Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
#BangkitkanCRAGSISA !! Apa kabar? Masih setia nunggu lanjutan WYHM?
Sebenernya saya udah lepas dari perkuliahan sejak minggu lalu dan IP sudah
keluar, tapi baru sempet pegang laptop jadi baru dilanjut. Buat yang nungguin,
terima kasih banyak. Insya Allah part ini cukup panjang.
Hope you like it...
13
Sudah sewindu ku didekatmu
Ada disetiap pagi, disepanjang harimu
Tak mungkin bila engkau tak tahu
Bila kumenyimpan rasa yang kupendam sejak lama
Suara
pintu yang dibuka membuat Alvin reflek mencabut headsetnya yang tersumpal di
telinga sejak satu jam yang lalu. Pemuda itu berbalik dan mendapati seorang
pria mengenakan jas lengkap dengan wajah bossy-nya.
Pria itu adalah papanya, seorang workholic
yang tak bisa ditemui di rumahnya sendiri.
“Papa
pikir kamu nggak akan datang,” gumam papanya.
Alvin
hanya tersenyum getir lalu duduk di hadapan papanya. Bahkan, Alvin sudah
menunggu selama satu jam hanya untuk bertemu papanya sendiri.
“Papa
mau bicara apa?” tanya Alvin to the point.
Sejak
mengenal The Wanted, Alvin lebih suka bersama mereka dibandingkan dengan
keluarganya sendiri. Apalagi sejak terjadinya peristiwa kecelakaan pesawat yang
merenggut nyawa mamanya.
“Kamu
ada masalah apa dengan Deva?”
Sejurus
kemudian Alvin membeku. Tak pernah sekalipun papanya membahas mengenai dirinya
dan Deva. Pria itu terlalu sibuk dengan bisnis, melupakan segalanya hanya untuk
urusan kantor. Dan barusan, papanya itu justru menanyakan sesuatu disaat yang
tidak tepat karena sudah beberapa minggu Alvin menganggap tak ada apa-apa yang
sedang terjadi diantara dia dan kakaknya.
“Alvin,
Papa tahu kalau Papa memang bukan papa yang baik buat kamu dan Deva. Papa
selalu sibuk sampai tidak sadar telah menelantarkan kamu dan Deva,” ujar
papanya lalu menghela nafas sejenak.
Papanya
menarik figura di sebelah Alvin. Barulah Alvin sadar ada foto ibunya di sana.
Ternyata papanya tak pernah melupakan mendiang ibunya. Nafas Alvin tertahan
saat ia menyaksikan sendiri sorot mata yang penuh rindu itu kala menatap foto
ibunya. Sorot mata yang selama ini seolah menyiratkan ketegaran, tapi ternyata
menyimpan makna lain.
“Waktu kamu dan Deva masih kecil, mamamu
seperti orang paling bahagia di dunia. Kalian anugerah yang sampai sekarang tak
bisa kami bayar dengan apapun, kecuali seluruh hidup kami. Kalian sangat akur
dan akrab. Saat itu, mamamu sudah divonis dokter mengidap leukimia.
“Tapi,
mamamu merasa siap meninggalkan kalian karena melihat keakraban kalian yang
luar biasa. Mamamu percaya kalian bisa saling menguatkan. Sampai kamu kenal Shilla,
Cakka, Rio dan Gabriel. Saat itu Deva jadi sering mengurung diri di kamar,
melihat kalian main dari kejauhan, dia jadi pendiam dan sampai akhirnya kami
tahu dia kehilangan kamu,” lirih papanya.
Alvin
tak bicara sama sekali dan sengaja membiarkan papanya menceritakan semuanya.
Semuanya.
“Penyakit
mamamu semakin menjadi. Waktu itu Papa merasa nggak berguna karna nggak bisa
berbuat apa-apa. Satu hari setelah kepergian mamamu, Papa menemukan surat di
bawah bantal tidurnya.”
Detik
berikutnya papanya menyerahkan sepucuk surat dari sakunya pada Alvin. Tanpa
berujar apa-apa, Alvin membaca surat tersebut.
Dear suamiku, teman hidupku dan ayah dari
anak-anakku...
Sayang, maaf jika aku yang pergi meninggalkanmu
terlebih dahulu. Dulu kita sempat berjanji untuk menjaga Deva dan Alvin bersama-sama,
untuk menjadi saksi perjalanan mereka menuju masa depan, tapi ternyata Tuhan
ingin kau menjaga dan menjadi saksi perjalanan hidup buah hati kita untukku.
Terima kasih untuk semua yang telah kamu berikan padaku, terima kasih karena
telah menemaniku hingga ajal akan menjemputku.
Berjanjilah padaku, sibukkan dirimu. Bukan
untuk melupakanku. Ini untuk Deva dan Alvin, supaya mereka memiliki waktu hanya
berdua seperti dulu. Aku yakin mereka akan tumbuh menjadi laki-laki yang kita
impikan. Lebih dari itu, aku yakin anak-anakku akan selalu saling menyayangi.
Untukmu, selamat karena kamulah peraduan
terakhirku. Aku mencintaimu...
Tak
terasa titik bening itu mulai mengalir menelusuri pipi Alvin. Bayangan
kebersamaannya dengan mendiang ibunya tiba-tiba terlintas. Sejurus kemudian,
dia merasakan tepukan pelan dari papanya.
“Deva
tahu?” tanya Alvin parau.
Papanya
menggelengkan kepala, “Asal kamu tahu, Vin. Selama ini Papa nggak pernah maksa
Deva untuk bekerja di kantor ini. Dia sendiri yang datang ke Papa dan memohon.
Itu karena dia nggak mau lama-lama di rumah dan ketemu kamu.”
Hati
Alvin mencelos mendengarnya. Deva menghindarinya mati-matian. Saat sekolah pun
Deva lebih memilih sekolah berasrama.
“Deva
begitu karena dia pikir kamu sudah punya The Wanted. Di lain sisi, Papa tahu
kamu kecewa sejak Deva memutuskan untuk tinggal di asrama. Kamu berpikir kalau
Deva sengaja meninggalkan kamu sendirian setelah mamamu meninggalkan kita. Iya
kan, Vin?” ceplos papanya membuat Alvin tertegun.
“Pa...”
“Akhiri
semuanya, Vin. Papa dan Mama ingin melihat anak-anak kami saling menyayangi,
bukan saling menyakiti,” ujar papanya lalu menepuk bahu Alvin sekali lagi
sebagai tanda bahwa dia percaya padanya.
Alvin
menganggukkan kepala, “Alvin sama Deva akan baik-baik aja. Papa nggak perlu
khawatir dan merasa bersalah sama Mama.”
Papanya
sontak memeluk Alvin. Pemuda itu sendiri tak menolak.
“Terakhir
kali Papa peluk kamu, Papa masih kuat ngangkat kamu,” kekeh papanya.
Alvin
ikut tertawa lalu teringat mamanya.
***
Budi
Karya masih heboh membahas kecelakaan yang terjadi di lapangan meski kejadian
itu sudah berlalu dua hari. Apalagi ketika melihat Ify berjalan masih
menggunakan tongkat dan dibantu oleh Sivia dan Debo, mereka lantas kembali
membahas kejamnya Shilla yang masih tetap pada pendiriannya.
Menjadi
topik pembicaraan beberapa hari membuat Ify risih. Meski namanya dilambungkan,
ia tak suka mendengar orang-orang yang terus mencaci Shilla. Bahkan, semalam
Gabriel menelponnya untuk curhat. Pemuda itu ditegur kepala sekolah. Biar bagaimanapun,
kabar ini akan merugikan nama baik sekolah jika dibesar-besarkan. Maka dari
itu, keputusan Ify untuk diam seperti kemarin-kemarin telah sirna. Gadis itu
tak segan menegur orang-orang yang masih menjadikan topik tersebut menjadi
bahan gosip.
Pagi ini
Ify kembali menggunakan tongkatnya sebagai alat bantu berjalan. Di samping
kanan kirinya ada Sivia dan Debo seperti biasa. Begitu mendengar komplotan anak
di koridor menyebutkan namanya dan Shilla, Ify langsung paham mengenai apa yang
mereka bicarakan. Sontak gadis itu menghampiri.
“Kalian
bisa stop bicarain masalah itu nggak sih?” tanya Ify dengan nada kesal.
“Tapi
kan kita nggak ngejelekin elo, Fy. Lagian emang bener kok kalo Shilla itu
sombong, udah dibantuin malah nggak ada ucapan terima kasih,” balas salah satu
anak dengan nyolot.
Untuk
kali ini, entah mengapa Sivia dan Debo memilih untuk diam.
“Kalopun
dia bilang makasih ke gue, dia harus bikin pengumuman supaya kalian tahu gitu?
Nggak kan?” tandas Ify tak kalah nyolot.
Mereka
terkesiap mendengar Ify yang biasanya tenang tiba-tiba jadi seperti itu. Di
belakang Ify, si Sivia dan Debo sibuk cekikikan melihat ekspresi anak-anak
tersebut.
“Kok lo
jadi belain dia, Fy? Lihat dong dia bikin kaki lo sampe kayak gitu!”
Andai
kakinya tak sakit, sudah pasti Ify menghabisi anak-anak ini dengan karatenya.
Dia benar-benar gemas.
“Kaki
gue kayak gini gara-gara jatoh, bukan karna dipukulin Shilla. Nih ya gue kasih
tahu ke kalian. Gue berbuat baik sama orang itu tulus, kalo gue berharap dia balik
baik sama gue itu artinya pamrih. Paham?” cerocos Ify.
Mereka terdiam
mendengarkan ucapan gadis itu. Jadi, Ify menganggap mereka sudah paham. Tapi
tampaknya gadis itu masih belum puas.
“Heran
sama kalian. Nggak inget ulang tahun sekolah kita tahun lalu bisa keren banget
karena siapa? Coba sekali-kali buka mata lebar-lebar di depan kaca, siapa tahu
belek kalian nutupin kebaikan orang.”
Memang
benar yang dikatakan Ify. Berkat Shilla yang kenal dengan penyanyi-penyanyi
kelas atas, sekolah mereka dapat dengan mudah mengundang disaat jadwal mereka
sedang padat. Lantas, setelah berkata demikian, Ify melanjutkan langkahnya
menuju kelas bersama Debo dan Sivia.
Diam-diam,
Shilla menyaksikan itu semua dari sudut yang tak terlihat oleh siapapun. Gadis
itu memejamkan matanya dan mengambil jalan lain untuk menuju kelas. Sementara
itu, beberapa anak yang terbengong setelah diceramahi oleh Ify masih tak
berkutik.
“Kayaknya
Ify sama Sivia tukeran badan,” cetus salah seorang diantara mereka.
***
Rio
memasuki kelas dan lantas duduk di bangkunya. Pemuda itu memejamkan mata,
berusaha menahan kantuk yang kembali menyergap. Entah mengapa menjadi ‘pesuruh’
papanya lama-lama membuatnya lelah. Apalagi acara belajar bareng yang dulu
dijanjikannya pada Bu Maryam harus ditunda sementara, setidaknya sampai Ify
bisa berjalan tanpa tongkat.
Sejak
mengantarkan gadis itu pulang, mereka tak bicara apa-apa lagi. Rio bahkan
sengaja mengabaikan chat dari Ify.
Entah apa yang membuat pemuda ini memilih untuk menghindari gadis itu. Yang
jelas, Rio hanya ingin menyendiri hingga dia benar-benar siap terlihat
menyedihkan di mata Ify.
“Rio.”
Mendengar
namanya disebut, pemuda itu mengangkat kepala dan mendapati sosok Shilla sudah
ada di hadapannya.
“Apa,
Shil?” tanyanya.
“Hmm...”
Rio
mengerutkan dahinya seraya menunggu apa yang akan dikatakan Shilla padanya. Tampak
sekali bahwa gadis itu sedang memikirkan sesuatu.
“Undangan
buat pesta ulang tahun gue gimana? Siap?” tanya Shilla.
“Oh
itu... bentar gue ambil,” sahut Rio lalu mulai membongkar isi tasnya untuk
mengambil undangan pesta ulang tahun Shilla yang digelar minggu ini.
Berhubung
Rio sudah mengenal pihak EO maka Shilla meminta bantuan pemuda itu. Lagipula
Mas Dayat dengan senang hati turut serta membantunya.
“Undangannya
udah dicetak ya? Wih keren juga hasilnya,” cetus Gabriel yang baru datang dan
diikuti Alvin.
“Idenya
Alvin mana mungkin biasa sih,” timpal Rio.
“Uh
tersanjung gue,” sahut Alvin datar lalu meletakkan tasnya di sebelah Shilla.
“Muka lo
kusut banget, Yo,” imbuhnya.
Rio
tersenyum rikuh, “Udah biasa ah.”
“Eh ini
nggak dibagiin sekarang, Shil?” tanya Gabriel.
“Kayaknya
nanti aja pas sebelum istirahat. Ini masih sepi begini,” jawab Shilla.
“Yel,
gue boleh ijin ke rooftop?” tanya
Rio.
“Mau
tidur?”
Rio
hanya menganggukkan kepalanya. Selain karena ingin tidur, dia juga rindu dengan
suasana rooftop yang telah lama tak
ia sambangi. Setiap kali ada kesempatan ke sana, selalu saja tertunda.
“Nanti
gue bilangin Bu Maryam,” kata Gabriel pengertian.
Tanpa
berucap terima kasih, Rio melenggang keluar kelas. Persetan dengan amukan Bu
Maryam. Dia benar-benar pusing saat ini. Percakapannya dengan Reon
Haling—papanya—tadi pagi masih membekas.
“Kamu belajar musik lagi?” tanya Reon Haling
dengan rahang mengeras.
“Enggak, Pa,” jawab Rio tetap mengunyah nasi
gorengnya meski dia sendiri sempat terkejut.
“Papa harap gitar di gazebo bukan habis
dimainin sama kamu. Sampai kapanpun, Papa nggak akan terima kalau kamu main
musik. Kamu harus selalu ingat kalau kamu adalah calon penerus keluarga Haling
satu-satunya.”
Sial.
Rio terus mengingatnya. Pemuda itu berjalan cepat menuju rooftop, tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya dengan
bingung.
“Rio!”
Langkah
Rio terhenti mendengar suara yang amat dihafalnya. Ify. Entah darimana
datangnya gadis itu. Masih dengan tongkatnya, Ify mencoba menghampiri dirinya.
“Udah
tahu pake tongkat gini, masih aja keliaran sendirian,” dumel pemuda itu lantas
menahan Ify supaya tetap di posisinya. Selanjutnya, pemuda itu yang mendekat.
“Lo
ngehindarin gue?” tanya Ify to the point.
Rio
sedikit terkejut. Pasalnya, dia lupa kalau gadis itu sangat peka.
“Sivia
mana?” tanya Rio.
“Jangan
ngalihin pembicaraan, Rio,” tandas Ify.
“Lo
harus selalu tahu kalau lo nggak pernah sendiri,” imbuhnya tanpa mengalihkan
pandangan dari pemuda di hadapannya.
“Boleh
gue peluk lo sebentar?” tanya Rio lirih.
Tanpa
berpikir lagi, gadis itu menganggukkan kepalanya. Selanjutnya, Rio menghapus
jarak diantara mereka, menyandarkan kelelahannya di bahu Ify.
***
“Ify
mana, Siv?” tanya Debo pada Sivia.
“Tadi
dia ijin ke UKS,” jawab Sivia.
“Kok nggak
lo temenin?” tanya Debo heran.
Sivia
mendesah, “Bacot banget sih lu. Dia lagi mau sendiri. Udah sono balik ke bangku
lo.”
“Yailah
ini emak-emak satu nyebelin banget,” cibir Debo tanpa dosa lalu kembali ke
bangkunya.
Detik
berikutnya Debo meringis karena
kepalanya terkena lemparan buku dari Sivia. Debo pun berbalik setelah
memungut buku yang mengenai kepalanya, saat hendak melemparkan buku tersebut
guru yang mengajar tiba-tiba masuk ke kelas dan menjadikan niat Debo urung. Sivia tertawa puas menyaksikannya.
Mereka lantas fokus pada pelajaran.
Sampai
bel istirahat berkumandang, Ify masih belum menampakkan batang hidungnya. Sivia
pun berinisiatif untuk mencari sahabatnya itu di UKS sementara Debo, Cakka dan
Agni ada rapat.
Langkah
Sivia terhenti saat melewati kelas XI IPA 1, kelas The Wanted. Semuanya tampak
masih lengkap di dalam sana, termasuk Cakka yang seharusnya mengikuti rapat.
Sivia memperhatikan suasana kelas tersebut. Di depan tampak Gabriel dan Shilla
berdiri bersebelahan dengan sesuatu di tangan mereka.
“Jadi
begini, gue ngundang kalian semua di pesta ulang tahun gue minggu ini.”
Sivia
mengangkat alisnya, “Shilla ngundang semua anak di kelasnya?”
“Yel,
bagiin undangannya,” kata Shilla.
Gabriel
mengangguk patuh lalu mulai membagikan sesuatu yang ada di tangannya—yang
ternyata undangan pesta ulang tahun—begitu pula dengan Shilla. Seperti dugaan
Sivia, Cakka langsung berdiri dari bangkunya dan membuat suasana yang kaku
tersebut menjadi lebih kaku.
“Cak,”
panggil Gabriel.
“Gue
udah buang waktu lima menit untuk rapat. Kalo masih keukeuh, taroh aja di atas
meja,” ujar Cakka lalu meninggalkan kelas.
Pemuda
itu tak sempat melihat Sivia karena terlalu terburu-buru. Selanjutnya, Sivia
kembali memperhatikan keadaan kelas tersebut. Gabriel sendiri melakukan apa
yang diucapkan Cakka. Dia sengaja meletakkan undangan itu di atas meja.
“Jangan
lupa dateng,” kata Gabriel pada teman-teman sekelas.
The
Wanted lalu keluar kelas. Barulah Sivia sadar kalau Rio tak ada di sana.
Sepeninggalan The Wanted, Sivia meringis menyaksikan anak-anak tersebut
meremas-remas undangan tersebut, bahkan ada beberapa yang sampai menginjaknya.
“Astaga!
Ify!” seru Sivia teringat Ify.
Buru-buru
gadis itu mencari sahabatnya.
***
Kantin
adalah tujuan Alvin, Shilla dan Gabriel. Mereka mengobrol mengenai pesta ulang
tahun Shilla yang akan berlangsung empat hari lagi sambil menunggu pesanan.
Selain itu, mereka juga menunggu Rio yang tak memberi kabar apa-apa. Gabriel
sudah mencoba menelpon namun tak ada jawaban apa-apa.
“Angel
dateng?” tanya Alvin.
“Nggak
tahu. Tapi kayaknya enggak. Brian kan launching album, jadi mungkin Angel
nemenin Brian,” jawab Shilla sekenanya.
“Lo
ngundang siapa aja, Shil?” nimbrung Gabriel.
“Anak-anak
kelas kita aja. Para seleb lagi sibuk-sibuknya. Pas gue bilang mau ngadain
pesta mereka udah minta maaf karna nggak akan bisa dateng,” curhat Shilla lalu
menunjukkan chat-nya.
“Lo
nggak ngundang klub model?” tanya Alvin.
Shilla
menggelengkan kepala, “Anak-anak sekelas kayaknya udah cukup. Entahlah tapi
rasanya ulang tahun gue yang ini bakalan sepi.”
Alvin
mengerti apa yang dirasakan Shilla, apalagi dengan rangkaian kejadian yang
terjadi berturut-turut. Kepergian Cakka, perceraian orang tuanya dan masalah
cemoohan anak-anak Budi Karya atas kejadian di lapangan.
“Rio
gimana, Yel?” tanya Shilla mengalihkan pembicaraan.
“Nggak
tahu. Dia nggak bisa dihubungi,” jawab Gabriel masih terus berkutat dengan
ponselnya.
“Paling
masih tidur,” nimbrung Alvin.
Gabriel
hanya mengangguk.
Di lain
sisi, Rio justru berada di UKS sejak bertemu Ify. Rencananya untuk ke rooftop ia batalkan lagi karena Ify tak
mungkin naik tangga dengan kakinya yang belum sembuh, kecuali gadis itu mau
digendong. Tapi Rio sudah yakin Ify akan bersikeras menolak sebelum dia sempat
menawarkan. Jadilah Rio yang menemani Ify di UKS.
“Lo kenapa ngehindarin gue,
Yo?” tanya Ify.
Rio mendesah, “Bukan begitu.
Gue cuma merasa...”
“Nggak enak sama gue? Karena
Shilla?” tebak Ify.
Pemuda itu tersenyum tipis.
Selalu. Ify dapat membaca dengan tepat.
“Semua
yang terjadi di lapangan itu cuma ketidaksengajaan. Dan yang terpenting, nggak
ada hubungannya sama elo. Lo sahabat Shilla, wajar kalau lo ada di pihak dia
dan gue nggak pernah mempermasalahkan,” ujar Ify panjang lebar.
“Sori,
gue—“
“Jangan
pernah merasa bersalah, lo nggak salah apa-apa,” potong Ify.
“Kenapa
rasanya sulit jadi diri sendiri?” tanya Rio memijat keningnya.
Ify
tersenyum, “Cukup lo lepasin topeng lo dan elo akan jadi diri sendiri.”
“Nggak
semudah itu,” elak Rio.
“Lo
sendiri yang bikin semuanya jadi nggak mudah. Lo lebih milih untuk tetap
bertahan disaat harusnya lo menyerang.”
“Maksudnya
gue harus lepas dari Shilla?” tanya Rio retoris.
“Gue
nggak bilang begitu. Intinya, lo tahu apa yang seharusnya lo lakuin tapi nggak
lo lakuin. Percaya sama gue, semuanya akan jadi lebih mudah kalau lo
memandangnya dari sudut yang benar.”
Pembicaraan
mereka terhenti ketika Sivia tiba-tiba menerobos masuk ke UKS. Gadis itu
menaikkan sebelah alisnya, pantas saja tadi dia tak melihat Rio, ternyata dia
bersama sahabatnya.
“Berduaan
di UKS yang ketiga setan loh,” goda Sivia.
“Iya elo
setannya,” dengus Ify.
“Buset
dah segitu kecewanya gue dateng. Eh eh bercanda, Fy! Nah elu ngapain di sini,
Yo? Sakit juga?” ceplos Sivia.
Rio
tersenyum tipis, “Konsultasi sama Ify.”
“Sejak
kapan lo buka jasa konsultasi, Fy? Kok gue nggak tahu?” tanya Sivia.
“Sejak
gue pake tongkat,” jawab Ify asal.
“Oh iya,
kebetulan banget. Gue sama Gabriel mau ngajakin kalian dateng ke pesta ulang
tahunnya Shilla,” ucap Rio.
Sivia
jadi teringat masalah undangan yang dibagikan ke teman-teman sekelas Shilla
tadi. Dia ingin memberitahu pada Rio tapi diurungkan.
“Kayaknya
kita nggak usah ikut deh, Yo,” tolak Sivia. Ify mengangguk.
“Kenapa?”
“Ya kan
lo tahu sendiri Shilla ke gue sama Sivia itu kayak gimana. Ntar yang ada
pestanya bakalan kacau. Lagian dia nggak ngundang gue sama Sivia,” jawab Ify
mewakili isi hatinya dan juga Sivia.
“Ada
kita atau enggak kayaknya emang bakalan kacau deh,” batin Sivia.
“Justru
itu, gue sama Gabriel mau nyoba buka hati Shilla sekalian hmm... kalian tahu
lah selama ini gue sama Gabriel deket sama kalian tanpa sepengetahuan dia,”
desak Rio.
“Biar
kita pikir-pikir dulu deh,” usul Sivia.
Rio
hanya menganggukkan kepala.
***
“Kak,
kok nggak pernah belajar sama Kak Rio lagi?” tanya Ozy.
Ify yang
sedang asik menikmati novelnya hanya mendengus.
“Putus
ya?” selidik Ozy.
Spontan
Ify mengalihkan perhatiannya, “Emang kapan gue sama dia jadian?” tanya Ify
sewot.
“Gue
pikir udah jadian. Eh besok lo lepas perban kan?” tanya Ozy.
“Iya.
Besok gue ke rumah sakit bareng Sivia, mau ikut?” balas Ify.
Seperti
yang telah dikatakan dokter, kaki Ify akan pulih dalam jangka seminggu. Dia
juga sudah tak menggunakan tongkat meskipun jalannya sedikit pincang.
“Mau
banget gue temenin?” goda Ozy.
Ify
memutar bola matanya dengan malas, “Justru kalo lo ikut malah bikin malu. Ntar
pasti suster-suster rumah sakit lo gombalin.”
“Anjir. Nggak gitu juga kali,” dengus
Ozy.
“Hehe
gue lupa lo udah punya cewek. Siapa tuh namanya? Icha?”
“Acha,”
ralat Ozy.
“Nah iya
itu. Kapan mau kenalin dia ke gue? Apa jangan-jangan lo nemu dia di RSJ makanya
lo takut ngenalin ke gue?” ceplos Ify.
“Lu tuh
penghuni RSJ! Lagian gue ngapain main ke RSJ?” sewot Ozy.
“Dia tuh
mau sama gue soalnya gue cakep,” lanjut Ozy.
Ify
lantas pura-pura muntah, “Cakep kalo dilihat dari Arab.”
“Onta
dong yang lihat? Onta aja ngakuin gue cakep ya,” kekeh Ozy.
“Berarti
lo cakepnya selevel sama Onta, bukan level Acha,” balas Ify sedikit nyolot.
“Kok
kayaknya lo sensi gitu sih?” sengit Ozy.
“Habisan
gue nggak percaya ada cewek yang mau sama lo, kecuali dia gila. Mana ada sih
cewek yang mau sama cowok ngeselin, rese, suka gangguin kakaknya kayak elo?”
cablak Ify yang membuat Ozy reflek melemparkan bantal ke wajah kakaknya.
“Pantesan
lo jomblo, Kak. Sukanya sirik sama yang pacaran mulu,” cibir Ozy lalu menjauh
sebelum jadi korban lemparan bantal.
“Sial!
Gue doain lo diputusin!” cerca Ify.
“JOMBLO
SUKA NGIRIIIIII!!” teriak Ozy yang lari ke tangga.
“OZYYYY!!!!
AWAS LU!!”
***
Sudah
seminggu Ify mengenakan tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan, kini ia bisa
berjalan normal kembali. Meski bekas lukanya masih ada, yang terpenting dia
tidak perlu merepotkan Sivia dan Debo lagi. Bahkan sekarang Ify memutuskan
untuk mentraktir Sivia sebagai ucapan terima kasih.
Mereka
berdua menyusuri Mall setelah puas makan besar berhubung tadi pagi tidak sempat
sarapan. Sebenarnya tujuan mereka bukan hanya untuk makan, tapi juga mencari
kado untuk Shilla berhubung mereka sudah menyetujui ajakan Rio dan
Gabriel—datang ke pesta ulang tahun Shilla nanti malam.
“Enaknya
kasih kado apa ya?” tanya Ify.
Sivia
mengedikkan bahu, “Dia kan bisa beli yang dipingin tanpa dikado.”
“Iya
juga sih,” gumam Ify lalu mengedarkan pandangan.
“Susah
beneran deh nyari kado buat dia. Kita udah muterin Mall segede ini loh tapi
nggak nemu juga. Gabriel aja ngado heels mahal, belum lagi Rio ngado tiket
konser. Ya kali kita ngadoin dia sendal jepit,” cerocos Sivia.
Ify jadi
ikut bingung. Lebih bingung lagi uangnya dan Sivia sama-sama nge-pas. Meski
mereka anak konglomerat, orang tua mereka sama-sama mengajarkan untuk membeli
sesuatu dengan menabung. Intinya, tidak mungkin keduanya minta uang untuk
membelikan kado Shilla.
“Dress itu boleh juga, Siv,” ujar Ify
menunjuk dress yang dipajang.
“Ya udah
kita lihat dulu deh,” sahut Sivia.
Mereka
lantas mendekati dress berwarna pink tersebut. Detik berikutnya baik Ify maupun
Sivia sama-sama terbelalak membaca harganya.
“Anjerrr
lima belas juta dress apaan iniii,”
pekik Sivia.
“Duit
gue aja nggak ada sejuta,” imbuh Ify meneguk ludahnya.
“Beli sneakers yang dibayarin Gabriel aja gue
nggak mampu, apalagi dress model
beginian. Ckckck,” decak Sivia.
“Gue
nyerah deh, Siv.”
Dua
gadis itu menghela nafas panjang. Tiba-tiba terlintas sebuah ide di otak Sivia.
“GUE
TAHUUU!!” seru Sivia tiba-tiba.
“Najis
suara lo toa banget jir. Tahu apaan
sih?” sahut Ify.
“Mending
kita bikin aja kadonya. Selain mudah, kita juga nggak perlu keluar duit.
Gimana?” usul Sivia.
“Tapi
tetep aja masih harus mikir bikin apaan,” dengus Ify.
Sivia
berdecak, “Ngapain mikir lagi? Gue jago gambar, lo penuh ide-ide kreatif. Kita
manfaatin lah! Gimana?”
Ify
berpikir sejenak sampai akhirnya dia berkata, “SIVIA! TUMBEN ELO PINTER!!!”
***
Shilla
berdandan ala cinderella di pesta ulang tahunnya. Dress berwarna biru muda, rambut dicepol dan dihias dengan mahkota,
serta kakinya dihiasi sepatu kaca. Malam ini gadis itu tampil layaknya putri di
kerajaan dongeng. Dengan make up yang
tidak terlalu tebal tapi tetap membuatnya terlihat elegant, Shilla menuruni
tangga. Gadis itu memang memilih rumahnya sendiri sebagai lokasi pesta.
“Kok
masih sepi?” gumam Shilla.
Dia
menatap jam dinding yang tergantung. Lima menit lagi pesta dimulai tetapi belum
ada seorangpun yang datang, termasuk The Wanted. Tak lama kemudian, dia
mendengar suara mobil terparkir di halaman rumahnya. Shilla buru-buru keluar
untuk menyambut tamu pertamanya malam ini. Tanpa disangka, orang pertama itu
adalah Alvin.
“Gue
dapet sambutan spesial ya?” tanya Alvin seraya terkekeh.
“Iya,”
balas Shilla diiringi tawanya.
“Cantik,”
ujar Alvin memandangi gadis di hadapannya tersebut.
Gadis
yang bertahun-tahun mencuri hatinya. Seperti yang Alvin pernah katakan, dalam
keadaan apapun gadis ini akan selalu terlihat cantik di matanya.
“Thanks,” kata Shilla.
Selanjutnya,
dia kembali sibuk memandangi gerbang rumahnya. Belum ada tamu lagi. Shilla
mendesah, entah mengapa perasaannya saat ini sulit dijelaskan. Alvin yang
mengerti kegusaran gadis itu lantas menyerahkan kado supaya Shilla berhenti
memandangi gerbang.
“Nggak
mau dibuka?” tanya Alvin.
“Nanti
aja. Disimpen dulu biar surprise,” jawab Shilla cengengesan.
Sudah
setengah jam berlalu dari jam acara yang dituliskan di dalam undangan. Alvin
bahkan sudah menghabiskan dua gelas minuman. Sementara itu, Shilla sudah
pasrah.
“Kita
tunggu. Mungkin pada kejebak macet. Tadi pas gue sampe sini, Gabriel telpon pake nomor Rio katanya
jalanan rame banget jadi mereka telat ke sini,” ucap Alvin menenangkan.
“Gabriel
bareng Rio?” tanya Shilla.
“Iya.
Mobil Rio mogok.”
Satu jam
berlalu. Tepat saat itu, mobil Gabriel melewati gerbang rumahnya dan terparkir
di halaman. Sejurus kemudian, ada mobil lain mengikuti. Alvin dapat melihat
wajah Shilla berubah cerah. Namun ekspresi bahagia itu menghilang saat Gabriel
turun dari mobilnya bukan hanya bersama Rio, melainkan bersama Alyssa dan
temannya. Lebih terkejut lagi saat sadar bahwa mobil di belakang mobil Gabriel
adalah milik Cakka. Dia datang bersama Agni.
“Sivia?”
gumam Alvin terkejut.
Mereka
berenam—Gabriel, Rio, Ify, Sivia, Cakka dan Agni—menghampiri Shilla dan
Alvin yang masih terpaku.
“Happy birthday, Ashilla,” ucap Gabriel.
“Happy birthday, Shil,” lanjut Rio.
“Kalian
ngapain ke sini?” tanya Shilla dingin.
“Hm,
Shilla sama Alvin kenalin ini Ify sama Sivia. Mereka sengaja gue ajak ke sini
buat ramein ulang tahun lo, Shil,” ucap Gabriel.
“Berapa
lama, Yel?” tanya Shilla tak nyambung.
“Berapa
lama kalian sembunyiin ini?” imbuhnya.
Baik
Gabriel maupun Rio saling pandang.
“Sori,
Shil. Kami nggak ada maksud nyembunyiin ini. Gue, Gabriel, Ify sama Sivia emang
udah cukup lama temenan,” jawab Rio.
Mata Shilla
memanas mendengarnya. “Kalian mau ngikutin jejak Cakka?”
Cakka
mendongak karena namanya disebut-sebut.
“Shilla—“
“Gue
nggak kenal sama lo,” potong Shilla.
“Mendingan
kalian semua pulang. Gue nggak sudi liat kalian di rumah gue! Pergi!” usir
Shilla.
“Kita ke
sini datang baik-baik. Kita ke sini mau rayain ulang tahun lo,” tandas Ify.
“Apa
lagi, Fy? Nggak cukup lo liat gue dimaki-maki anak-anak satu sekolah? Sekarang
lo mau ngambil sahabat-sahabat gue?” balas Shilla.
“Kita
nggak ngambil sahabat-sahabat lo! Lo tuh nggak tahu diuntung ya? Gabriel sama
Rio bela-belain ke sini buat elo dan balasan lo kayak gini?” sengit Sivia yang
tak tahan. Ify sudah memperingatkan Sivia untuk tenang, tetapi kesabarannya
sudah habis.
“Sayangnya
gue nggak butuh dibela-belain sama pengkhianat,” balas Shilla tak kalah sengit.
“Shil, please. Jangan bikin gue capek sama The
Wanted,” kata Gabriel tiba-tiba.
Shilla
menggenggam kado Alvin erat-erat untuk mencari kekuatan. Tiba-tiba dia merasa
tak ada lagi oksigen di sekitarnya. Sesak. Terhimpit. Dia tak tahu harus
berbuat apa di hadapan Gabriel. Marah? Kecewa? Sedih?
“Lo
capek? Gue juga capek, Yel! Gue capek dibohongi! Oke, mulai detik ini nggak ada
yang namanya The Wanted. Mulai detik ini, The Wanted bubar. Puas kan lo?” balas
Shilla pahit dengan penuh emosi lalu berlari ke dalam kamarnya.
“Gue
kejar Shilla dulu. Mending sekarang kalian pulang,” kata Alvin datar.
Pemuda
itu lantas menyusul Shilla.
Masih
tak ada yang bergerak. Cakka memandang nanar ke arah dalam lalu memandang
kadonya. Padahal dia berniat memberi surprise pada Shilla, tapi sepertinya
Shilla tak bisa menerima kehadirannya. Sedangkan Gabriel, dia menyesali apa
yang telah terlontar dari bibirnya.
“Harusnya
gue nggak ngomong begitu,” sesal Gabriel.
Rio
lantas meletakkan tangannya di bahu Gabriel, “Nggak perlu menyesal. Mending
kita turutin ucapan Alvin. Kalo kita maksa buat di sini nggak akan ngefek
apa-apa, lo tahu sendiri watak Shilla gimana.”
“Kita
pulang aja ya?” ajak Gabriel.
“Bentar,
Yel. Gue mau naruh ini,” ujar Ify mengacungkan kadonya.
Gadis
itu sengaja meletakkan kadonya di atas meja. Yang lain melakukan hal yang sama.
***
Hari
yang paling ditakutkan Shilla akhirnya datang juga. Hari dimana semua orang
perlahan meninggalkannya. Sendirian. Kali ini, tak ada tangis seperti kemarin,
seperti ketika Cakka dan kedua orang tuanya berlari meninggalkannya. Dia sudah
berjanji untuk tidak menangis hari ini, di hari ulang tahunnya.
Shilla
menghela nafas, berusaha menetralisir kepahitan. Gadis itu memejamkan matanya.
Mengapa rasanya hampa?
“Tuan
puteri....”
Panggilan
itu membuat Shilla membuka mata dan terkejut atas kehadiran Alvin. Sejurus
kemudian, dia melanggar janjinya untuk tetap kuat. Pertahanannya runtuh. Air
matanya meluruh dan menyatu dalam dekapan Alvin, satu-satunya orang yang masih
ada di sampingnya saat ini.
“Kenapa
musti gue, Vin? Kenapa semua orang ninggalin gue? Kenapa, Vin?” lirih Shilla
dengan isakannya.
Alvin
semakin mempererat rengkuhannya, “Ada gue, Tuan Puteri.”
Kalimat
itu lagi.
“Bintang
gue ikut pergi, Vin. Dia ninggalin gue,” racau Shilla.
Pelukan
itu semakin erat. Seharusnya Shilla tahu, saat ini bukan hanya dia yang butuh
kekuatan, tapi juga Alvin. Pemuda itu mendesah lalu mengesampingkan egonya
untuk gadis pujaannya ini.
“Gue
sayang Gabriel...”
“Gabriel
pasti juga sayang elo, Tuan Puteri.”
“Kalau
dia sayang sama gue, dia pasti ada di sini!”
“Dia
sayang elo.”
“Gue
benci Gabriel, Vin! Gue benci!!”
“Lo
sayang sama Gabriel.”
“Gue...
nggak bisa benci sama Gabriel...”
Tangis
Shilla semakin menjadi. Pikirannya benar-benar runyam. Alvin mengerti, gadis
itu pasti sudah terlalu lelah.
“Ada
gue, Tuan Puteri. Kita rayain ulang tahun lo sama-sama. Yuk?” ajak Alvin seraya
melepas pelukannya.
Setelah
menghapus air mata Shilla, dia membawa gadis itu untuk keluar lagi. Ternyata
anak-anak itu sudah benar-benar pergi. Alvin lantas mengajak Shilla ke tempat
pemotongan kue. Pemuda itu mengambil korek lalu menyalakan lilin-lilin yang
telah terpasang di kue tart bertuliskan “Happy Birthday Ashilla”.
“Happy birthday to you... happy birthday to
you... happy birthday happy birthday... happy birthday... Shillaaaa....”
Suara
Alvin yang menyanyikan lagu happy birthday membuat Shilla ingin menangis lagi.
Namun melihat usaha keras Alvin, Shilla menahan air matanya supaya tak tumpah
di hadapan pemuda ini. Apalagi Alvin menyanyikannya dengan wajah bahagia.
“Tiup
lilinnya tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang
jugaaaa. YAAAAYYY!”
Shilla
terkikik geli melihat wajah kegirangan Alvin layaknya anak SD yang sedang
merayakan ulang tahun. Diam-diam Alvin tersenyum, dia senang Tuan Puterinya
kembali.
“Potong
kue nggak nih?” tanya Alvin.
Gadis
itu tak berkata apa-apa, tapi tangannya bergerak meraih pisau dan memotong kue
tersebut. Sejurus kemudian, kue itu diangsurkannya pada Alvin.
“Untuk
sahabat yang selalu ada,” kata Shilla.
Hati
Alvin mencelos mendengarnya.
“Gue
suapin ya?”
Tanpa
menunggu jawaban, Shilla lebih dulu menyuapkan kue tersebut. Alvin membuka
mulutnya dan membiarkan kue itu masuk ke dalam perut. Manis. Seribu kali lebih
manis karena jarak wajahnya dengan wajah Shilla saat ini begitu dekat.
***
“Gue
minta maaf karena selama ini sok nggak kenal sama lo berdua,” ujar Cakka.
Rio dan
Gabriel saling pandang lalu terkekeh. Mereka melirik Ify yang saat ini
tersenyum tipis. Sementara itu, Agni dan Sivia sedang ijin ke toilet. Berhubung
mereka tidak jadi merayakan ulang tahun Shilla, mereka memutuskan untuk makan
bersama di Quest Resto. Kebetulan di bagian dalam sudah penuh, akhirnya mereka
memutuskan untuk memesan tempat outdoor.
“Nggak
perlu dibahas, Cak. Yang terpenting sekarang kita udah baikan lagi,” sahut Rio.
“Gue
nyusulin Sivia sama Agni dulu ya,” pamit Ify.
“Oke,
Fy.”
“Gue
sama Rio sering merhatiin elo, Cak. Sejak keluar dari The Wanted, you looks so different dan yang terpenting
lagi you found yourself,” ujar
Gabriel diangguki Rio.
Cakka
tersenyum, “Gue juga nggak nyangka. Sejak kenal Agni, Ify sama Sivia gue jadi
tahu kalo dunia itu luas. Banyak hal yang nggak pernah gue lihat atau alamin
sebelumnya. Gue jadi punya banyak temen, gue masuk tim inti basket, bahkan jadi
banyak yang naksir. Semua itu di luar nalar!”
“Mereka
hebat ya?” gumam Gabriel.
“Sivia,
Ify sama Agni,” imbuh Gabriel sebelum dua sahabatnya itu bertanya.
“Sivia
bikin dunia gue jungkir balik. Ditambah Ify, entah kenapa gue merasa dia sangat amat mengerti
gue. Dan meskipun gue belum kenal sama Agni, gue yakin dia juga hebat,” cerocos
Gabriel.
“Lo
bener, Yel. Ify anaknya emang peka. Meskipun kadang sama resenya kayak Sivia,
tapi dia sangat pengertian. Dia ngerti apa yang gue rasain tanpa gue harus
cerita,” timpal Cakka.
Sementara
Rio, pemuda itu tersenyum tipis lalu mengangguk setuju. Baginya, gadis yang
telah membuatnya jatuh hati itu sangat cantik dan sempurna. Dia bukan hanya
mengerti isi hatinya, tapi juga sahabat-sahabatnya.
“Kalo
Agni, Cak?” tanya Rio.
“Agni
luar biasa. Berkat dia, gue seperti lahir kembali. Gue bisa main basket lagi.”
“Gue
tahu. Nggak salah lo ninggalin The Wanted karena Agni,” kekeh Rio.
“Apa? Lo
keluar dari The Wanted karna gue, Cak?”
Tahu-tahu
saja Agni, Ify dan Sivia sudah kembali dari toilet. Cakka terkesiap lalu
mengangguk pelan. Selanjutnya Agni mendesah dan menutup wajahnya untuk
mengendalikan emosinya.
“Ag, lo
nggak pa-pa?” tanya Ify.
“Gue
merasa bersalah sama Shilla,” jawab Agni jujur.
Gadis
itu menggigit bibir bawahnya, dia baru paham mengapa Shilla membencinya. Dia
baru memahami mengapa Shilla bersikeras menyuruhnya untuk meninggalkan Cakka.
“Gue
udah ngerebut elo dari Shilla, Cak,” lirih Agni.
Cakka
berdiri lalu memperpendek jarak diantara dia dan Agni.
“Lo
nggak ngerebut gue dari siapapun karena gue bukan milik siapapun,” tandas
Cakka.
“Tapi...”
“Agniii,
lo sahabat gue. Shilla juga sahabat gue. Lo jangan ngerasa bersalah.”
“Bener
yang dibilang Cakka, Ag. Kita janji kok bakal baikan sama Shilla secepatnya.
Kalian juga bantu kita ya?” nimbrung Gabriel.
“Alvin
gimana?” tanya Sivia tiba-tiba.
“Alvin
bisa diatur. Semuanya tergantung Shilla. Kalau Shilla iya, Alvin juga pasti
iya,” jawab Rio sekenanya.
Sivia
mengangguk paham. Diam-diam dia cemburu.
***
Lagi-lagi
pemandangan baru di Budi Karya berhasil membuat heboh. Gosip-gosip mengenai
bubarnya The Wanted sudah menyeruak ke seluruh penjuru sekolah. Awalnya mereka
biasa saja melihat Shilla yang datang hanya bersama Alvin, tapi kedatangan
Gabriel dan Rio bersama Cakka, Ify, Sivia dan Agni menciptakan penafsiran bahwa
The Wanted sudah resmi bubar.
Banyak
spekulasi yang mendasari bubarnya The Wanted. Ada yang mengatakan Rio dan
Gabriel sudah sadar akan kebutaan mereka sehingga memilih bergabung bersama
Cakka. Ada yang mengatakan bahwa Shilla sedang mengirim Rio dan Gabriel supaya
Cakka kembali ke The Wanted. Yang paling membuat heboh, adalah dugaan mengenai
Rio dan Gabriel yang punya misi sedang melakukan pendekatan pada Ify dan Sivia
sehingga mengorbankan The Wanted. Gosip yang terakhir ini dilengkapi cerita
dari oknum yang memberi pernyataan bahwa dia pernah melihat mereka berempat di
Mall.
Mengenai
gosip tersebut, Rio dan Gabriel tak ambil pusing, berbeda dengan Ify dan Sivia
yang langsung mengklarifikasi. Bagi Sivia yang sudah naksir Alvin, tentunya
digosipkan dengan cowok yang tidak ia suka adalah malapetaka. Apalagi Rio dan
Gabriel sudah dianggapnya sebagai sahabat baik. Sedangkan Ify entah kenapa dia
hanya ingin meluruskan supaya Shilla tidak semakin salah paham.
“Bisa-bisanya
kita digosipin sama mereka ih!” kesal Sivia.
“Widih
elo Siv, sok banget nggak mau digosipin. Sudah terbiasa sendiri ya?” goda Debo yang baru masuk kelas.
Reflek
buku di tangan Sivia lansung mengenai kepala Debo.
“Sialan!
Doyan banget sih lu lemparin gue pake buku?” dengus Debo.
“Biar lo
pinteran dikit!” balas Sivia asal.
Debo
bergabung ke bangku Sivia dan Ify. Ify yang sedang menyelesaikan novelnya
langsung mendongak, tepat saat itu teman-teman yang lain juga ikut mengerubungi
bangku Sivia dan Ify.
“Eh
apaan nih? Kok jadi pada di sini semua?” protes Sivia.
“Lo
nggak mau cerita apa-apa ke kita gitu, Siv?” cetus salah seorang temannya.
“NGGAK!!
Intinya nih, gue sama Ify cuma temenan sama Rio sama Gabriel kayak kita temenan
sama Cakka. Jangan percayaan sama gosip-gosip nggak jelas itu,” tandas Sivia.
“Kalo
gitu gue yang mau cerita,” celetuk Debo.
“Cerita
apaan?” tanya Ify penasaran.
“Kalian
tahu nggak kalo Shilla ngundang semua temen sekelasnya ke pesta ulang tahunnya
semalem?” tanya Debo pada teman-temannya
termasuk ke Sivia dan Ify.
Mayoritas
dari mereka menjawab tidak tahu. Berhubung kelas mereka memang jauh dari kelas
The Wanted, jadi wajar saja kalau mereka sering telat info. Sivia yang
sebenarnya tahu hanya diam.
“Terus
kenapa?” tanya Ify heran.
“Semalem
pada kompakan nggak dateng. Ada dua anak yang bertugas jadi mata-mata gitu,
katanya pestanya sepi banget. Dan tadi pagi, mereka sengaja berantakin bangku
Shilla pake undangan pesta yang dia kasih, undangannya udah disobek-sobek
gitu,” jelas Debo membuat Ify dan Sivia terkejut setengah mati.
“Demi
apa lo, Deb?!” seru Sivia.
“Demi
gue jadi cowoknya Taylor Swift. Serius! Gue habis lewat kelasnya Shilla. Dia tadi
keluar kelas sambil disorakin gitu. Mana dia sendirian lagi. Kasihan gue
lihatnya,” sahut Debo.
“Alvin
ke mana?” tanya Ify tak dapat menyembunyikan kepanikannya.
“Tadi
gue ke ruang guru, ketemu Pak Reihan. Alvin juga ada di sana. Dia ngadep Bu
Maryam, gue denger sih nilai Alvin banyak yang remed terus Bu Maryam
ngomel-ngomel. Kalian tahu lah Bu Maryam kayak gimana.”
“Gabriel?
Rio? Cakka?” tanya Sivia.
Teman-teman
sekelas mereka hanya menyimak sambil sesekali menimpali.
“Nggak
tahu, gue nggak lihat Gabriel sama Rio. Kalau Cakka, anak basket dapet dispen
hari ini jadi mungkin dia udah di lapangan basket. Gue aja ke sini mau naruh
surat dispen ini doang,” jawab Debo seraya menyodorkan sebuah amplop.
“Siv,
gue cari Shilla terus lo—“
“Gue
ikut!” potong Sivia.
Ify
menggeleng, “Lo di sini aja. Kalo ada sesuatu langsung telpon gue.”
“Tapi,
Fy. Habis ini pelajaran kimia,” ucap salah seorang temannya.
Ify
mendesah. Dia tidak mungkin meninggalkan pelajaran kimia yang penting itu.
Gadis itu berharap Alvin segera kembali dan mencari Shilla.
***
Disaat
seperti ini, Alvin harus meninggalkan Shilla karena terpaksa. Bu Maryam
benar-benar marah padanya karena Alvin harus remedial di semua mata pelajaran.
Alvin sendiri tidak menduga bahwa dia harus mengalami hal ini, padahal dia
sudah berusaha semaksimal mungkin. Nyatanya akhir-akhir ini pikirannya memang
kacau dan berpengaruh ke mata pelajaran.
“Rio
sudah mengalami peningkatan, sekarang gantian kamu. Apa Ibu harus nyuruh kamu
belajar sama Ify juga biar kayak Rio?”
Pemuda
itu mengerutkan dahinya, “Rio belajar sama Ify, Bu?”
“IYA!
Saya yang nyuruh. Nggak mungkin saya nyuruh Gabriel karena dia anak pemilik
yayasan. Lebih nggak mungkin lagi saya nyuruh temen-temen kamu buat ngajarin
Rio,” cerocos Bu Maryam seolah sudah sangat paham pada The Wanted.
“Terus
Ibu mau saya gimana?” tanya Alvin.
“Sekarang
kamu kerjakan remedial ini sambil saya memikirkan cara supaya nilai kamu nggak
bikin saya pusing. Beruntung saya masih bisa ngerayu guru-guru biar kasih kamu
tugas lain,” ceplos Bu Maryam.
“Saya
harus di sini sampai kapan, Bu?” tanya Alvin membuat Bu Maryam mendengus.
Segalak-galaknya
Bu Maryam, dia kadang kesal sendiri jika harus berhadapan dengan Alvin. Apalagi
wajah cuek siswa didiknya ini membuatnya naik darah.
“Sampai
semuanya selesai!”
Alvin
tak bicara lagi. Pemuda itu meraih kertas yang berisikan daftar tugas yang harus
diselesaikannya. Sesaat Alvin menahan nafas begitu tahu isi dari kertas
tersebut.
1.
Biologi: Merangkum buku cetak
dari bab 1 sampai bab 10
2.
Matematika: Kerjakan 50 soal
pilihan ganda halaman 133
Dia
berhenti membaca. Baru dua tugas saja membuat perutnya melilit. Dari semua
tugas, hanya tugas Bahasa Indonesia yang masih bisa ditolerir. Dia hanya diberi
tugas membuat puisi bertemakan cinta. Berhubung hanya itu yang paling mudah dan
tidak membuat capek, Alvin mengerjakannya terlebih dahulu.
Alvin
menikmati setiap frasa yang ia goreskan dengan tinta di kertasnya. Ia tak tahu
mengapa puisinya terasa mudah untuk dituliskan.
Aku tak lagi takut pada dunia
Sebab segalanya terasa mudah jika bersamamu
Aku merasa hidupku seribu kali lebih indah
Sampai aku sadar aku telah jatuh cinta
Pada hati yang telah jatuh ke hati lainnya
Mungkin benar selamanya aku kan jadi bayang
Mungkin benar kau terlalu jauh untuk dapat
kuraih
Tak apa...
Sejauh apapun, asal kau tetap di bumi
Aku tetap mencintaimu...
Jemari
Alvin berhenti bergerak setelah menuliskan rangkaian kata tersebut. Semuanya mengalir
begitu saja, menggambarkan isi hatinya yang dipenuhi sosok Shilla.
***
Bersambung...
Semoga
part ini tidak mengecewakan. Saya tunggu kritik dan sarannya yaa! Kalo banyak
yang komen saya usahain akan rajin ngetik supaya ngaretnya nggak kelamaan
hehehe follow ask.fm saya ask.fm/fannyslma :)
1 komentar:
Wih makin seru dan makin penasaran, meski sedikit aga berbelit. Tapi (y) bagus
Posting Komentar