudah mulai
mencapai KKM,” ujar Bu Maryam.
Ify menggeleng,
“Kalau saya hentikan, tidak ada jaminan nilai Rio akan stabil.”
“Kamu
benar. Keputusan ada di tangan kamu, Ify.”
Kalau
tahu wanita ini memanggilnya hanya untuk urusan seperti ini, dia tidak akan
melangkahkan kaki kemari. Sekali lagi, penawaran Bu Maryam sangat menggiurkan.
Ify berpikir keras untuk memutuskan.
Sampai
pada akhinya keputusannya sudah final.
“Saya
bersedia.”
***
Mata
Alvin membulat sempurna saat tahu-tahu dia dipanggil ke ruangan Bu Maryam. Ya,
dia sudah menduga ini pasti berhubungan dengan nilai-nilainya yang beberapa
hari lalu membuat wanita itu kelimpungan. Hanya ada dua kemungkinan. Yang
pertama, Ify menolak dan yang kedua sebaliknya.
Alvin
berjalan memperhitungkan kemungkinan yang diambil Ify. Jika pertama, maka ia
aman. Tapi, jika Ify justru bersedia itu artinya... argh.
Dengan
hati-hati Alvin membuka pintu ruangan setelah mengetoknya beberapa kali. Pemuda
itu melihat Ify masih berada di sana, terdiam menatapi ujung sepatunya yang
mungkin tampak menarik untuk saat ini. Dia lantas berderap menghampiri Bu
Maryam yang memasang wajah sumringah. Apa saja yang telah mereka bicarakan?
“Duduk,
Vin,” kata Bu Maryam terdengar ramah.
Alvin
mengernyit karena merasa aneh. Sebelumnya, wanita di hadapannya ini tak pernah
royal padanya.
“Jadi
begini, Ify...”
Alvin
ikut menatap Ify saat Bu Maryam mengalihkan pandangan pada gadis di sebelahnya.
Ify lalu mendongak, melepaskan pandangannya dari sepasang sepatu yang tampak
usang.
“Bersedia
mengajari kamu sampai ujian kenaikan kelas,” lanjut Bu Maryam.
Tiba-tiba
saja kepala Alvin terasa pening. Apa yang dirasakan Rio ya saat pertama kali
diminta belajar dengan gadis di sebelahnya? Alvin pun tak tahu harus bereaksi
seperti apa. Meski sudah menganggap Ify sebagai sahabat, tapi nyatanya sulit
karena ia baru memulai.
“Untuk
itu kamu tidak bisa menolak lagi, Alvin. Saya berbuat seperti ini karena tak
ingin sekolahmu semakin memprihatinkan. Urusan jadwal belajar, saya serahkan
pada Ify,” kata Bu Maryam karena Alvin masih tak bereaksi.
Karena
sudah tak ijinkan memprotes apapun, Alvin hanya menganggukkan kepalanya dengan
patuh. Ify menatap pemuda itu dengan perasaan bersalah dan dibalas dengan wajah
datar. Sepertinya Ify tahu bahwa Alvin tidak suka.
“Kalau
begitu saya permisi, Bu,” pamit Alvin.
“Saya
juga,” timpal Ify.
Bu
Maryam menganggukkan kepala dan mempersilakan dua anak didiknya itu
meninggalkan ruang guru. Entah mengapa, wanita itu selalu percaya bahwa Ify
dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Begitu
keluar dari ruangan tersebut, Alvin duduk di kursi yang sengaja disediakan dan
diikuti Ify. Beberapa saat atmospher diantara mereka masih terasa... entahlah.
Mereka sendiri bingung harus menjabarkan seperti apa.
“Sori,
gue nggak maksud bikin lo nggak seneng,” ujar Ify membuka obrolan.
Masih
ingatkah bahwa Ify memang sedikit takut pada Alvin?
Terdengar
helaan nafas dari pemuda itu, “Nggak pa-pa. Itu hak lo juga mau nolak atau
nerima. Bu Maryam nawarin apa sih?”
Ify
terperangah. Ternyata Alvin tahu soal penawaran tersebut.
“Ngg...”
Gadis
itu tak tahu harus menjawab apa. Pada akhirnya, ia memilih mengatupkan bibir.
Beruntung Alvin bukanlah orang yang bersikeras menyuruh seseorang menjawab
pertanyaannya.
“Lo
harus betah ya sama sikap gue,” ujar Alvin memecah kesenyapan.
“Pasti.
Lo juga harus betah kalo gue nggak sengaja ngomel,” balas Ify nyengir.
Ia tahu
bahwa Alvin tak seburuk yang ia kira. Buktinya saat ini Alvin tertawa kecil
mendengar ocehan Ify.
***
Keputusan
final. Demi neptunus, Agni tidak akan menunda-nunda lagi untuk bicara dengan
Sion dan membuat pemuda itu semakin berasumsi. Kini, Agni menunggu pemuda itu
di lorong yang menghubungkan mereka ke lapangan indoor. Tentunya tidak akan ada yang lewat sini karena selain
lapangan indoor jarang digunakan
selain untuk latihan, ini adalah waktunya anak-anak belajar di dalam kelas.
Hanya kelas Agni yang bebas karena tidak ada guru mengajar.
Gadis
itu membenarkan ikatan kuncir kudanya lalu bersandar di tembok. Semalaman dia
sudah berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan pada Sion. Akan tetapi,
semua yang dirangkainya mendadak menguap begitu saja. Agni menyerah. Dia tak
punya waktu lagi untuk merangkai kata kembali karena siluet Sion mulai
terlihat.
Semakin
dekat. Agni sudah dapat melihat Sion secara utuh. Pemuda itu berhenti tepat di
hadapannya dengan tangan yang tersembunyi di balik saku.
“Mau
ngomong apa?” tanya Sion.
Agni
lantas merubah posisinya dan membuat Sion mau tak mau ikut bergeser dari
tempatnya semula. Suasana hening beberapa saat, hanya terdengar nafas Agni yang
memburu karena bingung harus memulai dari mana. Sion, pemuda itu tetap setia
menantikan gadis yang mungkin masih ada di hatinya itu bicara.
“Gue
minta maaf sama lo untuk semua hal yang pernah terjadi diantara kita.”
Akhirnya
kalimat itu meluncur secara lugas dari bibir Agni. Rahang Sion mengeras, sudah
ia duga Agni akan membahas ini.
“Perasaan
lo ke gue benar-benar udah nggak tersisa sedikitpun?” tanya Sion terdengar
miris.
Rasa
bersalah itu kembali menancap di hati Agni. Mungkin, sampai kapanpun dan
sebanyak apapun maaf darinya masih akan tetap meninggalkan perasaan bersalah
ini.
Baru
membuka mulut saat hendak bicara, tiba-tiba Sion mengangkat tangannya sebagai
kode bahwa Agni tak perlu melanjutkan. Bibir Agni lantas kembali terkatup
rapat.
“Nggak
usah dijawab, gue udah tahu jawabannya,” interupsi Sion.
“Sion...”
“Agni, gue
mengira telah berhasil meraih lo. Tapi, setelah lo patahin hati gue, dunia
bikin sadar kalau selama ini gue cuma berhasil meraih bayangan lo. Sama seperti
bayangan, akan ada saat lo pergi meninggalkan gue,” celoteh Sion terdengar
menyakitkan.
“Dengan
ini, gue melepas lo sepenuhnya,” imbuh Sion.
Beberapa
saat mereka larut dalam hening. Agni masih berusaha mencerna ucapan Sion yang
baru saja didengarnya disaat Sion berusaha menata hatinya kembali, tanpa Agni
di dalamnya.
“Lo...
serius?” tanya Agni lirih.
Sion
mengangguk.
“Untuk
apa gue mempertahankan orang yang nggak ingin dipertahankan?”
“Gue
bener-bener minta maaf. Gue yakin lo akan dapat cewek yang lebih baik dari gue
dan mencintai lo apa adanya,” kata Agni yang dibalas Sion dengan anggukan
ringan.
Bagi
Sion, ucapan itu hanyalah bualan belaka. Tak ada isinya. Kosong. Sudah berapa
gadis yang mengatakan kalimat demikian padanya? Tak apa, dia sudah ikhlas
melepas Agni.
“Lo
juga. Semoga Cakka tahu kalau lo cinta sama dia,” balas Sion tak mengutarakan
isi pikirannya.
Dug.
Keduanya
sama-sama menoleh saat mendengar sesuatu terjatuh ke lantai. Cakka. Dia berdiri
dengan wajah terkejut. Detik berikutnya Agni berubah panik, dia yakin bahwa
Cakka mendengar apa yang diutarakan Sion barusan.
“Well, gue pergi dulu,” pamit Sion
memberi celah supaya mereka dapat mengobrol berdua saja.
“Jangan
jadi pecundang kayak gue, Ag,” pesan Sion lalu melangkah pergi.
Tinggalah
Agni dan Cakka dalam kesunyian.
***
Semenjak
rentetan kejadian yang menimpa The Wanted berakhir, sekolah jadi lebih indah
bagi Shilla. Dia sudah mulai bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Tak
hanya itu, dia kembali dekat dengan Gabriel seperti dulu. Semuanya tampak lebih
indah meski beberapa kali Shilla sempat memergoki Gabriel melamun. Entah,
Shilla tak tahu apa yang dilamunkan pemuda itu.
Shilla
juga sudah tak peduli apakah The Wanted masih ada atau tidak. Bahkan, dia mulai
menikmati saat Sivia menyebut mereka ‘Tim Menolak Sivia Bahagia’. Terdengar
lucu dan tak ada yang pernah menyangkal. Sebutan itu jauh lebih menarik timbang
The Wanted.
Sekarang,
dia berada di kelas bersama Rio dan Gabriel. Sejak kejadian Ify bertemu dengan
Ray, Rio jadi lebih pendiam. Dan itu diartikan Shilla sebagai rasa cemburu.
Diam-diam Shilla tersenyum karena menyadari bahwa bukan hanya dia yang beranjak
dewasa, makhluk sekaku Rio pun bisa merasakan jatuh cinta. Pernah Shilla
membicarakan ini pada Sivia dan gadis cablak itu setuju dengannya.
“Kalian
diem mulu,” cetus Shilla.
Kelas
mereka memang sedang jam kosong. Alvin belum kembali sejak dipanggil Bu Maryam.
“Akhir-akhir
ini lo kelihatan lebih ceria,” kata Gabriel.
Dengan
senang hati Shilla mengangguk semangat, “Gue seneng banget sekarang jadi banyak
temen.”
“Bagus
dong ya?” kekeh Gabriel.
“Nah,
Rio. Lo kenapa? Mikirin Ify? Apa mikirin kapten basket SMA Global?” ceplos
Shilla membuat Rio sedikit kaget.
“Kok
jadi gue?”
Shilla
terkekeh, “Ternyata lucu juga ya lihat lo jatuh cinta. Sama Ify lagi. Udah
sejauh mana sih kalian?”
“Siapa
yang jatuh cinta?” tanya Rio pura-pura bingung.
“Nggak
perlu ngelak gitu, Yo. Udah ketangkep basah sama Shilla tuh,” nimbrung Gabriel
seraya terkikik geli.
Rio
mendengus. Menyebalkan. Gabriel selalu saja kumat kalau membahas Rio dan Ify.
Dan sekarang, Shilla jadi ikut-ikutan.
“Gue nggak
mikirin apa-apa kok,” kilah Rio.
“Masih
nyangkal juga? Sejak mata lo nyorot Ify sama Ray waktu itu, lo jadi nggak
fokus. Apa lagi kalo bukan cemburu?” tembak Shilla.
Detik
berikutnya Rio memijat pelipisnya. Iya, dia mengaku bahwa pikirannya jadi
runyam karena bertanya-tanya siapa laki-laki bernama Ray itu. Maksudnya, apa
hubungannya dengan Ify? Mengapa nada bicara Ify tampak berbeda?
Rio
melirik Shilla dan Gabriel yang sedang mengerling jahil. Ugh, mereka kompak sekali meledeknya. Tapi, Rio tetap bungkam.
***
Sejak
Alvin mengantarkan Sivia pulang, mereka jadi lebih dekat. Bahkan saat ini sudah
masuk ke tahap chat—meski tidak
rutin. Alvin memberikan warna baru dalam hidup Sivia. Yang awalnya dipenuhi
dengan warna-warna menantang, kini berubah jadi pink. Full pink. Ify sendiri sampai heran menyaksikan Sivia senyum-senyum
tidak jelas setiap pelajaran.
Ah, Ify
jadi teringat mengenai chat Ray
semalam. Setelah beberapa hari berlalu sejak pertemuan mereka, tiba-tiba tadi
malam pemuda itu membuatnya shocked
karena menambahkan akun line miliknya. Lebih terkejut lagi saat Ray menyapanya
melalui chat—dan belum dibalas hingga
saat ini. Ify memang tak pernah mem-protect
line-nya karena takut ada kepentingan mendadak. Dampaknya baru ia rasakan
sekarang.
“Via,”
panggil Ify.
Sivia
yang awalnya fokus pada ponsel lantas menoleh, “Apaan? Kangen?”
Ify
melengos. “Bukan idih! Gue mau cerita sama lo,” balasnya.
Mendengar
bahwa sahabatnya ini akan cerita, Sivia langsung menyimpan ponselnya dan
menatap Ify khidmat. Bukan apa-apa, seorang Ify jika mengatakan hal demikian
maka pasti itu sesuatu yang pribadi. Sungguh Sivia merasa beruntung menjadi
seseorang yang bisa dipercaya oleh Ify.
“Soal?”
tanya Sivia.
Sivia
mulai menebak-nebak apa yang ingin diceritakan Ify. Apa tentang Rio?
“Soal...
Ray,” jawab Ify sedikit ragu.
“Ray?”
tanya Sivia memastikan.
Dan Ify
langsung mengangguk mantap.
“Kenapa
sama Ray?” tanya Sivia—lagi.
“Semalem
dia tiba-tiba chat gue. Sampai sekarang belum gue bales,” kata Ify membuat
Sivia mengernyit.
Ingatan
gadis itu berputar ke masa silam, saat mereka masih mengenakan seragam putih
biru. Sivia ingat saat tiba-tiba Ify menceritakan bahwa dia sedang dekat dengan
Ray, kapten basket SMP mereka. Mereka lalu menjalin hubungan sampai akhirnya
harus putus karena sesuatu yang Sivia mengerti.
Sejak
saat itu, Ify memutuskan untuk tidak pacaran lagi. Dia bilang belum siap jika
kejadian yang sama harus terulang. Tapi, Sivia tahu betul apa yang dirasakan
sahabatnya.
“Lo
masih belum bisa move on?”
Pertanyaan
itu meluncur begitu saja. Tepat sasaran.
“Lo
nggak bisa gini terus, Fy,” kata Sivia pelan.
Ify
mengangguk. Ia pun tahu, tapi rasanya benar-benar sulit karena yang harus
dilupakannya adalah cinta pertama. Ya, Ray cinta pertamanya yang sampai
kapanpun akan selalu seperti itu.
“Rasanya
gue benci sama diri gue sendiri karena nggak sanggup melupakan, Via,” ujar Ify
lirih mengingat sosok gadis yang telah menggantikan posisinya.
Hanya
bersama Sivia, Ify bebas mengutarakan semuanya. Tanpa ada satu bagianpun yang
ditutup-tutupi. Sivia mengerti dan memahami Ify sama seperti Ify memahami Sivia.
Mereka layaknya pantai yang tak pernah meninggalkan lautan, langit yang tak
pernah meninggalkan bumi, atau apapun yang dapat mengibaratkan betapa mereka
saling membutuhkan satu sama lain. Mereka satu. Sepaket. Tak terpisahkan.
Ray.
Nama itu pernah membuat Sivia belingsatan karena ingin menghajarnya, setidaknya
supaya ia tahu sakit yang dirasakan Ify saat itu.
“Lo
butuh orang yang bisa bantu lo melupakan dia, Fy. Lo harus coba membuka diri.
Mungkin ada orang yang saat ini diam-diam mikirin elo,” ujar Sivia dengan
lembut.
Sangat
berbeda dengan sosok Sivia yang cablak
dan nyolot. Dan entah mengapa, ucapan itu merasuki Ify.
***
Cakka
dan Agni masih betah dalam suasana hening dan canggung seperti ini. Agni, ia
masih bingung bagaimana menjabarkan isi hatinya pada pemuda itu. Cakka sendiri
masih menyesuaikan diri. Dia melirik Agni yang sedang memilin ujung kemejanya.
Sejak pertama kali melihatnya, Cakka dibuat kagum dengan penampilan Agni yang
terkesan tomboy. Rambutnya selalu dikuncir kuda, ujung kemejanya selalu keluar,
terkadang lengan kemeja itu sengaja dilipat—hingga meninggalkan bekas—disaat
benar-benar gerah, dan tak ada riasan apapun di wajahnya. Bahkan, Agni tak
pernah mengenakan bedak.
Satu
yang tak pernah lupa dibawa gadis itu adalah bedak bayi. Bukan untuk dioleskan
di wajah, melainkan di seragamnya. Katanya supaya kerigatnya terserap dengan
baik. Cakka baru tahu ada teori seperti itu—mungkin juga Agni mengasal.
Entah
sejak kapan Cakka mengingat itu semua dengan baik. Semua tentang Agni.
“Yang
dibilang cowok tadi bener?” tanya Cakka memecah keheningan.
Cowok
tadi yang dimaksud Cakka adalah Sion. Ia memang beberapa kali berpapasan dengan
pemuda itu tapi Cakka tak tahu namanya.
Tampak
Agni sedang gusar, kepalanya kosong seolah tak ada stok huruf-huruf di sana. Apalagi
saat ini Cakka menghujaminya dengan tatapan yang entahlah. Agni menunduk, tapi
dia bisa merasakan bahwa Cakka sedang memperhatikannya.
“Gue...
bisa jelasin...”
Ucapan
itu terdengar sangat pelan dan sarat kepanikan.
“Gue
cuma nanya itu bener atau nggak kok, bukan minta penjelasan,” balas Cakka
dengan lembut.
Tapi
sepertinya tanpa jawaban dari Agni pun Cakka sudah tahu. Toh akhirnya Cakka
tetap menunggu Agni sendiri yang menjawabnya supaya ia tak perlu berasumsi. Dan
di detik selanjutnya, gadis itu menganggukkan kepalanya tepat saat bahunya bergerak turun.
Tak ada
reaksi apa-apa dari Cakka. Agni pun mendongak, berharap Cakka mau buka suara
sedikit saja atas jawabannya. Namun pemuda itu masih terdiam. Agni lantas
merasa harapannya pupus sudah. Ia tak tahu bahwa sekarang Cakka sedang
menyelami perasaannya sendiri.
Cakka
mulai angkat bicara lagi, “Jadi, lo jatuh cinta sama gue?”
“Iya,”
sahut Agni lemah.
“Gue
juga.”
Agni
menoleh, menatap Cakka yang sedang tersenyum penuh arti dengan tatapan bingung.
Apa tadi katanya?
***
Tim menolak
Sivia bahagia berkumpul di kantin. Ada yang aneh dengan gelagat Cakka dan Agni,
mereka berdua terlihat berbeda, seperti sengaja menghindari kontak mata satu
sama lain.
“Nasi
goreng sama sop buah dong! Gratis ya!” seru Sivia heboh seperti biasa.
Gabriel
memutar bola matanya, “Dasar gratisan.”
“Yee
sekali-kali lo jadi orang baik dong. Nggak akan rugi kok beramal sama kaum
lemah lembut kayak gue. Kalau nggak percaya, tanya aja ke malaikat pencatat
amal,” balas Sivia membuat yang lain terkikik geli.
“Lo
lemah lembut dari segi mana?” timpal Alvin sangsi.
“Dari
segi...tiga bermuda,” jawab Sivia mantap.
Tawa
mereka pecah begitu mendengar jawaban receh tersebut. Sivia ini entah mengapa
tak pernah kehabisan kata-kata ajaib yang bisa meledakkan tawa.
“Jual
aja dia ke pasar loak,” seloroh Ify.
Sivia
lantas memasang wajah cemberut.
“Kalo
gue dijual, ntar lo kangen gue gimana? Gue bukannya sok sih, tapi emang sadar
diri kalau gue ini super ngangenin.”
“Gampang.
Kalo kangen tinggal gue beli,” sahut Ify asal.
“Oh iya
juga ya?” gumam Sivia sangat polos.
Tiba-tiba
Agni melemparkan sedotan ke arah gadis tersebut. Sivia mendengus, selalu saja
dia yang menjadi korban kesadisan orang-orang. Bukan salahnya kan kalau dia
menggemaskan?
“Jadi
pesen nggak nih?” tanya Gabriel merasa diabaikan.
“Jadi!
Nasgor dan sop buah gratis!” sahut Sivia semangat 45.
“Ya,
selain nasgor dan sop buah gratis apa lagi?” balas Gabriel.
“Ah lo
memang manusia terbaik sedunia, kalo lagi baikin gue,” celoteh Sivia.
Gabriel
mencibir, tapi tak urung tersenyum juga. Saat-saat seperti ini adalah hal yang
selalu dirindukan olehnya. Dia bisa berinteraksi dengan Sivia meski harus
nyolot-nyolotan sampai akhirnya Gabriel yang mengalah. Akan tetapi, ada sesuatu
yang mengusiknya saat ini.
“Samain
aja kayak lo, Yel,” ujar Cakka.
“Gue
juga,” sambung yang lain.
Gabriel
mengangguk-angguk lalu menuju stand. Jika dia yang memesan, tak akan ada
kejadian mengantre. Dia hanya perlu menyebutkan pesanan dan kemudian kembali
duduk manis. Ya, itu enaknya jadi anak pemilik yayasan.
Dalam
diam, Rio melirik Ify yang asik dengan novelnya. Ekspresi itu selalu membuat
Rio terhanyut dalam ketenangan. Pancaran wajah Ify seperti obat dari segala
masalah. Sejenak, beban yang dibawanya melayang-layang di udara. Untuk itu Rio
tak pernah mengabaikan kesempatan seperti ini. Kesempatan menikmati wajah Ify
dalam jarak yang cukup dekat.
Disaat
yang lainnya sibuk menimpali cablakan Sivia, Ify tetap tenang membaca novelnya
seakan ia tak terusik sama sekali dengan kebisingan ini. Dan Rio, ia pun masih
fokus pada gadis itu.
“Ehem,”
dehem Shilla.
“Ehem
ehem kok tenggorokan gue seret ya,” sambung Sivia.
“Wah
nggak ada yang peduli tuh, Siv,” sahut Agni menyebalkan.
Sivia
tampak tak peduli dan masih terus berdehem, begitu pula Shilla. Alvin, Cakka
serta Gabriel yang baru kembali pun lantas mengerti mengapa para gadis ini
semakin berisik.
“Pesona
Ify kayak apa sih sampe bisa bawa orang terbang ke dunia lain?” seloroh Cakka
yang disambut tawa mereka.
Mendengar
namanya disebut-sebut, Ify mendongak lalu menatap bingung ke arah
sahabat-sahabatnya. Gadis itu mengernyit heran.
“Apaan
bawa-bawa gue?” tanya Ify dengan satu alis terangkat.
“Peka
dong, Fy. Ada yang lihatin lo daritadi tahu,” ceplos Agni.
Dan
detik itu Rio tersadar bahwa mereka membicarakan dirinya.
“Harus
dipancing dulu supaya sadar rupanya,” celetuk Alvin.
Ify
sontak melirik ke arah Rio. Satu-satunya orang yang tidak bersuara sedari tadi.
Tampak pemuda itu sedang meringis, seperti tertangkap basah telah
memperhatikannya. Tiba-tiba Ify teringat ucapan Sivia. Dia butuh orang yang
bisa membuatnya melupakan Ray.
***
“Rio,
mulai sekarang jadwal belajar kita cuma hari jum’at ya,” ujar Ify.
Rio yang
tengah mengerjakan soal dari Ify lantas menoleh dengan wajah heran.
“Nilai-nilai
lo udah bagus. Cuman perlu ditingkatkan lagi aja,” imbuh gadis itu.
Saat ini
mereka melakukan rutinitas seperti biasa. Belajar. Berhubung sepulang sekolah
tadi Rio harus ke kantor, maka ia baru datang sore ini. Tampak pemuda itu
mengetuk-ngetukan pulpennya. Yang dikatakan gadis itu benar, nilai-nilainya
sudah terangkat dan terselamatkan. Tapi, mengapa rasanya ia tak rela?
Kali ini
Rio mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya. Memang harusnya begitu kan? Dia
harus menerima keputusan Ify karena gadis itu sudah mengorbankan waktu yang
dimilikinya. Wajar saja. Ify juga perlu waktu untuk meningkatkan nilainya
sendiri.
Tiba-tiba
ponsel Ify menyala. Rio sedikit melirik ke arah layar dan tercenung begitu nama
‘Ray’ memenuhi layar ponsel tersebut. Telepon melalui aplikasi line. Tampaknya
Ify enggan sehingga memilih mengabaikan.
“Kenapa
nggak diangkat?” tanya Rio skeptis.
Ify, dia
tersenyum hambar lalu menggelengkan
kepala.
“Nggak
penting. Udah kelar tugasnya?” balas gadis itu.
“Sedikit
lagi,” sahut Rio.
Keadaan
kembali hening disertai ponsel Ify yang masih menyala. Sepertinya pemuda
bernama Ray itu masih keukeuh pada pendiriannya. Rio tak ambil pusing, ia
segera menyelesaikan pekerjaannya.
Beberapa
saat kemudian, Rio mengangsurkan bukunya pada Ify untuk dikoreksi.
“Ponsel
lo belum mati juga. Kayaknya penting tuh,” kata Rio menunjuk ponselnya.
Ify yang
sedang meneliti pekerjaan Rio lantas mengalihkan pandangan. Benar saja, benda
pipih itu masih menyala dan menampilkan kontak Ray.
“Angkat,”
ujar Rio.
Menyerah.
Gadis itu meraih ponselnya lalu menerima panggilan Ray via line. Terdengar
helaan nafas di seberang sana.
“Mau
apa?” tanya Ify terdengar sangat dingin.
“Gue di luar rumah lo.”
“Hah?”
Ify
buru-buru menengok dari jendela. Benar. Ada Ray yang sedang bersandar di
motornya dengan ponsel yang masih menempel di telinga.
“Ngapain
ke sini?”
“Please, ada yang perlu kita omongin.”
“Gue
nggak akan keluar. Mending lo pulang aja,” ketus Ify lalu mematikan ponselnya
secara total.
Rio
mengerjap mencuri dengar pembicaraan Ify dengan Ray. Pemuda itu mulai
bertanya-tanya siapakah Ray sebenarnya. Ify yang sadar bahwa sedari tadi
diperhatikan oleh Rio mulai kikuk.
“Sorry,” ujar Ify lalu fokus pada buku
Rio.
Dalam
hati Ify bersyukur karena Ozy sedang pergi bersama teman-temannya. Kalau dia
tahu ada Ray di depan rumah mereka, pasti laki-laki kecil itu akan berubah jadi
sok jagoan.
***
Semuanya
sudah terbongkar. Perasaan Agni yang dahulu hanya bisa disimpannya rapat-rapat
sudah diketahui oleh Cakka. Lebih menyenangkan lagi saat ia tahu bahwa Cakka
memiliki perasaan yang sama padanya. Cakka tahu kalau Agni menyayanginya, Agni
pun tahu bahwa Cakka juga menyayanginya. Hanya begitu. Tak ada penegasan
hubungan seperti apa yang akan mereka lalui.
Paham
akan kenyataan tersebut, Agni tidak tahu harus senang atau sedih. Senang karena
cintanya berbalas. Sedih karena ia tak bisa mengklaim Cakka sebagai miliknya.
Tapi untuk saat ini Agni memilih memprioritaskan perasaan bahagianya.
Di lain
sisi, Gabriel semakin terperosok dalam kisah cintanya sendiri. Entah mengapa ia
membenci kedekatan Sivia dan Alvin yang akhir-akhir ini semakin menjadi. Berhubung
sepupu Sivia dan Kak Deva bersahabat, mereka jadi sering bersama. Gabriel benci
pemandangan saat posisinya terasa digantikan.
“Tiba-tiba
kangen jalan bareng Sivia, Ify sama Rio,” gumam Gabriel.
Malam ini
dia menikmati sapuan angin di kulitnya, membiarkan dirinya sendirian tenggelam bersama malam, lalu mengadu pada bulan purnama. Sendirian. Setelah beberapa
hari dia menemukan sahabat-sahabat yang seru, akhirnya Gabriel rindu kesendiriannya.
Waktu yang benar-benar hanya untuknya.
Jika
Sivia sekarang semakin dekat dengan Alvin, Gabriel justru kembali dekat dengan
Shilla. Sumpah, ini lucu. Dia pikir Alvin mencintai Shilla. Bukan cinta sahabat
untuk sahabatnya, melainkan lebih dari itu. Selama ini, Gabriel mengira Alvin memandang
Shilla sebagai seorang laki-laki yang memandang cinta sejatinya. Apa dia yang
terlalu berlebihan dalam berasumsi?
“Gabriel...”
Pemuda
itu terkesiap saat tahu-tahu papanya sudah duduk di sampingnya.
“Papa
udah pulang?” tanya Gabriel.
Sejurus
kemudian ia merasa bodoh karena melontarkan pertanyaan yang sudah jelas
jawabannya. Papanya berada di sampingnya saat ini, itu berarti papanya sudah
pulang.
“Gimana
sekolahmu?”
Gabriel
menarik nafas lalu menghembuskannya, “Sangat baik. Pasti udah banyak laporan
yang Papa terima kan?”
Pria
yang rambutnya sudah sedikit memutih itu menganggukkan kepala. Dia memang
selalu menerima laporan apapun berkenaan dengan putranya ini. Gabriel adalah
anak kedua yang terpaksa menjadi anak sulung karena anak pertama Stevent—Papa Gabriel—meninggal
ketika Gabriel belum lahir. Sementara itu, ia masih memiliki putri kecil yang
saat ini duduk di bangku SD.
“Papa
dengar sekarang The Wanted bubar,” aku papanya.
“Bukan
bubar. Cuman ada formasi baru aja, sekarang namanya jadi tim menolak Sivia
bahagia,” ralat Gabriel membuat papanya mengernyit.
“Tim...
menolak Sivia bahagia?”
Gabriel
mengangguk sambil tersenyum geli menyaksikan ekspresi bingung papanya. Tentu
saja, memangnya siapa yang mau membuat tim seaneh itu? Hanya Sivia.
“Kedengarannya
seru,” komentar papanya.
Itu
artinya Gabriel harus mendongengkan cerita untuk papanya. Dan itulah yang
terjadi. Gabriel mulai menceritakan kejadian-kejadian yang menimpa The Wanted
sampai mendapat sahabat baru bernama Sivia, Ify dan Agni. Terkadang papanya
tersenyum geli, terkadang wajahnya berubah sangat serius—sama persis ketika
berhadapan dengan berkas-berkas kantor—dan terkadang pria itu tak bisa menahan
tawanya hingga nyaris menangis.
Meski
jarang menemukan quality time, mereka
berdua selalu akrab dan kompak. Jika diperhatikan seksama, selera humor mereka
sama persis. Mungkin pepatah like father
like son benar adanya.
“Ify itu
yang anaknya pintar ya?” tanya papanya.
“Papa
kenal?” balas Gabriel.
Papanya
menggeleng, “Laporan. Soalnya dia salah satu calon penerima beasiswa kuliah di
Aussie setelah lulus dari Budi Karya.”
“Rio
jatuh cinta sama Ify,” kata Gabriel tak nyambung.
“Oh ya?
Selera Rio tinggi seperti Reon,” canda papanya.
Gabriel
hanya tertawa renyah.
“Kamu
sendiri?” lanjut papanya menyurutkan tawa Gabriel.
Terlintas
bayangan wajah Sivia yang begitu cantik saat tertawa. Ya, saat itu dia terlihat
seribu kali lebih cantik karena lesung pipit yang indah itu tampak.
“Sivia?”
Gabriel
terkekeh mendengar suara papanya. Selalu. Papanya selalu bisa menebak apa yang
dia pikirkan.
***
“Pa, ada
yang mau Rio bicarain ke Papa.”
Reon
Haling menatap heran putranya. Satu-satunya penerus perusahaan yang dirintisnya
dari nol besar. Rio, ia sudah tumbuh menjadi laki-laki yang diharapkannya. Dewasa,
pandai mengurusi perusahaan ini dan patuh akan titahnya.
Pria itu
tak tahu kalau kali ini Rio datang bukan sebagai robot seperti biasa. Kini, Rio
datang sebagai laki-laki yang sedang mempertahankan mimpinya. Dia datang
sebagai laki-laki yang tak mau kalah. Dia datang bersama sisa-sisa harapan yang
ia punya. Seperti kata Ify, dia harus punya tekat. Untuk itu, Rio datang
menghadap papanya dengan tekat.
“Duduk,”
titah papanya.
Rio
masih berdiri. Sekali lagi, dia sudah membulatkan tekat supaya tak mau diatur
lagi. Kalau dia duduk, sama saja ia menuruti titah papanya.
“Rio mau
mundur dari perusahaan ini,” ucap Rio membuat papanya reflek berdiri.
“Apa
kamu bilang?” tanya Reon dengan nada meninggi.
Sudah ia
duga reaksi itu akan dia terima.
“Rio
mundur. Rio mau keluar. Rio capek jadi robot Papa yang selalu menuruti apa yang
Papa mau,” jawab Rio seakan menantang.
Ketakutan
Rio entah lenyap kemana. Bahkan, disaat ia bisa melihat jelas urat-urat yang
timbul di garis wajah Reon, Rio masih tetap tenang.
“Daridulu
Rio mau jadi musisi, bukan suruhan Papa. Rio cinta musik. Sudah cukup selama
ini Papa paksa Rio jadi apa yang Papa mau,” kata Rio lagi.
Tangan
Reon melayang ke wajah putranya. Rio, ia masih tenang walau sudut bibirnya
sudah mengeluarkan darah. Aura murka terpancar jelas dari wajah Reon. Tapi, Rio
tak bisa lari-lari lagi.
“Sudah
Papa bilang, musik nggak akan bikin kamu sukses. Takdir kamu sudah jelas, Rio.
Kamu yang akan meneruskan perusahaan ini karena kamu satu-satunya.”
Ucapan
itu penuh penekanan di setiap kalimat.
“Takdir
yang Papa gariskan buat Rio?” balas Rio seraya mengusap darah segar di sudut
bibirnya.
“Lancang
sekali kamu! Siapa yang mengajarimu?”
“Papa,”
jawab Rio.
“Semua
yang Rio dapat semuanya ajaran dari Papa. Seakan-akan, semuanya emang sudah
Papa setting buat Rio sampai Rio
nggak bisa nentuin apa yang Rio mau dan inginkan. Gitu kan, Pa?” imbuhnya.
Atmospher
ruangan kantor papanya itu berubah mencekam. Ada dua matahari di sini. Dua
matahari yang saling beradu siapa yang paling panas.
“Semua
yang Papa lakuin itu buat kebaikan kamu!”
Rio
geleng-geleng, “Buat kebaikan Papa. Sejak Papa kasih skenario hidup buat Rio,
Rio nggak tahu apa yang seharusnya Rio raih.”
“Keluar
dari ruangan ini,” titah papanya tetap keras kepala.
Rio
tersenyum pahit.
“Selamat
malam, Pak Reon Haling,” pamit Rio lalu meninggalkan papanya yang menatapnya
tajam.
***
Bersambung...
Huhuu
bener-bener takut ini mengecewakan. Sudah mulai tampak konflik-konfliknya ya
huehehe jangan lupa kritik dan saran (lagi rajin balesin komen hm)
Follow
ask.fm/fannyslma ya
0 komentar:
Posting Komentar