Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Halo everyone! Maafkan karena lama update. Maklum, udah masuk
kuliah & sering kehabisan kuota hehe btw maaf ya kalau di part ini ada
typo/salah penulisan. Langsung saja ~
Hope you like it...
24
Sinar
matahari berhasil menembus celah jendela gadis yang masih terlelap di balik
selimut saat ini. Tak ayal tubuhnya menggeliat ketika sinar mata itu tak hanya
berhasil menembus kamarnya, tapi juga mengusik wajahnya. Sivia mendegus, tak
bisa memejamkan mata karena silau. Gadis itu lantas menyibak selimutnya dengan
sedikit kesal. Saat pupil matanya bergerak tanpa sengaja menatap jam weker yang
berada di atas nakas, Sivia dengan spontan melompat dari tempat tidur,
menyambar handuknya lalu masuk ke kamar mandi dengan kecepatan kilat.
Tak
butuh waktu lama bagi gadis itu untuk menyelesaikan acara mandinya. Lima belas
menit kemudian dia sudah siap dengan seragam sekolah Budi Karya. Sivia melirik
jam wekernya kembali seraya menyambar sepatu yang belum sempat ia cuci sebulan
ini, ah persetan dengan sepatu ini.
“Sivia
astagaaaa,” pekik Desi yang sudah berada di ambang pintu.
“Lintar
aja jam lima pagi udah pergi, kamu malah masih asik di kamar. Perasaan Mama
udah nggak enak karena kamu nggak keluar-keluar. Alvin udah nunggu di depan
tuh!” omel Desi sambil berkacak pinggang.
Sivia
nyengir, gadis itu nyaris saja berangkat sekolah tanpa menyisir rambut jika
Desi tidak menariknya. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa nyengir karena tak ingin
obrolan ini menjadi kemana-mana dan ia akan semakin terlambat.
“Ponsel!”
seru Desi.
“Oh
iya,” cetus Sivia spontan menepuk keningnya sendiri.
“Sivia
berangkat!” serunya kemudian membuat Desi geleng-geleng kepala.
Dengan
langkah cepat gadis itu menuruni anak tangga dan menuju keluar. Sivia meringis
mendengar Alvin mengklakson dengan tak sabaran. Pasti pemuda itu akan
mengomelinya habis-habisan.
“Morning,” kata Sivia begitu masuk ke
dalam mobil.
“Cepet
banget sih,” sindir Alvin lalu melajukan mobilnya dengan sedikit ngebut.
“Gue
kesiangan gara-gara semalem nonton drama korea,” balas Sivia polos tanpa rasa
bersalah.
Alvin
melirik gadis itu yang mulai sibuk menceritakan kronologi mengapa ia bisa
bangun kesiangan. Katanya, drama korea yang semalam ditontonnya benar-benar
romantis sehingga Sivia bertekat tidak akan tidur sampai ia selesai menonton. Jam
3 pagi barulah gadis itu terlelap.
“Jangan-jangan
lo naksir gue gara-gara mirip artis korea ya?” selidik Alvin.
“Itu
bonus aja kali,” sahut Sivia kalem.
Gadis
itu tak menyangkal jika Alvin memang merasa dirinya mirip artis korea. Wajahnya
memang tampan, sikapnya pun seperti tokoh utama yang sering ia tonton. Kadang
pemuda itu sinis, kadang lucu, kadang romantis, kadang menyebalkan. Pokoknya
Sivia suka dengan semua hal tentang pemuda di sampingnya ini.
“Pulang
sekolah jalan-jalan yuk!” ajak Sivia.
“Ke
mana?” tanya Alvin tanpa mengalihkan pandangan.
“Ke mana
aja deh. Asal jangan ke Mall. Gue takut lo tinggalin lagi.”
Alvin
tak dapat menyembunyikan kegeliannya. Pemuda itu terkekeh lalu mengingat saat
ia meninggalkan Sivia di Mall.
“Gue
sampai diumumin di bagian anak hilang tahu! Hih malu anjir! Eh omong-omong,
waktu itu kenapa tiba-tiba lo pergi sih?” ceplos Sivia.
Bibir
Alvin berubah datar kembali. Ingatannya berputar. Saat itu, saat ia
meninggalkan Sivia karena tidak ingin mengecewakan Shilla. Saat ia terpaksa
turun dari taksi dan berlari sepanjang kilometer hanya karena tak ingin membuat
gadis itu menunggu. Saat ia tersenyum lega menyaksikan Shilla berlaga di atas catwalk dengan sempurna. Saat gadis itu
memeluknya erat, lebih erat dari seluruh pelukan yang pernah ia rasakan
sebelumnya. Saat Shilla dengan gamblang menyatakan bahwa yang paling ia tunggu
bukan dirinya. Dan...
“Woi
anjir! Alviiinn! Depan kita pohon!!”
Alvin
gelagapan mendengar seruan Sivia secara tiba-tiba lalu dengan reflek menginjak
rem. Detik berikutnya pemuda itu mengurut dada dan memastikan gadis di
sebelahnya baik-baik saja.
“Lo
nggak pa-pa? Nggak kepentok kan?” tanyanya khawatir.
“Kena dashboard dikit, agak nyeri sih,” jawab
Sivia menutup keningnya dengan telapak tangan.
Mendengar
itu, Alvin melepas seat belt-nya lalu
mencondongkan tubuhnya ke arah Sivia. Beberapa saat kemudian Sivia bisa
merasakan telapak tangan Alvin menyentuh keningnya, pemuda itu bahkan meniup kening
Sivia seolah dengan begitu nyeri yang dirasakan gadis itu akan musnah dengan
ajaib.
Nafas
Sivia tercekat. Kali ini bukan hanya meniup, Alvin bahkan kembali mengecup
keningnya seperti saat mereka berada di depan kelas.
“Masih
nyeri?” tanya Alvin.
Tak mampu
berkata-kata, Sivia hanya dapat menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri
beberapa kali. Detik berikutnya gadis itu kembali dibuat terperanjat dengan
tingkah laku Alvin yang tiba-tiba memeluknya. Hanya sekejap. Tapi ia bisa
mencium aroma maskulin pemuda itu hingga membuat jantungnya berdetak lebih
kencang dari sebelumnya.
“Lain
kali jangan lupa pasang seat belt
lagi biar nggak ada kejadian kayak tadi. Gue nggak mau lo kenapa-napa,” ujar
Alvin seraya memasangkan seat belt
Sivia.
Sivia
meneguk ludahnya kemudian mengangguk patuh.
***
“Sivia
sama Alvin nggak bisa lo hubungin sama sekali?” tanya Shilla yang sedang
bertopang dagu.
Ify
menggeleng, tidak biasanya Sivia seterlambat ini. Apalagi Alvin. Sejak gadis
itu berangkat dan pulang dengan Alvin, tidak pernah sekalipun keduanya
terlambat karena Alvin selalu on time.
Ya, meskipun hal itu membuat Sivia yang tidak bisa bangun pagi jadi tersiksa
setidaknya hal itu bisa melatih kedisplinan gadis tersebut.
“Kalian
kok masih di sini? Buruan baris! Pak Remi udah keliling tuh,” ceplos Debo tanpa
sengaja melewati dua gadis yang masih betah berdiri di ambang pintu kelas.
“Hm,
Shil. Gue baris dulu ya? Lo juga,” kata Ify.
“Iya
deh.”
Ify
lantas menuju ke lapangan bersama Debo. Shilla, gadis itu menghela nafas
kemudian melangkahkan kakinya menuju lapangan. Berhubung kelasnya baris di
ujung, ia tak bisa mengekori Ify dan Debo. Rio sudah baris sejak beberapa menit
yang lalu, Gabriel entah ke mana, dan Cakka, pemuda itu jadi lebih pendiam
hingga Shilla sungkan mengajaknya ke lapangan.
Terpaksa
ia melangkah sendirian menuju barisan kelasnya. Ah, hari senin memang
menyebalkan. Bukan karena ada upacara, tapi karena sudah terlena dengan libur
di hari minggu. Rasanya masih ingin libur.
“Gabriel
mana, Shil?” tanya Rio.
Shilla
menoleh kemudian menggeleng, “Gue pikir lo tahu.”
“Tadi
sih katanya mau nemuin kepsek, tapi belum balik lagi sampai sekarang.”
“Eh itu
dia,” cetus Shilla menunjuk seseorang yang tengah berlari kecil seraya
mengenakan topi.
“Darimana
aja?” tanya Shilla begitu sosok yang dimaksud sudah berdiri di hadapannya.
“Ada urusan
sama kepsek. Yo, geser dong! Biar gue baris di belakang Shilla.”
Rio
mengangguk lalu bergeser.
Di lain
sisi, Ify masih mencari-cari keberadaan Sivia. Upacara telah dimulai dan gadis
itu belum tampak hingga detik ini. Beberapa saat kemudian mata Ify membulat
sempurna saat menangkap sosok sahabatnya di barisan anak-anak terlambat.
“Lah itu
Sivia sama Alvin kan?” celetuk Debo.
Meskipun
pemuda itu berbaris di belakang, suaranya sampai ke telinga Ify yang kebetulan
baris di tengah. Barulah Ify menyadari bahwa ada Alvin pula di sana. Sepertinya
anak laki-laki tengah membicaran pasangan itu.
“Mereka
mikir apa sih sampai bisa telat di hari senin,” gumam Ify.
Baginya,
terlambat di hari senin itu petaka. Bagaimana tidak? Semua anak yang terlambat
akan tetap mengikuti upacara namun membuat barisan khusus di dekat guru-guru.
Tentu itu lebih mengerikan karena mereka jadi pusat perhatian.
***
Gabriel
tak bisa fokus pada sosok kepala sekolah yang kini tengah menyampaikan
pengumuman. Pemuda itu melirik barisan khusus anak-anak terlambat, lebih
tepatnya lagi ia melirik Sivia dan Alvin. Dia mendengus, membenci dirinya
sendiri yang tampak bodoh. Sudah jelas ia sakit hati, tapi tak bisa berhenti
memandangi.
“...
pengumuman penting ini akan disampaikan langsung oleh Gabriel Stevent. Bagi
Gabriel, waktu dan tempat saya persilahkan.”
Tak ada
reaksi. Matanya masih memandang nanar pada dua sosok di depan sana. Anak-anak
yang ada di sekitarnya pun tak kuasa untuk tidak menghujami pemuda itu dengan
tetapan heran. Mengapa Gabriel masih diam di tempat?
“Yel, lo
dipanggil,” bisik Rio.
Shilla
ikut menatap pemuda di belakangnya. “Gabriel!”
“Eh,”
cetus Gabriel gelagapan.
“Lo udah
dipanggil daritadi. Sana maju!” tandas Shilla.
Selanjutnya
pemuda itu hanya bisa melangkah ke depan diiringi tatapan bingung dari
anak-anak lain. Gabriel mendesah, kemudian berdiri di hadapan kepala sekolah
setelah melemparkan tatapan meminta maaf. Tangan pemuda itu mulai bergerak meraih
mikrofon yang berada di hadapannya.
“Tes...
ehem,” dehem Gabriel untuk menetralisir kegugupannya.
Sudah
sering menghadapi situasi seperti ini, rasanya biasa. Namun entah mengapa
kejadian tadi membuatnya sedikit gugup.
Gabriel menghela nafas panjang lalu menghembuskannya melalui mulut. Terlahir
menjadi putra pemilik yayasan memang membuat kedudukannya tinggi. Ya, itu
memang terdengar tidak adil, tapi percayalah Gabriel mengemban tugas lebih
berat dari ketua OSIS.
“Selamat
pagi semuanya. Di sini saya akan mengumumkan sesuatu berkaitan dengan acara surprise yang rutin diadakan untuk
anak-anak kelas XI,” katanya lalu mengambil jeda cukup panjang.
Kasak-kusuk
mulai terdengar. Gabriel menarik sudut kiri bibirnya, ia tahu bahwa mereka
semua mulai tak sabar namun dia tetap diam menunggu hingga suara-suara bising
itu mereda.
“Seperti
biasa setiap tahun akan ada secret
project bagi kelas XI. Kalau tahun lalu ada mini concert, tahun ini saya dan teman-teman pengurus OSIS punya
sesuatu yang lain dan sudah disepakati kepala sekolah yang terhormat.”
Sontak
mereka semua melirik barisan pengurus OSIS yang bertugas sebagai paduan suara
dengan tatapan iri. Selain kelas XI, siapapun yang tergabung dalam kepengurusan
OSIS bebas mengikuti secret project.
Mengingat tahun ini Gabriel sendiri yang turun tangan, pasti acaranya akan
lebih hebat dari sebelumnya.
“Dan
secret project tahun ini adalah...”
Gabriel
tersenyum, sengaja mengulur waktu.
“BLIND DATE!!!”
Huaaah.
Sorakan meriah memenuhi lapangan pada pagi hari itu seolah tak percuma mereka
berangkat di hari senin yang sering disebut-sebut sebagai monster day. Setelah menjelaskan bahwa info lebih lanjut akan di-share di masing-masing kelas, pemuda itu
kembali ke barisannya.
***
Pengumuman
mengenai secret project SMA Budi
Karya yang diumumkan Gabriel masih menjadi trending
topic. Yang kelas X berharap tahun depan secret project bagi angkatan
mereka akan lebih meriah, dan kelas XII mulai berniat menyusup ke dalam
acara—tentu mustahil. Sementara itu, para anak kelas XI yang paling excited, terutama yang masih single karena berharap akan menemukan
jodoh mereka di acara tersebut.
“Aduh
ini pasti bakalan seru banget. Belum ada anak OSIS yang dateng ke sini ya? Gue
penasaran anjir,” ceplos Sivia.
“Kok lo
jadi semangat gitu? Inget Alvin, Vi,” timpal Ify tampak santai bersama novel di
tangannya.
“Inget.
Selalu inget. Tapi kan gue yakin ntar gue sama Alvin pasangan.”
Ify
mencibir, “Belum tentu. Gue yakin deh Gabriel sama yang lain udah mikirin itu
mateng-mateng biar acaranya bener-bener blind.
Mungkin juga gue nggak akan ngenalin elo di acara.”
“Iya
juga sih. Ya kalo hoki bisa dapet yang lebih cakep dari Alvin,” seloroh Sivia.
Beberapa
menit yang lalu gadis itu bercerita pada Ify mengenai alasannya datang
terlambat. Seperti biasa, kesiangan karena menonton drama korea. Ify pun
geleng-geleng kepala mendengarkannya. Dan kini, sahabatnya itu berhasil membuat
Ify kembali melakukan hal yang sama.
“Eh
novel lo baru ya?” celetuk Sivia.
Ify
mengangguk, “Semalem beli sama Rio.”
“Dia mau
nemenin lo masuk ke toko buku? Betah? Apa lo ditinggal?”
“Kok lo
nanyanya gitu?” sewot Ify.
“Gimana
ya? Emang lo nggak nyadar ya, Fy? Tiap lo udah diantara rak yang isinya
novel-novel, dunia lo tuh pindah ke sana. Bener-bener nggak sadar diri ada
orang yang bete nungguin lo kelar,” cerocos Sivia panjang lebar.
Ify
sedikit menekuk wajahnya. Saat pertama kali Sivia mengantarnya membeli novel,
gadis itu meninggalkannya sendirian karena tidak betah dan berakhir diumumkan
di tempat kehilangan anak. Sejak saat itu Sivia tidak pernah mau mengantarnya
ke toko buku manapun, mau kecil atau besar. Ify sendiri heran mengapa Sivia
tidak pernah hafal dengan sudut-sudut Mall.
“Eh ada
anak OSIS dateng!” seru Septian.
Seruan
itu membuat seluruh siswa di kelasnya rusuh dan fokus pada salah satu anak pengurus
OSIS yang sudah berdiri di depan kelas.
“Selamat
pagi semua,” sapa pengurus OSIS tersebut.
“Pagiiii!”
“Kalian
pasti udah tahu tujuan gue ke sini. Ada beberapa hal yang akan saya sampaikan sekaligus
tegaskan mengenai acara blind date,
selebihnya nanti kalian bisa baca sendiri. Jadi, gue harap kalian tenang dulu.”
Seketika
ruangan ini berubah senyap. Pemuda yang bertugas di depan sana pun tampak puas
lalu melanjutkan ucapannya.
“Yang
pertama, dresscode untuk cewek adalah
short dress putih polos tanpa hiasan
mencolok. Rambutnya juga digulung ke atas ya, jangan pakai bandana atau jepit
rambut dalam bentuk apapun. Satu-satunya barang yang boleh kalian bawa adalah
dompet putih polos. Kalian juga wajib menggunakan high heels, ingat! Hanya boleh high
heels. Warnanya juga putih. Topeng pun nantinya akan dapat dari kami, jadi
semuanya sama, hanya beda warna untuk laki-laki dan perempuan.”
“What?” pekik Sivia tertahan.
Di sebelahnya,
Ify terkekeh karena dugaannya sangat tepat. Tidak mungkin Budi Karya mengadakan
acara yang ‘pasaran’ atau abal-abal.
“Sementara
laki-laki mengenakan kemeja putih polos, celana hitam dan jas juga hitam. Tanpa
dasi! Untuk sepatu, semuanya menggunakan pantopel hitam.”
“Udah?”
celetuk Septian.
Pemuda
itu menggeleng, “Saat hari H kalian dilarang keras janjian. Semuanya harus
berangkat sendiri-sendiri. Tapi, bukan berarti kalian boleh membawa kendaraan
atau nyetir sendiri.”
“LAHHH
KOK GITU?” protes Debo.
Tampaknya
pemuda itu tidak mempedulikan teriakan Debo karena ia terus melanjutkan
ucapannya.
“Kalian
punya tiga opsi. Naik angkutan umum, diantar atau bawa kendaraan yang belum
pernah dilihat anak Budi Karya sama sekali.”
“Udah?”
tanya Septian—lagi.
Lagi-lagi
pemuda itu menggeleng. “Begitu sampai, kalian wajib langsung masuk ke dalam
ruangan. Terus juga masing-masing dari kalian wajib menyiapkan kertas kecil
yang berisikan nama kalian. Satu kata aja. Boleh nama panggilan, nama depan,
tengah atau belakang. Disimpen aja di saku atau dompet aja bareng sama ponsel
kalian.”
“Ya kalo
ngarang juga nggak akan tahu,” cibir Debo.
“Tahu.”
“Kok?”
Pemuda
itu tersenyum misterius.
“Masih
ada lagi nggak?” tanya Septian.
“Terakhir,
ponsel kalian harus sudah dalam keadaan mati saat di dalam ruangan. Mati ya,
bukan silent mode. Kalau ketahuan
siap-siap dirampas sama panitia,” jawabnya.
Beberapa
anak tampak melongo. Gila! Banyak sekali aturannya.
“Ya
sudah itu saja. Makasih waktunya. Undangannya gue taruh meja, udah sepaket sama
topeng, nanti dibagikan sesuai nama. Semua yang gue sampaikan ada di situ buat
jaga-jaga kalau kalian lupa,” cerocosnya panjang lebar.
“Yeee
aneh lu! Udah ditulis ngapa ngomong segala?” cibir Sivia.
“Namanya
juga menegaskan. Dah ah, gue cabut.”
Saat
sudah melangkah, pemuda itu justru kembali lagi.
“Satu
lagi deng. Undangannya dibawa. Nanti bakal disiapin kotak buat masukin undangan
itu. Bakal ada yang ngawasin jadi nggak bisa ngeloyor gitu aja.”
“IYAAAAA!”
Pemuda
itu tertawa lalu kabur sebelum mereka menerkam karena gemas.
“Sumpah
ini blind date terniat!” seru Debo
disetujui yang lainnya.
“Tapi
gue yakin bakal seru banget. Lihat aja kita semua dibuat sama bentuknya biar
nggak bisa ngenalin satu sama lain, kita bener-bener nggak akan tahu ntar
pasangan date kita siapa,” ceplos
Septian.
“Eh
undangan kalian nih. Debo, Septian, Sivia sama... Ify,” kata Radit membagikan
undangan blind date.
Mereka
berempat menerima undangan tersebut lalu mulai meneliti. Ah, pantas saja
mengarang nama bisa dikenali. Ternyata mereka didata secara tidak langsung.
Undangan yang dibagikan sudah dituliskan nama penerimanya, lengkap bersama topeng.
Untuk perempuan berwarna hitam, laki-laki putih.
“Baca
tanggal baca tanggal!” seru Debo.
“Woi
anjir minggu depan pas,” pekik Sivia.
Ify dan
Septian lantas ikut melihat tanggal.
“ANJIR
ADA BINTANG TAMU RAHASIA!” seru Septian salah fokus.
***
Kedua alis
Shilla terangkat membaca segala macam peraturan di dalam undangannya. Ia
menoleh, kemudian mendesah saat sadar bahwa orang yang dicari sudah menghilang
lagi, entah ke mana.
“Ini
gawat nih,” gumam Rio.
Shilla
mendongak menatap pemuda itu, “Apa yang gawat?”
“Kalau
sistemnya kayak gini gue pasti susah ngenalin Ify,” jawab Rio.
“Ye gue
kira apa! Namanya juga blind date.
Kalau beruntung ya kalian pasangan, kalau enggak ya udah.”
“Kalau blind date mah belum pernah ketemu sama
sekali, Shil. Ini kita semua tiap hari ketemu di sekolah,” celetuk Alvin.
Shilla
memutar bola matanya, “Iya sih. Makanya kan kita diseragamin gini sampai pakai
topeng segala. Anggap aja nggak pernah ketemu.”
“Maksa,”
cibir Alvin
“Eh
Gabriel mana?” tanya Shilla.
Berhubung
setelah upacara digunakan para pengurus OSIS untuk menyampaikan hal-hal
berkenaan dengan secret project,
guru-guru pun baru akan mengajar setelah istirahat. Memang yang meng-handle kegiatan-kegiatan di sekolah
adalah para pengurus OSIS, nantinya mereka juga yang akan bertugas menjadi
panitia blind date—kecuali yang kelas
XI.
“Nggak
tahu. Dia sekarang suka ilang-ilangan,” kata Alvin.
“Mungkin
masih ada urusan soal secret project
ini,” sanggah Rio.
“Mending
ke kantin yuk!” ajak Shilla.
“Gue chat Ify dulu,” balas Rio kemudian berselancar
dengan ponselnya.
“Katanya
mereka nanti nyusul. Kita langsung aja.”
Shilla
mengangguk-angguk lalu melirik Cakka yang sedari tadi hanya diam, “Nggak ikut
ke kantin, Cak?”
“Gue
lagi males,” jawab pemuda itu.
“Males
kenapa? Nanti juga ketemu Agni langsung semangat lagi,” celetuk Alvin yang
hanya dibalas dengan seulas senyum tipis.
“Ng—kalo
gitu kita duluan aja, nanti kalo udah nggak males langsung nyusul,” ujar Shilla
menengahi.
Dia
memang belum bercerita mengenai kejadian kemarin pada yang lain. Hanya dia dan
Gabriel yang tahu. Jika Cakka diam, Agni diam dan Gabriel sendiri tidak
membahas apapun setelah mengantar Agni pulang, Shilla juga tak berani cerita
apapun.
***
Kening
Ify berkerut menyadari ada yang aneh. Ia menatap sahabatnya satu persatu, kemudian
menghela nafas panjang.
“Kenapa
jadi berkurang?” gumamnya.
Rio yang
duduk di sebelah gadis itu lantas menoleh, paham akan maksud gadisnya.
“Iya ya?
Gabriel, Cakka sama Agni. Mereka ke mana?” sambar Sivia.
“Tadi
sih Cakka bilang lagi males,” jawab Alvin.
“Agni
pas liat kita langsung kabur,” timpal Rio.
“Gabriel?”
tanya Sivia lagi.
“Entah.
Dia tadi sempet masuk kelas tapi nggak tahu lagi ke mana,” jawab Alvin lagi
sekenanya.
“Gabriel
akhir-akhir sih emang susah diajak kumpul. Nah Cakka sama Agni? Kenapa tuh
mereka? Nggak biasanya,” ceplos Sivia.
Yang
lain hanya menggelengkan kepala seraya mengedikkan bahu. Shilla sendiri tampak
gusar, kemudian gadis itu tiba-tiba sudah berdiri.
“Mau ke
mana, Shil?” tanya Ify.
Shilla
mengibaskan tangan kanannya, “Hmm—gue... mau... ada urusan bentar.”
“Urusan
apa?” tanya Rio.
“Biasa,
masalah job. Tadi manager nyuruh ngehubungin, mau ngomong penting katanya. Gue
baru keinget,” jawab Shilla berusaha meyakinkan.
“Gue
cabut dulu ya,” imbuhnya.
Setelah
sahabat-sahabatnya menganggukkan kepala, gadis itu cepat-cepat pergi. Berada
diantara mereka membuat Shilla bingung. Ia tidak bisa pura-pura tidak tahu dan
tidak mau keceplosan. Jadi, dia memilih kabur.
Diam-diam
Ify mendesah, entah apa yang membuatnya khawatir.
“Omong-omong,
gue bingung nih pas blind date ntar
berangkat sama siapa,” celetuk Sivia.
“Sama
Alvin,” sahut Rio.
“Ye
dodol! Kan nggak boleh janjian,” dengus Sivia.
“Bilang
aja ketemu di jalan. Alvin nggak sengaja lihat cewek jalan sendirian karna
diasingkan, terus dipungut. Panitia pasti kasih dispensasi,” seloroh Rio
membuat Sivia yang tak pernah absen menjadi bahan ledekan melotot tajam.
Ify
tertawa lebar, membuat matanya sedikit menyipit namun tidak mengurangi
kecantikannya. Ia justru tampak cantik dengan tawa itu. Tidak kurang dan tidak
lebih. Perpaduan yang pas. Pemandangan yang indah.
***
Kelas
sudah sepi sejak sepeninggalan Shilla, Alvin dan Rio. Hanya ada Cakka di dalam
sini yang enggan bergerak dari posisinya. Disaat seperti ini ia tidak tahu
harus meminta pertimbangan pada siapa. Ify. Nama itu tiba-tiba terlintas, tapi
Cakka langsung membuang pikirannya. Sudah berkali-kali ia merepotkan gadis itu,
harusnya sekarang ia belajar menyelesaikan masalahnya sendiri.
Sampai
saat ini pun dia belum menghubungi Agni dan gadis itu pun seperti menghilang.
Untuk sekarang, Cakka hanya ingin menemukan solusi yang tepat. Ia ingin
berpikir jernih tanpa campur tangan siapapun.
Di lain
sisi, Gabriel kembali ke taman belakang. Menyendiri. Kembali ia menghilang
meskipun urusannya mengenai secret
project sudah di-handle tim
pengurus OSIS. Seharusnya pemuda itu berada di kantin bersama yang lain, namun
kakinya membawa ia melangkah ke mari.
“Yel...”
Pemuda
itu mengangkat wajah dan terkejut mendapati Shilla sudah ada di hadapannya.
“Kok di
sini?” tanyanya spontan, tanpa basi-basi.
Shilla
mengulum senyum lalu duduk di sebelahnya. “Gue bingung pada ngebahas soal Cakka
sama Agni yang ikut ngilang kayak elo.”
“Terus?”
“Cakka
sama Agni nggak bilang apa-apa. Lo juga diem. Masa gue mau seenaknya bilang
soal kejadian kemarin?” ceplos gadis itu.
Gabriel
tampak manggut-manggut, “Terus kok tahu gue di sini?”
“Nggak
tahu. Tadi emang niatnya ke sini.”
Setelah
itu mereka terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa menit
kemudian, Gabriel menegakkan duduknya. Ia mengamati sosok Shilla dari samping.
Pandangan mata gadis itu tampak kosong.
“Ngalamun,
Shil?” cetus Gabriel.
Shilla
gelagapan, “Hmm—dikit.”
Kemudian
pemuda itu teringat pikiran anehnya mengenai perasaan Shilla padanya. Gabriel
berpikir untuk membahas, setidaknya memastikan bahwa pikiran itu tidak benar.
“Shil,
gue boleh ngomong agak serius?” tanya Gabriel memulai.
“Apa?”
sahutnya seraya menelengkan kepala untuk menghadap Gabriel.
“Gimana
ya? Hm, masa gue sempet mikir lo suka sama gue, suka yang bener-bener dari hati
ke hati. Itu nggak mungkin kan?”
Sesaat
Shilla merasa waktu seolah berhenti di sekitarnya. Jantungnya berpacu cepat,
tatapannya masih menuju ke bola mata Gabriel yang sedang mencari jawaban atas
pertanyaan barusan. Shilla mendesah kasar, ia segera memalingkan wajah.
“Nggak
mungkin,” jawabnya sangat pelan dengan seribu sesak yang menyeruak.
“Sudah
gue duga. Ada-ada aja ya gue mikirnya? Aneh banget gitu tiba-tiba kepikiran
kayak gitu,” kekeh Gabriel belum menyadari perubahan ekspresi Shilla.
“Gue
nggak pernah suka sama lo, Yel. Tapi, gue cinta,” imbuh Shilla tanpa memandang
pemuda di sebelahnya.
Gabriel
terperanjat. Apa? Cinta? Pemuda itu masih menunggu Shilla menatapnya, berharap
bahwa apa yang diucapkan gadis itu hanyalah bentuk gurauan. Namun Shilla masih
kukuh untuk tidak menolehkan wajah. Ia justru semakin merundukkan kepala.
Tangan Gabriel terangkat, menyentuh wajah gadis itu dan diarahkan untuk
menghadapnya. Detik selanjutnya hati Gabriel mencelos karena yang dilihatnya
justru bola mata sendu yang siap memproduksi ribuan air mata.
“Sejak
kapan, Shil?” tanya Gabriel lembut.
Shilla
menggeleng, air mata pertama menyusuri pipinya. Kemudian air mata yang lain
menyusul.
“Shil...”
“Gue
sayang sama lo, Yel. Nggak tahu sejak kapan. Gue ngerasain sesuatu yang nggak
pernah gue rasain ke cowok manapun, termasuk ke Cakka atau Rio atau Alvin.
Maafin gue, Yel... maaf...,” ujar Shilla terbata-bata.
“Harusnya
gue yang minta maaf,” balas Gabriel.
Shilla
kembali menggeleng. Ia tak menyangka hari ini tiba begitu cepat. Hari dimana
Gabriel mengetahui semuanya. Awalnya dia siap, tapi mengapa air matanya tumpah
juga?
“Gue—“
“Sivia
kan, Yel?” potong Shilla cepat.
Pertanyaan
itu akhirnya terlontar juga. Pertanyaan yang sudah ingin ia tujukan pada pemuda
ini sekitar dua minggu lalu. Setelah ia menerima sesuatu yang bukan haknya.
Mata
Gabriel terbelalak lebar. “Maksudnya?”
“Orang
yang ada di hati lo. Sivia, kan?” ulang Shilla miris.
“Lo—tahu
dari mana?” balas Gabriel kaget.
Shilla
terhenyak. Ternyata benar. “Bunga yang lo kasih waktu itu harusnya buat Sivia
kan? Bukan gue? Ada nama penerimanya, Yel.”
Sontak
bahu Gabriel merosot mendengar penjelasan Shilla. Astaga—bagaimana bisa ia
lupa? Isi post card itu masih diingat
betul olehnya.
Sivia, would you be my girl?
With Love,
Gabriel
Tak ada
yang bisa dilakukan Gabriel selain membawa Shilla ke dalam rengkuhannya. Ia
tahu bagaimana rasanya patah hati. Dan Shilla, bagaimana bisa? Kejadian itu
sudah cukup lama, tapi Shilla tetap berada di sampingnya. Ia tidak pergi, tapi
justru mendekat. Apa yang telah Gabriel lakukan pada gadis sebaik ini?
“Maafin
gue, Shil. Maaf.”
Shilla
tak menjawab. Ia semakin terisak dalam pelukan Gabriel. Dan Shilla anggap
pelukan ini adalah pelukan perpisahan. Gadis itu merapatkan tubuhnya, membalas
pelukan Gabriel dengan sangat erat. Setelah ini Shilla berjanji akan berhenti
mencintai pemuda ini.
Malam itu di hari ia menemukan post card bucket mawar dari
Gabriel.
“Mama kenapa cerai sama Papa? Mama udah nggak
sayang sama Papa? Apa dari awal Mama sama papa emang nggak saling cinta?” tanya
Shilla pelan.
Mamanya menoleh, tak menyangka akan disodori
pertanyaan semacam itu. “Mama sayang sama Papa, Shil.”
“Terus?”
“Oke, Mama akan cerita yang sebenarnya,” putus
mamanya membuat Shilla semakin fokus menyimak.
“Dulu kami dijodohkan dan papamu waktu itu
sudah ada calon sendiri. Mama pikir setelah menikah perasaan papamu akan
berubah, apalagi setelah ada kamu, tapi ternyata sampai sekarang pun Papa belum
bisa menerima Mama sepenuhnya.”
“Dan Mama ceraiin Papa?” tebak Shilla.
Mamanya mengangguk, “Buat apa sih mempertahankan
sesuatu yang nggak bisa dipertahankan? Lagipula papamu sudah terlalu baik, dia
bertahan sama Mama bertahun-tahun. Sudah saatnya Mama melepaskan.”
“Kalau aku di posisi Mama, apa aku juga harus
mengambil keputusan seperti Mama?” tanya Shilla.
Wanita itu sedikit tertegun namun kemudian
menganggukkan kepalanya.
“Cinta itu bukan tentang saling memiliki karena
meskipun dia di samping kamu, tapi di hatinya nggak ada kamu, itu namanya bukan
cinta.”
Lantas Shilla
mengurai pelukan mereka terlebih dahulu.
“Thanks ya, Yel,” kata Shilla kemudian
beranjak meninggalkan Gabriel yang masih termangu. Shilla mempercepat
langkahnya, tiba-tiba ia kembali mengingat ucapan Ify.
“One day,
you’ll find. Lo akan menemukan
kebahagiaan lo sendiri sekalipun not with him.”
***
Bel
pulang sekolah menggema ke seluruh sudut Budi Karya. Hari ini terasa berat.
Cakka melangkahkan kakinya sendirian untuk menuju ke lapangan basket untuk latihan
rutin setiap minggunya.
“Cak,
gue duluan ya!”
Pemuda
itu menoleh dan mendapati sosok Rio bersama Ify di sampingnya. Gadis itu menatap tajam ke arahnya seolah
tengah menyelidiki sesuatu.
“Iya,”
cicit Cakka lalu buru-buru ke lapangan.
Sesampainya,
baru ada segelintir anak yang tengah mengobrol ringan di bagian tepi.
“Sendirian
aja, Cak?” tanya Olin.
Cakka
tersenyum paksa lalu mengangguk. Ia paham bahwa Olin pasti menanyakan
keberadaan Agni.
“Tadi
kan Agni ijin katanya lagi nggak enak badan,” celetuk Debo.
“Nggak
enak badan kenapa?” tanya Cakka reflek.
Semua
anak lantas memandangnya dengan tatapan aneh.
“Kan lo
cowoknya, masa nggak tahu?” balas Debo membuat Cakka meneguk ludahnya sendiri.
Pemuda
itu tercenung. Apa masih bisa ia disebut sebagai ‘cowoknya’ Agni? Ya, setelah kemarin dengan
semena-mena mengatakan bahwa mereka break.
Sumpah, Cakka tak akan menyalahkan gadis itu jika pada akhirnya Agni tidak mau
mengakuinya sebagai pacar lagi.
“Jangan
bilang kalian putus,” selidik Olivia.
Cakka
tak mengatakan apa-apa. Pemuda itu justru berjalan menuju ruang ganti pakaian.
Lagi-lagi ia merasakan anak-anak itu menghujaminya dengan tatapan aneh.
Bukannya mengganti seragam sekolah dengan seragam basket, Cakka memilih untuk
duduk di kursi yang biasa digunakan untuk mengantri.
Baru
sehari memutuskan menjauh dari Agni saja ia sudah serindu ini pada gadis itu.
Cakka rindu aroma bedak bayi yang selalu menyeruak ketika bersama Agni. Argh, dia bingung. Benar-benar bingung.
“Hubungan
lo sama Agni lagi nggak baik?”
Cakka
terkejut dengan kedatangan Debo yang tiba-tiba.
“Kok lo
di sini?” balas Cakka.
Debo tak
menyahut, pemuda itu lantas duduk di sebelah Cakka kemudian menarik nafas
panjang. Sepertinya firasat mengenai hubungan Cakka dan Agni yang merenggang memang
benar terjadi.
“Kita
kenal nggak begitu lama, Cak. Tapi gue tahu arti baket buat elo itu seperti
apa.”
Cakka
menatap ujung sepatunya dengan risau.
“Percaya
sama gue. Sekarang Agni pun ada di posisi yang sama persis kayak elo,” lanjut
Debo.
“Gue
nggak bisa bantu apa-apa. Tapi, gue
perlu menjelaskan kalau anak-anak bukan nggak suka sama hubungan kalian. Kami
lebih nggak suka sama sikap kalian yang sekarang, cenderung lalai sama tanggung
jawab.”
Cakka
menghela nafas panjang. Ia tahu itu. Masalahnya, dia berpikir jika tetap
bersama Agni, mereka akan ‘lupa diri’ lagi.
***
“Kayaknya
mendingan kita sampai di sini aja. Aku capek, Fy...”
Ify
menatap sosok Rio dengan tatapan tak percaya.
“Kamu
ngomong apa sih, Yo? Lagi ngajakin bercanda?” tanya Ify berusaha tertawa namun
terdengar hambar.
Rio
menggelengkan kepalanya, “Aku beneran capek, Fy. Aku capek jadi orang yang
nggak berguna. Aku capek jadi orang yang nggak dibutuhkan sama kamu,”
“Kamu
sakit?”
“Kamu
tahu apa yang diimpikan laki-laki?” balas Rio.
Ify tak
menjawab. Gadis itu menatap Rio dalam-dalam, mencoba menelusuri apa yang akan dikatakan pemuda itu.
“Jadi
orang yang selalu dicari dan dibutuhkan. Sementara selama ini kamu selalu
melakukan semuanya sendiri. Tanpa aku.”
“Itu
karena aku bisa melakukannya sendiri!” bantahnya.
Rio
tersenyum, “Iya. Kamu bener. Kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Kamu terlalu
sempurna, Ify. Kamu mengisi semua kekosongan yang aku butuhkan, sementara aku
nggak pernah mengisi apapun di hidup kamu.”
Ify
memejamkan matanya, menahan sesak yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
Selanjutnya ia merasakan sesuatu menyusuri pipinya. Ia menangis.
“Ada
atau enggaknya aku di hidup kamu, nggak akan punya arti apa-apa,” lanjut Rio.
Perlahan
hati Ify mulai tersayat. “Mau kamu apa, Yo?”
“Maafin
aku, Fy. Aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Tapi, sayang dan cinta
bukan berarti harus pacaran kan, Fy?”
“Ok. We’re done.”
***
Bersambung...
Duh maaf
banget lama update. Aku udah masuk kuliah dan langsung dapet tugas jadi sulit
mencari waktu luang hmm. Btw kalau ada salah-salah penulisan di part ini akan
saya perbarui tapi nggak bisa cepet hehe. Ditunggu komentarnya
12 komentar:
Kak next yhh
Kak next yhh
Kak next yhh
Kak kapan lanjut?
Kak kapan lanjut?
Nextnya mana ?? Di lanjutt yaa kk ..
Ngga sabar dengar cerita selanjutnya, di lanjut kk..
Lanjut dong kak,,, ditunggu lanjutannya jangan lama-lama oke
ayo donk kak lanjut
Kapan klanjutanya kak ?
ini gak dilanjut apa kak,, udah nunggu nih
Kak lanjutin dong..
Posting Komentar