Tittle:
When You Hold Me
Author:
Fanny Salma
HAIII GUYSSS!!! FINALLY, WAITING IS OVER! Hehehe kayak ada yang
nungguin aja ya. Langsung aja yuk baca
Hope you like it...
27
-LAST PART-
Dia
pergi. Alvin benar-benar pergi. Sudah beberapa hari ini pemuda itu menghilang
tanpa jejak, selama itu pula Shilla merasa kosong. Ify dan yang lain sudah
berusaha menghibur tapi Shilla nampak masih terfokus pada pikirannya yang
dipenuhi nama Alvin. Gabriel, Cakka dan Rio ikut sedih menyaksikan sahabat
mereka yang seperti tak bernyawa tapi di lain sisi mereka pun mengkhawatirkan
keadaan Alvin.
Saat ini
mereka sedang berada di kantin. Shilla yang tengah mengaduk-aduk jus alpukatnya
tiba-tiba mendongak.
“Kenapa
seseorang jadi sangat berharga ketika dia udah pergi?” gumam Shilla membuat
yang lain fokus padanya.
Gabriel
tampak menyandarkan punggungnya, “Karena lo berpikir dia nggak akan
kemana-mana.”
“Cinta
emang rumit. Cinta bisa datang kapanpun, dimanapun, termasuk nyelip di
persahabatan kita,” kata Gabriel lalu menarik nafas panjang.
Gabriel
tak berucap apa-apa lagi. Pemuda itu menatap lirih ke arah Sivia yang sedang
memperhatikannya. Jujur, dia bingung menyikapi keadaan ini. Dia sedih
menyaksikan kesedihan Shilla, dia juga sedih karena Alvin mendadak menghilang,
tapi di sisi lain dia bahagia karena kembali dekat dengan Sivia.
“Eh
jangan lupa nanti malem secret project,”
celetuk Cakka mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya!
Nyaris aja gue lupa! Duh, Shil, lo mau bantuin gue nyari dress nggak?” timpal Agni berusaha merespon kode Cakka dengan baik.
“Kayaknya
gue nggak dateng,” gumam Shilla.
Ia malas.
Benar-benar tidak ada gairah untuk melakukan apapun selain membuka memori lama
bersama Alvin.
“Kenapa
nggak dateng?” tanya Rio menimpali.
“Nggak
minat,” jawab Shilla.
“Lo
nggak ngehargain gue yang udah capek-capek nyiapin acara ini?” sindir Gabriel.
Shilla
meringis, “Nggak gitu—“
“Kalau
gitu dateng,” potong Gabriel cepat.
“Tapi—“
“Nanti
sepulang sekolah kita nyari dress
bareng-bareng,” potong Agni.
“Oke,” putus
Shilla frustasi.
“Nah
gitu dong!”
Diantara
kehebohan itu, Ify satu-satunya yang tak menanggapi dengan baik. Dia justru
memilih untuk mengikuti suasana. Jika ada yang tertawa dia ikut tertawa, jika
tidak maka ia juga tidak tertawa. Tidak ada tanggapan apa-apa darinya.
“Kamu
kenapa?” tanya Rio pelan.
Ify
menoleh, “Nggak tahu.”
Pemuda
itu hanya mengangguk dan tak berkomentar apa-apa. Ify sendiri bingung, tapi
hanya sekejap dan memilih untuk tidak ambil pusing.
***
Hal yang
tak pernah diduga oleh Sivia adalah... Gabriel jatuh cinta padanya. Sangat
dalam hingga ia tak dapat mengukur kedalaman cinta Gabriel untuknya. Yang
jelas, semalaman ia tidak bisa tidur karena cerita Ify mengenai pemuda itu yang
nyaris akan menembaknya tepat di malam ketika ia dan Alvin jadian.
Kira-kira apa yang dirasakan pemuda itu dulu? Apakah sesakit saat ia diputuskan
oleh Alvin? Atau justru lebih? Ia pikir selama ini Gabriel menganggapnya teman
merusuh, teman jalan-jalan, teman debat pendapat, apapun itu. Hati Sivia
semakin teriris ketika mengetahui kenyataan bahwa bunga yang akan diberikan
Gabriel padanya justru tersasar ke Shilla. Padahal Shilla sempat jatuh cinta
pada Gabriel.
Sivia
mendengus, tak menyangka bahwa tanpa sadar ia menyakiti dua orang sekaligus dan
dua-duanya berharga. Baginya, Gabriel sama seperti Ify. Ia sahabat yang mampu
mengerti apapun yang ia rasakan sementara Shilla... meskipun dulu mereka sempat
cekcok, tapi Shilla sudah berubah menjadi gadis berhati malaikat. Karena itu
pula Shilla berharga baginya. Gadis itu lantas berpikir, apakah ia harus
memberikan kesempatan pada Gabriel atau tidak? Luka yang diciptakan Alvin
kemarin belum sepenuhnya sembuh tapi ia tak mungkin terus menikmati luka ini.
Ia butuh penawar. Dan Gabriel, dia seperti orang yang tepat untuk dijadikan
penawar sekaligus penangkal.
“Mikirin
apa?” tanya Agni membuyarkan lamunan Sivia.
Gadis
itu menoleh setelah berjingkat karena sedikit kaget. Sesuai kesepakatan, mereka
berempat—Ify, Shilla, Agni dan dirinya—memang tengah mencari dress untuk dikenakan nanti malam dalam
acara blind date. Shilla lantas
menghubungi Tante Nahni, pemilik butik langganannya yang merupakan ibunda dari
Brian, si artis terkenal.
“Galau
gue,” curhat Sivia.
“Galau
kenapa? Masih mikirin Alvin?” tanya Agni membuat Sivia menggeleng keras.
Diam-diam
dia memastikan Shilla tak ada di sekitaran sini karena takut sahabatnya itu
salah paham karena Agni asal nyeplos. Untungnya Shilla masih di ruang ganti
sedangkan Ify masih memilih-milih dress
yang cocok.
“Gabriel?”
tebak Agni tepat sasaran.
“Hhh,”
Sivia membuang nafas kasar.
“Kenapa
sih jatuh cinta itu ribet banget? Tahu begini, gue nggak jatuh cinta,”
gerutunya dengan nada frustasi.
Agni
tersenyum, “Emang ada orang jatuh cinta pakai persiapan dulu?” candanya.
“Jatuh
cinta itu kita nggak tahu. Begitu tahu, ternyata udah jatuh,” lanjut gadis itu.
“Gitu?”
gumam Sivia.
“Gue
bingung, Ag. Bingung banget mau sama Gabriel apa nggak,” kata gadis itu lagi.
“Emang
dia nembak elo?” tanya Agni dengan alis terangkat.
Sivia
menggelengkan kepalanya dan memasang ekspresi tanpa dosa. Reflek Agni menoyor
sahabatnya itu dengan kesal.
“Terus
ngapain lo galau?” tanya Agni sewot.
Sivia
mengerucutkan bibir, “Dasar tim menolak Sivia bahagia terkurang ajar. Ya,
sekarang sih emang dia nggak nembak tapi kalau tiba-tiba nembak gimana? Gue
musti jawab apa?”
“Terima
lah.”
Bukan.
Bukan Agni yang menyahut. Sivia dan Agni sontak mendongak dan mendapati Shilla
serta Ify berdiri dengan beberapa dress berwarna hitam di tangan. Mereka berdua
lantas mengambil tempat di sebelah Agni.
“Gue
yakin kalau Gabriel nggak akan nyakitin lo. Buktinya, dia selalu berusaha
nyenengin elo,” ceplos Ify.
“Tapi,
Fy... gue kan baru putus. Terus tiba-tiba gue jadian sama Gabriel? Sahabatnya
sendiri? Pasti bakal ada omongan nggak enak soal gue.”
Ify
mengangguk paham. Jadi hal ini yang sedang berkecamuk di dalam kepala Sivia.
“Menurut
gue, jangan sampai lo salah ambil keputusan. Ketika dia udah menyerah bejuang
buat lo dan memilih pergi, akan ada penyesalan yang mendalam,” timpal Shilla
seolah mencurahkan apa yang tengah dirasakannya kini.
Sivia
menatap gadis itu sendu. Dapat dilihatnya Shilla memang mencintai Alvin.
“Gue
selalu mengira Alvin akan selalu ada di samping gue. Gue pikir dia nggak akan
ke mana-mana. Sekarang dia jauh dan gue baru sadar betapa gue merindukan dia,
betapa gue butuh dia, betapa gue ingin memilikinya.”
Pandangan
Sivia semakin nanar ke arah Shilla.
“Andai
waktu bisa diulang, gue mau mengulangnya. Gue mau mensyukuri kehadiran Alvin di
hidup gue, gue mau menghargainya dan nggak akan gue biarin dia berdiri di sudut
hidup gue sebagai bayangan yang sering gue lupakan.”
Semuanya,
segala racauan Shilla menampar Sivia. Sesaat Sivia merasa kesulitan menghirup
oksigen di sekitarnya. Dengan kemantapan, dia sudah membuat keputusan.
***
Peraturan
mengenai blind date harus benar-benar
dipatuhi seluruh peserta. Untuk itu pula Rio dengan terpaksa meminjam mobil
papanya. Beruntung papanya memberi ijin meskipun harus dengan debat panjang
terlebih dahulu karena mobil itu masih baru. Selain itu, Reon memang sangat
sayang pada mobilnya.
“Jemput
Ify dulu?” tanya Reon yang tengah menyeduh teh hangatnya.
Sejak
Rio diperbolehkan melakukan apapun yang disuka—dengan catatan harus
dipertanggungjawabkan—hubungan ayah dan anak itu memang membaik. Ditambah lagi
Reon berubah, tidak seperti dulu yang sering mendekam di kantor, pria tersebut
punya waktu bersantai di rumah meskipun hanya untuk menikmati teh hangat yang
dibuatkan Mama.
“Nggak
boleh berangkat bareng siapapun,” jawab Rio seraya menggulung lengan kemejanya.
“Aturan
siapa tuh?”
Rio
mengangkat wajah, “Siapa lagi kalau bukan Gabriel? Dia kan yang paling gila
kalau bikin ide-ide begini.”
Reon
sontak terkekeh pelan. Tak lama kemudian mamanya datang membawa pancake yang
aromanya menguar, menjadikan siapapun kelaparan. Dengan senyum merekah Rio
menghampiri mamanya—atau lebih tepatnya lagi menghampiri pancake yang dibawa
mamanya. Reon sampai berdecak karena putra semata wayangnya itu menyerobot
pancake yang disodorkan padanya.
“Papa
yang itu aja,” kata Rio tanpa dosa.
“Dasar,”
cibir Reon.
Hal yang
tak disangka-sangka sejak papanya bertemu dengan orang tua Ify adalah sikapnya
yang menjadi lebih hangat.
“Budi
Karya masih bertahan sama tradisi secret
project ya?” cetus mamanya.
“Jaman Mama
dulu udah ada tradisi ini ya?”
Mamanya
yang merupakan alumni Bakti Karya menganggukkan kepala.
“Dulu
otaknya ide-ide secret project itu
papanya Gabriel, dia kakak kelasnya Mama.”
Rio
pernah mendengar hal ini, jadi dia tidak heran kalau sekarang ide-ide secret project menurun ke Gabriel.
Gabriel dan papanya memang punya sifat yang nyaris sama. Bijak, pandai, setia, punya
selera humor kronis, dan terkadang bertingkah tidak jelas. Dengar-dengar juga
Om Stevent dulunya pemuja rahasia wanita yang kini menjadi istrinya, cukup lama
pria itu menunggu mamanya Gabriel putus cinta, barulah Om Stevent melakukan
pendekatan sampai akhirnya pacaran dan menikah. Jelas bukan hal luar biasa jika
sampai sekarang Gabriel masih berharap pada Sivia.
“Hubungan
kamu sama Ify gimana, Yo?” tanya mamanya tiba-tiba.
“Baik,
Ma,” jawab Rio.
“Udah
bilang sama dia?” timpal Reon.
Rio
terdiam beberapa detik sampai akhirnya menggeleng pelan, “Secepatnya akan
bilang sama Ify.”
“Papa
terserah kamu, udah nggak mau ngekang lagi. Jadi, apapun keputusan kamu akan
Papa hargai sekalipun itu bikin Papa kecewa.”
Rio diam
lagi. Mama yang mengerti lantas mengusap punggung putranya.
“Sudah
jam segini. Kamu nggak berangkat?” tanya wanita itu.
“Hm,”
dehem Rio.
“Ya
udah, Rio berangkat dulu,” putusnya.
“Eh sini
Mama benerin,” interupsi mamanya lalu melepas gulungan kemeja Rio.
“Ini
dipakai,” imbuhnya menunjuk jas hitam yang tergantung di lengan kiri putranya.
Rio hanya mengangguk lalu mengenakannya.
“Kayak
mau lamaran aja,” celetuk Reon setengah bercanda.
“Kalau
Rio ngelamar Ify, Papa restuin nggak?” balas Rio.
Reon hanya terkekeh mendengarnya namun mengangguk
juga. Setelah siap, buru-buru Rio menuju ke sekolah. Tak lupa ia menyambar
topeng yang wajib dikenakan. Berhubung harus menyetir, tidak mungkin Rio
mengenakan topeng tersebut dari rumah.
***
“Ngapain
ikut segala sih?” dengus Ify pada Ozy yang duduk di sebelahnya.
Ozy
nyengir, “Kan mau tahu kayak apa.”
“Lo kan
nggak bakal masuk, nggak ngikutin acara, nggak tahu apa-apa kali. Emang lu mau
ngintip? Nggak kan?” cibir Ify.
“Seenggaknya
tahu dari luar.”
Ify tak
menyahut lagi berhubung sudah malas meladeni adiknya yang bersikeras untuk ikut
mengantarkan. Bukannya mencegah, kedua orang tuanya malah mengijinkan. Padahal Ify
sudah beralasan dia tidak punya uang lebih untuk membayar taksi online yang
dipesannya, tapi papanya dengan senang hati memberikan uang dan membuat Ozy
tersenyum menang. Alhasil, dia merasa sedang membawa anak ke sebuah acara
meskipun nantinya Ozy akan pulang lagi.
“Jadi
nggak sabar SMA,” gumam Ozy.
Dalam
hati, Ify geli juga. Ozy hanya belum tahu bahwa tanggung jawab anak SMA lebih
berat dibanding anak SMP sepertinya. Apalagi jika sudah terjebak dalam rumitnya
masalah remaja.
“Harus
pakai topeng ya, Kak?” tanya Ozy menunjuk topeng berwarna hitam yang ada di
pangkuan kakaknya.
“He eh.
Wajib banget.”
Ozy
hanya berohria.
Sesampainya,
Ify meminta taksi berhenti di depan gerbang pas. Gadis itu lantas mengenakan
topengnya dengan bantuan Ozy. Setelah itu ia pamit pada Ozy dan memberi pesan
pada sopir taksi tersebut supaya hati-hati.
“Jangan
buka jendela,” pesan Ify pada Ozy.
“Iya!”
Ify
lantas keluar dari taksi dan cepat-cepat menutup pintu. Bisa gawat jika ada
yang mengenali Ozy, terutama para sahabat-sahabatnya.
Dengan
hati-hati Ify berjalan masuk. Ada beberapa anak yang juga baru sampai seperti
dirinya. Ify jelas tidak tahu mereka siapa. Dia lantas mengikuti yang lainnya
untuk bergegas masuk. Acara dilaksanakan di aula yang berarti indoor. Di depan lorong yang
menghubungkan tempat Ify sekarang menuju aula ternyata sudah ada beberapa anak
yang berjaga. Ah, ternyata itu tempat mengumpulkan undangan. Ify tidak tahu
siapa mereka karena memakai kostum aneh, tapi yang pasti mereka adalah pengurus
OSIS.
Setelah
memasukkan undangan ke dalam sebuah kotak—dan ternyata kotak itu sudah cukup penuh—barulah Ify berjalan melewati lorong. Betapa
takjubnya gadis ini menyaksikan lorong yang biasanya tampak seram berubah indah.
Rasanya seperti sedang berjalan di planetarium. Sungguh Ify harus mengakui
bahwa tim secret project luar biasa
kreatifnya.
***
Irama
musik disko memenuhi aula. Cakka geleng-geleng, dia jadi merasa sedang berada
di dalam diskotik. Cukup lama musik itu mengalun sampai akhirnya berganti
dengan musik bernuansa romance. Wow! Bahkan musik pun ditata sehebat ini.
Mendadak
ada sebuah cahaya yang sangat terang di atas stage diikuti suara seperti sirine sebagai kode supaya perhatian
peserta terpusat pada seseorang yang tak lain adalah MC acara. Cakka pun ikut
memusatkan perhatiannya, ia sedikit terkikik dengan kostum cupid yang dikenakan
MC tersebut. Benar-benar totalitas!
“Selamat
malam Budi Karya!!”
Bukannya
menyahut, tawa cekikikan dari segala penjuru bersatu di dalam ruangan. Sudah
dibuat takjub dengan kostum aneh itu, masih dibuat takjub dengan suara yang
dikeluarkan. Sepertinya mereka menggunakan alat untuk memberikan efek suara
sehingga suara MC itu terdengar seperti suara Roma Irama.
“Terpesona
sama suara eike?” tanya sang MC tak
cocok dengan suaranya.
“Huuu!!!”
MC itu
terkikik dan kali ini efek suaranya berubah, jadi mirip suara perempuan. Sangat
cukup menghibur.
“Daripada
kalian sibuk ngetawain eike, mending
dengerin interupsi eike ya. Yang
cowok merapat di sebelah kanan dan yang cewek merapat ke kiri.”
Berhubung
Cakka cowok, jelas dia berjalan ke sebelah kanan setelah meletakkan minumannya.
Tidak ada yang berani melanggar peraturan maupun perintah karena ada
orang-orang dengan kostum peri berkeliaran.
“Aduh
seneng deh pada nurut sama eike,”
cetus si MC.
“Selanjutnya
siap-siap ya!”
Detik
berikutnya lampu di dalam ruangan mati total. Tidak ada penerangan apapun,
bahkan lampu di stage pun ikut mati.
“Jangan
ada yang bergerak!” interupsi MC.
“Para
peri cinta silahkan laksanakan tugas.”
Cakka
tidak tahu apa yang terjadi. Terdengar dentuman musik klasik. Lampu yang
awalnya mati total tiba-tiba menyala namun remang-remang. Betapa ajaibnya karena
tiba-tiba dekorasi aula berubah lebih romance.
Para peri yang yang tadinya berkeliling sudah berada di atas.
“Hitungan
ke-tiga, semua laki-laki harus lari ke arah para gadis dan memilih pasangan
masing-masing. Barang siapa yang tidak mendapatkan pasangan, maka akan
dipasangkan sama eike,” ceplos MC
tersebut.
“Setelah
itu eike kasih waktu lima detik buat
nyari pasangan.”
Jelas
mustahil jika tidak mendapat pasangan sebab jumlah antara para lelaki dan para
perempuan sama, kecuali jika ada yang tidak hadir.
“Satu!
Dua! Tiga!!!”
Semuanya
berhamburan. Cakka sendiri ikut berlari ke arah para perempuan. Tidak tahu
siapa yang ia tarik, pokoknya asal narik saja yang penting dapat pasangan.
“... Dua!
Satu! Berhentiiii!!!”
Tidak
ada yang bergerak sama sekali. Si MC mencondongkan tubuhnya seolah meneliti.
“Dapet
semua?” tanyanya tak percaya.
“IYAAA!!!”
“Yah... eike doang dong yang nggak berpasangan,”
imbuh MC tersebut pura-pura kecewa.
“Nah
sekarang waktunyaaaaa... DANSAAA! So,
kalian harus dansa sama pasangan kalian saat ini sampai musik berhenti. Tapi
ingat, bukan berarti kalian bisa bebas nanya identitas. Manfaatkan waktu
sebaik-baiknya karna para peri akan berkeliling mencari raja dan ratu dansa
malam ini. Satu lagi, jangan lupa tukarkan kertas yang sudah kalian bawa dengan
pasangan kalian. Jangan dibuka sampai ada interupsi selanjutnya.”
Tiba-tiba
dentuman musik klasik kembali terdengar setelah tadinya meredup perlahan. Semua
pasangan itu pun berdansa sesuai interupsi.
***
Menginjakkan
kaki di tengah blind date ini bukan
murni keinginan Shilla. Maka, ketika ada yang menarik tangannya sebagai tanda
ia dipilih menjadi pasangan pemuda tersebut, Shilla hanya pasrah. Termasuk
ketika semua pasangan mulai berdansa, Shilla mengikuti. Tak lupa mereka
menyempatkan beertukar kertas yang sudah disiapkan dari rumah.
Dengan
ragu ia melingkarkan tangannya pada leher pemuda yang tak ia ketahui siapa.
Pemuda itu pun meletakkan kedua tangannya pada pinggang Shilla. Mereka berdansa
mengikuti irama musik yang menggema. Dalam jarak sedekat ini, Shilla dan pemuda
itu saling tatap melalui celah topeng. Entah mengapa Shilla merasa mengenal
pemuda ini. Tapi akhirnya perasaan itu ditepis jauh-jauh. Jelaslah dia merasa
mengenal, mereka semua—termasuk pemuda ini—kan teman-teman sekolahnya.
***
Musik
berhenti. Itu artinya dansa pun berakhir. Lampu yang tadinya redup kembali
menyala terang. Semuanya kagum dengan penataan lampu yang sedari awal
berubah-ubah mengikuti suasana acara.
“Gimana
dansanya?” tanya sang MC.
Rata-rata
menjawab deg-degan.
“Yang
deg-degan pasti takut sama pacar ya,” canda MC.
Omong-omong,
suara MC kembali berubah. Kali ini lebih mirip suara tokoh kartun doraemon.
“Kemeriahan
kita belum berakhir sampai di sini loh! Sebab malam ini kita kedatangan bintang
tamu rahasia. Ada yang bisa nebak siapa?”
“Raisa!”
“Afgan!”
“Isyana!”
“Rizky
Febian!!”
Mereka
pun sibuk menyebutkan penyanyi-penyanyi yang sedang naik daun saat ini. MC itu
pun tertawa sebab tidak ada yang dapat menjawab dengan tepat.
“Sambil
menikmati kemeriahan malam ini, kita sambut...”
MC
mengambil jeda sejenak sampai akhirnya kembali bersuara.
“HOLD ME
BAND!!!!” seru MC.
Tirai di
belakang langsung terbuka lebar ketika MC melompat dari stage. Bersamaan dengan itu, muncul lah empat orang pemuda dengan baju
yang sama persis seperti yang dikenakan para laki-laki.
“Eh itu
kan,” gumam Shilla menoleh ke arah samping.
Lelaki
yang menjadi pasangannya menghilang! Shilla mencari-cari namun tak menemukan
karena nyaris semuanya tampak sama. Tapi, salah satu laki-laki yang berada di stage itu posturnya sama persis dengan
pasangannya.
Intro lagu mulai dimainkan Hold Me Band. Suasana kembali riuh. Meski asing dengan
nama Band tersebut, tapi mereka tak ambil pusing. Lagu Perfect milik One
Direction dibawakan dengan heboh.
Di lain
sisi, Ify tertegun. Dia sangat hafal suara itu di luar kepalanya. Rio! Vokalis
band itu kekasihnya. Ia tidak mungkin salah. Tapi, jika itu Rio, tiga pemuda
lainnya siapa? Apakah ada Cakka maupun Gabriel? Jika iya, satunya lagi
apakah... mata Ify membulat sempurna. Diamatinya salah satu dari mereka, Ify
menatap curiga ke arah pemuda yang tengah memainkan gitar.
“Lagu
selanjutnya...”
Vokalis
Hold Me Band berkata melalui mikrofon.
“Kami
persembahkan untuk gadis-gadis yang entah sejak kapan menjadi penghuni tetap
hati kami. Say Won’t Let Go.”
Suasana
mendadak galau. Lampu kembali dibuat redup dan kecuali lampu terang yang
menyorot stage. Say Won’t Let Go
milik James Arthur dibawakan dengan aransement baru, entah mengapa lagu itu
terdengar menyakitkan. Tidak ada suara drum seperti sebelumnya karena si
drummer ikut memainkan gitar. Jadi, ada satu vokalis dan tiga gitaris
sekaligus.
...
Then you smiled over your shoulder
For a minute I was stone-cold sober
I pulled you closer to my chest
And you asked me to stay over
I said, I already told you
I think that you should get some rest
Seulas
senyum tampak samar di wajah Ify. Mendadak memori silam tentang Rio yang pertama
kalinya menyanyikan sebuah lagu untuknya muncul. Ya, memori itu masih tersimpan
rapi di otaknya. Maka dari itu, dengan mudah ia dapat mengenali suara Rio
ketika menyanyi.
I knew I loved you then
But you’d never know
Cause I played it cool when I was scared of
letting go
I knew I needed you
But I never show
But I wanna stay with you
Until we’re grey and old
Just say you won’t let go
Just say you won’t let go
Saat
tiba di bait selanjutnya, Ify terkejut bukan main karena sebuah lampu menyorot
dirinya. Ah, bukan hanya dirinya! Ada tiga lampu lagi!
Para
personil itu kemudian turun dari stage
tanpa menghentikan performance
mereka. Keempatnya berpencar menghampiri gadis-gadis yang tersorot. Sang
vokalis menghampiri Ify.
...
I’m gonna love you til
My lungs give out
I promise till death we part
Like in our vows
So I wrote this song for you
No everybody knows
That’s just you and me
Until we’re grey and old
Just say you won’t let go
Just say you won’t let go
Musik
berhenti. Ify tertegun ketika vokalis itu meraih tangannya kemudian merapatkan
jarak diantara mereka.
“Just say you won’t let go...
Oh, just say you won’t let go...”
Tepuk
tangan meriah terdengar ketika si vokalis mengakhiri lagunya tanpa alunan
musik. Para personil Hold Me Band membuka topeng mereka, kemudian suasana
kembali hening.
***
“Cakka?”
“Gabriel?”
“Alvin?”
“Rio?”
Keempat gadis
itu terkejut bersamaan, hanya suara Ify yang masih terkendali sebab sedari awal
dia sudah menduga bahwa vokalis Hold Me Band adalah kekasihnya. Namun mendengar
nama Cakka, Gabriel dan Alvin disebut, Ify reflek menolehkan kepalanya. Benar!
Tiga pemuda lainnya memang mereka.
“Shilla...”
Shilla
lantas melepas topengnya dan memeluk Alvin erat-erat. Ify juga melihat pemuda
itu membalas pelukan Shilla tak kalah erat. Seperti tengah membayar rindu.
“Lo ke
mana aja sih, Vin? Lo sengaja mau bikin gue sedih?” racau Shilla dengan air
mata menetes.
“Gue
nggak ke mana-mana, Tuan Puteri. Gue selalu di hati lo,” balas Alvin.
Tuan
Puteri. Panggilan itu akhirnya dapat ia dengar kembali. Alvin mengurai pelukan
mereka ketika MC blind date datang
memberikan mikrofon. Pemuda itu menerima mikrofon tersebut lalu mengambil
kertas di dalam sakunya.
“Pasangan
date lo malam ini, Ashilla kelas XI
IPA 4,” ucap Alvin membacakan kertas tersebut.
Mata
Shilla terbelalak lebar. Jadi, tadi dia berdansa bersama Alvin?
“Boleh
bacain kertas kamu?” tanya Alvin.
Shilla
lantas mengambil kertas yang didapatnya meskipun bingung. Alvin pun memegangi
mikrofon tersebut untuk Shilla. Dahi gadis itu berkerut ketika dilihatnya
kertas itu bukan sekedar menyebutkan identitas.
Shilla, kamu itu salah satu mimpiku sejak dulu.
Sudah cukup aku meminjamkan mimpiku pada orang
lain. Dan hari ini, aku ingin mimpiku jadi nyata. Maukah kamu mewujudkannya
untukku?
With Love,
Seseorang yang memanggilmu Tuan Puteri
Shilla
terdiam membacanya, ia terlanjur
speechless karena membaca di dalam hati. Ia langsung menatap Alvin yang
tengah tersenyum manis ke arahnya. Sejurus kemudian Alvin berbicara lagi
menggunakan mikrofon. Ternyata pemuda itu mengucapkan kalimat yang ada di dalam
kertas tersebut. Kalimat yang sama persis.
“Maukah
kamu mewujudkannya untukku?” tanya Alvin mengulang kembali.
Tanpa
pikir panjang, Shilla menganggukkan kepalanya dan kembali merengkuh Alvin
hingga ia dapat mendengar debar jantung pemuda itu.
“Agni...”
Pandangan
beralih pada Cakka dan gadis yang ternyata adalah Agni. Gadis itu lantas melepas
topengnya. Cakka tersenyum samar kemudian mengambil kertas dari dalam saku.
“Gue,
Agni. Pasti tahu, kan?”
Pipi
Agni bersemu merah karena ternyata kertas yang dipegang Cakka adalah kertasnya.
Dia yakin pasti ini semua sudah direncanakan. Di lain sisi, Cakka ingin tertawa
karena tak menyangka gadis yang ia tarik asal-asalan tadi adalah pacarnya
sendiri. Dia bersumpah awalnya ia tidak tahu bahwa itu Agni karena panik dengan
hitungan sang MC sehingga ia kehilangan jejak kekasihnya. Untungnya ia sempat membaca
kertas tersebut.
“Aku
tahu. Kamu, perempuan yang ada di hatiku kan? Kamu, perempuan yang berhasil
membuatku jatuh cinta setiap hari kan? Kamu, perempuan yang membuatku ingin
terus melindungi kan?”
Agni
bungkam. Ia tak menyangka bahwa Cakka yang ada di hadapannya akan melontarkan
pertanyaan-pertanyaan kecil yang manis di hadapan banyak orang. Cakka yang dulu
dikenalnya sangat kaku.
“Boleh
bacain kertasnya?”
Agni
mengangguk lalu membuka kertas yang ada di tangannya.
“Agni...
aku sayang kamu. Kemarin, hari ini dan selamanya.”
“Aku
juga,” desis Agni langsung membalas isi kertas tersebut bersama air mata yang
sudah membanjiri pipinya.
Cakka
kembali tersenyum seraya mengusap air mata gadis itu.
“Sivia...”
Perhatian
beralih pada Gabriel. Sivia tak kunjung membuka topengnya sampai akhirnya
Gabriel lah yang turun tangan melepaskan. Betapa terkejutnya ketika ia melihat
mata Sivia sudah berkaca-kaca.
“Lo mau
bikin gue nangis terharu kayak mereka kan? Sebelum lo lakuin itu, gue udah mau
nangis,” ujar Sivia membuat Gabriel terkekeh kecil.
Pemuda
itu lantas membacakan kertasnya.
“Gue
cewek paling cute yang baru
menjomblo. Jangan modus.”
Mau tak
mau seluruh ruangan dibuat geli mendengarnya. Raut wajah Gabriel yang awalnya
geli—seperti yang lain—berubah.
“Sivia,
kamu itu ibarat bintang. Bersinar meskipun jauh, ingin ku gapai tapi nggak
pernah sampai. Tapi, mulai sekarang aku nggak mau menganggap kamu bintang lagi
karena sampai kapanpun kamu nggak akan bisa aku miliki...”
Gabriel
menghela nafas sejenak, “Aku mau kamu jadi lilin. Memang nggak bisa menerangi
dunia, tapi cukup untuk menerangi sudut gelap hatiku.”
“Dasar
dangdut,” cibir Sivia pelan padahal ia siap memproduksi ribuan air mata.
Ia tak
bermaksud merusak suasana apalagi merusak moment
yang mungkin sudah direncanakan pemuda di hadapannya ini dengan susah payah.
Dan sepertinya pemuda itu mengerti sebab Gabriel justru tersenyum tipis.
“Mau
baca kertasnya?”
Seperti
Shilla dan Agni, Sivia pun lantas membuka kertas yang didapatkannya dari pemuda
itu saat dansa tadi. Begitu terbuka, dahi Sivia berkerut. Tidak ada tulisan
apapun di sana. Sivia menatap Gabriel bingung.
“Kosong
kan, Via? Iya memang. Kayak hatiku yang lagi kosong. Kamu mau ngisi?”
Kontan
tawa Sivia meledak. Jadi, pemuda ini sengaja mengosongkan kertasnya supaya bisa
berdialog seperti itu?
“MAU!”
seru Sivia dengan senyuman lebar.
Sorak
sorai terdengar namun pasangan yang baru saja resmi itu tak mempedulikan.
Keputusan Sivia menerima pemuda ini sudah sangat tepat. Gabriel bukan hanya
penawar luka, tapi juga penangkal.
Selanjutnya
masih ada satu pasangan lagi. Tapi, Rio yang dimaksud justru masih betah
bungkam di hadapan Ify. Gadis itu pun mengernyit bingung mendapati ekspresi
wajah Rio yang berbeda. Sadar dihujami banyak tatapan dari segala arah, Rio
mulai buka suara.
“Ify...”
Ify
membuka topengnya. Ia benar-benar baru sadar masih mengenakannya.
Menyaksikan
sosok Ify secara utuh membuat Rio tersenyum dan menyempatkan diri memuji
kecantikan kekasihnya dalam hati. Gadis penuh pemikiran matang ini sangat
cantik dengan polesan make up tipisnya.
Gaun yang dikenakan pun sangat cocok untuknya.
“Kamu
itu sihir terindah di hidup saya. Kamu bikin saya tertawa lepas, kamu bikin
saya yang tadinya merasa nggak punya arti jadi berarti, bahkan kamu yang bikin
saya berani bermimpi lagi.”
Mendadak
Ify merasa pemuda ini sedang membangkitkan ingatannya mengenai pertemuannya
dengan Rio saat di toko buku. Dia tidak tahu bahwa saat itu Rio sangat gugup
sehingga tanpa sadar menggunakan kosakata ‘saya-kamu’ seperti sekarang ini.
“Saya
nggak akan bacain kertas kamu. Kenapa? Karena saya nggak mau kehilangan tiga
detik berharga cuma untuk mengalihkan pandangan saya dari kamu. Sebab saya
nggak tahu apakah suatu saat saya akan mendapat tiga detik itu lagi atau nggak
sama sekali.”
“Yo?”
gumam Ify tak mengerti.
“Ify,
terima kasih untuk hati kamu yang rela aku tempati,” Rio tersenyum samar.
“Kamu
lagi ngucapin salam perpisahan?” tuduh Ify membuat nafas Rio tercekat.
“Jawab
aku bilang!!!”
Rio terperanjat.
Detik berikutnya pemuda itu hanya menatap Ify sendu lalu membawa gadis itu ke
dalam rengkuhannya. Ify menangis. Rio tetap diam seribu bahasa dan berhasil
membuat hati Ify tersayat.
Lampu di
dalam ruangan ini kemudian menyala total.
***
Blind date masih
terus berjalan tanpa empat pasangan yang baru saja membuat kehebohan di dalam
ruangan. Begitu lampu menyala total, Rio membawa kekasihnya pergi dari sana
diikuti oleh Agni, Cakka, Sivia, Gabriel, Shilla, dan Alvin. Ify masih berada
di dalam rengkuhan Rio.
“Tuhan
nyiptain aku bukan buat bikin kamu nangis,” kata Rio membelai rambut hitam
legam Ify yang sudah panjang.
Ify
tetap tak bersuara.
“Kamu
mau aku jawab pertanyaan tadi kan?”
Ify
langsung mengurai pelukannya.
“Aku dapat
tawaran kontrak sebagai penyanyi di Aussie, secepatnya aku harus ke sana sesuai
kesepakatan. Sekolah pun terpaksa aku harus lanjut di sana. Aku nggak tahu
apa-apa karena Papa yang urus semuanya,” jelas Rio membuat pikiran Ify kosong
seketika.
“Lo mau
pindah ke Aussie?” cetus Gabriel terkejut.
Rio
mendongak lalu tersenyum getir, “Ini bener-bener berat dan membingungkan. Di
satu sisi, gue bahagia karena setelah sekian lama akhirnya gue semakin dekat
sama impian gue.”
Pandangan
Rio beralih pada sosok Ify yang menundukkan kepala.
“Tapi di
lain sisi, aku nggak mau ninggalin kamu, Fy.”
Ify
mengangkat wajahnya.
“Gue mau
pulang,” kata gadis itu dingin.
“Ify...”
“Gue
bilang gue mau pulang,” tandas Ify sekali lagi.
“Aku
antar,” balas Rio akhirnya.
Rasanya
Ify ingin menolak tapi Rio terlanjur menarik tangannya. Keenam sahabat mereka
hanya memandangi dengan penuh simpati.
***
Ify
menyandarkan kepalanya pada tembok kamar. Pandangannya kosong. Bahkan, dia
tidak membiarkan Rio mengucap sepatah katapun saat mengantarkannya. Dia juga
tidak memberikan tawaran mampir seperti biasa pada pemuda itu. Begitu mobil Rio
terparkir di depan rumahnya, Ify langsung turun dan berjalan cepat ke dalam
rumah.
Bukan.
Ia bukan sedang kecewa pada pemuda yang akan meninggalkannya itu, meninggalkan
dalam arti sesungguhnya. Sebaliknya, Ify kecewa pada dirinya sendiri yang tak
dapat memberikan resppon dengan baik. Pasti saat ini keputusan pemuda itu
mengambil beasiswa semakin berat hanya karna reaksinya. Ify meringis, dia tidak
dapat berpikir jernih. Ify yang bijak dan selalu tepat dalam mengambil langkah
entah peri ke mana. Pikirannya sedari tadi hanya dipenuhi dengan kalimat long distance relationship, suatu
hubungan jarak jauh yang rata-rata berakhir mengenaskan. Ify tidak mau bernasib
begitu. Dia sayang Rio.
“Ify...”
Tiba-tiba
Gita—mamanya—masuk ke dalam kamar bersama Ozy. Mereka berdua mendekat, tapi Ify
masih belum sadar dari lamunannya.
“Kak
Ify!” seru Ozy seraya menggoyangkan tubuh kakaknya.
Ify
menoleh tanpa terkejut. Reaksi yang membuat Ozy dan mamanya mengerti bahwa
gadis itu memang punya masalah.
“Kamu
sayang kan sama Rio?” tanya Gita.
Ify
mengangguk pelan.
“Kalau
kamu sayang sama Rio,kamu juga harus mendukung Rio meraih impiannya. Mama tahu
Ify bukan orang egois, anak Mama nggak akan menahan orang yang paling disayang
mewujudkan mimpinya,” ujar Gita memberikan nasehat sambil mengusap puncak
kepala Ify.
“Jangan
takut LDR. Percaya sama Rio,” imbuh Gita membuat Ify terperangah.
Tanpa
bercerita pun, wanita ini mengerti apa yang menjadi kegelisahannya.
“Kamu
mengerti kan, Sayang?”
Kemudian
gadis itu kembali meresappi ucapan mamanya dan mengangguk.
“Sekarang
kamu minta maaf ya sama Rio.”
Ify
gelisah, “Aku udah bikin Rio sakit hati, Ma. Mung—mungkin dia nggak mau ketemu
Ify lagi. ”
“Kata
siapa? Rio daritadi di halaman nunggu kamu keluar. Mama suruh dia masuk tapi
nggak mau.”
Detik
itu pula Ify berlari ke bawah untuk mencari kekasihnya. Sesampainya di halaman,
ia melihat Rio mendongak menatapi langit yang semakin gelap dan
membelakanginya.
“RIO!!!”
seru Ify.
Begitu
Rio menoleh, betapa terkejutnya ia karena Ify langsung menubruknya.
“Hei,
kenapa nangis lagi? Tuhan nanti marah sama aku karna bikin kamu nangis dua
kali,” kata Rio dengan suara lembutnya.
Ify tak
mempedulikan ucapan tersebut. Dia justru semakin mempererat pelukannya.
“Maaf...
maaf... aku—“
“Nggak
perlu minta maaf. Aku paham sama apa yang kamu rasain. Mungkin itu juga yang
aku rasain waktu pertama kali Papa bilang aku harus ke Aussie.”
Ify
mengurai pelukannya.
“Pergi,
Yo. Wujudin mimpi kamu jadi musisi. Seribu tahun pun, aku akan tetap nunggu
kamu,” kata gadis itu di sela isak tangisnya.
Rio
tersenyum samar, “Aku janji.”
Detik
berikutnya mereka hanya saling tatap. Ify terkesiap ketika wajah Rio semakin
dekat dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja jarak mereka telah
terhapuskan.
***
Tanpa
Rio maupun Ify, Gabriel cs berhasil melanjutkan sisa acara blind date hingga benar-benar selesai. Sebagai penanggung jawab
acara, Gabriel memang tidak bisa lari begitu saja. Acara blind date ditutup dengan pembongkaran identitas bersama-sama dan
pengumuman raja-ratu dansa setelah Gabriel memberikan sepatah kata di atas stage sebagai rasa terima kasih
sekaligus permohonan maaf jika acara tidak berjalan sesuai keinginan. Saat pembongkaran
identitas, reaksi mereka semua benar-benar di luar dugaan. Ada yang terkejut
karena ternyata pasangan mereka adalah sang mantan terindah, ada yang bersumpah
serapah karena ternyata pasangannya justru musuh sendiri, ada juga yang bahagia
sebab pasangannya adalah pacar sendiri atau masih gebetan.
“Bentar.
Bentar. Gue yakin di sini yang ngerti kenapa Alvin tiba-tiba muncul cuma lo,
Cakka sama Rio,” interupsi Agni ketika Gabriel mengajak pulang.
Gabriel
dan Cakka saling pandang sementara Alvin memusatkan perhatiannya pada dekorasi
dinding yang unik.
“Nggak
usah sok akting deh lo semua!” tuding Agni.
Alvin
meringis sambil menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal sama sekali.
“Ya
udah, gue cerita tapi nggak di sini,”
putus Alvin.
“Terus
kita ke mana?” tanya Shilla.
“Kafe
deket sekolah?” cetus Sivia mengusulkan.
Detik
itu Alvin langsung menatap mantan kekasihnya. Alvin tersenyum samar kemudian
mengangguk kecil.
Akhirnya
mereka berenam memutuskan untuk mengunjungi Kafe terdekat. Beruntung malam ini
Kafe tidak begitu ramai sehingga masih ada tempat untuk mereka.
“Jadi?”
tanya Agni tak sabaran.
“Sabar.
Kita bahkan belum pesen. Masa mau numpang nongkrong doang?” cetus Gabriel
membuat Agni memutar bola matanya.
Setelah
pesan beberapa dessert serta minuman,
barulah mereka fokus.
“Hari
itu gue memang nggak pergi ke mana-mana,” ucap Alvin membuat para gadis itu
menatapnya tak percaya.
“Gue
berantem hebat sama Deva. Bahkan itu kali pertama Deva nonjok gue. Semarah
apapun dia, nggak pernah sekalipun dia main kasar. Gue paham, dia ngelakuin itu
karena... karena nggak suka gue nyakitin hati perempuan,” Alvin menyempatkan
menatap Sivia yang tengah tersenyum getir padanya.
“Gue harus pergi, Dev. Supaya nggak ada yang
tersakiti lagi.”
Nafas Deva tercekat, “Maksud lo apa?”
“Udah cukup gue nyakitin orang-orang yang
sayang sama gue, udah cukup gue nyakitin mereka yang peduli sama gue. Gue nggak
bisa kayak gini terus-terusan, Dev. Tolong, bilang sama mereka kalo gue udah
nggak ada di sini,” pinta Alvin.
Dengan cara ini ia menghukum dirinya sendiri.
“Vin, lo yakin?” tanya Deva seraya menyentuh
bahunya pelan.
Alvin menganggukkan kepalanya.
“Lo nggak akan pergi beneran kan?” tanya Deva lagi.
“Gue mau ikut Papa ke Singapore,” jawab Alvin.
“Nggak. Lo nggak boleh ke mana-mana. Dulu gue
ninggalin lo, sekarang lo mau ninggalin gue sendirian?”
“Dev—“
“Gue bakal bilang ke mereka asalkan lo nggak
pergi,” potong Deva cepat.
Tak ingin kakaknya merasakan apa yang dia
rasakan dulu, akhirnya Alvin setuju. Sekitar 3 jam kemudian Gabriel dan Rio
datang. Deva lantas terpaksa berakting di depan mereka, sementara Alvin
bersembunyi untuk mengawasi.
“Dan kemarin nggak tahu kenapa tiba-tiba
Gabriel dateng lagi ke rumah gue tanpa sepengetahuan gue,” kata Alvin mengakhiri
ceritanya.
Agni,
Shilla serta Sivia masih mencerna. Itu berarti saat bertemu Gabriel tadi pagi,
lelaki itu sudah mengetahui keberadaan Alvin yang sesungguhnya.
“Dan lo
rahasiain itu dari kita semua?” tuding Agni pada Gabriel.
“Bukan
kita semua. Hanya elo, Shilla, Sivia dan Ify,” elak Gabriel membuat Agni ingin
menelan pemuda itu hidup-hidup.
“Cowok
lo bener-bener ya, Siv!” gerutu Agni.
Sivia
dan Gabriel terkekeh mendengarnya. Rasanya masih tak menyangka bahwa akhirnya
Gabriel menjadi kekasihnya.
“Lalu,
semua rangkaian acara tadi? Hold Me
Band?” tanya Shilla belum puas.
“Bagian
itu biar diceritain pencetus ide,” sahut Cakka melirik Gabriel.
Gabriel
mengerti, ia lantas mengambil nafas sebelum memulai bercerita.
“Ide itu
beneran tiba-tiba setelah gue berhasil meyakinkan Alvin kalau elo, Shil...”
Gabriel menatap Shilla sejenak, “Lo kehilangan kucrut satu ini.”
Alvin
terkekeh geli sedangkan Shilla ternganga.
“Jadi,
persis setelah Alvin sadar dari kesurupannya, gue langsung hubungin Rio sama
Cakka. Kita berempat nyusun strategi. Bintang tamu rahasia yang dijanjikan dari
awal emang performance Rio, tapi
tanpa gue dan yang lain.
“Gue
hubungin panitia acara supaya nguntit kalian dari awal ngumpulin undangan.
Pokoknya jangan sampai kehilangan jejak. Kalian pasti nggak sadar kan peri-peri
yang keliling ruangan dari tadi nguntit
kalian? Bahkan nandain kalian dan ngasih informasi itu ke gue, Alvin, Cakka
sama Rio.”
“Nandain
gimana?” tanya Sivia bingung.
“Misalnya
kamu, Via. Dress kamu ada bunga-bunga
kecilnya di bagian pinggang,” jelas Sivia.
Gadis
itu langsung paham.
“Meskipun
gitu, tetep susah loh. Tadi gue asal narik pasangan eh beruntung banget yang
gue tarik si Agni,” cetus Cakka.
“Dan
juga gue harus nendang cowok di samping gue karna takut keduluan,” ringis
Gabriel.
“Kalian
bener-bener berhasil bikin jantungan!” seru Sivia mewakili yang lain.
“Diantara
kalian, kayaknya Ify yang paling jantungan,” kata Alvin membuat suasana senyap
seketika.
“Gue
nggak tahu kalau Rio punya rencana di dalam rencana,” ucap Gabriel.
“Semoga
mereka berdua baik-baik aja.”
***
Tak ada
yang dapat menebak jalannya skenario Tuhan. Ketika beberapa hari lalu mereka menangisi hilangnya Alvin, saat ini
justru Rio lah yang akan benar-benar pergi. Pemuda itu pergi bukan untuk
berlibur, bukan untuk main-main, tapi pergi untuk mewujudkan mimpi yang sempat
dikuburnya dalam-dalam.
“Rio,
satu jam lagi pesawat kamu take off,”
ujar Reon.
Putranya
mengangguk. Reon pun kembali mengobrol bersama Alex dan Gita yang kebetulan sengaja
datang untuk mengantarkan Ify.
“Kayaknya
baru kemarin kita ketemu,” celetuk Shilla.
“Iya.
Rasanya baru kemarin lihat Gabriel sosoan renang di danau padahal waktu itu dia yang paling pendek di antara kita
semua. Untung cetek,” timpal Rio lalu tertawa ringan.
“Lo mah
udah mau pisah dari gue masih bikin perkara ya, Yo,” dengus Gabriel.
“Widih
sedih banget ya lu kehilangan kekasih gelap?” sahut Cakka.
Gabriel
sontak mendelik.
“Gaya
lu, Cak. Padahal diem-diem lo juga kehilangan gue kan?” canda Rio.
“Bangsat.
Masih nanya lu?” umpat Cakka.
“Bertahun-tahun
kita sahabatan. Sekarang lo mau ke Aussie, gue sama yang lain pasti bakal
kangen banget sama lo. Nggak ada lagi
yang suka ngabur ke rooftop sekolah,
pasti penghuni rooftop juga sedih kehilangan ketuanya,” imbuhnya sarat kesedihan.
Rio
tersenyum tipis kemudian memeluk Cakka.
“Lo
nggak hombreng kan, Cak?” canda Rio.
“Untungnya
enggak,” kekeh Cakka.
“Selain
jagain Agni, gue nitip jagain Ify ya,” kata Rio serius.
“Pasti.”
Rio
melepas rengkuhannya dan berganti memeluk Alvin sekejap.
“Jangan
ngilang-ngilang lagi lu, bangsat. Kita semua kemarin udah panik banget karna
kita peduli sama lo,” kata Rio menepuk bahu pemuda itu.
Alvin
mengangguk, “Lo baik-baik di sana. Inget ada Ify yang nunggu lo pulang.”
“Emang
lo nggak mau nunggu gue pulang?” canda Rio.
“Nggak.
Buat apa? Gue yakin lo pasti bakal pulang secepatnya, mana betah jauh-jauh dari
Ify,” balas Alvin.
Rio
tertawa ringan, “Belajar bareng Ify bikin lo makin pinter ye, Pit? Harusnya Ify
pasang tarif tuh biar cepet kaya terus bantu gue bayar resepsi.”
Reflek
Alvin menoyor pemuda itu. Rio memang sudah tahu mengenai belajar bareng yang
dilakukan Alvin dan kekasihnya. Kemudian Rio beralih pada Shilla yang sedang
menahan tawa sekaligus haru secara bersamaan.
“Gue
ijin peluk cewek lo bentar ya, Vin,” cengir Rio lalu merengkuh Shilla.
“Shil,
gue pasti bakal kangen banget sama lo. Makasih ya untuk semuanya,” ujar Rio
kemudian mengurai pelukannya.
Shilla
mengangguk, “Gue juga bakal kangen. Gue dan yang lain janji bakal jagain Ify
buat elo. Pokoknya gue pastiin begitu lo pulang, hati Ify masih utuh buat lo.”
“Iya.
Kalau pulang nanti, gue tagih janji lo,” canda Rio.
Terakhir,
Rio menghampiri Gabriel. Di antara yang lain, dia memang paling dekat dengan
pemuda ini. Mereka berpelukan cukup lama.
“Gue
jadi takut dikira hombrengan sama lu,” celetuk Rio.
“Gue
juga,” balas Gabriel.
Mendadak
Rio ingat mengenai moment saat mereka
harus berpura-pura di depan The Wanted
supaya bisa tetap dekat dengan Ify dan Sivia. Saling curhat, kerjasama dalam
berbohong, sampai urusan menembak. Semuanya memang sudah terlewati tapi
kenangannya tetap abadi.
“Tahu
nggak, Yel? Gue orang yang paling bahagia lihat lo sama Sivia akhirnya jadian
karena moment itu yang paling gue
tunggu-tunggu. Tetap bahagiain dia ya, Yel. Jangan lo sakitin,” ceplos Rio.
“Pasti,
Yo. Pasti gue bahagiain. Dia jadi pacar orang aja gue bahagiain, apalagi jadi
pacar gue,” kata Gabriel kemudian tertawa. Masih sempat dia bercanda.
Tak
urung Rio tertawa juga.
“Kayaknya
kita harus udahan deh. Ify, Sivia sama Agni kasihan tuh udah nunggu, terutama
si Ify,” celetuk Alvin.
Rio
reflek menoleh ke tempat dimana Ify, Sivia dan Agni menunggu. Beberapa menit
yang lalu mereka berlima memang meminta waktu khusus. Paham bahwa pasti berat
kehilangan sahabat yang sudah bertahun-tahun bersama, akhirnya tiga gadis itu setuju.
“Udah
nih?” tanya Sivia memastikan begitu Rio dan yang lain kembali.
Rio
mengangguk.
“Pesawat
lo take off tiga puluh menit lagi,” kata
Alvin mengingatkan.
“Siv,
Ag, thanks ya udah nyempetin dateng,”
ujar Rio.
Agni
lantas menepuk bahu pemuda itu, “Kan kita sahabat. Tadi anak-anak di sekolah
pada sms gue, nitip salam buat lo, katanya maaf banget nggak bisa ikut
nganterin sampai bandara.”
“Bilang
sama mereka makasih banyak,” sahut Rio.
Agni
mengangguk.
“Yo,
kalau ketemu cowok bule cakep jangan lupa kenalin ke gue ya,” celetuk Sivia
genit yang langsung mendapat toyoran dari segala arah.
“Dih
kalian mah jiwa menolak Sivia bahagia-nya kumat,” dengus gadis itu.
“Lagian
gue kurang apa sih? Gue kan juga bule,” timpal Gabriel.
“Bule
apaan lu? Bulepotan?” seloroh Sivia.
“Jakarta
campur Batam nih gue,” elak Gabriel.
“DIH!
Bapak jayus negara lu, Yel!” cecar yang lain.
Rio
geleng-geleng kepala seraya menikmati moment
ini. Dia pasti akan merindukan saat-saat seperti sekarang.
“Eh, Yo.
Kalau pulang, oleh-oleh buat gue paling banyak ya, apapun gue terima dengan
senang hati deh,” cetus Cakka ikut-ikutan.
“Lu
pikir dia mau liburan?” gerutu Agni.
“Cakka
sama Sivia udah ya paling cocok kalo ngelawak,” sindir Shilla.
“Eh
plis, Shil. Nggak mau gue dicocokin sama Cakka,” balas Sivia.
“Lu
pikir gue juga mau?” sewot Cakka.
Gabriel
dan Agni saling pandang kemudian kompak menggerakkan kepala ke kanan dan kiri.
Frustasi. Rio meledakkan tawanya, selalu saja tidak tahan dengan kerusuhan yang
sahabat-sahabatnya ciptakan. Pandangan pemuda itu pun beralih pada sosok Ify
yang juga sedang tertawa.
“Widih
Rio natap Ify segitunya kayak di sinetron-sinetron,” ceplos Gabriel membuat Ify
reflek balik menatap Rio.
Tanpa
mempedulikan yang lain, pemuda itu menghampiri Ify, merengkuhnya untuk terakhir
kali. Ah, ralat. Rio tak mau ini jadi yang terakhir.
“Aku
bakal rindu banget sama kamu,” kata Rio pelan.
Tak ada
jawaban namun Rio merasakan Ify menganggukkan kepalanya.
“Lagi
nahan biar nggak nangis ya?” goda pemuda itu.
Detik
berikutnya air mata Ify meleleh juga. Rio semakin mempererat rengkuhannya
sampai akhirnya dengan terpaksa ia harus mengurai pelukan itu. Ify sudah
berhenti menangis dan Rio tahu, gadis yang amat dicintainya ini telah berusaha
keras untuk menghentikan air matanya.
“Sekarang
tanganku masih bisa hapus air mata kamu,” ujar Rio sambil menyeka air mata Ify.
“Kalau
nanti kamu nangis lagi, aku pinjem tangan kamu ya buat hapusin air mata ini
soalnya tanganku nggak akan sampai,” imbuhnya membuat hati Ify terenyuh.
“Aduh
meleleh gue dengernya,” celetuk Shilla.
“So sweet banget si Rio,” timpal Sivia.
“Mau
dong punya pacar kayak Rio,” kata Agni ikut-ikutan kompor.
Alvin,
Gabriel dan Cakka sampai melotot ke arah Rio yang justru terkikik geli.
Ify
tersenyum, “Jangan pulang sampai kamu jadi musisi.”
“Pasti.”
“Rio!
Siap-siap! Pesawat kamu sebentar lagi take
off!” seru Reon.
Rio
menyempatkan menoleh sebentar kemudian kembali beralih pada Ify. Pemuda itu
mendekatkan wajahnya. Semakin dekat hingga Ify dapat merasakan hembusan nafas
Rio. Dia lantas memejamkan mata, detik berikutnya Ify merasakan bibir Rio
menyentuh keningnya.
“Yah gue
pikir bakal ada adegan Rangga-Cinta di sini,” celetuk Cakka pura-pura kecewa.
Pipi Ify
bersemu.
“Lucu
banget sih Ify,” gemas Shilla.
Rio
menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia lantas berpamitan pada semuanya,
termasuk kedua orang tua Ify.
“Belajar
yang bener ya, Rio. Pulang nanti pokoknya pintu rumah kami terbuka lebar buat
nerima lamaran dari kamu,” canda Alex membuat Ify melotot pada papanya.
“Siap,
Om!” kekeh Rio.
“Pa,
makasih ya udah kasih Rio kesempatan berharga ini. Rio janji akan
sungguh-sungguh jalanin pilihan yang Rio ambil,” kata Rio serius.
Reon
memeluk putranya dengan rasa bangga.
“Papa
percaya sama kamu.”
Tak lama
kemudian sebuah pengumuman mengenai keberangkatan pesawat yang akan membawa Rio
menuju Aussie terdengar. Sebelum benar-benar pergi, pemuda itu kembali memberi
kode pada sahabat-sahabatnya supaya merapat.
Rio
mengangkat kedua tangannya.
“Tos
untuk tim menolak Sivia bahagia yang luar biasa,” kata Rio.
Ify,
Shilla, Sivia, Agni, Gabriel, Alvin dan Cakka tertawa namun tak urung mengikuti
perintah Rio. Mereka semua ber-high five
tanpa menghentikan tawa lalu berpelukan ala teletubies. Beberapa orang yang
kebetulan berada di sana pun menoleh seraya tersenyum geli.
Sejurus
kemudian Rio harus pergi. Pemuda itu berdadah-dadahria. Biarlah, biar semua
orang tahu bahwa tak selamanya perpisahan harus diiringi kesedihan, kecewa,
takut kehilangan, atau apapun itu. Rio memusatkan pandangannya pada Ify sekali
lagi sebelum benar-benar pergi. Ia tersenyum kemudian kembali melangkah.
Aku sudah berteman dengan kekosongan sebelum
mengenalnya. Mulai detik ini, ia tak ada. Dan bumi jadi lebih kosong dari
biasanya.
*END*
Iya. Ini
emang udah kelar ceritanya. Duh lama banget ya kelarnya. Terima kasih untuk
semua yang sudah setia dari awal. Aku sangat sangat bersyukur akhirnya bisa
nyelesaiin WYHM meskipun dengan ending yang.... you know lah. Mohon maaf untuk semua kekurangan di WYHM dari awal sampai akhir. Sekali lagi terima kasih!!