Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Haloo saya kembali demi #BangkitkanCRAGSISA lol maaf atas kengaretan ini. Authornya lagi betah main game jadi males ngetik. Sepertinya part ini bakal kurang greget dan sedikit banyak awkward.
Hope you like it...
15
Sivia
menyeret kakinya untuk mencari-cari Ify yang belum juga kembali ke kelas sejak
istirahat. Dia sudah mencoba menghubungi ponsel gadis itu, tapi tak ada
sahutan. Jangan salahkan Sivia jika dia bersumpah serapah di sepanjang koridor.
Kalau saja ada Cakka, Agni atau Debo, dia tidak perlu mencari sendirian. Kalau
Budi Karya sesempit pekarangan rumahnya juga tidak masalah, tapi Budi Karya ini
sangat luas! Lagipula mondar-mandir sendirian seperti ini membuatnya keki.
Dia
hafal betul Ify suka pergi ke taman belakang, perpustakaan, ruang musik dan
UKS. Sivia memutuskan pergi ke ruang musik, tapi yang dia temukan justru Rio
dan Gabriel yang baru turun dari rooftop.
“WOIII!”
seru Sivia berniat memanggil kedua pemuda itu.
Rio dan
Gabriel mencari sumber suara dan menemukan Sivia sebagai tersangka. Mereka
lantas menghampiri gadis itu.
“Nama
kita bukan woi kali,” cibir Gabriel.
“Ya udah
kali biasa aja,” balas Sivia.
“Ify
mana?” tanya Rio sebelum perdebatan tak penting antara sahabatnya dengan Sivia
terjadi.
“Itu
dia! Kalian lihat Ify nggak?” tanya Sivia membuat Gabriel dan Rio kompak
menggelengkan kepala.
“Astagaaa
itu anak ke mana sih!” dumel Sivia.
“Emang
dia nggak pamit ke elo?” tanya Gabriel heran.
Sivia
lantas menceritakan kronologi kepergian Ify, tentunya lengkap dengan cerita
Debo tadi pagi. Baik Gabriel maupun Rio sama-sama terkejut karena memang tak
tahu apa-apa.
“Udah
cari Ify di UKS?” tanya Rio.
“Belum.
Gue baru nyari ke ruang musik pas kalian dateng, ternyata kosong,” jawab Sivia.
“Kita ke
UKS,” koor Rio.
Sejurus
kemudian mereka mengekor Rio di belakang. Menurut Rio, jika Ify tidak ada di
ruang musik maka dia ada di UKS. Sebab hanya dua tempat itu yang sering
membuatnya bertemu dengan Ify secara tidak sengaja.
Sesampainya
di UKS, betapa terkejutnya mereka bertiga karena menemukan Ify yang sedang
mengobrol dengan Alvin. Entah apa yang mereka bicarakan karena obrolan itu terhenti
saat keduanya sadar akan kedatangan Sivia bersama Rio dan Gabriel.
“Lo ke
mana aja sih? Gue udah nelpon ke hp lo sampe telinga gue jereng tahu!” semprot
Sivia membuat Ify meringis.
“Gue
lupa nyalain hp,” jawabnya.
Sivia
melotot tajam, “Tersialan emang lu.”
“Maaf
deh. Gue tadi mau balik kelas nggak berani, akhirnya ngumpet di sini,” jelas
Ify.
“Sama
dia?” tanya Sivia cablak seraya menunjuk Alvin yang sedari tadi menyimak.
“Ngapain
nunjuk-nunjuk?” sahut Alvin.
“Suka-suka
gue lah!” nyolot Sivia.
Alvin
melengos sementara Ify terkekeh, lalu gadis itu melirik ke arah Rio dan Gabriel
yang nampak bingung harus bersikap bagaimana di depan Alvin. Belum lagi mereka
terkejut mengapa laki-laki itu berada di UKS bersama Ify.
“Kalian
nggak mau nyapa Alvin?” tanya Ify membuyarkan lamunan Rio dan Gabriel.
“Hai,
Vin,” sapa Gabriel.
“Suara
lo najisin banget sih, Yel! Mirip cowok yang lagi salting gitu. Yang macho
dong! Hai bro kek, hai sipit, hai es batu, masa hai—“
“Brisik
banget sih lu,” potong Alvin membuat Sivia mencebikkan bibir dengan sebal.
“Eh
Shilla gimana?” tanya Sivia penasaran.
Sebelum
menjawab, Ify melirik Alvin sekilas. Gadis itu lantas menjelaskan keadaan
Shilla yang sudah bisa menerima semuanya. Rio, Gabriel dan Sivia tersenyum
senang mendengarnya. Alvin sendiri tersenyum tipis menyaksikan orang-orang ini
tampak bahagia.
“Sepulang
sekolah kita ke rumah Shilla yuk!” ajak Sivia semangat.
“Biasanya
lo paling males tuh kalo sama Shilla,” sindir Gabriel.
“Gue
baik salah, jahat salah, emang ya gue itu selalu serba salah di mata lo,” balas
Sivia mendramatisir.
“Lebay
lu ah! Tapi, kalo ke rumah Shilla kita musti ajak Cakka sama Agni juga. Cakka
pasti seneng banget,” ceplos Gabriel.
“Mereka
kan mau persiapan basket, kita ke sana tanpa Cakka sama Agni aja. Sementara ini
biarin mereka fokus sama basket dulu,” kata Ify bijak.
“Gue
boleh ikut kan?” tanya Alvin.
Semua
menatap pemuda itu dengan senyum lebar, kemudian mengangguk.
“Tapi
gue musti pulang sekarang. Nanti kalian kabarin gue biar gue nyusul,” imbuhnya.
“Jadi
pulang?” tanya Ify.
Alvin
mengangguk, “Ada yang perlu gue tuntasin. Hm, satu lagi. Gue juga diterima jadi
sahabat kalian kan?”
Mereka
terperangah mendengarnya. Hanya sekejap. Sebab detik selanjutnya Gabriel dan
Rio merangkul Alvin dari sisi yang berbeda.
“Sahabat.”
***
Hal yang
tidak pernah dibayangkan oleh Alvin adalah bersahabat dengan orang-orang di
luar The Wanted. It’s ok sejak dia
menaruh hati pada Shilla ia memang tak begitu peduli mengenai persahabatan
apapun, termasuk The Wanted. Baginya, apapun akan dilakukan asal Shilla selalu
ada di sampingnya. Namun kali ini, Alvin memilih menuruti ucapan Deva untuk
mengenal dunia luar yang tak berbatas.
Untuk
itulah Alvin meninggalkan Budi Karya. Dia bertekat menyudahi perang dingin ini
dengan kakaknya. Sebenarnya mereka berdua telah berjanji akan membicarakan
semuanya nanti malam, tetapi karena Shilla sudah pulang maka ia mengajukan
jadwal pertemuan tersebut dan Deva setuju. Lebih cepat lebih baik.
Alvin
melajukan mobilnya menuju kantor papanya. Sesampainya, pemuda itu bergegas ke
ruangan Deva tanpa harus berbasa-basi dengan para stuff. Lagipula sudah biasa
mereka disuguhi sikap dingin putra bungsu dari pemilik perusahaan.
“Dev,”
ujar Alvin tanpa mengetok pintu.
Deva
yang sedang sibuk dengan beberapa berkas ditangannya memberi kode supaya Alvin
membiarkannya fokus sebentar. Tentu saja Alvin dengan tahu diri menutup
mulutnya dan memilih duduk di kursi yang telah tersedia.
Tak lama
kemudian,berkas-berkas itu disingkirkan. Selanjutnya, Deva menatap Alvin seakan
meminta penjelasan mengenai pertemuan mereka saat ini.
“Silahkan,”
ujar Deva pendek.
Alvin
menghela nafas pelan, “I’m so sorry for
everything. Everything about us. Gue nggak tahu harus bilang apa, tapi gue
beneran minta maaf.”
“Maaf
untuk apa?” tanya Deva.
“Gue
udah bilang barusan,” sahut Alvin.
“Gue...”
Belum
sempat Deva meneruskan ucapannya, Alvin lebih dulu menyela.
“Deva,
maaf karena selama ini Alvin nggak bisa jadi adik yang baik. Tapi, Deva selalu
jadi kakak terhebat buat Alvin. Dulu, sekarang dan sampai kapanpun. Untuk
pertama kalinya dalam hidup Alvin, Alvin mau bilang kalau Alvin sayang sama
kakak,” lirih Alvin.
Air
matanya meluruh menyusuri pipi. Di hadapannya saat ini, Deva terpaku. Sejurus
kemudian air matanya ikut mengalir. Perasaan sayang antara kakak dan adik itu
meluap, membuncah, meletup-letup.
“Deva
juga sayang sama Alvin. Seperti Mama yang selalu sayang kita berdua,” balas
Deva seraya menyeka air matanya.
Andai
tak ada meja yang membatasi keduanya, mungkin Deva akan memeluk Alvin seperti
dulu. Akan tetapi, tanpa pelukan hangat pun suasana di ruangan ini yang awalnya
kaku mendadak menghangat.
“Sekalian,
gue mau nagih hutang,” ujar Alvin.
“Hutang
apa?”
“Hutang
waktu yang udah terbuang sia-sia karena gue selalu sibuk sama The Wanted. Mulai
sekarang, lo harus siapin waktu sebanyak-banyaknya karena gue bakalan sering
nyariin elo,” kekeh Alvin berhasil menciptakan seulas senyum geli di wajah
Deva.
“Siap,
bos! Sebanyak apapun waktu yang lo mau,” tandas Deva.
“Oh iya,
ada satu lagi yang mau gue umumin ke elo.”
“Apa?”
“Mengenai
Shilla,” jawab Alvin.
Dahi
Deva mengernyit. Pemuda itu tak membuka mulut sedikitpun karena menunggu Alvin
bicara.
“Dari
dulu selalu ucapan lo yang gue percaya. Saat pertama kali naik sepeda dan gue
terus-terusan jatuh, lo bilang gue pasti bisa. Saat gue takut nggak punya temen
di hari pertama sekolah, lo bilang gue pasti punya temen. Masih banyak hal yang
lain.
“Hal
yang bikin gue pada akhirnya percaya sama ucapan lo. Bahkan saat ini, ketika
cewek yang gue cintai nggak pernah melihat keberadaan gue, gue masih percaya
sama ucapan lo. Gue nyerah, Dev.”
“Hah?”
“Lo
menolak kalau gue jatuh cinta sama Shilla kan?” balas Alvin.
Nafas
Deva tercekat. Dia benar-benar tak percaya dengan ucapan adiknya barusan. Dia
melepas Shilla?
“Gue
menolak kalau lo jatuh cinta ke orang yang salah. Lo nggak lagi sakit kan,
Vin?” tanya Deva terlalu shock.
Alvin
menggeleng, “Bener kata lo. Hidup gue terlalu sempit dan isinya cuma The
Wanted, terutama Shilla. Gue butuh orang yang bisa menghapus Shilla dari hati
gue dan sudah gue putuskan...”
“Gue
akan berusaha mengenal Sivia lebih dekat.”
Detik
itu mata Deva membulat sempurna. Tak urung, dia bahagia mendengar keputusan move on secara resmi dari adiknya.
Lebih-lebih, pilihan move on itu jatuh
pada Sivia. Sudah diputuskan, rencana mencomblangkan Sivia dan Alvin yang
sempat terthenti harus diluncurkan kembali!
***
Fabulous Four, begitu
kata Sivia saat menyebut dirinya, Ify, Gabriel dan Rio. Tentu saja nama itu
ditolak mentah-mentah karena nama itu terdengar aneh. Sivia memang sedang gemar
memberi nama-nama. Pokoknya apapun dinamai. Termasuk ponselnya sekarang resmi
punya nama yaitu Sumarni. Ya, Sumarni. Katanya nama itu sebagai rasa terima
kasihnya pada Bu Sumarni, si penjual mie ayam di dekat rumahnya yang kalau
pesan mie ayam bisa lewat sms.
“Lama-lama
gue gila temenan sama lu tahu nggak?” omel Ify.
Gabriel
dan Rio sudah cekikikan sejak sepuluh menit lalu. Dari UKS ke kantin, sudah ada
empat nama tercetus—termasuk nama Fabulous
Four dan Sumarni. Entahlah yang dua nama tadi apa, saking sibuknya membahas
Sumarni jadi terlupakan.
“Kalau
ini namanya montok, Fy. Lebih montok ini daripada elu,” ucap Sivia menunjuk
meja dan kursi panjang di kantin yang akan mereka duduki.
“Viaaa!”
gemas Ify.
“Kok
montok, Siv?” tanya Rio bingung.
“Harusnya
nggak usah lo tanggepin. Pasti jawabannya ngaco,” timpal Ify.
“Montok
itu mo (dibaca: mau) rontok,” ceplos Sivia tepat seperti dugaan Ify.
Sejurus
kemudian tawa Gabriel dan Rio pecah, berbeda dengan Ify yang memasang wajah
sebal. Siswa-siswi yang kebetulan sudah penasaran dengan mereka jadi semakin
fokus pada mereka. Banyak yang terpana menyaksikan tawa lepas Gabriel dan Rio.
Tawa yang tak pernah mereka lihat sejak pertama kali menginjakkan kaki di Budi
Karya.
“Itu Gabriel
ganteng banget anjiirrrr!”
“Demi
apa Rio ketawa? Makhluk tembok itu ketawa? Cubit gue cubit gue!”
“Fixed gue mau jadi fans sejati Gabriel!”
“Gue mau
Rioooo!”
Sahutan-sahutan
itu mampir ke telinga objek pembicaraan. Akan tetapi, mereka pura-pura tak mendengar
dan tetap asik dengan banyolan Sivia. Kedua pemuda itu tampak nyaman. Bahkan,
Rio belum menyentuh ponselnya sejak tadi pagi! Ini benar-benar rekor!
“Dah ah
gue mau pesen makanan dulu. Laper dengerin humor recehan lo itu. Mau pesen apa
kalian?” cerocos Ify.
Sivia
lebih dulu menyahut, “Pesenin kita yang kayak biasa, Fy. Kalian ngikut aja ya.”
Belum
sempat mengiyakan, Ify mengangguk dan melenggang pergi. Gabriel dan Rio saling
pandang karena tak tahu maksud dari ‘kayak
biasa’.
“Tenang
aja, nggak aneh-aneh kok. Kalian bakalan suka,” ujar Sivia tahu persis apa yang
dipikirkan dua pemuda itu.
“Lo udah
lama sahabatan sama Ify?” tanya Gabriel.
Sivia,
gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya karena sibuk online twitter. Dia memang bercita-cita
jadi seleb twitter, cita-cita yang membuat Ify diam-diam ingin menjedotkan
kepala sahabatnya itu. Untungnya Ify tidak melakukannya.
“Kalau
diajak ngomong tuh madepnya jangan ke HP. Emangnya lo ngomong sama HP?” dengus
Gabriel.
“Sumarni,”
ralat Sivia seraya mendongak dan memasang wajah polos.
Mau tak
mau Rio menarik kedua sudut bibirnya dengan geli. Berbeda sekali dengan
Gabriel, ekspresinya nyaris sama dengan ekspresi Ify tadi. Sama-sama masam.
“Gue
sahabatan sama Ify udah tiga belas tahun lebih,” kata Sivia.
“Serius?”
tanya Gabriel tak percaya.
“Serius.
Lebih lama dari The Wanted ya? Yah kasihan deh kalah saing.”
Gabriel
memutar bola matanya, “Kalian nggak pernah bosen gitu? Jenuh? Semacamnya deh.
Apa mungkin pernah berantem?”
“Never. Mana bisa gue bosen sahabatan
sama Ify? Kalau berantem, paling bercandaan doang. Kita nggak pernah berantem
yang sampai kayak The Wanted,” jawab Sivia sekaligus menggoda.
“Ya deh
yaaa,” cetus Rio dan Gabriel kompak.
“Bercanda,
Mas. Pokoknya nggak pernah deh gue sama Ify kayak gitu. Lo tahu sendiri gue
sama Ify tuh sama-sama gampang dapet temen. Kalian harus tahu, sahabat sama
temen itu beda,” jelas Sivia membuat dua pemuda itu mengernyit.
“Bedanya
apa?”
“Temen
itu lebih milih nyindir disaat lo berbuat salah, egois disaat bisa memahami,
dan terkadang ninggalin disaat dia bisa bertahan. Dan sahabat nggak kenal itu
semua.”
Tepat saat
itu Ify datang membawa empat piring siomay dan empat mangkok sop buah dibantu
Pak Heru. Setelah berujar terima kasih, Pak Heru kembali ke stand. Gabriel dan Rio yang awalnya terpukau dengan ucapan Sivia
jadi fokus pada pesanan mereka.
“Siomay?”
tanya Rio mengalihkan perhatian.
Pemuda
itu mengernyitkan dahinya sambil memandangi siomaynya dengan intens. Kali ini
gantian Ify dan Sivia yang bingung.
“Jangan
diliatin begitu siomaynya, ntar baper,” cetus Sivia.
“Kenapa
sih? Lo nggak suka siomay?” tanya Ify.
“Rada
ragu soalnya,” jawab Rio jujur.
“Ini
siomay terenak sedunia! Chef Juna
kalah!” seloroh Sivia.
“Emang
lo pernah makan siomay buatan Chef
Juna?” timpal Ify.
“Si tai.
Ya enggak lah! Gue siapa sih?” dumel Sivia.
Detik
itu Ify dan Gabriel kompak melemparkan tissue ke wajah Sivia dan bersorak ria.
Sementara Rio, dia memilih untuk mencicipi siomay yang kata Sivia tadi terenak sedunia. Senyum Rio merekah.
“Siomay
terenak sedunia,” kata Rio lagi-lagi mengalihkan perhatian.
“Enak
beneran, Yo?” tanya Gabriel.
Rio
mengangguk lalu kembali melahap siomay buatan Pak Heru. Menyaksikan hal
tersebut, Gabriel ikut penasaran.
“TERENAK
SEDUNIA!” seru Gabriel setelah menelan siomaynya.
“Lu
berdua udah kayak terasingkan dari peradaban ya sampai nggak tahu siomay seenak
ini di kantin Budi Karya. Kasihan gue. Oh iya! Sop buahnya nggak kalah!” ceplos
Sivia.
***
Sepulang
sekolah, Fabulous Four—sumpah, Sivia
masih keukeuh dengan nama itu—menuju parkiran dan akan ke rumah Shilla seperti
rencana awal. Akan tetapi, langkah Sivia dan Ify terhenti begitu tahu Rio dan
Gabriel sama-sama membawa mobil.
“Kalau
kalian bawa mobil masing-masing gini, kita berdua jadi bingung,” ceplos Ify.
“Lo ikut
mobil gue aja, Fy. Sekalian anterin gue beli sesuatu buat Shilla. Kalau sama
Sivia pasti ribet ntar yang ada gue diusir,” kata Gabriel membuat Sivia
mendelik.
“Ayo
Rio! Kita pergi dari makhluk tidak tahu diri ini! BYE!” seru Sivia galak.
Rio hanya
bisa pasrah dan menuruti ucapan Sivia. Setelah pamitan dengan Gabriel dan Ify,
Rio masuk ke mobilnya bersama Sivia. Selanjutnya mobil itu meluncur ke rumah
Shilla.
“Emaknya
Sivia ngidam nonton petasan pas takbiran ya?” tanya Gabriel seraya membukakan pintu
untuk Ify.
Gadis
itu lantas masuk ke dalam mobil Gabriel dan menunggu cowok itu duduk di bagian
kemudi sebelum menanggapi.
“Tante
Desi dulunya vokalis band aliran rock,
Yel. Waktu hamil Sivia pun Tante Desi masih nyempetin perform terus sejak usia kandungannya sekitar empat bulan beliau
pensiun. Wajar aja kalo Sivia begitu,” cerocos Ify membuat Gabriel takjub.
“Pantesan,”
kekeh Gabriel.
Pemuda
itu lantas menyalakan mesin dan melajukan mobilnya.
Di lain
sisi, suasana di mobil Rio sangat kontras dengan suasana di mobil Gabriel yang
cenderung tentram dan damai. Sivia sengaja menyalakan musik lalu ikut bernyanyi
dengan suara keras. Sumpah, Rio mengakui kalau suara gadis itu merdu tapi kalau
bernyanyi seperti ini tetap saja membuat kepala orang lain mendadak migrain.
Belum
lagi hobi cablak Sivia yang kumat setiap saat. Dia sangat berbeda dengan Ify.
Sangat. Diam-diam Rio ingin tertawa geli mengingat sahabatnya jatuh hati pada
gadis yang bertolak belakang dengan tipenya.
“Ini aroma therapy apa sih, Yo?” tanya Sivia.
“Jasmine. Kenapa emang? Wangi ya?” balas
Rio tetap fokus menyetir.
Detik
selanjutnya Sivia menyemprotkan baby
cologne-nya ke segala arah hingga membuat Rio mendelik. Saat hendak protes,
lagi-lagi dia kalah start bicara jika bersama Sivia.
“Lo
nggak tahu ya kalo itu bau kesukaan Susana? Kalo dia nimbrung di sini gimana?”
Rio
melengos, “Mana ada yang kayak gitu?”
“Ada! Lo
mana bisa ngerasain? Orang lo sama Susana sebelas dua belas,” seloroh Sivia
asal.
Tak
ingin debat dengan gadis itu, dia memilih diam. Kalau Gabriel, pasti sudah
ditanggapi hingga mulutnya berbusa. Namun Rio tak pernah merasa terganggu.
Setidaknya perdebatan diantara Gabriel, Sivia dan Ify membuatnya sadar bahwa
dia masih berada di bumi.
“Eh
rumah Shilla masih jauh? Lo udah hubungin Alvin belum?” tanya Sivia beruntun.
“Udah.
Alvin juga udah on the way kok. Lo
kenal Alvin ya?” balas Rio.
“Sedikit
kenal soalnya abang sepupu gue sahabatnya Kak Deva, kita pernah ketemu gitu.
Dia tuh anaknya nyolot banget, lebih nyolot dari Gabriel, terus juga sensian
sama gue, katanya gue berisik, tapi seru juga sih bikin dia kesel,” cerocos
Sivia membuat Rio tertawa terbahak-bahak.
Dia jadi
membayangkan seandainya Alvin mendengar langsung. Seingat Rio, karakter Alvin
memang kurang lebih seperti itu sejak pertama kali bertemu. Karakter yang akan
keluar di depan orang yang belum mengenalnya lebih dekat.
“Mungkin
emang karna lo berisik,” sahut Rio kalem.
Selanjutnya,
Rio merasakan bahunya dipukul pelan oleh gadis di sebelahnya ini.
“Parah
lu diem-diem sekutuan sama Ify! Mentang-mentang jatuh cinta,” tuding Sivia.
Rio
meringis, “Jatuh cinta?”
“Gue
nebak doang sih. Bener atau enggaknya, terserah elo. Tapi satu hal yang harus
lo tahu dan resapi, Ify itu sahabat gue. Jadi, lo harus betah berurusan sama
gue kalau mau deketin Ify,” ceplos Sivia.
Rio
tersenyum, “Gue tahu.”
***
Hal
paling menyebalkan adalah begitu tahu kalau Gabriel dan Ify justru sampai di
rumah Shilla lebih dulu. Padahal mereka sempat mampir ke toko dan membeli
sesuatu untuk Shilla, kata Gabriel sih sebagai salam pembuka. Mereka masih berdiri di teras sampai mobil
Rio datang bersamaan dengan mobil Alvin.
“Perasaan
tadi gue sama Rio yang duluan pergi, kok malah kalian yang udah sampai?” ceplos
Sivia membuat Ify dan Gabriel mendengus kompak.
“Harusnya
gue sama Ify yang bilang begitu,” cibir Gabriel.
Sivia
nyengir lalu beralih ke Alvin, “Eh sipit. Baru sampai juga lo?”
“Lo juga
sipit, Mbak,” balas Alvin.
“Oh
yaudah kita bikin duo sipit aja. Gimana?” cablak Sivia.
“Ogah,”
tolak Alvin mentah-mentah.
Ify geleng-geleng
kepala melihatnya. Sementara Rio dan Gabriel sibuk berkomentar mengenai nama
duo sipit yang diajukan barusan—dan ditolak. Mereka pikir Sivia sudah pensiun
dari hobi memberi nama-nama.
“Shilla
nggak denger suara mobil kalian?” tanya Alvin.
“Kata
satpamnya tadi Shilla lagi tidur. Kebetulan, tadi Gabriel ngasih usul buat
kasih surprise ulang tahun gitu. Tuh
gue taruh di situ,” jawab Ify menunjuk meja yang di atasnya terdapat roti tart
berukuran medium lengkap dengan lilin dan pisau, balon-balon warna-warni dan
beberapa snow pray.
“Jangan
ngibul. Itu ide lo. Gue kan niatnya cuma mau beli cokelat sama cemilan buat
kita semua,” elak Gabriel.
Semua
beralih menatap Ify. Cewek itu sendiri hanya mengedikkan bahu. Perhatian mereka
teralihkan saat mendengar deru motor yang memasuki gerbang rumah Shilla. Mata
mereka membulat sempurna begitu tahu pengendara motor itu adalah Cakka dan
Agni!
“Oh jadi
kalian nggak mau bagi-bagi kabar baik ke gue nih?” goda Cakka setelah membuka
helmetnya.
Agni
berdadahria terlebih dahulu sebelum akhirnya turun dari motor Cakka. Mereka
berdua lantas ikut bergabung.
“Kok
kalian di sini? Bukannya persiapan pertandingan basket?”
“Tadi pagi
Debo cerita soal Shilla. Gue juga nggak sengaja denger sedikit obrolan kalian
di UKS waktu nyari Pak Reihan. Pas mau nyamperin, gue udah ditunggu anak-anak
di lapangan. Terus juga gue sama Agni sempet liat Ify sama Gabriel di parkiran,
kita langsung yakin kalian mau ke sini,” jelas Cakka panjang lebar.
Mereka
hanya ber-oh-ria.
“Sekarang
lengkap. Mau nyamperin sekarang sebelum dia bangun dengerin kita rapat di
sini?” tawar Alvin.
“Ah iya.
Cak, lo bawa cake-nya ya! Yang lain
tolong bantuin bawa balon sama snow spray-nya,”
koor Ify.
Setelah
siap dengan alat perang masing-masing, tujuh manusia (bukan tujuh manusia
harimau ya) tersebut mengendap-endap menuju kamar Shilla. Dengan paksaan keras
dari seluruh pihak, Sivia terpaksa berada di paling belakang. Alasannya, mereka
takut kalau Sivia akan mengacau jika berada di depan. Sivia sendiri hanya bisa
pasrah karena sudah tersudut.
“Kalian
ngumpet dulu, biar gue yang ngetok kamarnya,” bisik Alvin.
Mereka
menurut. Kemudian Alvin mengetok kamar Shilla.
“Siapa?”
tanya Shilla dari dalam.
Alvin sengaja
tak menjawab, ia justru semakin gencar mengetok pintu tersebut. Shilla yang
kesal karena tidurnya terganggu lantas turun dari ranjangnya dan membuka pintu.
“Sia—loh
kok kosong? Terus tadi yang ngetok pintu siapa?”
Pertanyaannya
langsung terjawab saat Alvin, Rio, Gabriel, Ify, Sivia dan Agni berhamburan menyemprotkan snow pray ke arahnya. Berhubung tak
siap diserang dadakan seperti ini, Shilla hanya bisa berpasrah diri dan menutup
wajahnya.
“HAPPY BIRTHDAY SHILLA!!” seru mereka
semua.
Shilla
membuka matanya perlahan, menatap satu persatu orang-orang di hadapannya saat
ini. Detik selanjutnya gadis yang sudah berlumuran snow itu terpaku menyaksikan kemunculan Cakka bersama sebuah cake bertuliskan ‘Happy Birthday
Sahabat’.
“Kalian...”
Ucapan
itu menggantung. Lagi-lagi air matanya meluruh, bukan untuk kesedihan,
melainkan rasa syukur sekaligus haru. Bibir Shilla melengkung menandakan bahwa
dia sangat bahagia. Dan ternyata apa yang dikatakan Alvin terjadi, akan tiba
saat dimana ia bisa menjadi dirinya sendiri. Ia tak perlu lagi berpura-pura.
“Happy birthday Shilla... happy birthday Shilla... happy
birthday happy birthday... happy birthday Shilla...”
Lagu itu
mendadak terdengar indah di telinganya. Kemarin, hanya ada Alvin seorang diri
yang bernyanyi untuknya. Sekarang, bukan hanya Alvin.
“Tiup
lilinnya... tiup lilinnya... tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang
juga...”
“Make a wish dulu, Shil. Kemarin lo belum
sempet make a wish,” ujar Alvin
membuyarkan lamunannya.
Shilla
mengangguk. Gadis itu memejamkan mata dengan tangan menengadah.
“Tuhan,
terima kasih karena Kau selalu memberikan orang-orang baik di sekelilingku.”
Fiuh. Shilla
meniup lilin tersebut. Ya, memang bukan harapan yang dirapalkannya melainkan
sebuah ucapan terima kasih pada Tuhan. Hal yang seharusnya dilakukan Shilla
sejak dulu.
“YAAAYYY!”
Shilla
memandang nanar ke arah mereka satu persatu, “Gue nggak tahu harus bilang apa.
Kayaknya ucapan makasih nggak pernah bisa nebus kebaikan kalian. Gue minta maaf
atas semua sikap gue selama ini.”
“Kita
semua sayang sama elo, Shilla,” sahut Gabriel seraya merangkul gadis itu.
“Gabriel,
Rio, Alvin dan Cakka... maaf karena gue nggak bisa jadi sahabat yang baik. Gue
terlalu posesif, gue terlalu takut kehilangan kalian. Gue bener-bener minta
maaf.”
“Gue
maafin kok, Shil. Mana bisa sih gue marah sama elo?” sahut Cakka sambil meletakkan
cake-nya.
Sejurus
kemudian, Cakka maju selangkah untuk menghapus air mata Shilla. Dengan spontan
Shilla memeluk Cakka erat-erat.
“Thanks karna lo mau jadi sahabat gue,”
lirih Shilla.
Dia
lantas mengurai pelukannya lalu memeluk sahabat-sahabat yang lain satu persatu,
termasuk Ify, Sivia dan Agni.
“Gue
minta maaf ya, Ag. Mulai sekarang kita sahabatan ya,” kata Shilla saat memeluk
Agni.
Setelah
acara peluk-pelukan, Shilla melirik Ify yang saat ini tersenyum tipis. Lewat
sorot matanya, Shilla menyampaikan terima kasihnya pada gadis itu. Kalau bukan
karna Ify, dia tak tahu sampai kapan ia akan salah arah.
Satu
lagi, ulang tahun yang menurutnya terburuk seumur hidup justru jadi ulang tahun
terbaik. Dia tak pernah tahu bahwa merayakan ulang tahun sesederhana ini justru
lebih membahagiakan ketimbang pesta besar-besaran.
***
Lagi-lagi
ada pemandangan baru yang mencengangkan pagi ini. Apa lagi kalau bukan kedatangan The Wanted ditambah Ify,
Sivia dan Agni? Mereka tampak tertawa lepas seolah-olah tak pernah ada
peristiwa pertengkaran hebat sebelumnya. Sejurus kemudian, tawa itu menghilang
saat menyadari ada yang tidak beres di sini.
“Kenapa
foto gue dimana-mana?” desis Shilla.
Barulah
mereka sadar bahwa banyak sekali tertempel foto Shilla yang telah
dicoret-coret. Rahang Gabriel mengeras, begitu pula dengan yang lainnya.
“SIAPA
YANG PASANG INI SEMUA?!” teriak Sivia dengan garang.
Banyak
gerombolan anak yang sepertinya sudah menantikan kedatangan Shilla sedari tadi.
Sayangnya, mereka tidak tahu kalau hari ini Shilla sudah kembali mendapatkan
sahabat-sahabatnya—bahkan sahabatnya bertambah.
Shilla
menyentuh bahu Sivia lalu menggeleng pelan. Gadis itu mendesah, dia tidak akan
melawan dengan angkuh seperti dulu. Sivia lantas mengernyit.
“Ini
pasti kerjaan temen-temen sekelas gue kan?” tanya Shilla entah pada siapa.
Suasana
mendadak sepi.
“Untuk
semua orang yang pernah gue sakitin, gue... benar-benar minta maaf. Gue tahu
kesalahan gue banyak sama kalian. Gue sadar. Untuk itu, dengan rasa hormat
setinggi-tingginya, gue meminta maaf di depan kalian semua,” ujar Shilla sangat
tulus.
Kasak-kusuk
itu mulai terdengar kembali. Ada yang luluh dan langsung memaafkan, tapi ada
pula yang menatap Shilla tak suka.
“Setelah
apa yang lo lakuin selama ini, lo cuma minta maaf?”
“Nah!
Gampang banget lo minta maaf setelah sekian lama sok berkuasa.”
Shilla
meringis mendengarnya.
“Memangnya
seumur hidup kalian belum pernah bikin kesalahan? Memangnya orang yang bikin
salah nggak boleh minta maaf? Memangnya gue terlalu hina untuk dapet maaf?”
tanya Shilla beruntun dengan bibir bergetar.
“Alah
ini bagian dari profesi lo? Nggak usah drama
queen, Shil!”
“Kita di
sini udah nggak mempan!”
“Sekalipun
lo berlindung di belakang Gabriel!”
“Dasar
lu manusia! Ada orang jadi baik bukannya bersyukur malah nyirnyir! Eh gue kan
juga manusia ya,” ceplos Sivia membuat Ify dkk melotot tajam.
“Lo
juga, Siv. Bukannya lo dulu benci banget sama dia? Sekarang kok malah temenan?
Enak jilatin ludah sendiri?”
“Gue sih
paling males sama orang yang katanya nggak suka sama si A tapi ujung-ujungnya
temenan juga. Sampah.”
Sivia
melotot, lalu mencebikkan bibirnya. Belum pernah dia diserang seperti ini.
“Ternyata
bener. Mana ada dunia kejam? Yang kejam tuh bacotnya manusia,” balas Sivia
namun tak dihiraukan.
“Lo juga, Fy. Harusnya lo jauhin Shilla. Dia
kan jahat sama lo.”
Shilla
menggigit bibir bawahnya. Dia benar-benar tak kuat mendengar lontaran-lontaran
pedas dari mereka. Namun, dia lebih takut lagi jika Ify, Sivia dan Agni akan
berubah pikiran dan tidak mau jadi sahabatnya.
“Kalau
lo nyuruh gue jauhin dia karena menurut lo dia itu jahat, berarti gue juga
harus jauhin elo. Soalnya orang baik nggak ada yang nyuruh orang lain jauhin
sahabatnya,” jawab Ify tenang.
Seketika
tak ada yang berani membantah ucapan Ify. Semuanya terdiam seolah apapun yang
keluar dari bibir gadis itu adalah suatu kebenaran. Diam-diam Shilla terharu
mendengar Ify secara tidak langsung mengumumkan pada semua orang bahwa dia
adalah sahabatnya.
“Nggak
ada orang yang bener-bener baik di dunia ini. Gue yakin, setiap orang pernah
melakukan hal-hal jahat yang entah disadari atau enggak. Termasuk gue,” imbuh
Ify.
“Bukan
hanya Shilla. Kami The Wanted meminta maaf kalau selama ini kami angkuh,
sombong dan anti sosial. Untuk menebus kesalahan kami ke teman-teman sekelas,
saya akan minta supaya kami berlima dipindahkan ke kelas lain,” ujar Gabriel
angkat bicara.
“Yel,
tapi kan—“
“Nggak
pa-pa, Shil,” potong Gabriel cepat.
Koridor
yang memang didominasi anak-anak kelas XI IPA 1 lantas terdengar sibuk berbisik-bisik.
Selanjutnya, salah seorang dari mereka yang bernama Abner menghampiri The
Wanted lebih dekat.
“Gue
mewakili semuanya memaafkan kalian,” kata Abner dengan senyum lebar.
“Serius?”
pekik Cakka.
“Kami
emang udah lama nyimpan dendam sama kalian. Sama seperti kata Ify, setiap orang
pernah melakukan hal-hal jahat entah disadari atau enggak. Dendam itu juga jahat kan?” balas Abner.
“Thank you so much,” desis Shilla.
“Jangan
diulangi lagi ya. Terutama lo Shilla,” kata Abner.
Shilla
menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar. Yang lain pun ikut tersenyum. Selanjutnya,
teman-teman sekelas mereka menyebar untuk melepas foto-foto Shilla dan
membuangnya ke tempat sampah.
“Selamat
datang di XI IPA 1 Shilla, Gabriel, Rio, Alvin dan Cakka tanpa embel-embel The
Wanted.”
Mereka semua
lantas saling bersalaman. Para guru yang kebetulan lewat dan menyaksikan sedari
tadi ikut terharu. Akhirnya, setelah sekian lama, kelompok anti sosial itu membuka
diri.
“Heh lu
yang tadi ngatain gue!” semprot Sivia pada lelaki sedang bersalaman dengan
Alvin.
“Ampun,
Siv. Kan biar total,” sahut lelaki itu.
“Bodo
amat lu bodo amat!”
Sivia
menarik kemeja pemuda tersebut hingga dia nyaris terjengkang.
“Jiwa
premannya keluar,” ceplos Rio.
Terjadilah
aksi balas dendam dari Sivia. Mereka yang menyaksikan tertawa geli melihatnya.
“Banyak orang lebih milih jalan mem-bully ketika seseorang
melakukan kesalahan dibanding menegur. Alasannya simple, karena mereka merasa sudah benar. Tapi, terkadang mereka lupa kalau
Tuhan bisa aja kasih skenario yang sama seperti yang mereka bully.”
***
Bersambung...
Huhu
gimana? Lebih suka The Wanted apa Fabulous Four? (?) Gak deng, maksudnya gimana
part ini? Saya tunggu komentarnya ya demi kebaikan bersama._. part yang
selanjutnya dan seterusnya mungkin akan lebih banyak bahas masalah kisah
percintaan mereka. Semoga couple favorite kalian jadian ya :v
Follow ask.fm/fannyslma
1 komentar:
Lama menunggu akhirnya ada kelajutanya, makin seru aja
Posting Komentar