Tittle: Hanya Kepingan Masa Lalu? [One-Shoot]
Author: Fanny Salma
IFY P.O.V
Sebuah kisah tentang cinta menyayatku lebih dalam lagi. Ia
melambungkan seluruh hatiku lantas menghempaskannya begitu saja, aku sendiri
tak mengerti bagaimana bisa cinta justru membuat luka. Hanya dengan sentilan
kecil ia membuatku tergolek lemah tak berdaya.
Kisah itu masih terekam jelas di otakku. Saat mataku menangkap
sosok pemuda bersama seorang gadis cantik berambut sebahu. Hatiku mencelos
melihat dengan jelas semua perlakuan si pemuda untuk gadis itu. Mungkin aku
bisa saja menerima dengan ikhlas jika pemuda itu tak pernah ada di kehidupanku,
sayangnya ia adalah kekasihku sendiri. Aku ingat jelas, status kami masih sama,
belum ada yang berubah meskipun akhir-akhir ini kami seakan terpisah oleh
sebuah jarak yang tak kentara.
Kala itu aku hanya berlari, tertunduk dan menangis. Aku sama sekali
tak berani menyapamu atau bersikap seperti gadis lain yang membangkitkan amarah
dan menampar kekasih mereka saat rahasia si kekasih sampai di depan mata. Aku
bingung. Semua perasaanku benar-benar seutuhnya milikmu, aku terlalu takut
kehilanganmu. Bahkan sampai saat ini aku masih belum mengatakan apa-apa.
“Udah seminggu tatapan mata lo kosong. Bicarain ini sama Rio atau
lo mati dalam hidup.” Suara tegas kakakku satu-satunya terdengar pedas di
telingaku.
“Jangan hakimi gue kayak gini, kak,” balasku parau.
Kakakku mendesah kasar, ia menatap tajam ke arahku. Jujur saja itu
membuatku takut, ia adalah kakak terbaik yang aku miliki. Umurnya memang hanya
bedasatu tahun dengaku namun ia selalu menjadi jauh lebih tua dariku.
“Lisfya Hanna, tolong hargai gue sebagai kakak lo. Gue sayang sama
elo, Ify. Lo tau betapa kesedihan lo ini adalah kesedihan terberat gue. Buat
apa sih bertahan dengan cowok brengsek itu?”
“Dia nggak brengsek!” bantahku membela pemuda itu.
“Dia nyelingkuhin elo! Bahkan seminggu ini dia nggak ngehubungin
elo. Kurang brengsek apa sih?” tandas kakakku. Aku kembali terdiam.
“Ify... ini sama artinya lo sama dia udah bener-bener end. Nggak
perlu lagi ada kata khusus untuk menyepakati berakhirnya ‘hubungan’ kalian.
Tolong, kembali jadi Ify yang dulu. Kembali jadi adik gue yang lucu, ceria,
banyak omong dan menyenangkan.”
“Kak Alvin....”
Tanpa berucapapa-apa lagi, aku merengkuh sosok itu. Menyalurkan
segala bebanku selama seminggu ini. Mama meninggal waktu melahirkanku, itu
sebabnya aku dekat dengan Kak Alvin.
“Mulai sekarang buang jauh-jauh nama Rio di hati lo.”
“Aku nggak bisa kak... aku terlalu cinta,” lirihku.
“Jangan cintai orang yang udah bikin kamu menyiksa diri kamu
sendiri. Tuhan nggak pernah suka,” balas Kak Alvin lembut.
***
Bau sedap datang dari arah dapur. Hari ini adalah hari ketiga
sejak malam itu. Aku melakukan janjiku, memulai kisah baru tanpa nama Rio.
Bahkan tiga hari itu Rio masih tetap tidak menghubungiku. Kak Alvin benar, itu
artinya kita sudah putus meski dengan cara tidak resmi. Setelah memakai dasi
sekolah, aku segera berjalan keluar kamar, menuruni tangga dan bergegas ke
dapur. Kulihat Kak Alvin sudah siap di meja makan sambil mengucapkan selamat
pagi. Aku mencium kilat pipinya lalu duduk di depan pemuda itu.
Tak lama kemudian Bi Marni datang dengan nasi goreng untuk kami. Ah
iya, Papa memang jarang ada di rumah. Aku dan Kak Alvin tak pernah keberatan
untuk itu karena kami yakin Papa melakukan ini semua demi kebahagiaan kami
berdua, demi sekolah dan cita-cita kami.
“Hari ini aku ada ulangan. Kamu pulang sendiri nggakpapa?” tanya Kak
Alvin.
“Nggak masalah.”
Sarapan kami telah habis, aku dan Kak Alvin segera ke sekolah. SMA
93 Jakarta. Sebuah sekolah yang lumayan jauh dari rumah, lebih-lebih penuh
kemacetan di setiap perjalanan. Itu alasan aku dan Kak Alvin selalu bangun
lebih pagi.
Hampir satu jam perjalanan, aku dan Kak Alvin sampai di sekolah. Di
parkiran kami berpisah. Kak Alvin kelas XI IPA 2 dan aku kelas X 3.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Sepanjang itu pula banyak
yang menyapaku terutama dari kaum hawa. Bukan apa-apa, mereka sengaja mengambil
simpatiku untuk mendekati Kak Alvin. Bahkan satu sekolah tau kalau aku adik
satu-satunya dan satu-satunya yang berharga di mata Kak Alvin. Itu sebabnya
banyak anak-anak cewek yang terkadang membuatku risih karena sering menanyakan
sesuatu tentang Kak Alvin atau juga kadang merasa sangat beruntung karena tak
sedikit yang bermodusria dengan makanan kesukaanku. Jadi nggak perlu jajan di
kantin.
“Selamat pagi Ify!” sapa Osa. Teman satu bangku selama setengah
tahun ini.
“Pagi juga Osa,” balasku ramah.
“Nanti pulang sama siapa fy?” tanya Osa.
“Sendirian. Kak Alvin ada perlu. Kenapa?” Ify meletakkan tasnya di
dalam laci meja.
“Kebetulan. Mau anterin aku ke gramed nggak? Buku biologiku
hilang.”Aku hanya menganggguk.
***
Author P.O.V
Sepulang sekolah, Ify dan Osa memutuskan untuk naik taksi menuju
gramedia. Keduanya tak merasa penat sedikitpun meski macet berlama-lama. Sampai
di gramedia, Ify dan Osa berjalan ke barisan rak buku biologi. Ify membantu Osa
mencari buku biologi yang sama persis seperti buku yang digunakan di sekolah
mereka.
“Ini kan?” tanya Ify sambil mengacungkan sebuah buku tebal
bersampul amoeba.
“Ah iya! Gue bayar dulu ya!” seru Osa.
Ify mengangguk lantas memutuskan untuk ke barisan rak novel. Ia
melihat-lihat siapa tau ada yang ia suka.
“Aduh yo... ini kan sweet banget.”
“Apaan, itu alay sayang.”
Sebuah suara menyapa telinga Ify. Gadis itu membeku. Ia hafal betul
suara itu, ah.... Entah kenapa Ify nekat melihat orang itu. Deg. Hati Ify
kembali tersayat, dengan jelas pemilik suara itu merusak retina Ify.
“Gue harus pergi,” ujar Ify dalam hati.
Pelan-pelan ia melangkah mundur, setelah dua langkah kecil Ify
berbalik dan melanjutkan langkahnya. Brak. Ah... tangan Ify tanpa sengaja
menendang sebuah buku hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Gadis itu
mematung.
“Ify....”
Untuk kesekian kalinya, ia bersikap bodoh. Gadis itu berbalik dan
menatap si pemilik suara. Hening. Mata mereka beradu, Ify dengan tatapan
sendunya dan Rio dengan tatapan bingungnya. Gadis di samping Rio menatap heran
dua orang ini.
“Dia siapa sayang?” tanya gadis itu memecah keheningan.
“Ngg....” Rio gelagapan.
“Dia... dia Ify, ngg....” Ify bisa melihat Rio sama sekali tak
menemukan kalimat yang pas. Ah... sakit sekali.
“Aku nggak kenal dia,” sahut Ify dingin.
Rio terlonjak. Benar-benar bingung harus bagaimana. Sementara gadis
di sampingnya itu menatap tak yakin. Ify sendiri memilih memungut buku yang ia
jatuhkan dan pergi begitu saja sebelum air matanya kembali jatuh di depan
mereka.
Ify terus berlari, melupakan Osa yang sedang bingung mencarinya. Ia
butuh ketenangan. Melihat kedua orang tadi tiba-tiba merusak seluruh sistem
pertahanannya. Ia pikir benteng pertahanan itu sudah cukup kuat setelah ia
bangun mati-matian, nyatanya Rio merusaknya hanya dengan sekali tindakan.
“Bodoh! Kamu bodoh Ify! Hhhh....” Nafas Ify tersengal-sengal.
“Ify!! Ify! Iffyyyy!!!” Ah... ternyata Rio mengejarnya.
Pemuda itu langsung terduduk di depan Ify.
“Maafin aku fy....” lirih Rio sampai ke telinga Ify.
“Maaf... maaf fy, maaf....”
“Aku capek yo. Aku capek kamu buat sakit. Kenapa sih kamu nggak
pernah bilang kalau kamu udah nggak cinta sama aku? Aku capek terus berharap.
Aku udah tau ini sejak kita benar-benar lost contact! Aku pikir aku cukup kuat
setelah berusaha keras lupain kamu, ternyata aku tumbang juga,” cerocos Ify
dengan suaranya yang parau. Isak tangis gadis itu masih terdengar jelas.
“Aku minta maaf. Aku... aku cinta sama kamu fy,” balas Rio.
“Jangan bodoh! Kamu pikir aku bisa ketipu sama ucapan kamu? Aku
bahkan terlalu bodoh jika mengharapkan cinta dari kamu,” tajam Ify.
“Fy....”
“Yo... nggak cukup kamu bikin aku jadi anak autis? Kak Alvin yang
udah bikin aku balik jadi diri aku sendiri dan kamu mau hancurin usaha kakak
aku? Kamu memang hebat yo. Sangat hebat!” potong Ify.
“Kembalilah sama gadis pilihan kamu tadi. Aku ingin terbiasa tanpa
kamu,” lanjut Ify.
“Aku pilih kamu, fy. Aku janji akan mutusin Oik,” tegas Rio.
“Oh namanya Oik. Kenapa? Kamu tinggalin aku karena dia dan sekarang
kamu mau tinggalin dia buat aku. Kita bukan barang pinjeman. Aku punya harga
diri.”
“Bu... bukan itu maksudku. Oik terlalu banyak menuntut, aku lebih
suka kamu yang apa adanya.” Ify langsung menatap sinis ke arah Rio.
“Kamu bisa tinggalin aku demi Oik, nggak menutup kemungkinan kalau
suatu saat kamu akan ninggalin aku demi gadis lain. Udah lah yo, kita memang
udah putus kan? Apa yang mau kamu perjuangin?” tanya Ify retoris. Tangisnya
sudah mulai mereda, digantikan dengan luapan amarah untuk pemuda di depannya
ini.
“Rio... kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu tau aku cinta sama
kamu.” Tiba-tiba saja Oik sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka.
“Ik....”
“Dia pacar kamu? Lalu aku selingkuhan kamu?” tanya Oik. Rio
menundukkan kepalanya.
“Aku pergi dulu,” ujar Ify. Rio buru-buru mendongak.
“Fy!” pemuda itu mencekal pergelangan tangan Ify.
“Maaf ik. Aku cinta sama Ify. Aku sayang sama dia. Cuma dia. Aku
bodoh, aku brengsek udah nyia-nyiain dia. Maaf ik.”
“CUKUP YO CUKUUPPP!!! CUKUUPPPP!!! Jangan siksa hati aku yoo...
jangan bikin aku semakin lupa diri. Kamu udah jadi masa lalu aku yo. Kita udah
berjalan di koridor masing-masing.” Air mata Ify kembali tumpah, kali ini lebih
banyak.
“Kenapa fy? Aku tau aku salah tapi aku janji akan menebus semuanya.
Aku sayang sama kamu,” balas Rio.
“Yoo... gimana sama aku?” suara Oik kembali terdengar. Sangat
lirih. Bisa dipastikan gadis itu menahan tangisnya.
“Ik. Aku cinta sama Ify. Bisa ngerti nggak sih??!!”bentak Rio.
“Tapi....”
“Kalian jahaaaat!!!!!” teriak Ify.
“Berkali-kali aku janji menyerah. Aku janji melepas Rio, aku
menghindar, aku bohong kalau aku udah nggak cinta sama Rio dan... hhh...
tapi.... Gimana bisa aku berhasil kalau kalian muncul di hidup aku lagi??
Gimanaaa??? Jawaaabb!!”
“Ify, maafin aku. Aku nggak akan nyakitin kamu lagi... aku kembali
buat kamu, aku akan selalu buat kamu fy...”
“CUKUUUPPP!! Kamu yang mulai semuanya! Jangan janjiin sesuatu yang
abstrak! Kamu selalu bilang itu yo... selalu!” potong Ify. Rio kembali terdiam.
“Orang baik diperuntukkan untuk orang baik pula. Mungkin kamu dan
Oik adalah garis takdir Tuhan. Terima kasih untuk semuanya. Aku benar-benar
nggak mau ikut campur di kehidupan kalian lagi,” isak Ify. setelah menghapus
air matanya ia kembali meneruskan langkah. Membiarkan Rio terpaku sambil
menatap sendu punggung gadis itu.
“Jadi, aku sekedar kepingan masa lalu kamu?”
***