Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Hi guys! Long time no see. Mohon maaf sekali karena keasikan ngerjain tugas kuliah segunung jadi melupakan WYHM LoL yang lupa sama jalan ceritanya boleh dibaca lagi part sebelumnya HEHEHE maaf sekali lagi. Btw aku udah baca komentar-komentar kalian! Hehehe tapi untuk di blog ini mohon maaf ya nggak bisa balas. Lansung aja yaaa...
Hope you like it...
25
“Ify...
Ify...” Rio menepuk-nepuk pelan pipi gadis yang tengah terlelap. Sontak gadis
yang tak lain adalah Ify itu tersadar dari mimpinya.
“Are you ok?” tanya Rio.
Ify yang
tengah menundukkan kepalanya kemudian mendongak dan menatap tepat pada manik
mata Rio. Sesaat gadis itu mendesah lega menyadari bahwa peristiwa yang tak
ingin dia ulang hanyalah mimpi.
“Kamu
mimpi apa?” tanya Rio sekali lagi.
Gadis
itu menggeleng pelan, “Kamu nggak akan ninggalin aku kan, Yo?” tanyanya membuat
pemuda di hadapannya mengernyitkan dahi.
“Nanti
iya. Kalau beberapa tahun lagi enggak,” jawab Rio dengan mimik wajah serius.
“Maksudnya?”
“Nanti
kan aku harus pulang ke rumahku sendiri jadi harus ninggalin kamu. Kalau
beberapa tahun lagi aku pulangnya ke rumah kita.”
Bibir
Ify mengerucut, di saat seperti ini pemuda itu justru melucu. Rio terkekeh
pelan kemudian membelai puncak kepala Ify.
“Sekarang
jawab pertanyaan aku. Kamu mimpi apa?” tanya Rio lagi.
“Hm...
mimpiin kejadian waktu aku diputusin Ray. Bedanya yang di sana bukan Ray, tapi
kamu.”
Rio
mengangguk-angguk paham. Pantas saja suara Ify sampai terdengar ke kamar Ozy.
Begitu mendengar gadis itu mengigau, Rio langsung meletakkan stick PS-nya dan bergegas ke kamar
gadis itu.
“Seandainya
suatu saat kamu ngerasa aku terlalu sempurna sampai kamu nggak bisa ngisi
apapun di hidup aku—“
“Aku
pasti sakit jiwa. Kamu kan cinta mati sama aku,” potong Rio kemudian tertawa
terbahak-bahak.
Meskipun
sedikit sebal, Ify tak bisa menampik bahwa dia sangat lega dengan ucapan
tersebut. Gadis itu mengatur nafasnya pelan. Ray bukan Rio. Dan pilihannya untuk
move on ke Rio sudah tepat.
“Kak
Rio! Buset dah lu! Baru juga gue tinggal bikin jus buat kita eh malah udah asik
di sini. Nggak ngapa-ngapain kan kalian?” ceplos Ozy yang tiba-tiba datang.
“Sori,
Zy. Salahin kakak lo nih. Masa tiba-tiba manggil gue? Nahan kangen sebentar aja
susah,” balas Rio.
Reflek
mata Ify melotot tajam dan tangannya melayang ke lengan Rio hingga pemuda itu
meringis. Ozy tergelak.
“Bau-baunya
bakal jadi suami takut istri nih,” ledek Ozy.
“Iya.
Takut kehilangan,” seloroh Rio.
Ozy
melengos, “Sejak lo jadian sama kakak gue kok kayaknya jadi nggak waras sih?
Ketularan gilanya Kak Ify ya?”
“Yaudah
aku lanjutin main PS dulu ya.”
Rio
mengusap pelan puncak kepala gadisnya kemudian berjalan keluar bersama Ozy.
Setelah kamarnya kembali sunyi, Ify baru sadar masih mengenakan seragam
kabanggaan Budi Karya. Ah, hari ini cukup lelah. Bukan hanya tentang fisik,
tapi juga karena memikirkan masalah-masalah yang dialami sahabat-sahabatnya.
Untuk itu, sesampainya tadi Ify langsung merebahkan tubuh dan terlelap. Ia
bahkan lupa Rio masih di sini.
***
“Kamu
kenapa, Shil?”
Shilla
tersadar dari lamunannya kemudian menggeleng pelan. Mamanya, wanita itu
mengambil tempat disebelah Shilla dan menatap ragu ke arahnya.
“Cerita
sama Mama.”
“Aku
ngelakuin apa yang Mama lakuin ke Papa,” cicit gadis itu.
“Shilla
melepas Gabriel, Ma. Aku... nggak mau berharap lagi karena Gabriel cinta sama
cewek lain, bukan sama Shilla,” imbuhnya.
“Gabriel?
Kamu jatuh cinta sama Gabriel?” tanya mamanya sedikit kaget.
“Shilla
sendiri nggak tahu kenapa harus jatuh cinta sama Gabriel. Dia kasih perhatian
yang nggak pernah Shilla dapat dari siapapun, perhatian yang mungkin udah biasa
Gabriel bagi ke orang lain, tapi enggak buat Shilla.”
Sesaat
wanita di sampingnya itu menahan nafas lalu menghembuskannya perlahan. Sudah
berapa lama ia meninggalkan putrinya dalam kesepian? Hanya karena ego semata,
ia dan suaminya menelantarkan Shilla. Astaga...
“Mama
nangis?”
Wanita
itu lantas merengkuh putrinya, “Mama janji akan perhatian sama Shilla. Mama
janji nggak akan sibuk lagi. Mama janji akan selalu nemenin Shilla.”
“Mama
jangan nangis. Shilla cuma cerita, bukan mau bikin Mama nangis.”
“Bahkan
Mama melewatkan banyak hal tentang kamu,” lirih mamanya.
Shilla
tak menyahut apa-apa. Sejak perceraian kedua orang tuanya, semuanya justru
berubah jadi lebih baik. Papanya masih menghubunginya, terkadang meminta waktu
untuk bisa jalan-jalan berdua—sayangnya Shilla belum bisa mengabulkan—mamanya
pun sekarang menyadari kesalahannya.
Terlepas
dari seluruh kesedihannya, Shilla jadi tahu bahwa tidak akan ada yang sia-sia.
Termasuk mengenai keputusannya menghentikan perasaannya untuk Gabriel.
***
Sender: Agni
Jangan bikin semuanya jadi semu. Aku nggak bisa
kamu tarik ulur kayak gini.
Hhh...
Cakka melepas jaket kulitnya kemudian bersandar pada motor. Sudah dua jam lebih
dia menghabiskan waktu di danau ini—tempat The Wanted bermain dulu. Jemari
tangannya bergerak memutar-mutar ponsel yang masih menampilkan pesan singkat
Agni. Satu setengah jam lalu pesan itu mampir ke ponselnya namun sampai
sekarang belum ada niatan untuk membalas.
Runyam.
Satu kata yang menggambarkan isi kepala pemuda itu saat ini. Ia butuh seseorang
yang seharusnya tidak ia libatkan. Siapa lagi kalau bukan Ify? Dalam keadaan
apapun, otak gadis itu masih tetap jernih.
Cakka
lantas menghubungi ponsel Ify. Sial, ponsel gadis itu mati. Ia lantas berinisiatif
untuk menghubungi Ify melalui telepon rumah.
“Halo,
bisa bicara dengan Ify? Ini saya Cakka temennya,” cerocos Cakka tanpa sadar.
“Buset, Kak. Salam dulu bisa kali.”
Cakka
menggaruk tengkuknya, ia tahu itu suara Ozy. Pemuda kecil yang dulu sering ditemuinya
ketika main ke rumah Ify bersama yang lain. Tepatnya sebelum ia dan The Wanted
kembali akur.
“Ify
ada, Zy? Gue ada urusan penting nih sama kakak lo.”
“Wah sayang banget. Beberapa menit yang lalu
dia keluar tuh.”
“Sama
Rio?” tanya Cakka.
“Enggak. Tadi Kak Rio emang ke rumah tapi udah
pulang dari tadi. Katanya sih mau belajar gitu di Choc’s Cafe, tapi gue liat
dia sendirian sih nggak bareng Kak Via.”
Kali ini
Cakka mengernyit mendengar penjelasan Ozy. Kalau tidak bersama Via ataupun Rio,
gadis itu belajar bersama siapa?
“Kak Cakka!”
“Eh iya
iya. Thanks ya, Ozy. Gue samperin aja
kalau gitu,” kata Cakka langsung memutus sambungan telepon secara sepihak.
Baru
akan memasukkan ponselnya ke dalam saku, tiba-tiba ponselnya bergetar. Cakka
langsung mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa yang sedang menelpon.
“Halo,”
ucap Cakka.
“Cak, lo lagi sama Alvin nggak?”
Cakka
mengernyit lalu menjauhkan ponselnya dari telinga. Ah, ternyata dari Deva.
“Enggak,
Kak. Kenapa?” balasnya.
“Gue pikir sama elo. Bisa minta tolong cariin
Alvin? Tadi gue sempet nelpon, tapi kayaknya sinyalnya jelek. Bilangin suruh
pulang.”
“Tapi,
Kak—“
“Please, Cak. Cuma lo nih yang bisa gue mintain
tolong. Bokap gue bisa ngamuk kalau Alvin nggak ikut ke acara penting
perusahaan.”
Pemuda
itu menarik nafas kemudian mengangguk samar, “Dia dimana?”
“Choc’s Cafe.”
“... hm,
oke gue ke sana.”
“Thanks, Cak!”
Bukankah
tadi Ozy bilang kalau Ify sedang berada di Choc’s Cafe? Lalu, Alvin? Dia juga
berada di sana. Mereka tidak sengaja berada di tempat yang sama atau... Cakka
tidak mau menduga-duga. Pemuda itu menyambar jaket kulitnya dengan cepat
kemudian bergegas menuju Choc’s Cafe.
***
Ini
sudah yang kesekian kalinya Ify menguap. Di hadapannya, Alvin, pemuda itu masih
mengerjakan soal yang ia berikan. Padahal Ify sudah menyempatkan tidur—meskipun
harus mimpi buruk—tapi menunggui Alvin selalu membuatnya mengantuk.
Sesekali
Alvin melirik Ify kemudian terkikik geli, pemandangan wajah kusut Ify sudah
menjadi hal yang biasa baginya. Kemudian wajah kusut itu akan berubah 180
derajat ketika dirinya berhasil menyelesaikan soal yang diberikan Ify padanya.
Sumpah, ekspresi gadis itu sangat ‘apa adanya’. Tidak berlebihan, tapi tidak
kurang. Sangat pas. Seolah-olah kesabaran Ify dalam menghadapinya—dengan segala
sifat menyebalkan—tidak berakhir sia-sia.
“Cokelat
lo dingin tuh,” celetuk Alvin.
Ify
menoleh pada pemuda yang tampak masih fokus pada buku di depan matanya. Sesaat
Ify mendengus lalu menyesap cokelat panas yang dipesannya. Ternyata benar.
Sudah dingin. Untungnya masih terasa lezat di lidahnya. Ya, inilah alasan
mengapa Ify memilih Choc’s Cafe. Berlama-lama di sini membuatnya betah karena
menunya menggugah selera. Yang terpenting, Ify bebas memesan apapun karena
Alvin yang akan membayar.
“Sivia
masih belum tahu ya kalo kita belajar bareng?” tanya Ify membuka obrolan.
“Ganggu
konsentrasi,” interupsi Alvin.
Kembali,
Ify mendengus. Alvin memang kurang suka membahas Sivia dalam obrolan mereka.
Ify tak paham, tapi mencoba memaklumi karakter ‘langka’ pemuda itu. Mungkin ia
takut ditanya macam-macam?
“Udah
belum sih? Lama amat,” cibir Ify.
“Sebenernya
udah kelar dari sepuluh menit yang lalu kok,” jawab Alvin seraya menyerahkan
hasil pekerjaannya.
Mata Ify
sontak melotot tajam. Kalau sudah selesai daritadi, kenapa dia betah menatapi
buku itu? Kenapa juga Ify sempat dituduh ganggu konsentrasi?
“Untung
ini cuma sampai kenaikan kelas. Kalau sampai lulus, bisa mati muda gue,” kata
Ify pelan.
Alvin
tertawa lepas. Ya, ia mendengar umpatan yang dilontarkan gadis itu padanya. Namun
Ify menganggap tawa Alvin sekedar angin yang tak perlu diindahkan. Dia mulai
mengoreksi.
“Sip!
Bener semua!” seru Ify dengan senyum terkembang.
Tepat
seperti dugaan Alvin.
“Ify!
Alvin!” seru seseorang tiba-tiba.
Keduanya
menoleh kemudian terkejut mendapati Cakka dengan wajah heran. Tanpa meminta
ijin, Cakka menarik kursi untuk bergabung bersama mereka.
“Lo kok
ada di sini, Cak?” tanya Alvin bingung.
“Kalian...
nggak... selingkuh kan?” balas Cakka hati-hati.
Detik
itu Ify reflek tertawa terbahak-bahak. Reaksi tersebut membuat Cakka menghela
nafas lega, jelas bahwa dugaannya salah.
“Maaf
maaf, habisan kalian berduaan gini,” kata Cakka menyurutkan tawa Ify.
“Ya, gue
maklum kok,” kekeh Ify.
“Terus
lo ada apa nih tiba-tiba muncul di sini?” imbuhnya.
Cakka
menepuk dahinya, “Tadinya gue mau nyariin lo, Fy. Kata Ozy kan lo di Choc’s
Cafe, terus tiba-tiba Kak Deva telepon gue nyuruh nyariin Alvin di sini juga.
Nggak tahunya kalian lagi bareng. Kalian kenapa bisa bareng?”
“Gue
disuruh Bu Maryam ngajarin Alvin. Lengkapnya gue ceritain kapan-kapan. Terus lo
kenapa disuruh nyari Alvin?”
Sekali
lagi, Cakka menepuk dahinya. Pemuda itu beralih pada Alvin yang sedari tadi
hanya menyimak dengan wajah datar.
***
Pagi ini
ada yang berbeda, seperti ada awan kelabu di atas kepala Alvin sejak pemuda itu
menjemputnya di rumah. Sivia mengerucutkan bibirnya, sebal sekali diabaikan. Di
mobil pun Alvin lebih banyak diam, tidak menyahuti omongan Sivia, bahkan tidak
mengomel meskipun Sivia lebih berisik dari biasanya.
Akhirnya
dia memilih untuk ikut diam. Pasangan yang dijuluki fenomenal itu berjalan
bersisian dengan jarak yang cukup jauh. Bukan karena sengaja menciptakan jarak,
tapi Sivia tak bisa mengimbangi langkah Alvin. Kekasihnya itu berjalan cepat
seakan tidak ada orang yang berusaha menyamakan langkah dengannya. Sivia
menyerah dan membiarkan Alvin meninggalkannya.
“Woi
curut!” seru Cakka dari belakang.
“Lo
jelek gue cantik,” latah Sivia membuat Cakka melengos.
“Lo
latahnya harus gitu banget ya?” cibir pemuda itu.
Sivia tak
berminat meladeni, “Lo tahu nggak Alvin kenapa?”
“Emang
dia kenapa?” balas Cakka seraya mengangkat sebelah alisnya.
Sivia
mengedikkan bahu, “Aneh. Jadi lebih diem dari biasanya.”
Secara
reflek ingatan Cakka berputar pada kejadian di Cafe kemarin. Sejak ia datang,
Alvin jadi lebih banyak diam. Bahkan saat ia mengatakan bahwa Deva menyuruhnya
pulang, pemuda itu hanya menganggukkan kepala lalu berpamitan.
“Nggak
tahu tuh.”
“Terus
lo kenapa kayaknya hari ini seneng banget? Giliran gue sedih lo malah ceria gini,
dasar nggak setia kawan,” cemooh Sivia yang hanya dibalas dengan juluran lidah
oleh Cakka.
“Gue
seneng banget soalnyaaaaa...”
Belum
sempat menyelesaikan kalimatnya, ada yang berseru.
“CAKKA!!!”
Cakka—serta
Sivia—lantas menoleh. Mereka mendapati sosok Agni berlari-lari kecil ke arah
mereka berdua. Sivia melirik Cakka, ah pantas saja pemuda itu bahagia. Ternyata
sudah baikan dengan Agni. Meskipun sebenarnya dia tidak tahu apa masalah Cakka
dan Agni, mau tak mau Sivia turut berbahagia.
“Morning,” sapa Agni.
“Morning princess,” balas Cakka.
Tangannya menggapai puncak kepala Agni kemudian mengacak-acak poni gadis itu.
“Buset
dah pacaran nggak lihat tempat,” cibir Sivia tapi tak dipedulikan.
“Thanks banget ya semalem,” kekeh Agni.
“What?! Semalem? Semalem lo berdua
ngapain?!” ceplos Sivia.
Agni dan
Cakka saling berpandangan dengan ekspresi cengengesan. Selanjutnya mereka
berjalan meninggalkan Sivia yang masih melongo di tempatnya.
“EH! EH!
SETAN! WOI!”
Sivia
berlari untuk menyusul.
***
Ify
menyaksikan tingkah konyol Agni dan Cakka dari kejauhan, termasuk saat Sivia
diabaikan dan berlari menyusul keduanya. Gadis itu tak sadar bahwa di samping
kanan dan kirinya sudah ada Gabriel dan Shilla yang tampak menyelidiki.
“Pasti
elo,” kata Gabriel dan Shilla bersamaan.
Ify
berjengit dan reflek mengurut dadanya, “Kalian sumpah ya kayak setan. Nggak
tahu kapan munculnya.”
“Lo abis
ngapain sampai Cakka sama Agni baikan?” tanya Gabriel.
“Emang
mereka berantem?” balas Ify polos.
“Ify, please. Mereka kan sempet break,” ceplos Shilla.
Tatapan
Ify beralih pada gadis yang kini memakai cardigan ungu, “Sudah gue duga. Lo
udah tahu dari awal tapi nggak cerita.”
“Eh—eh
maksud g—gue nggak gitu,” elak Shilla.
“Iya gue
paham kok. Yang penting sekarang urusan mereka udah kelar, nggak perlu ada yang
dikhawatirkan lagi. Justru gue ngekhawatirin lo berdua,” balas Ify membuat
Shilla dan Gabriel diam seketika.
“Gue ke
Shilla baik-baik aja,” ucap Gabriel seraya tersenyum.
“Bukan...
lo ke kami semua, bukan ke Shilla,” ralat Ify.
“Hm,
itu... nanti aja kita bahas,” balas Gabriel.
Ify
hanya mengangguk kemudian memberi kode bahwa dia harus bergegas ke kelas.
Sebenarnya, tak ada hal spesial yang dilakukan Ify untuk membuat Cakka dan Agni
kembali seperti biasa. Setidaknya itu bagi dirinya.
***
“Kenapa
semalem bisa sampai punya ide bawa anak-anak tim basket ke rumah?” tanya Agni
membereskan bola basket yang berserakan.
Cakka
terkekeh, “Idenya Ify.”
“Hah?
Serius?” balas Agni spontan dengan mata melotot.
Cakka
hanya mengangguk lalu ikut memunguti bola basket yang kemudian disimpan ke
tempat semula. “Jadi, kemarin....”
Pemuda
itu mulai menceritakan kronologi yang sebenarnya. Pada saat Alvin pulang, Cakka
langsung membeberkan tujuannya mencari Ify. Gadis itu diam cukup lama, seperti
mencarikan solusi, kemudian memberikan beberapa petuah yang menjadikan Cakka
sadar bahwa dia melakukan kesalahan.
“Kalau gue jadi Agni, gue juga bakalan minta
kejelasan. Posisi di dalam suatu hubungan tuh penting, supaya kami—kaum
hawa—bisa mengatur porsi seberapa dekat kami dengan kaum kalian. Dengan begitu
kami tahu mana yang pantas dilakukan, mana yang enggak.”
Saat itu Cakka terpaku. Tidak menyangka bahwa
status bisa sepenting itu. Meskipun penyampaian Ify sedikit membuat otak Cakka
berputar untuk mencari makna yang lebih sederhana, tapi akhirnya dia paham.
“Terus gue musti gimana?” tanya Cakka frustasi.
“Lo mau putus sama Agni atau tetep sama dia?”
“Gue bingung, Fy. Gue nggak mau putus, tapi
kalau tetep gue juga takut seandainya ada kejadian kayak gini lagi. Lo tahu kan
betapa berharganya basket buat gue?” balas Cakka retoris.
“Iya. Lo sampai rela dimusuhi Shilla demi tim
basket. Tapi, pertanyaan gue bukan soal itu. Gue tanyanya lo mau putus atau
tetep sama Agni, Cak?” kata Ify seraya tersenyum.
Cakka menunduk, “Gue bingung.”
“Cakka...” panggil Ify pelan.
“Tetep. Iya gue tetep mau sama Agni,” jawab
Cakka yakin.
“Bagus. Yang
berhak nentuin hubungan lo sama Agni cuma kalian sendiri, bukan orang
lain apalagi gue ataupun tim basket. Kalau lo mau tetep sama Agni, perjuangin
dia.”
“Gue harus ke rumahnya?” tanya Cakka.
“Bukan cuma ke rumah Agni. Gue bilang,
perjuangin dia. Kalau lo mau memperjuangkan Agni, tugas lo bukan cuma
meyakinkan dia buat tetep berada di samping lo, tapi juga bikin anak-anak tim
basket yakin sama kalian. Meskipun kalian pacaran, nggak akan ada yang berubah
di tim basket, kalaupun ada berarti itu untuk kemajuan kalian semua.”
Dan setelah cukup lama merenung, akhirnya Cakka
mengerti.
“Terima kasih banget, Fy. Harusnya dari awal
gue nggak perlu gengsi buat minta solusi dari elo,” kekeh Cakka.
“Sama-sama.”
“Gue anterin pulang ya,” kata pemuda itu.
Ify menggeleng, “Gue bisa naik taksi kok. Lo
pasti nggak sabar mau baikan sama Agni lagi kan? Rumah gue sama Agni kan masih
sedaerah, nanti lo jadi bolak balik. Gih, keburu dia tidur. Lagian nggak baik
gangguin rumah orang malem-malem.”
“Lo kayak cenayang ya. Tahu banget apa yang gue
pikirin,” canda Cakka.
Ify tertawa. Tak lama kemudian, tiba-tiba Alvin
kembali. Cakka dan Ify nyaris terlonjak ketika pemuda itu datang.
“Lo belum pulang, Vin?” tanya Cakka mengerutkan
dahi.
Alvin menggeleng, “Udah selesai kan? Yuk, Fy.
Gue anterin pulang.”
“Eh nggak usah, gue bisa naik taksi,” tolak
Ify.
“Biasanya kan juga gue anterin. Gue nggak mau
dituduh nggak bertanggung jawab. Yuk!” desak Alvin.
Ify melirik Cakka lalu mengangguk.
“Duluan ya, Cak.”
Cerita
berakhir. Hanya saja Cakka memotong ceritanya, ia tidak menjabarkan pada Agni bahwa
ada Alvin juga di sana. Bukan karena merahasiakan, hanya saja ia merasa itu
bukan haknya untuk bercerita. Lagipula Ify dan Alvin merasa itu tidak penting
untuk diceritakan.
“Terus
habis itu kamu ke rumah anak-anak basket satu persatu?” tebak Agni.
Cakka
mengangguk, “Ke anak cowok doang sebenernya, nggak ke anak-anak cewek soalnya gue
takut diamukin bokap-bokap mereka, eh malah anak-anak cewek ternyata pada
ngumpul di rumah Debo.”
“Udah
bilang makasih ke Ify?” tanya Agni.
“Udah
dong. Gue nelpon tengah malem, dia cuma nyahutin ‘ya...ya...ya...’ dan gue masih nggak tahu diri—“
“Pasti
nggak sadar lagi gangguin orang tidur,” kekeh Agni.
Cakka
ikut terkekeh. Memang begitu. Saat Ify sudah tidak menyahuti lagi barulah dia
sadar bahwa dia sudah mengacau jadwal tidur orang lain.
***
Kening
Shilla mengernyit kala menyadari manusia di sampingnya hanya melamun selama
pelajaran. Alvin. Pemuda itu lebih banyak diam. Mendadak Shilla meringis, rasanya
sudah lama sekali ia dan Alvin jadi ‘jauh’
apalagi sejak cowok itu jadian dengan Sivia. Bodohnya, setiap kali Shilla
mengingat kenyataan itu maka yang timbul adalah rindu yang sangat dalam. Rindu
yang tak berguna karena tidak akan mengubah apa-apa.
“Baiklah,
pelajaran hari ini saya cukupkan sampai di sini. Kalian semua boleh istirahat.”
Shilla
memandang ke depan dimana guru yang barusan mengajar sudah melangkahkan kaki
keluar kelas. Detik berikutnya, Alvin berdiri dan berjalan keluar tanpa berucap
sepatah katapun.
“Alvin
mau ke mana?” celetuk Rio.
“Shil,
Alvin ke mana?” kali ini suara Gabriel.
Dan
Shilla, gadis itu hanya mampu menggelengkan kepala. Bibirnya masih terkatup
rapat seraya memandangi punggung Alvin yang menghilang di balik pintu kelas.
Di lain
sisi objek yang tengah dibicarakan berinisiatif mengurung diri di rooftop. Tempat yang dulu seringkali
dikunjungi Rio. Entah mengapa saat ini Alvin merasa membutuhkan tempat Rio itu.
Ada banyak
beban di kepalanya. Beban yang selama ini tak pernah ia bagi pada siapapun.
Hanya saja, ada satu hal yang mengganggu sejak semalam. Semakin lama ia simpan,
beban itu semakin menyakitkan. Maka dari itu, Alvin meyakinkan diri untuk
menuntaskannya hari ini. Ia harus siap dengan segala resiko yang diterimanya,
sekalipun seluruh dunia akan membencinya.
Semilir
angin mulai menggoyang setiap helai rambut Alvin yang sudah memanjang. Ia lupa
memangkas rambut—mungkin juga melupakan. Damai. Seperti kata Rio, tempat ini
memang membuat orang yang berada di sini merasa sedikit tenang.
Daridulu
Alvin terbiasa menyimpan semuanya sendiri. Saat ia merasa takut naik sepeda
lagi setelah terjatuh di sungai, saat ia menangis karena mamanya meninggal, saat
ia marah pada Deva yang meninggalkannya, saat ia jatuh cinta pada Shilla, dan semuanya. Hanya
saja dulu terasa mudah untuk menyembunyikan segalanya.
***
“Yel,
Sivia...” bisik Shilla.
Gabriel
menoleh kemudian mengikuti arah pandang Shilla. Ya, Sivia. Gadis itu tampak
sedang badmood. Mungkin karena Alvin
menghilang tiba-tiba. Hari ini Alvin memang terlihat lebih aneh daripada
biasanya.
“Kayaknya
kita nggak pernah ngumpul lengkap lagi ya. Selalu aja ada yang ngilang,”
celetuk Rio.
Gabriel,
Shilla, Agni dan Cakka yang sempat menghilang di hari-hari kemarin pun
menggaruk tengkuk yang tak gatal sama sekali seraya meringis. Sivia tak
menanggapi, ia masih sibuk mengaduk-aduk es jeruknya. Sementara itu Ify seperti
tenggelam memikirkan sesuatu.
“Yang
kemarin-kemarin jangan dibahas lagi dong. Ini aja bahas yang baru. Si Alvin ke
mana tuh?” balas Cakka.
Rio
mengedikkan bahunya.
“Mungkin
dia lagi ada problem sama bokapnya
atau sama Kak Deva?” seloroh Gabriel mengingat selama ini masalah Alvin memang
seringkali berkaitan dengan keluarga.
“Mending
nanya ceweknya,” seloroh Agni.
Semua
mata pun reflek memandang ke arah Sivia. Gadis itu merasakan semua pasang mata
menatapnya penuh harap.
“Gue
juga nggak tahu,” dengus Sivia.
“Yaudahlah
biarin. Kayak kalian nggak pernah ngilang tiba-tiba sambil nyembunyiin sesuatu.
Kalian aja butuh waktu sendiri, Alvin juga lah,” seloroh Ify yang sedari tadi
diam.
Merasa
tersindir, akhirnya mereka memutuskan tidak membahas apa-apa tentang Alvin.
Sivia menghela nafas panjang kemudian mencoba berfikir jernih, mungkin apa yang
dikatakan Ify benar. Alvin butuh waktu sendiri, tidak harus selalu dengannya.
***
Sampai
sekolah berakhir, Alvin masih belum kembali. Tak ada yang tahu pemuda itu
dimana. Shilla menatap kursi di sebelahnya setelah memasukkan beberapa buku ke
dalam tas. Kosong. Sekosong pikirannya saat ini. Mengapa mendadak ia jadi
mencemaskan Alvin? Ada apa dengan sahabatnya itu? Pemuda itu tidak pernah
menghilang secara tiba-tiba seperti ini.
Di sisi
lain, Sivia sama cemasnya. Ify yang memperhatikan sedari tadi jadi ikut
prihatin. Maklumlah, tidak ada angin ataupun hujan tiba-tiba Alvin bersikap
aneh.
Drrrttt... drrrttt... dddrrrttt...
Ponsel Sivia
bergetar, menandakan sebuah pesan singkat telah diterima. Mata sipit itu
bergerak melirik ke arah ponsel, berharap ada kabar dari Alvin. Ah! Sivia
berseru ketika harapannya terkabul. Pesan itu memang dari Alvin.
From: Alvin
Sivia, ke parkiran sekarang ya. Aku mau bicara
“Fy, gue
duluan nggak pa-pa kan? Ditunggu Alvin nih,” ceplos Sivia.
Ify
hanya menganggukkan kepala, Sivia pun bergegas meninggalkan Ify sendiri di
dalam kelas. Ya, sendiri, sebab teman-teman lainnya sudah pulang ketika bel
berbunyi. Hah... setidaknya Ify sedikit lega karena Alvin kembali berkomunikasi
dengan sahabatnya.
Detik
selanjutnya gadis itu menepuk dahinya sendiri. Ia lupa kalau ada janji dengan
Gabriel dan Shilla. Buru-buru dia meraih backpack-nya
lantas menuju kelas Gabriel dan Shilla.
“IFYY!”
Langkah
Ify terhenti. Ternyata Gabriel dan Shilla sudah menunggu di depan kelas, entah
sejak kapan.
“Kalian
di sini daritadi? Kenapa nggak masuk?” tanya Ify.
Gabriel
mengangguk, “Sengaja nunggu lo keluar.”
“Bohong
tuh! Nggak kuat dia lihat Sivia, takut terpesona. Jadinya ngumpet,” sahut
Shilla dengan nada meledek.
Reflek
Gabriel mencubit pinggang Shilla. “Jangan asal nyeplos, Neng.”
“Oh...
jadi nambah orang nih yang tahu rahasia lo?” kekeh Ify.
“Gitu
deh,” sahut Gabriel pendek.
“Omong-omong,
Rio mana?” tanya Ify.
“Dia kan
tadi langsung pulang waktu ada bel. Emang nggak ngabarin lo dulu? Soalnya dia
juga nggak bilang apa-apa,” jawab Shilla.
Ify
mengangguk-angguk, “Tadi pagi dia emang bilang nggak bisa bareng sih pulangnya.
Gue pikir karna ada kegiatan apa gitu.”
“Hm,
ngapa jadi ngomongin Rio ya?” imbuh Ify dengan bergumam.
Gabriel
dan Shilla mendengus, bukankah tadi Ify duluan yang membahas Rio?
“Terus,
kalian mau cerita apa nih?”
***
Sivia
dengan cardigan hitamnya berjalan mencari-cari sosok Alvin di parkiran. Meski
sudah banyak siswa yang pulang, masih ada beberapa mobil yang terparkir, salah satunya adalah mobil Alvin.
Mobil yang ditumpanginya tadi pagi. Namun pemiliknya entah ada dimana.
Beberapa
saat kemudian sosok yang dicari-cari akhirnya menampakkan diri dari belakang
mobil. Pantas saja Sivia tidak melihatnya.
“Pulang
sekarang?” tanya Sivia dengan senyum terkembang.
Alvin,
pemuda itu tampak menghisap oksigen kuat-kuat kemudian dihembuskan perlahan
melalui bibir. Sivia mengernyit, ia merasa Alvin-nya belum kembali.
“Kita
perlu bicara,” kata pemuda itu lantas masuk ke dalam mobil. Sivia mengikuti.
“Kamu
mau ngomong apa?” tanya Sivia.
Alvin
diam cukup lama, Sivia sendiri masih menanti-nanti apa yang akan dikatakan
pemuda itu padanya. Sesaat nafasnya tercekat ketika bola mata legam itu tak
sengaja menangkap pemandangan ganjal di dalam mobil Alvin.
“Kamu
ngerokok?” tanya Sivia pelan tanpa mengalihkan arah pandangnya pada sekotak
rokok yang disimpan Alvin di atas dashboard.
Tak ada
reaksi, Alvin masih bungkam. Sampai akhirnya pemuda itu membuka mulut, bukan
untuk menjawab pertanyaan terakhir Sivia barusan, melainkan pertanyaan pertama
ketika keduanya berada di dalam mobil. Lelaki itu mengucapkan kalimat yang tak
pernah terlintas di otak Sivia. Sedikitpun.
“Gue mau
putus.”
***
Ify
terpaku mendengar penuturan Shilla beberapa saat lalu. Jadi, ini yang
menjadikan mereka berdua sering menghilang bersamaan? Meskipun sejujurnya Ify
sudah curiga dengan tingkah laku Shilla, tetap saja ia terkejut mendengar
kenyataan tersebut. Bahwa Shilla mencintai Gabriel, disaat pemuda itu mencintai
sahabatnya—Sivia. Ify tahu pasti hati Shilla teramat sakit, tercabik-cabik,
atau bahkan sudah tak berbentuk.
“But, everything is ok. Nggak ada yang
berubah dari gue sama Gabriel. Kami tetep sahabatan kayak dulu, nggak sungkan
atau jauh-jauhan cuma karna masalah kecil ini,” ujar Shilla.
“Lo inget,
Fy? Waktu lo bilang kalau elo nggak sesempurna yang Ray atau mungkin orang lain lihat karena lo punya sisi
lemah?” tanya Shilla yang hanya diangguki oleh Ify.
“Setiap
manusia emang punya sisi lemah, Fy. Tapi, bedanya, lo nggak nunjukin itu ke
orang lain. Lo selalu membuat orang lain melihat kesempurnaan lo, bukan
kelemahan. Dan itu jadi pelajaran tersendiri buat gue.
“Apapun
yang ada di pikiran lo setelah gue cerita soal tadi, semuanya benar. Tapi gue
mau kayak elo. Gue mau orang lain melihat Shilla yang sempurna, bukan Shilla
yang lemah.”
Sudut
bibir Ify terangkat perlahan.
“Tanpa
kayak gue pun, gue tahu kalau lo sangat kuat,” lirih Ify lantas memeluk Shilla
dengan erat.
Gabriel
yang sedari tadi menyimak ikut larut dalam suasana. Diam-diam ia terharu karena
Shilla yang dikenalnya saat pertama kali dan sekarang—yang berada di
hadapannya—sangat jauh berbeda. Tak usah ditanya betapa semakin cantiknya gadis
ini. Selain itu, sifat buruknya memudar. Yang dulu begitu anti sosial, manja,
perfeksionis dan tidak mau kalah digantikan dengan sifat supel, royal, mandiri
dan jauh lebih dewasa. Hanya saja semua itu tak cukup membuat lelaki seperti
dirinya dapat jatuh cinta pada Shilla. Sebab hati Gabriel masih utuh untuk
Sivia.
“Aduh
sampai lupa kalau ada Gabriel,” celetuk Ify membuyarkan lamunannya.
Gabriel
terkikik kemudian mengacak-acak kedua puncak kepala gadis-gadis di hadapannya
secara bersamaan. Ify dan Shilla dengan kompak membalas perbuatan Gabriel
hingga membuat pemuda itu kualahan.
“Aduh
aduh ampun ampun,” ronta Gabriel berusaha melepaskan diri.
“Makanya
jangan macam-macam sama kita,” seloroh Shilla.
“Dasar
duo macan,” cibir Gabriel.
Selanjutnya
Gabriel dan Ify sibuk beradu mulut karena gadis itu tak terima dikatai macan.
Shilla memilih untuk menjadi penonton, gadis itu tertawa puas menyaksikan
Gabriel dan Ify saling meledek hingga membawa-bawa status. Beruntung Shilla
tidak ikutan karena pasti dia kena juga berhubung statusnya sama seperti
Gabriel, cinta bertepuk sebelah tangan.
Tanpa
sengaja Shilla melihat seorang gadis mengenakan cardigan hitam tengah berlari
dari arah parkiran. Mata Shilla membulat sempurna begitu ia mengetahui siapa
sosok tersebut.
“Eh guys! Itu Sivia kan?!” serunya.
Sontak
Gabriel dan Ify berhenti bertengkar.
“Mana?”
tanya Gabriel.
“Ituuuuuuu!”
jawab Shilla penuh penekanan seraya menunjuk ke suatu arah.
“Loh
bukannya dia udah pulang sama Alvin?” gumam Ify untuk dirinya sendiri.
“Kok
kayak nangis?” tanya Shilla.
“Samperinnn!!!”
seru Gabriel lebih dulu bereaksi.
Mereka
bertiga lantas berlari untuk mengejar gadis yang tak lain adalah Sivia.
***
“Pu—pu...tus?”
sahut Sivia terbata-bata.
Alvin
menganggukkan kepalanya. Detik selanjutnya tangan Sivia bergerak menarik tangan
Alvin, akan tetapi pemuda itu menarik tangannya.
“Kenapa,
Vin?” tanya Sivia sangat lirih.
“Gue
nggak mau nyakitin lo lebih lama lagi. Maafin gue, Sivia. Gue bener-bener nggak
bisa mencintai lo sepenuh hati seperti lo mencintai gue. Maaf. Maaf. Maaf.”
Tak ada
reaksi. Sivia masih mencerna ucapan Alvin disaat kepalanya sudah tak bisa
diajak berpikir jernih. Yang ada sekarang hanya kekecewaan. Rasanya sangat
pahit.
“Kalau
lo nggak cinta sama gue, terus kenapa lo nembak gue? Kenapa lo bikin gue
menyangka harapan gue bukan sekedar harapan? Kenapa seolah-olah lo mewujudkan
mimpi gue, Vin?” racau Sivia. Ia bahkan tak menggunakan ‘aku-kamu’ lagi seperti
yang dilakukan Alvin.
Alvin
menutup wajahnya. Dari awal ia sudah salah mengambil langkah, seharusnya ia tak
perlu melibatkan Sivia—bahkan sejauh ini. Tapi, yang dilakukannya adalah untuk Shilla
semata.
“Karena
gue pikir lo bisa bikin gue jatuh cinta,” kata Alvin putus asa.
Ia tak
mungkin mengatakan bahwa dia sengaja mendekati Sivia supaya Gabriel tidak bisa
mendekati gadis itu lagi, lalu Shilla tak perlu cemburu. Ia juga tak mungkin
mengatakan bahwa saat ini ia justru merasakan hal lain. Tidak. Itu sama saja ia
akan semakin membuat gadis baik ini terluka.
Di lain
sisi, Sivia tersenyum miris. Matanya sudah siap memproduksi ribuan air mata.
Hanya saja, ia masih menahan supaya cairan bening itu tak keluar di hadapan
orang yang telah mematahkan hatinya. Sekarang ia tahu rasanya menjadi Ify
ketika Ray meninggalkannya dengan alasan menyakitkan. Seperti ini.
Sivia
meremas kedua tali ranselnya dengan kuat. Sehebat apapun gadis itu menahan air
mata, tetap saja mereka sudah berada di pelupuk mata dan mengalir perlahan.
Satu tetes... dua tetes... tiga tetes... sampai akhirnya ia tak dapat
menghitung sudah berapa banyak tetes air mata yang membanjiri wajahnya.
“Gue
benci elo, Vin. Gue benci banget sama elo!” seru Sivia pilu.
Gadis
itu keluar dari mobil Alvin dan berlari entah kemana. Ia tak tahu, tak punya
tujuan akan pergi ke mana. Yang jelas tak ingin melihat wajah pemuda sialan
itu. Bodohnya, Sivia masih berharap Alvin akan mengejarnya, mencegahnya pergi
lalu mengatakan bahwa dia hanya sedang berakting. Semuanya hanya halusinasi
Sivia saja karena pikirannya sedang kacau. Selanjutnya, semuanya hanya sekedar
harapan. Alvin memang tak pernah membuat harapannya menjadi nyata.
***
Bersambung...
Omong-omong, ini sudah mau ending loh. Mungkin kurang 1 atau 2 part lagi (ah lama ngilang tau-tau mau kelar wkwk) mohon maaf kalau ada typo/pemilihan diksi yang nggak enak dibaca. Ngebut banget soalnya. Sampai jumpa di part berikuttnya!
Omong-omong, ini sudah mau ending loh. Mungkin kurang 1 atau 2 part lagi (ah lama ngilang tau-tau mau kelar wkwk) mohon maaf kalau ada typo/pemilihan diksi yang nggak enak dibaca. Ngebut banget soalnya. Sampai jumpa di part berikuttnya!
0 komentar:
Posting Komentar