"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 12 Agustus 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 20

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hi guys! Long time no see. Masih #BangkitkanCRAGSISA hohoho finally ya saya ngepost lagi, semoga kali ini tidak mengecewakan lagi. And I’m so sorry kalau pada akhirnya nanti couple-nya tidak sesuai dengan keinginan kalian (sudah diwanti-wanti dari sekarang :p)

Hope you like it...

20


Gabriel tak henti tersenyum karena setelah sekian lama menunggu, akhirnya Fabulous Four kembali jalan-jalan. Berempat. Tadinya mereka mengajak yang lain, tapi Cakka dan Agni ada urusan basket. Sudah tiga hari dua anak itu resmi menjalin hubungan dan semakin lengket. Shilla sendiri harus syuting film terbaru dan Alvin ada janji dengan Deva dan papanya. Tersisalah Gabriel, Sivia, Rio dan Ify. Mereka sedang berada di dalam mobil Rio.
“Shilla syuting film apa sih?” tanya Sivia.
“Katanya sih judulnya Me and You VS The World,” jawab Gabriel.
“Ada cowok gantengnya gak? Kan gue bisa minta dicomblangin,” cetus Sivia asal.
Gabriel melengos, lalu menjitak kepala gadis di sebelahnya hingga meringis sebal. Rio dan Ify yang duduk di depan hanya menyimak sambil tertawa renyah.
“Genit banget sih. Kayak ada yang mau aja sama elo. Udah bacot, ngeselin, malu-maluin lagi,” ledek Gabriel.
Mendengar kalimat itu, tentu saja Sivia tidak terima. Meskipun yang dibilang Gabriel barusan ada benarnya juga sih.
“Gue sumpahin lo mau sama gue!”
Entah mengapa Sivia reflek melontarkan kalimat tersebut. Tubuh Gabriel menegang sekejap kemudian terkekeh mendengarnya. Tanpa disumpahin pun, Gabriel memang mau kalau dengan Sivia. Sayang sekali ia tidak mungkin mengatakan secara gamblang. Apalagi saat ini Sivia sedang dekat dengan Alvin.
“Eh kita mau ke mana nih?” tanya Rio yang fokus menyetir.
“Dufan yuk!” usul Sivia.
“Nggak! Nggak! Nggak!” tolak Gabriel mentah-mentah.
Bukannya dia parno karena dulu ke Dufan bersama Sivia, tapi sebaliknya. Kalau mau kembali ke sana, Gabriel maunya hanya dengan Sivia. Cuma berdua. Tidak dengan Rio, Ify atau siapapun.
“Apa sih? Masih takut lo sama Dufan?” cablak Sivia.
Gabriel mencibir, “Mengingatkan gue ke kenangan buruk waktu sama elo.”
“IHHH! NGESELINNN!!!”
“Emang begitu kok kenyataannya,” sahut Gabriel asal.
“Ya udah nggak usah ke Dufan. Ke Monas aja gimana? Apa TMII? Planetarium?” usul Sivia tak mau menyerah.
“Kenapa sih usul lo selalu ke tempat-tempat kayak gitu? Jakarta kan banyak tempat oke,” sahut Gabriel.
“Karena buat gue sama Ify, yang bikin jakarta oke itu tempat-tempat yang gue sebutin tadi, Yel. Tahu nggak kenapa?” balas Sivia.
Gabriel menggeleng.
“Karena disaat orang lain jauh-jauh ke Jakarta cuma buat lihat Monas, kita yang lewat tiap hari justru mengabaikan,” jawab Sivia.
“Kayak kisah percintaan. Sebenernya lo punya seseorang yang berharga dan diinginkan banyak orang, tapi lo mengabaikan,” imbuh Ify yang berada di depan Sivia.
“Betul!” seru Sivia.
Sekilas Rio dan Gabriel saling pandang melalui cermin. Dua gadis ini memang ajaib. Meskipun punya dua kepribadian yang sangat berbeda, tapi bisa kompak dalam berbagai hal.
***
Alvin terhenyak saat papanya menelpon dan mengabarkan bahwa mereka akan quality time bersama, lengkap dengan Deva. Entahlah. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa meskipun ia merasakan perasaan senang yang menyusup pelan-pelan. Sudah berapa lama mereka tidak berkumpul? Apalagi setelah kematian mendiang ibunya. Alvin benar-benar lupa. Dan di sinilah ia bersama Deva berada.
Lady Rose’s Resto. Dulu, tempat ini adalah kesukaan mendiang sang ibu dan akhirnya menjadi kesukaan Deva, Alvin dan papanya pula. Wanita itu pernah bercerita bahwa tempat ini merupakan tempat papa melamar.
“Papa masih di jalan,” kata Alvin lalu memasukkan ponsel ke dalam saku.
Deva mengangguk-angguk, dia teringat janjinya pada Keke yang terpaksa ia batalkan. Pasti gadis itu sedang cemberut dan memakinya. Bukannya takut, Deva suka sekali saat Keke marah.
“Mikirin apa lo, bro?” tanya Alvin dengan alis yang tertaut.
Berhubung alis Alvin tebal seperti mama, berkerut sedikit saja membuat kedua alisnya menyatu. Berbeda dengan Deva yang memiliki alis tipis.
“Keke. Harusnya gue nemenin dia nyari peralatan gambar, tapi terpaksa gue batalin. Nemenin dia kan udah tiap hari, kalau sama lo dan Papa nggak bisa tiap hari,” ceplos Deva.
Alvin mengangguk-angguk. Sejak suasana keluarga di rumah kembali, pasangan kakak-adik itu jadi terbuka membicarakan apapun. Kadang Deva membicarakan hubungannya dengan Keke yang semakin hari semakin lengket, kadang Alvin menceritakan sahabat-sahabatnya, dan papanya tak mau ketinggalan berkeluh kesah.
Meski begitu, tetap saja tidak terasa seutuh dulu lagi. Biar bagaimanapun, kehilangan adalah luka yang sampai kapanpun tak pernah ada obatnya, selamanya akan menganga. Namun kini mereka mengenang mama dengan rasa bahagia, bukan kesedihan seperti dulu.
“Lo udah serius banget ya sama Keke?” tanya Alvin.
Hm, sejujurnya Alvin sudah pernah bertemu dengan Keke. Dia gadis yang baik, lucu dan mudah ngambek jika Deva membatalkan janji seenaknya. Entah sudah berapa kali Deva cerita mengenai Keke yang sedang marah. Tapi, kakaknya itu tampak senang, katanya sih ‘justru kalau cewek marah itu bikin cowok tertantang buat dia nggak marah lagi’ dan sejak itu Alvin menganggap kakaknya gila.
Deva tampak menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Pemuda itu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Alvin.
“Dia satu-satunya wanita yang membuat gue merasa nggak perlu nyari wanita lain. Dia nggak sempurna, tapi dia bikin gue merasa sempurna. Gue suka banget kalau dia lagi gambar, tenang tapi percaya diri.”
Tiba-tiba Alvin teringat Sivia. Jika Keke adalah arsitek, Sivia adalah calon desainer. Alvin sempat tersedak saat tanpa sengaja menemukan buku Sivia yang berisikan desain-desain baju buatannya. Siapa sangka gadis seatraktif Sivia bisa menciptakan gambar-gambar luar biasa, seperti magic. Tak hanya itu, lukisan-lukisan wajah yang dibuat gadis itu pun sangat indah.
“Maaf, Papa terjebak macet.”
Deva dan Alvin sontak mengurut dada saat tahu-tahu papanya muncul.
“Ngagetin ya?” tanya pria itu dengan cengiran lebar.
***
Menunggu giliran take memang menyebalkan. Shilla memilih mendekam di ruangan sambil mengotak-atik album yang dibawanya dari rumah. Sengaja dibawa untuk mengantisipasi kebosanan seperti ini. Berhubung dia bukan peran utama, banyak waktu kosong yang terbuang sia-sia. Tadi sih para fans sengaja datang ke loksyut, Shilla melayani permintaan mereka untuk sekedar foto bersama atau tanda tangan lalu masuk ke ruangan.
Sender: Gabriel
Iya, semangat syuting ya
Senyum Shilla terukir membacanya. Gabriel mengajaknya jalan-jalan bersama yang lain, tapi terpaksa ditolak karena syuting.
“Hei, Shil,” celetuk Syrien.
“Udah kelar take lo?” tanya Shilla.
Syrien mengangguk kemudian menenggak air mineralnya sampai habis.
“Pulang syuting ada acara nggak?” tanya Syrien.
“Mau istirahat gue. Capek,” sahut Shilla sekenanya. Dia tidak bohong, dia memang capek karena syuting film ini membuatnya pulang jam 1 pagi setiap hari.
“Padahal mau gue ajak clubbing,” kekeh Syrien.
Shilla melotot tajam lalu reflek mencubit Syrien, “Gue nggak pernah ke tempat kayak gitu tahu!”
“Ya justru karna lo nggak pernah makanya mau gue ajakin,” elak Syrien.
“Nggak. Nggak suka.”
Syrien hanya ber-oh-ria kemudian memainkan ponselnya. Shilla mendengus, remaja gaul seperti Syrien sudah biasa menenggak vodka lalu menari-nari di atas dance floor, tentu itu bukan ‘Shilla banget’. Meskipun orang tuanya sibuk dan sudah bercerai, Shilla tidak pernah melampiaskan perasaannya dengan keluar-masuk club sekalipun dipaksa. Ia tidak mau. Katakanlah Shilla cupu, untungnya dia punya sahabat-sahabat yang punya prinsip sama dengannya. Terserah mau dibilang cupu atau apa.
“Sahabat lo yang sipit itu apa kabarnya?” tanya Syrien tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel di tangannya.
“Alvin? Baik kok,” jawab Shilla.
“Kok nggak pernah kelihatan sih? Biasanya nganterin elo kemana-mana,” ceplos Syrien.
Kedua sudut bibir Shilla terangkat, “Dia kan lagi pdkt sama cewek. Kalau sama gue terus, gimana jadinya?”
What? Gue pikir dia naksir elo,” balas Syrien dengan ekspresi setengah kaget.
“Ngaco abis lo! Kita udah sahabatan deket banget tahu,” kekeh Shilla.
Tampak Syrien mengibaskan tangannya, “Serah deh. Tapi beneran gue pikir dia naksir elo soalnya perhatian banget. Lo nggak kangen dia gitu? Biasanya nempel mulu, sekarang tahu-tahu jauh.”
Kangen? Kalau ditanya kangen atau tidak, entah mengapa Shilla jadi bingung. Sebagian dari dirinya ingin berkata tidak tapi tertahan karena alam bawah sadarnya justru berkata iya. Sumpah, Shilla sendiri tidak mengerti dengan apa terjadi pada dirinya.
“Dia lagi berjuang bahagiain cewek yang dia suka, masa iya gue kangen.”
Shilla meringis, kesannya dia tidak rela Alvin punya gebetan baru. Padahal gadis itu Sivia, sahabatnya juga. Dan harus diakuinya bahwa mereka sangat cocok.
“Lagian Alvin tahu siapa yang lagi gue suka,” imbuh Shilla.
Sosok Gabriel lantas terbayang di depan wajahnya. Shilla yakin seratus persen bahwa perasaannya pada Gabriel tidak akan berubah sedikitpun.
Dia lantas meraih album yang dianggurkannya sejak Syrien datang. Ini adalah album baru, berisi foto-foto baru. Ada tulisan ‘Tim Menolak Sivia Bahagia’ di bagian cover, yang jelas tulisan itu adalah hasil kekreatifan Sivia. Shilla tidak marah karena tulisan itu bagus, berbeda sekali dengan tulisan di buku catatan Sivia yang mirip cakaran ayam.
Album foto ini merupakan album khusus berisi foto-foto Shilla, Gabriel, Ify, Rio, Sivia, Alvin, Agni dan Cakka. Terkadang mereka selfie menggunakan gopro supaya bisa lengkap berdelapan di dalam frame, tapi tak jarang saling bergantian untuk menjadi fotografer. Tentunya yang paling sering menjadi peran fotografer dadakan adalah Alvin karena dia hobi fotografi.
Di halaman pertama, foto lengkap berdelapan menggunakan seragam putih abu-abu. Foto ini diambil dengan bantuan Debo di lapangan indoor, mereka tampak saling merangkul dan memasang ekspresi konyol.
When You Hold Me. Begitu caption yang tertulis di bawah foto. Kalau kalimat ini yang menulis adalah Gabriel.
When you hold me?” tanya Ify bingung.
When you hold me... I just lost control... I want you to know... That I’m never letting go... You mean so much to me... I want the word to see... It’s because of you...
Gabriel menyanyikan sepenggal lagu milik Keith Martin itu sambil menyentuh foto mereka yang sedang berangkulan di dalam album.
***
Agni menjejalkan potongan daging ke dalam mulut Cakka dengan senyuman lebar. Cakka sendiri terkekeh, tidak biasa makan disuapi seperti ini. Ia masih tak menyangka bahwa akhirnya dia jadian dengan Agni.
“Udah ah aku makan sendiri,” kata Cakka akhirnya.
Berhubung sudah resmi berpacaran, mereka sepakat mengganti kosakata ‘gue-lo’ menjadi ‘aku-kamu’. Meskipun ujung-ujungnya sering sekali keduanya sama-sama keceplosan menggunakan ‘gue-lo’.
“Kamu nggak malu kan jalan sama aku?” tanya Agni untuk kesekian kalinya.
Lagi-lagi Cakka menggelengkan kepala, “Waktu kita belum pacaran kamu nggak pernah nanya gini ke aku.”
Agni meringis, sejujurnya sejak resmi menyandang gelar sebagai kekasih seorang Cakka, dia jadi lebih peka—tepatnya sensitif. Seringkali Agni membandingkan penampilannya dengan pemuda itu.
“Ya itu kan dulu, Cak,” elak Agni.
“Apa bedanya? Sama-sama jalan sama aku kan?” balas Cakka.
Dengan tak enak hati, Agni mengangguk untuk mengakui kesalahannya.
“Sivia lagi deket banget sama Alvin ya?” tanya Cakka membuka obrolan baru.
“Iya kayaknya. Dia lagi kasmaran,” jawab Agni.
Cakka tampak manggut-manggut. Ia sudah menduga kalau Sivia memang ada rasa pada Alvin. Pemuda itu sontak teringat pada Gabriel, setahunya Gabriel dulu dekat dengan Sivia. Kenapa tiba-tiba jadi Alvin yang membuat gadis itu kasmaran?
“Mikir apa?” tanya Agni.
“Nggak. Aneh aja lihat Alvin sama Sivia, gue lebih suka Sivia sama Gabriel sih,” sahut Cakka sejujurnya.
“Kalau gue sih terserah dia aja, gue sebagai sahabat mah bisanya kasih support dan nggak  ikut campur.”
“Hm, iya juga.”
***
Pilihan jalan-jalan Fabulous Four jatuh pada taman. Sebenarnya mereka sudah memutuskan untuk pergi ke Monas, tapi macetnya Jakarta membuat niat mereka urung. Tanpa sengaja mata Sivia menangkap sebuah taman. Jadilah mobil Rio mendarat di tempat ini daripada harus bergelut dengan kemacetan. Meski ini adalah hari libur, tetap saja macetnya Jakarta tidak bisa diatasi.
Berhubung ini sudah nyaris sore—mereka terlalu lama di dalam mobil—maka taman ini pun sedikit ramai. Terutama dipenuhi oleh anak-anak kecil yang sedang bermain. Sivia yang menyukai anak kecil tak bisa diam sehingga mengajak mereka berkenalan.
“Dia emang gitu, makanya akrab sama adek gue,” kekeh Ify menyaksikan Sivia yang mulai kejar-kejaran dengan para anak tersebut.
“GABRIEL SINI!!” seru Sivia.
Gabriel menatap Ify dan Rio seolah meminta ijin. Keduanya mengangguk paham. Barulah Gabriel ikut serta bermain, berlarian, saling mengejar lalu tertawa bersama.
“Kok gue jadi inget anak-anak di Rumah Anak Jalanan ya?” gumam Rio.
Tanpa sengaja Ify mendengarnya, “Kangen?”
“Iya. Paling kangen sama Langit,” jawab Rio sekenanya.
“Kemarin gue habis dari Rumah Anak Jalanan, tapi Langit udah nggak tinggal di sana. Kata Tante Yuni, dia diadopsi. Oh iya, katanya dia sempet nitip salam buat elo.”
Beberapa saat Rio tampak termangu.
“Rio...”
Rio menoleh gelagapan, “Sori sori. Gue ngelamun ya?”
“Kenapa?” tanya Ify.
“Nggak. Gue cuma berharap bisa ketemu Langit lagi. Lo tahu alamat barunya dimana?” balas Rio.
Ify menggeleng lemah, “Dia dibawa ke USA sama orang tua angkatnya. But, nope. Gue ikut bahagia karna kata Tante Yuni orang tua angkatnya sangat baik. Mereka belum punya keturunan sejak menikah.”
I’m so glad too.”
“IFY! RIO! SINIIII GABUNG!!!”
Teriakan Sivia membuat dua remaja itu memutuskan untuk bergabung. Ternyata Sivia, Gabriel, beserta anak-anak kecil ini sedang bermain abc lima dasar. Rio dan Ify pun turut serta.
“C!”
“Cicak!”
“Curut!”
“Cacing!”
“Hayoo Kak Gabriel sama Kak Sivia nggak bisa jawab.”
“Wah lo sengaja ya biar dihukum bareng gue?” tuding Sivia.
Gabriel melongo, “Sudi amat.”
“HUKUM! HUKUM! HUKUM!”
Fokus Ify terbagi saat ponselnya mendadak berdering. Gadis itu menjauh dari keramaian. Tanpa membaca caller id, dia mengangkat telepon tersebut.
“Ify.”
Tubuh Ify menegang mendengar suara yang tak ingin didengarnya.
“Boleh kita bicara sebentar?”
“Sori, nggak bisa. Gue sibuk,” sahut Ify setenang mungkin.
“Sebentar aja. Posisi kita cuma berjarak 10 meter.”
Mata Ify sontak mencari-cari si penelpon. Gadis itu terperanjat saat menangkap sosok yang sedang bicara dengannya via telepon sedang menatap ke arahnya.
“Mau gue samperin atau lo yang ke sini?”
Ify menggigit bibir bawahnya, “Gue aja yang ke sana.”
“Oke. Kalau lo bohong, terpaksa gue nyamperin.”
Ify mendesah kasar, lalu berjalan menghampiri sosok yang telah menunggunya. Ia sengaja tidak ijin pada sahabat-sahabatnya karena mereka sedang sibuk, lagipula dia tidak mau merusak suasana.
Semakin dekat dengan sosok yang membelakanginya, langkah Ify semakin terasa berat seolah ada beban di kakinya. Ify terkesiap saat tahu-tahu sosok itu membalikkan badannya dengan senyum hangat. Mata Ify mengerjap beberapa kali untuk mencari kesadaran, dia tidak boleh terlena dengan senyum itu.
“Mau apa?” tanya Ify dingin dan to the point.
Ia masih tidak menyangka. Sekeras apapun dirinya menghindari pemuda ini, pada akhirnya mereka tetap bertemu lagi.
“Ify...”
Ify semakin menggigit bibir bawahnya, tidak peduli jika nantinya bibir itu akan berdarah. Dia benci pada dirinya sendiri! Dia benci bagaimana telinganya justru mengartikan nada itu sebagai sarat kerinduan.
“Maaf...”
Sesaat dia kehilangan pasokan oksigen, “Maaf?”
“Aku tahu kamu masih sangat kecewa sama aku... tapi, seandainya kamu ada di posisiku, kamu pasti akan mengerti.”
Mata Ify sudah siap memproduksi butiran-butiran bening.
“Gue benci lo Ray! Benci!!!!”
Pada akhirnya air mata itu meluncur juga. Ify tidak tahan sehingga membentak sosok di hadapannya ini menggunakan kalimat yang ingin diutarakannya sejak dulu.
“Fy...”
Kedua tangan Ray berusaha meraih tangan Ify namun gadis itu mengelak dengan cepat.
“Gue benci diri gue sendiri yang nggak bisa lupain elo, Ray. Gue benci berharap terus. Kenapa lo harus datang lagi sih, Ray? Kenapa?”
Hati Ray mencelos. Luka seperti apakah yang telah ia torehkan pada gadis cantik ini? Bahkan, kedatangannya untuk meminta maaf pun justru membuat Ify semakin terluka. Sumpah, Ray hanya ingin menyelesaikan semunya dan membuat hubungan mereka kembali membaik.
***
“Gue benci diri gue sendiri yang nggak bisa lupain elo, Ray. Gue benci berharap terus. Kenapa lo harus datang lagi sih, Ray? Kenapa?”
Ada yang hancur dalam diri Rio saat mendengar kalimat itu terucap dari bibir gadis yang dipujanya sejak pertama kali bertemu. Seharusnya dia tidak menguntit Ify kalau jadinya begini. Seharusnya dia mengalahkan rasa penasarannya.
“Lo nggak bisa begini terus, Fy. Kita udah punya kehidupan masing-masing. Gue mau bicara berdua sama lo bukan untuk membahas masa lalu, tapi mengajak lo melupakan apa yang udah terjadi diantara kita.”
Rio tertegun mendengar ucapan sosok pemuda bernama Ray, mantan kekasih Ify. Itu artinya Ray sudah benar-benar melepas Ify. Melepas disaat Ify masih menaruh hati pada pemuda itu.
“Gue bingung, Ray... gue selalu mencoba, tapi...”
“Lo pasti menemukan seseorang yang lebih baik dari gue, Fy. Gue udah punya Iley and I love her so much until whenever. Dia mengerti apa yang gue mau. Kalau gue bisa, lo juga bisa.”
Rio masih mengamati mereka berdua. Kedua tangan Ray berpindah ke atas bahu Ify.
Please...
Beberapa saat Rio membiarkan posisi Ray begitu dekat  dengan Ify. Mungkin mereka sudah sepakat untuk saling melupakan. Setelah dirasa cukup, Rio muncul dari tempat persembunyiannya dan menarik Ify. Keduanya sama-sama terperanjat dengan kedatangan Rio.
“Lo... sejak kapan di sini?” tanya Ify gugup.
“Barusan,” jawab Rio berbohong.
Pemuda itu merasakan bahwa Ray sedang mengamatinya.
“Kita balik ke sana yuk. Kayaknya Sivia sama Gabriel nyariin,” imbuh Rio.
Ify mengangguk pasrah lalu menatap Ray.
“Sori kita pergi dulu,” kata Rio mewakilkan.
See you later,” balas Ray.
Mereka berdua berjalan meninggalkan sosok Ray. Ify sendiri masih terus meletakkan tangannya di dada seakan-akan jika dia melepaskannya sebentar saja maka jantungnya akan terlepas.
Setelah cukup jauh dari posisi Ray, tiba-tiba Rio yang berjalan di depan menghentikan langkahnya. Terpaksa Ify ikut berhenti. Pemuda itu membalikkan tubuhnya, kemudian merengkuh Ify tanpa aba-aba. Ify yang tak siap dengan perlakuan itu hanya menerima.
“Jangan nangis lagi ya, Fy,” bisik Rio tepat di telinganya.
Ify tidak membalas, melainkan merasakan sesuatu yang aneh menjalar ke seluruh tubuhnya.
***
“Sivia?” tanya Papa Alvin bingung karena asing dengan nama itu.
“Iya, namanya Sivia. Dia adik sepupunya Lintar, Pa. Sekarang lagi deket banget tuh sama Alvin tapi belum ditembak juga sampai sekarang,” cerocos Deva.
Alvin masih menundukkan kepala alias fokus pada makanan yang dia pesan. Karena ini adalah quality time, papanya jadi bertanya aneh-aneh. Sebelumnya mereka membahas Deva dan Keke, Alvin dengan senang hati mengompori papanya dan membocorkan curhatan Deva mengenai dia ingin melamar Keke secepatnya.
Saat pembicaraan itu usai dan berganti topik, Deva dengan semangat menceritakan Sivia seolah balas dendam karena curhatan-curhatan Deva padanya dibongkar. Papa memang belum pernah bertemu Sivia sebelumnya.
“Kenapa belum ditembak, Vin?” tanya papanya dengan nada menggoda.
Alvin menyeruput lyche float-nya sejenak.
“Takut durhaka,” jawab Alvin.
Papanya mengernyit bingung, “Kok?”
“Masa ntar Alvin pacaran tapi Papa masih jomblo?” sahut Alvin kalem.
Detik itu tawa Deva meledak-ledak sehingga menarik perhatian pengunjung di meja lain. Sementara papanya reflek menjewer putra bungsunya itu hingga Alvin meringis kecil.
“Emangnya kamu mau punya mama tiri?” balas papanya dongkol.
“Alvin sih mau aja kalau Papa bahagia. Masalahnya, Alvin yakin kalau Mama nggak akan suka dan ngambek di Surga,” jawab Alvin membuat papanya melengos.
“Pantesan Papa sering ditegur Stevent. Kata Stevent guru-guru mengeluhkan kamu, sekarang Papa jadi tahu sendiri betapa ngeselinnya kamu,” gerutu papanya.
Alvin terkikik geli, tidak menyangka bahwa image dirinya di sekolah sampai ke telinga papanya ini. Dia pikir Om Stevent—papanya Gabriel—tidak akan melaporkan kelakuannya pada Papa.
“Jadi, kapan kamu nembak Sivia?” tanya papanya lagi.
“Enaknya kapan?” balas Alvin.
“Besok,” cetus Deva asal.
“Kamu serius tidak sih, Vin? Nanti keburu Sivia diambil cowok lain. Kamu mau nasibmu nanti jadi mirip Deva? Tapi masih mending Deva karena dia nemuin Keke yang mau sama dia. Kalau kamu?” cerocos papanya yang membuat Deva mendelik.
Ia tidak terima. Seenaknya saja dijatuhkan di depan adiknya sendiri.
“Papa ih! Nggak gitu juga kali ngasih contohnya,” dumel Deva.
“Emang begitu kok,” sahut papanya nyolot.
Deva lantas menggerutu.
“Nanti Alvin pikirkan lagi ya.”
***
Keesokan paginya, Budi Karya dihebohkan dengan datangnya pasangan Rio-Ify. Pasangan? Memang apalagi kalau datang berdua dengan tangan yang saling bertautan? Keduanya sama-sama tidak mempedulikan para manusia yang berbisik-bisik ke arah mereka berdua.
“Tuh kan bener! Dari awal tuh gue udah yakin banget kalau Rio bakalan sama Ify.”
“Emang mereka pacaran? Kok nggak seheboh Cakka sama Agni?”
“Kayaknya mereka belum jadian deh.”
“Kok lo tahu? Jelas-jelas mereka gandengan begitu. Mereka kan nggak lagi nyebrang!”
“Lo lihat dong itu sahabat-sahabatnya juga ikut heboh!”
Entah Ify harus menyesali keputusannya atau tidak. Tadi pagi Rio sudah berada di depan rumahnya, mengajaknya berangkat sekolah bersama, tentu saja Ify tidak bisa menolak karena tidak tega mengusir Rio yang baik hati. Sejak acara pelukan dadakan kemarin, Ify tidak bisa mengendalikan detak jantungnya saat berdampingan dengan pemuda ini.
Di mobil pun hanya mereka isi dengan keheningan. Begitu sampai di parkiran, tiba-tiba Rio membukakan pintu untuknya dan mengulurkan tangan. Ify menerima uluran tangan itu. Namun sampai detik ini Rio masih keukeuh menggenggam tangannya tanpa berniat melepaskan.
“WIHHH RIO MY MEN!” seru Cakka bersama Agni di sampingnya.
Tak usah ditanya mengapa mereka jadi seperti sapi dan ekornya yang tak terpisahkan.
“Udah berani gandeng tangan cewek nih? Udah bukan tangan Mas Dayat lagi?” goda Cakka semakin menjadi.
Rio melengos dan masih tetap menggenggam tangan Ify. Kepalanya semakin pening ketika kelompok rusuhnya berkumpul secara lengkap.
“Kayaknya ada yang asik nih,” celetuk Shilla.
“Bukan asik lagi, Shil. Asik banget,” sahut Agni.
“WAHHH IFY!!! Kok mau sih digandeng segala? Lepas lepas!” seru Sivia histeris dan berusaha melepaskan tangan Rio dan Ify.
“Sumpah lo perusak banget, Siv!” gerutu Gabriel.
Sivia tersenyum puas karena usahanya berhasil. Rio melepaskan genggamannya. Entah mengapa, terbesit perasaaan kecewa di hati Ify karena tangan mereka sudah tidak bertautan.
“Ini tuh sekolah! Tempat mencari ilmu. Bukan tempat mencari pasangan,” ceplos Sivia seenak jidat.
“Bilang aja lo mau digandeng juga,” cibir Agni.
“Gue? Nggak tuh!” bantah Sivia songong.
Detik berikutnya Alvin meraih tangan Sivia, menggenggam dengan erat, lalu menarik gadis itu melewati koridor. Sivia melongo, begitu pula semua orang yang menyaksikan adegan tersebut.
“SIVIA!! KATANYA NGGAK MAU???”
Gabriel melengos. Ia tak peduli dengan protesan Agni, Shilla dan Cakka untuk Sivia yang telah berlalu. Padahal baru kemarin dia bisa kembali dekat dengan gadis itu. Dan Ify, dia berhasil menangkap basah perubahan wajah Gabriel.
***
Sender: Rio
Maaf untuk tadi pagi. Gue nggak bermaksud
Disaat jam pelajaran seperti ini Rio masih sempat mengiriminya pesan.
To: Rio
It’s ok. Kelas lo kosong? Gue ada guru
Selang beberapa saat, ponsel Ify kembali bergetar. Ternyata balasan dari Rio.
Sender: Rio
Iya, kosong. Ya udah, selamat belajar :)
Nanti temenin gue ke ruang musik ya. Gue jemput
Ify tidak membalas lagi karena Pak Remi nampak mencurigainya. Tumben sekali Rio mengajaknya ke ruang musik, biasanya Rio lebih suka ke rooftop. Dan omong-omong, Ify tak mengerti mengapa tiba-tiba dia jadi tidak sabar bertemu dengan Rio.
Perasaan ini mengingatkannya pada saat ia...
“Fy, lo ngelamun apa?” tanya Sivia memotong lamunannya.
Ify menggeleng, “Bukan apa-apa.”
Sepulang dari taman, Ify menceritakan pertemuannya dengan Ray. Sivia tak terima karena dia tidak terlibat dan mengatai Ray di depan muka pemuda itu. Tapi saat mendengar cerita mengenai Rio yang tiba-tiba memeluknya, wajah kesal Sivia berubah bahagia. Gadis itu jadi memuji-muji Rio yang menurutnya gentle.
Namun Ify belum menceritakan mengenai debaran aneh ketika bersama Rio. Tidak seperti dulu, Ify cenderung biasa saja. Sekarang?
“Mikirin Rio ya?”
Ah, baru saja terpikirkan. Mendengar nama itu saja membuat rona merah di pipi Ify terlihat. Sivia sampai terkikik geli.
“Akhirnya lo jatuh cinta lagi,” ujar Sivia pelan.
Mereka terpaksa bicara dengan volume rendah karena takut ketahuan Pak Remi. Ify meringis, sebelum Sivia bicara, Ify nyaris berpikir bahwa yang dirasakannya pada Rio kini sama seperti ketika ia jatuh cinta pada Ray. Mungkinkah Ify sudah berpindah hati? Tapi mengapa secepat ini? Hanya karena dipeluk?
“Terlalu cepet ya?” tanya Ify.
Sivia menggeleng, “Justru lama banget nunggu lo membuka hati lagi.”
“Tiba-tiba aja gue deg-degan kalo di deket Rio padahal sebelumnya lo tahu sendiri kalau gue biasa aja. Menurut lo, ini murni karna gue udah move on atau...”
“Perasaan sesaat?” tebak Sivia.
Ify mengangguk, “Gue takut kalau sikap gue ini cuma karna perlakuannya yang tiba-tiba jadi lebih ehmm.”
Demi neptunus, Sivia sudah nyaris menyemburkan tawanya jika tak ingat bahwa yang berdiri di depan sana adalah Pak Remi, guru yang senewen dengannya. Apalagi ketika menyaksikan Ify yang jengah.
“Biar gue perjelas. Sebenernya lo tuh udah move on dari Ray sejak dulu, Fy. Tapi lo selalu berpikir kalau lo belum bisa lupain Ray makanya lo baru sadar kalau perlakuan Rio ke elo itu sebenernya ya yang lo lihat sekarang.”
Ify termangu. Benarkah seperti itu?
***
Istirahat tiba. Tanpa disangka Rio benar-benar menepati janjinya untuk menjemput Ify di kelas sehingga teman-temannya tidak henti menggoda. Ify sedikit melirik ke arah Debo yang tersenyum pahit, ah dia tak pernah tahu bahwa dirinya telah berhasil melukai laki-laki baik itu.
“Harus banget tuh dijemput? Takut banget ilang ya?” goda Debo.
Rio menggaruk tengkuk belakangnya. Ini kali pertama Rio menyambangi kelas Ify tanpa Gabriel dan tidak menyangka reaksi mereka akan berlebihan.
“Udah deh, De. Lo nggak usah bacot,” sembur Ify.
Debo tertawa, tapi Ify tahu tawa itu terdengar hambar. Apakah Debo masih menyimpan perasaan itu untuknya? Semoga tidak.
“Gabriel mana, Yo?” tanya Sivia yang baru selesai mencatat.
“Tadi dia nemuin kepsek. Kalau yang lain udah di kantin kok,” jawab Rio.
Sivia mengangguk-angguk, “Gue ke kantin dulu deh nyusulin yang lain! Debo, lo mau bareng nggak ke kantinnya?”
“Boleh boleh! Yuk!” sahut Debo.
“Kita pergi dulu!” seru Sivia.
Tinggal Rio dan Ify serta anak-anak yang masih betah menggoda mereka berdua. Sebelum semakin menjadi, Rio menggenggam tangan Ify seperti tadi pagi. Seperti tersetrum, lagi-lagi Ify merasakan hangat menjalar ke tubuhnya. Ify balas menggenggam.
“Buset dah gandengan lagi, jadi nggak kebayang kalo lo berdua sekelas,” sorak salah satu teman sekelas Ify.
Ify hanya terkekeh pelan, kemudian berbisik pada Rio untuk bergegas menuju ruang musik sebelum kelasnya semakin panas. Mereka menyusuri koridor masih dengan tangan yang saling bertautan. Untuk kedua kalinya Ify sadar bahwa dia sedang jatuh cinta pada pemuda di sampingnya. Bebannya telah menguar, digantikan perasaan berbunga-bunga.
“Buset kalian makin lengket aja,” cetus Gabriel.
Tanpa sengaja mereka berpapasan. Sepertinya Gabriel baru menyelesaikan urusannya dengan kepsek.
“Darimana, Yel?” tanya Ify.
“Biasa laporan sama kepsek. Kalian mau ke mana?” balas Gabriel.
“Ruang musik,” jawab Rio mewakili.
Gabriel mengangguk-angguk lalu teringat sesuatu.
“Boleh bicara sama kalian berdua bentar? Habis itu gue janji bakalan minggat deh biar nggak ganggu,” ceplos Gabriel.
Baru Rio akan memprotes, Ify lebih dahulu menanggapi.
“Boleh. Mending kita bicaranya di ruang musik.”
Mau tak mau Rio berpasrah diri karena ‘acaranya’ diganggu. Tak apa, lagipula Gabriel sudah tahu diri dengan berjanji akan segera pergi jika pembicaraan mereka sudah selesai. Maka, masuklah tiga anak ini ke dalam ruang musik.
Rio lantas duduk di depan grand piano, ia juga memberi tempat pada Ify untuk duduk di sampingnya. Tiba-tiba Gabriel merasa dirinya seperti pengawal.
“Mau ngomong apa?” tanya Ify.
Gabriel mendesah kasar sampai akhirnya mengucapkan satu nama.
“Sivia.”
Kening Ify mengerut, seperti merasakan kejanggalan atas kalimat Gabriel barusan. Sama seperti Ify, Rio melakukan hal yang sama.
“Kalian tahu seperti apa perasaan gue ke dia?” tanya Gabriel.
Ify berpikir jernih, sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini.
“Sayang?” tebak Rio membuat perhatian Ify teralihkan.
“Lo jatuh cinta sama Sivia,” ralat Ify.
Tawa kecil Gabriel terdengar pilu. Pemuda itu sudah menyangka bahwa dua sahabatnya ini tahu betul apa yang dia rasakan pada Sivia, terutama Ify. Dari awal pun gadis yang menempati hati Rio itu tahu kalau Gabriel menaruh hati pada sahabatnya.
You’re right.”
“Lalu?” tanya Rio.
Gabriel telah memutuskan sesuatu. Dan Ify, sepertinya tahu persis apa yang ada di pikiran Gabriel saat ini. Rio dan Ify masih menunggu Gabriel membuka suara.
“Gue mau nembak Sivia secepatnya,” kata Gabriel akhirnya.
Jika Rio melotot mendengarnya, lain hal dengan Ify yang justru tersenyum lebar. Ify tahu betapa Gabriel mencintai Sivia, tapi sahabatnya itu terlanjur jatuh hati pada Alvin. Ify tahu karena Gabriel selalu menanyakan Sivia padanya, mengungkapkan isi hatinya secara terselubung, meski tidak secara langsung tapi Ify peka bahwa Gabriel sedang curhat mengenai Sivia.
“Lo serius?” tanya Rio.
Gabriel mengangguk mantap, “Gue takut nyesel, Yo. Gue takut nggak punya kesempatan lagi.”
Atas nama persahabatan, Ify dan Rio sama-sama memberi dukungan penuh. Mereka akan turut membantu jika Gabriel membutuhkan sesuatu.
***
Bersambung...
Gimana? Masih berminat baca? Hehe fyi aja untuk couple belum terjamah sama sekali jadi kayaknya tebakan-tebakan kalian kemarin bisa 80% salah(?) meskipun begitu saya  harap kalian nikmatin ceritanya ya, bukan couplenya :p dan buat yang menunggu Shilla dibahas kembali harap bersabar karena di awal sudah dominan Shilla jadi sekarang-sekarang ini saya bahas yang lain dulu. Semuanya ada giliran masing-masing kok karena CRAGSISA tokoh utama :)

Saya tunggu komentarnya ya :)

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Lanjut, keren kak👍

@adi.permana mengatakan...

Makin penasaran

Unknown mengatakan...

keren:) sampe baper.

Unknown mengatakan...

Keren kak lanjut lanjut

Posting Komentar