"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 28 Agustus 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 23

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hi guys... ready baca part 23? Btw sebelumnya aku minta maaf karena banyak typo/kesalahan penulisan dari part 1 sampai 23 ini:)

Hope you like it...

23

Sudah berjalan dua minggu sejak hari itu. Kembali persahabatan mereka diwarnai cinta dengan hadirnya pasangan baru—lagi—yakni Rio dan Ify. Gabriel mendengus, tersisa dirinya dan Shilla yang masih betah dalam kesendirian. Sejak hari itu pula dia menghindar, menyisihkan diri dari gerombolan orang yang sedang berbahagia.
Ya, ia benar-benar membangun sekatnya meskipun tidak sempurna. Sudah tak ada lagi Gabriel yang sangat nyolot hanya karena perang kata-kata melawan Sivia, tak ada lagi Gabriel yang lari pada Ify untuk mengeluarkan uneg-unegnya meskipun selalu ada keinginan untuk melakukan hal itu, tapi ia tak mau merusak kebersamaan gadis itu dengan Rio. Yang jelas, Gabriel sudah jarang terlihat bersama mereka seperti dulu, jarang bukan berarti tidak pernah. Dan terkadang Shilla datang padanya sendirian, dia tidak membahas perubahan Gabriel tapi justru menganggap semuanya terlihat sama.
“Tega sumpah lu biarin gue diantara manusia-manusia kasmaran,” adu Shilla setiap kali ia datang padanya.
Dan Gabriel hanya akan menanggapi dengan kekehan atau seringaian.
Satu-satunya yang belum berubah hanya perasaannya teruntuk Sivia. Setiap kali ia tak punya alasan menghindar, ia akan menjadi salah satu penonton kemesraan gadis itu dengan Alvin. Dan setiap kali itu terjadi, hatinya yang belum terekat kembali semakin tak karuan.
Gabriel mendengus pelan. Tiba-tiba ponselnya berkedip menandakan ada chat masuk. Belum sempat dibuka, layar ponsel itu berkedip kembali memberi tanda bahwa notifikasi beruntun itu berasal dari grup.
Pemuda tersebut mengangkat alisnya saat sadar bahwa itu adalah notifikasi dari grup yang dibuat Cakka sekitar dua bulan yang lalu, grup khusus mereka berempat (Cakka, Gabriel, Alvin dan Rio) tanpa melibatkan Shilla di dalamnya. Grup ini dibuat karena pemuda itu memergoki Agni sedang ber-chat-ria dengan Shilla, Ify dan Sivia di grup.
Rumpi No Secret mwah
Cakka : Woi sayang-sayangku
Rio      : Najis lu Cak. Sunat lagi sana
Cakka : Kalo abis gimana? Nggak bisa enaena
Alvin   : Jijik anying
Cakka : Rio yang mulai. Gue nggak salah apa-apa. Beneran
Rio      : Fuck. Ngapa lo nge-chat di grup?
Alvin   : Otak lo yang salah
Cakka : Jalan yuk malem minggu
Alvin   : GILA! GUE MASIH NORMAL CAK SUMPAH
Rio      : GILA! GUE MASIH NORMAL CAK SUMPAH (2)
Cakka : Ya lu pikir gue nggak normal, jing? Gue kan ada Agni dih
Rio      : Horror nggak sih tiba-tiba lo ngajak kita jalan? Mana malam minggu pula
Cakka : Bacot lu. Ya kan maksud gue udah lama gitu kita nggak main bareng
Alvin   : Anjir main. Gue masih perjaka, Cak
Cakka : Si setan. Ketauan kan yang pikirannya nggak beres siapa
Cakka : Ayok jalan malam minggu mumpung gue free
Rio      : Gue janjian sama Ify mau ke WTF
Cakka : Anjing yang baru jadian
Alvin   : Sivia ngajak bikin anak
Alvin   : Eh
Cakka : Anjing pasangan sinting
Alvin   : Bacot lu. Malem jum’at aja gimana?
Cakka : Nggak bisa. Gue jagain lilin buat Agni
Rio      : B AMAT ANJIR B AMAT
Rio      : Gabriel nggak usah sok sider lu. Member cuma empat cuk
Gabriel: Putusin aja semuanya
Cakka : Jomblo level 999^
Alvin   : Jomblo level 999^ (2)
Rio      : Jomblo level 999^ (9999969)
Cakka : Rio astaga itu kenapa 69. Diam-diam bangsat kau nak
Gabriel: Bacot lu pada. Gue mau tidur. Bye
Setelah itu Gabriel benar-benar mengabaikan ponselnya. Dia sendiri heran mengapa jarinya tergerak mengirim chat seperti tadi. Sst, tak usah dijelaskan bahwa sebenarnya chat tadi hanya ditujukan pada Alvin. Sial, sekarang dia merasa dirinya lah yang jahat karena berharap Alvin memutuskan hubungannya dengan Sivia padahal ia tahu sendiri bahwa ada banyak harapan di balik mata Sivia setiap kali memandang Alvin dengan sayang.
Bukan Alvin yang jahat karena pemuda itu tak tahu menahu soal perasaannya. Bukan pula salah Sivia karena jatuh hati pada sahabatnya, bukan padanya. Tapi ini salah Gabriel. Salahnya sendiri yang terlalu menginginkan.
***
Ini kedua kalinya Shilla main ke rumah Ify. Katanya gadis itu syuting di dekat sini sehingga menyempatkan mampir. Ify sedang membaca novel di teras saat Shilla memarkirkan mobilnya, tampaknya gadis yang awalnya fokus pada bacaannya tersebut terkejut karena Shilla tak mengabarkan bahwa dirinya akan ke sini.
“Mau minum apa, Shil?” tanya Ify.
“Kalau ada sih gue lagi kepingin jus mangga,” jawab Shilla polos.
“Oh ada kok,” kata Ify membuat Shilla tersenyum lebar.
“Tapi tolong cariin mangganya ya, terus nanti lo ke dapur, bikin sendiri,” imbuh Ify.
Sontak Shilla mencibir gadis itu, “Parah lu ya. Gue tamu nih.”
“Ya elu bego. Ini kan bukan musim mangga, kalau masih ngotot sih gue bisa bikinin jus daun mangga atau batang mangga. Kebetulan tetangga gue ada yang punya pohonnya,” ujar Ify kalem membuat Shilla mendelik.
“Sekalian aja lo buatin gue jus tulang daun mangga,” katanya kesal.
Ify terkekeh, “Boleh tuh. Beneran mau? Gue ke rumah tetangga sekarang juga nih.”
“IFY!!!” seru Shilla gemas.
Kali ini gadis penyuka novel itu tak hanya terkekeh, tapi tertawa terbahak-bahak. Namun kemudian air mukanya berubah serius.
“Gue ambilin minum dulu deh buat elo, bukan jus tulang daun mangga kok,” katanya setengah bercanda.
Shilla hanya diam, tak membalas ucapan Ify karena sibuk dengan pikirannya. Sesuatu berkecamuk di dalam sana. Bukan tanpa tujuan gadis itu berada di rumah Ify sekarang karena kalau memang tidak ada apa-apa, bisa saja Shilla menuju rumah Sivia atau mengajak gadis itu ke rumah Ify seperti yang dilakukannya sekarang.
Ia lantas mengamati kamar Ify. Ya, dia memang berada di kamar gadis itu. Senyum Shilla tercetak saat tanpa sengaja menemukan foto Ify bersama Rio terpajang diantara foto-foto lainnya. Ah, bahkan Shilla sudah tak menemukan foto Ray di sana.
Beberapa saat kemudian Ify tiba dengan lime squash dan pancake yang berada di atas nampan. Dia memindahkan nampan tersebut ke lantai, tempat Shilla bebas selonjoran.
“Tadi gue bikin pancake,” ujar Ify.
“Lo bisa masak?” tanya Shilla.
“Nggak bisa banget sih. Itu aja baru belajar kemarin gara-gara mamanya Rio kepingin pancake,” jelas Ify membuat Shilla terperangah.
Bersahabat sedari kecil dengan Rio membuat Shilla paham betul seperti apa keluarga tersohor itu. Sepertinya Ify benar-benar mengubah dunia Rio yang tadinya monoton dan penuh tekanan menjadi berwarna.
“Kayaknya perjalanan cinta lo sama Rio mulus banget ya,” gumam Shilla.
“Nggak juga. Butuh waktu lama buat nyadarin gue kalau sebenarnya Rio udah ngisi hati gue entah sejak kapan. Sayangnya gue selalu menampik, cuma karna... you know,” ceplos Ify. Tanpa gadis itu mengatakan pun Shilla paham bahwa yang dimaksud adalah kisah gadis itu dengan laki-laki bernama Ray yang pernah dianggap belum usai.
“Tapi, kalian... gimana ya? I think kalian berdua easy untuk mencapai tahap ini. Rio jatuh cinta with you and honestly, you too. Tapi karena someone lo jadi nggak yakin. Finally, lo moved. And then, you and him together.”
Ify tak mengelak, memang kelihatannya begitu. Seandainya saat ia menyadari perasaannya teruntuk Rio di saat pemuda itu justru berhenti mencintainya, pasti akan terlihat lebih ‘mengenaskan’. Dia beruntung karena Rio tidak melakukan itu.
“Lo sedang membandingkan kisah gue sama kisah lo, right?”
Detik selanjutnya terdengar helaan nafas panjang Shilla. Dan Ify tahu, tebakannya tidak pernah salah. Sudah cukup lama dia mengamati gelagat gadis tersebut. Ada sesuatu yang Shilla simpan rapat-rapat.
***
Alvin   : Nyot nyot dikenyot nyot nyot nyot dikenyot
Alvin   : Aku? Jadi duta shampo lain? HAHAHAHA ups
Alvin   : Beng beng cuma satu, makannya yang beda haruskah kita lantas pisah meski sama-sama suka beng beng
Alvin   : Tujuh permen loli milkita sama dengan segelas susu
Sivia    : Apa sih? Nggak berfaedah lu sumpah
Alvin   : Suka-suka gue dong
Sivia    : Si anjing. Gue bete jadi makin bete gara-gara elo tahu
Sivia    : Kalau pacar lagi bete tuh dihibur!
Alvin   : Itu gue ngehibur elo goblok
Sivia    : Lo ngiklan tai
Sivia    : Dan sampah
Alvin   : ASTAGAAAA
Alvin   : SABARKAN HAMBAMU YA  TUHAN
Alvin   : SABARKAN
Sivia    : Tuh kan makin gadanta
Alvin   : Lo ke balkon kamar gih
Sivia    : Lo di depan rumah gue?!
Alvin   : Terjun bebas dari sana biar mampus
Alvin   : Ngarep banget gue tiba-tiba dateng terus ngehibur elo ya?
Sivia    : PACAR KURANG AJAR
Pemuda yang saat ini sibuk dengan ponselnya itu tak bisa menahan gelak tawanya membaca chat terakhir Sivia. Ah, gadis itu benar-benar mengisi hari-harinya. Alvin tersenyum samar, menghela nafas lalu membiarkan chat dari Sivia terbaca tanpa balasan. Biar saja gadis itu mencak-mencak.
Alvin lantas melirik jam yang tergantung di dindingnya. Sudah pukul 1 siang dan dia janjian dengan Ify nanti sore sekitar jam setengah 5. Itu berarti masih ada cukup waktu untuk memejamkan mata. Ya, mereka masih tetap belajar bersama tanpa sepengetahuan siapapun meskipun di hari libur. Ups, kecuali Bu Maryam.
Bukan maksud merahasiakan, tapi entah mengapa keduanya sama-sama menganggap hal ini tidak perlu diumumkan pada siapapun. Tidak penting. Yang penting hanya nasib nilai-nilai Alvin yang mengenaskan.
Tidak disangka perlahan nilai-nilai pemuda itu mulai meningkat meskipun kata Ify tidak secepat peningkatan Rio. Akan tetapi, gadis itu berjanji tetap sabar menghadapi tingkah lakunya yang menyebalkan.
Alvin terkikik geli mengingat setiap kejadian yang membuat Ify nyaris frustasi, tapi pada akhirnya gadis yang sudah menyandang status resmi sebagai kekasih Rio itu tidak menyerah sama sekali. Dengan telaten ia mengajari Alvin, mengulang apa yang tidak dipahami pemuda itu meskipun harus diulang seribu kali, dan memberikannya kesempatan untuk bernafas lega dikala penat dengan apa yang dipelajari.
Semua itu membuatnya tersentuh. Pantas saja Rio betah berlama-lama dengan Ify.
“Masih lama,” gumam Alvin menatap jam dindingnya.
Tiba-tiba pemuda itu memutar otak, mencari bahan apa lagi untuk mengerjai gadis itu. Meskipun sudah mulai menikmati aktivitas belajar bersama, tetap saja Alvin tak bisa menghentikan keisengannya, entah mengapa. Dia pun tidak paham.
“Hmmm,” dehem Alvin.
Matanya menangkap kotak musik yang tergeletak di atas rak. Biasanya kotak musik itu tidak kasat mata karena sengaja ia pinggirkan, ia memang kurang menyukai benda yang dibelinya setahun lalu. Awalnya itu untuk Shilla, tapi kalau dipikir-pikir Shilla tidak begitu excited dengan musik, kecuali kalau dia mengenal penyanyinya. Misalnya, lagu milik Brian. Akhirnya kotak musik itu pun masih tampak baru hingga detik ini.
Tercetus sebuah ide untuk mengerjai Ify dengan kotak musik tersebut. Alvin meraihnya, menatap cukup lama lalu sibuk mengotak-atik benda tersebut.
***
So easy to fall in love with him, but so hard to know that...
Shilla tak melanjutkan ucapannya, membiarkan Ify menerka-nerka apa yang akan dia ucapkan. Biarlah gadis yang penuh pengamatan itu menebak sendiri.
“Mau gue ceritain sesuatu?” tanya Ify.
Kening Shilla berkerut, “Tentang?”
“Gue.”
“Apa?”
“Gue kenal Ray dari awal MOS SMP. Nggak disangka-sangka, gue selalu sekelas sama dia, bahkan satu organisasi. Dan lo tahu kan kalau gue jago olahraga? Gue dulu ikut basket sama kayak dia,” Ify tampak menghirup oksigen sebanyak mungkin.
“Lama-lama kami deket, sangat akrab dan he said... pokoknya dia nembak gue. Berhubung gue emang udah suka, akhirnya kita pacaran. Saat itu gue pikir kita bakalan selamanya kayak gitu.
“Sampai tiba-tiba dia bilang gue terlalu sempurna. Dia nggak bisa mengimbangi gue. Dia butuh cewek yang bikin dia merasa dibutuhkan, and it isn’t me. Rasanya sakit hati, sesak, kecewa, sedih, marah, campur jadi satu. I can’t describe it with one word.
Ify membuang nafas dengan kasar kemudian memandang Shilla dengan senyuman hangat, “Gue nggak tahu pasti apa yang lo alami tapi gue juga pernah berada di posisi lo sekarang. I know right gimana rasanya. Dan setelah itu lo tahu sendiri apa yang terjadi sama gue.”
“Rio?” balas Shilla pelan.
Ditanya demikian membuat Ify menganggukkan kepalanya.
“Sekalipun gue nggak pernah mikir kalau akhirnya bakalan sama dia. Believe me, semua orang punya kisah cintanya sendiri-sendiri. Lo nggak perlu membandingkan or something like that. One day, you’ll find. Lo akan menemukan kebahagiaan lo sendiri sekalipun not with him,” cerocos Ify membuat Shilla diam mencerna setiap kata yang dilontarkan gadis itu.
Dan kemudian terbayang wajah Gabriel bersama sesuatu yang akhir-akhir ini menggelayuti pikirannya. Kali ini helaan nafas Shilla terasa lebih ringan, kata-kata Ify memang selalu ampuh, tidak salah ia berada di sini.
“Gimana caranya lo melakukan ini?” tanya Shilla.
Ify mengernyit bingung, “Melakukan apa?”
“Lo bikin gue seolah-olah menemukan solusi atas permasalahan gue saat ini. Tapi, lo justru pernah stuck di masalah lo sendiri,” ceplos Shilla.
“Karena gue emang nggak sesempurna yang Ray atau  mungkin orang lain lihat. Gue juga punya sisi lemah,” gumam Ify.
Beberapa detik selanjutnya Shilla tercenung.
***
Sudah sore dan Gabriel masih belum beranjak dari ranjang empuknya. Ah, berapa lama ia tertidur? Mentang-mentang hari libur ia jadi malas melakukan apapun. Gabriel lantas menyibak selimutnya mengecek notifikasi ponsel yang terkapar tak berdaya di atas laci.
Terakhir kali ia memegang benda pipih itu saat membalas chat grup. Tahu-tahu ponselnya sudah kebanjiran notifikasi, termasuk dari grup yang dibuat Cakka. Dia memilih menghiraukan notifikasi tersebut dan membuka deretan chat lainnya.
Papa: Papa, Mama sama adekmu ke Singapore sampai minggu depan. Tadi kamu dibangunin susah. Jaga rumah baik-baik ya
Gabriel mendesah, menyesal karena tidak ikut. Seminggu di Singapore kan lumayan untuk menjernihkan pikiran dan lari dari kepahitan. Ingin menyusul, tapi ia teringat sekolahnya. Huh. Setelah membalas dengan sangat singkat, dia beralih ke chat lainnya.
Shilla: Nanti malam temenin gue dateng ke premier filmnya Key dong
Dan tak butuh waktu lama untuk Gabriel mengiyakan ajakan Shilla.
Rio: Bro, are you ok?
Cakka: Lu ke mana aja sih? Cek grup anjir
Kali ini dia mengabaikan chat tersebut beserta chat yang dianggapnya tak penting lainnya. Begitu men-scroll deretan chat yang belum dibaca, pandangannya berhenti di satu titik. Ify.
Ify: Gue tahu apa yang lo perbuat. I think, we need to talk
Sesaat aliran darah Gabriel berpacu begitu cepat. Ify tahu? Bahkan, sebaik apapun dia menyembunyikan sesuatu, gadis itu tahu. Bagaimana bisa?
Gabriel menekan pangkal batang hidungnya sejenak. Ify bilang mereka butuh bicara, tapi ia enggan. Ia takut tersihir kalimat-kalimat gadis itu seperti biasanya. Maka, ia putuskan untuk tak menyentuh room chat tersebut sama seperti yang ia lakukan pada chat lainnya.
Dan beberapa saat kemudian setelah meletakkan ponselnya seperti semula, memori mengenai Sivia kembali berkelebatan. Seandainya dulu Sivia tidak bertingkah seolah-olah mereka punya satu kesempatan untuk menjalin suatu hubungan lebih dari sahabat, mungkin hatinya tak sekacau ini. Lalu sekarang dia harus kembali menjalani rutinitasnya seperti dahulu. Tak mengenal Sivia dan kembali pada Shilla.
“Astaga,” pekik Gabriel menyadari sesuatu.
“Semoga Shilla nggak ada perasaan apa-apa sama gue,” lanjutnya sarat kepanikan.
Membayangkan Shilla mencintainya seperti ia mencintai Sivia sudah membuat pemuda itu kelimpungan. Bagaimana kalau pikiran gilanya membenarkan apa yang terjadi? Kalau Gabriel saja bisa istilahnya baper—bawa perasaaan—bagaimana dengan Shilla yang jelas-jelas perempuan?
***
“Gue bukannya mau menghakimi kalian berdua, tapi...”
Cafe ini masih memiliki fasilitas AC dan menyala. Tapi mengapa rasanya seperti kekurangan udara? Agni dan Cakka saling bertatapan seakan sedang memikirkan hal yang sama. Sementara itu, seseorang di depan mereka yang tak lain adalah Patton masih sibuk merangkai kata yang ‘pas’ supaya tidak ada salah paham diantara mereka.
Sejam yang lalu mantan kapten Cakrawala itu meminta Cakka dan Agni untuk menemuinya. Berhubung sudah cukup lama lelaki itu vakum dari basket, tentu menimbulkan prasangka buruk.
“Ada apa sih, Kak?” tanya Agni heran.
Patton menarik nafas panjang untuk membuang kegelisahannya.
“Bisa kalian profesional?”
Pertanyaan itu yang akhirnya tercetus dari bibir Patton. Sekali lagi, Cakka dan Agni saling bersitatap satu sama lain.
“Maksudnya?” tanya Cakka.
“Kalian sama-sama kapten basket. Cakka pemimpin Cakrawala, dan lo Agni yang sangat gue banggakan, pemimpin Cakradara. Anggaplah gue saksi perjalanan kalian. Dan akhir-akhir ini, gue mendapat laporan dari anggota tim kalian...”
Patton menggantungkan kalimatnya sejenak, “Kalian mulai lalai dari tanggung jawab. Mungkin ini bukan hak gue menyampaikan, tapi gue sebagai satu-satunya ex-kapten yang pensiun merasa ini masih menjadi tanggung jawab gue.”
Sesaat hanya keheningan yang menyelimuti meja mereka. Agni melirik Cakka, ia menangkap gurat penyesalan di wajahnya meskipun pemuda itu sedang menunduk.
Cakka mengangkat wajah kemudian fokus pada Patton. “Jadi, maksudnya gue sama Agni jadi nggak profesional sejak kami pacaran?”
Dan tanpa disangka-sangka, Cakka menyimpulkan dengan cepat dan tepat. Meskipun tidak tega dengan perubahan wajah juniornya, Patton tetap menganggukkan kepala. Selanjutnya hanya terdengar helaan nafas panjang dari pemuda itu.
“Demi Tuhan, gue menyampaikan ini untuk kebaikan bersama.”
Patton tak ingin jika hubungan antara dia dengan Cakka ataupun Agni jadi merenggang hanya karena kejadian ini.
“Hm, kayaknya gue harus pergi sekarang. Ada bimbel. Setelah ini kalian bisa introspeksi diri.”
Sejurus kemudian Patton pamit dan meninggalkan dua sejoli yang masih sibuk dengan pikiran masing-masing. Ah, Cakka mendesah, sebetulnya dia juga merasakan atmospher berbeda setiap kali latihan. Pantas saja dia pernah mendengar namanya disebut-sebut di belakang, pantas saja sikap mereka berbeda, awalnya ia hanya menganggap itu adalah bagian dari mood yang hilang tapi  ternyata—Cakka menjambak rambutnya frustasi. Di sampingnya, Agni tahu betul apa yang dirasakan pemuda itu. Yang tidak diduga adalah ketika Cakka menoleh kepadanya, menatap manik itu dengan sorot tak terbaca, kemudian mengucapkan sesuatu yang mengobrak-abrik hatinya.
“Kita break dulu ya, Ag.”
Seketika ia merasakan jantungnya terlepas.
***
Pukul setengah 5 sore tepat, Ify sampai di rumah Alvin. Pintu rumah itu tertutup rapat. Ify lantas mengaduk-aduk jansport-nya untuk mencari ponsel. Belum sempat digunakan untuk menelpon Alvin, ponselnya lebih dulu menampilkan satu buah pesan dari pemuda tersebut.
Alvin: Langsung masuk aja, nggak gue kunci. Gue lagi ganti baju
Dan seketika Ify bersumpah serapah. Mengapa pacar Sivia ini senang sekali bersikap semena-mena sih? Berhubung ia tak mau menghabiskan waktu untuk memikirkan hal tersebut, Ify lantas mendorong pintu rumah itu dan masuk ke dalam.
Baru satu langkah, gadis itu tercenung. Kalau Alvin membiarkannya langsung masuk, itu berarti tak ada siapa-siapa di rumah ini. Ify kembali bersungut, kalau tidak ada siapa-siapa, mengapa mereka harus belajar di sini?
“Ngapain lo ngalamun di depan pintu rumah gue?”
Suara Alvin. Ify mendongak lalu dengan mudah menemukan pemuda itu sedang berjalan menuruni anak tangga. Sesampainya di anak tangga terakhir, Alvin lantas menuju ruang tamu dan duduk di sana.
“Lo mau kita belajar di rumah yang kosong?” balas Ify retoris.
“Kalau rame justru nggak konsen kali,” sahutnya kemudian memberi kode pada gadis tersebut untuk duduk.
“Tapi kan... please, gue cewek dan lo cowok. Nggak ada siapa-siapa di sini selain kita,” kata Ify.
Alvin mencibir, “Bukannya pas lo ditembak Rio itu juga nggak ada siapa-siapa di rumahnya? Rio sendiri kok yang cerita.”
Detik berikutnya Ify meneguk ludahnya sendiri. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Ini minum sama camilannya, Den.”
Ify melongo saat tahu-tahu seorang wanita paruh baya datang membawa dua gelas minuman dan beberapa camilan. Tatapan Ify beralih pada Alvin yang tengah menahan tawa. Sialan! Baru datang sudah dikerjai.
Wanita itu sempat melemparkan senyum pada Ify sebelum kembali menghilang.
“Lo panik banget,” kata Alvin.
“YA! TERSERAH!” sahut Ify geram.
Dengan kasar Ify meletakkan tasnya kemudian meraih salah satu gelas yang disajikan barusan dan meneguknya hingga tak tersisa.
“Ngesot ya ke sininya?” ledek Alvin.
Ify melotot ke arah pemuda itu, “Bacot. Ayo belajar. Mumpung gue belom memutuskan menyerahkan diri ke RSJ.” Ify sewot.
***
Shilla masih memeluk sosok Agni yang ditemuinya secara tak sengaja. Tadinya ia dan Gabriel akan menuju ke acara premier film teman Shilla. Akan tetapi, Shilla justru tanpa sengaja menemukan Agni duduk di pinggir trotoar dengan wajah sendu. Reflek Shilla menyuruh Gabriel menepi lalu ia keluar untuk membawa Agni masuk ke dalam mobil ini bersamanya.
Dan sejak satu menit yang lalu, Agni hanya memeluk Shilla seraya menangis tersedu-sedu. Gabriel yang beralih menjadi sopir dadakan pun tahu diri untuk memutar arah menuju rumah Agni.
Tell me, lo kenapa?” tanya Shilla setelah gadis di sampingnya itu sedikit lebih tenang.
Agni menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan. Selanjutnya gadis itu menoleh ke arah Shilla yang sedang memperhatikannya. Yang diingat Agni hanyalah deretan kalimat Cakka yang membuat paru-parunya terhimpit, lalu dia berlari meninggalkan pemuda itu. Tahu-tahu Agni sudah berada di dalam mobil Gabriel.
“Cakka minta break,” ujarnya sangat pelan.
Detik itu Shilla dan Gabriel sontak saling melirik melalui cermin.
“Kenapa?”
Sepersekian detik Agni memejamkan matanya, mencoba menata hati supaya tak terisak kembali. Lantas gadis itu menceritakan pertemuan dengan Patton beberapa jam yang lalu dengan terbata-bata.
Chill. Gue yakin Cakka lagi emosi sesaat aja kok,” kata Shilla.
Namun entah mengapa ucapan itu tak mengubah suasana hatinya sama sekali.
***
“Ini salah, Alvin,” kata Ify.
“Bener kok. Coba lo hitung deh. Meskipun gue nggak sepinter elo, tetep aja gue yakin ini bener,” nyolot pemuda yang tak lain adala Alvin.
Ify menghela nafas panjang, berhadapan dengan Alvin memang harus dengan kesabaran ekstra. “Meskipun hitungannya bener, tapi kalau rumus yang lo pakai salah, tetep aja bakal salah.”
“Hah?”
Alvin kembali meneliti pekerjaannya kemudian menepuk keningnya sendiri. Padahal Ify sudah mengajarkan ini berkali-kali. Alvin lantas mengerjakan kembali dengan rumus yang benar.
Beberapa saat kemudian ia selesai.
“Gini?” tanya Alvin
Ify meneliti dan mengangguk-angguk pertanda bahwa pekerjaan Alvin sudah benar.
“Makanya, kalau diajarin tuh nyimak. Bukan ngalamun!” cecar Ify.
“Iyaaa. Sebagai permintaan maaf, gue ada kado buat elo. Bentar gue ambil.”
Selanjutnya Ify hanya bisa melongo melihat Alvin yang ngeloyor pergi begitu saja. Punggung pemuda itu semakin jauh dan kemudian tak terjangkau pandangannya. Ify mendengus, berharap kali ini Alvin tidak mengerjainya lagi. Kalau ia tak ingat mengenai perjanjiannya dengan Bu Maryam, pasti sekarang Ify lebih memilih bersantai di kamarnya sambil membaca novel.
Begitu Alvin kembali, kening Ify berkerut mendapati apa yang dibawa pemuda itu. Kotak musik berwarna biru muda yang sangat cantik.
“Nih buat elo,” kata Alvin.
Tak ada kecurigaan sama sekali karena menyaksikan ekspresi Alvin yang terlihat serius. Rikuh, Ify menerima benda itu kemudian membukanya perlahan. Detik berikutnya Ify melemparkan benda tersebut jauh entah ke mana dan menjerit-jerit horror, di sebelahnya Alvin yang tadinya memasang wajah serius sudah terbahak-bahak hingga wajahnya memerah.
“SIALAN! MONYET! BANGSAT! BABI!”
Gadis itu bukan hanya menghujami Alvin dengan sumpah serapah, tapi juga memukuli dengan bantal yang tadinya dia buat untuk bersandar. Siapa sangka kotak musik yang menurut Ify cantik itu bukannya mengeluarkan musik yang indah justru mengeluarkan suara kuntilanak?
“Sumpah muka lo lebih kocak dari Sivia,” ujar Alvin disela tawanya.
Pipi Ify sudah menggelembung, “Sumpah gue tadi kaget! Takut juga!”
“Lo takut setan?” balas Alvin terdengar meledek.
“Nggak lucu tai,” dengus Ify.
Kembali Alvin tak dapat menahan tawanya. Selain hal berbau korea, Sivia juga menyukai film-film horror. Ify justru sebaliknya.
“Kita belajarnya udahan ya, gue capek,” ucap Alvin setelah menghentikan tawanya.
“Gue juga udah males sama elo,” balas Ify ketus.
Alvin berseringai lebar lalu mengambil SLR yang tergeletak tak berdaya sudut lemari. Ify memperhatikan sampai Alvin kembali duduk di sebelahnya.
“Lo seneng banget motret ya?” tanya Ify mengingat selama ini Alvin memang sering bertugas mengambil foto untuk mengisi koleksi album foto Shilla.
“Iya,” sahut Alvin sekenanya.
“Bokap gue juga suka banget,” curhat Ify.
“Siapa?” tanya Alvin.
“Bokap.”
“Yang nanya,” imbuh pemuda itu jahil.
Ify mendengus kemudian mengurut dadanya. Sabar, sabar.
“Bantuin gue yuk!” ajak Alvin.
“Bantu apa? Pasti nggak manusiawi nih,” tuduh Ify.
Berhubung gadis itu tak bisa membaca pikiran Alvin sama sekali, seringkali dia jadi berprasangka. Bukan salahnya kan? Alvin berubah-ubah. Dia bisa jadi sangat cuek, lalu di detik selanjutnya tiba-tiba baik, kemudian berubah lagi jadi menyebalkan dan kadang jadi dingin, begitu terus hingga Ify bingung.
Apapun yang ada di otak pemuda ini, Ify tak bisa menjamahnya.
“Jadi model foto gue.”
“Hah?”
***
Agni menatap bayangan dirinya di dalam cermin. Ia melirik ponselnya yang tak berkedip sama sekali. Dalam hati, gadis itu berharap Cakka akan menghubunginya lalu mengatakan bahwa apa yang diucapkan pemuda itu saat di Cafe hanya sebuah gurauan. April Mop mungkin? Masalahnya, ini bukan bulan april.
Dia lantas meraih ponsel tersebut dan mengetikkan chat untuk Debo.
Agni: Debo, gue boleh nanya?
Debo: Apa?
Agni: Anak-anak ngomongin gue sama Cakka?
Debo: Iya
Agni: Lo juga?
Debo: Iya. Sori, Ag
Agni: Kenapa?
Debo: Sejak kalian pacaran, Cakka jadi nggak fokus sama basket. Sedikit-dikit dia nyamperin elo, ngajak ngobrol elo, apa-apa elo
Debo: Padahal dulu dia nggak begitu. Dulu Cakka punya semangat tinggi, tapi sekarang kayak nggak peduli. Padahal dia kapten
Gadis itu tak membalas lagi, hanya meresapi chat Debo dengan perasaan hampa. Kalau pandangan Debo yang dulu di pihak Cakka saja seperti ini, itu berarti yang lain pun lebih muak. Mungkin keputusan Cakka sudah tepat meski Agni sendiri tak tahu apakah Cakka sudah memikirkan itu atau seperti kata Shilla, emosi sesaat.
Yang membuat Agni berat adalah... break, tidak putus tapi juga tidak pacaran. Kembali dia terdampar dalam ketidakpastian. She needs clarity. Sampai kapan Cakka akan menganggap perasaannya seperti halte? Ia bisa singgah kapan saja, tapi juga pergi kapanpun yang dia inginkan.
Masalahnya lagi, kali ini perasaan Agni terhadap Cakka lebih besar dari perasaannya pada orang-orang terdahulu. Misalnya kepada Sion.
“Kita break dulu ya, Ag.”
Agni mencelos. Break berarti menuju kata putus. Meskipun tidak selamanya berarti demikian, tetap saja membuatnya cemas. Tetap saja ia takut.
***
“Aduh gue harus pergi,” ceplos Ify.
Alvin membidikkan kameranya ke arah gadis itu sekali lagi sebelum akhirnya mendekat. Gadis menjadi objek fotonya sejak setengah jam lalu itu tengah membereskan barang-barangnya.
“Mau ke mana?” tanya Alvin.
“Pulang ke rumah. Gue ada janji sama Rio,” jawab Ify.
“Harus banget sekarang?” tanya Alvin membuat Ify mengangkat kepalanya.
“Iyalah! Kenapa sih? Lagian gue capek lo suruh-suruh gaya gini lah gitu lah, eh ujung-ujungnya juga lo maki,” gerutu Ify.
Spontan Alvin tertawa kecil mendengarnya.
“Ya lagian lo kayak patung pancoran,” ledek Alvin.
“Sialan,” umpat Ify seraya mengenakan jansport-nya.
“Lo naik apa?” tanya Alvin.
“Kayaknya naik ojek. Jam segini pasti nggak ada angkot,” jawab Ify.
Sejenak Alvin berpikir kemudian meraih kunci mobilnya yang tergeletak di dekat televisi. “Gue anter deh,” katanya.
“Ng—nggak usah. Gue bisa sendiri kok,” tolak Ify.
“Anggap aja permintaan maaf. Tadi kan gue udah ngerjain lo segitunya. Ya kali gue tega lo pulang naik ojek,” balas pemuda itu.
“Bisa aja lo tega. Tapi, nggak pa-pa nih? Serius?”
Alvin menganggukkan kepalanya. Sekali lagi, pemuda di hadapannya mendadak jadi baik hati. Ify menggigit bibir bawahnya, tak mengerti dengan segala sikap Alvin yang tiap detiknya berubah-ubah.
“Ayo!”
Ify terkesiap kemudian mengikuti Alvin yang berjalan lebih dulu.
“Masuk, Fy. Mobil gue bisa baper kalo lo lihatin terus,” celoteh Alvin dari dalam mobilnya.
“Iya,” dengus Ify.
“Ini ke rumah lo kan?” tanya Alvin.
“Iya.”
Mobil itupun melaju melewati pekarangan rumah Alvin. Mendengar lagu yang diputar olehnya, gadis yang duduk di kursi penumpang terdengar bersenandung kecil.
“Fy,” panggil Alvin.
“Apa?”
“Ngomong apa kek. Bosen anjir,” kata pemuda itu.
“Ngomong apa? Gue kan nggak kayak Sivia yang bisa bikin mobil lo rame dadakan, lagian lo juga diem,” balas Ify sewot.
“Ya maksudnya nggak kayak Sivia juga. Terserah deh lo mau ngomong apa. Ngomongin masa depan lo sama Rio juga nggak masalah,” ceplos Alvin asal.
Ify tampak berpikir, “Belum pasti kali Rio masa depan gue.”
“Emang lo nggak mau Rio jadi masa depan lo?” tanya Alvin retoris.
“Bukan gitu, Vin. Karena yang ada di masa depan itu masih angan-angan, nggak pasti, gue nggak mau terlalu berharap tapi nantinya nggak sesuai ekspektasi,” tandas Ify.
“Ini nyinggung mantan lo itu ya?” balas Alvin setengah meledek.
“Hih. Setelah gue pikir-pikir, keputusan dia untuk putus udah bener sih. Seandainya sekarang gue masih sama dia, cuma gue yang cinta, sementara dia enggak. Itu akan lebih nyakitin kan, Vin?”
Alvin mengangguk samar. “Tapi, bukannya lebih sakit lagi setelah dia pergi, dia menemukan orang lain yang akhirnya gantiin posisi elo? Buktinya lo sempet susah move on.”
“Nggak usah ditanya, itu emang sangat sakit. Nggak pa-pa. Gue nggak menyesal, toh sekarang gue punya Rio,” kekeh Ify.
“Eh lo ngomongin ini karena punya pengalaman kayak gue apa emang niat ngeledek?” imbuh gadis itu.
“Jelas ngeledek. Gue nggak kayak lo yang udah putus masih ngarepin balikan.”
“SIALAN!”
Detik selanjutnya hanya terdengar tawa Alvin di dalam mobil. Ia melirik Ify kemudian tersenyum geli. “Lo bully-able deh, Fy.”
“Enak aja! Mentang-mentang kalo sama Sivia nggak bisa nge-bully. Eh eh stop! Stop! Ini rumah gue!” ceplos Ify.
“Iya bawel. Gue juga tahu. Sivia kan pernah nunjukin rumah lo ke gue.”
Ify hanya ber-oh-ria kemudian melepas seat belt-nya dan bersiap turun.
Thanks ya, Vin.”
“Eh Ify,” panggil Alvin setelah membuka kaca jendela.
Mendengar panggilan Alvin, reflek Ify menghentikan langkahnya lalu kembali mendekat dan melemparkan tatapan bertanya pada pemuda itu melalui jendela.
“Salam buat Sivia?” tebaknya.
Alvin menggeleng.
“Suara lo bagus,” puji Alvin membuat Ify melongo.
Belum sempat berujar apapun, mobil yang kini ditumpangi Alvin seorang diri melaju meninggalkannya yang masih mematung.
“Dia ketularan sintingnya Sivia kali ya?” gumamnya.
***
Bersambung...

Hmm aku tahu ini makin nggak jelas *nangisdipojokan* dan aku minta maaf karena nggak akan bisa menuhin permintaan kalian soal couple. Jadi, sudah diperingatkan ya hehehe