"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 23 Juli 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 17

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Selamat malam minggu, saya post WYHM part 17 hehe semoga tidak mengecewakan lagi. Buat yang kurang suka percintaan mohon maaf karena dari awal WYHM memang sudah saya konsep begini :3

Hope you like it...


17


“Saya panggil kamu ke sini karena saya ingin meminta kamu mengajari Alvin,” kata Bu Maryam membuat Ify mendengus tak kentara.
“Bukannya saya nggak mau, Bu. Tapi, saya nggak sanggup kalau harus mengajari dua orang sekaligus. Saya kan juga butuh belajar sendiri, Bu,” balas Ify setenang mungkin.
Bu Maryam mengangguk-angguk, “Saya sudah menduga. Tapi, saya punya penawaran bagus untuk kamu kalau kamu bersedia.”
“Penawaran?”
“Beasiswa kuliah di Aussie setelah lulus dari sini. Saya akan merekomendasikan nama kamu dan akan saya pastikan kamu lolos jika kamu bersedia mengajari Alvin. Hanya sampai kenaikan kelas. Setimpal kan?” jelas Bu Maryam.
Kali ini Ify terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Semua orang pasti menunggu momentum seperti ini, tidak mungkin ada yang mau menolak kesempatan emas karena tak akan datang dua kali. Dengan itu pula ia bisa membuat bangga kedua orang tuanya. Tapi di sisi lain, Ify masih memikirkan nasibnya sendiri jika mengajari Alvin dan Rio yang berarti harus bisa mengatur waktu dengan baik.
“Kamu juga sudah boleh menghentikan belajarmu dengan Rio karena nilainya sudah mulai mencapai KKM,” ujar Bu Maryam.
Ify menggeleng, “Kalau saya hentikan, tidak ada jaminan nilai Rio akan stabil.”
“Kamu benar. Keputusan ada di tangan kamu, Ify.”
Kalau tahu wanita ini memanggilnya hanya untuk urusan seperti ini, dia tidak akan melangkahkan kaki kemari. Sekali lagi, penawaran Bu Maryam sangat menggiurkan. Ify berpikir keras untuk memutuskan.
Sampai pada akhinya keputusannya sudah final.
“Saya bersedia.”
***
Mata Alvin membulat sempurna saat tahu-tahu dia dipanggil ke ruangan Bu Maryam. Ya, dia sudah menduga ini pasti berhubungan dengan nilai-nilainya yang beberapa hari lalu membuat wanita itu kelimpungan. Hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, Ify menolak dan yang kedua sebaliknya.
Alvin berjalan memperhitungkan kemungkinan yang diambil Ify. Jika pertama, maka ia aman. Tapi, jika Ify justru bersedia itu artinya... argh.
Dengan hati-hati Alvin membuka pintu ruangan setelah mengetoknya beberapa kali. Pemuda itu melihat Ify masih berada di sana, terdiam menatapi ujung sepatunya yang mungkin tampak menarik untuk saat ini. Dia lantas berderap menghampiri Bu Maryam yang memasang wajah sumringah. Apa saja yang telah mereka bicarakan?
“Duduk, Vin,” kata Bu Maryam terdengar ramah.
Alvin mengernyit karena merasa aneh. Sebelumnya, wanita di hadapannya ini tak pernah royal padanya.
“Jadi begini, Ify...”
Alvin ikut menatap Ify saat Bu Maryam mengalihkan pandangan pada gadis di sebelahnya. Ify lalu mendongak, melepaskan pandangannya dari sepasang sepatu yang tampak usang.
“Bersedia mengajari kamu sampai ujian kenaikan kelas,” lanjut Bu Maryam.
Tiba-tiba saja kepala Alvin terasa pening. Apa yang dirasakan Rio ya saat pertama kali diminta belajar dengan gadis di sebelahnya? Alvin pun tak tahu harus bereaksi seperti apa. Meski sudah menganggap Ify sebagai sahabat, tapi nyatanya sulit karena ia baru memulai.
“Untuk itu kamu tidak bisa menolak lagi, Alvin. Saya berbuat seperti ini karena tak ingin sekolahmu semakin memprihatinkan. Urusan jadwal belajar, saya serahkan pada Ify,” kata Bu Maryam karena Alvin masih tak bereaksi.
Karena sudah tak ijinkan memprotes apapun, Alvin hanya menganggukkan kepalanya dengan patuh. Ify menatap pemuda itu dengan perasaan bersalah dan dibalas dengan wajah datar. Sepertinya Ify tahu bahwa Alvin tidak suka.
“Kalau begitu saya permisi, Bu,” pamit Alvin.
“Saya juga,” timpal Ify.
Bu Maryam menganggukkan kepala dan mempersilakan dua anak didiknya itu meninggalkan ruang guru. Entah mengapa, wanita itu selalu percaya bahwa Ify dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Begitu keluar dari ruangan tersebut, Alvin duduk di kursi yang sengaja disediakan dan diikuti Ify. Beberapa saat atmospher diantara mereka masih terasa... entahlah. Mereka sendiri bingung harus menjabarkan seperti apa.
“Sori, gue nggak maksud bikin lo nggak seneng,” ujar Ify membuka obrolan.
Masih ingatkah bahwa Ify memang sedikit takut pada Alvin?
Terdengar helaan nafas dari pemuda itu, “Nggak pa-pa. Itu hak lo juga mau nolak atau nerima. Bu Maryam nawarin apa sih?”
Ify terperangah. Ternyata Alvin tahu soal penawaran tersebut.
“Ngg...”
Gadis itu tak tahu harus menjawab apa. Pada akhirnya, ia memilih mengatupkan bibir. Beruntung Alvin bukanlah orang yang bersikeras menyuruh seseorang menjawab pertanyaannya.
“Lo harus betah ya sama sikap gue,” ujar Alvin memecah kesenyapan.
“Pasti. Lo juga harus betah kalo gue nggak sengaja ngomel,” balas Ify nyengir.
Ia tahu bahwa Alvin tak seburuk yang ia kira. Buktinya saat ini Alvin tertawa kecil mendengar ocehan Ify.
***
Keputusan final. Demi neptunus, Agni tidak akan menunda-nunda lagi untuk bicara dengan Sion dan membuat pemuda itu semakin berasumsi. Kini, Agni menunggu pemuda itu di lorong yang menghubungkan mereka ke lapangan indoor. Tentunya tidak akan ada yang lewat sini karena selain lapangan indoor jarang digunakan selain untuk latihan, ini adalah waktunya anak-anak belajar di dalam kelas. Hanya kelas Agni yang bebas karena tidak ada guru mengajar.
Gadis itu membenarkan ikatan kuncir kudanya lalu bersandar di tembok. Semalaman dia sudah berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan pada Sion. Akan tetapi, semua yang dirangkainya mendadak menguap begitu saja. Agni menyerah. Dia tak punya waktu lagi untuk merangkai kata kembali karena siluet Sion mulai terlihat.
Semakin dekat. Agni sudah dapat melihat Sion secara utuh. Pemuda itu berhenti tepat di hadapannya dengan tangan yang tersembunyi di balik saku.
“Mau ngomong apa?” tanya Sion.
Agni lantas merubah posisinya dan membuat Sion mau tak mau ikut bergeser dari tempatnya semula. Suasana hening beberapa saat, hanya terdengar nafas Agni yang memburu karena bingung harus memulai dari mana. Sion, pemuda itu tetap setia menantikan gadis yang mungkin masih ada di hatinya itu bicara.
“Gue minta maaf sama lo untuk semua hal yang pernah terjadi diantara kita.”
Akhirnya kalimat itu meluncur secara lugas dari bibir Agni. Rahang Sion mengeras, sudah ia duga Agni akan membahas ini.
“Perasaan lo ke gue benar-benar udah nggak tersisa sedikitpun?” tanya Sion terdengar miris.
Rasa bersalah itu kembali menancap di hati Agni. Mungkin, sampai kapanpun dan sebanyak apapun maaf darinya masih akan tetap meninggalkan perasaan bersalah ini.
Baru membuka mulut saat hendak bicara, tiba-tiba Sion mengangkat tangannya sebagai kode bahwa Agni tak perlu melanjutkan. Bibir Agni lantas kembali terkatup rapat.
“Nggak usah dijawab, gue udah tahu jawabannya,” interupsi Sion.
“Sion...”
“Agni, gue mengira telah berhasil meraih lo. Tapi, setelah lo patahin hati gue, dunia bikin sadar kalau selama ini gue cuma berhasil meraih bayangan lo. Sama seperti bayangan, akan ada saat lo pergi meninggalkan gue,” celoteh Sion terdengar menyakitkan.
“Dengan ini, gue melepas lo sepenuhnya,” imbuh Sion.
Beberapa saat mereka larut dalam hening. Agni masih berusaha mencerna ucapan Sion yang baru saja didengarnya disaat Sion berusaha menata hatinya kembali, tanpa Agni di dalamnya.
“Lo... serius?” tanya Agni lirih.
Sion mengangguk.
“Untuk apa gue mempertahankan orang yang nggak ingin dipertahankan?”
“Gue bener-bener minta maaf. Gue yakin lo akan dapat cewek yang lebih baik dari gue dan mencintai lo apa adanya,” kata Agni yang dibalas Sion dengan anggukan ringan.
Bagi Sion, ucapan itu hanyalah bualan belaka. Tak ada isinya. Kosong. Sudah berapa gadis yang mengatakan kalimat demikian padanya? Tak apa, dia sudah ikhlas melepas Agni.
“Lo juga. Semoga Cakka tahu kalau lo cinta sama dia,” balas Sion tak mengutarakan isi pikirannya.
Dug.
Keduanya sama-sama menoleh saat mendengar sesuatu terjatuh ke lantai. Cakka. Dia berdiri dengan wajah terkejut. Detik berikutnya Agni berubah panik, dia yakin bahwa Cakka mendengar apa yang diutarakan Sion barusan.
Well, gue pergi dulu,” pamit Sion memberi celah supaya mereka dapat mengobrol berdua saja.
“Jangan jadi pecundang kayak gue, Ag,” pesan Sion lalu melangkah pergi.
Tinggalah Agni dan Cakka dalam kesunyian.
***
Semenjak rentetan kejadian yang menimpa The Wanted berakhir, sekolah jadi lebih indah bagi Shilla. Dia sudah mulai bersosialisasi dengan teman-teman sekelasnya. Tak hanya itu, dia kembali dekat dengan Gabriel seperti dulu. Semuanya tampak lebih indah meski beberapa kali Shilla sempat memergoki Gabriel melamun. Entah, Shilla tak tahu apa yang dilamunkan pemuda itu.
Shilla juga sudah tak peduli apakah The Wanted masih ada atau tidak. Bahkan, dia mulai menikmati saat Sivia menyebut mereka ‘Tim Menolak Sivia Bahagia’. Terdengar lucu dan tak ada yang pernah menyangkal. Sebutan itu jauh lebih menarik timbang The Wanted.
Sekarang, dia berada di kelas bersama Rio dan Gabriel. Sejak kejadian Ify bertemu dengan Ray, Rio jadi lebih pendiam. Dan itu diartikan Shilla sebagai rasa cemburu. Diam-diam Shilla tersenyum karena menyadari bahwa bukan hanya dia yang beranjak dewasa, makhluk sekaku Rio pun bisa merasakan jatuh cinta. Pernah Shilla membicarakan ini pada Sivia dan gadis cablak itu setuju dengannya.
“Kalian diem mulu,” cetus Shilla.
Kelas mereka memang sedang jam kosong. Alvin belum kembali sejak dipanggil Bu Maryam.
“Akhir-akhir ini lo kelihatan lebih ceria,” kata Gabriel.
Dengan senang hati Shilla mengangguk semangat, “Gue seneng banget sekarang jadi banyak temen.”
“Bagus dong ya?” kekeh Gabriel.
“Nah, Rio. Lo kenapa? Mikirin Ify? Apa mikirin kapten basket SMA Global?” ceplos Shilla membuat Rio sedikit kaget.
“Kok jadi gue?”
Shilla terkekeh, “Ternyata lucu juga ya lihat lo jatuh cinta. Sama Ify lagi. Udah sejauh mana sih kalian?”
“Siapa yang jatuh cinta?” tanya Rio pura-pura bingung.
“Nggak perlu ngelak gitu, Yo. Udah ketangkep basah sama Shilla tuh,” nimbrung Gabriel seraya terkikik geli.
Rio mendengus. Menyebalkan. Gabriel selalu saja kumat kalau membahas Rio dan Ify. Dan sekarang, Shilla jadi ikut-ikutan.
“Gue nggak mikirin apa-apa kok,” kilah Rio.
“Masih nyangkal juga? Sejak mata lo nyorot Ify sama Ray waktu itu, lo jadi nggak fokus. Apa lagi kalo bukan cemburu?” tembak Shilla.
Detik berikutnya Rio memijat pelipisnya. Iya, dia mengaku bahwa pikirannya jadi runyam karena bertanya-tanya siapa laki-laki bernama Ray itu. Maksudnya, apa hubungannya dengan Ify? Mengapa nada bicara Ify tampak berbeda?
Rio melirik Shilla dan Gabriel yang sedang mengerling jahil. Ugh, mereka kompak sekali meledeknya. Tapi, Rio tetap bungkam.
***
Sejak Alvin mengantarkan Sivia pulang, mereka jadi lebih dekat. Bahkan saat ini sudah masuk ke tahap chat—meski tidak rutin. Alvin memberikan warna baru dalam hidup Sivia. Yang awalnya dipenuhi dengan warna-warna menantang, kini berubah jadi pink. Full pink. Ify sendiri sampai heran menyaksikan Sivia senyum-senyum tidak jelas setiap pelajaran.
Ah, Ify jadi teringat mengenai chat Ray semalam. Setelah beberapa hari berlalu sejak pertemuan mereka, tiba-tiba tadi malam pemuda itu membuatnya shocked karena menambahkan akun line miliknya. Lebih terkejut lagi saat Ray menyapanya melalui chat—dan belum dibalas hingga saat ini. Ify memang tak pernah mem-protect line-nya karena takut ada kepentingan mendadak. Dampaknya baru ia rasakan sekarang.
“Via,” panggil Ify.
Sivia yang awalnya fokus pada ponsel lantas menoleh, “Apaan? Kangen?”
Ify melengos. “Bukan idih! Gue mau cerita sama lo,” balasnya.
Mendengar bahwa sahabatnya ini akan cerita, Sivia langsung menyimpan ponselnya dan menatap Ify khidmat. Bukan apa-apa, seorang Ify jika mengatakan hal demikian maka pasti itu sesuatu yang pribadi. Sungguh Sivia merasa beruntung menjadi seseorang yang bisa dipercaya oleh Ify.
“Soal?” tanya Sivia.
Sivia mulai menebak-nebak apa yang ingin diceritakan Ify. Apa tentang Rio?
“Soal... Ray,” jawab Ify sedikit ragu.
“Ray?” tanya Sivia memastikan.
Dan Ify langsung mengangguk mantap.
“Kenapa sama Ray?” tanya Sivia—lagi.
“Semalem dia tiba-tiba chat gue. Sampai sekarang belum gue bales,” kata Ify membuat Sivia mengernyit.
Ingatan gadis itu berputar ke masa silam, saat mereka masih mengenakan seragam putih biru. Sivia ingat saat tiba-tiba Ify menceritakan bahwa dia sedang dekat dengan Ray, kapten basket SMP mereka. Mereka lalu menjalin hubungan sampai akhirnya harus putus karena sesuatu yang Sivia mengerti.
Sejak saat itu, Ify memutuskan untuk tidak pacaran lagi. Dia bilang belum siap jika kejadian yang sama harus terulang. Tapi, Sivia tahu betul apa yang dirasakan sahabatnya.
“Lo masih belum bisa move on?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Tepat sasaran.
“Lo nggak bisa gini terus, Fy,” kata Sivia pelan.
Ify mengangguk. Ia pun tahu, tapi rasanya benar-benar sulit karena yang harus dilupakannya adalah cinta pertama. Ya, Ray cinta pertamanya yang sampai kapanpun akan selalu seperti itu.
“Rasanya gue benci sama diri gue sendiri karena nggak sanggup melupakan, Via,” ujar Ify lirih mengingat sosok gadis yang telah menggantikan posisinya.
Hanya bersama Sivia, Ify bebas mengutarakan semuanya. Tanpa ada satu bagianpun yang ditutup-tutupi. Sivia mengerti dan memahami Ify sama seperti Ify memahami Sivia. Mereka layaknya pantai yang tak pernah meninggalkan lautan, langit yang tak pernah meninggalkan bumi, atau apapun yang dapat mengibaratkan betapa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Mereka satu. Sepaket. Tak terpisahkan.
Ray. Nama itu pernah membuat Sivia belingsatan karena ingin menghajarnya, setidaknya supaya ia tahu sakit yang dirasakan Ify saat itu.
“Lo butuh orang yang bisa bantu lo melupakan dia, Fy. Lo harus coba membuka diri. Mungkin ada orang yang saat ini diam-diam mikirin elo,” ujar Sivia dengan lembut.
Sangat berbeda dengan sosok Sivia  yang cablak dan nyolot. Dan entah mengapa, ucapan itu merasuki Ify.
***
Cakka dan Agni masih betah dalam suasana hening dan canggung seperti ini. Agni, ia masih bingung bagaimana menjabarkan isi hatinya pada pemuda itu. Cakka sendiri masih menyesuaikan diri. Dia melirik Agni yang sedang memilin ujung kemejanya. Sejak pertama kali melihatnya, Cakka dibuat kagum dengan penampilan Agni yang terkesan tomboy. Rambutnya selalu dikuncir kuda, ujung kemejanya selalu keluar, terkadang lengan kemeja itu sengaja dilipat—hingga meninggalkan bekas—disaat benar-benar gerah, dan tak ada riasan apapun di wajahnya. Bahkan, Agni tak pernah mengenakan bedak.
Satu yang tak pernah lupa dibawa gadis itu adalah bedak bayi. Bukan untuk dioleskan di wajah, melainkan di seragamnya. Katanya supaya kerigatnya terserap dengan baik. Cakka baru tahu ada teori seperti itu—mungkin juga Agni mengasal.
Entah sejak kapan Cakka mengingat itu semua dengan baik. Semua tentang Agni.
“Yang dibilang cowok tadi bener?” tanya Cakka memecah keheningan.
Cowok tadi yang dimaksud Cakka adalah Sion. Ia memang beberapa kali berpapasan dengan pemuda itu tapi Cakka tak tahu namanya.
Tampak Agni sedang gusar, kepalanya kosong seolah tak ada stok huruf-huruf di sana. Apalagi saat ini Cakka menghujaminya dengan tatapan yang entahlah. Agni menunduk, tapi dia bisa merasakan bahwa Cakka sedang memperhatikannya.
“Gue... bisa jelasin...”
Ucapan itu terdengar sangat pelan dan sarat kepanikan.
“Gue cuma nanya itu bener atau nggak kok, bukan minta penjelasan,” balas Cakka dengan lembut.
Tapi sepertinya tanpa jawaban dari Agni pun Cakka sudah tahu. Toh akhirnya Cakka tetap menunggu Agni sendiri yang menjawabnya supaya ia tak perlu berasumsi. Dan di detik selanjutnya, gadis itu menganggukkan kepalanya tepat saat bahunya bergerak turun.
Tak ada reaksi apa-apa dari Cakka. Agni pun mendongak, berharap Cakka mau buka suara sedikit saja atas jawabannya. Namun pemuda itu masih terdiam. Agni lantas merasa harapannya pupus sudah. Ia tak tahu bahwa sekarang Cakka sedang menyelami perasaannya sendiri.
Cakka mulai angkat bicara lagi, “Jadi, lo jatuh cinta sama gue?”
“Iya,” sahut Agni lemah.
“Gue juga.”
Agni menoleh, menatap Cakka yang sedang tersenyum penuh arti dengan tatapan bingung. Apa tadi katanya?
***
Tim menolak Sivia bahagia berkumpul di kantin. Ada yang aneh dengan gelagat Cakka dan Agni, mereka berdua terlihat berbeda, seperti sengaja menghindari kontak mata satu sama lain.
“Nasi goreng sama sop buah dong! Gratis ya!” seru Sivia heboh seperti biasa.
Gabriel memutar bola matanya, “Dasar gratisan.”
“Yee sekali-kali lo jadi orang baik dong. Nggak akan rugi kok beramal sama kaum lemah lembut kayak gue. Kalau nggak percaya, tanya aja ke malaikat pencatat amal,” balas Sivia membuat yang lain terkikik geli.
“Lo lemah lembut dari segi mana?” timpal Alvin sangsi.
“Dari segi...tiga bermuda,” jawab Sivia mantap.
Tawa mereka pecah begitu mendengar jawaban receh tersebut. Sivia ini entah mengapa tak pernah kehabisan kata-kata ajaib yang bisa meledakkan tawa.
“Jual aja dia ke pasar loak,” seloroh Ify.
Sivia lantas memasang wajah cemberut.
“Kalo gue dijual, ntar lo kangen gue gimana? Gue bukannya sok sih, tapi emang sadar diri kalau gue ini super ngangenin.”
“Gampang. Kalo kangen tinggal gue beli,” sahut Ify asal.
“Oh iya juga ya?” gumam Sivia sangat polos.
Tiba-tiba Agni melemparkan sedotan ke arah gadis tersebut. Sivia mendengus, selalu saja dia yang menjadi korban kesadisan orang-orang. Bukan salahnya kan kalau dia menggemaskan?
“Jadi pesen nggak nih?” tanya Gabriel merasa diabaikan.
“Jadi! Nasgor dan sop buah gratis!” sahut Sivia semangat 45.
“Ya, selain nasgor dan sop buah gratis apa lagi?” balas Gabriel.
“Ah lo memang manusia terbaik sedunia, kalo lagi baikin gue,” celoteh Sivia.
Gabriel mencibir, tapi tak urung tersenyum juga. Saat-saat seperti ini adalah hal yang selalu dirindukan olehnya. Dia bisa berinteraksi dengan Sivia meski harus nyolot-nyolotan sampai akhirnya Gabriel yang mengalah. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengusiknya saat ini.
“Samain aja kayak lo, Yel,” ujar Cakka.
“Gue juga,” sambung yang lain.
Gabriel mengangguk-angguk lalu menuju stand. Jika dia yang memesan, tak akan ada kejadian mengantre. Dia hanya perlu menyebutkan pesanan dan kemudian kembali duduk manis. Ya, itu enaknya jadi anak pemilik yayasan.
Dalam diam, Rio melirik Ify yang asik dengan novelnya. Ekspresi itu selalu membuat Rio terhanyut dalam ketenangan. Pancaran wajah Ify seperti obat dari segala masalah. Sejenak, beban yang dibawanya melayang-layang di udara. Untuk itu Rio tak pernah mengabaikan kesempatan seperti ini. Kesempatan menikmati wajah Ify dalam jarak yang cukup dekat.
Disaat yang lainnya sibuk menimpali cablakan Sivia, Ify tetap tenang membaca novelnya seakan ia tak terusik sama sekali dengan kebisingan ini. Dan Rio, ia pun masih fokus pada gadis itu.
“Ehem,” dehem Shilla.
“Ehem ehem kok tenggorokan gue seret ya,” sambung Sivia.
“Wah nggak ada yang peduli tuh, Siv,” sahut Agni menyebalkan.
Sivia tampak tak peduli dan masih terus berdehem, begitu pula Shilla. Alvin, Cakka serta Gabriel yang baru kembali pun lantas mengerti mengapa para gadis ini semakin berisik.
“Pesona Ify kayak apa sih sampe bisa bawa orang terbang ke dunia lain?” seloroh Cakka yang disambut tawa mereka.
Mendengar namanya disebut-sebut, Ify mendongak lalu menatap bingung ke arah sahabat-sahabatnya. Gadis itu mengernyit heran.
“Apaan bawa-bawa gue?” tanya Ify dengan satu alis terangkat.
“Peka dong, Fy. Ada yang lihatin lo daritadi tahu,” ceplos Agni.
Dan detik itu Rio tersadar bahwa mereka membicarakan dirinya.
“Harus dipancing dulu supaya sadar rupanya,” celetuk Alvin.
Ify sontak melirik ke arah Rio. Satu-satunya orang yang tidak bersuara sedari tadi. Tampak pemuda itu sedang meringis, seperti tertangkap basah telah memperhatikannya. Tiba-tiba Ify teringat ucapan Sivia. Dia butuh orang yang bisa membuatnya melupakan Ray.
***
“Rio, mulai sekarang jadwal belajar kita cuma hari jum’at ya,” ujar Ify.
Rio yang tengah mengerjakan soal dari Ify lantas menoleh dengan wajah heran.
“Nilai-nilai lo udah bagus. Cuman perlu ditingkatkan lagi aja,” imbuh gadis itu.
Saat ini mereka melakukan rutinitas seperti biasa. Belajar. Berhubung sepulang sekolah tadi Rio harus ke kantor, maka ia baru datang sore ini. Tampak pemuda itu mengetuk-ngetukan pulpennya. Yang dikatakan gadis itu benar, nilai-nilainya sudah terangkat dan terselamatkan. Tapi, mengapa rasanya ia tak rela?
Kali ini Rio mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya. Memang harusnya begitu kan? Dia harus menerima keputusan Ify karena gadis itu sudah mengorbankan waktu yang dimilikinya. Wajar saja. Ify juga perlu waktu untuk meningkatkan nilainya sendiri.
Tiba-tiba ponsel Ify menyala. Rio sedikit melirik ke arah layar dan tercenung begitu nama ‘Ray’ memenuhi layar ponsel tersebut. Telepon melalui aplikasi line. Tampaknya Ify enggan sehingga memilih mengabaikan.
“Kenapa nggak diangkat?” tanya Rio skeptis.
Ify, dia tersenyum hambar lalu menggelengkan  kepala.
“Nggak penting. Udah kelar tugasnya?” balas gadis itu.
“Sedikit lagi,” sahut Rio.
Keadaan kembali hening disertai ponsel Ify yang masih menyala. Sepertinya pemuda bernama Ray itu masih keukeuh pada pendiriannya. Rio tak ambil pusing, ia segera menyelesaikan pekerjaannya.
Beberapa saat kemudian, Rio mengangsurkan bukunya pada Ify untuk dikoreksi.
“Ponsel lo belum mati juga. Kayaknya penting tuh,” kata Rio menunjuk ponselnya.
Ify yang sedang meneliti pekerjaan Rio lantas mengalihkan pandangan. Benar saja, benda pipih itu masih menyala dan menampilkan kontak Ray.
“Angkat,” ujar Rio.
Menyerah. Gadis itu meraih ponselnya lalu menerima panggilan Ray via line. Terdengar helaan nafas di seberang sana.
“Mau apa?” tanya Ify terdengar sangat dingin.
“Gue di luar rumah lo.”
“Hah?”
Ify buru-buru menengok dari jendela. Benar. Ada Ray yang sedang bersandar di motornya dengan ponsel yang masih menempel di telinga.
“Ngapain ke sini?”
Please, ada yang perlu kita omongin.”
“Gue nggak akan keluar. Mending lo pulang aja,” ketus Ify lalu mematikan ponselnya secara total.
Rio mengerjap mencuri dengar pembicaraan Ify dengan Ray. Pemuda itu mulai bertanya-tanya siapakah Ray sebenarnya. Ify yang sadar bahwa sedari tadi diperhatikan oleh Rio mulai kikuk.
Sorry,” ujar Ify lalu fokus pada buku Rio.
Dalam hati Ify bersyukur karena Ozy sedang pergi bersama teman-temannya. Kalau dia tahu ada Ray di depan rumah mereka, pasti laki-laki kecil itu akan berubah jadi sok jagoan.
***
Semuanya sudah terbongkar. Perasaan Agni yang dahulu hanya bisa disimpannya rapat-rapat sudah diketahui oleh Cakka. Lebih menyenangkan lagi saat ia tahu bahwa Cakka memiliki perasaan yang sama padanya. Cakka tahu kalau Agni menyayanginya, Agni pun tahu bahwa Cakka juga menyayanginya. Hanya begitu. Tak ada penegasan hubungan seperti apa yang akan mereka lalui.
Paham akan kenyataan tersebut, Agni tidak tahu harus senang atau sedih. Senang karena cintanya berbalas. Sedih karena ia tak bisa mengklaim Cakka sebagai miliknya. Tapi untuk saat ini Agni memilih memprioritaskan perasaan bahagianya.
Di lain sisi, Gabriel semakin terperosok dalam kisah cintanya sendiri. Entah mengapa ia membenci kedekatan Sivia dan Alvin yang akhir-akhir ini semakin menjadi. Berhubung sepupu Sivia dan Kak Deva bersahabat, mereka jadi sering bersama. Gabriel benci pemandangan saat posisinya terasa digantikan.
“Tiba-tiba kangen jalan bareng Sivia, Ify sama Rio,” gumam Gabriel.
Malam ini dia menikmati sapuan angin di kulitnya, membiarkan dirinya sendirian tenggelam bersama malam, lalu mengadu pada bulan purnama. Sendirian. Setelah beberapa hari dia menemukan sahabat-sahabat yang seru, akhirnya Gabriel rindu kesendiriannya. Waktu yang benar-benar hanya untuknya.
Jika Sivia sekarang semakin dekat dengan Alvin, Gabriel justru kembali dekat dengan Shilla. Sumpah, ini lucu. Dia pikir Alvin mencintai Shilla. Bukan cinta sahabat untuk sahabatnya, melainkan lebih dari itu. Selama ini, Gabriel mengira Alvin memandang Shilla sebagai seorang laki-laki yang memandang cinta sejatinya. Apa dia yang terlalu berlebihan dalam berasumsi?
“Gabriel...”
Pemuda itu terkesiap saat tahu-tahu papanya sudah duduk di sampingnya.
“Papa udah pulang?” tanya Gabriel.
Sejurus kemudian ia merasa bodoh karena melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Papanya berada di sampingnya saat ini, itu berarti papanya sudah pulang.
“Gimana sekolahmu?”
Gabriel menarik nafas lalu menghembuskannya, “Sangat baik. Pasti udah banyak laporan yang Papa terima kan?”
Pria yang rambutnya sudah sedikit memutih itu menganggukkan kepala. Dia memang selalu menerima laporan apapun berkenaan dengan putranya ini. Gabriel adalah anak kedua yang terpaksa menjadi anak sulung karena anak pertama Stevent—Papa Gabriel—meninggal ketika Gabriel belum lahir. Sementara itu, ia masih memiliki putri kecil yang saat ini duduk di bangku SD.
“Papa dengar sekarang The Wanted bubar,” aku papanya.
“Bukan bubar. Cuman ada formasi baru aja, sekarang namanya jadi tim menolak Sivia bahagia,” ralat Gabriel membuat papanya mengernyit.
“Tim... menolak Sivia bahagia?”
Gabriel mengangguk sambil tersenyum geli menyaksikan ekspresi bingung papanya. Tentu saja, memangnya siapa yang mau membuat tim seaneh itu? Hanya Sivia.
“Kedengarannya seru,” komentar papanya.
Itu artinya Gabriel harus mendongengkan cerita untuk papanya. Dan itulah yang terjadi. Gabriel mulai menceritakan kejadian-kejadian yang menimpa The Wanted sampai mendapat sahabat baru bernama Sivia, Ify dan Agni. Terkadang papanya tersenyum geli, terkadang wajahnya berubah sangat serius—sama persis ketika berhadapan dengan berkas-berkas kantor—dan terkadang pria itu tak bisa menahan tawanya hingga nyaris menangis.
Meski jarang menemukan quality time, mereka berdua selalu akrab dan kompak. Jika diperhatikan seksama, selera humor mereka sama persis. Mungkin pepatah like father like son benar adanya.
“Ify itu yang anaknya pintar ya?” tanya papanya.
“Papa kenal?” balas Gabriel.
Papanya menggeleng, “Laporan. Soalnya dia salah satu calon penerima beasiswa kuliah di Aussie setelah lulus dari Budi Karya.”
“Rio jatuh cinta sama Ify,” kata Gabriel tak nyambung.
“Oh ya? Selera Rio tinggi seperti Reon,” canda papanya.
Gabriel hanya tertawa renyah.
“Kamu sendiri?” lanjut papanya menyurutkan tawa Gabriel.
Terlintas bayangan wajah Sivia yang begitu cantik saat tertawa. Ya, saat itu dia terlihat seribu kali lebih cantik karena lesung pipit yang indah itu tampak.
“Sivia?”
Gabriel terkekeh mendengar suara papanya. Selalu. Papanya selalu bisa menebak apa yang dia pikirkan.
***
“Pa, ada yang mau Rio bicarain ke Papa.”
Reon Haling menatap heran putranya. Satu-satunya penerus perusahaan yang dirintisnya dari nol besar. Rio, ia sudah tumbuh menjadi laki-laki yang diharapkannya. Dewasa, pandai mengurusi perusahaan ini dan patuh akan titahnya.
Pria itu tak tahu kalau kali ini Rio datang bukan sebagai robot seperti biasa. Kini, Rio datang sebagai laki-laki yang sedang mempertahankan mimpinya. Dia datang sebagai laki-laki yang tak mau kalah. Dia datang bersama sisa-sisa harapan yang ia punya. Seperti kata Ify, dia harus punya tekat. Untuk itu, Rio datang menghadap papanya dengan tekat.
“Duduk,” titah papanya.
Rio masih berdiri. Sekali lagi, dia sudah membulatkan tekat supaya tak mau diatur lagi. Kalau dia duduk, sama saja ia menuruti titah papanya.
“Rio mau mundur dari perusahaan ini,” ucap Rio membuat papanya reflek berdiri.
“Apa kamu bilang?” tanya Reon dengan nada meninggi.
Sudah ia duga reaksi itu akan dia terima.
“Rio mundur. Rio mau keluar. Rio capek jadi robot Papa yang selalu menuruti apa yang Papa mau,” jawab Rio seakan menantang.
Ketakutan Rio entah lenyap kemana. Bahkan, disaat ia bisa melihat jelas urat-urat yang timbul di garis wajah Reon, Rio masih tetap tenang.
“Daridulu Rio mau jadi musisi, bukan suruhan Papa. Rio cinta musik. Sudah cukup selama ini Papa paksa Rio jadi apa yang Papa mau,” kata Rio lagi.
Tangan Reon melayang ke wajah putranya. Rio, ia masih tenang walau sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah. Aura murka terpancar jelas dari wajah Reon. Tapi, Rio tak bisa lari-lari lagi.
“Sudah Papa bilang, musik nggak akan bikin kamu sukses. Takdir kamu sudah jelas, Rio. Kamu yang akan meneruskan perusahaan ini karena kamu satu-satunya.”
Ucapan itu penuh penekanan di setiap kalimat.
“Takdir yang Papa gariskan buat Rio?” balas Rio seraya mengusap darah segar di sudut bibirnya.
“Lancang sekali kamu! Siapa yang mengajarimu?”
“Papa,” jawab Rio.
“Semua yang Rio dapat semuanya ajaran dari Papa. Seakan-akan, semuanya emang sudah Papa setting buat Rio sampai Rio nggak bisa nentuin apa yang Rio mau dan inginkan. Gitu kan, Pa?” imbuhnya.
Atmospher ruangan kantor papanya itu berubah mencekam. Ada dua matahari di sini. Dua matahari yang saling beradu siapa yang paling panas.
“Semua yang Papa lakuin itu buat kebaikan kamu!”
Rio geleng-geleng, “Buat kebaikan Papa. Sejak Papa kasih skenario hidup buat Rio, Rio nggak tahu apa yang seharusnya Rio raih.”
“Keluar dari ruangan ini,” titah papanya tetap keras kepala.
Rio tersenyum pahit.
“Selamat malam, Pak Reon Haling,” pamit Rio lalu meninggalkan papanya yang menatapnya tajam.

*** 
Bersambung...
Huhuu bener-bener takut ini mengecewakan. Sudah mulai tampak konflik-konfliknya ya huehehe jangan lupa kritik dan saran (lagi rajin balesin komen hm)
Follow ask.fm/fannyslma ya

0 komentar:

Posting Komentar