"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 12 Juni 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 12

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Halooo tim #BangkitkanCRAGSISA (?) saya datang bawain part 12 nih. Semoga ditunggu-tunggu sama kalian ya (?)

Hope you like it...

12


Mata sembab Shilla sudah sirna digantikan dengan wajah yang lebih cerah. Dia melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan kedua orang tuanya. Mungkin hanya sejenak, sampai mobil yang ditumpanginya ini membawanya kembali ke istana yang membuatnya sepi.
Malam ini, seperti janji The Wanted, mereka akan menemani Shilla mempersiapkan ulang tahunnya. Pada awalnya Shilla ingin membatalkan pesta itu, tetapi Alvin meyakinkan dirinya untuk tetap menggelar pesta supaya ia tak larut dalam huru-hara orang tuanya. Untuk itu, Shilla tak ingin terlihat menyedihkan di depan Gabriel.
Tak lama kemudian, mobil Alvin terparkir di depan rumah Rio. Rumah Gabriel memang lebih dekat dengan Shilla, akan tetapi pemuda itu justru sudah berada di rumah Rio. Tanpa kecurigaan sedikitpun, mereka mulai menjamah rumah Rio. Rumah ini nyaris sama dengan rumah Shilla yang sepi. Bedanya, Rio sudah biasa dan menikmatinya. Lagipula jarang sekali pemuda itu berada di rumah karena lebih sering menghabiskan waktu di kantor papanya.
“Yang mau ulang tahun seneng banget sih,” goda Gabriel.
“Iya dong!” seru Shilla.
Tak ada yang membahas masalah telepon Shilla sama sekali. Sementara itu, Alvin merasa ada sesuatu yang menyayat hatinya. Tanpa Gabriel berbuat apapun, dia mampu mencetak senyuman di wajah Shilla.
“Jadi, kita mau ke EO yang pernah dipakai Angel dulu atau hangout?” tanya Rio.
“Ke EO dulu deh,” usul Alvin.
“Biar hangout-nya bisa lama,” imbuhnya.
Keputusan itu akhirnya disepakati bersama. Kali ini, Alvin membiarkan kursi yang awalnya diduduki Shilla digantikan oleh Rio sedangkan gadis itu duduk di belakang bersama Gabriel.
Alvin berusaha fokus mengemudi. Sedari tadi, Shilla dan Gabriel sibuk bercanda di belakang sana. Pemuda itu reflek mencengkram stir dengan kuat sebagai pelampiasan amarahnya. Perlahan, cengkraman itu melemah. Mengapa ia tak pernah bisa berbuat apa-apa untuk dirinya sendiri?
“Lo kenapa,Vin?”
Pertanyaan Rio membuatnya gelagapan. Alvin memaksa terkekeh lalu menggelengkan kepala.
“Aneh,” gumam Rio.
“Shil, lo ngadain pesta dimana?” tanya Rio beralih ke Shilla.
“Di rumah aja kayaknya. Sekali-kali, biar rumah gue nggak sepi terus,” jawab Shilla.
“Dateng bawa temen boleh nggak?” tanya Rio—lagi.
Baik Shilla maupun Alvin sama-sama mengernyitkan kepala.
“Temen mana yang mau lo ajak? Tumben banget,” seloroh Alvin tanpa mengalihkan pandangannya.
Rio terkekeh sejenak, “Ada. Kalian tahu kok.”
“Oalahh... boleh dong. Ajak siapa aja sesuka kalian,” sahut Shilla sengaja menyebut ‘kalian’ yang berarti itu tak hanya berlaku untuk Rio.
Sejujurnya, Shilla mengira Rio akan mengajak Mas Dayat. Lalu terlintas hal lain seperti misalnya Alvin ingin mengajak Deva atau mungkin teman lain.
***
Acara menginap dilakukan dadakan antara Ify dan Sivia. Setelah jalan-jalan bersama Rio dan Gabriel, Sivia memutuskan untuk menginap di rumah Ify karena malas. Orang tua Ify yang sudah biasa dengan kedatangan Sivia pun tak masalah. Justru Ify yang merasa terganggu karena Sivia kompak dengan Ozy sejak dulu.
Mereka berdua sedari tadi sibuk menggodanya soal Rio. Sialnya, Ify lupa men-lock ponselnya sehingga chat Rio masuk, Sivia dapat dengan mudah membacanya.
Thanks for today, Alyssa. Uuuu tayang tayang so sweet sekali,” ledek Sivia.
Ify melotot lalu merebut ponselnya dengan paksa. Tahu begini dia memilih untuk mengusir gadis itu dari rumahnya. Lalu, Ozy datang dan menjadi sekutu. Terkadang Ify heran, mengapa bukan Sivia yang menjadi kakaknya Ozy? Mereka cocok sekali.
“Ntar kalo jadian sama Rio pokoknya lo nggak boleh lupain gue. Harus main sama gue! Jangan main sama The Wanted!” seloroh Sivia mulai posesif.
“Kenapa nggak ngomong depan kaca aja lu?” sahut Ify dongkol.
“Hmm... iya ya? Abisan kayaknya Alvin nggak suka sama gue,” sahut Sivia seraya merebahkan tubuhnya di kasur Ify.
“Alvin?” tanya Ify bingung.
“Iya, Alvin. Nggak tahu kenapa gue jadi suka mikirin dia. Menurut lo ini namanya jatuh cinta nggak?” balas Sivia.
Ify  yang tak tahu menahu soal Alvin dan Sivia reflek mendekati Sivia lalu duduk bersila di sebelah gadis itu. Sivia pun ikut merubah posisinya.
“Kok lo nggak pernah cerita soal Alvin?” tanya Ify heran.
“Nyaris cerita. Waktu kita sama-sama ngalamun, terus gue mau cerita eh keburu elo curhat soal bokap nyokap lo yang temenan sama bokapnya Rio. Habis itu Agni sama Cakka dateng. Gue jadi lupa,” jelas Sivia apa adanya.
“Terus? Terus?”
Sivia lantas menceritakan pertemuannya dengan Alvin beberapa kali tanpa terlewatkan. Ia juga mengungkapkan pada Ify mengenai perasaannya pada pemuda itu. Semua yang diceritakan Sivia benar-benar runtut. Terkadang, Sivia jadi membayangkan wajah Alvin saat pemuda itu menahan tubuhnya saat ia nyaris terpeleset.
“Jadi, Alvin? Bukan Gabriel ya?” gumam Ify.
Sahabatnya itu tak mendengar apa yang digumamkan oleh Ify.
“Tanggepan lo tentang Alvin gimana?” tanya Sivia penasaran.
Dia tahu persis bahwa sahabatnya ini memang pengamat yang baik. Sivia  tak pernah sungkan meminta pendapat Ify tentang seseorang.
“Sama seperti dulu. Misterius,” sahut Ify sekenanya.
Sontak Sivia mengerucutkan bibirnya. Ternyata jawaban Ify masih sama. Dulu, mereka memang sempat membicarakan tentang The Wanted dan kata Ify, Alvin itu yang paling misterius.
“Masa pengamatan lo nggak ada yang berubah sedikitpun?” selidik Sivia.
“Nggak. Terus kenapa tiba-tiba lo suka sama Alvin?” sahut Ify.
I don’t know. Semuanya mengalir begitu aja. Tapi, sikap dia yang terlalu cuek itu kayaknya bikin gue pesimis,” keluh Sivia yang tengah memeluk boneka kesayangan Ify.
“Bukannya dulu elo yang mati-matian anti sama The Wanted?” tanya Ify retoris.
Terdengar desahan nafas Sivia setelah pertanyaan itu terlontar. Sivia memejamkan matanya, mencerna kembali ucapan Ify yang akhir-akhir ini juga menjadi pertanyaannya. Gadis itu menggeleng pelan karena tak menemukan jawabannya.
***
Problematika itu menyerang semua tokoh utama. Agni, entah mengapa hari ini dia begitu aneh. Sejak pulang dengan keadaan yang bisa dibilang miris, dia hanya menanggapi Cakka seperlunya. Gadis itu masih bingung harus mengambil keputusan seperti apa. Melihat Sion dari sudut bangkunya, perasaan bersalah itu terasa semakin nyata. Ternyata huru-hara yang disampaikan teman-teman sekelasnya mengenai perubahan Sion benar-benar ada. Mengapa Agni baru sadar? Sion tak banyak bicara seperti dulu, dia seolah tersedot oleh dunianya sendiri, pemuda itu membentengi diri supaya tak ada yang bisa menyentuhnya. Termasuk Agni yang menjadi alasan utama.
Di sisi lain, Agni tak sanggup melepaskan Cakka, seseorang yang baru saja menghiasi hari-harinya. Pemuda itu membuat harinya jadi lebih indah. Agni mencintai Cakka sejak pertama kali menemukannya di lapangan indoor. Lantas, apakah dia harus mengenyahkan perasaan ini begitu saja? Sejujurnya... Agni tak bisa...
“Agni!”
Tahu-tahu Patton muncul di kelasnya. Gadis itu tak pernah siap jika ditanya macam-macam oleh Patton.
“Kayaknya lo tahu maksud kedatangan gue,” kekeh Patton lalu duduk di bangku depan Agni. Dia sengaja memutar kursinya supaya menghadap gadis itu.
“Apapun itu, menangkan pertarungan di hati lo dulu, baru lo menangin kenyataan. Cakrawala menanti Cakradara di pertandingan,” ujar Patton.
Semalam, pemuda itu menelpon Agni berkali-kali tetapi tak ada satu panggilan pun yang direspon. Makanya begitu tahu Agni sudah berada di kelas, Patton buru-buru menemui gadis ini sebelum menghindarinya lagi.
“Yang mau ada pertandingan kan Cakrawala,” bantah Agni.
“Kata siapa? Cakradara juga. Jadi, lo harus mempersiapkan tim lo untuk berhadapan dengan sekolah-sekolah lain. Lo mengerti kan?”
Agni lupa kemarin dia pulang dan tak mendapat kabar apa-apa mengenai tim basket putri yang dipimpinnya. Sekarang, Agni semakin merasa bersalah karena menelantarkan Cakradara. Patton benar, dia harus memenangkan pertarungan di hatinya dulu.
Thanks, Kak,” cicit Agni.
“Oh iya, Cakka khawatir sama elo. Simpan ego lo dulu ya, biarin Cakka fokus sama pertarungan pertamanya. Gue balik ke kelas dulu,” pamit Patton.
Cakka, pemuda itu mengkhawatirkannya. Agni jadi semakin bingung harus berbuat apa. Dia lupa bahwa Cakka begitu percaya akan persahabatan. Lalu, jika dia mengetahui maksud Agni mendekatinya karena perasaan terselubung itu, apakah dia masih bisa mempercayainya?
Di lain sisi, urusan Shilla bersama kedua orang tuanya belum sepenuhnya selesai meski Shilla tak ingin membahas apa-apa lagi. Hanya Alvin yang tahu mengenai perceraian kedua orang tuanya dan Shilla merasa sudah cukup membaginya pada pemuda itu. Sejak dulu, dia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan The Wanted, bahkan di depan orang-orang. Shilla lebih senang dilihat sebagai gadis yang kejam dan tak berperasaan dibandingkan terlihat sebagai gadis yang lemah.
Kepala Shilla semakin pusing saat dia berpapasan dengan Cakka di pintu kelas. Dia benci menghadapi kenyataan bahwa Cakka sudah berlari meninggalkan The Wanted. Mati-matian gadis itu menahan diri supaya tak menyapa Cakka, tak gembar-gembor mengenai pesta ulang tahunnya dan apapun yang dulu selalu dilakukannya. Shilla benci menyadari Cakka bukan lagi bagian dari The Wanted. Rencana mengenai penghasutan cewek-cewek rusuh—Ify dan Sivia—pun terlupakan.
Sejujurnya, jika ingin melihat kenyataan lebih detail, bukan hanya Shilla yang membenci keadaan ini. Tapi juga Cakka. Apalagi setelah memergoki Shilla menangis di danau bersama Alvin, pemuda itu jadi bertanya-tanya apa saja yang sudah dilewatkannya. Hati Cakka ikut berkonflik antara ingin kembali atau tidak. Pada akhirnya, Cakka memilih untuk tetap berada di zonanya saat ini.
“Shilla,” panggil Rio.
Shilla yang awalnya mengamati Cakka dari sudut matanya lantas beralih pada Rio yang duduk di belakangnya. Tanpa memberikan kesempatan untuk bertanya, Rio sudah lebih dulu menyodorkan macam-macam desain undangan pesta ulang tahun.
“Udah dikasih ya, Yo?” tanya Gabriel yang sedari tadi mencoba menyelesaikan soal matematika di buku cetaknya.
Rio mengangguk, “Tadi pagi dianterin Mas Dayat.”
“Menurut kalian bagusan yang mana?” tanya Shilla.
Awalnya Alvin sibuk memainkan game tetapi mendengar pertanyaan Shilla, dia ikut bergabung. Dia melihat ada beberapa desain yang memang telah disaring sebagai desain terbaik dari pihak EO. Tetapi, ada satu desain yang paling menyita  perhatian Alvin. Desain tersebut berbentuk seorang gadis yang mengenakan gaun dan mahkota, mengingatkan Alvin pada sosok Shilla yang sering kali disebutnya sebagai Tuan Puteri—dan terkadang Gabriel, Rio dan Cakka ikut menyebut demikian.
“Ini gimana?” usul Alvin.
“Tapi diganti siluet lo,” imbuhnya.
The Wanted reflek mengamati desain yang ditunjuk Alvin. Dari semua desain yang terlihat mewah, desain ini yang paling sederhana tetapi tetap elegant.
“Menurut kalian gimana?” tanya Shilla—lagi.
“Bagus. Itu aja,” dukung Rio.
Shilla tampaknya masih ragu.
“Kayaknya oke juga yang dibilang Alvin. Nanti diganti siluet lo. Sekalian ngasih asupan vitamin A buat orang-orang,” timpal Gabriel seraya terkekeh.
“Bener ini aja?” tanya Shilla merespon Gabriel. Lelaki itu hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Ya udah, ini aja. Tolong sampaiin ke Om Dian ya, Yo,” ujar Shilla.
“Siap.”
Lagi-lagi hal sederhana yang dilakukan Gabriel bisa membuat Shilla mengangguk patuh. Saat Alvin memberi usul, Shilla terlihat ragu, termasuk saat Rio menyetujui. Giliran Gabriel buka suara, Shilla justru menyetujui. Mengapa Alvin selalu jadi bayangan?
***
Jam olahraga adalah hal yang membuat Ify ingin kabur dari sekolah. Bukan karena dia payah dalam berolahraga—Ify justru sangat jago—tetapi karena jam olahraganya bersamaan dengan jam olahraga kelas Rio. Meski sudah akrab dengan lelaki itu, Ify masih belum bisa menyesuaikan diri bertemu dengan Rio di jam sekolah. Mereka bahkan pura-pura tak kenal. Berbeda dengannya, Sivia justru semangat karena bisa menonton Alvin yang biasanya kabur dari jam olahraga.
Tanpa mempedulikan Sivia yang curi-curi pandang ke arah pemuda itu, perhatian Ify tersita oleh sosok Rio yang duduk di tepi lapangan bersama Shilla. Dia bisa melihat Rio yang masih mengantuk. Ify jadi ingat Rio pernah berkata mengenai rapat perusahaan yang disalahartikan olehnya. Dia pikir, rapat perusahaan yang dimaksud adalah rapat bersama The Wanted. Lalu, Ify jadi tahu kalau Rio sudah mendapat wewenang sebagai bos di perusahaan papanya—Reon Haling.
“Lihatin apa lo?”
Tahu-tahu sudah ada Debo yang duduk di sebelahnya. Ify sedikit terkesiap namun dapat menyesuaikan diri kembali.
“Tuh, kelasnya The Wanted,” jawab Ify tak sepenuhnya berbohong.
“Pak Reihan sama Pak Dave sepakat ngadain sparing antara kelas kita sama kelas mereka,” sahut Debo tidak nyambung.
Sparing apa?” tanya Ify menanggapi.
“Futsal. Apalagi emangnya? Pak Dave kan basic-nya di futsal, nggak kayak Pak Reihan yang jago basket. Kebetulan sekali Pak Reihan lagi ke Jogja buat ngurusin pertandingan basket Cakrawala sama Cakradara,” jelas Debo.
Ify hanya ber-oh-ria karena baru sadar ini pertama kalinya kelas mereka menggunakan lapangan yang sama. Lalu, Ify berpikir Pak Dave akan menunjuk tim yang futsal adalah dari anak-anak putra. Sayangnya, Pak Dave justru menunjuk anak-anak putri dan sialnya Ify terpilih.
Niat terselubung Rio untuk tidur di rooftop seperti biasa tiba-tiba digagalkannya sendiri karena nama Ify disebutkan. Dia lebih berminat menonton Ify yang sedang futsal daripada melewatkannya. Dalam hati, Rio bertanya-tanya apakah gadis yang pembawaannya selalu tenang itu bisa bermain futsal?
“Kapten kelas XI IPA 1 Ashilla dan XI IPA 4 Alyssa,” ujar Pak Dave membuat mata Ify terbelalak lebar.
Dia berhadapan dengan Shilla! Yang benar saja?
Sivia yang tak terpilih memberi dukungan pada sahabatnya dengan semangat 45. Bahkan, gadis itu ingin sekali ikut. Pak Dave memang tidak pernah kompak dan sejalan dengan Sivia. Lagipula, Sivia lebih jago olahraga senam lantai dibandingkan futsal.
Bukan hanya Sivia yang bersemangat, tetapi juga teman-teman sekelas yang terpilih sebagai penonton. Sejujurnya, kelas XI IPA 1 memang didominasi oleh anak laki-laki sehingga mau tak mau semua kaum putri di kelas tersebut harus berpartipasi. Pemandangan ini sangat langka mengingat karakter Shilla dan Ify yang sangat kontras. Namun, ada satu sifat mereka yang sama persis. Percaya diri. Dalam keadaan apapun, sadar atau tidak, dua gadis itu selalu percaya diri hingga tak ada yang dapat membaca kegusaran mereka sedikitpun.
The Wanted sendiri biasa saja, termasuk Cakka. Mereka mengira semuanya akan aman terkendali. Akan tetapi, ucapan Debo yang duduk di sebelah Cakka membuat Rio, Gabriel dan Alvin reflek terkesiap.
“Ify jago banget kalo soal olahraga. Kayaknya Shilla bakal dibabat habis sama Ify,” ucap Debo.
“Lo serius? Tapi, kayaknya...”
“Kayaknya Ify bukan anak olahraga gitu? Waktu SMP dia sering dapet penghargaan di bidang olahraga termasuk karate. Basketnya juga nggak kalah dari Agni. Pak Dave tahu, makanya Ify sengaja dipilih jadi pentolan. Mungkin itu sebabnya kita nggak bisa menilai orang dari luarnya aja,” sela Debo seraya terkekeh.
Dan detik itu, mereka tahu akan ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang di luar dugaan karena pemikiran mereka pada Ify pun diluar dugaan.
***
Hal yang tak pernah dibayangkan Shilla dalam hidupnya adalah dia harus bermain futsal di tengah-tengah lapangan dan menjadi tontonan. Dia memang sudah terbiasa menarik perhatian, tetapi bukan dengan cara seperti ini. Sayangnya Shilla sudah tak bisa berkelit saat anak berbando pink di tim lawan menendang bola.
Shilla memilih mengikuti alur. Gadis itu berlari mengejar bola, di sisi lain gadis yang disebut Pak Dave sebagai Alyssa melakukan hal yang sama. Di luar dugaannya, gadis rusuh yang dipikir Shilla tak punya kemampuan apa-apa di futsal seperti dirinya justru sangat lihai. Dengan gesit Alyssa menendang bola, mengopernya, berlari lagi menghampiri bola tersebut lalu mencetak gol dengan sempurna. Shilla sempat terpukau namun akhirnya sadar kembali.
Sialnya, di timnya tak ada yang mau bekerja sama dengannya. Shilla tahu petaka ini. Setiap kali dia mengoper bola, tak ada yang mau menerima hingga bola itu dapat dengan mudah dicuri tim lawan, sedangkan saat timnya yang memegang kendali atas bola tersebut maka dia tak memiliki kesempatan untuk menerima operan. Sial! Shilla bersungut menyadari bahwa tak ada yang menganggapnya di permainan ini.
Sementara itu, Shilla dapat melihat betapa Alyssa dapat menjadi kapten yang baik. Dia dengan mudah memberi intruksi dan semua anak di timnya akan mengikuti. Tak ayal, tim Shilla dibabat habis oleh tim Alyssa hingga timnya kualahan.
“Anjir! Satu jam main tapi kelas belum dapet poin sama sekali. Itu yang namanya Alyssa keren banget mainnya,” ceplos salah satu anak di kelas XI IPA 1 dengan bersungut-sungut.
“Eleh nggak pa-pa. Yang penting gue bisa lihat muka panik Shilla. Sukurin itu anak sombong, biar nggak banyak gaya,” timpal teman di sebelahnya.
Yang lain menyetujui apa yang dikatakan anak ini. Sementara itu, Cakka yang berada tak jauh dari posisi mereka mengobrol berusaha menahan diri untuk tak menerjang teman-teman sekelasnya. Untungnya The Wanted terlalu fokus pada pertandingan hingga tak mendengar obrolan teman-teman sekelasnya.
Debo yang tahu ekspresi wajah Cakka berubah lantas menepuk bahu pemuda itu lalu tersenyum padanya. Rikuh, Cakka balas tersenyum.
Pertandingan antara tim XI IPA 1 dan XI IPA 4 semakin seru. Pak Dave yang menonton tak ada niatan menghentikan. Padahal biasanya futsal anak-anak putri tak seseru ini. Di lain sisi, Ify tahu tenaga Shilla semakin habis menghadapi perlawanan dari kelasnya sehingga membuatnya mengkoordinasi supaya mereka mengurangi perlawanan karena mereka sudah unggul jauh.
“Fy, bener nih?” tanya Irva.
Ify hanya mengangguk lalu fokus kembali. Sejujurnya, Ify lebih fokus pada Shilla daripada pertandingan ini. Dia tahu Shilla berusaha sendirian di timnya dan tenaganya mulai terkuras habis. Kali ini Ify memilih tak tampak.
Sampai pada akhirnya, sebuah bola melayang cepat ke arah Shilla. Ify berlari secara reflek untuk menyelamatkan gadis itu. Kaki Shilla mendadak lumpuh menyaksikan tendangan bola tersebut menuju ke arahnya. Gadis itu memejamkan mata, siap menerima apabila bola tersebut menghantam wajahnya dengan sangat keras. Akan tetapi, gadis itu tak merasakan apa-apa, dia justru mendengar semua orang meneriakkan nama Ify dengan nada panik. Shilla lantas membuka matanya dan terkesiap ketika tahu bola itu justru menghantam Alyssa hingga gadis itu tersungkur kesakitan.
Semua orang mengerubungi Alyssa. Tak lama kemudian, Alyssa diangkat dan dibawa ke UKS oleh Cakka dan teman barunya. Sementara Shilla benar-benar masih shock. Gadis itu hanya terdiam di tempatnya seperti patung.
“Shilla, lo nggak pa-pa kan? Shilla...”
Bahkan, saat Alvin datang tergopoh-gopoh menghampirinya dengan panik pun Shilla masih bungkam. Gadis itu sangat shock.
***
Tak butuh waktu lama peristiwa di lapangan sampai ke seluruh penjuru Budi Karya. Tak sedikit yang mengolok-olok Shilla karena gadis yang diselamatkan oleh Ify itu justru diam saja sementara Ify menahan sakit. Bahkan, The Wanted yang biasanya cuek dengan pemberitaan apapun mengenai mereka kini justru ingin membalas olokan tersebut. Di lain sisi, Shilla masih setia dengan aksi bungkamnya. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Saat Rio memberitahukan keadaan Ify pun, Shilla tetap bungkam.
Semua orang mengira Shilla tak tahu berterima kasih atau mengira hati Shilla sudah benar-benar mati. Kenyataannya, Shilla hanya tak tahu harus berbuat apa. Tak pernah ada yang memberikan pertolongan padanya selain The Wanted. Lebih-lebih, pertolongan tersebut justru mengorbankan dirinya hanya untuk Shilla.
Sementara itu Ify yang masih berada di UKS berpesan pada sahabat-sahabatnya supaya tak menghakimi Shilla. Awalnya, Sivia yang paling marah akan keputusan Ify, tapi akhirnya mengerti kalau Ify tidak mau ada keributan. Sivia tahu Ify begitu tulus dan baik.
“Jadi, gimana, Dok?” tanya Pak Dave pada dr. Permana.
Sivia, Cakka, Debo dan Agni yang tetap menemani Ify ikut menyimak pembicaraan tersebut. Biar bagaimanapun, mereka perlu tahu kondisi Ify.
“Saya perkirakan minggu depan Ify sudah sembuh total. Yang terbentur bola hanya bahu sebelah kiri, saya tahu benturan itu sangat keras karena kulitnya sobek dan berdarah. Apa saat itu Ify juga sempat terjatuh?”
Pak Dave mengangguk. “Ify bergerak secara reflek.”
“Oh, saya paham. Jadi, karena gerakan itu reflek maka dia tidak sanggup menahan dan akhirnya terjatuh dengan cukup keras pula. Ada luka-luka kecil dimana-mana, kakinya pun keseleo. Sampai minggu depan, kakinya baru bisa dibuat berjalan normal. Untuk sementara saya sarankan pakai tongkat terlebih dahulu,” jelas dr. Permana yang membuat Sivia menatap sendu ke arah Ify.
Disaat dia harus menanggung hal yang seharusnya diperuntukkan Shilla pun, sahabatnya tak menyesal melakukan tindakan bodoh tersebut. Lagi-lagi, Ify meminta mereka untuk tidak menghakimi Shilla.
“Cakka dan Debo, kalian ada latihan ya setelah ini?” tanya Pak Dave.
Dua pemuda itu sontak mengangguk. Pertandingan semakin dekat, Pak Reihan lantas meminta dispensasi untuk Cakka dan Debo yang merupakan tim Cakrawala supaya dapat berlatih keras.
“Agni, tolong carikan orang yang bisa mengantarkan Ify pulang,” titah Pak Dave.
Belum sempat Agni menjawab, seseorang lebih dulu menyela.
“Biar saya saja yang mengantar Ify.”
Pandangan mereka tertuju pada Rio yang entah sejak kapan telah berada di ambang pintu UKS. Tanpa keraguan sedikitpun, Rio meminta Pak Dave supaya mengijinkannya mengantarkan Ify. Asal tahu saja, pemuda itu sama paniknya dengan Sivia, tetapi ia tak bisa melakukan apa-apa mengingat posisinya sebagai sahabat Shilla.
“Kamu yakin, Rio?” tanya Pak Dave memastikan.
Rio mengangguk. Dia tahu, saat ini Cakka, Debo dan Agni memandangnya dengan aneh tetapi ia tak peduli. Kekhawatirannya pada Ify telah mendominasi.
“Kalau Bapak setuju, saya bisa ijin sebentar untuk mengantar Ify,” sahut Cakka.
Pandangan Pak Dave beralih pada Cakka. Rio, pemuda itu mengepalkan tangannya. Pada saat seperti ini Cakka justru mengibarkan bendera perang. Sepertinya pemuda itu tak rela jika Ify harus pulang bersamanya.
“Lo kan ada latihan,” balas Rio sangsi.
“Nggak lebih penting dari Ify kok,” bantah Cakka seolah mempertegas posisi Ify yang telah menggeser The Wanted di hidupnya.
“Saya pulang sama Rio aja, Pak,” kata Ify menengahi.
“Tapi, Fy—“
“Cak, lo kan kapten. Kalo lo mau lihat gue baik-baik aja, pimpin Cakrawala ke final. Gue pulang sama Rio,” potong Ify.
Cakka mengerucutkan bibir lalu pasrah. Sementara itu, Rio ingin sekali menampar dua anak ini karena mempertontonkan drama menjijikkan. Lebih tepatnya lagi, dia tak rela Ify mengatakan kalimat yang biasa diucapkan pasangan kekasih di film romantic.
“Lu jangan manyun-manyun! Ini bantuin Ify jalan,” semprot Sivia.
Diam-diam Pak Dave tersenyum menyaksikan persahabatan mereka. Pak Dave tahu betapa khawatirnya anak-anak ini pada keadaan Ify meskipun dr. Permana telah mengatakan bahwa Ify akan sembuh total minggu depan.
***
“Marshmallow.”
Shilla mendapati sebungkus marshmallow berwarna pink di hadapannya. Gadis itu mendongak dan tahu bahwa Alvin lah yang menyodorkan marshmallow tersebut. Sejenak, Shillla terkekeh lalu menerima marshmallow tersebut. Tanpa segan, Shilla membuka dan memakan marshmallow-nya. Manis.
“Udah lebih baik?” tanya Alvin.
Sejenak, Shilla tertegun. Ternyata Alvin menyadari kepanikannya. Dia pikir, Alvin sama saja dengan orang-orang yang mengambil kesimpulan lain atas sikapnya.
“Lo selalu mengerti gue,” lirih Shilla tersenyum getir.
Alvin sontak merangkul Shilla supaya jarak diantara mereka terhapuskan. Pemuda itu memberikan kenyamanan yang tak Shilla dapat dari siapapun. Bahkan, harapan Shilla mengenai Gabriel yang akan datang menenangkannya musnah. Selalu. Disaat dia mengharapkan kehadiran Gabriel, Alvinlah yang selalu datang.
“Lo nggak berpikiran kalau gue nggak berperasaan? Gue cuma diem, sementara gue tahu cewek itu berdarah untuk gue,” racau Shilla.
Kelas memang sepi, hanya ada mereka berdua. Gabriel dan Rio entah kemana. Mereka tak terlihat lagi setelah Rio mengabarkan keadaan Ify padanya.
“Lo cuma lagi mencerna,” ralat Alvin.
Dan untuk ke-tiga kalinya, air mata Shilla meluruh menyusuri pipi putihnya. Dengan sigap, Alvin menyapu titik bening itu seperti biasa.
“Akhir-akhir ini lo suka nangis,” gumam Alvin.
Di sisi lain, Gabriel tengah berhadapan dengan kepala sekolah. Kabar yang beredar mengenai kecelakaan di lapangan ternyata sampai ke telinga beliau. Jadilah sedari tadi pemuda itu berada di ruangan kepala sekolah dan terjadi perdebatan sengit antara mereka berdua. Meski Gabriel adalah anak dari pemilik yayasan, kepala sekolah tidak tunduk di bawah Gabriel begitu saja. Biar bagaimanapun, beliau yang memegang kendali atas Budi Karya.
“Saya harap semuanya akan baik-baik saja, Gabriel.”
Rikuh, pemuda itu mengangguk pelan lalu pamit dan kembali ke kelas.
Koridor yang awalnya ramai membahas Shilla mendadak hening diiringi bisik-bisik dari segala arah saat Gabriel melintas. Tepat saat itu, ia menangkap sosok Rio bersama Ify dan teman-temannya di parkiran. Pantas saja semakin ramai. Ternyata Rio penyebabnya.
Gosip itu semakin menjadi. Rata-rata menganggap Rio adalah orang suruhan Shilla karena gadis itu tidak sudi berurusan dengan Ify. Lalu, perdebatan sengit antara Shilla dengan Ify saat berada di kantin dan koridor pun kembali naik ke permukaan seolah-olah hal tersebut cukup membuktikan bahwa Shilla memang membenci Ify. Belum lagi ada yang menambahi mengenai Cakka yang sekarang berada di pihak Ify.
Gabriel menjambak rambutnya dengan frustasi. Pemuda itu berusaha menulikan telinga dan kembali ke kelas. Langkah Gabriel terhenti saat tahu di kelas hanya ada Alvin dan Shilla. Pemuda itu sengaja tak menampakkan diri.
“Percaya sama gue, suatu saat kita akan punya kesempatan untuk jadi diri sendiri.”
Ucapan Alvin yang menyapa telinga Gabriel cukup membuatnya tersentak. Jadi, apakah selama ini mereka sadar mengenai kepura-puraan yang tercipta saat ini?
***
Sepulang sekolah, Alvin langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa tanpa mengganti seragamnya. Ingin sekali dia berkata bahwa dia lelah. Masalah Shilla, entah mengapa menjadi masalahnya. Di sisi lain, dia masih menanggung sekelumit masalah dengan Deva. Sejak pengakuan Deva mengenai ketidaksukaannya pada The Wanted, pemuda itu tak pernah muncul di rumah ini lagi.
Alvin menjambak rambutnya. Memikirkan kisah cinta diam-diamnya yang sudah berlangsung enam tahun saja membuatnya ingin bunuh diri. Ditambah kenyataan bahwa gadis yang selama ini mengisi hatinya itu justru mencintai sahabatnya sendiri. Sekarang, dia harus memikirkan banyak hal dalam waktu bersamaan.
“Gue bisa gila kalo gini terus,” gumamnya.
Pemuda itu berdiri lalu menuju ke kamarnya. Foto-foto polaroid yang berisikan foto candid Shilla dan tersusun rapi dalam kalimat MY DREAM itu menyapanya. Ya, sejak memasang, dia tak pernah berniat mencopotnya.
Sesaat dia tertegun menyadari kalimat itu. MY DREAM. Bahkan, sejak pertama kali jatuh cinta, Alvin sudah yakin bahwa Shilla hanyalah bagian dari mimpi.
“Cantik,” gumam Alvin menunjuk salah satu foto Shilla.
Foto itu favoritnya. Shilla yang tengah tertawa lebar tanpa ada guratan beban di wajahnya. Alvin meringis, akhir-akhir ini gadis itu lebih sering menangis timbang tertawa. Alvin berjanji akan selalu menghapus air mata itu sampai seseorang menggantikan posisinya. Mungkin orang itu adalah Gabriel, pengisi hati gadisnya.
Tok... tok... tok...
Alvin terkesiap lalu buru-buru membuka pintu. Deva. Kakaknya yang lama menghilang kini ada di hadapannya.
“Papa mau ketemu nanti malam,” ujar Deva to the point.
Tanpa berucap lagi, Deva membalikkan tubuhnya.
“Dev,” panggil Alvin secara reflek.
Langkah kakaknya itu pun terhenti. Deva membalikkan badan kembali, lalu melempar pertanyaan melalui sorot matanya.
Everything is ok, right?” tanya Alvin menyiratkan sebuah perdamaian.
Maybe,” balas Deva menggantung kemudian melanjutkan langkahnya.
Deva pergi lagi. Sejurus kemudian, Alvin mendesah. Sepertinya Deva memang belum bisa berdamai dengannya. Mendadak dia ingin masuk ke kamar kakaknya. Dilancarkannya niat itu sebelum Deva kembali.
Alvin membuka pintu kamar Deva perlahan. Meski Alvin dan Deva memiliki kebiasaan yang sama, yakni tidak pernah mengunci kamar, mereka sama-sama tak pernah masuk ke kamar yang bukan areanya. Biasanya Alvin hanya berdiri di ambang pintu sehingga tak begitu tahu mengenai detail kamar Deva, begitu pula sebaliknya.
Hal yang paling menyita perhatian Alvin saat pertama kali membuka pintu adalah sebuah foto-foto berukuran kecil yang digantung dengan lucu. Alvin terkekeh, tak tahu bahwa ia dan Deva memiliki banyak kesamaan. Kekehan itu sirna karena Alvin baru sadar foto-foto tersebut berisi foto masa kecilnya bersama Deva. Masa-masa ketika waktu bermain Alvin hanya untuk Deva. Kakaknya itu bahkan menuliskan tahun foto tersebut diambil. Sampai akhirnya, ada bagian yang kosong tetapi masih tetap diberi keterangan tahun. Tahun dimana ia mulai mengenal The Wanted dan melupakan sosok Deva.
Untuk pertama kalinya, Alvin menangisi kebodohannya. Dia tak pernah tahu akan kesepian yang didera Deva sejak ia bertemu The Wanted.

***
Bersambung...
Makin ke sini makin nggak greget ya -_- saya sebagai author pun bingung mau dibawa kemana cerita ini(?) semoga kalian masih berniat baca part selanjutnya sampai ending ya;')
Btw apa sih pesan yang kalian dateng dari WYHM setelah baca dari part 1 sampai 12 ini? (kalo kalian mau jawab sih._.)
Oh iya, yang mau nanya-nanya bisa ke ask.fm/fannyslma hehe maaf saya jarang balesin komentar tapi dibaca semua kok:)

2 komentar:

@adi.permana mengatakan...

Bagus ka lanjutkan, jadi penasaran

Unknown mengatakan...

Aku suka ceritanya,ngga bikin bosan,selalu penasarn sama kelanjutannya,,

Posting Komentar