"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Kamis, 14 Juli 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 15

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Haloo saya kembali demi #BangkitkanCRAGSISA lol maaf atas kengaretan ini. Authornya lagi betah main game jadi males ngetik. Sepertinya part ini bakal kurang greget dan sedikit banyak awkward.

Hope you like it...


15


Sivia menyeret kakinya untuk mencari-cari Ify yang belum juga kembali ke kelas sejak istirahat. Dia sudah mencoba menghubungi ponsel gadis itu, tapi tak ada sahutan. Jangan salahkan Sivia jika dia bersumpah serapah di sepanjang koridor. Kalau saja ada Cakka, Agni atau Debo, dia tidak perlu mencari sendirian. Kalau Budi Karya sesempit pekarangan rumahnya juga tidak masalah, tapi Budi Karya ini sangat luas! Lagipula mondar-mandir sendirian seperti ini membuatnya keki.
Dia hafal betul Ify suka pergi ke taman belakang, perpustakaan, ruang musik dan UKS. Sivia memutuskan pergi ke ruang musik, tapi yang dia temukan justru Rio dan Gabriel yang baru turun dari rooftop.
“WOIII!” seru Sivia berniat memanggil kedua pemuda itu.
Rio dan Gabriel mencari sumber suara dan menemukan Sivia sebagai tersangka. Mereka lantas menghampiri gadis itu.
“Nama kita bukan woi kali,” cibir Gabriel.
“Ya udah kali biasa aja,” balas Sivia.
“Ify mana?” tanya Rio sebelum perdebatan tak penting antara sahabatnya dengan Sivia terjadi.
“Itu dia! Kalian lihat Ify nggak?” tanya Sivia membuat Gabriel dan Rio kompak menggelengkan kepala.
“Astagaaa itu anak ke mana sih!” dumel Sivia.
“Emang dia nggak pamit ke elo?” tanya Gabriel heran.
Sivia lantas menceritakan kronologi kepergian Ify, tentunya lengkap dengan cerita Debo tadi pagi. Baik Gabriel maupun Rio sama-sama terkejut karena memang tak tahu apa-apa.
“Udah cari Ify di UKS?” tanya Rio.
“Belum. Gue baru nyari ke ruang musik pas kalian dateng, ternyata kosong,” jawab Sivia.
“Kita ke UKS,” koor Rio.
Sejurus kemudian mereka mengekor Rio di belakang. Menurut Rio, jika Ify tidak ada di ruang musik maka dia ada di UKS. Sebab hanya dua tempat itu yang sering membuatnya bertemu dengan Ify secara tidak sengaja.
Sesampainya di UKS, betapa terkejutnya mereka bertiga karena menemukan Ify yang sedang mengobrol dengan Alvin. Entah apa yang mereka bicarakan karena obrolan itu terhenti saat keduanya sadar akan kedatangan Sivia bersama Rio dan Gabriel.
“Lo ke mana aja sih? Gue udah nelpon ke hp lo sampe telinga gue jereng tahu!” semprot Sivia membuat Ify meringis.
“Gue lupa nyalain hp,” jawabnya.
Sivia melotot tajam, “Tersialan emang lu.”
“Maaf deh. Gue tadi mau balik kelas nggak berani, akhirnya ngumpet di sini,” jelas Ify.
“Sama dia?” tanya Sivia cablak seraya menunjuk Alvin yang sedari tadi menyimak.
“Ngapain nunjuk-nunjuk?” sahut Alvin.
“Suka-suka gue lah!” nyolot Sivia.
Alvin melengos sementara Ify terkekeh, lalu gadis itu melirik ke arah Rio dan Gabriel yang nampak bingung harus bersikap bagaimana di depan Alvin. Belum lagi mereka terkejut mengapa laki-laki itu berada di UKS bersama Ify.
“Kalian nggak mau nyapa Alvin?” tanya Ify membuyarkan lamunan Rio dan Gabriel.
“Hai, Vin,” sapa Gabriel.
“Suara lo najisin banget sih, Yel! Mirip cowok yang lagi salting gitu. Yang macho dong! Hai bro kek, hai sipit, hai es batu, masa hai—“
“Brisik banget sih lu,” potong Alvin membuat Sivia mencebikkan bibir dengan sebal.
“Eh Shilla gimana?” tanya Sivia penasaran.
Sebelum menjawab, Ify melirik Alvin sekilas. Gadis itu lantas menjelaskan keadaan Shilla yang sudah bisa menerima semuanya. Rio, Gabriel dan Sivia tersenyum senang mendengarnya. Alvin sendiri tersenyum tipis menyaksikan orang-orang ini tampak bahagia.
“Sepulang sekolah kita ke rumah Shilla yuk!” ajak Sivia semangat.
“Biasanya lo paling males tuh kalo sama Shilla,” sindir Gabriel.
“Gue baik salah, jahat salah, emang ya gue itu selalu serba salah di mata lo,” balas Sivia mendramatisir.
“Lebay lu ah! Tapi, kalo ke rumah Shilla kita musti ajak Cakka sama Agni juga. Cakka pasti seneng banget,” ceplos Gabriel.
“Mereka kan mau persiapan basket, kita ke sana tanpa Cakka sama Agni aja. Sementara ini biarin mereka fokus sama basket dulu,” kata Ify bijak.
“Gue boleh ikut kan?” tanya Alvin.
Semua menatap pemuda itu dengan senyum lebar, kemudian mengangguk.
“Tapi gue musti pulang sekarang. Nanti kalian kabarin gue biar gue nyusul,” imbuhnya.
“Jadi pulang?” tanya Ify.
Alvin mengangguk, “Ada yang perlu gue tuntasin. Hm, satu lagi. Gue juga diterima jadi sahabat kalian kan?”
Mereka terperangah mendengarnya. Hanya sekejap. Sebab detik selanjutnya Gabriel dan Rio merangkul Alvin dari sisi yang berbeda.
“Sahabat.”
***
Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Alvin adalah bersahabat dengan orang-orang di luar The Wanted. It’s ok sejak dia menaruh hati pada Shilla ia memang tak begitu peduli mengenai persahabatan apapun, termasuk The Wanted. Baginya, apapun akan dilakukan asal Shilla selalu ada di sampingnya. Namun kali ini, Alvin memilih menuruti ucapan Deva untuk mengenal dunia luar yang tak berbatas.
Untuk itulah Alvin meninggalkan Budi Karya. Dia bertekat menyudahi perang dingin ini dengan kakaknya. Sebenarnya mereka berdua telah berjanji akan membicarakan semuanya nanti malam, tetapi karena Shilla sudah pulang maka ia mengajukan jadwal pertemuan tersebut dan Deva setuju. Lebih cepat lebih baik.
Alvin melajukan mobilnya menuju kantor papanya. Sesampainya, pemuda itu bergegas ke ruangan Deva tanpa harus berbasa-basi dengan para stuff. Lagipula sudah biasa mereka disuguhi sikap dingin putra bungsu dari pemilik perusahaan.
“Dev,” ujar Alvin tanpa mengetok pintu.
Deva yang sedang sibuk dengan beberapa berkas ditangannya memberi kode supaya Alvin membiarkannya fokus sebentar. Tentu saja Alvin dengan tahu diri menutup mulutnya dan memilih duduk di kursi yang telah tersedia.
Tak lama kemudian,berkas-berkas itu disingkirkan. Selanjutnya, Deva menatap Alvin seakan meminta penjelasan mengenai pertemuan mereka saat ini.
“Silahkan,” ujar Deva pendek.
Alvin menghela nafas pelan, “I’m so sorry for everything. Everything about us. Gue nggak tahu harus bilang apa, tapi gue beneran minta maaf.”
“Maaf untuk apa?” tanya Deva.
“Gue udah bilang barusan,” sahut Alvin.
“Gue...”
Belum sempat Deva meneruskan ucapannya, Alvin lebih dulu menyela.
“Deva, maaf karena selama ini Alvin nggak bisa jadi adik yang baik. Tapi, Deva selalu jadi kakak terhebat buat Alvin. Dulu, sekarang dan sampai kapanpun. Untuk pertama kalinya dalam hidup Alvin, Alvin mau bilang kalau Alvin sayang sama kakak,” lirih Alvin.
Air matanya meluruh menyusuri pipi. Di hadapannya saat ini, Deva terpaku. Sejurus kemudian air matanya ikut mengalir. Perasaan sayang antara kakak dan adik itu meluap, membuncah, meletup-letup.
“Deva juga sayang sama Alvin. Seperti Mama yang selalu sayang kita berdua,” balas Deva seraya menyeka air matanya.
Andai tak ada meja yang membatasi keduanya, mungkin Deva akan memeluk Alvin seperti dulu. Akan tetapi, tanpa pelukan hangat pun suasana di ruangan ini yang awalnya kaku mendadak menghangat.
“Sekalian, gue mau nagih hutang,” ujar Alvin.
“Hutang apa?”
“Hutang waktu yang udah terbuang sia-sia karena gue selalu sibuk sama The Wanted. Mulai sekarang, lo harus siapin waktu sebanyak-banyaknya karena gue bakalan sering nyariin elo,” kekeh Alvin berhasil menciptakan seulas senyum geli di wajah Deva.
“Siap, bos! Sebanyak apapun waktu yang lo mau,” tandas Deva.
“Oh iya, ada satu lagi yang mau gue umumin ke elo.”
“Apa?”
“Mengenai Shilla,” jawab Alvin.
Dahi Deva mengernyit. Pemuda itu tak membuka mulut sedikitpun karena menunggu Alvin bicara.
“Dari dulu selalu ucapan lo yang gue percaya. Saat pertama kali naik sepeda dan gue terus-terusan jatuh, lo bilang gue pasti bisa. Saat gue takut nggak punya temen di hari pertama sekolah, lo bilang gue pasti punya temen. Masih banyak hal yang lain.
“Hal yang bikin gue pada akhirnya percaya sama ucapan lo. Bahkan saat ini, ketika cewek yang gue cintai nggak pernah melihat keberadaan gue, gue masih percaya sama ucapan lo. Gue nyerah, Dev.”
“Hah?”
“Lo menolak kalau gue jatuh cinta sama Shilla kan?” balas Alvin.
Nafas Deva tercekat. Dia benar-benar tak percaya dengan ucapan adiknya barusan. Dia melepas Shilla?
“Gue menolak kalau lo jatuh cinta ke orang yang salah. Lo nggak lagi sakit kan, Vin?” tanya Deva terlalu shock.
Alvin menggeleng, “Bener kata lo. Hidup gue terlalu sempit dan isinya cuma The Wanted, terutama Shilla. Gue butuh orang yang bisa menghapus Shilla dari hati gue dan sudah gue putuskan...”
“Gue akan berusaha mengenal Sivia lebih dekat.”
Detik itu mata Deva membulat sempurna. Tak urung, dia bahagia mendengar keputusan move on secara resmi dari adiknya. Lebih-lebih, pilihan move on itu jatuh pada Sivia. Sudah diputuskan, rencana mencomblangkan Sivia dan Alvin yang sempat terthenti harus diluncurkan kembali!
***
Fabulous Four, begitu kata Sivia saat menyebut dirinya, Ify, Gabriel dan Rio. Tentu saja nama itu ditolak mentah-mentah karena nama itu terdengar aneh. Sivia memang sedang gemar memberi nama-nama. Pokoknya apapun dinamai. Termasuk ponselnya sekarang resmi punya nama yaitu Sumarni. Ya, Sumarni. Katanya nama itu sebagai rasa terima kasihnya pada Bu Sumarni, si penjual mie ayam di dekat rumahnya yang kalau pesan mie ayam bisa lewat sms.
“Lama-lama gue gila temenan sama lu tahu nggak?” omel Ify.
Gabriel dan Rio sudah cekikikan sejak sepuluh menit lalu. Dari UKS ke kantin, sudah ada empat nama tercetus—termasuk nama Fabulous Four dan Sumarni. Entahlah yang dua nama tadi apa, saking sibuknya membahas Sumarni jadi terlupakan.
“Kalau ini namanya montok, Fy. Lebih montok ini daripada elu,” ucap Sivia menunjuk meja dan kursi panjang di kantin yang akan mereka duduki.
“Viaaa!” gemas Ify.
“Kok montok, Siv?” tanya Rio bingung.
“Harusnya nggak usah lo tanggepin. Pasti jawabannya ngaco,” timpal Ify.
“Montok itu mo (dibaca: mau) rontok,” ceplos Sivia tepat seperti dugaan Ify.
Sejurus kemudian tawa Gabriel dan Rio pecah, berbeda dengan Ify yang memasang wajah sebal. Siswa-siswi yang kebetulan sudah penasaran dengan mereka jadi semakin fokus pada mereka. Banyak yang terpana menyaksikan tawa lepas Gabriel dan Rio. Tawa yang tak pernah mereka lihat sejak pertama kali menginjakkan kaki di Budi Karya.
“Itu Gabriel ganteng banget anjiirrrr!”
“Demi apa Rio ketawa? Makhluk tembok itu ketawa? Cubit gue cubit gue!”
Fixed gue mau jadi fans sejati Gabriel!”
“Gue mau Rioooo!”
Sahutan-sahutan itu mampir ke telinga objek pembicaraan. Akan tetapi, mereka pura-pura tak mendengar dan tetap asik dengan banyolan Sivia. Kedua pemuda itu tampak nyaman. Bahkan, Rio belum menyentuh ponselnya sejak tadi pagi! Ini benar-benar rekor!
“Dah ah gue mau pesen makanan dulu. Laper dengerin humor recehan lo itu. Mau pesen apa kalian?” cerocos Ify.
Sivia lebih dulu menyahut, “Pesenin kita yang kayak biasa, Fy. Kalian ngikut aja ya.”
Belum sempat mengiyakan, Ify mengangguk dan melenggang pergi. Gabriel dan Rio saling pandang karena tak tahu maksud dari ‘kayak biasa’.
“Tenang aja, nggak aneh-aneh kok. Kalian bakalan suka,” ujar Sivia tahu persis apa yang dipikirkan dua pemuda itu.
“Lo udah lama sahabatan sama Ify?” tanya Gabriel.
Sivia, gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya karena sibuk online twitter. Dia memang bercita-cita jadi seleb twitter, cita-cita yang membuat Ify diam-diam ingin menjedotkan kepala sahabatnya itu. Untungnya Ify tidak melakukannya.
“Kalau diajak ngomong tuh madepnya jangan ke HP. Emangnya lo ngomong sama HP?” dengus Gabriel.
“Sumarni,” ralat Sivia seraya mendongak dan memasang wajah polos.
Mau tak mau Rio menarik kedua sudut bibirnya dengan geli. Berbeda sekali dengan Gabriel, ekspresinya nyaris sama dengan ekspresi Ify tadi. Sama-sama masam.
“Gue sahabatan sama Ify udah tiga belas tahun lebih,” kata Sivia.
“Serius?” tanya Gabriel tak percaya.
“Serius. Lebih lama dari The Wanted ya? Yah kasihan deh kalah saing.”
Gabriel memutar bola matanya, “Kalian nggak pernah bosen gitu? Jenuh? Semacamnya deh. Apa mungkin pernah berantem?”
Never. Mana bisa gue bosen sahabatan sama Ify? Kalau berantem, paling bercandaan doang. Kita nggak pernah berantem yang sampai kayak The Wanted,” jawab Sivia sekaligus menggoda.
“Ya deh yaaa,” cetus Rio dan Gabriel kompak.
“Bercanda, Mas. Pokoknya nggak pernah deh gue sama Ify kayak gitu. Lo tahu sendiri gue sama Ify tuh sama-sama gampang dapet temen. Kalian harus tahu, sahabat sama temen itu beda,” jelas Sivia membuat dua pemuda itu mengernyit.
“Bedanya apa?”
“Temen itu lebih milih nyindir disaat lo berbuat salah, egois disaat bisa memahami, dan terkadang ninggalin disaat dia bisa bertahan. Dan sahabat nggak kenal itu semua.”
Tepat saat itu Ify datang membawa empat piring siomay dan empat mangkok sop buah dibantu Pak Heru. Setelah berujar terima kasih, Pak Heru kembali ke stand. Gabriel dan Rio yang awalnya terpukau dengan ucapan Sivia jadi fokus pada pesanan mereka.
“Siomay?” tanya Rio mengalihkan perhatian.
Pemuda itu mengernyitkan dahinya sambil memandangi siomaynya dengan intens. Kali ini gantian Ify dan Sivia yang bingung.
“Jangan diliatin begitu siomaynya, ntar baper,” cetus Sivia.
“Kenapa sih? Lo nggak suka siomay?” tanya Ify.
“Rada ragu soalnya,” jawab Rio jujur.
“Ini siomay terenak sedunia! Chef Juna kalah!” seloroh Sivia.
“Emang lo pernah makan siomay buatan Chef Juna?” timpal Ify.
“Si tai. Ya enggak lah! Gue siapa sih?” dumel Sivia.
Detik itu Ify dan Gabriel kompak melemparkan tissue ke wajah Sivia dan bersorak ria. Sementara Rio, dia memilih untuk mencicipi siomay yang kata Sivia tadi terenak sedunia. Senyum Rio merekah.
“Siomay terenak sedunia,” kata Rio lagi-lagi mengalihkan perhatian.
“Enak beneran,  Yo?” tanya Gabriel.
Rio mengangguk lalu kembali melahap siomay buatan Pak Heru. Menyaksikan hal tersebut, Gabriel ikut penasaran.
“TERENAK SEDUNIA!” seru Gabriel setelah menelan siomaynya.
“Lu berdua udah kayak terasingkan dari peradaban ya sampai nggak tahu siomay seenak ini di kantin Budi Karya. Kasihan gue. Oh iya! Sop buahnya nggak kalah!” ceplos Sivia.
***
Sepulang sekolah, Fabulous Four—sumpah, Sivia masih keukeuh dengan nama itu—menuju parkiran dan akan ke rumah Shilla seperti rencana awal. Akan tetapi, langkah Sivia dan Ify terhenti begitu tahu Rio dan Gabriel sama-sama membawa mobil.
“Kalau kalian bawa mobil masing-masing gini, kita berdua jadi bingung,” ceplos Ify.
“Lo ikut mobil gue aja, Fy. Sekalian anterin gue beli sesuatu buat Shilla. Kalau sama Sivia pasti ribet ntar yang ada gue diusir,” kata Gabriel membuat Sivia mendelik.
“Ayo Rio! Kita pergi dari makhluk tidak tahu diri ini! BYE!” seru Sivia galak.
Rio hanya bisa pasrah dan menuruti ucapan Sivia. Setelah pamitan dengan Gabriel dan Ify, Rio masuk ke mobilnya bersama Sivia. Selanjutnya mobil itu meluncur ke rumah Shilla.
“Emaknya Sivia ngidam nonton petasan pas takbiran ya?” tanya Gabriel seraya membukakan pintu untuk Ify.
Gadis itu lantas masuk ke dalam mobil Gabriel dan menunggu cowok itu duduk di bagian kemudi sebelum menanggapi.
“Tante Desi dulunya vokalis band aliran rock, Yel. Waktu hamil Sivia pun Tante Desi masih nyempetin perform terus sejak usia kandungannya sekitar empat bulan beliau pensiun. Wajar aja kalo Sivia begitu,” cerocos Ify membuat Gabriel takjub.
“Pantesan,” kekeh Gabriel.
Pemuda itu lantas menyalakan mesin dan melajukan mobilnya.
Di lain sisi, suasana di mobil Rio sangat kontras dengan suasana di mobil Gabriel yang cenderung tentram dan damai. Sivia sengaja menyalakan musik lalu ikut bernyanyi dengan suara keras. Sumpah, Rio mengakui kalau suara gadis itu merdu tapi kalau bernyanyi seperti ini tetap saja membuat kepala orang lain mendadak migrain.
Belum lagi hobi cablak Sivia yang kumat setiap saat. Dia sangat berbeda dengan Ify. Sangat. Diam-diam Rio ingin tertawa geli mengingat sahabatnya jatuh hati pada gadis yang bertolak belakang dengan tipenya.
“Ini aroma therapy apa sih, Yo?” tanya Sivia.
Jasmine. Kenapa emang? Wangi ya?” balas Rio tetap fokus menyetir.
Detik selanjutnya Sivia menyemprotkan baby cologne-nya ke segala arah hingga membuat Rio mendelik. Saat hendak protes, lagi-lagi dia kalah start bicara jika bersama Sivia.
“Lo nggak tahu ya kalo itu bau kesukaan Susana? Kalo dia nimbrung di sini gimana?”
Rio melengos, “Mana ada yang kayak gitu?”
“Ada! Lo mana bisa ngerasain? Orang lo sama Susana sebelas dua belas,” seloroh Sivia asal.
Tak ingin debat dengan gadis itu, dia memilih diam. Kalau Gabriel, pasti sudah ditanggapi hingga mulutnya berbusa. Namun Rio tak pernah merasa terganggu. Setidaknya perdebatan diantara Gabriel, Sivia dan Ify membuatnya sadar bahwa dia masih berada di bumi.
“Eh rumah Shilla masih jauh? Lo udah hubungin Alvin belum?” tanya Sivia beruntun.
“Udah. Alvin juga udah on the way kok. Lo kenal Alvin ya?” balas Rio.
“Sedikit kenal soalnya abang sepupu gue sahabatnya Kak Deva, kita pernah ketemu gitu. Dia tuh anaknya nyolot banget, lebih nyolot dari Gabriel, terus juga sensian sama gue, katanya gue berisik, tapi seru juga sih bikin dia kesel,” cerocos Sivia membuat Rio tertawa terbahak-bahak.
Dia jadi membayangkan seandainya Alvin mendengar langsung. Seingat Rio, karakter Alvin memang kurang lebih seperti itu sejak pertama kali bertemu. Karakter yang akan keluar di depan orang yang belum mengenalnya lebih dekat.
“Mungkin emang karna lo berisik,” sahut Rio kalem.
Selanjutnya, Rio merasakan bahunya dipukul pelan oleh gadis di sebelahnya ini.
“Parah lu diem-diem sekutuan sama Ify! Mentang-mentang jatuh cinta,” tuding Sivia.
Rio meringis, “Jatuh cinta?”
“Gue nebak doang sih. Bener atau enggaknya, terserah elo. Tapi satu hal yang harus lo tahu dan resapi, Ify itu sahabat gue. Jadi, lo harus betah berurusan sama gue kalau mau deketin Ify,” ceplos Sivia.
Rio tersenyum, “Gue tahu.”
***
Hal paling menyebalkan adalah begitu tahu kalau Gabriel dan Ify justru sampai di rumah Shilla lebih dulu. Padahal mereka sempat mampir ke toko dan membeli sesuatu untuk Shilla, kata Gabriel sih sebagai salam pembuka.  Mereka masih berdiri di teras sampai mobil Rio datang bersamaan dengan mobil Alvin.
“Perasaan tadi gue sama Rio yang duluan pergi, kok malah kalian yang udah sampai?” ceplos Sivia membuat Ify dan Gabriel mendengus kompak.
“Harusnya gue sama Ify yang bilang begitu,” cibir Gabriel.
Sivia nyengir lalu beralih ke Alvin, “Eh sipit. Baru sampai juga lo?”
“Lo juga sipit, Mbak,” balas Alvin.
“Oh yaudah kita bikin duo sipit aja. Gimana?” cablak Sivia.
“Ogah,” tolak Alvin mentah-mentah.
Ify geleng-geleng kepala melihatnya. Sementara Rio dan Gabriel sibuk berkomentar mengenai nama duo sipit yang diajukan barusan—dan ditolak. Mereka pikir Sivia sudah pensiun dari hobi memberi nama-nama.
“Shilla nggak denger suara mobil kalian?” tanya Alvin.
“Kata satpamnya tadi Shilla lagi tidur. Kebetulan, tadi Gabriel ngasih usul buat kasih surprise ulang tahun gitu. Tuh gue taruh di situ,” jawab Ify menunjuk meja yang di atasnya terdapat roti tart berukuran medium lengkap dengan lilin dan pisau, balon-balon warna-warni dan beberapa snow pray.
“Jangan ngibul. Itu ide lo. Gue kan niatnya cuma mau beli cokelat sama cemilan buat kita semua,” elak Gabriel.
Semua beralih menatap Ify. Cewek itu sendiri hanya mengedikkan bahu. Perhatian mereka teralihkan saat mendengar deru motor yang memasuki gerbang rumah Shilla. Mata mereka membulat sempurna begitu tahu pengendara motor itu adalah Cakka dan Agni!
“Oh jadi kalian nggak mau bagi-bagi kabar baik ke gue nih?” goda Cakka setelah membuka helmetnya.
Agni berdadahria terlebih dahulu sebelum akhirnya turun dari motor Cakka. Mereka berdua lantas ikut bergabung.
“Kok kalian di sini? Bukannya persiapan pertandingan basket?”
“Tadi pagi Debo cerita soal Shilla. Gue juga nggak sengaja denger sedikit obrolan kalian di UKS waktu nyari Pak Reihan. Pas mau nyamperin, gue udah ditunggu anak-anak di lapangan. Terus juga gue sama Agni sempet liat Ify sama Gabriel di parkiran, kita langsung yakin kalian mau ke sini,” jelas Cakka panjang lebar.
Mereka hanya ber-oh-ria.
“Sekarang lengkap. Mau nyamperin sekarang sebelum dia bangun dengerin kita rapat di sini?” tawar Alvin.
“Ah iya. Cak, lo bawa cake-nya ya! Yang lain tolong bantuin bawa balon sama snow spray-nya,” koor Ify.
Setelah siap dengan alat perang masing-masing, tujuh manusia (bukan tujuh manusia harimau ya) tersebut mengendap-endap menuju kamar Shilla. Dengan paksaan keras dari seluruh pihak, Sivia terpaksa berada di paling belakang. Alasannya, mereka takut kalau Sivia akan mengacau jika berada di depan. Sivia sendiri hanya bisa pasrah karena sudah tersudut.
“Kalian ngumpet dulu, biar gue yang ngetok kamarnya,” bisik Alvin.
Mereka menurut. Kemudian Alvin mengetok kamar Shilla.
“Siapa?” tanya Shilla dari dalam.
Alvin sengaja tak menjawab, ia justru semakin gencar mengetok pintu tersebut. Shilla yang kesal karena tidurnya terganggu lantas turun dari ranjangnya dan membuka pintu.
“Sia—loh kok kosong? Terus tadi yang ngetok pintu siapa?”
Pertanyaannya langsung terjawab saat Alvin, Rio, Gabriel, Ify, Sivia dan Agni berhamburan menyemprotkan snow pray ke arahnya. Berhubung tak siap diserang dadakan seperti ini, Shilla hanya bisa berpasrah diri dan menutup wajahnya.
HAPPY BIRTHDAY SHILLA!!” seru mereka semua.
Shilla membuka matanya perlahan, menatap satu persatu orang-orang di hadapannya saat ini. Detik selanjutnya gadis yang sudah berlumuran snow itu terpaku menyaksikan kemunculan Cakka bersama sebuah cake bertuliskan ‘Happy Birthday Sahabat’.
“Kalian...”
Ucapan itu menggantung. Lagi-lagi air matanya meluruh, bukan untuk kesedihan, melainkan rasa syukur sekaligus haru. Bibir Shilla melengkung menandakan bahwa dia sangat bahagia. Dan ternyata apa yang dikatakan Alvin terjadi, akan tiba saat dimana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Ia tak perlu lagi berpura-pura.
Happy birthday Shilla... happy birthday Shilla... happy birthday happy birthday... happy birthday Shilla...
Lagu itu mendadak terdengar indah di telinganya. Kemarin, hanya ada Alvin seorang diri yang bernyanyi untuknya. Sekarang, bukan hanya Alvin.
“Tiup lilinnya... tiup lilinnya... tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang juga...”
Make a wish dulu, Shil. Kemarin lo belum sempet make a wish,” ujar Alvin membuyarkan lamunannya.
Shilla mengangguk. Gadis itu memejamkan mata dengan tangan menengadah.
“Tuhan, terima kasih karena Kau selalu memberikan orang-orang baik di sekelilingku.”
Fiuh. Shilla meniup lilin tersebut. Ya, memang bukan harapan yang dirapalkannya melainkan sebuah ucapan terima kasih pada Tuhan. Hal yang seharusnya dilakukan Shilla sejak dulu.
“YAAAYYY!”
Shilla memandang nanar ke arah mereka satu persatu, “Gue nggak tahu harus bilang apa. Kayaknya ucapan makasih nggak pernah bisa nebus kebaikan kalian. Gue minta maaf atas semua sikap gue selama ini.”
“Kita semua sayang sama elo, Shilla,” sahut Gabriel seraya merangkul gadis itu.
“Gabriel, Rio, Alvin dan Cakka... maaf karena gue nggak bisa jadi sahabat yang baik. Gue terlalu posesif, gue terlalu takut kehilangan kalian. Gue bener-bener minta maaf.”
“Gue maafin kok, Shil. Mana bisa sih gue marah sama elo?” sahut Cakka sambil meletakkan cake-nya.
Sejurus kemudian, Cakka maju selangkah untuk menghapus air mata Shilla. Dengan spontan Shilla memeluk Cakka erat-erat.
Thanks karna lo mau jadi sahabat gue,” lirih Shilla.
Dia lantas mengurai pelukannya lalu memeluk sahabat-sahabat yang lain satu persatu, termasuk Ify, Sivia dan Agni.
“Gue minta maaf ya, Ag. Mulai sekarang kita sahabatan ya,” kata Shilla saat memeluk Agni.
Setelah acara peluk-pelukan, Shilla melirik Ify yang saat ini tersenyum tipis. Lewat sorot matanya, Shilla menyampaikan terima kasihnya pada gadis itu. Kalau bukan karna Ify, dia tak tahu sampai kapan ia akan salah arah.
Satu lagi, ulang tahun yang menurutnya terburuk seumur hidup justru jadi ulang tahun terbaik. Dia tak pernah tahu bahwa merayakan ulang tahun sesederhana ini justru lebih membahagiakan ketimbang pesta besar-besaran.
***
Lagi-lagi ada pemandangan baru yang mencengangkan pagi ini. Apa lagi kalau  bukan kedatangan The Wanted ditambah Ify, Sivia dan Agni? Mereka tampak tertawa lepas seolah-olah tak pernah ada peristiwa pertengkaran hebat sebelumnya. Sejurus kemudian, tawa itu menghilang saat menyadari ada yang tidak beres di sini.
“Kenapa foto gue dimana-mana?” desis Shilla.
Barulah mereka sadar bahwa banyak sekali tertempel foto Shilla yang telah dicoret-coret. Rahang Gabriel mengeras, begitu pula dengan yang lainnya.
“SIAPA YANG PASANG INI SEMUA?!” teriak Sivia dengan garang.
Banyak gerombolan anak yang sepertinya sudah menantikan kedatangan Shilla sedari tadi. Sayangnya, mereka tidak tahu kalau hari ini Shilla sudah kembali mendapatkan sahabat-sahabatnya—bahkan sahabatnya bertambah.
Shilla menyentuh bahu Sivia lalu menggeleng pelan. Gadis itu mendesah, dia tidak akan melawan dengan angkuh seperti dulu. Sivia lantas mengernyit.
“Ini pasti kerjaan temen-temen sekelas gue kan?” tanya Shilla entah pada siapa.
Suasana mendadak sepi.
“Untuk semua orang yang pernah gue sakitin, gue... benar-benar minta maaf. Gue tahu kesalahan gue banyak sama kalian. Gue sadar. Untuk itu, dengan rasa hormat setinggi-tingginya, gue meminta maaf di depan kalian semua,” ujar Shilla sangat tulus.
Kasak-kusuk itu mulai terdengar kembali. Ada yang luluh dan langsung memaafkan, tapi ada pula yang menatap Shilla tak suka.
“Setelah apa yang lo lakuin selama ini, lo cuma minta maaf?”
“Nah! Gampang banget lo minta maaf setelah sekian lama sok berkuasa.”
Shilla meringis mendengarnya.
“Memangnya seumur hidup kalian belum pernah bikin kesalahan? Memangnya orang yang bikin salah nggak boleh minta maaf? Memangnya gue terlalu hina untuk dapet maaf?” tanya Shilla beruntun dengan bibir bergetar.
“Alah ini bagian dari profesi lo? Nggak usah drama queen, Shil!”
“Kita di sini udah nggak mempan!”
“Sekalipun lo berlindung di belakang Gabriel!”
“Dasar lu manusia! Ada orang jadi baik bukannya bersyukur malah nyirnyir! Eh gue kan juga manusia ya,” ceplos Sivia membuat Ify dkk melotot tajam.
“Lo juga, Siv. Bukannya lo dulu benci banget sama dia? Sekarang kok malah temenan? Enak jilatin ludah sendiri?”
“Gue sih paling males sama orang yang katanya nggak suka sama si A tapi ujung-ujungnya temenan juga. Sampah.”
Sivia melotot, lalu mencebikkan bibirnya. Belum pernah dia diserang seperti ini.
“Ternyata bener. Mana ada dunia kejam? Yang kejam tuh bacotnya manusia,” balas Sivia namun tak dihiraukan.
 “Lo juga, Fy. Harusnya lo jauhin Shilla. Dia kan jahat sama lo.”
Shilla menggigit bibir bawahnya. Dia benar-benar tak kuat mendengar lontaran-lontaran pedas dari mereka. Namun, dia lebih takut lagi jika Ify, Sivia dan Agni akan berubah pikiran dan tidak mau jadi sahabatnya.
“Kalau lo nyuruh gue jauhin dia karena menurut lo dia itu jahat, berarti gue juga harus jauhin elo. Soalnya orang baik nggak ada yang nyuruh orang lain jauhin sahabatnya,” jawab Ify tenang.
Seketika tak ada yang berani membantah ucapan Ify. Semuanya terdiam seolah apapun yang keluar dari bibir gadis itu adalah suatu kebenaran. Diam-diam Shilla terharu mendengar Ify secara tidak langsung mengumumkan pada semua orang bahwa dia adalah sahabatnya.
“Nggak ada orang yang bener-bener baik di dunia ini. Gue yakin, setiap orang pernah melakukan hal-hal jahat yang entah disadari atau enggak. Termasuk gue,” imbuh Ify.
“Bukan hanya Shilla. Kami The Wanted meminta maaf kalau selama ini kami angkuh, sombong dan anti sosial. Untuk menebus kesalahan kami ke teman-teman sekelas, saya akan minta supaya kami berlima dipindahkan ke kelas lain,” ujar Gabriel angkat bicara.
“Yel, tapi kan—“
“Nggak pa-pa, Shil,” potong Gabriel cepat.
Koridor yang memang didominasi anak-anak kelas XI IPA 1 lantas terdengar sibuk berbisik-bisik. Selanjutnya, salah seorang dari mereka yang bernama Abner menghampiri The Wanted lebih dekat.
“Gue mewakili semuanya memaafkan kalian,” kata Abner dengan senyum lebar.
“Serius?” pekik Cakka.
“Kami emang udah lama nyimpan dendam sama kalian. Sama seperti kata Ify, setiap orang pernah melakukan hal-hal jahat entah disadari atau enggak. Dendam itu  juga jahat kan?” balas Abner.
Thank you so much,” desis Shilla.
“Jangan diulangi lagi ya. Terutama lo Shilla,” kata Abner.
Shilla menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar. Yang lain pun ikut tersenyum. Selanjutnya, teman-teman sekelas mereka menyebar untuk melepas foto-foto Shilla dan membuangnya ke tempat sampah.
“Selamat datang di XI IPA 1 Shilla, Gabriel, Rio, Alvin dan Cakka tanpa embel-embel The Wanted.”
Mereka semua lantas saling bersalaman. Para guru yang kebetulan lewat dan menyaksikan sedari tadi ikut terharu. Akhirnya, setelah sekian lama, kelompok anti sosial itu membuka diri.
“Heh lu yang tadi ngatain gue!” semprot Sivia pada lelaki sedang bersalaman dengan Alvin.
“Ampun, Siv. Kan biar total,” sahut lelaki itu.
“Bodo amat lu bodo amat!”
Sivia menarik kemeja pemuda tersebut hingga dia nyaris terjengkang.
“Jiwa premannya keluar,” ceplos Rio.
Terjadilah aksi balas dendam dari Sivia. Mereka yang menyaksikan tertawa geli melihatnya.
“Banyak orang lebih milih jalan mem-bully ketika seseorang melakukan kesalahan dibanding menegur. Alasannya simple, karena mereka merasa sudah benar. Tapi, terkadang mereka lupa kalau Tuhan bisa aja kasih skenario yang sama seperti yang mereka bully.”

***
Bersambung...
Huhu gimana? Lebih suka The Wanted apa Fabulous Four? (?) Gak deng, maksudnya gimana part ini? Saya tunggu komentarnya ya demi kebaikan bersama._. part yang selanjutnya dan seterusnya mungkin akan lebih banyak bahas masalah kisah percintaan mereka. Semoga couple favorite kalian jadian ya :v
Follow ask.fm/fannyslma

1 komentar:

@adi.permana mengatakan...

Lama menunggu akhirnya ada kelajutanya, makin seru aja

Posting Komentar