Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Hi guys... ready baca part 23? Btw sebelumnya aku minta maaf karena
banyak typo/kesalahan penulisan dari part 1 sampai 23 ini:)
Hope you like it...
23
Sudah
berjalan dua minggu sejak hari itu.
Kembali persahabatan mereka diwarnai cinta dengan hadirnya pasangan
baru—lagi—yakni Rio dan Ify. Gabriel mendengus, tersisa dirinya dan Shilla yang
masih betah dalam kesendirian. Sejak hari itu pula dia menghindar, menyisihkan
diri dari gerombolan orang yang sedang berbahagia.
Ya, ia
benar-benar membangun sekatnya meskipun tidak sempurna. Sudah tak ada lagi
Gabriel yang sangat nyolot hanya karena perang kata-kata melawan Sivia, tak ada
lagi Gabriel yang lari pada Ify untuk mengeluarkan uneg-unegnya meskipun selalu
ada keinginan untuk melakukan hal itu, tapi ia tak mau merusak kebersamaan
gadis itu dengan Rio. Yang jelas, Gabriel sudah jarang terlihat bersama mereka
seperti dulu, jarang bukan berarti tidak pernah. Dan terkadang Shilla datang
padanya sendirian, dia tidak membahas perubahan Gabriel tapi justru menganggap
semuanya terlihat sama.
“Tega
sumpah lu biarin gue diantara manusia-manusia kasmaran,” adu Shilla setiap kali
ia datang padanya.
Dan
Gabriel hanya akan menanggapi dengan kekehan atau seringaian.
Satu-satunya
yang belum berubah hanya perasaannya teruntuk Sivia. Setiap kali ia tak punya
alasan menghindar, ia akan menjadi salah satu penonton kemesraan gadis itu
dengan Alvin. Dan setiap kali itu terjadi, hatinya yang belum terekat kembali
semakin tak karuan.
Gabriel
mendengus pelan. Tiba-tiba ponselnya berkedip menandakan ada chat masuk. Belum sempat dibuka, layar
ponsel itu berkedip kembali memberi tanda bahwa notifikasi beruntun itu berasal
dari grup.
Pemuda
tersebut mengangkat alisnya saat sadar bahwa itu adalah notifikasi dari grup
yang dibuat Cakka sekitar dua bulan yang lalu, grup khusus mereka berempat
(Cakka, Gabriel, Alvin dan Rio) tanpa melibatkan Shilla di dalamnya. Grup ini
dibuat karena pemuda itu memergoki Agni sedang ber-chat-ria dengan Shilla, Ify dan Sivia di grup.
Rumpi No Secret mwah
Cakka : Woi sayang-sayangku
Rio : Najis lu Cak. Sunat lagi sana
Cakka : Kalo abis gimana? Nggak bisa enaena
Alvin : Jijik anying
Cakka : Rio yang mulai. Gue nggak salah apa-apa. Beneran
Rio : Fuck. Ngapa lo nge-chat di grup?
Alvin : Otak lo yang salah
Cakka : Jalan yuk malem minggu
Alvin : GILA! GUE MASIH NORMAL CAK SUMPAH
Rio : GILA! GUE MASIH NORMAL CAK SUMPAH (2)
Cakka : Ya lu pikir gue nggak normal, jing? Gue kan ada Agni dih
Rio : Horror nggak sih tiba-tiba lo ngajak kita jalan? Mana malam minggu
pula
Cakka : Bacot lu. Ya kan maksud gue udah lama gitu kita nggak main bareng
Alvin : Anjir main. Gue masih perjaka, Cak
Cakka : Si setan. Ketauan kan yang pikirannya nggak beres siapa
Cakka : Ayok jalan malam minggu mumpung gue free
Rio : Gue janjian sama Ify mau ke WTF
Cakka : Anjing yang baru jadian
Alvin : Sivia ngajak bikin anak
Alvin : Eh
Cakka : Anjing pasangan sinting
Alvin : Bacot lu. Malem jum’at aja gimana?
Cakka : Nggak bisa. Gue jagain lilin buat Agni
Rio : B AMAT ANJIR B AMAT
Rio : Gabriel nggak usah sok sider
lu. Member cuma empat cuk
Gabriel: Putusin
aja semuanya
Cakka : Jomblo level 999^
Alvin : Jomblo level 999^ (2)
Rio : Jomblo level 999^ (9999969)
Cakka : Rio astaga itu kenapa 69. Diam-diam bangsat kau nak
Gabriel: Bacot
lu pada. Gue mau tidur. Bye
Setelah
itu Gabriel benar-benar mengabaikan ponselnya. Dia sendiri heran mengapa
jarinya tergerak mengirim chat
seperti tadi. Sst, tak usah
dijelaskan bahwa sebenarnya chat tadi
hanya ditujukan pada Alvin. Sial, sekarang dia merasa dirinya lah yang jahat
karena berharap Alvin memutuskan hubungannya dengan Sivia padahal ia tahu
sendiri bahwa ada banyak harapan di balik mata Sivia setiap kali memandang
Alvin dengan sayang.
Bukan
Alvin yang jahat karena pemuda itu tak tahu menahu soal perasaannya. Bukan pula
salah Sivia karena jatuh hati pada sahabatnya, bukan padanya. Tapi ini salah
Gabriel. Salahnya sendiri yang terlalu menginginkan.
***
Ini
kedua kalinya Shilla main ke rumah Ify. Katanya gadis itu syuting di dekat sini
sehingga menyempatkan mampir. Ify sedang membaca novel di teras saat Shilla
memarkirkan mobilnya, tampaknya gadis yang awalnya fokus pada bacaannya
tersebut terkejut karena Shilla tak mengabarkan bahwa dirinya akan ke sini.
“Mau
minum apa, Shil?” tanya Ify.
“Kalau
ada sih gue lagi kepingin jus mangga,” jawab Shilla polos.
“Oh ada
kok,” kata Ify membuat Shilla tersenyum lebar.
“Tapi
tolong cariin mangganya ya, terus nanti lo ke dapur, bikin sendiri,” imbuh Ify.
Sontak Shilla
mencibir gadis itu, “Parah lu ya. Gue tamu nih.”
“Ya elu bego.
Ini kan bukan musim mangga, kalau masih ngotot sih gue bisa bikinin jus daun
mangga atau batang mangga. Kebetulan tetangga gue ada yang punya pohonnya,”
ujar Ify kalem membuat Shilla mendelik.
“Sekalian
aja lo buatin gue jus tulang daun mangga,” katanya kesal.
Ify
terkekeh, “Boleh tuh. Beneran mau? Gue ke rumah tetangga sekarang juga nih.”
“IFY!!!”
seru Shilla gemas.
Kali ini
gadis penyuka novel itu tak hanya terkekeh, tapi tertawa terbahak-bahak. Namun
kemudian air mukanya berubah serius.
“Gue
ambilin minum dulu deh buat elo, bukan jus tulang daun mangga kok,” katanya
setengah bercanda.
Shilla
hanya diam, tak membalas ucapan Ify karena sibuk dengan pikirannya. Sesuatu
berkecamuk di dalam sana. Bukan tanpa tujuan gadis itu berada di rumah Ify
sekarang karena kalau memang tidak ada apa-apa, bisa saja Shilla menuju rumah
Sivia atau mengajak gadis itu ke rumah Ify seperti yang dilakukannya sekarang.
Ia
lantas mengamati kamar Ify. Ya, dia memang berada di kamar gadis itu. Senyum
Shilla tercetak saat tanpa sengaja menemukan foto Ify bersama Rio terpajang
diantara foto-foto lainnya. Ah, bahkan Shilla sudah tak menemukan foto Ray di
sana.
Beberapa
saat kemudian Ify tiba dengan lime squash dan pancake yang berada di atas nampan.
Dia memindahkan nampan tersebut ke lantai, tempat Shilla bebas selonjoran.
“Tadi
gue bikin pancake,” ujar Ify.
“Lo bisa
masak?” tanya Shilla.
“Nggak
bisa banget sih. Itu aja baru belajar kemarin gara-gara mamanya Rio kepingin pancake,”
jelas Ify membuat Shilla terperangah.
Bersahabat
sedari kecil dengan Rio membuat Shilla paham betul seperti apa keluarga
tersohor itu. Sepertinya Ify benar-benar mengubah dunia Rio yang tadinya
monoton dan penuh tekanan menjadi berwarna.
“Kayaknya
perjalanan cinta lo sama Rio mulus banget ya,” gumam Shilla.
“Nggak
juga. Butuh waktu lama buat nyadarin gue kalau sebenarnya Rio udah ngisi hati
gue entah sejak kapan. Sayangnya gue selalu menampik, cuma karna... you know,” ceplos Ify. Tanpa gadis itu mengatakan
pun Shilla paham bahwa yang dimaksud adalah kisah gadis itu dengan laki-laki
bernama Ray yang pernah dianggap belum usai.
“Tapi,
kalian... gimana ya? I think kalian
berdua easy untuk mencapai tahap ini.
Rio jatuh cinta with you and honestly, you too. Tapi karena someone lo jadi nggak yakin. Finally, lo moved. And then, you and him
together.”
Ify tak
mengelak, memang kelihatannya begitu. Seandainya saat ia menyadari perasaannya
teruntuk Rio di saat pemuda itu justru berhenti mencintainya, pasti akan
terlihat lebih ‘mengenaskan’. Dia beruntung karena Rio tidak melakukan itu.
“Lo
sedang membandingkan kisah gue sama kisah lo, right?”
Detik
selanjutnya terdengar helaan nafas panjang Shilla. Dan Ify tahu, tebakannya
tidak pernah salah. Sudah cukup lama dia mengamati gelagat gadis tersebut. Ada
sesuatu yang Shilla simpan rapat-rapat.
***
Alvin : Nyot nyot dikenyot nyot nyot nyot dikenyot
Alvin : Aku? Jadi duta shampo lain? HAHAHAHA ups
Alvin : Beng beng cuma satu, makannya yang beda haruskah kita lantas pisah
meski sama-sama suka beng beng
Alvin : Tujuh permen loli milkita sama dengan segelas susu
Sivia : Apa sih? Nggak berfaedah lu sumpah
Alvin : Suka-suka gue dong
Sivia : Si anjing. Gue bete jadi makin bete gara-gara elo tahu
Sivia : Kalau pacar lagi bete tuh dihibur!
Alvin : Itu gue ngehibur elo goblok
Sivia : Lo ngiklan tai
Sivia : Dan sampah
Alvin : ASTAGAAAA
Alvin : SABARKAN HAMBAMU YA TUHAN
Alvin : SABARKAN
Sivia : Tuh kan makin gadanta
Alvin : Lo ke balkon kamar gih
Sivia : Lo di depan rumah gue?!
Alvin : Terjun bebas dari sana biar mampus
Alvin : Ngarep banget gue tiba-tiba dateng terus ngehibur elo ya?
Sivia : PACAR KURANG AJAR
Pemuda
yang saat ini sibuk dengan ponselnya itu tak bisa menahan gelak tawanya membaca
chat terakhir Sivia. Ah, gadis itu
benar-benar mengisi hari-harinya. Alvin tersenyum samar, menghela nafas lalu
membiarkan chat dari Sivia terbaca
tanpa balasan. Biar saja gadis itu mencak-mencak.
Alvin
lantas melirik jam yang tergantung di dindingnya. Sudah pukul 1 siang dan dia
janjian dengan Ify nanti sore sekitar jam setengah 5. Itu berarti masih ada
cukup waktu untuk memejamkan mata. Ya, mereka masih tetap belajar bersama tanpa
sepengetahuan siapapun meskipun di hari libur. Ups, kecuali Bu Maryam.
Bukan
maksud merahasiakan, tapi entah mengapa keduanya sama-sama menganggap hal ini
tidak perlu diumumkan pada siapapun. Tidak penting. Yang penting hanya nasib
nilai-nilai Alvin yang mengenaskan.
Tidak
disangka perlahan nilai-nilai pemuda itu mulai meningkat meskipun kata Ify
tidak secepat peningkatan Rio. Akan tetapi, gadis itu berjanji tetap sabar
menghadapi tingkah lakunya yang menyebalkan.
Alvin
terkikik geli mengingat setiap kejadian yang membuat Ify nyaris frustasi, tapi
pada akhirnya gadis yang sudah menyandang status resmi sebagai kekasih Rio itu
tidak menyerah sama sekali. Dengan telaten ia mengajari Alvin, mengulang apa
yang tidak dipahami pemuda itu meskipun harus diulang seribu kali, dan
memberikannya kesempatan untuk bernafas lega dikala penat dengan apa yang
dipelajari.
Semua
itu membuatnya tersentuh. Pantas saja Rio betah berlama-lama dengan Ify.
“Masih
lama,” gumam Alvin menatap jam dindingnya.
Tiba-tiba
pemuda itu memutar otak, mencari bahan apa lagi untuk mengerjai gadis itu.
Meskipun sudah mulai menikmati aktivitas belajar bersama, tetap saja Alvin tak
bisa menghentikan keisengannya, entah mengapa. Dia pun tidak paham.
“Hmmm,”
dehem Alvin.
Matanya
menangkap kotak musik yang tergeletak di atas rak. Biasanya kotak musik itu
tidak kasat mata karena sengaja ia pinggirkan, ia memang kurang menyukai benda
yang dibelinya setahun lalu. Awalnya itu untuk Shilla, tapi kalau dipikir-pikir
Shilla tidak begitu excited dengan
musik, kecuali kalau dia mengenal penyanyinya. Misalnya, lagu milik Brian.
Akhirnya kotak musik itu pun masih tampak baru hingga detik ini.
Tercetus
sebuah ide untuk mengerjai Ify dengan kotak musik tersebut. Alvin meraihnya,
menatap cukup lama lalu sibuk mengotak-atik benda tersebut.
***
“So easy to fall in love with him, but so
hard to know that...”
Shilla
tak melanjutkan ucapannya, membiarkan Ify menerka-nerka apa yang akan dia
ucapkan. Biarlah gadis yang penuh pengamatan itu menebak sendiri.
“Mau gue
ceritain sesuatu?” tanya Ify.
Kening
Shilla berkerut, “Tentang?”
“Gue.”
“Apa?”
“Gue
kenal Ray dari awal MOS SMP. Nggak disangka-sangka, gue selalu sekelas sama
dia, bahkan satu organisasi. Dan lo tahu kan kalau gue jago olahraga? Gue dulu
ikut basket sama kayak dia,” Ify tampak menghirup oksigen sebanyak mungkin.
“Lama-lama
kami deket, sangat akrab dan he said...
pokoknya dia nembak gue. Berhubung gue emang udah suka, akhirnya kita pacaran.
Saat itu gue pikir kita bakalan selamanya kayak gitu.
“Sampai
tiba-tiba dia bilang gue terlalu sempurna. Dia nggak bisa mengimbangi gue. Dia
butuh cewek yang bikin dia merasa dibutuhkan, and it isn’t me. Rasanya sakit hati, sesak, kecewa, sedih, marah,
campur jadi satu. I can’t describe it
with one word.”
Ify
membuang nafas dengan kasar kemudian memandang Shilla dengan senyuman hangat,
“Gue nggak tahu pasti apa yang lo alami tapi gue juga pernah berada di posisi
lo sekarang. I know right gimana
rasanya. Dan setelah itu lo tahu sendiri apa yang terjadi sama gue.”
“Rio?”
balas Shilla pelan.
Ditanya
demikian membuat Ify menganggukkan kepalanya.
“Sekalipun
gue nggak pernah mikir kalau akhirnya bakalan sama dia. Believe me, semua orang punya kisah cintanya sendiri-sendiri. Lo
nggak perlu membandingkan or something
like that. One day, you’ll find.
Lo akan menemukan kebahagiaan lo sendiri sekalipun not with him,” cerocos Ify membuat Shilla diam mencerna setiap kata
yang dilontarkan gadis itu.
Dan
kemudian terbayang wajah Gabriel bersama sesuatu yang akhir-akhir ini
menggelayuti pikirannya. Kali ini helaan nafas Shilla terasa lebih ringan,
kata-kata Ify memang selalu ampuh, tidak salah ia berada di sini.
“Gimana
caranya lo melakukan ini?” tanya Shilla.
Ify
mengernyit bingung, “Melakukan apa?”
“Lo
bikin gue seolah-olah menemukan solusi atas permasalahan gue saat ini. Tapi, lo
justru pernah stuck di masalah lo
sendiri,” ceplos Shilla.
“Karena
gue emang nggak sesempurna yang Ray atau
mungkin orang lain lihat. Gue juga punya sisi lemah,” gumam Ify.
Beberapa
detik selanjutnya Shilla tercenung.
***
Sudah
sore dan Gabriel masih belum beranjak dari ranjang empuknya. Ah, berapa lama ia
tertidur? Mentang-mentang hari libur ia jadi malas melakukan apapun. Gabriel
lantas menyibak selimutnya mengecek notifikasi ponsel yang terkapar tak berdaya
di atas laci.
Terakhir
kali ia memegang benda pipih itu saat membalas chat grup. Tahu-tahu ponselnya sudah kebanjiran notifikasi,
termasuk dari grup yang dibuat Cakka. Dia memilih menghiraukan notifikasi
tersebut dan membuka deretan chat
lainnya.
Papa: Papa,
Mama sama adekmu ke Singapore sampai minggu depan. Tadi kamu dibangunin susah.
Jaga rumah baik-baik ya
Gabriel
mendesah, menyesal karena tidak ikut. Seminggu di Singapore kan lumayan untuk
menjernihkan pikiran dan lari dari kepahitan. Ingin menyusul, tapi ia teringat
sekolahnya. Huh. Setelah membalas dengan sangat singkat, dia beralih ke chat lainnya.
Shilla: Nanti
malam temenin gue dateng ke premier filmnya Key dong
Dan tak
butuh waktu lama untuk Gabriel mengiyakan ajakan Shilla.
Rio: Bro, are you ok?
Cakka: Lu ke
mana aja sih? Cek grup anjir
Kali ini
dia mengabaikan chat tersebut beserta
chat yang dianggapnya tak penting lainnya.
Begitu men-scroll deretan chat yang belum dibaca, pandangannya
berhenti di satu titik. Ify.
Ify: Gue
tahu apa yang lo perbuat. I think, we
need to talk
Sesaat
aliran darah Gabriel berpacu begitu cepat. Ify tahu? Bahkan, sebaik apapun dia
menyembunyikan sesuatu, gadis itu tahu. Bagaimana bisa?
Gabriel
menekan pangkal batang hidungnya sejenak. Ify bilang mereka butuh bicara, tapi
ia enggan. Ia takut tersihir kalimat-kalimat gadis itu seperti biasanya. Maka,
ia putuskan untuk tak menyentuh room chat
tersebut sama seperti yang ia lakukan pada chat
lainnya.
Dan
beberapa saat kemudian setelah meletakkan ponselnya seperti semula, memori
mengenai Sivia kembali berkelebatan. Seandainya dulu Sivia tidak bertingkah
seolah-olah mereka punya satu kesempatan untuk menjalin suatu hubungan lebih
dari sahabat, mungkin hatinya tak sekacau ini. Lalu sekarang dia harus kembali
menjalani rutinitasnya seperti dahulu. Tak mengenal Sivia dan kembali pada
Shilla.
“Astaga,”
pekik Gabriel menyadari sesuatu.
“Semoga
Shilla nggak ada perasaan apa-apa sama gue,” lanjutnya sarat kepanikan.
Membayangkan
Shilla mencintainya seperti ia mencintai Sivia sudah membuat pemuda itu
kelimpungan. Bagaimana kalau pikiran gilanya membenarkan apa yang terjadi?
Kalau Gabriel saja bisa istilahnya baper—bawa
perasaaan—bagaimana dengan Shilla yang jelas-jelas perempuan?
***
“Gue
bukannya mau menghakimi kalian berdua, tapi...”
Cafe ini
masih memiliki fasilitas AC dan menyala. Tapi mengapa rasanya seperti
kekurangan udara? Agni dan Cakka saling bertatapan seakan sedang memikirkan hal
yang sama. Sementara itu, seseorang di depan mereka yang tak lain adalah Patton
masih sibuk merangkai kata yang ‘pas’ supaya tidak ada salah paham diantara
mereka.
Sejam
yang lalu mantan kapten Cakrawala itu meminta Cakka dan Agni untuk menemuinya.
Berhubung sudah cukup lama lelaki itu vakum dari basket, tentu menimbulkan
prasangka buruk.
“Ada apa
sih, Kak?” tanya Agni heran.
Patton
menarik nafas panjang untuk membuang kegelisahannya.
“Bisa
kalian profesional?”
Pertanyaan
itu yang akhirnya tercetus dari bibir Patton. Sekali lagi, Cakka dan Agni
saling bersitatap satu sama lain.
“Maksudnya?”
tanya Cakka.
“Kalian
sama-sama kapten basket. Cakka pemimpin Cakrawala, dan lo Agni yang sangat gue
banggakan, pemimpin Cakradara. Anggaplah gue saksi perjalanan kalian. Dan
akhir-akhir ini, gue mendapat laporan dari anggota tim kalian...”
Patton
menggantungkan kalimatnya sejenak, “Kalian mulai lalai dari tanggung jawab.
Mungkin ini bukan hak gue menyampaikan, tapi gue sebagai satu-satunya ex-kapten
yang pensiun merasa ini masih menjadi tanggung jawab gue.”
Sesaat
hanya keheningan yang menyelimuti meja mereka. Agni melirik Cakka, ia menangkap
gurat penyesalan di wajahnya meskipun pemuda itu sedang menunduk.
Cakka
mengangkat wajah kemudian fokus pada Patton. “Jadi, maksudnya gue sama Agni
jadi nggak profesional sejak kami pacaran?”
Dan
tanpa disangka-sangka, Cakka menyimpulkan dengan cepat dan tepat. Meskipun
tidak tega dengan perubahan wajah juniornya, Patton tetap menganggukkan kepala.
Selanjutnya hanya terdengar helaan nafas panjang dari pemuda itu.
“Demi
Tuhan, gue menyampaikan ini untuk kebaikan bersama.”
Patton
tak ingin jika hubungan antara dia dengan Cakka ataupun Agni jadi merenggang
hanya karena kejadian ini.
“Hm, kayaknya
gue harus pergi sekarang. Ada bimbel. Setelah ini kalian bisa introspeksi
diri.”
Sejurus
kemudian Patton pamit dan meninggalkan dua sejoli yang masih sibuk dengan
pikiran masing-masing. Ah, Cakka mendesah, sebetulnya dia juga merasakan
atmospher berbeda setiap kali latihan. Pantas saja dia pernah mendengar namanya
disebut-sebut di belakang, pantas saja sikap mereka berbeda, awalnya ia hanya
menganggap itu adalah bagian dari mood
yang hilang tapi ternyata—Cakka
menjambak rambutnya frustasi. Di sampingnya, Agni tahu betul apa yang dirasakan
pemuda itu. Yang tidak diduga adalah ketika Cakka menoleh kepadanya, menatap
manik itu dengan sorot tak terbaca, kemudian mengucapkan sesuatu yang mengobrak-abrik
hatinya.
“Kita break dulu ya, Ag.”
Seketika
ia merasakan jantungnya terlepas.
***
Pukul
setengah 5 sore tepat, Ify sampai di rumah Alvin. Pintu rumah itu tertutup
rapat. Ify lantas mengaduk-aduk jansport-nya untuk mencari ponsel. Belum sempat
digunakan untuk menelpon Alvin, ponselnya lebih dulu menampilkan satu buah
pesan dari pemuda tersebut.
Alvin:
Langsung masuk aja, nggak gue kunci. Gue lagi ganti baju
Dan
seketika Ify bersumpah serapah. Mengapa pacar Sivia ini senang sekali bersikap
semena-mena sih? Berhubung ia tak mau menghabiskan waktu untuk memikirkan hal
tersebut, Ify lantas mendorong pintu rumah itu dan masuk ke dalam.
Baru
satu langkah, gadis itu tercenung. Kalau Alvin membiarkannya langsung masuk,
itu berarti tak ada siapa-siapa di rumah ini. Ify kembali bersungut, kalau
tidak ada siapa-siapa, mengapa mereka harus belajar di sini?
“Ngapain
lo ngalamun di depan pintu rumah gue?”
Suara
Alvin. Ify mendongak lalu dengan mudah menemukan pemuda itu sedang berjalan
menuruni anak tangga. Sesampainya di anak tangga terakhir, Alvin lantas menuju
ruang tamu dan duduk di sana.
“Lo mau
kita belajar di rumah yang kosong?” balas Ify retoris.
“Kalau
rame justru nggak konsen kali,” sahutnya kemudian memberi kode pada gadis
tersebut untuk duduk.
“Tapi
kan... please, gue cewek dan lo
cowok. Nggak ada siapa-siapa di sini selain kita,” kata Ify.
Alvin
mencibir, “Bukannya pas lo ditembak Rio itu juga nggak ada siapa-siapa di
rumahnya? Rio sendiri kok yang cerita.”
Detik
berikutnya Ify meneguk ludahnya sendiri. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Ini
minum sama camilannya, Den.”
Ify
melongo saat tahu-tahu seorang wanita paruh baya datang membawa dua gelas
minuman dan beberapa camilan. Tatapan Ify beralih pada Alvin yang tengah
menahan tawa. Sialan! Baru datang sudah dikerjai.
Wanita
itu sempat melemparkan senyum pada Ify sebelum kembali menghilang.
“Lo
panik banget,” kata Alvin.
“YA!
TERSERAH!” sahut Ify geram.
Dengan
kasar Ify meletakkan tasnya kemudian meraih salah satu gelas yang disajikan
barusan dan meneguknya hingga tak tersisa.
“Ngesot
ya ke sininya?” ledek Alvin.
Ify
melotot ke arah pemuda itu, “Bacot. Ayo belajar. Mumpung gue belom memutuskan
menyerahkan diri ke RSJ.” Ify sewot.
***
Shilla
masih memeluk sosok Agni yang ditemuinya secara tak sengaja. Tadinya ia dan
Gabriel akan menuju ke acara premier film teman Shilla. Akan tetapi, Shilla
justru tanpa sengaja menemukan Agni duduk di pinggir trotoar dengan wajah
sendu. Reflek Shilla menyuruh Gabriel menepi lalu ia keluar untuk membawa Agni
masuk ke dalam mobil ini bersamanya.
Dan
sejak satu menit yang lalu, Agni hanya memeluk Shilla seraya menangis
tersedu-sedu. Gabriel yang beralih menjadi sopir dadakan pun tahu diri untuk
memutar arah menuju rumah Agni.
“Tell me, lo kenapa?” tanya Shilla
setelah gadis di sampingnya itu sedikit lebih tenang.
Agni
menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya perlahan. Selanjutnya gadis
itu menoleh ke arah Shilla yang sedang memperhatikannya. Yang diingat Agni
hanyalah deretan kalimat Cakka yang membuat paru-parunya terhimpit, lalu dia
berlari meninggalkan pemuda itu. Tahu-tahu Agni sudah berada di dalam mobil
Gabriel.
“Cakka
minta break,” ujarnya sangat pelan.
Detik
itu Shilla dan Gabriel sontak saling melirik melalui cermin.
“Kenapa?”
Sepersekian
detik Agni memejamkan matanya, mencoba menata hati supaya tak terisak kembali.
Lantas gadis itu menceritakan pertemuan dengan Patton beberapa jam yang lalu
dengan terbata-bata.
“Chill. Gue yakin Cakka lagi emosi sesaat
aja kok,” kata Shilla.
Namun
entah mengapa ucapan itu tak mengubah suasana hatinya sama sekali.
***
“Ini
salah, Alvin,” kata Ify.
“Bener
kok. Coba lo hitung deh. Meskipun gue nggak sepinter elo, tetep aja gue yakin
ini bener,” nyolot pemuda yang tak lain adala Alvin.
Ify
menghela nafas panjang, berhadapan dengan Alvin memang harus dengan kesabaran
ekstra. “Meskipun hitungannya bener, tapi kalau rumus yang lo pakai salah,
tetep aja bakal salah.”
“Hah?”
Alvin
kembali meneliti pekerjaannya kemudian menepuk keningnya sendiri. Padahal Ify
sudah mengajarkan ini berkali-kali. Alvin lantas mengerjakan kembali dengan rumus
yang benar.
Beberapa
saat kemudian ia selesai.
“Gini?”
tanya Alvin
Ify
meneliti dan mengangguk-angguk pertanda bahwa pekerjaan Alvin sudah benar.
“Makanya,
kalau diajarin tuh nyimak. Bukan ngalamun!” cecar Ify.
“Iyaaa.
Sebagai permintaan maaf, gue ada kado buat elo. Bentar gue ambil.”
Selanjutnya
Ify hanya bisa melongo melihat Alvin yang ngeloyor pergi begitu saja. Punggung
pemuda itu semakin jauh dan kemudian tak terjangkau pandangannya. Ify
mendengus, berharap kali ini Alvin tidak mengerjainya lagi. Kalau ia tak ingat
mengenai perjanjiannya dengan Bu Maryam, pasti sekarang Ify lebih memilih
bersantai di kamarnya sambil membaca novel.
Begitu
Alvin kembali, kening Ify berkerut mendapati apa yang dibawa pemuda itu. Kotak
musik berwarna biru muda yang sangat cantik.
“Nih
buat elo,” kata Alvin.
Tak ada
kecurigaan sama sekali karena menyaksikan ekspresi Alvin yang terlihat serius.
Rikuh, Ify menerima benda itu kemudian membukanya perlahan. Detik berikutnya
Ify melemparkan benda tersebut jauh entah ke mana dan menjerit-jerit horror, di
sebelahnya Alvin yang tadinya memasang wajah serius sudah terbahak-bahak hingga
wajahnya memerah.
“SIALAN!
MONYET! BANGSAT! BABI!”
Gadis
itu bukan hanya menghujami Alvin dengan sumpah serapah, tapi juga memukuli
dengan bantal yang tadinya dia buat untuk bersandar. Siapa sangka kotak musik
yang menurut Ify cantik itu bukannya mengeluarkan musik yang indah justru
mengeluarkan suara kuntilanak?
“Sumpah
muka lo lebih kocak dari Sivia,” ujar Alvin disela tawanya.
Pipi Ify
sudah menggelembung, “Sumpah gue tadi kaget! Takut juga!”
“Lo
takut setan?” balas Alvin terdengar meledek.
“Nggak
lucu tai,” dengus Ify.
Kembali
Alvin tak dapat menahan tawanya. Selain hal berbau korea, Sivia juga menyukai
film-film horror. Ify justru sebaliknya.
“Kita
belajarnya udahan ya, gue capek,” ucap Alvin setelah menghentikan tawanya.
“Gue
juga udah males sama elo,” balas Ify ketus.
Alvin
berseringai lebar lalu mengambil SLR yang tergeletak tak berdaya sudut lemari.
Ify memperhatikan sampai Alvin kembali duduk di sebelahnya.
“Lo
seneng banget motret ya?” tanya Ify mengingat selama ini Alvin memang sering
bertugas mengambil foto untuk mengisi koleksi album foto Shilla.
“Iya,”
sahut Alvin sekenanya.
“Bokap
gue juga suka banget,” curhat Ify.
“Siapa?”
tanya Alvin.
“Bokap.”
“Yang
nanya,” imbuh pemuda itu jahil.
Ify
mendengus kemudian mengurut dadanya. Sabar,
sabar.
“Bantuin
gue yuk!” ajak Alvin.
“Bantu
apa? Pasti nggak manusiawi nih,” tuduh Ify.
Berhubung
gadis itu tak bisa membaca pikiran Alvin sama sekali, seringkali dia jadi
berprasangka. Bukan salahnya kan? Alvin berubah-ubah. Dia bisa jadi sangat
cuek, lalu di detik selanjutnya tiba-tiba baik, kemudian berubah lagi jadi
menyebalkan dan kadang jadi dingin, begitu terus hingga Ify bingung.
Apapun
yang ada di otak pemuda ini, Ify tak bisa menjamahnya.
“Jadi
model foto gue.”
“Hah?”
***
Agni
menatap bayangan dirinya di dalam cermin. Ia melirik ponselnya yang tak
berkedip sama sekali. Dalam hati, gadis itu berharap Cakka akan menghubunginya
lalu mengatakan bahwa apa yang diucapkan pemuda itu saat di Cafe hanya sebuah
gurauan. April Mop mungkin? Masalahnya, ini bukan bulan april.
Dia
lantas meraih ponsel tersebut dan mengetikkan chat untuk Debo.
Agni: Debo,
gue boleh nanya?
Debo: Apa?
Agni:
Anak-anak ngomongin gue sama Cakka?
Debo: Iya
Agni: Lo
juga?
Debo: Iya.
Sori, Ag
Agni: Kenapa?
Debo: Sejak
kalian pacaran, Cakka jadi nggak fokus sama basket. Sedikit-dikit dia nyamperin
elo, ngajak ngobrol elo, apa-apa elo
Debo: Padahal
dulu dia nggak begitu. Dulu Cakka punya semangat tinggi, tapi sekarang kayak
nggak peduli. Padahal dia kapten
Gadis
itu tak membalas lagi, hanya meresapi chat
Debo dengan perasaan hampa. Kalau pandangan Debo yang dulu di pihak Cakka saja
seperti ini, itu berarti yang lain pun lebih muak. Mungkin keputusan Cakka
sudah tepat meski Agni sendiri tak tahu apakah Cakka sudah memikirkan itu atau seperti
kata Shilla, emosi sesaat.
Yang
membuat Agni berat adalah... break,
tidak putus tapi juga tidak pacaran. Kembali dia terdampar dalam
ketidakpastian. She needs clarity.
Sampai kapan Cakka akan menganggap perasaannya seperti halte? Ia bisa singgah
kapan saja, tapi juga pergi kapanpun yang dia inginkan.
Masalahnya
lagi, kali ini perasaan Agni terhadap Cakka lebih besar dari perasaannya pada
orang-orang terdahulu. Misalnya kepada Sion.
“Kita break dulu ya, Ag.”
Agni
mencelos. Break berarti menuju kata
putus. Meskipun tidak selamanya berarti demikian, tetap saja membuatnya cemas.
Tetap saja ia takut.
***
“Aduh
gue harus pergi,” ceplos Ify.
Alvin
membidikkan kameranya ke arah gadis itu sekali lagi sebelum akhirnya mendekat.
Gadis menjadi objek fotonya sejak setengah jam lalu itu tengah membereskan
barang-barangnya.
“Mau ke
mana?” tanya Alvin.
“Pulang
ke rumah. Gue ada janji sama Rio,” jawab Ify.
“Harus
banget sekarang?” tanya Alvin membuat Ify mengangkat kepalanya.
“Iyalah!
Kenapa sih? Lagian gue capek lo suruh-suruh gaya gini lah gitu lah, eh
ujung-ujungnya juga lo maki,” gerutu Ify.
Spontan
Alvin tertawa kecil mendengarnya.
“Ya
lagian lo kayak patung pancoran,” ledek Alvin.
“Sialan,”
umpat Ify seraya mengenakan jansport-nya.
“Lo naik
apa?” tanya Alvin.
“Kayaknya
naik ojek. Jam segini pasti nggak ada angkot,” jawab Ify.
Sejenak
Alvin berpikir kemudian meraih kunci mobilnya yang tergeletak di dekat
televisi. “Gue anter deh,” katanya.
“Ng—nggak
usah. Gue bisa sendiri kok,” tolak Ify.
“Anggap
aja permintaan maaf. Tadi kan gue udah ngerjain lo segitunya. Ya kali gue tega
lo pulang naik ojek,” balas pemuda itu.
“Bisa
aja lo tega. Tapi, nggak pa-pa nih? Serius?”
Alvin
menganggukkan kepalanya. Sekali lagi, pemuda di hadapannya mendadak jadi baik
hati. Ify menggigit bibir bawahnya, tak mengerti dengan segala sikap Alvin yang
tiap detiknya berubah-ubah.
“Ayo!”
Ify
terkesiap kemudian mengikuti Alvin yang berjalan lebih dulu.
“Masuk,
Fy. Mobil gue bisa baper kalo lo lihatin terus,” celoteh Alvin dari dalam
mobilnya.
“Iya,”
dengus Ify.
“Ini ke
rumah lo kan?” tanya Alvin.
“Iya.”
Mobil
itupun melaju melewati pekarangan rumah Alvin. Mendengar lagu yang diputar
olehnya, gadis yang duduk di kursi penumpang terdengar bersenandung kecil.
“Fy,”
panggil Alvin.
“Apa?”
“Ngomong
apa kek. Bosen anjir,” kata pemuda itu.
“Ngomong
apa? Gue kan nggak kayak Sivia yang bisa bikin mobil lo rame dadakan, lagian lo
juga diem,” balas Ify sewot.
“Ya
maksudnya nggak kayak Sivia juga. Terserah deh lo mau ngomong apa. Ngomongin
masa depan lo sama Rio juga nggak masalah,” ceplos Alvin asal.
Ify
tampak berpikir, “Belum pasti kali Rio masa depan gue.”
“Emang
lo nggak mau Rio jadi masa depan lo?” tanya Alvin retoris.
“Bukan gitu,
Vin. Karena yang ada di masa depan itu masih angan-angan, nggak pasti, gue
nggak mau terlalu berharap tapi nantinya nggak sesuai ekspektasi,” tandas Ify.
“Ini
nyinggung mantan lo itu ya?” balas Alvin setengah meledek.
“Hih. Setelah
gue pikir-pikir, keputusan dia untuk putus udah bener sih. Seandainya sekarang
gue masih sama dia, cuma gue yang cinta, sementara dia enggak. Itu akan lebih
nyakitin kan, Vin?”
Alvin
mengangguk samar. “Tapi, bukannya lebih sakit lagi setelah dia pergi, dia
menemukan orang lain yang akhirnya gantiin posisi elo? Buktinya lo sempet susah
move on.”
“Nggak
usah ditanya, itu emang sangat sakit. Nggak pa-pa. Gue nggak menyesal, toh
sekarang gue punya Rio,” kekeh Ify.
“Eh lo
ngomongin ini karena punya pengalaman kayak gue apa emang niat ngeledek?” imbuh
gadis itu.
“Jelas
ngeledek. Gue nggak kayak lo yang udah putus masih ngarepin balikan.”
“SIALAN!”
Detik
selanjutnya hanya terdengar tawa Alvin di dalam mobil. Ia melirik Ify kemudian
tersenyum geli. “Lo bully-able deh,
Fy.”
“Enak
aja! Mentang-mentang kalo sama Sivia nggak bisa nge-bully. Eh eh stop! Stop! Ini rumah gue!” ceplos Ify.
“Iya
bawel. Gue juga tahu. Sivia kan pernah nunjukin rumah lo ke gue.”
Ify
hanya ber-oh-ria kemudian melepas seat
belt-nya dan bersiap turun.
“Thanks ya, Vin.”
“Eh
Ify,” panggil Alvin setelah membuka kaca jendela.
Mendengar
panggilan Alvin, reflek Ify menghentikan langkahnya lalu kembali mendekat dan
melemparkan tatapan bertanya pada pemuda itu melalui jendela.
“Salam
buat Sivia?” tebaknya.
Alvin
menggeleng.
“Suara
lo bagus,” puji Alvin membuat Ify melongo.
Belum
sempat berujar apapun, mobil yang kini ditumpangi Alvin seorang diri melaju
meninggalkannya yang masih mematung.
“Dia
ketularan sintingnya Sivia kali ya?” gumamnya.
***
Bersambung...
Hmm aku
tahu ini makin nggak jelas *nangisdipojokan* dan aku minta maaf karena nggak
akan bisa menuhin permintaan kalian soal couple. Jadi, sudah diperingatkan ya
hehehe