"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 02 Juli 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 13

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

#BangkitkanCRAGSISA !! Apa kabar? Masih setia nunggu lanjutan WYHM? Sebenernya saya udah lepas dari perkuliahan sejak minggu lalu dan IP sudah keluar, tapi baru sempet pegang laptop jadi baru dilanjut. Buat yang nungguin, terima kasih banyak. Insya Allah part ini cukup panjang.

Hope you like it...

13



Sudah sewindu ku didekatmu
Ada disetiap pagi, disepanjang harimu
Tak mungkin bila engkau tak tahu
Bila kumenyimpan rasa yang kupendam sejak lama
Suara pintu yang dibuka membuat Alvin reflek mencabut headsetnya yang tersumpal di telinga sejak satu jam yang lalu. Pemuda itu berbalik dan mendapati seorang pria mengenakan jas lengkap dengan wajah bossy-nya. Pria itu adalah papanya, seorang workholic yang tak bisa ditemui di rumahnya sendiri.
“Papa pikir kamu nggak akan datang,” gumam papanya.
Alvin hanya tersenyum getir lalu duduk di hadapan papanya. Bahkan, Alvin sudah menunggu selama satu jam hanya untuk bertemu papanya sendiri.
“Papa mau bicara apa?” tanya Alvin to the point.
Sejak mengenal The Wanted, Alvin lebih suka bersama mereka dibandingkan dengan keluarganya sendiri. Apalagi sejak terjadinya peristiwa kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa mamanya.
“Kamu ada masalah apa dengan Deva?”
Sejurus kemudian Alvin membeku. Tak pernah sekalipun papanya membahas mengenai dirinya dan Deva. Pria itu terlalu sibuk dengan bisnis, melupakan segalanya hanya untuk urusan kantor. Dan barusan, papanya itu justru menanyakan sesuatu disaat yang tidak tepat karena sudah beberapa minggu Alvin menganggap tak ada apa-apa yang sedang terjadi diantara dia dan kakaknya.
“Alvin, Papa tahu kalau Papa memang bukan papa yang baik buat kamu dan Deva. Papa selalu sibuk sampai tidak sadar telah menelantarkan kamu dan Deva,” ujar papanya lalu menghela nafas sejenak.
Papanya menarik figura di sebelah Alvin. Barulah Alvin sadar ada foto ibunya di sana. Ternyata papanya tak pernah melupakan mendiang ibunya. Nafas Alvin tertahan saat ia menyaksikan sendiri sorot mata yang penuh rindu itu kala menatap foto ibunya. Sorot mata yang selama ini seolah menyiratkan ketegaran, tapi ternyata menyimpan makna lain.
 “Waktu kamu dan Deva masih kecil, mamamu seperti orang paling bahagia di dunia. Kalian anugerah yang sampai sekarang tak bisa kami bayar dengan apapun, kecuali seluruh hidup kami. Kalian sangat akur dan akrab. Saat itu, mamamu sudah divonis dokter mengidap leukimia.
“Tapi, mamamu merasa siap meninggalkan kalian karena melihat keakraban kalian yang luar biasa. Mamamu percaya kalian bisa saling menguatkan. Sampai kamu kenal Shilla, Cakka, Rio dan Gabriel. Saat itu Deva jadi sering mengurung diri di kamar, melihat kalian main dari kejauhan, dia jadi pendiam dan sampai akhirnya kami tahu dia kehilangan kamu,” lirih papanya.
Alvin tak bicara sama sekali dan sengaja membiarkan papanya menceritakan semuanya. Semuanya.
“Penyakit mamamu semakin menjadi. Waktu itu Papa merasa nggak berguna karna nggak bisa berbuat apa-apa. Satu hari setelah kepergian mamamu, Papa menemukan surat di bawah bantal tidurnya.”
Detik berikutnya papanya menyerahkan sepucuk surat dari sakunya pada Alvin. Tanpa berujar apa-apa, Alvin membaca surat tersebut.
Dear suamiku, teman hidupku dan ayah dari anak-anakku...
Sayang, maaf jika aku yang pergi meninggalkanmu terlebih dahulu. Dulu kita sempat berjanji untuk menjaga Deva dan Alvin bersama-sama, untuk menjadi saksi perjalanan mereka menuju masa depan, tapi ternyata Tuhan ingin kau menjaga dan menjadi saksi perjalanan hidup buah hati kita untukku. Terima kasih untuk semua yang telah kamu berikan padaku, terima kasih karena telah menemaniku hingga ajal akan menjemputku.
Berjanjilah padaku, sibukkan dirimu. Bukan untuk melupakanku. Ini untuk Deva dan Alvin, supaya mereka memiliki waktu hanya berdua seperti dulu. Aku yakin mereka akan tumbuh menjadi laki-laki yang kita impikan. Lebih dari itu, aku yakin anak-anakku akan selalu saling menyayangi.
Untukmu, selamat karena kamulah peraduan terakhirku. Aku mencintaimu...
Tak terasa titik bening itu mulai mengalir menelusuri pipi Alvin. Bayangan kebersamaannya dengan mendiang ibunya tiba-tiba terlintas. Sejurus kemudian, dia merasakan tepukan pelan dari papanya.
“Deva tahu?” tanya Alvin parau.
Papanya menggelengkan kepala, “Asal kamu tahu, Vin. Selama ini Papa nggak pernah maksa Deva untuk bekerja di kantor ini. Dia sendiri yang datang ke Papa dan memohon. Itu karena dia nggak mau lama-lama di rumah dan ketemu kamu.”
Hati Alvin mencelos mendengarnya. Deva menghindarinya mati-matian. Saat sekolah pun Deva lebih memilih sekolah berasrama.
“Deva begitu karena dia pikir kamu sudah punya The Wanted. Di lain sisi, Papa tahu kamu kecewa sejak Deva memutuskan untuk tinggal di asrama. Kamu berpikir kalau Deva sengaja meninggalkan kamu sendirian setelah mamamu meninggalkan kita. Iya kan, Vin?” ceplos papanya membuat Alvin tertegun.
“Pa...”
“Akhiri semuanya, Vin. Papa dan Mama ingin melihat anak-anak kami saling menyayangi, bukan saling menyakiti,” ujar papanya lalu menepuk bahu Alvin sekali lagi sebagai tanda bahwa dia percaya padanya.
Alvin menganggukkan kepala, “Alvin sama Deva akan baik-baik aja. Papa nggak perlu khawatir dan merasa bersalah sama Mama.”
Papanya sontak memeluk Alvin. Pemuda itu sendiri tak menolak.
“Terakhir kali Papa peluk kamu, Papa masih kuat ngangkat kamu,” kekeh papanya.
Alvin ikut tertawa lalu teringat mamanya.
***
Budi Karya masih heboh membahas kecelakaan yang terjadi di lapangan meski kejadian itu sudah berlalu dua hari. Apalagi ketika melihat Ify berjalan masih menggunakan tongkat dan dibantu oleh Sivia dan Debo, mereka lantas kembali membahas kejamnya Shilla yang masih tetap pada pendiriannya.
Menjadi topik pembicaraan beberapa hari membuat Ify risih. Meski namanya dilambungkan, ia tak suka mendengar orang-orang yang terus mencaci Shilla. Bahkan, semalam Gabriel menelponnya untuk curhat. Pemuda itu ditegur kepala sekolah. Biar bagaimanapun, kabar ini akan merugikan nama baik sekolah jika dibesar-besarkan. Maka dari itu, keputusan Ify untuk diam seperti kemarin-kemarin telah sirna. Gadis itu tak segan menegur orang-orang yang masih menjadikan topik tersebut menjadi bahan gosip.
Pagi ini Ify kembali menggunakan tongkatnya sebagai alat bantu berjalan. Di samping kanan kirinya ada Sivia dan Debo seperti biasa. Begitu mendengar komplotan anak di koridor menyebutkan namanya dan Shilla, Ify langsung paham mengenai apa yang mereka bicarakan. Sontak gadis itu menghampiri.
“Kalian bisa stop bicarain masalah itu nggak sih?” tanya Ify dengan nada kesal.
“Tapi kan kita nggak ngejelekin elo, Fy. Lagian emang bener kok kalo Shilla itu sombong, udah dibantuin malah nggak ada ucapan terima kasih,” balas salah satu anak dengan nyolot.
Untuk kali ini, entah mengapa Sivia dan Debo memilih untuk diam.
“Kalopun dia bilang makasih ke gue, dia harus bikin pengumuman supaya kalian tahu gitu? Nggak kan?” tandas Ify tak kalah nyolot.
Mereka terkesiap mendengar Ify yang biasanya tenang tiba-tiba jadi seperti itu. Di belakang Ify, si Sivia dan Debo sibuk cekikikan melihat ekspresi anak-anak tersebut.
“Kok lo jadi belain dia, Fy? Lihat dong dia bikin kaki lo sampe kayak gitu!”
Andai kakinya tak sakit, sudah pasti Ify menghabisi anak-anak ini dengan karatenya. Dia benar-benar gemas.
“Kaki gue kayak gini gara-gara jatoh, bukan karna dipukulin Shilla. Nih ya gue kasih tahu ke kalian. Gue berbuat baik sama orang itu tulus, kalo gue berharap dia balik baik sama gue itu artinya pamrih. Paham?” cerocos Ify.
Mereka terdiam mendengarkan ucapan gadis itu. Jadi, Ify menganggap mereka sudah paham. Tapi tampaknya gadis itu masih belum puas.
“Heran sama kalian. Nggak inget ulang tahun sekolah kita tahun lalu bisa keren banget karena siapa? Coba sekali-kali buka mata lebar-lebar di depan kaca, siapa tahu belek kalian nutupin kebaikan orang.”
Memang benar yang dikatakan Ify. Berkat Shilla yang kenal dengan penyanyi-penyanyi kelas atas, sekolah mereka dapat dengan mudah mengundang disaat jadwal mereka sedang padat. Lantas, setelah berkata demikian, Ify melanjutkan langkahnya menuju kelas bersama Debo dan Sivia.
Diam-diam, Shilla menyaksikan itu semua dari sudut yang tak terlihat oleh siapapun. Gadis itu memejamkan matanya dan mengambil jalan lain untuk menuju kelas. Sementara itu, beberapa anak yang terbengong setelah diceramahi oleh Ify masih tak berkutik.
“Kayaknya Ify sama Sivia tukeran badan,” cetus salah seorang diantara mereka.
***
Rio memasuki kelas dan lantas duduk di bangkunya. Pemuda itu memejamkan mata, berusaha menahan kantuk yang kembali menyergap. Entah mengapa menjadi ‘pesuruh’ papanya lama-lama membuatnya lelah. Apalagi acara belajar bareng yang dulu dijanjikannya pada Bu Maryam harus ditunda sementara, setidaknya sampai Ify bisa berjalan tanpa tongkat.
Sejak mengantarkan gadis itu pulang, mereka tak bicara apa-apa lagi. Rio bahkan sengaja mengabaikan chat dari Ify. Entah apa yang membuat pemuda ini memilih untuk menghindari gadis itu. Yang jelas, Rio hanya ingin menyendiri hingga dia benar-benar siap terlihat menyedihkan di mata Ify.
“Rio.”
Mendengar namanya disebut, pemuda itu mengangkat kepala dan mendapati sosok Shilla sudah ada di hadapannya.
“Apa, Shil?” tanyanya.
“Hmm...”
Rio mengerutkan dahinya seraya menunggu apa yang akan dikatakan Shilla padanya. Tampak sekali bahwa gadis itu sedang memikirkan sesuatu.
“Undangan buat pesta ulang tahun gue gimana? Siap?” tanya Shilla.
“Oh itu... bentar gue ambil,” sahut Rio lalu mulai membongkar isi tasnya untuk mengambil undangan pesta ulang tahun Shilla yang digelar minggu ini.
Berhubung Rio sudah mengenal pihak EO maka Shilla meminta bantuan pemuda itu. Lagipula Mas Dayat dengan senang hati turut serta membantunya.
“Undangannya udah dicetak ya? Wih keren juga hasilnya,” cetus Gabriel yang baru datang dan diikuti Alvin.
“Idenya Alvin mana mungkin biasa sih,” timpal Rio.
“Uh tersanjung gue,” sahut Alvin datar lalu meletakkan tasnya di sebelah Shilla.
“Muka lo kusut banget, Yo,” imbuhnya.
Rio tersenyum rikuh, “Udah biasa ah.”
“Eh ini nggak dibagiin sekarang, Shil?” tanya Gabriel.
“Kayaknya nanti aja pas sebelum istirahat. Ini masih sepi begini,” jawab Shilla.
“Yel, gue boleh ijin ke rooftop?” tanya Rio.
“Mau tidur?”
Rio hanya menganggukkan kepalanya. Selain karena ingin tidur, dia juga rindu dengan suasana rooftop yang telah lama tak ia sambangi. Setiap kali ada kesempatan ke sana, selalu saja tertunda.
“Nanti gue bilangin Bu Maryam,” kata Gabriel pengertian.
Tanpa berucap terima kasih, Rio melenggang keluar kelas. Persetan dengan amukan Bu Maryam. Dia benar-benar pusing saat ini. Percakapannya dengan Reon Haling—papanya—tadi pagi masih membekas.
“Kamu belajar musik lagi?” tanya Reon Haling dengan rahang mengeras.
“Enggak, Pa,” jawab Rio tetap mengunyah nasi gorengnya meski dia sendiri sempat terkejut.
“Papa harap gitar di gazebo bukan habis dimainin sama kamu. Sampai kapanpun, Papa nggak akan terima kalau kamu main musik. Kamu harus selalu ingat kalau kamu adalah calon penerus keluarga Haling satu-satunya.”
Sial. Rio terus mengingatnya. Pemuda itu berjalan cepat menuju rooftop, tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya dengan bingung.
“Rio!”
Langkah Rio terhenti mendengar suara yang amat dihafalnya. Ify. Entah darimana datangnya gadis itu. Masih dengan tongkatnya, Ify mencoba menghampiri dirinya.
“Udah tahu pake tongkat gini, masih aja keliaran sendirian,” dumel pemuda itu lantas menahan Ify supaya tetap di posisinya. Selanjutnya, pemuda itu yang mendekat.
“Lo ngehindarin gue?” tanya Ify to the point.
Rio sedikit terkejut. Pasalnya, dia lupa kalau gadis itu sangat peka.
“Sivia mana?” tanya Rio.
“Jangan ngalihin pembicaraan, Rio,” tandas Ify.
“Lo harus selalu tahu kalau lo nggak pernah sendiri,” imbuhnya tanpa mengalihkan pandangan dari pemuda di hadapannya.
“Boleh gue peluk lo sebentar?” tanya Rio lirih.
Tanpa berpikir lagi, gadis itu menganggukkan kepalanya. Selanjutnya, Rio menghapus jarak diantara mereka, menyandarkan kelelahannya di bahu Ify.
***
“Ify mana, Siv?” tanya Debo pada Sivia.
“Tadi dia ijin ke UKS,” jawab Sivia.
“Kok nggak lo temenin?” tanya Debo heran.
Sivia mendesah, “Bacot banget sih lu. Dia lagi mau sendiri. Udah sono balik ke bangku lo.”
“Yailah ini emak-emak satu nyebelin banget,” cibir Debo tanpa dosa lalu kembali ke bangkunya.
Detik berikutnya Debo meringis karena  kepalanya terkena lemparan buku dari Sivia. Debo pun berbalik setelah memungut buku yang mengenai kepalanya, saat hendak melemparkan buku tersebut guru yang mengajar tiba-tiba masuk ke kelas dan menjadikan niat  Debo urung. Sivia tertawa puas menyaksikannya. Mereka lantas fokus pada pelajaran.
Sampai bel istirahat berkumandang, Ify masih belum menampakkan batang hidungnya. Sivia pun berinisiatif untuk mencari sahabatnya itu di UKS sementara Debo, Cakka dan Agni ada rapat.
Langkah Sivia terhenti saat melewati kelas XI IPA 1, kelas The Wanted. Semuanya tampak masih lengkap di dalam sana, termasuk Cakka yang seharusnya mengikuti rapat. Sivia memperhatikan suasana kelas tersebut. Di depan tampak Gabriel dan Shilla berdiri bersebelahan dengan sesuatu di tangan mereka.
“Jadi begini, gue ngundang kalian semua di pesta ulang tahun gue minggu ini.”
Sivia mengangkat alisnya, “Shilla ngundang semua anak di kelasnya?”
“Yel, bagiin undangannya,” kata Shilla.
Gabriel mengangguk patuh lalu mulai membagikan sesuatu yang ada di tangannya—yang ternyata undangan pesta ulang tahun—begitu pula dengan Shilla. Seperti dugaan Sivia, Cakka langsung berdiri dari bangkunya dan membuat suasana yang kaku tersebut menjadi lebih kaku.
“Cak,” panggil Gabriel.
“Gue udah buang waktu lima menit untuk rapat. Kalo masih keukeuh, taroh aja di atas meja,” ujar Cakka lalu meninggalkan kelas.
Pemuda itu tak sempat melihat Sivia karena terlalu terburu-buru. Selanjutnya, Sivia kembali memperhatikan keadaan kelas tersebut. Gabriel sendiri melakukan apa yang diucapkan Cakka. Dia sengaja meletakkan undangan itu di atas meja.
“Jangan lupa dateng,” kata Gabriel pada teman-teman sekelas.
The Wanted lalu keluar kelas. Barulah Sivia sadar kalau Rio tak ada di sana. Sepeninggalan The Wanted, Sivia meringis menyaksikan anak-anak tersebut meremas-remas undangan tersebut, bahkan ada beberapa yang sampai menginjaknya.
“Astaga! Ify!” seru Sivia teringat Ify.
Buru-buru gadis itu mencari sahabatnya.
***
Kantin adalah tujuan Alvin, Shilla dan Gabriel. Mereka mengobrol mengenai pesta ulang tahun Shilla yang akan berlangsung empat hari lagi sambil menunggu pesanan. Selain itu, mereka juga menunggu Rio yang tak memberi kabar apa-apa. Gabriel sudah mencoba menelpon namun tak ada jawaban apa-apa.
“Angel dateng?” tanya Alvin.
“Nggak tahu. Tapi kayaknya enggak. Brian kan launching album, jadi mungkin Angel nemenin Brian,” jawab Shilla sekenanya.
“Lo ngundang siapa aja, Shil?” nimbrung Gabriel.
“Anak-anak kelas kita aja. Para seleb lagi sibuk-sibuknya. Pas gue bilang mau ngadain pesta mereka udah minta maaf karna nggak akan bisa dateng,” curhat Shilla lalu menunjukkan chat-nya.
“Lo nggak ngundang klub model?” tanya Alvin.
Shilla menggelengkan kepala, “Anak-anak sekelas kayaknya udah cukup. Entahlah tapi rasanya ulang tahun gue yang ini bakalan sepi.”
Alvin mengerti apa yang dirasakan Shilla, apalagi dengan rangkaian kejadian yang terjadi berturut-turut. Kepergian Cakka, perceraian orang tuanya dan masalah cemoohan anak-anak Budi Karya atas kejadian di lapangan.
“Rio gimana, Yel?” tanya Shilla mengalihkan pembicaraan.
“Nggak tahu. Dia nggak bisa dihubungi,” jawab Gabriel masih terus berkutat dengan ponselnya.
“Paling masih tidur,” nimbrung Alvin.
Gabriel hanya mengangguk.
Di lain sisi, Rio justru berada di UKS sejak bertemu Ify. Rencananya untuk ke rooftop ia batalkan lagi karena Ify tak mungkin naik tangga dengan kakinya yang belum sembuh, kecuali gadis itu mau digendong. Tapi Rio sudah yakin Ify akan bersikeras menolak sebelum dia sempat menawarkan. Jadilah Rio yang menemani Ify di UKS.
“Lo kenapa ngehindarin gue, Yo?” tanya Ify.
Rio mendesah, “Bukan begitu. Gue cuma merasa...”
“Nggak enak sama gue? Karena Shilla?” tebak Ify.
Pemuda itu tersenyum tipis. Selalu. Ify dapat membaca dengan tepat.
“Semua yang terjadi di lapangan itu cuma ketidaksengajaan. Dan yang terpenting, nggak ada hubungannya sama elo. Lo sahabat Shilla, wajar kalau lo ada di pihak dia dan gue nggak pernah mempermasalahkan,” ujar Ify panjang lebar.
“Sori, gue—“
“Jangan pernah merasa bersalah, lo nggak salah apa-apa,” potong Ify.
“Kenapa rasanya sulit jadi diri sendiri?” tanya Rio memijat keningnya.
Ify tersenyum, “Cukup lo lepasin topeng lo dan elo akan jadi diri sendiri.”
“Nggak semudah itu,” elak Rio.
“Lo sendiri yang bikin semuanya jadi nggak mudah. Lo lebih milih untuk tetap bertahan disaat harusnya lo menyerang.”
“Maksudnya gue harus lepas dari Shilla?” tanya Rio retoris.
“Gue nggak bilang begitu. Intinya, lo tahu apa yang seharusnya lo lakuin tapi nggak lo lakuin. Percaya sama gue, semuanya akan jadi lebih mudah kalau lo memandangnya dari sudut yang benar.”
Pembicaraan mereka terhenti ketika Sivia tiba-tiba menerobos masuk ke UKS. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya, pantas saja tadi dia tak melihat Rio, ternyata dia bersama sahabatnya.
“Berduaan di UKS yang ketiga setan loh,” goda Sivia.
“Iya elo setannya,” dengus Ify.
“Buset dah segitu kecewanya gue dateng. Eh eh bercanda, Fy! Nah elu ngapain di sini, Yo? Sakit juga?” ceplos Sivia.
Rio tersenyum tipis, “Konsultasi sama Ify.”
“Sejak kapan lo buka jasa konsultasi, Fy? Kok gue nggak tahu?” tanya Sivia.
“Sejak gue pake tongkat,” jawab Ify asal.
“Oh iya, kebetulan banget. Gue sama Gabriel mau ngajakin kalian dateng ke pesta ulang tahunnya Shilla,” ucap Rio.
Sivia jadi teringat masalah undangan yang dibagikan ke teman-teman sekelas Shilla tadi. Dia ingin memberitahu pada Rio tapi diurungkan.
“Kayaknya kita nggak usah ikut deh, Yo,” tolak Sivia. Ify mengangguk.
“Kenapa?”
“Ya kan lo tahu sendiri Shilla ke gue sama Sivia itu kayak gimana. Ntar yang ada pestanya bakalan kacau. Lagian dia nggak ngundang gue sama Sivia,” jawab Ify mewakili isi hatinya dan juga Sivia.
“Ada kita atau enggak kayaknya emang bakalan kacau deh,” batin Sivia.
“Justru itu, gue sama Gabriel mau nyoba buka hati Shilla sekalian hmm... kalian tahu lah selama ini gue sama Gabriel deket sama kalian tanpa sepengetahuan dia,” desak Rio.
“Biar kita pikir-pikir dulu deh,” usul Sivia.
Rio hanya menganggukkan kepala.
***
“Kak, kok nggak pernah belajar sama Kak Rio lagi?” tanya Ozy.
Ify yang sedang asik menikmati novelnya hanya mendengus.
“Putus ya?” selidik Ozy.
Spontan Ify mengalihkan perhatiannya, “Emang kapan gue sama dia jadian?” tanya Ify sewot.
“Gue pikir udah jadian. Eh besok lo lepas perban kan?” tanya Ozy.
“Iya. Besok gue ke rumah sakit bareng Sivia, mau ikut?” balas Ify.
Seperti yang telah dikatakan dokter, kaki Ify akan pulih dalam jangka seminggu. Dia juga sudah tak menggunakan tongkat meskipun jalannya sedikit pincang.
“Mau banget gue temenin?” goda Ozy.
Ify memutar bola matanya dengan malas, “Justru kalo lo ikut malah bikin malu. Ntar pasti suster-suster rumah sakit lo gombalin.”
Anjir. Nggak gitu juga kali,” dengus Ozy.
“Hehe gue lupa lo udah punya cewek. Siapa tuh namanya? Icha?”
“Acha,” ralat Ozy.
“Nah iya itu. Kapan mau kenalin dia ke gue? Apa jangan-jangan lo nemu dia di RSJ makanya lo takut ngenalin ke gue?” ceplos Ify.
“Lu tuh penghuni RSJ! Lagian gue ngapain main ke RSJ?” sewot Ozy.
“Dia tuh mau sama gue soalnya gue cakep,” lanjut Ozy.
Ify lantas pura-pura muntah, “Cakep kalo dilihat dari Arab.”
“Onta dong yang lihat? Onta aja ngakuin gue cakep ya,” kekeh Ozy.
“Berarti lo cakepnya selevel sama Onta, bukan level Acha,” balas Ify sedikit nyolot.
“Kok kayaknya lo sensi gitu sih?” sengit Ozy.
“Habisan gue nggak percaya ada cewek yang mau sama lo, kecuali dia gila. Mana ada sih cewek yang mau sama cowok ngeselin, rese, suka gangguin kakaknya kayak elo?” cablak Ify yang membuat Ozy reflek melemparkan bantal ke wajah kakaknya.
“Pantesan lo jomblo, Kak. Sukanya sirik sama yang pacaran mulu,” cibir Ozy lalu menjauh sebelum jadi korban lemparan bantal.
“Sial! Gue doain lo diputusin!” cerca Ify.
“JOMBLO SUKA NGIRIIIIII!!” teriak Ozy yang lari ke tangga.
“OZYYYY!!!! AWAS LU!!”
***
Sudah seminggu Ify mengenakan tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan, kini ia bisa berjalan normal kembali. Meski bekas lukanya masih ada, yang terpenting dia tidak perlu merepotkan Sivia dan Debo lagi. Bahkan sekarang Ify memutuskan untuk mentraktir Sivia sebagai ucapan terima kasih.
Mereka berdua menyusuri Mall setelah puas makan besar berhubung tadi pagi tidak sempat sarapan. Sebenarnya tujuan mereka bukan hanya untuk makan, tapi juga mencari kado untuk Shilla berhubung mereka sudah menyetujui ajakan Rio dan Gabriel—datang ke pesta ulang tahun Shilla nanti malam.
“Enaknya kasih kado apa ya?” tanya Ify.
Sivia mengedikkan bahu, “Dia kan bisa beli yang dipingin tanpa dikado.”
“Iya juga sih,” gumam Ify lalu mengedarkan pandangan.
“Susah beneran deh nyari kado buat dia. Kita udah muterin Mall segede ini loh tapi nggak nemu juga. Gabriel aja ngado heels mahal, belum lagi Rio ngado tiket konser. Ya kali kita ngadoin dia sendal jepit,” cerocos Sivia.
Ify jadi ikut bingung. Lebih bingung lagi uangnya dan Sivia sama-sama nge-pas. Meski mereka anak konglomerat, orang tua mereka sama-sama mengajarkan untuk membeli sesuatu dengan menabung. Intinya, tidak mungkin keduanya minta uang untuk membelikan kado Shilla.
Dress itu boleh juga, Siv,” ujar Ify menunjuk dress yang dipajang.
“Ya udah kita lihat dulu deh,” sahut Sivia.
Mereka lantas mendekati dress berwarna pink tersebut. Detik berikutnya baik Ify maupun Sivia sama-sama terbelalak membaca harganya.
“Anjerrr lima belas juta dress apaan iniii,” pekik Sivia.
“Duit gue aja nggak ada sejuta,” imbuh Ify meneguk ludahnya.
“Beli sneakers yang dibayarin Gabriel aja gue nggak mampu, apalagi dress model beginian. Ckckck,” decak Sivia.
“Gue nyerah deh, Siv.”
Dua gadis itu menghela nafas panjang. Tiba-tiba terlintas sebuah ide di otak Sivia.
“GUE TAHUUU!!” seru Sivia tiba-tiba.
“Najis suara  lo toa banget jir. Tahu apaan sih?” sahut Ify.
“Mending kita bikin aja kadonya. Selain mudah, kita juga nggak perlu keluar duit. Gimana?” usul Sivia.
“Tapi tetep aja masih harus mikir bikin apaan,” dengus Ify.
Sivia berdecak, “Ngapain mikir lagi? Gue jago gambar, lo penuh ide-ide kreatif. Kita manfaatin lah! Gimana?”
Ify berpikir sejenak sampai akhirnya dia berkata, “SIVIA! TUMBEN ELO PINTER!!!”
***
Shilla berdandan ala cinderella di pesta ulang tahunnya. Dress berwarna biru muda, rambut dicepol dan dihias dengan mahkota, serta kakinya dihiasi sepatu kaca. Malam ini gadis itu tampil layaknya putri di kerajaan dongeng. Dengan make up yang tidak terlalu tebal tapi tetap membuatnya terlihat elegant, Shilla menuruni tangga. Gadis itu memang memilih rumahnya sendiri sebagai lokasi pesta.
“Kok masih sepi?” gumam Shilla.
Dia menatap jam dinding yang tergantung. Lima menit lagi pesta dimulai tetapi belum ada seorangpun yang datang, termasuk The Wanted. Tak lama kemudian, dia mendengar suara mobil terparkir di halaman rumahnya. Shilla buru-buru keluar untuk menyambut tamu pertamanya malam ini. Tanpa disangka, orang pertama itu adalah Alvin.
“Gue dapet sambutan spesial ya?” tanya Alvin seraya terkekeh.
“Iya,” balas Shilla diiringi tawanya.
“Cantik,” ujar Alvin memandangi gadis di hadapannya tersebut.
Gadis yang bertahun-tahun mencuri hatinya. Seperti yang Alvin pernah katakan, dalam keadaan apapun gadis ini akan selalu terlihat cantik di matanya.
Thanks,” kata Shilla.
Selanjutnya, dia kembali sibuk memandangi gerbang rumahnya. Belum ada tamu lagi. Shilla mendesah, entah mengapa perasaannya saat ini sulit dijelaskan. Alvin yang mengerti kegusaran gadis itu lantas menyerahkan kado supaya Shilla berhenti memandangi gerbang.
“Nggak mau dibuka?” tanya Alvin.
“Nanti aja. Disimpen dulu biar surprise,” jawab Shilla cengengesan.
Sudah setengah jam berlalu dari jam acara yang dituliskan di dalam undangan. Alvin bahkan sudah menghabiskan dua gelas minuman. Sementara itu, Shilla sudah pasrah.
“Kita tunggu. Mungkin pada kejebak macet. Tadi pas gue sampe  sini, Gabriel telpon pake nomor Rio katanya jalanan rame banget jadi mereka telat ke sini,” ucap Alvin menenangkan.
“Gabriel bareng Rio?” tanya Shilla.
“Iya. Mobil Rio mogok.”
Satu jam berlalu. Tepat saat itu, mobil Gabriel melewati gerbang rumahnya dan terparkir di halaman. Sejurus kemudian, ada mobil lain mengikuti. Alvin dapat melihat wajah Shilla berubah cerah. Namun ekspresi bahagia itu menghilang saat Gabriel turun dari mobilnya bukan hanya bersama Rio, melainkan bersama Alyssa dan temannya. Lebih terkejut lagi saat sadar bahwa mobil di belakang mobil Gabriel adalah milik Cakka. Dia datang bersama Agni.
“Sivia?” gumam Alvin terkejut.
Mereka berenam—Gabriel, Rio, Ify, Sivia, Cakka dan Agni—menghampiri Shilla dan Alvin  yang masih terpaku.
Happy birthday, Ashilla,” ucap Gabriel.
Happy birthday, Shil,” lanjut Rio.
“Kalian ngapain ke sini?” tanya Shilla dingin.
“Hm, Shilla sama Alvin kenalin ini Ify sama Sivia. Mereka sengaja gue ajak ke sini buat ramein ulang tahun lo, Shil,” ucap Gabriel.
“Berapa lama, Yel?” tanya Shilla tak nyambung.
“Berapa lama kalian sembunyiin ini?” imbuhnya.
Baik Gabriel maupun Rio saling pandang.
“Sori, Shil. Kami nggak ada maksud nyembunyiin ini. Gue, Gabriel, Ify sama Sivia emang udah cukup lama temenan,” jawab Rio.
Mata Shilla memanas mendengarnya. “Kalian mau ngikutin jejak Cakka?”
Cakka mendongak karena namanya disebut-sebut.
“Shilla—“
“Gue nggak kenal sama lo,” potong Shilla.
“Mendingan kalian semua pulang. Gue nggak sudi liat kalian di rumah gue! Pergi!” usir Shilla.
“Kita ke sini datang baik-baik. Kita ke sini mau rayain ulang tahun lo,” tandas Ify.
“Apa lagi, Fy? Nggak cukup lo liat gue dimaki-maki anak-anak satu sekolah? Sekarang lo mau ngambil sahabat-sahabat gue?” balas Shilla.
“Kita nggak ngambil sahabat-sahabat lo! Lo tuh nggak tahu diuntung ya? Gabriel sama Rio bela-belain ke sini buat elo dan balasan lo kayak gini?” sengit Sivia yang tak tahan. Ify sudah memperingatkan Sivia untuk tenang, tetapi kesabarannya sudah habis.
“Sayangnya gue nggak butuh dibela-belain sama pengkhianat,” balas Shilla tak kalah sengit.
“Shil, please. Jangan bikin gue capek sama The Wanted,” kata Gabriel tiba-tiba.
Shilla menggenggam kado Alvin erat-erat untuk mencari kekuatan. Tiba-tiba dia merasa tak ada lagi oksigen di sekitarnya. Sesak. Terhimpit. Dia tak tahu harus berbuat apa di hadapan Gabriel. Marah? Kecewa? Sedih?
“Lo capek? Gue juga capek, Yel! Gue capek dibohongi! Oke, mulai detik ini nggak ada yang namanya The Wanted. Mulai detik ini, The Wanted bubar. Puas kan lo?” balas Shilla pahit dengan penuh emosi lalu berlari ke dalam kamarnya.
“Gue kejar Shilla dulu. Mending sekarang kalian pulang,” kata Alvin datar.
Pemuda itu lantas menyusul Shilla.
Masih tak ada yang bergerak. Cakka memandang nanar ke arah dalam lalu memandang kadonya. Padahal dia berniat memberi surprise pada Shilla, tapi sepertinya Shilla tak bisa menerima kehadirannya. Sedangkan Gabriel, dia menyesali apa yang telah terlontar dari bibirnya.
“Harusnya gue nggak ngomong begitu,” sesal Gabriel.
Rio lantas meletakkan tangannya di bahu Gabriel, “Nggak perlu menyesal. Mending kita turutin ucapan Alvin. Kalo kita maksa buat di sini nggak akan ngefek apa-apa, lo tahu sendiri watak Shilla gimana.”
“Kita pulang aja ya?” ajak Gabriel.
“Bentar, Yel. Gue mau naruh ini,” ujar Ify mengacungkan kadonya.
Gadis itu sengaja meletakkan kadonya di atas meja. Yang lain melakukan hal yang sama.
***
Hari yang paling ditakutkan Shilla akhirnya datang juga. Hari dimana semua orang perlahan meninggalkannya. Sendirian. Kali ini, tak ada tangis seperti kemarin, seperti ketika Cakka dan kedua orang tuanya berlari meninggalkannya. Dia sudah berjanji untuk tidak menangis hari ini, di hari ulang tahunnya.
Shilla menghela nafas, berusaha menetralisir kepahitan. Gadis itu memejamkan matanya. Mengapa rasanya hampa?
“Tuan puteri....”
Panggilan itu membuat Shilla membuka mata dan terkejut atas kehadiran Alvin. Sejurus kemudian, dia melanggar janjinya untuk tetap kuat. Pertahanannya runtuh. Air matanya meluruh dan menyatu dalam dekapan Alvin, satu-satunya orang yang masih ada di sampingnya saat ini.
“Kenapa musti gue, Vin? Kenapa semua orang ninggalin gue? Kenapa, Vin?” lirih Shilla dengan isakannya.
Alvin semakin mempererat rengkuhannya, “Ada gue, Tuan Puteri.”
Kalimat itu lagi.
“Bintang gue ikut pergi, Vin. Dia ninggalin gue,” racau Shilla.
Pelukan itu semakin erat. Seharusnya Shilla tahu, saat ini bukan hanya dia yang butuh kekuatan, tapi juga Alvin. Pemuda itu mendesah lalu mengesampingkan egonya untuk gadis pujaannya ini.
“Gue sayang Gabriel...”
“Gabriel pasti juga sayang elo, Tuan Puteri.”
“Kalau dia sayang sama gue, dia pasti ada di sini!”
“Dia sayang elo.”
“Gue benci Gabriel, Vin! Gue benci!!”
“Lo sayang sama Gabriel.”
“Gue... nggak bisa benci sama Gabriel...”
Tangis Shilla semakin menjadi. Pikirannya benar-benar runyam. Alvin mengerti, gadis itu pasti sudah terlalu lelah.
“Ada gue, Tuan Puteri. Kita rayain ulang tahun lo sama-sama. Yuk?” ajak Alvin seraya melepas pelukannya.
Setelah menghapus air mata Shilla, dia membawa gadis itu untuk keluar lagi. Ternyata anak-anak itu sudah benar-benar pergi. Alvin lantas mengajak Shilla ke tempat pemotongan kue. Pemuda itu mengambil korek lalu menyalakan lilin-lilin yang telah terpasang di kue tart bertuliskan “Happy Birthday Ashilla”.
Happy birthday to you... happy birthday to you... happy birthday happy birthday... happy birthday... Shillaaaa....”
Suara Alvin yang menyanyikan lagu happy birthday membuat Shilla ingin menangis lagi. Namun melihat usaha keras Alvin, Shilla menahan air matanya supaya tak tumpah di hadapan pemuda ini. Apalagi Alvin menyanyikannya dengan wajah bahagia.
“Tiup lilinnya tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang jugaaaa. YAAAAYYY!”
Shilla terkikik geli melihat wajah kegirangan Alvin layaknya anak SD yang sedang merayakan ulang tahun. Diam-diam Alvin tersenyum, dia senang Tuan Puterinya kembali.
“Potong kue nggak nih?” tanya Alvin.
Gadis itu tak berkata apa-apa, tapi tangannya bergerak meraih pisau dan memotong kue tersebut. Sejurus kemudian, kue itu diangsurkannya pada Alvin.
“Untuk sahabat yang selalu ada,” kata Shilla.
Hati Alvin mencelos mendengarnya.
“Gue suapin ya?”
Tanpa menunggu jawaban, Shilla lebih dulu menyuapkan kue tersebut. Alvin membuka mulutnya dan membiarkan kue itu masuk ke dalam perut. Manis. Seribu kali lebih manis karena jarak wajahnya dengan wajah Shilla saat ini begitu dekat.
***
“Gue minta maaf karena selama ini sok nggak kenal sama lo berdua,” ujar Cakka.
Rio dan Gabriel saling pandang lalu terkekeh. Mereka melirik Ify yang saat ini tersenyum tipis. Sementara itu, Agni dan Sivia sedang ijin ke toilet. Berhubung mereka tidak jadi merayakan ulang tahun Shilla, mereka memutuskan untuk makan bersama di Quest Resto. Kebetulan di bagian dalam sudah penuh, akhirnya mereka memutuskan untuk memesan tempat outdoor.
“Nggak perlu dibahas, Cak. Yang terpenting sekarang kita udah baikan lagi,” sahut Rio.
“Gue nyusulin Sivia sama Agni dulu ya,” pamit Ify.
“Oke, Fy.”
“Gue sama Rio sering merhatiin elo, Cak. Sejak keluar dari The Wanted, you looks so different dan yang terpenting lagi you found yourself,” ujar Gabriel diangguki Rio.
Cakka tersenyum, “Gue juga nggak nyangka. Sejak kenal Agni, Ify sama Sivia gue jadi tahu kalo dunia itu luas. Banyak hal yang nggak pernah gue lihat atau alamin sebelumnya. Gue jadi punya banyak temen, gue masuk tim inti basket, bahkan jadi banyak yang naksir. Semua itu di luar nalar!”
“Mereka hebat ya?” gumam Gabriel.
“Sivia, Ify sama Agni,” imbuh Gabriel sebelum dua sahabatnya itu bertanya.
“Sivia bikin dunia gue jungkir balik. Ditambah Ify, entah  kenapa gue merasa dia sangat amat mengerti gue. Dan meskipun gue belum kenal sama Agni, gue yakin dia juga hebat,” cerocos Gabriel.
“Lo bener, Yel. Ify anaknya emang peka. Meskipun kadang sama resenya kayak Sivia, tapi dia sangat pengertian. Dia ngerti apa yang gue rasain tanpa gue harus cerita,” timpal Cakka.
Sementara Rio, pemuda itu tersenyum tipis lalu mengangguk setuju. Baginya, gadis yang telah membuatnya jatuh hati itu sangat cantik dan sempurna. Dia bukan hanya mengerti isi hatinya, tapi juga sahabat-sahabatnya.
“Kalo Agni, Cak?” tanya Rio.
“Agni luar biasa. Berkat dia, gue seperti lahir kembali. Gue bisa main basket lagi.”
“Gue tahu. Nggak salah lo ninggalin The Wanted karena Agni,” kekeh Rio.
“Apa? Lo keluar dari The Wanted karna gue, Cak?”
Tahu-tahu saja Agni, Ify dan Sivia sudah kembali dari toilet. Cakka terkesiap lalu mengangguk pelan. Selanjutnya Agni mendesah dan menutup wajahnya untuk mengendalikan emosinya.
“Ag, lo nggak pa-pa?” tanya Ify.
“Gue merasa bersalah sama Shilla,” jawab Agni jujur.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya, dia baru paham mengapa Shilla membencinya. Dia baru memahami mengapa Shilla bersikeras menyuruhnya untuk meninggalkan Cakka.
“Gue udah ngerebut elo dari Shilla, Cak,” lirih Agni.
Cakka berdiri lalu memperpendek jarak diantara dia dan Agni.
“Lo nggak ngerebut gue dari siapapun karena gue bukan milik siapapun,” tandas Cakka.
“Tapi...”
“Agniii, lo sahabat gue. Shilla juga sahabat gue. Lo jangan ngerasa bersalah.”
“Bener yang dibilang Cakka, Ag. Kita janji kok bakal baikan sama Shilla secepatnya. Kalian juga bantu kita ya?” nimbrung Gabriel.
“Alvin gimana?” tanya Sivia tiba-tiba.
“Alvin bisa diatur. Semuanya tergantung Shilla. Kalau Shilla iya, Alvin juga pasti iya,” jawab Rio sekenanya.
Sivia mengangguk paham. Diam-diam dia cemburu.
***
Lagi-lagi pemandangan baru di Budi Karya berhasil membuat heboh. Gosip-gosip mengenai bubarnya The Wanted sudah menyeruak ke seluruh penjuru sekolah. Awalnya mereka biasa saja melihat Shilla yang datang hanya bersama Alvin, tapi kedatangan Gabriel dan Rio bersama Cakka, Ify, Sivia dan Agni menciptakan penafsiran bahwa The Wanted sudah resmi bubar.
Banyak spekulasi yang mendasari bubarnya The Wanted. Ada yang mengatakan Rio dan Gabriel sudah sadar akan kebutaan mereka sehingga memilih bergabung bersama Cakka. Ada yang mengatakan bahwa Shilla sedang mengirim Rio dan Gabriel supaya Cakka kembali ke The Wanted. Yang paling membuat heboh, adalah dugaan mengenai Rio dan Gabriel yang punya misi sedang melakukan pendekatan pada Ify dan Sivia sehingga mengorbankan The Wanted. Gosip yang terakhir ini dilengkapi cerita dari oknum yang memberi pernyataan bahwa dia pernah melihat mereka berempat di Mall.
Mengenai gosip tersebut, Rio dan Gabriel tak ambil pusing, berbeda dengan Ify dan Sivia yang langsung mengklarifikasi. Bagi Sivia yang sudah naksir Alvin, tentunya digosipkan dengan cowok yang tidak ia suka adalah malapetaka. Apalagi Rio dan Gabriel sudah dianggapnya sebagai sahabat baik. Sedangkan Ify entah kenapa dia hanya ingin meluruskan supaya Shilla tidak semakin salah paham.
“Bisa-bisanya kita digosipin sama mereka ih!” kesal Sivia.
“Widih elo Siv, sok banget nggak mau digosipin. Sudah terbiasa sendiri ya?” goda Debo yang baru masuk kelas.
Reflek buku di tangan Sivia lansung mengenai kepala Debo.
“Sialan! Doyan banget sih lu lemparin gue pake buku?” dengus Debo.
“Biar lo pinteran dikit!” balas Sivia asal.
Debo bergabung ke bangku Sivia dan Ify. Ify yang sedang menyelesaikan novelnya langsung mendongak, tepat saat itu teman-teman yang lain juga ikut mengerubungi bangku Sivia dan Ify.
“Eh apaan nih? Kok jadi pada di sini semua?” protes Sivia.
“Lo nggak mau cerita apa-apa ke kita gitu, Siv?” cetus salah seorang temannya.
“NGGAK!! Intinya nih, gue sama Ify cuma temenan sama Rio sama Gabriel kayak kita temenan sama Cakka. Jangan percayaan sama gosip-gosip nggak jelas itu,” tandas Sivia.
“Kalo gitu gue yang mau cerita,” celetuk Debo.
“Cerita apaan?” tanya Ify penasaran.
“Kalian tahu nggak kalo Shilla ngundang semua temen sekelasnya ke pesta ulang tahunnya semalem?” tanya Debo pada  teman-temannya termasuk ke Sivia dan Ify.
Mayoritas dari mereka menjawab tidak tahu. Berhubung kelas mereka memang jauh dari kelas The Wanted, jadi wajar saja kalau mereka sering telat info. Sivia yang sebenarnya tahu hanya diam.
“Terus kenapa?” tanya Ify heran.
“Semalem pada kompakan nggak dateng. Ada dua anak yang bertugas jadi mata-mata gitu, katanya pestanya sepi banget. Dan tadi pagi, mereka sengaja berantakin bangku Shilla pake undangan pesta yang dia kasih, undangannya udah disobek-sobek gitu,” jelas Debo membuat Ify dan Sivia terkejut setengah mati.
“Demi apa lo, Deb?!” seru Sivia.
“Demi gue jadi cowoknya Taylor Swift. Serius! Gue habis lewat kelasnya Shilla. Dia tadi keluar kelas sambil disorakin gitu. Mana dia sendirian lagi. Kasihan gue lihatnya,” sahut Debo.
“Alvin ke mana?” tanya Ify tak dapat menyembunyikan kepanikannya.
“Tadi gue ke ruang guru, ketemu Pak Reihan. Alvin juga ada di sana. Dia ngadep Bu Maryam, gue denger sih nilai Alvin banyak yang remed terus Bu Maryam ngomel-ngomel. Kalian tahu lah Bu Maryam kayak gimana.”
“Gabriel? Rio? Cakka?” tanya Sivia.
Teman-teman sekelas mereka hanya menyimak sambil sesekali menimpali.
“Nggak tahu, gue nggak lihat Gabriel sama Rio. Kalau Cakka, anak basket dapet dispen hari ini jadi mungkin dia udah di lapangan basket. Gue aja ke sini mau naruh surat dispen ini doang,” jawab Debo seraya menyodorkan sebuah amplop.
“Siv, gue cari Shilla terus lo—“
“Gue ikut!” potong Sivia.
Ify menggeleng, “Lo di sini aja. Kalo ada sesuatu langsung telpon gue.”
“Tapi, Fy. Habis ini pelajaran kimia,” ucap salah seorang temannya.
Ify mendesah. Dia tidak mungkin meninggalkan pelajaran kimia yang penting itu. Gadis itu berharap Alvin segera kembali dan mencari Shilla.
***
Disaat seperti ini, Alvin harus meninggalkan Shilla karena terpaksa. Bu Maryam benar-benar marah padanya karena Alvin harus remedial di semua mata pelajaran. Alvin sendiri tidak menduga bahwa dia harus mengalami hal ini, padahal dia sudah berusaha semaksimal mungkin. Nyatanya akhir-akhir ini pikirannya memang kacau dan berpengaruh ke mata pelajaran.
“Rio sudah mengalami peningkatan, sekarang gantian kamu. Apa Ibu harus nyuruh kamu belajar sama Ify juga biar kayak Rio?”
Pemuda itu mengerutkan dahinya, “Rio belajar sama Ify, Bu?”
“IYA! Saya yang nyuruh. Nggak mungkin saya nyuruh Gabriel karena dia anak pemilik yayasan. Lebih nggak mungkin lagi saya nyuruh temen-temen kamu buat ngajarin Rio,” cerocos Bu Maryam seolah sudah sangat paham pada The Wanted.
“Terus Ibu mau saya gimana?” tanya Alvin.
“Sekarang kamu kerjakan remedial ini sambil saya memikirkan cara supaya nilai kamu nggak bikin saya pusing. Beruntung saya masih bisa ngerayu guru-guru biar kasih kamu tugas lain,” ceplos Bu Maryam.
“Saya harus di sini sampai kapan, Bu?” tanya Alvin membuat Bu Maryam mendengus.
Segalak-galaknya Bu Maryam, dia kadang kesal sendiri jika harus berhadapan dengan Alvin. Apalagi wajah cuek siswa didiknya ini membuatnya naik darah.
“Sampai semuanya selesai!”
Alvin tak bicara lagi. Pemuda itu meraih kertas yang berisikan daftar tugas yang harus diselesaikannya. Sesaat Alvin menahan nafas begitu tahu isi dari kertas tersebut.
1.      Biologi: Merangkum buku cetak dari bab 1 sampai bab 10
2.      Matematika: Kerjakan 50 soal pilihan ganda halaman 133
Dia berhenti membaca. Baru dua tugas saja membuat perutnya melilit. Dari semua tugas, hanya tugas Bahasa Indonesia yang masih bisa ditolerir. Dia hanya diberi tugas membuat puisi bertemakan cinta. Berhubung hanya itu yang paling mudah dan tidak membuat capek, Alvin mengerjakannya terlebih dahulu.
Alvin menikmati setiap frasa yang ia goreskan dengan tinta di kertasnya. Ia tak tahu mengapa puisinya terasa mudah untuk dituliskan.
Aku tak lagi takut pada dunia
Sebab segalanya terasa mudah jika bersamamu
Aku merasa hidupku seribu kali lebih indah
Sampai aku sadar aku telah jatuh cinta
Pada hati yang telah jatuh ke hati lainnya
Mungkin benar selamanya aku kan jadi bayang
Mungkin benar kau terlalu jauh untuk dapat kuraih
Tak apa...
Sejauh apapun, asal kau tetap di bumi
Aku tetap mencintaimu...
Jemari Alvin berhenti bergerak setelah menuliskan rangkaian kata tersebut. Semuanya mengalir begitu saja, menggambarkan isi hatinya yang dipenuhi sosok Shilla.

***
Bersambung...
Semoga part ini tidak mengecewakan. Saya tunggu kritik dan sarannya yaa! Kalo banyak yang komen saya usahain akan rajin ngetik supaya ngaretnya nggak kelamaan hehehe follow ask.fm saya ask.fm/fannyslma :)

1 komentar:

@adi.permana mengatakan...

Wih makin seru dan makin penasaran, meski sedikit aga berbelit. Tapi (y) bagus

Posting Komentar