Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Hi guys! Long time no see. Masih #BangkitkanCRAGSISA hohoho finally
ya saya ngepost lagi, semoga kali ini tidak mengecewakan lagi. And I’m so sorry
kalau pada akhirnya nanti couple-nya tidak sesuai dengan keinginan kalian
(sudah diwanti-wanti dari sekarang :p)
Hope you like it...
20
Gabriel
tak henti tersenyum karena setelah sekian lama menunggu, akhirnya Fabulous Four kembali jalan-jalan.
Berempat. Tadinya mereka mengajak yang lain, tapi Cakka dan Agni ada urusan
basket. Sudah tiga hari dua anak itu resmi menjalin hubungan dan semakin
lengket. Shilla sendiri harus syuting film terbaru dan Alvin ada janji dengan
Deva dan papanya. Tersisalah Gabriel, Sivia, Rio dan Ify. Mereka sedang berada
di dalam mobil Rio.
“Shilla
syuting film apa sih?” tanya Sivia.
“Katanya
sih judulnya Me and You VS The World,” jawab Gabriel.
“Ada
cowok gantengnya gak? Kan gue bisa minta dicomblangin,” cetus Sivia asal.
Gabriel
melengos, lalu menjitak kepala gadis di sebelahnya hingga meringis sebal. Rio
dan Ify yang duduk di depan hanya menyimak sambil tertawa renyah.
“Genit
banget sih. Kayak ada yang mau aja sama elo. Udah bacot, ngeselin, malu-maluin
lagi,” ledek Gabriel.
Mendengar
kalimat itu, tentu saja Sivia tidak terima. Meskipun yang dibilang Gabriel
barusan ada benarnya juga sih.
“Gue
sumpahin lo mau sama gue!”
Entah
mengapa Sivia reflek melontarkan kalimat tersebut. Tubuh Gabriel menegang
sekejap kemudian terkekeh mendengarnya. Tanpa disumpahin pun, Gabriel memang
mau kalau dengan Sivia. Sayang sekali ia tidak mungkin mengatakan secara
gamblang. Apalagi saat ini Sivia sedang dekat dengan Alvin.
“Eh kita
mau ke mana nih?” tanya Rio yang fokus menyetir.
“Dufan
yuk!” usul Sivia.
“Nggak!
Nggak! Nggak!” tolak Gabriel mentah-mentah.
Bukannya
dia parno karena dulu ke Dufan bersama Sivia, tapi sebaliknya. Kalau mau
kembali ke sana, Gabriel maunya hanya dengan Sivia. Cuma berdua. Tidak dengan
Rio, Ify atau siapapun.
“Apa
sih? Masih takut lo sama Dufan?” cablak Sivia.
Gabriel
mencibir, “Mengingatkan gue ke kenangan buruk waktu sama elo.”
“IHHH!
NGESELINNN!!!”
“Emang
begitu kok kenyataannya,” sahut Gabriel asal.
“Ya udah
nggak usah ke Dufan. Ke Monas aja gimana? Apa TMII? Planetarium?” usul Sivia
tak mau menyerah.
“Kenapa
sih usul lo selalu ke tempat-tempat kayak gitu? Jakarta kan banyak tempat oke,”
sahut Gabriel.
“Karena
buat gue sama Ify, yang bikin jakarta oke itu tempat-tempat yang gue sebutin
tadi, Yel. Tahu nggak kenapa?” balas Sivia.
Gabriel
menggeleng.
“Karena
disaat orang lain jauh-jauh ke Jakarta cuma buat lihat Monas, kita yang lewat
tiap hari justru mengabaikan,” jawab Sivia.
“Kayak
kisah percintaan. Sebenernya lo punya seseorang yang berharga dan diinginkan
banyak orang, tapi lo mengabaikan,” imbuh Ify yang berada di depan Sivia.
“Betul!”
seru Sivia.
Sekilas
Rio dan Gabriel saling pandang melalui cermin. Dua gadis ini memang ajaib.
Meskipun punya dua kepribadian yang sangat berbeda, tapi bisa kompak dalam
berbagai hal.
***
Alvin
terhenyak saat papanya menelpon dan mengabarkan bahwa mereka akan quality time bersama, lengkap dengan
Deva. Entahlah. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa meskipun ia merasakan
perasaan senang yang menyusup pelan-pelan. Sudah berapa lama mereka tidak
berkumpul? Apalagi setelah kematian mendiang ibunya. Alvin benar-benar lupa.
Dan di sinilah ia bersama Deva berada.
Lady
Rose’s Resto. Dulu, tempat ini adalah kesukaan mendiang sang ibu dan akhirnya
menjadi kesukaan Deva, Alvin dan papanya pula. Wanita itu pernah bercerita bahwa
tempat ini merupakan tempat papa melamar.
“Papa
masih di jalan,” kata Alvin lalu memasukkan ponsel ke dalam saku.
Deva
mengangguk-angguk, dia teringat janjinya pada Keke yang terpaksa ia batalkan.
Pasti gadis itu sedang cemberut dan memakinya. Bukannya takut, Deva suka sekali
saat Keke marah.
“Mikirin
apa lo, bro?” tanya Alvin dengan alis
yang tertaut.
Berhubung
alis Alvin tebal seperti mama, berkerut sedikit saja membuat kedua alisnya
menyatu. Berbeda dengan Deva yang memiliki alis tipis.
“Keke.
Harusnya gue nemenin dia nyari peralatan gambar, tapi terpaksa gue batalin.
Nemenin dia kan udah tiap hari, kalau sama lo dan Papa nggak bisa tiap hari,”
ceplos Deva.
Alvin
mengangguk-angguk. Sejak suasana keluarga di rumah kembali, pasangan kakak-adik
itu jadi terbuka membicarakan apapun. Kadang Deva membicarakan hubungannya
dengan Keke yang semakin hari semakin lengket, kadang Alvin menceritakan
sahabat-sahabatnya, dan papanya tak mau ketinggalan berkeluh kesah.
Meski
begitu, tetap saja tidak terasa seutuh dulu lagi. Biar bagaimanapun, kehilangan
adalah luka yang sampai kapanpun tak pernah ada obatnya, selamanya akan
menganga. Namun kini mereka mengenang mama dengan rasa bahagia, bukan kesedihan
seperti dulu.
“Lo udah
serius banget ya sama Keke?” tanya Alvin.
Hm, sejujurnya
Alvin sudah pernah bertemu dengan Keke. Dia gadis yang baik, lucu dan mudah
ngambek jika Deva membatalkan janji seenaknya. Entah sudah berapa kali Deva
cerita mengenai Keke yang sedang marah. Tapi, kakaknya itu tampak senang,
katanya sih ‘justru kalau cewek marah itu
bikin cowok tertantang buat dia nggak marah lagi’ dan sejak itu Alvin
menganggap kakaknya gila.
Deva
tampak menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Pemuda itu mengangguk
sebagai jawaban atas pertanyaan Alvin.
“Dia
satu-satunya wanita yang membuat gue merasa nggak perlu nyari wanita lain. Dia
nggak sempurna, tapi dia bikin gue merasa sempurna. Gue suka banget kalau dia
lagi gambar, tenang tapi percaya diri.”
Tiba-tiba
Alvin teringat Sivia. Jika Keke adalah arsitek, Sivia adalah calon desainer.
Alvin sempat tersedak saat tanpa sengaja menemukan buku Sivia yang berisikan
desain-desain baju buatannya. Siapa sangka gadis seatraktif Sivia bisa
menciptakan gambar-gambar luar biasa, seperti magic. Tak hanya itu, lukisan-lukisan wajah yang dibuat gadis itu
pun sangat indah.
“Maaf,
Papa terjebak macet.”
Deva dan
Alvin sontak mengurut dada saat tahu-tahu papanya muncul.
“Ngagetin
ya?” tanya pria itu dengan cengiran lebar.
***
Menunggu
giliran take memang menyebalkan.
Shilla memilih mendekam di ruangan sambil mengotak-atik album yang dibawanya
dari rumah. Sengaja dibawa untuk mengantisipasi kebosanan seperti ini.
Berhubung dia bukan peran utama, banyak waktu kosong yang terbuang sia-sia.
Tadi sih para fans sengaja datang ke loksyut, Shilla melayani permintaan mereka
untuk sekedar foto bersama atau tanda tangan lalu masuk ke ruangan.
Sender: Gabriel
Iya, semangat syuting ya
Senyum
Shilla terukir membacanya. Gabriel mengajaknya jalan-jalan bersama yang lain,
tapi terpaksa ditolak karena syuting.
“Hei,
Shil,” celetuk Syrien.
“Udah
kelar take lo?” tanya Shilla.
Syrien
mengangguk kemudian menenggak air mineralnya sampai habis.
“Pulang
syuting ada acara nggak?” tanya Syrien.
“Mau
istirahat gue. Capek,” sahut Shilla sekenanya. Dia tidak bohong, dia memang
capek karena syuting film ini membuatnya pulang jam 1 pagi setiap hari.
“Padahal
mau gue ajak clubbing,” kekeh Syrien.
Shilla
melotot tajam lalu reflek mencubit Syrien, “Gue nggak pernah ke tempat kayak
gitu tahu!”
“Ya
justru karna lo nggak pernah makanya mau gue ajakin,” elak Syrien.
“Nggak.
Nggak suka.”
Syrien
hanya ber-oh-ria kemudian memainkan ponselnya. Shilla mendengus, remaja gaul
seperti Syrien sudah biasa menenggak vodka lalu menari-nari di atas dance floor, tentu itu bukan ‘Shilla banget’. Meskipun orang tuanya
sibuk dan sudah bercerai, Shilla tidak pernah melampiaskan perasaannya dengan
keluar-masuk club sekalipun dipaksa.
Ia tidak mau. Katakanlah Shilla cupu, untungnya dia punya sahabat-sahabat yang
punya prinsip sama dengannya. Terserah mau dibilang cupu atau apa.
“Sahabat
lo yang sipit itu apa kabarnya?” tanya Syrien tanpa mengalihkan perhatian dari
ponsel di tangannya.
“Alvin?
Baik kok,” jawab Shilla.
“Kok
nggak pernah kelihatan sih? Biasanya nganterin elo kemana-mana,” ceplos Syrien.
Kedua sudut
bibir Shilla terangkat, “Dia kan lagi pdkt sama cewek. Kalau sama gue terus,
gimana jadinya?”
“What? Gue pikir dia naksir elo,” balas
Syrien dengan ekspresi setengah kaget.
“Ngaco
abis lo! Kita udah sahabatan deket banget tahu,” kekeh Shilla.
Tampak Syrien
mengibaskan tangannya, “Serah deh. Tapi beneran gue pikir dia naksir elo
soalnya perhatian banget. Lo nggak kangen dia gitu? Biasanya nempel mulu,
sekarang tahu-tahu jauh.”
Kangen?
Kalau ditanya kangen atau tidak, entah mengapa Shilla jadi bingung. Sebagian
dari dirinya ingin berkata tidak tapi tertahan karena alam bawah sadarnya justru
berkata iya. Sumpah, Shilla sendiri tidak mengerti dengan apa terjadi pada
dirinya.
“Dia
lagi berjuang bahagiain cewek yang dia suka, masa iya gue kangen.”
Shilla
meringis, kesannya dia tidak rela Alvin punya gebetan baru. Padahal gadis itu
Sivia, sahabatnya juga. Dan harus diakuinya bahwa mereka sangat cocok.
“Lagian
Alvin tahu siapa yang lagi gue suka,” imbuh Shilla.
Sosok
Gabriel lantas terbayang di depan wajahnya. Shilla yakin seratus persen bahwa
perasaannya pada Gabriel tidak akan berubah sedikitpun.
Dia
lantas meraih album yang dianggurkannya sejak Syrien datang. Ini adalah album
baru, berisi foto-foto baru. Ada tulisan ‘Tim Menolak Sivia Bahagia’ di bagian cover, yang jelas tulisan itu adalah
hasil kekreatifan Sivia. Shilla tidak marah karena tulisan itu bagus, berbeda
sekali dengan tulisan di buku catatan Sivia yang mirip cakaran ayam.
Album
foto ini merupakan album khusus berisi foto-foto Shilla, Gabriel, Ify, Rio,
Sivia, Alvin, Agni dan Cakka. Terkadang mereka selfie menggunakan gopro supaya bisa lengkap berdelapan di dalam frame, tapi tak jarang saling
bergantian untuk menjadi fotografer. Tentunya yang paling sering menjadi peran
fotografer dadakan adalah Alvin karena dia hobi fotografi.
Di
halaman pertama, foto lengkap berdelapan menggunakan seragam putih abu-abu.
Foto ini diambil dengan bantuan Debo di lapangan indoor, mereka tampak saling merangkul dan memasang ekspresi konyol.
When You Hold Me. Begitu caption yang tertulis di bawah foto. Kalau kalimat ini
yang menulis adalah Gabriel.
“When you
hold me?” tanya Ify bingung.
“When you
hold me... I just lost control... I want you to know... That I’m never letting
go... You mean so much to me... I want the word to see... It’s because of
you...”
Gabriel menyanyikan sepenggal lagu milik Keith
Martin itu sambil menyentuh foto mereka yang sedang berangkulan di dalam album.
***
Agni
menjejalkan potongan daging ke dalam mulut Cakka dengan senyuman lebar. Cakka
sendiri terkekeh, tidak biasa makan disuapi seperti ini. Ia masih tak menyangka
bahwa akhirnya dia jadian dengan Agni.
“Udah ah
aku makan sendiri,” kata Cakka akhirnya.
Berhubung
sudah resmi berpacaran, mereka sepakat mengganti kosakata ‘gue-lo’ menjadi
‘aku-kamu’. Meskipun ujung-ujungnya sering sekali keduanya sama-sama keceplosan
menggunakan ‘gue-lo’.
“Kamu
nggak malu kan jalan sama aku?” tanya Agni untuk kesekian kalinya.
Lagi-lagi
Cakka menggelengkan kepala, “Waktu kita belum pacaran kamu nggak pernah nanya
gini ke aku.”
Agni
meringis, sejujurnya sejak resmi menyandang gelar sebagai kekasih seorang
Cakka, dia jadi lebih peka—tepatnya sensitif. Seringkali Agni membandingkan
penampilannya dengan pemuda itu.
“Ya itu
kan dulu, Cak,” elak Agni.
“Apa
bedanya? Sama-sama jalan sama aku kan?” balas Cakka.
Dengan
tak enak hati, Agni mengangguk untuk mengakui kesalahannya.
“Sivia
lagi deket banget sama Alvin ya?” tanya Cakka membuka obrolan baru.
“Iya
kayaknya. Dia lagi kasmaran,” jawab Agni.
Cakka
tampak manggut-manggut. Ia sudah menduga kalau Sivia memang ada rasa pada Alvin.
Pemuda itu sontak teringat pada Gabriel, setahunya Gabriel dulu dekat dengan
Sivia. Kenapa tiba-tiba jadi Alvin yang membuat gadis itu kasmaran?
“Mikir
apa?” tanya Agni.
“Nggak.
Aneh aja lihat Alvin sama Sivia, gue lebih suka Sivia sama Gabriel sih,” sahut
Cakka sejujurnya.
“Kalau
gue sih terserah dia aja, gue sebagai sahabat mah bisanya kasih support dan nggak ikut campur.”
“Hm, iya
juga.”
***
Pilihan
jalan-jalan Fabulous Four jatuh pada
taman. Sebenarnya mereka sudah memutuskan untuk pergi ke Monas, tapi macetnya
Jakarta membuat niat mereka urung. Tanpa sengaja mata Sivia menangkap sebuah
taman. Jadilah mobil Rio mendarat di tempat ini daripada harus bergelut dengan
kemacetan. Meski ini adalah hari libur, tetap saja macetnya Jakarta tidak bisa
diatasi.
Berhubung
ini sudah nyaris sore—mereka terlalu lama di dalam mobil—maka taman ini pun
sedikit ramai. Terutama dipenuhi oleh anak-anak kecil yang sedang bermain.
Sivia yang menyukai anak kecil tak bisa diam sehingga mengajak mereka
berkenalan.
“Dia
emang gitu, makanya akrab sama adek gue,” kekeh Ify menyaksikan Sivia yang
mulai kejar-kejaran dengan para anak tersebut.
“GABRIEL
SINI!!” seru Sivia.
Gabriel
menatap Ify dan Rio seolah meminta ijin. Keduanya mengangguk paham. Barulah
Gabriel ikut serta bermain, berlarian, saling mengejar lalu tertawa bersama.
“Kok gue
jadi inget anak-anak di Rumah Anak Jalanan ya?” gumam Rio.
Tanpa
sengaja Ify mendengarnya, “Kangen?”
“Iya.
Paling kangen sama Langit,” jawab Rio sekenanya.
“Kemarin
gue habis dari Rumah Anak Jalanan, tapi Langit udah nggak tinggal di sana. Kata
Tante Yuni, dia diadopsi. Oh iya, katanya dia sempet nitip salam buat elo.”
Beberapa
saat Rio tampak termangu.
“Rio...”
Rio
menoleh gelagapan, “Sori sori. Gue ngelamun ya?”
“Kenapa?”
tanya Ify.
“Nggak.
Gue cuma berharap bisa ketemu Langit lagi. Lo tahu alamat barunya dimana?”
balas Rio.
Ify
menggeleng lemah, “Dia dibawa ke USA sama orang tua angkatnya. But, nope. Gue ikut bahagia karna kata
Tante Yuni orang tua angkatnya sangat baik. Mereka belum punya keturunan sejak
menikah.”
“I’m so glad too.”
“IFY!
RIO! SINIIII GABUNG!!!”
Teriakan
Sivia membuat dua remaja itu memutuskan untuk bergabung. Ternyata Sivia,
Gabriel, beserta anak-anak kecil ini sedang bermain abc lima dasar. Rio dan Ify
pun turut serta.
“C!”
“Cicak!”
“Curut!”
“Cacing!”
“Hayoo
Kak Gabriel sama Kak Sivia nggak bisa jawab.”
“Wah lo
sengaja ya biar dihukum bareng gue?” tuding Sivia.
Gabriel
melongo, “Sudi amat.”
“HUKUM!
HUKUM! HUKUM!”
Fokus
Ify terbagi saat ponselnya mendadak berdering. Gadis itu menjauh dari
keramaian. Tanpa membaca caller id,
dia mengangkat telepon tersebut.
“Ify.”
Tubuh
Ify menegang mendengar suara yang tak ingin didengarnya.
“Boleh kita bicara sebentar?”
“Sori,
nggak bisa. Gue sibuk,” sahut Ify setenang mungkin.
“Sebentar aja. Posisi kita cuma berjarak 10
meter.”
Mata Ify
sontak mencari-cari si penelpon. Gadis itu terperanjat saat menangkap sosok
yang sedang bicara dengannya via telepon sedang menatap ke arahnya.
“Mau gue samperin atau lo yang ke sini?”
Ify
menggigit bibir bawahnya, “Gue aja yang ke sana.”
“Oke. Kalau lo bohong, terpaksa gue nyamperin.”
Ify
mendesah kasar, lalu berjalan menghampiri sosok yang telah menunggunya. Ia
sengaja tidak ijin pada sahabat-sahabatnya karena mereka sedang sibuk, lagipula
dia tidak mau merusak suasana.
Semakin
dekat dengan sosok yang membelakanginya, langkah Ify semakin terasa berat
seolah ada beban di kakinya. Ify terkesiap saat tahu-tahu sosok itu membalikkan
badannya dengan senyum hangat. Mata Ify mengerjap beberapa kali untuk mencari
kesadaran, dia tidak boleh terlena dengan senyum itu.
“Mau
apa?” tanya Ify dingin dan to the point.
Ia masih
tidak menyangka. Sekeras apapun dirinya menghindari pemuda ini, pada akhirnya
mereka tetap bertemu lagi.
“Ify...”
Ify
semakin menggigit bibir bawahnya, tidak peduli jika nantinya bibir itu akan
berdarah. Dia benci pada dirinya sendiri! Dia benci bagaimana telinganya justru
mengartikan nada itu sebagai sarat kerinduan.
“Maaf...”
Sesaat
dia kehilangan pasokan oksigen, “Maaf?”
“Aku
tahu kamu masih sangat kecewa sama aku... tapi, seandainya kamu ada di
posisiku, kamu pasti akan mengerti.”
Mata Ify
sudah siap memproduksi butiran-butiran bening.
“Gue
benci lo Ray! Benci!!!!”
Pada
akhirnya air mata itu meluncur juga. Ify tidak tahan sehingga membentak sosok
di hadapannya ini menggunakan kalimat yang ingin diutarakannya sejak dulu.
“Fy...”
Kedua
tangan Ray berusaha meraih tangan Ify namun gadis itu mengelak dengan cepat.
“Gue
benci diri gue sendiri yang nggak bisa lupain elo, Ray. Gue benci berharap
terus. Kenapa lo harus datang lagi sih, Ray? Kenapa?”
Hati Ray
mencelos. Luka seperti apakah yang telah ia torehkan pada gadis cantik ini?
Bahkan, kedatangannya untuk meminta maaf pun justru membuat Ify semakin
terluka. Sumpah, Ray hanya ingin menyelesaikan semunya dan membuat hubungan
mereka kembali membaik.
***
“Gue
benci diri gue sendiri yang nggak bisa lupain elo, Ray. Gue benci berharap
terus. Kenapa lo harus datang lagi sih, Ray? Kenapa?”
Ada yang
hancur dalam diri Rio saat mendengar kalimat itu terucap dari bibir gadis yang
dipujanya sejak pertama kali bertemu. Seharusnya dia tidak menguntit Ify kalau
jadinya begini. Seharusnya dia mengalahkan rasa penasarannya.
“Lo
nggak bisa begini terus, Fy. Kita udah punya kehidupan masing-masing. Gue mau
bicara berdua sama lo bukan untuk membahas masa lalu, tapi mengajak lo
melupakan apa yang udah terjadi diantara kita.”
Rio
tertegun mendengar ucapan sosok pemuda bernama Ray, mantan kekasih Ify. Itu
artinya Ray sudah benar-benar melepas Ify. Melepas disaat Ify masih menaruh
hati pada pemuda itu.
“Gue
bingung, Ray... gue selalu mencoba, tapi...”
“Lo
pasti menemukan seseorang yang lebih baik dari gue, Fy. Gue udah punya Iley and I love her so much until whenever. Dia
mengerti apa yang gue mau. Kalau gue bisa, lo juga bisa.”
Rio
masih mengamati mereka berdua. Kedua tangan Ray berpindah ke atas bahu Ify.
“Please...”
Beberapa
saat Rio membiarkan posisi Ray begitu dekat
dengan Ify. Mungkin mereka sudah sepakat untuk saling melupakan. Setelah
dirasa cukup, Rio muncul dari tempat persembunyiannya dan menarik Ify. Keduanya
sama-sama terperanjat dengan kedatangan Rio.
“Lo...
sejak kapan di sini?” tanya Ify gugup.
“Barusan,”
jawab Rio berbohong.
Pemuda
itu merasakan bahwa Ray sedang mengamatinya.
“Kita
balik ke sana yuk. Kayaknya Sivia sama Gabriel nyariin,” imbuh Rio.
Ify
mengangguk pasrah lalu menatap Ray.
“Sori
kita pergi dulu,” kata Rio mewakilkan.
“See you later,” balas Ray.
Mereka
berdua berjalan meninggalkan sosok Ray. Ify sendiri masih terus meletakkan
tangannya di dada seakan-akan jika dia melepaskannya sebentar saja maka
jantungnya akan terlepas.
Setelah
cukup jauh dari posisi Ray, tiba-tiba Rio yang berjalan di depan menghentikan
langkahnya. Terpaksa Ify ikut berhenti. Pemuda itu membalikkan tubuhnya,
kemudian merengkuh Ify tanpa aba-aba. Ify yang tak siap dengan perlakuan itu
hanya menerima.
“Jangan
nangis lagi ya, Fy,” bisik Rio tepat di telinganya.
Ify
tidak membalas, melainkan merasakan sesuatu yang aneh menjalar ke seluruh
tubuhnya.
***
“Sivia?”
tanya Papa Alvin bingung karena asing dengan nama itu.
“Iya,
namanya Sivia. Dia adik sepupunya Lintar, Pa. Sekarang lagi deket banget tuh
sama Alvin tapi belum ditembak juga sampai sekarang,” cerocos Deva.
Alvin
masih menundukkan kepala alias fokus pada makanan yang dia pesan. Karena ini
adalah quality time, papanya jadi
bertanya aneh-aneh. Sebelumnya mereka membahas Deva dan Keke, Alvin dengan
senang hati mengompori papanya dan membocorkan curhatan Deva mengenai dia ingin
melamar Keke secepatnya.
Saat
pembicaraan itu usai dan berganti topik, Deva dengan semangat menceritakan
Sivia seolah balas dendam karena curhatan-curhatan Deva padanya dibongkar. Papa
memang belum pernah bertemu Sivia sebelumnya.
“Kenapa
belum ditembak, Vin?” tanya papanya dengan nada menggoda.
Alvin
menyeruput lyche float-nya sejenak.
“Takut
durhaka,” jawab Alvin.
Papanya
mengernyit bingung, “Kok?”
“Masa
ntar Alvin pacaran tapi Papa masih jomblo?” sahut Alvin kalem.
Detik
itu tawa Deva meledak-ledak sehingga menarik perhatian pengunjung di meja lain.
Sementara papanya reflek menjewer putra bungsunya itu hingga Alvin meringis
kecil.
“Emangnya
kamu mau punya mama tiri?” balas papanya dongkol.
“Alvin
sih mau aja kalau Papa bahagia. Masalahnya, Alvin yakin kalau Mama nggak akan suka
dan ngambek di Surga,” jawab Alvin membuat papanya melengos.
“Pantesan
Papa sering ditegur Stevent. Kata Stevent guru-guru mengeluhkan kamu, sekarang
Papa jadi tahu sendiri betapa ngeselinnya kamu,” gerutu papanya.
Alvin
terkikik geli, tidak menyangka bahwa
image dirinya di sekolah sampai ke telinga papanya ini. Dia pikir Om
Stevent—papanya Gabriel—tidak akan melaporkan kelakuannya pada Papa.
“Jadi,
kapan kamu nembak Sivia?” tanya papanya lagi.
“Enaknya
kapan?” balas Alvin.
“Besok,”
cetus Deva asal.
“Kamu
serius tidak sih, Vin? Nanti keburu Sivia diambil cowok lain. Kamu mau nasibmu
nanti jadi mirip Deva? Tapi masih mending Deva karena dia nemuin Keke yang mau
sama dia. Kalau kamu?” cerocos papanya yang membuat Deva mendelik.
Ia tidak
terima. Seenaknya saja dijatuhkan di depan adiknya sendiri.
“Papa
ih! Nggak gitu juga kali ngasih contohnya,” dumel Deva.
“Emang
begitu kok,” sahut papanya nyolot.
Deva
lantas menggerutu.
“Nanti
Alvin pikirkan lagi ya.”
***
Keesokan
paginya, Budi Karya dihebohkan dengan datangnya pasangan Rio-Ify. Pasangan?
Memang apalagi kalau datang berdua dengan tangan yang saling bertautan?
Keduanya sama-sama tidak mempedulikan para manusia yang berbisik-bisik ke arah
mereka berdua.
“Tuh kan
bener! Dari awal tuh gue udah yakin banget kalau Rio bakalan sama Ify.”
“Emang
mereka pacaran? Kok nggak seheboh Cakka sama Agni?”
“Kayaknya
mereka belum jadian deh.”
“Kok lo
tahu? Jelas-jelas mereka gandengan begitu. Mereka kan nggak lagi nyebrang!”
“Lo
lihat dong itu sahabat-sahabatnya juga ikut heboh!”
Entah
Ify harus menyesali keputusannya atau tidak. Tadi pagi Rio sudah berada di
depan rumahnya, mengajaknya berangkat sekolah bersama, tentu saja Ify tidak
bisa menolak karena tidak tega mengusir Rio yang baik hati. Sejak acara pelukan
dadakan kemarin, Ify tidak bisa mengendalikan detak jantungnya saat
berdampingan dengan pemuda ini.
Di mobil
pun hanya mereka isi dengan keheningan. Begitu sampai di parkiran, tiba-tiba
Rio membukakan pintu untuknya dan mengulurkan tangan. Ify menerima uluran
tangan itu. Namun sampai detik ini Rio masih keukeuh menggenggam tangannya
tanpa berniat melepaskan.
“WIHHH
RIO MY MEN!” seru Cakka bersama Agni
di sampingnya.
Tak usah
ditanya mengapa mereka jadi seperti sapi dan ekornya yang tak terpisahkan.
“Udah
berani gandeng tangan cewek nih? Udah bukan tangan Mas Dayat lagi?” goda Cakka
semakin menjadi.
Rio
melengos dan masih tetap menggenggam tangan Ify. Kepalanya semakin pening
ketika kelompok rusuhnya berkumpul secara lengkap.
“Kayaknya
ada yang asik nih,” celetuk Shilla.
“Bukan
asik lagi, Shil. Asik banget,” sahut Agni.
“WAHHH
IFY!!! Kok mau sih digandeng segala? Lepas lepas!” seru Sivia histeris dan
berusaha melepaskan tangan Rio dan Ify.
“Sumpah
lo perusak banget, Siv!” gerutu Gabriel.
Sivia
tersenyum puas karena usahanya berhasil. Rio melepaskan genggamannya. Entah
mengapa, terbesit perasaaan kecewa di hati Ify karena tangan mereka sudah tidak
bertautan.
“Ini tuh
sekolah! Tempat mencari ilmu. Bukan tempat mencari pasangan,” ceplos Sivia
seenak jidat.
“Bilang
aja lo mau digandeng juga,” cibir Agni.
“Gue?
Nggak tuh!” bantah Sivia songong.
Detik
berikutnya Alvin meraih tangan Sivia, menggenggam dengan erat, lalu menarik
gadis itu melewati koridor. Sivia melongo, begitu pula semua orang yang
menyaksikan adegan tersebut.
“SIVIA!!
KATANYA NGGAK MAU???”
Gabriel
melengos. Ia tak peduli dengan protesan Agni, Shilla dan Cakka untuk Sivia yang
telah berlalu. Padahal baru kemarin dia bisa kembali dekat dengan gadis itu.
Dan Ify, dia berhasil menangkap basah perubahan wajah Gabriel.
***
Sender: Rio
Maaf untuk tadi pagi. Gue nggak bermaksud
Disaat
jam pelajaran seperti ini Rio masih sempat mengiriminya pesan.
To: Rio
It’s ok. Kelas lo kosong? Gue ada
guru
Selang
beberapa saat, ponsel Ify kembali bergetar. Ternyata balasan dari Rio.
Sender: Rio
Iya, kosong. Ya udah, selamat belajar :)
Nanti temenin gue ke ruang musik ya. Gue jemput
Ify
tidak membalas lagi karena Pak Remi nampak mencurigainya. Tumben sekali Rio
mengajaknya ke ruang musik, biasanya Rio lebih suka ke rooftop. Dan omong-omong, Ify tak mengerti mengapa tiba-tiba dia
jadi tidak sabar bertemu dengan Rio.
Perasaan
ini mengingatkannya pada saat ia...
“Fy, lo
ngelamun apa?” tanya Sivia memotong lamunannya.
Ify
menggeleng, “Bukan apa-apa.”
Sepulang
dari taman, Ify menceritakan pertemuannya dengan Ray. Sivia tak terima karena
dia tidak terlibat dan mengatai Ray di depan muka pemuda itu. Tapi saat
mendengar cerita mengenai Rio yang tiba-tiba memeluknya, wajah kesal Sivia
berubah bahagia. Gadis itu jadi memuji-muji Rio yang menurutnya gentle.
Namun
Ify belum menceritakan mengenai debaran aneh ketika bersama Rio. Tidak seperti
dulu, Ify cenderung biasa saja. Sekarang?
“Mikirin
Rio ya?”
Ah, baru
saja terpikirkan. Mendengar nama itu saja membuat rona merah di pipi Ify
terlihat. Sivia sampai terkikik geli.
“Akhirnya
lo jatuh cinta lagi,” ujar Sivia pelan.
Mereka
terpaksa bicara dengan volume rendah karena takut ketahuan Pak Remi. Ify
meringis, sebelum Sivia bicara, Ify nyaris berpikir bahwa yang dirasakannya
pada Rio kini sama seperti ketika ia jatuh cinta pada Ray. Mungkinkah Ify sudah
berpindah hati? Tapi mengapa secepat ini? Hanya karena dipeluk?
“Terlalu
cepet ya?” tanya Ify.
Sivia
menggeleng, “Justru lama banget nunggu lo membuka hati lagi.”
“Tiba-tiba
aja gue deg-degan kalo di deket Rio padahal sebelumnya lo tahu sendiri kalau
gue biasa aja. Menurut lo, ini murni karna gue udah move on atau...”
“Perasaan
sesaat?” tebak Sivia.
Ify
mengangguk, “Gue takut kalau sikap gue ini cuma karna perlakuannya yang
tiba-tiba jadi lebih ehmm.”
Demi
neptunus, Sivia sudah nyaris menyemburkan tawanya jika tak ingat bahwa yang
berdiri di depan sana adalah Pak Remi, guru yang senewen dengannya. Apalagi
ketika menyaksikan Ify yang jengah.
“Biar
gue perjelas. Sebenernya lo tuh udah move
on dari Ray sejak dulu, Fy. Tapi lo selalu berpikir kalau lo belum bisa
lupain Ray makanya lo baru sadar kalau perlakuan Rio ke elo itu sebenernya ya
yang lo lihat sekarang.”
Ify
termangu. Benarkah seperti itu?
***
Istirahat
tiba. Tanpa disangka Rio benar-benar menepati janjinya untuk menjemput Ify di
kelas sehingga teman-temannya tidak henti menggoda. Ify sedikit melirik ke arah
Debo yang tersenyum pahit, ah dia tak pernah tahu bahwa dirinya telah berhasil melukai
laki-laki baik itu.
“Harus
banget tuh dijemput? Takut banget ilang ya?” goda Debo.
Rio
menggaruk tengkuk belakangnya. Ini kali pertama Rio menyambangi kelas Ify tanpa
Gabriel dan tidak menyangka reaksi mereka akan berlebihan.
“Udah
deh, De. Lo nggak usah bacot,” sembur Ify.
Debo
tertawa, tapi Ify tahu tawa itu terdengar hambar. Apakah Debo masih menyimpan
perasaan itu untuknya? Semoga tidak.
“Gabriel
mana, Yo?” tanya Sivia yang baru selesai mencatat.
“Tadi
dia nemuin kepsek. Kalau yang lain udah di kantin kok,” jawab Rio.
Sivia
mengangguk-angguk, “Gue ke kantin dulu deh nyusulin yang lain! Debo, lo mau
bareng nggak ke kantinnya?”
“Boleh
boleh! Yuk!” sahut Debo.
“Kita
pergi dulu!” seru Sivia.
Tinggal
Rio dan Ify serta anak-anak yang masih betah menggoda mereka berdua. Sebelum
semakin menjadi, Rio menggenggam tangan Ify seperti tadi pagi. Seperti
tersetrum, lagi-lagi Ify merasakan hangat menjalar ke tubuhnya. Ify balas
menggenggam.
“Buset
dah gandengan lagi, jadi nggak kebayang kalo lo berdua sekelas,” sorak salah
satu teman sekelas Ify.
Ify
hanya terkekeh pelan, kemudian berbisik pada Rio untuk bergegas menuju ruang
musik sebelum kelasnya semakin panas. Mereka menyusuri koridor masih dengan
tangan yang saling bertautan. Untuk kedua kalinya Ify sadar bahwa dia sedang
jatuh cinta pada pemuda di sampingnya. Bebannya telah menguar, digantikan
perasaan berbunga-bunga.
“Buset
kalian makin lengket aja,” cetus Gabriel.
Tanpa
sengaja mereka berpapasan. Sepertinya Gabriel baru menyelesaikan urusannya
dengan kepsek.
“Darimana,
Yel?” tanya Ify.
“Biasa
laporan sama kepsek. Kalian mau ke mana?” balas Gabriel.
“Ruang
musik,” jawab Rio mewakili.
Gabriel
mengangguk-angguk lalu teringat sesuatu.
“Boleh
bicara sama kalian berdua bentar? Habis itu gue janji bakalan minggat deh biar
nggak ganggu,” ceplos Gabriel.
Baru Rio
akan memprotes, Ify lebih dahulu menanggapi.
“Boleh.
Mending kita bicaranya di ruang musik.”
Mau tak
mau Rio berpasrah diri karena ‘acaranya’ diganggu. Tak apa, lagipula Gabriel
sudah tahu diri dengan berjanji akan segera pergi jika pembicaraan mereka sudah
selesai. Maka, masuklah tiga anak ini ke dalam ruang musik.
Rio
lantas duduk di depan grand piano, ia juga memberi tempat pada Ify untuk duduk
di sampingnya. Tiba-tiba Gabriel merasa dirinya seperti pengawal.
“Mau
ngomong apa?” tanya Ify.
Gabriel
mendesah kasar sampai akhirnya mengucapkan satu nama.
“Sivia.”
Kening
Ify mengerut, seperti merasakan kejanggalan atas kalimat Gabriel barusan. Sama
seperti Ify, Rio melakukan hal yang sama.
“Kalian
tahu seperti apa perasaan gue ke dia?” tanya Gabriel.
Ify
berpikir jernih, sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini.
“Sayang?”
tebak Rio membuat perhatian Ify teralihkan.
“Lo
jatuh cinta sama Sivia,” ralat Ify.
Tawa
kecil Gabriel terdengar pilu. Pemuda itu sudah menyangka bahwa dua sahabatnya
ini tahu betul apa yang dia rasakan pada Sivia, terutama Ify. Dari awal pun
gadis yang menempati hati Rio itu tahu kalau Gabriel menaruh hati pada
sahabatnya.
“You’re right.”
“Lalu?”
tanya Rio.
Gabriel
telah memutuskan sesuatu. Dan Ify, sepertinya tahu persis apa yang ada di
pikiran Gabriel saat ini. Rio dan Ify masih menunggu Gabriel membuka suara.
“Gue mau
nembak Sivia secepatnya,” kata Gabriel akhirnya.
Jika Rio
melotot mendengarnya, lain hal dengan Ify yang justru tersenyum lebar. Ify tahu
betapa Gabriel mencintai Sivia, tapi sahabatnya itu terlanjur jatuh hati pada
Alvin. Ify tahu karena Gabriel selalu menanyakan Sivia padanya, mengungkapkan
isi hatinya secara terselubung, meski tidak secara langsung tapi Ify peka bahwa
Gabriel sedang curhat mengenai Sivia.
“Lo
serius?” tanya Rio.
Gabriel
mengangguk mantap, “Gue takut nyesel, Yo. Gue takut nggak punya kesempatan
lagi.”
Atas
nama persahabatan, Ify dan Rio sama-sama memberi dukungan penuh. Mereka akan
turut membantu jika Gabriel membutuhkan sesuatu.
***
Bersambung...
Gimana?
Masih berminat baca? Hehe fyi aja untuk couple belum terjamah sama sekali jadi
kayaknya tebakan-tebakan kalian kemarin bisa 80% salah(?) meskipun begitu
saya harap kalian nikmatin ceritanya ya,
bukan couplenya :p dan buat yang menunggu Shilla dibahas kembali harap bersabar
karena di awal sudah dominan Shilla jadi sekarang-sekarang ini saya bahas yang
lain dulu. Semuanya ada giliran masing-masing kok karena CRAGSISA tokoh utama
:)
Saya tunggu
komentarnya ya :)
4 komentar:
Lanjut, keren kak👍
Makin penasaran
keren:) sampe baper.
Keren kak lanjut lanjut
Posting Komentar