Hi readerssss!
Kembali lagi membawa part 26. Sedih banget
ternyata mau otw part terakhir dan setelah itu nggak tahu kapan bisa nulis lagi.
Serius, sangat bersyukur karena awal tahun ini masih bisa berkarya. Memang
hanya karya yang dipost di wattpad, bukan novel yang beredar di gramedia. Tapi
tetap harus bersyukur. Selain itu sepertinya ini karyaku yang terpanjang lol
biasanya mentok cuma sampai part 20. Nah, langsung aja ya...
Hope you
like it...
26
“SIVIA!!!
SIVIA!!!”
Langkah
Sivia terhenti. Gadis itu mendongak, mendapati sudah ada Ify, Shilla dan
Gabriel yang menatap dengan cemas. Tanpa aba-aba, gadis itu menabrak tubuh Ify
dan memeluknya dengan sangat erat. Beruntung Ify dapat menjaga keseimbangan
sehingga ia tidak limbung.
“Nangis,
Via. Yang lepas. Jangan ada yang ditahan,” ujar Ify lembut.
Dan
Sivia benar-benar mengabulkan ucapan Ify. Tak ada air mata yang ditahan. Ify
mengeratkan pelukannya. Reaksi yang tak akan pernah diduga siapapun, Ify ikut
menangis—namun lebih tenang—seakan Sivia sengaja menyalurkan kesakitannya untuk
dibagi melalui pelukan.
Beberapa
saat kemudian Sivia mulai berbicara.
“Alvin
putusin gue, Fy... dia nggak pernah cinta sama gue...” lirih Sivia sesenggukan.
“Alvin?”
gumam Ify.
“Sakit,
Ify...” lirih Sivia lagi.
Ify
menatap Gabriel dan Shilla—masih tetap memeluk Sivia—dengan ekspresi terkejut.
Jadi, tangisan ini karena Alvin. Pemuda itu yang membuat Sivia menangis seperti
ini. Hati Ify memanas, Alvin harus membayar semuanya!
“Gabriel,
gantiin gue,” ucap Ify seraya mengkode Gabriel untuk menggantikan posisinya.
Gabriel
spontan menuruti perkataan Ify.
“Lo mau
ke mana, Fy?” tanya Shilla panik.
Ify tak
menyahut. Begitu posisinya gantikan oleh Gabriel, gadis itu lantas meninggalkan
sahabat-sahabatnya untuk mencari Alvin. Ia yakin Alvin belum pergi. Ify
menghapus air matanya dengan kasar, dia tidak akan membiarkan siapapun
menyakiti Sivia. Termasuk Alvin.
“IFY!
FY!” seru Gabriel dan Shilla.
Keduanya
pasrah menatap kepergian Ify. Gabriel pun merasa dia harus memberi pelajaran pada
Alvin karena menyakiti Sivia. Namun, ia juga tak mungkin meninggalkan Sivia
dengan keadaan seperti sekarang.
Pemuda
itu mengusap kepala Sivia, membenamkan wajah gadis tersebut pada dada
bidangnya. Sivia yang sehari-hari petakilan, tidak bisa diam, ceria dan seakan
tak pernah punya masalah apa-apa kini menangis dalam pelukannya. Tangis yang
terdengar menyakitkan.
***
Alvin
terlonjak dari tempat duduknya ketika tiba-tiba saja ada seseorang yang
menggedor kaca jendela mobilnya. Lebih terkejut lagi saat ia mengetahui bahwa
seseorang tersebut adalah Ify. Lantas, Alvin keluar dari mobil dan bertatapan
langsung dengan gadis itu. Ify, dia menatap sengit sosok Alvin di hadapannya. Dadanya
bergemuruh. Air matanya kembali meleleh. Detik selanjutnya tangan Ify bergerak
cepat menampar pipi kiri Alvin.
“PUAS
LO, VIN?! PUAS LO PATAHIN HATI SAHABAT GUE?! PUAS?!!”
Suara
itu terdengar lantang dan penuh kemarahan.
“Kenapa
lo tega? Sivia salah apa, Vin? Dia salah apa sama lo?” tanya Ify menurunkan
nada bicaranya namun tak menyingkirkan amarah tersirat di dalam pertanyaan
tersebut.
Alvin
memejamkan matanya dalam-dalam, membiarkan Ify membentak sesuka hati untuk
meluapkan seluruh amarahnya. Ini semua memang kesalahan Alvin—dan ia mengakui
itu. Tak apa bila gadis di hadapannya sekarang ini marah. Tak apa bila
selanjutnya Ify ikut membenci dirinya. Bahkan ia tahu sakit di pipinya karena
tamparan Ify tak ada apa-apanya dengan sakit di hati Ify dan Sivia.
“Jawab,
Vin! Kenapa lo lakuin ini ke sahabat gue?” lirih Ify.
Tangan
Ify terkepal kuat. Alvin tahu bahwa gadis yang beberapa minggu ini menemaninya
belajar sedang berusaha mengontrol emosi.
“Gue
cinta sama lo, Fy.”
Dan
kalimat terlarang itu akhirnya terlontar juga. Alvin meringis, menyalahkan
dirinya sendiri mengapa kembali mengambil keputusan yang tidak tepat. Di
hadapannya, Ify terpaku, gadis itu benar-benar kehilangan kata-kata.
Beberapa
saat Ify merasa kehilangan oksigen di sekitarnya.
“Kenapa?”
pekik Ify.
Perlahan,
amarah gadis itu lenyap digantikan rasa terkejut. Alvin lantas menatap tepat di
kedua manik mata Ify.
“Gue
nggak tahu kenapa begini,” sahutnya putus asa.
“Lo
mikir nggak sih sama yang lo bilang tadi? Lo cinta sama gue? Cinta lo bilang?
Dan elo, dengan nggak tahu dirinya nggak mikirin perasaan Sivia sama sekali?
Bahkan, lo nggak mikirin perasaan Rio? Dia sahabat lo, Vin! SA-HA-BAT!” cerca
Ify membuat Alvin tertawa miring.
“Terus
siapa yang mikirin perasaan gue?” tanya Alvin retoris.
“Nggak
ada, Fy. Nggak pernah ada,” imbuhnya.
Sejurus
kemudian Ify bungkam.
“Kenapa
gue selalu mencintai orang yang nggak tepat, Fy? Kenapa gue selalu mencintai
orang yang nggak cinta sama gue? Kenapa gue nggak pernah bisa meraih bintang
gue, Fy?” tanya Alvin beruntun.
Ify
mengernyit, tak mengerti dengan apa yang diracaukan pemuda itu. Namun, untuk
pertama kalinya selama mengenal Alvin, kilat mata itu tak lagi terhalangi
kepalsuan. Alvin terluka dan Ify bisa melihatnya dengan jelas.
“Maafin
gue, Fy. Gue deketin Sivia emang semata-mata supaya dia jauh dari Gabriel,”
ucap Alvin seraya bersandar di mobilnya.
“Kenapa?”
Lagi-lagi
pertanyaan itu yang muncul.
“Karena
Shilla jatuh cinta sama Gabriel. Gabriel sumber kebahagiaannya sedangkan saat
itu gelagat Gabriel naksir Sivia udah kebaca sama gue. Jadi, satu-satunya cara
supaya Shilla nggak kehilangan sumber kebahagiaannya adalah...”
“Bikin
Sivia jatuh cinta sama elo?” lanjut Ify cepat.
Alvin mengangguk sedangkan Ify mengurai nafas panjang.
Bayangan Sivia menangis di pelukannya tadi muncul. Namun di depannya saat ini,
pemuda yang selama ini sulit terjamah oleh siapapun ternyata menyimpan
kepedihan yang dalam.
“Awalnya
gue pikir lama-lama gue bakal jatuh cinta juga dan lupain Shilla. Nyatanya,
Sivia nggak bisa bikin gue lupa sama Shilla. Justru elo, Fy. Lo yang bikin gue
nggak berharap lebih lagi sama Shilla.
“Sejak belajar
bareng sama elo, gue merasa beda. Gue jadi selalu nggak sabar belajar bareng, gue
suka nyari ide buat ngerjain lo, gue suka lihat muka sebel lo, gue suka ketawa
bareng lo, gue suka bikin lo senyum karena berhasil ngerjain soal-soal yang lo
kasih, gue suka denger suara lo dan gue benci ketika sadar lo udah punya cowok,
sahabat gue sendiri.”
Tatapan
Alvin beralih pada sosok Ify yang masih termangu. Bahu gadis itu tampak
merosot, sejurus kemudian dia tak dapat menjaga keseimbangan hingga Alvin
secara reflek menahan tubuhnya.
***
“Gue
harus ketemu Alvin, Shil,” nyolot Gabriel.
Hatinya
tak tenang membiarkan Ify bergerak sendirian.
Shilla
menggeleng keras, “Biar gue yang nyusulin Ify. Lo tetep di sini. Tugas lo
sekarang jagain Sivia. Oke?”
“Nggak.
Lo yang di sini,” balas Gabriel.
Shilla
mengalah. Dia membiarkan Gabriel pergi menyusul Ify serta berharap tidak akan
terjadi apa-apa—meskipun sepertinya mustahil. Sejak menyaksikan uraian air mata
Sivia, ia tahu bahwa saat itu Gabriel sama marahnya dengan Ify.
“Calm down, Shilla,” ucap Shilla dalam
hati.
Di sisi
lain, Gabriel terlanjur mendengar seluruh percakapan Alvin dan Ify. Dengan
emosi memuncak, pemuda itu menerjang Alvin dengan pukulan bertubi-tubi. Alvin
yang tak siap menerima pukulan dari Gabriel—bahkan tak siap menerima kehadiran
pemuda itu—langsung tersungkur tepat saat ia mendapatkan pukulan pertama. Namun
Alvin hanya dapat pasrah, membiarkan Gabriel menumpahkan seluruh emosinya
seperti yang dilakukannya terhadap Ify.
“BRENGSEK
LO VIN! BRENGSEEEKKK!! BAJINGAN! KEPARAT!!!”
Sumpah
serapah itu mengiringi setiap pukulan yang dirasakan oleh Alvin.
“Gabriel
stop! Gabriel!!” teriak Ify tak dihiraukan.
“Kalau
gue tahu dari awal niat busuk lo itu, nggak akan gue biarin Sivia jatuh cinta
sama lo! Nggak akan anjing!” tandas Gabriel seraya melayangkan satu pukulan
tepat di wajah Alvin.
Alvin
meringis, tangannya bergerak mengusap darah yang mengalir di sudut bibirnya.
“GABRIEL
STOP!!!!” teriak Ify lagi.
Namun
Gabriel masih belum puas. Pemuda itu terus menghujami Alvin seolah tak akan
pernah ada ampun untuk siapapun yang telah menyakiti pujaan hatinya. Ify yang
menyaksikan masih berusaha memaksa Gabriel untuk menghentikan ulahnya dengan
air mata mengalir deras. Ia takut, sangat takut melihat Gabriel yang kesetanan.
“Bahkan
pukulan-pukulan ini nggak akan bisa membayar sakit hatinya Sivia!”
Dengan
nekat Ify menerobos diantara keduanya hingga pukulan yang seharusnya mengenai
Alvin justru mengenai dirinya.
“IFYYY!!!”
jerit Alvin seraya menangkap tubuh Ify yang akhirnya tumbang.
Gabriel
mematung.
***
Alvin
menyandarkan punggungnya pada tembok koridor rumah sakit. Semua kekacauan ini
adalah ulahnya. Sakit hati Sivia, kemarahan Gabriel, bahkan Ify yang saat ini
berada di rumah sakit. Semua salahnya! Air mata Alvin mengalir perlahan, air
mata yang selalu berhasil disimpannya baik-baik. Sejak lima belas menit yang
lalu dokter mengatakan bahwa Ify sudah boleh dijenguk, tapi pemuda itu tetap tak
bergerak dari tempatnya.
Di dalam
terdapat Sivia, Gabriel dan Shilla—Cakka, Agni dan Rio tengah menyusul. Alvin
tak mungkin berhadapan dengan mereka semua. Sivia, gadis itu pasti masih sangat
terluka. Gabriel, tentu dia masih menyimpan dendam padanya. Dan Shilla, Alvin
tak bisa membayangkan kekecewaan gadis itu jika ia tahu bahwa dialah alasan
semuanya. Alvin menarik napas panjang, memandang pintu kamar Ify dengan pandangan
kosong lalu melangkah dengan tertatih. Dia harus pergi sebelum ada yang
tersakiti lagi.
***
“Ify, lo
nggak pa-pa kan?”
Sivia
mengaitkan jarinya pada sela jari-jari Ify.
“Gue
nggak pa-pa, Sivia. Cuma agak pusing sedikit,” ujar Ify dengan senyum tipis.
Si
tersangka—Gabriel—menundukkan kepalanya. Andai tadi dia menuruti ucapan Ify
untuk berhenti memukuli Alvin, gadis ini pasti tidak akan menerobos ke tengah-tengah sehingga pukulan itu tak
pernah mengenainya.
“Halo,
permisi...”
Empat
anak itu menoleh ke arah pintu. Bocah kecil dengan pandangan polos mengintip
dari balik pintu tersebut.
“Aduh
syukur deh nggak salah kamar,” lanjutnya lalu masuk ke dalam.
“Emang
tadi salah kamar, Zy?” tanya Shilla.
Bocah
yang tak lain adalah Ozy mengangguk polos. “Dua kali.”
“Payah
lu,” cibir Ify.
“Lo tuh
yang payah! Kenapa sampai masuk rumah sakit segala sih? Udah tahu Papa sama
Mama lagi di luar kota malah bikin ulah. Kalau mau masuk rumah sakit kan bisa
ditunda dulu sampai Papa-Mama pulang,” cerocos Ozy tanpa dosa.
“Yaelah,
gue juga ke sini mampir doang kali,” sahut Ify.
“Eh lo
kenapa, Kak? Hmm... omong-omong, kok suasananya nggak enak ya? Kak Sivia habis
nangis? Kak Gabriel kok diem aja lu? Tumben banget.”
Ify
memutar bola matanya dengan malas. Adik kecilnya ini memang hobi sekali mengacau.
Sebelum pertanyaan Ozy terjawab, tiba-tiba pintu terbuka lebar. Ternyata Rio,
Cakka, dan Agni sudah datang.
Rio
buru-buru menghampiri kekasihnya dengan wajah cemas. “Kamu kenapa? Pipi kamu
sampai ungu begini. Sakit? Udah ditanganin dokter?”
“Salam
dulu kali, Kakak Ipar,” cetus Ozy.
Semuanya
nampak terkekeh karena celetukan Ozy tersebut, tak terkecuali Rio yang baru
menyadari bahwa dia langsung menerobos masuk.
“Aku
nggak pa-pa kok, Yo. Cuma lebam biasa, dikompres juga sembuh. Kamu tenang ya,”
ujar Ify.
“Syukur
deh. Aku cemas banget waktu Shilla nelpon tadi. Terus gimana ceritanya bisa
begini?” selidik Rio.
Ify
meringis, bingung harus menceritakan apa. Shilla dan Sivia saja tak tahu pasti
bagaimana kronologinya. Gadis itu melirik Gabriel yang sedang melamun, pasti
dia merasa bersalah.
“Hm,
Alvin nggak disuruh masuk?” tanya Ify mengalihkan pembicaraan.
“Alvin?
Emang dia di sini?” sahut Cakka.
“Tadi
katanya dia di luar. Emang nggak ada?” balas Ify heran.
“Dari
gue dateng tadi, di luar nggak ada siapa-siapa kok, Kak,” sambar Ozy membuat
Ify terdiam.
Ke mana
pemuda itu?
***
“Brengsek.
Sialan, sialan, sialan, sialan,” desis Alvin seraya meninju seluruh benda yang
menempel pada tembok kamarnya.
Ia tak
peduli pada darah segar yang mulai mengalir dari tangannya. Ia tak peduli pada rasa sakit yang menjalari
tubuhnya. Baginya, kesakitan yang ia rasakan tak berpusat dari sana. Alvin
sendiri tak tahu dimana letak kesakitan yang sebenarnya.
“ALVIN!
BUKA PINTU!!!”
Suara
Deva. Pemuda itu melirik pintu yang digedor-gedor dengan kasar dari luar.
“ALVIN!
GUE TAHU LO DI DALEM!!!”
Alvin
mengalah lalu membuka pintu. Begitu pintu itu terbuka, ia tersentak karena secara
tiba-tiba Deva memukulnya tepat di perut.
“Dev, lo
kenapa?” tanya Alvin meringis kesakitan.
“Lo yang
kenapa!! Lo sakit jiwa?! Lo gagar otak sampai berani nyakitin cewek sebaik
Sivia?! HAH?!!!” bentak Deva.
Deva
berjalan masuk ke kamar Alvin lalu menurunkan figura besar yang selama ini
digunakan Alvin untuk menutupi foto-foto polaroid Shilla yang disusun menjadi
kalimat “MY DREAM”. Alvin terkejut. Sejak kapan Deva tahu ada sesuatu di balik
figura itu?
“Gue
pikir lo tulus sama Sivia. Gue pikir lo udah lupain Shilla. Tapi apa? Gue malu,
Vin! Gue malu! Apa Papa sama Mama pernah ngajarin elo buat nyakitin hati
perempuan?! Jawab gue!”
Alvin
menundukkan kepalanya. Pemuda itu menghela nafas panjang.
“Jadi,
Sivia ngadu sama elo?” tanya Alvin dengan nada sengak.
Mata
Deva membulat sempurna. Ia tak percaya. Disaat seperti ini, adiknya masih bisa
menanyakan hal sebodoh itu.
“Dev,
Keke berharga kan buat lo?” tanya Alvin—lagi.
“Jangan
bawa-bawa Keke. Ini nggak ada hubungannya sama dia,” sahut Deva dingin.
Alvin
menggeleng, “Memang nggak ada. Tapi, coba bayangin. Seandainya Keke nggak
pernah jatuh cinta sama lo dan justru jatuh cinta ke Lintar sedangkan Lintar
sendiri jatuh cinta ke cewek lain, apa yang bakal lo lakuin?”
Beberapa
saat kemudian kamar Alvin terasa tak bernyawa. Alvin sibuk menanti jawaban
Deva, sedangkan Deva sibuk dengan pikirannya karena pertanyaan tersebut.
“Apa,
Dev?” tanya Alvin membuyarkan lamunan Deva.
“Lo
nggak bisa jawab kan? Karena jawabannya lo bakal ngelakuin apa yang gue lakuin.
Mempersatukan mereka supaya perempuan yang lo cinta tetap bahagia. Lalu, elo
sendiri memilih lari sekencang-kencangnya. Padahal lo nggak pernah ke
mana-mana.”
Pandangan
Alvin beralih pada susunan foto MY DREAM. Bahkan, pacaran dengan Sivia pun tak
membuatnya tergerak untuk melepas
foto-foto tersebut. Justru Ify lah yang nyaris menggugah 99% hatinya supaya
menyingkirkan foto-foto Shilla dari setiap sudut kamarnya. Ya, nyaris. Sebab
masih ada 1% hatinya yang menyimpan kenangan tentang Shilla dengan baik.
“Vin,”
desis Deva.
“Gue
harus pergi, Dev. Supaya nggak ada yang tersakiti lagi.”
***
Sudah
kesepuluh kali Ify mencoba menghubungi Alvin sejak ia sampai di rumahnya tetapi
nihil, tak bisa dihubungi. Sahabat-sahabat masih setia menemani Ify bahkan
membantu mengkompres lebam di bagian pipi. Kata dokter, gadis itu pingsan
karena kondisi fisiknya yang sedang tidak stabil. Selain itu juga sebagai
reaksi atas keterkejutannya. Hanya saja mereka semua—kecuali Gabriel—tak tahu
bagaimana peristiwa yang sebenarnya. Beruntung Ify langsung diperbolehkan
pulang karena ia berjanji akan menjaga diri dengan baik.
“Mungkin
dia sengaja matiin ponsel,” ujar Shilla mengamati gerak-gerik Ify.
Sejujurnya,
Shilla sendiri juga mengkhawatirkan keadaan Alvin. Dia ingin bertemu dengan
pria yang selalu ada di setiap keterpurukannya, tanpa terkecuali. Dan disaat
seperti ini Shilla justru tak bersamanya.
“Fy...
gue minta maaf,” ujar Gabriel tiba-tiba.
Baik
Rio, Agni, Cakka, Sivia, maupun Shilla ikut memusatkan perhatian pada pemuda
itu. Gabriel melirik Rio dengan perasaan bersalah sampai akhirnya kembali
menatap Ify dengan sendu. Gadis itu sendiri memberi kode supaya Gabriel tetap
diam, tak melanjutkan kalimatnya, tapi ia tak bisa.
“Ify
begini karena gue,” ringis Gabriel.
“Maksud
lo?” sahut Agni reflek.
“Lebam
yang ada di pipi Ify... karena pukulan gue...”
Bugh. Tak
ada yang menyangka bahwa Rio akan menyerang Gabriel.
“Apa lo
bilang barusan? Lo mukul Ify?” tanya Rio dengan emosi memuncak.
Ify
menggigit bibir bawahnya dengan perasaan takut. Ia tidak pernah melihat Rio
semarah ini. Sama persis ketika Gabriel menerjang Alvin karena membela Sivia.
“Lo
mukul Ify?!” tanya Rio sekali lagi.
“Rio, calm down. Biarin Gabriel jelasin,”
lerai Cakka.
“Bilang
sekali lagi. Lo mukul Ify?!”
“Rio!
Kita bisa bicarain!” bentak Agni menyadarkan Rio.
Namun
sepertinya Rio tak mengindahkan perkataan Agni sebab selanjutnya pemuda itu
kembali meninju Gabriel hingga tersungkur. Gabriel mencoba meraba sudut
bibirnya. Berdarah.
“JAWAB!
LO MUKUL IFY?!!”
“Oke gue
jawab! Iya. Gue mukul Ify. Gue yang bikin dia pingsan sampai masuk rumah sakit.
Lebam di pipinya itu karna pukulan gue. PUAS LO?!” balas Gabriel dengan penuh
penekanan.
“ANJING!”
Belum
sempat Rio menyerang Gabriel lagi, pemuda itu lebih dulu diamankan oleh Cakka
dan Agni. Kemudian Gabriel berusaha bangkit dibantu oleh Sivia. Sementara Ify,
gadis itu benar-benar bingung harus berbuat apa.
“Gue
mohon... jangan ada pukul-pukulan lagi...” lirih Ify.
Keadaannya
memang belum stabil. Dan itu membuat Rio luluh. Dia mendekat ke arah Ify
kemudian memeluk gadis itu dengan erat.
“Maaf
aku nggak bisa jagain kamu,” ucap Rio pelan.
“Jangan
pukul Gabriel lagi. Dia sahabat kamu.”
Rio
mengangguk lemah.
“Ify,
Gabriel, lo berdua sebenernya nyembunyiin apa?” tanya Shilla tiba-tiba.
Rio
mengurai pelukannya. Keningnya berkerut melihat Shilla yang sudah berdiri
menatap Ify dan Gabriel secara bergantian dengan tatapan menghakimi. Sejurus
kemudian Rio menangkap basah Ify dan Gabriel saling pandang lalu membuang muka.
***
Bahu
Shilla merosot perlahan begitu mendengar sebagian penuturan Ify mengenai
pembicaraannya dengan Alvin. Ya, pemuda yang dulu memanggilnya “Tuan Puteri”
itu—dan entah kenapa Shilla merindukannya—ternyata telah lama jatuh cinta
padanya.
“Kenapa gue
nggak pernah sadar?” lirik Shilla entah pada siapa.
Semuanya
menundukkan kepala. Betapa persahabatan mereka ternyata serumit ini. Bukan
hanya ada yang jatuh cinta, tapi juga patah hati. Dan hari ini, misteri
terungkap. Perasaan Shilla untuk Gabriel, perasaan Gabriel untuk Sivia,
perasaan Alvin untuk Shilla, termasuk untuk Ify sendiri.
“Shil,
selama ini siapa yang selalu ada di pihak lo?” tanya Cakka lembut.
Shilla
mendongak. “Alvin,” jawabnya.
“Siapa
yang punya panggilan khusus buat lo, bahkan memperlakukan lo seperti puteri
sungguhan?” timpal Rio.
“...Alvin,”
kata Shilla pelan.
“Siapa
yang nemenin elo disaat gue, Cakka dan Rio sibuk sendiri?” tanya Gabriel.
“Alvin.”
“Siapa
yang selalu ada buat lo? Yang nggak peduli lo itu Shilla yang ansos,
menyebalkan atau menyenangkan seperti sekarang?” ceplos Ify.
“Alvin.
Jawabannya Alvin. Dia yang selalu di pihak gue, memperlakukan gue dengan
istimewa, nemenin gue, dan selalu ada,” sahut Shilla lemah.
Sejurus
kemudian Shilla menangis. Ternyata inilah alasan mengapa akhir-akhir ini dia
sangat merindukan sosok Alvin. Sebab dia sudah terbiasa dengan kehadiran pemuda
itu sehingga ketika Alvin pergi, dia seperti kehilangan bagian tak kasat mata
tapi sangat berarti untuknya.
“Kenapa
gue nggak pernah sadar?” tanya Shilla—lagi—disela isak tangisnya.
Dengan
cepat Agni membawa Shilla ke dalam pelukannya.
“Gue
jahat...”
“Shil,
tenang. Lo nggak jahat,” balas Agni.
Ify
menatap Shilla prihatin. Dia terpaksa menceritakan semuanya karena keadaan
sudah tak bisa ditolerir lagi. Kesalahpahaman terus timbul dan itu tak bisa
dibiarkan. Dan sekarang, disaat semuanya jelas, Alvin justru menghilang.
“Rio,
tolong cari Alvin. Aku mohon,” pinta Ify pada Rio.
“Akan
aku cari,” balas Rio.
“Gue
ikut!” sahut Gabriel.
Rio
mengangguk kemudian menyodorkan tangannya ke depan wajah Gabriel. Sahabatnya
itu tersenyum lalu menerima uluran tangan tersebut.
“Maaf karna
gue udah mukul lo,” kata Rio.
“Nggak
pa-pa. Gue paham lo nggak akan terima Ify gue sakitin. Sama kayak gue yang
nggak terima siapapun nyakitin Sivia,” balas Gabriel seraya melirik Sivia yang
sedari tadi hanya diam.
Sivia
yang mendengar pun hanya tersenyum tipis. Sepertinya dia masih belum bisa
mencerna keseluruhan cerita atau mungkin dia semakin sakit hati menerima
kenyataan bahwa gadis yang dicintai Alvin adalah Shilla. Mungkin pula ia sama
terkejutnya dengan Shilla karena selama ini justru Gabriel yang sungguh-sungguh
mencintainya.
“Kami
pergi dulu,” pamit Rio.
Sepeninggalan
Rio dan Gabriel, Sivia masih melamun.
“Sivia,”
lirih Shilla.
Gadis
yang namanya disebut oleh Shilla itu menatapnya hampa. Shilla menarik nafas
lalu menghembuskannya perlahan.
“Maaf,”
kata Shilla tertahan.
“Maaf
untuk sakit hati yang lo rasain. Andai gue tahu perasaan Alvin dari awal,
mungkin semuanya nggak akan sekacau ini.”
Sivia
tersenyum pahit. Mungkin Alvin memang tak pernah menjadi miliknya.
***
Sekitar
setengah jam kemudian Rio dan Gabriel berhasil sampai di rumah Alvin. Berhubung
selama ini Alvin tak memiliki tempat untuk pergi sendirian, keduanya menebak
bahwa saat ini sahabatnya itu berada di rumah. Rio pun mencoba menekan bel.
“Coba
ketuk pintunya,” koor Gabriel yang diangguki Rio.
Rio
beralih mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
“Rumahnya
sepi banget, Yel,” kata Rio.
“Coba
lagi. Pasti ada orang di rumah. Di garasi ada mobilnya Kak Deva,” balas
Gabriel.
Rio
kembali mengetuk pintu dan menekan bel secara bergantian. Ternyata usahanya
membuahkan hasil sebab berikutnya ada sahutan seseorang dari dalam. Tak lama
kemudian pintu pun terbuka dan menampilkan muka bantal Deva. Sepertinya pria
itu baru bangun dari tidurnya.
“Eh
kalian. Sori, gue habis tidur,” ujar Deva seperti dugaan Rio.
“Kak,
Alvin mana?” tanya Gabriel to the point.
Kedua
alis Deva sontak tertaut. “Alvin?”
Gabriel
dan Rio kompak menganggukkan kepala.
“Loh,
dia nggak pamit sama kalian dulu?” balas Deva bingung.
“Pamit?
Emang dia ke mana, Kak?” tanya Rio dengan nada terkejut.
Deva
mendengus, “Ikut Papa ke Singapore. Gue juga nggak begitu tahu sih. Tadi bokap
pesen sama gue buat ngurus perusahaan di sini.”
“Singapore?
Alvin ngapain ke Singapore? Terus sekolahnya?” tanya Gabriel bertubi-tubi.
“Gue
juga bingung, Yel. Eh duduk dulu deh. Tapi sori ya, pembantu lagi pada pulang.
Mau gue ambilin minum?”
Deva
mempersilakan Gabriel dan Rio untuk duduk di ruang tamu.
“Nggak
perlu, Kak. Kami mau tahu soal Alvin. Kenapa tiba-tiba ke Singapore? Apa ini
ada hubungannya sama Sivia?” tolak Rio halus.
“Pas gue
balik tadi, gue sama dia sempat berantem gara-gara Lintar nelpon gue kalau
Alvin putus sama Sivia. Dan... gue juga nggak tahu kalau ternyata dia udah
nyiapin baju buat dibawa ke Singapore sama bokap. Bokap emang bilang mau ke
Singapore selama beberapa bulan, tapi gue nggak tahu kalau ternyata Alvin
ikut.”
Raut
wajah Rio dan Gabriel berubah.
“Yo,
kita harus ke bandara sekarang. Kita susulin Alvin. Jangan sampai dia pergi!”
tandas Gabriel.
“Percuma,”
sambar Deva.
“Dia
udah pergi satu setengah jam yang lalu,” lanjutnya membuat Rio dan Gabriel menghela
nafas berat.
Mereka
tidak tahu harus mengatakan apa pada Shilla.
***
Rio dan
Gabriel terpaksa kembali dengan tangan hampa. Mereka kehilangan Alvin. Mobil
Gabriel terasa sangat sunyi. Rio fokus
menyetir sedangkan Gabriel sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Yel,”
panggil Rio.
Gabriel
menoleh, “Hm.”
“Hari
ini terlalu banyak kejutan,” kekeh Rio.
Detik
berikutnya Gabriel terkejut karena Rio menangis.
“Kita
ini sahabat Alvin bukan sih, Yel? Kenapa kita nggak tahu apa-apa soal dia?
Kenapa terlalu banyak yang dia sembunyiin dari kita? Kenapa dia nggak pernah
mau bilang sesuatu sama kita?” tanya Rio beruntun.
“Sebenernya,
Alvin yang nggak mau cerita atau kita yang terlalu sibuk sampai-sampai kita
nggak mau tahu?” gumam Gabriel membuat Rio bungkam seribu bahasa.
***
Tak akan
ada lagi seseorang yang akan memanggilnya Tuan Puteri. Takkan ada lagi
seseorang yang melakukan apapun demi mencetak senyum di bibirnya. Takkan ada
lagi seseorang yang akan selalu ada dalam kesedihannya. Tak ada. Dia sudah
pergi. Entah karena kecewa atau karena sengaja.
Shilla
memejamkan matanya dalam-dalam. Menahan sesak yang sedari tadi menyergap
perlahan. Mengapa rasanya lebih menyakitkan daripada mengetahui perasaan
Gabriel teruntuk Sivia?
Gabriel,
Rio dan Cakka yang sudah mengenal baik Shilla luar dalam hanya bisa menyentuh
bahu Shilla seolah menyalurkan rasa simpati mereka. Mereka tahu perginya Alvin
yang tiba-tiba berpengaruh besar terhadap gadis di hadapannya ini.
“Segitu
kecewanya Alvin sampai dia harus pergi?” tanya Shilla.
Semuanya
diam. Tak berani menjawab. Bukan karena tak ingin menghibur, namun hanya tidak
mau mengumbar kalimat-kalimat hiburan hanya untuk membual.
“Dia
nggak sayang sama gue lagi?” tanyanya lagi.
Baginya,
kepergian Alvin adalah ungkapan bahwa pemuda itu sudah tak peduli padanya lagi.
Padahal Shilla mulai menyadari apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap pemuda
itu.
“Dia
sayang sama elo, Shil,” kata Ify.
Shilla
menatap Ify sangsi.
“Kalau
dia sayang sama gue, dia masih di sini. Nggak akan pergi ninggalin gue. Kalau
dia sayang sama gue, dia harusnya bilang ke gue. Karena nggak ada alasan untuk
nggak ngelakuin hal itu. Kecuali...” ucap Shilla menggantung.
“Apa?”
“Dia
udah berpindah hati.”
Ify
menatap tak percaya. “Lo berpikir dia pergi karena nggak bisa meraih gue?”
tanyanya menyimpulkan.
Tepat
sasaran. Shilla memalingkan wajah. Bodohnya, justru sekarang ia dapat melihat
wajah terkejut Rio.
“Ada
bagian yang belum gue ceritain. Bagian yang akan bikin lo menyesal karena udah
berpikir demikian,” ujar Ify membuat Shilla kembali beralih padanya.
Kening
Shilla berkerut seolah mempertanyakan bagian apa yang dimaksudkan.
***
“Gue belum mengganti posisi Shilla sepenuhnya
kan, Vin?” tanya Ify.
Alvin menggeleng, “Selamanya Shilla selalu ada
di hati gue. Dia akan selalu punya tempat di sana. Lo tahu, dia bukan sekedar
cinta pertama. Lebih dari itu, dia alasan kenapa gue menjatuhkan hati.”
***
Ah, di sini rupanya. Sudah dua menit yang lalu Gabriel mencari-cari Sivia. Ternyata gadis
itu sedang duduk di tepi kolam, sepertinya sedang larut dalam kesendirian.
Perlahan Gabriel mendekat lalu duduk sejajar dengan gadis manis itu. Iya,
manis. Sivia yang mendadak diam jadi terlihat manis namun ia tak suka. Gabriel
lebih suka Sivia yang biasanya. Tidak jaim, petakilan, heboh, seru dan
memalukan.
“Kenapa
di sini?” tanya Gabriel.
Sivia
sontak mengurut dada karena tidak tahu kapan datangnya pemuda ini.
“Lo
kapan ke sininya? Kok tahu-tahu udah di sebelah gue? Kalo gue jantungan gimana?”
tanya Sivia sedikit mengomel.
Gabriel
terkekeh, tidak menyangka dengan reaksi yang diberikan gadis itu. Di luar
dugaan. Tak urung hal itu membuat Gabriel tersenyum juga. Meski tak menyangka,
ia tak dapat berbohong bahwa reaksi seperti itulah yang diinginkannya.
“Makanya
jangan ngalamun,” bantah Gabriel membela diri.
“Hmmm,”
dehem Sivia.
“Kenapa
di sini?” tanya Gabriel mengulang pertanyaan.
“Lo
sendiri, kenapa di sini juga?” balas Sivia.
Gabriel
tersenyum. “Karena lo di sini.”
“Hah?
Mau ngegombal lo? Nggak cocok ah,” sahut Sivia semena-mena.
“Lo tahu
nggak, Via?” tanya Gabriel menyebut Sivia dengan ‘Via’ seperti Ify.
“Apa?”
“Kita
itu kayak magnet. Lo kutub utara, gue kutub selatan. Ke manapun elo pergi, akan
selalu gue ikuti,” kata Gabriel membuat Sivia melongo.
Tak lama
kemudian Sivia tertawa geli.
“Lo
beneran ngegombal?” kekehnya.
“Nggak.
Itu serius,” jawab Gabriel dengan wajah seserius mungkin.
Sivia
diam. Gadis itu menarik kedua sudut bibirnya hingga lesung pipit yang disukai
Gabriel tampak. Cantik.
“Rasanya
kayak gini, Yel?” tanya Sivia tiba-tiba.
Gabriel
mengernyit, tidak paham dengan apa yang dibicarakan gadis ini.
“Patah
hati. Apa yang gue rasain sama seperti yang lo rasain waktu gue jadian sama
Alvin?” imbuhnya detail.
Sudut
bibir Gabriel terangkat. Pemuda itu menganggukkan kepala.
“Tapi
lebih beruntung elo,” kata Gabriel.
“Maksudnya?”
“Waktu
gue patah hati, nggak ada orang yang sengaja dateng buat ngehibur gue,” jawab
Gabriel dengan wajah tengil.
Mau tak
mau Sivia tertawa kembali. Apa yang dikatakan Gabriel jelas tepat dan Sivia mengakuinya.
Meskipun patah hati, ia masih beruntung karena ada pemuda yang sengaja datang
demi membuatnya ceria kembali.
“Lo
cantik kalau lagi ketawa,” ujar Gabriel membungkam tawa Sivia.
“Nah itu
baru gombal,” imbuhnya tanpa dosa.
Sivia
sontak memukul Gabriel hingga pemuda itu meronta meminta ampun. Tak urung
keduanya tertawa bersama.
“Gue
nggak mau ganggu Shilla yang lagi sedih.”
“Hah?”
“Lo tadi
nanya kenapa gue ke sini,” kata Sivia.
Gabriel
membulatkan bibirnya.
“Tapi lo
juga lagi sedih,” balas Gabriel.
“Tapi
ada elo. Shilla butuh Alvin. Dan Ify, Agni, Rio ataupun Cakka nggak ada yang
bisa jadi Alvin.”
Jawaban
itu membuat dada Gabriel berdesir. Itu artinya keberadaan Gabriel di sini bagi
Sivia adalah cukup. Pas. Sesuai takaran untuk mengobati luka gadis ini.
“Gabriel...”
Gabriel
menoleh, “Hm.”
“Terima
kasih.”
Gabriel tersenyum
kemudian mengangguk singkat. Percakapan sederhana. Namun berhasil membawa pemuda
itu merasakan euphoria kebersamaannya dengan Sivia yang telah lama hilang.
***
Bersambung...
Sudah
bisa merasakan endingnya? Mohon maaf kalau ada typo/pemilihan diksi yang tidak
tepat ya. Part terakhir sepertinya akan lama karena belum ngetik sama sekali
haha
Omong-omong,
tulis dong couple favorite kalian siapa (boleh siapa aja termasuk
Cakka-Sivia(?)) dan kenapa. Kasih alasan yang kuat kenapa pasangan pilihan kalian
layak untuk dipertahankan(?)
Ini buat
pertimbangan loh karena semua bisa terjadi berhubung part terakhir memang bena-benar
belum diketik... mohon partisipasinya :p
2 komentar:
Wah ditunggu" lama akhirnya ada kelanjutanya. Kaau untuk memilih cople, sepertinya Rio dan Ify, pasangan yg pas, karakter yang berbeda, tapi mempunyai kesamaan, ify yg simpel pas banget sama Rio yg gak terlalu memakan peran di cerita.
Ini kapan dilanjutnya? Ceritanya keren, dan pemelihan karakter tokohnya real dan sesuai sama kehidupan nyata. Mungkin bagus kalau di ending nya, buat kejutan couple, kayak Cakkka sama Shilla, mungkin?
Posting Komentar