"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 06 Januari 2017

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 25

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hi guys! Long time no see. Mohon maaf sekali karena keasikan ngerjain tugas kuliah segunung jadi melupakan WYHM LoL yang lupa sama jalan ceritanya boleh dibaca lagi part sebelumnya HEHEHE maaf sekali lagi. Btw aku udah baca komentar-komentar kalian! Hehehe tapi untuk di blog ini mohon maaf ya nggak bisa balas. Lansung aja yaaa...


Hope you like it...


25



“Ify... Ify...” Rio menepuk-nepuk pelan pipi gadis yang tengah terlelap. Sontak gadis yang tak lain adalah Ify itu tersadar dari mimpinya.
Are you ok?” tanya Rio.
Ify yang tengah menundukkan kepalanya kemudian mendongak dan menatap tepat pada manik mata Rio. Sesaat gadis itu mendesah lega menyadari bahwa peristiwa yang tak ingin dia ulang hanyalah mimpi.
“Kamu mimpi apa?” tanya Rio sekali lagi.
Gadis itu menggeleng pelan, “Kamu nggak akan ninggalin aku kan, Yo?” tanyanya membuat pemuda di hadapannya mengernyitkan dahi.
“Nanti iya. Kalau beberapa tahun lagi enggak,” jawab Rio dengan mimik wajah serius.
“Maksudnya?”
“Nanti kan aku harus pulang ke rumahku sendiri jadi harus ninggalin kamu. Kalau beberapa tahun lagi aku pulangnya ke rumah kita.”
Bibir Ify mengerucut, di saat seperti ini pemuda itu justru melucu. Rio terkekeh pelan kemudian membelai puncak kepala Ify.
“Sekarang jawab pertanyaan aku. Kamu mimpi apa?” tanya Rio lagi.
“Hm... mimpiin kejadian waktu aku diputusin Ray. Bedanya yang di sana bukan Ray, tapi kamu.”
Rio mengangguk-angguk paham. Pantas saja suara Ify sampai terdengar ke kamar Ozy. Begitu mendengar gadis itu mengigau, Rio langsung meletakkan stick PS-nya dan bergegas ke kamar gadis itu.
“Seandainya suatu saat kamu ngerasa aku terlalu sempurna sampai kamu nggak bisa ngisi apapun di hidup aku—“
“Aku pasti sakit jiwa. Kamu kan cinta mati sama aku,” potong Rio kemudian tertawa terbahak-bahak.
Meskipun sedikit sebal, Ify tak bisa menampik bahwa dia sangat lega dengan ucapan tersebut. Gadis itu mengatur nafasnya pelan. Ray bukan Rio. Dan pilihannya untuk move on ke Rio sudah tepat.
“Kak Rio! Buset dah lu! Baru juga gue tinggal bikin jus buat kita eh malah udah asik di sini. Nggak ngapa-ngapain kan kalian?” ceplos Ozy yang tiba-tiba datang.
“Sori, Zy. Salahin kakak lo nih. Masa tiba-tiba manggil gue? Nahan kangen sebentar aja susah,” balas Rio.
Reflek mata Ify melotot tajam dan tangannya melayang ke lengan Rio hingga pemuda itu meringis. Ozy tergelak.
“Bau-baunya bakal jadi suami takut istri nih,” ledek Ozy.
“Iya. Takut kehilangan,” seloroh Rio.
Ozy melengos, “Sejak lo jadian sama kakak gue kok kayaknya jadi nggak waras sih? Ketularan gilanya Kak Ify ya?”
“Udah ah sana keluar semuanya! Berisik!” dengus Ify.
“Yaudah aku lanjutin main PS dulu ya.”
Rio mengusap pelan puncak kepala gadisnya kemudian berjalan keluar bersama Ozy. Setelah kamarnya kembali sunyi, Ify baru sadar masih mengenakan seragam kabanggaan Budi Karya. Ah, hari ini cukup lelah. Bukan hanya tentang fisik, tapi juga karena memikirkan masalah-masalah yang dialami sahabat-sahabatnya. Untuk itu, sesampainya tadi Ify langsung merebahkan tubuh dan terlelap. Ia bahkan lupa Rio masih di sini.
***
“Kamu kenapa, Shil?”
Shilla tersadar dari lamunannya kemudian menggeleng pelan. Mamanya, wanita itu mengambil tempat disebelah Shilla dan menatap ragu ke arahnya.
“Cerita sama Mama.”
“Aku ngelakuin apa yang Mama lakuin ke Papa,” cicit gadis itu.
“Shilla melepas Gabriel, Ma. Aku... nggak mau berharap lagi karena Gabriel cinta sama cewek lain, bukan sama Shilla,” imbuhnya.
“Gabriel? Kamu jatuh cinta sama Gabriel?” tanya mamanya sedikit kaget.
“Shilla sendiri nggak tahu kenapa harus jatuh cinta sama Gabriel. Dia kasih perhatian yang nggak pernah Shilla dapat dari siapapun, perhatian yang mungkin udah biasa Gabriel bagi ke orang lain, tapi enggak buat Shilla.”
Sesaat wanita di sampingnya itu menahan nafas lalu menghembuskannya perlahan. Sudah berapa lama ia meninggalkan putrinya dalam kesepian? Hanya karena ego semata, ia dan suaminya menelantarkan Shilla. Astaga...
“Mama nangis?”
Wanita itu lantas merengkuh putrinya, “Mama janji akan perhatian sama Shilla. Mama janji nggak akan sibuk lagi. Mama janji akan selalu nemenin Shilla.”
“Mama jangan nangis. Shilla cuma cerita, bukan mau bikin Mama nangis.”
“Bahkan Mama melewatkan banyak hal tentang kamu,” lirih mamanya.
Shilla tak menyahut apa-apa. Sejak perceraian kedua orang tuanya, semuanya justru berubah jadi lebih baik. Papanya masih menghubunginya, terkadang meminta waktu untuk bisa jalan-jalan berdua—sayangnya Shilla belum bisa mengabulkan—mamanya pun sekarang menyadari kesalahannya.
Terlepas dari seluruh kesedihannya, Shilla jadi tahu bahwa tidak akan ada yang sia-sia. Termasuk mengenai keputusannya menghentikan perasaannya untuk Gabriel.
***
Sender: Agni
Jangan bikin semuanya jadi semu. Aku nggak bisa kamu tarik ulur kayak gini.
Hhh... Cakka melepas jaket kulitnya kemudian bersandar pada motor. Sudah dua jam lebih dia menghabiskan waktu di danau ini—tempat The Wanted bermain dulu. Jemari tangannya bergerak memutar-mutar ponsel yang masih menampilkan pesan singkat Agni. Satu setengah jam lalu pesan itu mampir ke ponselnya namun sampai sekarang belum ada niatan untuk membalas.
Runyam. Satu kata yang menggambarkan isi kepala pemuda itu saat ini. Ia butuh seseorang yang seharusnya tidak ia libatkan. Siapa lagi kalau bukan Ify? Dalam keadaan apapun, otak gadis itu masih tetap jernih.
Cakka lantas menghubungi ponsel Ify. Sial, ponsel gadis itu mati. Ia lantas berinisiatif untuk menghubungi Ify melalui telepon rumah.
“Halo, bisa bicara dengan Ify? Ini saya Cakka temennya,” cerocos Cakka tanpa sadar.
“Buset, Kak. Salam dulu bisa kali.”
Cakka menggaruk tengkuknya, ia tahu itu suara Ozy. Pemuda kecil yang dulu sering ditemuinya ketika main ke rumah Ify bersama yang lain. Tepatnya sebelum ia dan The Wanted kembali akur.
“Ify ada, Zy? Gue ada urusan penting nih sama kakak lo.”
“Wah sayang banget. Beberapa menit yang lalu dia keluar tuh.”
“Sama Rio?” tanya Cakka.
“Enggak. Tadi Kak Rio emang ke rumah tapi udah pulang dari tadi. Katanya sih mau belajar gitu di Choc’s Cafe, tapi gue liat dia sendirian sih nggak bareng Kak Via.”
Kali ini Cakka mengernyit mendengar penjelasan Ozy. Kalau tidak bersama Via ataupun Rio, gadis itu belajar bersama siapa?
“Kak Cakka!”
“Eh iya iya. Thanks ya, Ozy. Gue samperin aja kalau gitu,” kata Cakka langsung memutus sambungan telepon secara sepihak.
Baru akan memasukkan ponselnya ke dalam saku, tiba-tiba ponselnya bergetar. Cakka langsung mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa yang sedang menelpon.
“Halo,” ucap Cakka.
“Cak, lo lagi sama Alvin nggak?”
Cakka mengernyit lalu menjauhkan ponselnya dari telinga. Ah, ternyata dari Deva.
“Enggak, Kak. Kenapa?” balasnya.
“Gue pikir sama elo. Bisa minta tolong cariin Alvin? Tadi gue sempet nelpon, tapi kayaknya sinyalnya jelek. Bilangin suruh pulang.”
“Tapi, Kak—“
Please, Cak. Cuma lo nih yang bisa gue mintain tolong. Bokap gue bisa ngamuk kalau Alvin nggak ikut ke acara penting perusahaan.”
Pemuda itu menarik nafas kemudian mengangguk samar, “Dia dimana?”
“Choc’s Cafe.”
“... hm, oke gue ke sana.”
Thanks, Cak!”
Bukankah tadi Ozy bilang kalau Ify sedang berada di Choc’s Cafe? Lalu, Alvin? Dia juga berada di sana. Mereka tidak sengaja berada di tempat yang sama atau... Cakka tidak mau menduga-duga. Pemuda itu menyambar jaket kulitnya dengan cepat kemudian bergegas menuju Choc’s Cafe.
***
Ini sudah yang kesekian kalinya Ify menguap. Di hadapannya, Alvin, pemuda itu masih mengerjakan soal yang ia berikan. Padahal Ify sudah menyempatkan tidur—meskipun harus mimpi buruk—tapi menunggui Alvin selalu membuatnya mengantuk.
Sesekali Alvin melirik Ify kemudian terkikik geli, pemandangan wajah kusut Ify sudah menjadi hal yang biasa baginya. Kemudian wajah kusut itu akan berubah 180 derajat ketika dirinya berhasil menyelesaikan soal yang diberikan Ify padanya. Sumpah, ekspresi gadis itu sangat ‘apa adanya’. Tidak berlebihan, tapi tidak kurang. Sangat pas. Seolah-olah kesabaran Ify dalam menghadapinya—dengan segala sifat menyebalkan—tidak berakhir sia-sia.
“Cokelat lo dingin tuh,” celetuk Alvin.
Ify menoleh pada pemuda yang tampak masih fokus pada buku di depan matanya. Sesaat Ify mendengus lalu menyesap cokelat panas yang dipesannya. Ternyata benar. Sudah dingin. Untungnya masih terasa lezat di lidahnya. Ya, inilah alasan mengapa Ify memilih Choc’s Cafe. Berlama-lama di sini membuatnya betah karena menunya menggugah selera. Yang terpenting, Ify bebas memesan apapun karena Alvin yang akan membayar.
“Sivia masih belum tahu ya kalo kita belajar bareng?” tanya Ify membuka obrolan.
“Ganggu konsentrasi,” interupsi Alvin.
Kembali, Ify mendengus. Alvin memang kurang suka membahas Sivia dalam obrolan mereka. Ify tak paham, tapi mencoba memaklumi karakter ‘langka’ pemuda itu. Mungkin ia takut ditanya macam-macam?
“Udah belum sih? Lama amat,” cibir Ify.
“Sebenernya udah kelar dari sepuluh menit yang lalu kok,” jawab Alvin seraya menyerahkan hasil pekerjaannya.
Mata Ify sontak melotot tajam. Kalau sudah selesai daritadi, kenapa dia betah menatapi buku itu? Kenapa juga Ify sempat dituduh ganggu konsentrasi?
“Untung ini cuma sampai kenaikan kelas. Kalau sampai lulus, bisa mati muda gue,” kata Ify pelan.
Alvin tertawa lepas. Ya, ia mendengar umpatan yang dilontarkan gadis itu padanya. Namun Ify menganggap tawa Alvin sekedar angin yang tak perlu diindahkan. Dia mulai mengoreksi.
“Sip! Bener semua!” seru Ify dengan senyum terkembang.
Tepat seperti dugaan Alvin.
“Ify! Alvin!” seru seseorang tiba-tiba.
Keduanya menoleh kemudian terkejut mendapati Cakka dengan wajah heran. Tanpa meminta ijin, Cakka menarik kursi untuk bergabung bersama mereka.
“Lo kok ada di sini, Cak?” tanya Alvin bingung.
“Kalian... nggak... selingkuh kan?” balas Cakka hati-hati.
Detik itu Ify reflek tertawa terbahak-bahak. Reaksi tersebut membuat Cakka menghela nafas lega, jelas bahwa dugaannya salah.
“Maaf maaf, habisan kalian berduaan gini,” kata Cakka menyurutkan tawa Ify.
“Ya, gue maklum kok,” kekeh Ify.
“Terus lo ada apa nih tiba-tiba muncul di sini?” imbuhnya.
Cakka menepuk dahinya, “Tadinya gue mau nyariin lo, Fy. Kata Ozy kan lo di Choc’s Cafe, terus tiba-tiba Kak Deva telepon gue nyuruh nyariin Alvin di sini juga. Nggak tahunya kalian lagi bareng. Kalian kenapa bisa bareng?”
“Gue disuruh Bu Maryam ngajarin Alvin. Lengkapnya gue ceritain kapan-kapan. Terus lo kenapa disuruh nyari Alvin?”
Sekali lagi, Cakka menepuk dahinya. Pemuda itu beralih pada Alvin yang sedari tadi hanya menyimak dengan wajah datar.
***
Pagi ini ada yang berbeda, seperti ada awan kelabu di atas kepala Alvin sejak pemuda itu menjemputnya di rumah. Sivia mengerucutkan bibirnya, sebal sekali diabaikan. Di mobil pun Alvin lebih banyak diam, tidak menyahuti omongan Sivia, bahkan tidak mengomel meskipun Sivia lebih berisik dari biasanya.
Akhirnya dia memilih untuk ikut diam. Pasangan yang dijuluki fenomenal itu berjalan bersisian dengan jarak yang cukup jauh. Bukan karena sengaja menciptakan jarak, tapi Sivia tak bisa mengimbangi langkah Alvin. Kekasihnya itu berjalan cepat seakan tidak ada orang yang berusaha menyamakan langkah dengannya. Sivia menyerah dan membiarkan Alvin meninggalkannya.
“Woi curut!” seru Cakka dari belakang.
“Lo jelek gue cantik,” latah Sivia membuat Cakka melengos.
“Lo latahnya harus gitu banget ya?” cibir pemuda itu.
Sivia tak berminat meladeni, “Lo tahu nggak Alvin kenapa?”
“Emang dia kenapa?” balas Cakka seraya mengangkat sebelah alisnya.
Sivia mengedikkan bahu, “Aneh. Jadi lebih diem dari biasanya.”
Secara reflek ingatan Cakka berputar pada kejadian di Cafe kemarin. Sejak ia datang, Alvin jadi lebih banyak diam. Bahkan saat ia mengatakan bahwa Deva menyuruhnya pulang, pemuda itu hanya menganggukkan kepala lalu berpamitan.
“Nggak tahu tuh.”
“Terus lo kenapa kayaknya hari ini seneng banget? Giliran gue sedih lo malah ceria gini, dasar nggak setia kawan,” cemooh Sivia yang hanya dibalas dengan juluran lidah oleh Cakka.
“Gue seneng banget soalnyaaaaa...”
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ada yang berseru.
“CAKKA!!!”
Cakka—serta Sivia—lantas menoleh. Mereka mendapati sosok Agni berlari-lari kecil ke arah mereka berdua. Sivia melirik Cakka, ah pantas saja pemuda itu bahagia. Ternyata sudah baikan dengan Agni. Meskipun sebenarnya dia tidak tahu apa masalah Cakka dan Agni, mau tak mau Sivia turut berbahagia.
Morning,” sapa Agni.
Morning princess,” balas Cakka. Tangannya menggapai puncak kepala Agni kemudian mengacak-acak poni gadis itu.
“Buset dah pacaran nggak lihat tempat,” cibir Sivia tapi tak dipedulikan.
Thanks banget ya semalem,” kekeh Agni.
What?! Semalem? Semalem lo berdua ngapain?!” ceplos Sivia.
Agni dan Cakka saling berpandangan dengan ekspresi cengengesan. Selanjutnya mereka berjalan meninggalkan Sivia yang masih melongo di tempatnya.
“EH! EH! SETAN! WOI!”
Sivia berlari untuk menyusul.
***
Ify menyaksikan tingkah konyol Agni dan Cakka dari kejauhan, termasuk saat Sivia diabaikan dan berlari menyusul keduanya. Gadis itu tak sadar bahwa di samping kanan dan kirinya sudah ada Gabriel dan Shilla yang tampak menyelidiki.
“Pasti elo,” kata Gabriel dan Shilla bersamaan.
Ify berjengit dan reflek mengurut dadanya, “Kalian sumpah ya kayak setan. Nggak tahu kapan munculnya.”
“Lo abis ngapain sampai Cakka sama Agni baikan?” tanya Gabriel.
“Emang mereka berantem?” balas Ify polos.
“Ify, please. Mereka kan sempet break,” ceplos Shilla.
Tatapan Ify beralih pada gadis yang kini memakai cardigan ungu, “Sudah gue duga. Lo udah tahu dari awal tapi nggak cerita.”
“Eh—eh maksud g—gue nggak gitu,” elak Shilla.
“Iya gue paham kok. Yang penting sekarang urusan mereka udah kelar, nggak perlu ada yang dikhawatirkan lagi. Justru gue ngekhawatirin lo berdua,” balas Ify membuat Shilla dan Gabriel diam seketika.
“Gue ke Shilla baik-baik aja,” ucap Gabriel seraya tersenyum.
“Bukan... lo ke kami semua, bukan ke Shilla,” ralat Ify.
“Hm, itu... nanti aja kita bahas,” balas Gabriel.
Ify hanya mengangguk kemudian memberi kode bahwa dia harus bergegas ke kelas. Sebenarnya, tak ada hal spesial yang dilakukan Ify untuk membuat Cakka dan Agni kembali seperti biasa. Setidaknya itu bagi dirinya.
***
“Kenapa semalem bisa sampai punya ide bawa anak-anak tim basket ke rumah?” tanya Agni membereskan bola basket yang berserakan.
Cakka terkekeh, “Idenya Ify.”
“Hah? Serius?” balas Agni spontan dengan mata melotot.
Cakka hanya mengangguk lalu ikut memunguti bola basket yang kemudian disimpan ke tempat semula.  “Jadi, kemarin....”
Pemuda itu mulai menceritakan kronologi yang sebenarnya. Pada saat Alvin pulang, Cakka langsung membeberkan tujuannya mencari Ify. Gadis itu diam cukup lama, seperti mencarikan solusi, kemudian memberikan beberapa petuah yang menjadikan Cakka sadar bahwa dia melakukan kesalahan.
“Kalau gue jadi Agni, gue juga bakalan minta kejelasan. Posisi di dalam suatu hubungan tuh penting, supaya kami—kaum hawa—bisa mengatur porsi seberapa dekat kami dengan kaum kalian. Dengan begitu kami tahu mana yang pantas dilakukan, mana yang enggak.”
Saat itu Cakka terpaku. Tidak menyangka bahwa status bisa sepenting itu. Meskipun penyampaian Ify sedikit membuat otak Cakka berputar untuk mencari makna yang lebih sederhana, tapi akhirnya dia paham.
“Terus gue musti gimana?” tanya Cakka frustasi.
“Lo mau putus sama Agni atau tetep sama dia?”
“Gue bingung, Fy. Gue nggak mau putus, tapi kalau tetep gue juga takut seandainya ada kejadian kayak gini lagi. Lo tahu kan betapa berharganya basket buat gue?” balas Cakka retoris.
“Iya. Lo sampai rela dimusuhi Shilla demi tim basket. Tapi, pertanyaan gue bukan soal itu. Gue tanyanya lo mau putus atau tetep sama Agni, Cak?” kata Ify seraya tersenyum.
Cakka menunduk, “Gue bingung.”
“Cakka...” panggil Ify pelan.
“Tetep. Iya gue tetep mau sama Agni,” jawab Cakka yakin.
“Bagus. Yang  berhak nentuin hubungan lo sama Agni cuma kalian sendiri, bukan orang lain apalagi gue ataupun tim basket. Kalau lo mau tetep sama Agni, perjuangin dia.”
“Gue harus ke rumahnya?” tanya Cakka.
“Bukan cuma ke rumah Agni. Gue bilang, perjuangin dia. Kalau lo mau memperjuangkan Agni, tugas lo bukan cuma meyakinkan dia buat tetep berada di samping lo, tapi juga bikin anak-anak tim basket yakin sama kalian. Meskipun kalian pacaran, nggak akan ada yang berubah di tim basket, kalaupun ada berarti itu untuk kemajuan kalian semua.”
Dan setelah cukup lama merenung, akhirnya Cakka mengerti.
“Terima kasih banget, Fy. Harusnya dari awal gue nggak perlu gengsi buat minta solusi dari elo,” kekeh Cakka.
“Sama-sama.”
“Gue anterin pulang ya,” kata pemuda itu.
Ify menggeleng, “Gue bisa naik taksi kok. Lo pasti nggak sabar mau baikan sama Agni lagi kan? Rumah gue sama Agni kan masih sedaerah, nanti lo jadi bolak balik. Gih, keburu dia tidur. Lagian nggak baik gangguin rumah orang malem-malem.”
“Lo kayak cenayang ya. Tahu banget apa yang gue pikirin,” canda Cakka.
Ify tertawa. Tak lama kemudian, tiba-tiba Alvin kembali. Cakka dan Ify nyaris terlonjak ketika pemuda itu datang.
“Lo belum pulang, Vin?” tanya Cakka mengerutkan dahi.
Alvin menggeleng, “Udah selesai kan? Yuk, Fy. Gue anterin pulang.”
“Eh nggak usah, gue bisa naik taksi,” tolak Ify.
“Biasanya kan juga gue anterin. Gue nggak mau dituduh nggak bertanggung jawab. Yuk!” desak Alvin.
Ify melirik Cakka lalu mengangguk.
“Duluan ya, Cak.”
Cerita berakhir. Hanya saja Cakka memotong ceritanya, ia tidak menjabarkan pada Agni bahwa ada Alvin juga di sana. Bukan karena merahasiakan, hanya saja ia merasa itu bukan haknya untuk bercerita. Lagipula Ify dan Alvin merasa itu tidak penting untuk diceritakan.
“Terus habis itu kamu ke rumah anak-anak basket satu persatu?” tebak Agni.
Cakka mengangguk, “Ke anak cowok doang sebenernya, nggak ke anak-anak cewek soalnya gue takut diamukin bokap-bokap mereka, eh malah anak-anak cewek ternyata pada ngumpul di rumah Debo.”
“Udah bilang makasih ke Ify?” tanya Agni.
“Udah dong. Gue nelpon tengah malem, dia cuma nyahutin ‘ya...ya...ya...’ dan gue masih nggak tahu diri—“
“Pasti nggak sadar lagi gangguin orang tidur,” kekeh Agni.
Cakka ikut terkekeh. Memang begitu. Saat Ify sudah tidak menyahuti lagi barulah dia sadar bahwa dia sudah mengacau jadwal tidur orang lain.
***
Kening Shilla mengernyit kala menyadari manusia di sampingnya hanya melamun selama pelajaran. Alvin. Pemuda itu lebih banyak diam. Mendadak Shilla meringis, rasanya sudah lama sekali ia dan Alvin jadi ‘jauh’ apalagi sejak cowok itu jadian dengan Sivia. Bodohnya, setiap kali Shilla mengingat kenyataan itu maka yang timbul adalah rindu yang sangat dalam. Rindu yang tak berguna karena tidak akan mengubah apa-apa.
“Baiklah, pelajaran hari ini saya cukupkan sampai di sini. Kalian semua boleh istirahat.”
Shilla memandang ke depan dimana guru yang barusan mengajar sudah melangkahkan kaki keluar kelas. Detik berikutnya, Alvin berdiri dan berjalan keluar tanpa berucap sepatah katapun.
“Alvin mau ke mana?” celetuk Rio.
“Shil, Alvin ke mana?” kali ini suara Gabriel.
Dan Shilla, gadis itu hanya mampu menggelengkan kepala. Bibirnya masih terkatup rapat seraya memandangi punggung Alvin yang menghilang di balik pintu kelas.
Di lain sisi objek yang tengah dibicarakan berinisiatif mengurung diri di rooftop. Tempat yang dulu seringkali dikunjungi Rio. Entah mengapa saat ini Alvin merasa membutuhkan tempat Rio itu.
Ada banyak beban di kepalanya. Beban yang selama ini tak pernah ia bagi pada siapapun. Hanya saja, ada satu hal yang mengganggu sejak semalam. Semakin lama ia simpan, beban itu semakin menyakitkan. Maka dari itu, Alvin meyakinkan diri untuk menuntaskannya hari ini. Ia harus siap dengan segala resiko yang diterimanya, sekalipun seluruh dunia akan membencinya.
Semilir angin mulai menggoyang setiap helai rambut Alvin yang sudah memanjang. Ia lupa memangkas rambut—mungkin juga melupakan. Damai. Seperti kata Rio, tempat ini memang membuat orang yang berada di sini merasa sedikit tenang.
Daridulu Alvin terbiasa menyimpan semuanya sendiri. Saat ia merasa takut naik sepeda lagi setelah terjatuh di sungai, saat ia menangis karena mamanya meninggal, saat ia marah pada Deva yang meninggalkannya, saat ia  jatuh cinta pada Shilla, dan semuanya. Hanya saja dulu terasa mudah untuk menyembunyikan segalanya.
***
“Yel, Sivia...” bisik Shilla.
Gabriel menoleh kemudian mengikuti arah pandang Shilla. Ya, Sivia. Gadis itu tampak sedang badmood. Mungkin karena Alvin menghilang tiba-tiba. Hari ini Alvin memang terlihat lebih aneh daripada biasanya.
“Kayaknya kita nggak pernah ngumpul lengkap lagi ya. Selalu aja ada yang ngilang,” celetuk Rio.
Gabriel, Shilla, Agni dan Cakka yang sempat menghilang di hari-hari kemarin pun menggaruk tengkuk yang tak gatal sama sekali seraya meringis. Sivia tak menanggapi, ia masih sibuk mengaduk-aduk es jeruknya. Sementara itu Ify seperti tenggelam memikirkan sesuatu.
“Yang kemarin-kemarin jangan dibahas lagi dong. Ini aja bahas yang baru. Si Alvin ke mana tuh?” balas Cakka.
Rio mengedikkan bahunya.
“Mungkin dia lagi ada problem sama bokapnya atau sama Kak Deva?” seloroh Gabriel mengingat selama ini masalah Alvin memang seringkali berkaitan dengan keluarga.
“Mending nanya ceweknya,” seloroh Agni.
Semua mata pun reflek memandang ke arah Sivia. Gadis itu merasakan semua pasang mata menatapnya penuh harap.
“Gue juga nggak tahu,” dengus Sivia.
“Yaudahlah biarin. Kayak kalian nggak pernah ngilang tiba-tiba sambil nyembunyiin sesuatu. Kalian aja butuh waktu sendiri, Alvin juga lah,” seloroh Ify yang sedari tadi diam.
Merasa tersindir, akhirnya mereka memutuskan tidak membahas apa-apa tentang Alvin. Sivia menghela nafas panjang kemudian mencoba berfikir jernih, mungkin apa yang dikatakan Ify benar. Alvin butuh waktu sendiri, tidak harus selalu dengannya.
***
Sampai sekolah berakhir, Alvin masih belum kembali. Tak ada yang tahu pemuda itu dimana. Shilla menatap kursi di sebelahnya setelah memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Kosong. Sekosong pikirannya saat ini. Mengapa mendadak ia jadi mencemaskan Alvin? Ada apa dengan sahabatnya itu? Pemuda itu tidak pernah menghilang secara tiba-tiba seperti ini.
Di sisi lain, Sivia sama cemasnya. Ify yang memperhatikan sedari tadi jadi ikut prihatin. Maklumlah, tidak ada angin ataupun hujan tiba-tiba Alvin bersikap aneh.
Drrrttt... drrrttt... dddrrrttt...
Ponsel Sivia bergetar, menandakan sebuah pesan singkat telah diterima. Mata sipit itu bergerak melirik ke arah ponsel, berharap ada kabar dari Alvin. Ah! Sivia berseru ketika harapannya terkabul. Pesan itu memang dari Alvin.
From: Alvin
Sivia, ke parkiran sekarang ya. Aku mau bicara
“Fy, gue duluan nggak pa-pa kan? Ditunggu Alvin nih,” ceplos Sivia.
Ify hanya menganggukkan kepala, Sivia pun bergegas meninggalkan Ify sendiri di dalam kelas. Ya, sendiri, sebab teman-teman lainnya sudah pulang ketika bel berbunyi. Hah... setidaknya Ify sedikit lega karena Alvin kembali berkomunikasi dengan sahabatnya.
Detik selanjutnya gadis itu menepuk dahinya sendiri. Ia lupa kalau ada janji dengan Gabriel dan Shilla. Buru-buru dia meraih backpack-nya lantas menuju kelas Gabriel dan Shilla.
“IFYY!”
Langkah Ify terhenti. Ternyata Gabriel dan Shilla sudah menunggu di depan kelas, entah sejak kapan.
“Kalian di sini daritadi? Kenapa nggak masuk?” tanya Ify.
Gabriel mengangguk, “Sengaja nunggu lo keluar.”
“Bohong tuh! Nggak kuat dia lihat Sivia, takut terpesona. Jadinya ngumpet,” sahut Shilla dengan nada meledek.
Reflek Gabriel mencubit pinggang Shilla. “Jangan asal nyeplos, Neng.”
“Oh... jadi nambah orang nih yang tahu rahasia lo?” kekeh Ify.
“Gitu deh,” sahut Gabriel pendek.
“Omong-omong, Rio mana?” tanya Ify.
“Dia kan tadi langsung pulang waktu ada bel. Emang nggak ngabarin lo dulu? Soalnya dia juga nggak bilang apa-apa,” jawab Shilla.
Ify mengangguk-angguk, “Tadi pagi dia emang bilang nggak bisa bareng sih pulangnya. Gue pikir karna ada kegiatan apa gitu.”
“Hm, ngapa jadi ngomongin Rio ya?” imbuh Ify dengan bergumam.
Gabriel dan Shilla mendengus, bukankah tadi Ify duluan yang membahas Rio?
“Terus, kalian mau cerita apa nih?”
***
Sivia dengan cardigan hitamnya berjalan mencari-cari sosok Alvin di parkiran. Meski sudah banyak siswa yang pulang, masih ada beberapa mobil yang  terparkir, salah satunya adalah mobil Alvin. Mobil yang ditumpanginya tadi pagi. Namun pemiliknya entah ada dimana.
Beberapa saat kemudian sosok yang dicari-cari akhirnya menampakkan diri dari belakang mobil. Pantas saja Sivia tidak melihatnya.
“Pulang sekarang?” tanya Sivia dengan senyum terkembang.
Alvin, pemuda itu tampak menghisap oksigen kuat-kuat kemudian dihembuskan perlahan melalui bibir. Sivia mengernyit, ia merasa Alvin-nya belum kembali.
“Kita perlu bicara,” kata pemuda itu lantas masuk ke dalam mobil. Sivia mengikuti.
“Kamu mau ngomong apa?” tanya Sivia.
Alvin diam cukup lama, Sivia sendiri masih menanti-nanti apa yang akan dikatakan pemuda itu padanya. Sesaat nafasnya tercekat ketika bola mata legam itu tak sengaja menangkap pemandangan ganjal di dalam mobil Alvin.
“Kamu ngerokok?” tanya Sivia pelan tanpa mengalihkan arah pandangnya pada sekotak rokok yang disimpan Alvin di atas dashboard.
Tak ada reaksi, Alvin masih bungkam. Sampai akhirnya pemuda itu membuka mulut, bukan untuk menjawab pertanyaan terakhir Sivia barusan, melainkan pertanyaan pertama ketika keduanya berada di dalam mobil. Lelaki itu mengucapkan kalimat yang tak pernah terlintas di otak Sivia. Sedikitpun.
“Gue mau putus.”
***
Ify terpaku mendengar penuturan Shilla beberapa saat lalu. Jadi, ini yang menjadikan mereka berdua sering menghilang bersamaan? Meskipun sejujurnya Ify sudah curiga dengan tingkah laku Shilla, tetap saja ia terkejut mendengar kenyataan tersebut. Bahwa Shilla mencintai Gabriel, disaat pemuda itu mencintai sahabatnya—Sivia. Ify tahu pasti hati Shilla teramat sakit, tercabik-cabik, atau bahkan sudah tak berbentuk.
But, everything is ok. Nggak ada yang berubah dari gue sama Gabriel. Kami tetep sahabatan kayak dulu, nggak sungkan atau jauh-jauhan cuma karna masalah kecil ini,” ujar Shilla.
“Lo inget, Fy? Waktu lo bilang kalau elo nggak sesempurna yang Ray atau  mungkin orang lain lihat karena lo punya sisi lemah?” tanya Shilla yang hanya diangguki oleh Ify.
“Setiap manusia emang punya sisi lemah, Fy. Tapi, bedanya, lo nggak nunjukin itu ke orang lain. Lo selalu membuat orang lain melihat kesempurnaan lo, bukan kelemahan. Dan itu jadi pelajaran tersendiri buat gue.
“Apapun yang ada di pikiran lo setelah gue cerita soal tadi, semuanya benar. Tapi gue mau kayak elo. Gue mau orang lain melihat Shilla yang sempurna, bukan Shilla yang lemah.”
Sudut bibir Ify terangkat perlahan.
“Tanpa kayak gue pun, gue tahu kalau lo sangat kuat,” lirih Ify lantas memeluk Shilla dengan erat.
Gabriel yang sedari tadi menyimak ikut larut dalam suasana. Diam-diam ia terharu karena Shilla yang dikenalnya saat pertama kali dan sekarang—yang berada di hadapannya—sangat jauh berbeda. Tak usah ditanya betapa semakin cantiknya gadis ini. Selain itu, sifat buruknya memudar. Yang dulu begitu anti sosial, manja, perfeksionis dan tidak mau kalah digantikan dengan sifat supel, royal, mandiri dan jauh lebih dewasa. Hanya saja semua itu tak cukup membuat lelaki seperti dirinya dapat jatuh cinta pada Shilla. Sebab hati Gabriel masih utuh untuk Sivia.
“Aduh sampai lupa kalau ada Gabriel,” celetuk Ify membuyarkan lamunannya.
Gabriel terkikik kemudian mengacak-acak kedua puncak kepala gadis-gadis di hadapannya secara bersamaan. Ify dan Shilla dengan kompak membalas perbuatan Gabriel hingga membuat pemuda itu kualahan.
“Aduh aduh ampun ampun,” ronta Gabriel berusaha melepaskan diri.
“Makanya jangan macam-macam sama kita,” seloroh Shilla.
“Dasar duo macan,” cibir Gabriel.
Selanjutnya Gabriel dan Ify sibuk beradu mulut karena gadis itu tak terima dikatai macan. Shilla memilih untuk menjadi penonton, gadis itu tertawa puas menyaksikan Gabriel dan Ify saling meledek hingga membawa-bawa status. Beruntung Shilla tidak ikutan karena pasti dia kena juga berhubung statusnya sama seperti Gabriel, cinta bertepuk sebelah tangan.
Tanpa sengaja Shilla melihat seorang gadis mengenakan cardigan hitam tengah berlari dari arah parkiran. Mata Shilla membulat sempurna begitu ia mengetahui siapa sosok tersebut.
“Eh guys! Itu Sivia kan?!” serunya.
Sontak Gabriel dan Ify berhenti bertengkar.
“Mana?” tanya Gabriel.
“Ituuuuuuu!” jawab Shilla penuh penekanan seraya menunjuk ke suatu arah.
“Loh bukannya dia udah pulang sama Alvin?” gumam Ify untuk dirinya sendiri.
“Kok kayak nangis?” tanya Shilla.
“Samperinnn!!!” seru Gabriel lebih dulu bereaksi.
Mereka bertiga lantas berlari untuk mengejar gadis yang tak lain adalah Sivia.
***
“Pu—pu...tus?” sahut Sivia terbata-bata.
Alvin menganggukkan kepalanya. Detik selanjutnya tangan Sivia bergerak menarik tangan Alvin, akan tetapi pemuda itu menarik tangannya.
“Kenapa, Vin?” tanya Sivia sangat lirih.
“Gue nggak mau nyakitin lo lebih lama lagi. Maafin gue, Sivia. Gue bener-bener nggak bisa mencintai lo sepenuh hati seperti lo mencintai gue. Maaf. Maaf. Maaf.”
Tak ada reaksi. Sivia masih mencerna ucapan Alvin disaat kepalanya sudah tak bisa diajak berpikir jernih. Yang ada sekarang hanya kekecewaan. Rasanya sangat pahit.
“Kalau lo nggak cinta sama gue, terus kenapa lo nembak gue? Kenapa lo bikin gue menyangka harapan gue bukan sekedar harapan? Kenapa seolah-olah lo mewujudkan mimpi gue, Vin?” racau Sivia. Ia bahkan tak menggunakan ‘aku-kamu’ lagi seperti yang dilakukan Alvin.
Alvin menutup wajahnya. Dari awal ia sudah salah mengambil langkah, seharusnya ia tak perlu melibatkan Sivia—bahkan sejauh ini. Tapi, yang dilakukannya adalah untuk Shilla semata.
“Karena gue pikir lo bisa bikin gue jatuh cinta,” kata Alvin putus asa.
Ia tak mungkin mengatakan bahwa dia sengaja mendekati Sivia supaya Gabriel tidak bisa mendekati gadis itu lagi, lalu Shilla tak perlu cemburu. Ia juga tak mungkin mengatakan bahwa saat ini ia justru merasakan hal lain. Tidak. Itu sama saja ia akan semakin membuat gadis baik ini terluka.
Di lain sisi, Sivia tersenyum miris. Matanya sudah siap memproduksi ribuan air mata. Hanya saja, ia masih menahan supaya cairan bening itu tak keluar di hadapan orang yang telah mematahkan hatinya. Sekarang ia tahu rasanya menjadi Ify ketika Ray meninggalkannya dengan alasan menyakitkan. Seperti ini.
Sivia meremas kedua tali ranselnya dengan kuat. Sehebat apapun gadis itu menahan air mata, tetap saja mereka sudah berada di pelupuk mata dan mengalir perlahan. Satu tetes... dua tetes... tiga tetes... sampai akhirnya ia tak dapat menghitung sudah berapa banyak tetes air mata yang membanjiri wajahnya.
“Gue benci elo, Vin. Gue benci banget sama elo!” seru Sivia pilu.
Gadis itu keluar dari mobil Alvin dan berlari entah kemana. Ia tak tahu, tak punya tujuan akan pergi ke mana. Yang jelas tak ingin melihat wajah pemuda sialan itu. Bodohnya, Sivia masih berharap Alvin akan mengejarnya, mencegahnya pergi lalu mengatakan bahwa dia hanya sedang berakting. Semuanya hanya halusinasi Sivia saja karena pikirannya sedang kacau. Selanjutnya, semuanya hanya sekedar harapan. Alvin memang tak pernah membuat harapannya menjadi nyata.

***
Bersambung...
Omong-omong, ini sudah mau ending loh. Mungkin kurang 1 atau 2 part lagi (ah lama ngilang tau-tau mau kelar wkwk) mohon maaf kalau ada typo/pemilihan diksi yang nggak enak dibaca. Ngebut banget soalnya. Sampai jumpa di part berikuttnya!

0 komentar:

Posting Komentar