"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 10 Agustus 2013

CERPEN - Hanya Kepingan Masa Lalu? [One-Shoot]



Tittle: Hanya Kepingan Masa Lalu? [One-Shoot]
Author: Fanny Salma

IFY P.O.V

Sebuah kisah tentang cinta menyayatku lebih dalam lagi. Ia melambungkan seluruh hatiku lantas menghempaskannya begitu saja, aku sendiri tak mengerti bagaimana bisa cinta justru membuat luka. Hanya dengan sentilan kecil ia membuatku tergolek lemah tak berdaya.

Kisah itu masih terekam jelas di otakku. Saat mataku menangkap sosok pemuda bersama seorang gadis cantik berambut sebahu. Hatiku mencelos melihat dengan jelas semua perlakuan si pemuda untuk gadis itu. Mungkin aku bisa saja menerima dengan ikhlas jika pemuda itu tak pernah ada di kehidupanku, sayangnya ia adalah kekasihku sendiri. Aku ingat jelas, status kami masih sama, belum ada yang berubah meskipun akhir-akhir ini kami seakan terpisah oleh sebuah jarak yang tak kentara.

Kala itu aku hanya berlari, tertunduk dan menangis. Aku sama sekali tak berani menyapamu atau bersikap seperti gadis lain yang membangkitkan amarah dan menampar kekasih mereka saat rahasia si kekasih sampai di depan mata. Aku bingung. Semua perasaanku benar-benar seutuhnya milikmu, aku terlalu takut kehilanganmu. Bahkan sampai saat ini aku masih belum mengatakan apa-apa.

“Udah seminggu tatapan mata lo kosong. Bicarain ini sama Rio atau lo mati dalam hidup.” Suara tegas kakakku satu-satunya terdengar pedas di telingaku.

“Jangan hakimi gue kayak gini, kak,” balasku parau.

Kakakku mendesah kasar, ia menatap tajam ke arahku. Jujur saja itu membuatku takut, ia adalah kakak terbaik yang aku miliki. Umurnya memang hanya bedasatu tahun dengaku namun ia selalu menjadi jauh lebih tua dariku.

“Lisfya Hanna, tolong hargai gue sebagai kakak lo. Gue sayang sama elo, Ify. Lo tau betapa kesedihan lo ini adalah kesedihan terberat gue. Buat apa sih bertahan dengan cowok brengsek itu?”

“Dia nggak brengsek!” bantahku membela pemuda itu.

“Dia nyelingkuhin elo! Bahkan seminggu ini dia nggak ngehubungin elo. Kurang brengsek apa sih?” tandas kakakku. Aku kembali terdiam.

“Ify... ini sama artinya lo sama dia udah bener-bener end. Nggak perlu lagi ada kata khusus untuk menyepakati berakhirnya ‘hubungan’ kalian. Tolong, kembali jadi Ify yang dulu. Kembali jadi adik gue yang lucu, ceria, banyak omong dan menyenangkan.”

“Kak Alvin....”

Tanpa berucapapa-apa lagi, aku merengkuh sosok itu. Menyalurkan segala bebanku selama seminggu ini. Mama meninggal waktu melahirkanku, itu sebabnya aku dekat dengan Kak Alvin.

“Mulai sekarang buang jauh-jauh nama Rio di hati lo.”

“Aku nggak bisa kak... aku terlalu cinta,” lirihku.

“Jangan cintai orang yang udah bikin kamu menyiksa diri kamu sendiri. Tuhan nggak pernah suka,” balas Kak Alvin lembut.

***

Bau sedap datang dari arah dapur. Hari ini adalah hari ketiga sejak malam itu. Aku melakukan janjiku, memulai kisah baru tanpa nama Rio. Bahkan tiga hari itu Rio masih tetap tidak menghubungiku. Kak Alvin benar, itu artinya kita sudah putus meski dengan cara tidak resmi. Setelah memakai dasi sekolah, aku segera berjalan keluar kamar, menuruni tangga dan bergegas ke dapur. Kulihat Kak Alvin sudah siap di meja makan sambil mengucapkan selamat pagi. Aku mencium kilat pipinya lalu duduk di depan pemuda itu.

Tak lama kemudian Bi Marni datang dengan nasi goreng untuk kami. Ah iya, Papa memang jarang ada di rumah. Aku dan Kak Alvin tak pernah keberatan untuk itu karena kami yakin Papa melakukan ini semua demi kebahagiaan kami berdua, demi sekolah dan cita-cita kami.

“Hari ini aku ada ulangan. Kamu pulang sendiri nggakpapa?” tanya Kak Alvin.

“Nggak masalah.”

Sarapan kami telah habis, aku dan Kak Alvin segera ke sekolah. SMA 93 Jakarta. Sebuah sekolah yang lumayan jauh dari rumah, lebih-lebih penuh kemacetan di setiap perjalanan. Itu alasan aku dan Kak Alvin selalu bangun lebih pagi.

Hampir satu jam perjalanan, aku dan Kak Alvin sampai di sekolah. Di parkiran kami berpisah. Kak Alvin kelas XI IPA 2 dan aku kelas X 3.

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Sepanjang itu pula banyak yang menyapaku terutama dari kaum hawa. Bukan apa-apa, mereka sengaja mengambil simpatiku untuk mendekati Kak Alvin. Bahkan satu sekolah tau kalau aku adik satu-satunya dan satu-satunya yang berharga di mata Kak Alvin. Itu sebabnya banyak anak-anak cewek yang terkadang membuatku risih karena sering menanyakan sesuatu tentang Kak Alvin atau juga kadang merasa sangat beruntung karena tak sedikit yang bermodusria dengan makanan kesukaanku. Jadi nggak perlu jajan di kantin.

“Selamat pagi Ify!” sapa Osa. Teman satu bangku selama setengah tahun ini.

“Pagi juga Osa,” balasku ramah.

“Nanti pulang sama siapa fy?” tanya Osa.

“Sendirian. Kak Alvin ada perlu. Kenapa?” Ify meletakkan tasnya di dalam laci meja.

“Kebetulan. Mau anterin aku ke gramed nggak? Buku biologiku hilang.”Aku hanya menganggguk.

***

Author P.O.V

Sepulang sekolah, Ify dan Osa memutuskan untuk naik taksi menuju gramedia. Keduanya tak merasa penat sedikitpun meski macet berlama-lama. Sampai di gramedia, Ify dan Osa berjalan ke barisan rak buku biologi. Ify membantu Osa mencari buku biologi yang sama persis seperti buku yang digunakan di sekolah mereka.

“Ini kan?” tanya Ify sambil mengacungkan sebuah buku tebal bersampul amoeba.

“Ah iya! Gue bayar dulu ya!” seru Osa.

Ify mengangguk lantas memutuskan untuk ke barisan rak novel. Ia melihat-lihat siapa tau ada yang ia suka.

“Aduh yo... ini kan sweet banget.”

“Apaan, itu alay sayang.”

Sebuah suara menyapa telinga Ify. Gadis itu membeku. Ia hafal betul suara itu, ah.... Entah kenapa Ify nekat melihat orang itu. Deg. Hati Ify kembali tersayat, dengan jelas pemilik suara itu merusak retina Ify.

“Gue harus pergi,” ujar Ify dalam hati.

Pelan-pelan ia melangkah mundur, setelah dua langkah kecil Ify berbalik dan melanjutkan langkahnya. Brak. Ah... tangan Ify tanpa sengaja menendang sebuah buku hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Gadis itu mematung.

“Ify....”

Untuk kesekian kalinya, ia bersikap bodoh. Gadis itu berbalik dan menatap si pemilik suara. Hening. Mata mereka beradu, Ify dengan tatapan sendunya dan Rio dengan tatapan bingungnya. Gadis di samping Rio menatap heran dua orang ini.

“Dia siapa sayang?” tanya gadis itu memecah keheningan.

“Ngg....” Rio gelagapan.

“Dia... dia Ify, ngg....” Ify bisa melihat Rio sama sekali tak menemukan kalimat yang pas. Ah... sakit sekali.

“Aku nggak kenal dia,” sahut Ify dingin.

Rio terlonjak. Benar-benar bingung harus bagaimana. Sementara gadis di sampingnya itu menatap tak yakin. Ify sendiri memilih memungut buku yang ia jatuhkan dan pergi begitu saja sebelum air matanya kembali jatuh di depan mereka.

Ify terus berlari, melupakan Osa yang sedang bingung mencarinya. Ia butuh ketenangan. Melihat kedua orang tadi tiba-tiba merusak seluruh sistem pertahanannya. Ia pikir benteng pertahanan itu sudah cukup kuat setelah ia bangun mati-matian, nyatanya Rio merusaknya hanya dengan sekali tindakan.

“Bodoh! Kamu bodoh Ify! Hhhh....” Nafas Ify tersengal-sengal.

“Ify!! Ify! Iffyyyy!!!” Ah... ternyata Rio mengejarnya.

Pemuda itu langsung terduduk di depan Ify.

“Maafin aku fy....” lirih Rio sampai ke telinga Ify.

“Maaf... maaf fy, maaf....”

“Aku capek yo. Aku capek kamu buat sakit. Kenapa sih kamu nggak pernah bilang kalau kamu udah nggak cinta sama aku? Aku capek terus berharap. Aku udah tau ini sejak kita benar-benar lost contact! Aku pikir aku cukup kuat setelah berusaha keras lupain kamu, ternyata aku tumbang juga,” cerocos Ify dengan suaranya yang parau. Isak tangis gadis itu masih terdengar jelas.

“Aku minta maaf. Aku... aku cinta sama kamu fy,” balas Rio.

“Jangan bodoh! Kamu pikir aku bisa ketipu sama ucapan kamu? Aku bahkan terlalu bodoh jika mengharapkan cinta dari kamu,” tajam Ify.

“Fy....”

“Yo... nggak cukup kamu bikin aku jadi anak autis? Kak Alvin yang udah bikin aku balik jadi diri aku sendiri dan kamu mau hancurin usaha kakak aku? Kamu memang hebat yo. Sangat hebat!” potong Ify.

“Kembalilah sama gadis pilihan kamu tadi. Aku ingin terbiasa tanpa kamu,” lanjut Ify.

“Aku pilih kamu, fy. Aku janji akan mutusin Oik,” tegas Rio.

“Oh namanya Oik. Kenapa? Kamu tinggalin aku karena dia dan sekarang kamu mau tinggalin dia buat aku. Kita bukan barang pinjeman. Aku punya harga diri.”

“Bu... bukan itu maksudku. Oik terlalu banyak menuntut, aku lebih suka kamu yang apa adanya.” Ify langsung menatap sinis ke arah Rio.

“Kamu bisa tinggalin aku demi Oik, nggak menutup kemungkinan kalau suatu saat kamu akan ninggalin aku demi gadis lain. Udah lah yo, kita memang udah putus kan? Apa yang mau kamu perjuangin?” tanya Ify retoris. Tangisnya sudah mulai mereda, digantikan dengan luapan amarah untuk pemuda di depannya ini.

“Rio... kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu tau aku cinta sama kamu.” Tiba-tiba saja Oik sudah berdiri tak jauh dari tempat mereka.

“Ik....”

“Dia pacar kamu? Lalu aku selingkuhan kamu?” tanya Oik. Rio menundukkan kepalanya.

“Aku pergi dulu,” ujar Ify. Rio buru-buru mendongak.

“Fy!” pemuda itu mencekal pergelangan tangan Ify.

“Maaf ik. Aku cinta sama Ify. Aku sayang sama dia. Cuma dia. Aku bodoh, aku brengsek udah nyia-nyiain dia. Maaf ik.”

“CUKUP YO CUKUUPPP!!! CUKUUPPPP!!! Jangan siksa hati aku yoo... jangan bikin aku semakin lupa diri. Kamu udah jadi masa lalu aku yo. Kita udah berjalan di koridor masing-masing.” Air mata Ify kembali tumpah, kali ini lebih banyak.

“Kenapa fy? Aku tau aku salah tapi aku janji akan menebus semuanya. Aku sayang sama kamu,” balas Rio.

“Yoo... gimana sama aku?” suara Oik kembali terdengar. Sangat lirih. Bisa dipastikan gadis itu menahan tangisnya.

“Ik. Aku cinta sama Ify. Bisa ngerti nggak sih??!!”bentak Rio.

“Tapi....”

“Kalian jahaaaat!!!!!” teriak Ify.

“Berkali-kali aku janji menyerah. Aku janji melepas Rio, aku menghindar, aku bohong kalau aku udah nggak cinta sama Rio dan... hhh... tapi.... Gimana bisa aku berhasil kalau kalian muncul di hidup aku lagi?? Gimanaaa??? Jawaaabb!!”

“Ify, maafin aku. Aku nggak akan nyakitin kamu lagi... aku kembali buat kamu, aku akan selalu buat kamu fy...”

“CUKUUUPPP!! Kamu yang mulai semuanya! Jangan janjiin sesuatu yang abstrak! Kamu selalu bilang itu yo... selalu!” potong Ify. Rio kembali terdiam.

“Orang baik diperuntukkan untuk orang baik pula. Mungkin kamu dan Oik adalah garis takdir Tuhan. Terima kasih untuk semuanya. Aku benar-benar nggak mau ikut campur di kehidupan kalian lagi,” isak Ify. setelah menghapus air matanya ia kembali meneruskan langkah. Membiarkan Rio terpaku sambil menatap sendu punggung gadis itu.

“Jadi, aku sekedar kepingan masa lalu kamu?”

***

Rabu, 07 Agustus 2013

Foto Ify Dan Cowok (?)

Hoolllaaa!! Mohon maaf lahir batin yaaaa <3 <3 aku bawa THR buat fans Ify Alyssa *eh wkwk

Ify-Obiet

Ify-Lintar

Ify-Alvin

Ify-Elang Nuraga

Ify-Kiki

Ify-Cakka

Ify-Gabriel

Ify-Sion

Ify-Bisma

Ify-Morgan

Ify-Tristan

Ify-Adhy

Ify-Adipati

Ify-Viddy

Ify-Debo

Ify-Rio

Ify-Ray

Ify-Billy

Ify-Dayat

Cuma segitu ya! Kalo mau nambahin fotonya nggakpapa, syaratnya orangnya nggak boleh sama. Ngg... berhubung judulnya "Ify dan cowok (?)" jangan foto Ify sama khalif/kak eizel ya -_-

Senin, 05 Agustus 2013

Terlambat Untuk Sebuah Rasa



Tittle: Terlambat Untuk Sebuah Rasa
Author: Fanny Salma
NB: Request by Fee Stefii (akhirnya aku bisa menuhin janji buat bikin ini. HAHA-_-)

                Kala lamunanku melesat kepada lekuk wajahmu, semua tingkahmu dan segala tentangmu tiba-tiba ada desiran aneh menyapa hatiku. Ah... sesal itu ada. Nyatanya aku telah jatuh hati kepadamu, saat kamu sudah berhenti melangkah menghampiriku. Tak bisakah kamu kembali berjalan ke arahku? Melukiskan kisah kecil sederhana diantara kita seperti ketika kamu berjuang untukku. Maaf untuk ketidakpekaanku, andai aku lebih mengenal hatiku ketimbang egoku mungkin langkahmu sampai di depanku.

                Sesal itu terus menerorku, membuat resah dan gundah menemani hari-hariku. Untuk apa? Aku dan kamu punya jalan berbeda. Itu salahku, tak memperbolehkanmu mencari jalan bersamaku. Saat kamu sudah jauh, menapaki masa depanmu aku malah menginginkan kehadiranmu kembali. Aku ingin sosokmu terus tersenyum pada retina mataku. Aku ingin tutur katamu menyapu indra pendengaranku.

                Aku tau aku bodoh. Aku yang menciptakan sesal itu menusuk sampai menembus tulang-tulangku.  Rasanya sakit, lebih sakit lagi saat aku melihatmu menemukan sebuah ‘pengganti’ di masa depanmu. Bodoh! Aku terlalu bodoh membiarkanmu pergi dari hidupku. Menciptakan benteng antara kita berdua seakan-akan kita tak saling mengenal. Seharusnya aku menghentikan langkahmu dari dulu! Membuat kita melangkah sejajar mengais masa depan bersama-sama.

                Hhhh... lalu aku harus apa? Menantimu balik melangkah ke arahku? Aku tak secerdas itu untuk mengharapkan sesuatu yang bisa menghempaskanku. Bahagailah, mungkin ini cara terbaikku membalas semuanya darimu. Sesungguhnya perjuanganmu tak pernah sia-sia, hanya aku yang menyia-nyiakannya. Aku terlambat jatuh cinta.

Hanya Aku



Tittle: Hanya Aku
Author: Fanny Salma



Kisah ini selalu aku ungkit ke permukaan, saat aku sadar bahwa sebagian hatiku sudah terpaut oleh sosokmu. Sayangnya kamu tak pernah tau, kamu melihat duniamu saja dan aku bukan bagian dari itu. Andai pertemuan itu tak pernah ada, andai perkenalan singkat kita tak pernah berlanjut sampai ke titik ini, andai waktu tak pernah membuatku jatuh hati pada sosokmu mungkin jalan cerita kita tak pernah sedemikian rupa.

                Aku lelah berada di sudut kehidupanmu. Untuk terlirik oleh ekor matamu saja bisa kuhitung dengan jemari-jemariku. Pernahkah kamu berfikir bahwa ada seseorang yang selalu menantikan kehadiranmu? Yang selalu berharap disuguhi senyum mempesonamu? Ah... aku orangnya. Akulah yang selalu mengharapkan semua itu. Catatlah! Hanya aku. Bukan sosok lain yang selalu mendapat ‘hadiah’ cuma-cuma itu darimu. Aku bahkan tak yakin ia menginginkannya.

                Setiap pertemuan kita membuatku terus berharap dalam sisi gelapmu. Aku cukup tau diri untuk tak memperlihatkan semua itu, biarkan antara kita tetap seperti ini asal kamu tak pernah menjauh dariku. Sesederhana itu.