"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 30 Juli 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 18

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hi guys! Maaf atas kengaretan ini. Maklum, tiga hari bermalam di RS dan pulang-pulang jadi kayak beruang karna hibernasi setiap hari.

Hope you like it...
18


Pukul sebelas malam di tengah derasnya  hujan. Rio tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bertamu, apalagi dengan keadaan basah kuyup seperti ini. Tapi, pemuda itu benar-benar kalap setelah bicara dengan papanya. Dan di sinilah Rio sekarang, di depan gerbang sebuah rumah yang didominasi cat warna putih, ia bersandar di mobil dan membiarkan hujan terus menghujaminya.
Rumah Ify. Entah apa yang membuatnya berada di sini. Saat keluar dari ruangan papanya, pikiran Rio langsung tertuju pada gadis yang akhir-akhir ini membuatnya campur aduk. Bahagia, sedih, malu, khawatir dan berani. Yang jelas Rio merasakan hal-hal yang dirasakan manusia normal pada umumnya.
Pemuda itu tak tahu bahwa Ify masih terjaga di kamarnya. Gadis tersebut berusaha memejamkan mata namun sulit. Suara petir yang menyambar membuatnya takut. Ify mendesah, lalu beranjak dari kasur dan melongokkan kepalanya ke jendela hanya untuk memastikan kapan hujan kira-kira akan berhenti. Melihat sebuah mobil terparkir di depan rumahnya, dia semakin mempertajam penglihatan.
“Rio,” desis Ify sarat kepanikan.
Tampak sosok pemuda yang amat dikenalnya. Dari posturnya yang menjulang, sudah jelas bahwa itu Rio. Mata Ify mengerjap, berpikir bahwa dia hanya berhalusinasi, tapi sosok itu masih tetap berada di sana. Berdiri dan membiarkan hujan menyentuh kulitnya.
Ify lantas berlari ke bawah, membangunkan kedua orang tuanya yang telah terlelap. Mendengar suara berisik yang dibuat oleh Ify secara tak sengaja, Ozy pun ikut terbangun dan menyusul ke bawah.
“Ada apa sih, Kak?” tanya Ozy seraya menguap lebar.
“Iya, Fy. Ada apa? Kamu susah tidur?” tanya mamanya.
“Di luar...”
Dia mendadak bingung bagaimana menjelaskan bahwa di luar sana ada Rio. Kedua orang tuanya mengernyit tak mengerti, begitu pula dengan Ozy.
“Apaan?” tanya Ozy.
“Kenapa di luar?” sahut papanya.
“Tadi Ify nggak bisa tidur, terus iseng ngecek ke luar. Ify lihat ada Rio di luar, tepatnya di depan rumah kita,” jelas Ify.
Mata Ozy membulat, “Serius lu, Kak? Ini nyaris tengah malem dan di luar lagi hujan!”
“Pa, cek dulu. Kasihan Rio kalo dia beneran di luar,” interupsi mamanya.
Papanya mengangguk lalu berjalan menuju pintu. Mama, Ify dan Ozy lantas mengekor di belakang. Saat membuka pintu, pemandangan pertama yang dilihat mereka semua adalah sosok pemuda yang tengah menundukkan kepala. Ah, Rio!
“Bener Kak Rio,” gumam Ozy.
“Fy, ambil payung!” seru mamanya.
Ify langsung mengangguk dan mencari payung dengan gesit. Tampaknya Rio  belum menyadari bahwa dia sudah membuat penghuni rumah ini kalang kabut melihat keadaannya. Setelah berhasil mendapatkan payung, Ify berlari ke ambang pintu. Papanya menerima payung tersebut lalu menghampiri Rio.
Tahu-tahu saja hujan berhenti di sekitar Rio. Pemuda itu mendongak dan terkejut saat mendapati seorang pria tengah berbagi payung padanya.
“Nak Rio kenapa hujan-hujanan di sini? Kamu kan bisa pencet bel rumah Om,” kata Papa Ify dengan senyum hangat.
Rio tercenung sejenak, “Maaf. Saya nggak maksud—“
“Ayo masuk!” potong Papa Ify.
“Saya pulang saja. Ini udah tengah malam. Pasti saya mengganggu,” tolak Rio.
“Ayo masuk dulu,” balas pria itu meyakinkan.
Rio mengangguk. Mereka lantas berjalan beriringan melewati halaman. Sejurus kemudian, Rio meringis karena sadar telah menganggu waktu istirahat penghuni rumah ini.
“Ify, tolong ambilin handuk buat Rio. Rio, kamu ikut Ozy ke kamarnya ya, ganti baju kamu yang udah basah itu biar nggak masuk angin,” titah Mama Ify.
Ify menganggukkan kepala dengan patuh lalu berlari menyambar handuk. Sementara itu, Rio diajak Ozy ke kamarnya. Dua pemuda itu memiliki postur tubuh yang nyaris sama. Ozy dan Ify memang memiliki perawakan tinggi yang mereka dapat dari gen papa.
“Lo pakai ini aja, Kak. Belum pernah gue pake semua kok karna kegedean,” ujar Ozy mengangsurkan kaos dan celana pendek.
Tak lama kemudian, Ify datang dengan handuk di tangannya.
“Nih handuknya. Lo bersihin diri dulu deh, Yo,” kata Ify.
Sedari tadi Rio hanya pasrah. Pemuda itu lantas masuk ke kamar mandi yang berada di kamar Ozy. Sebagai manusia yang punya kebiasaan mandi berjam-jam, Ozy punya kamar mandi khusus di kamarnya sendiri.
“Kayaknya Kak Rio lagi ada masalah,” ceplos Ozy.
Ah, Ify setuju. Hanya saja ada yang mengusiknya. Mengapa dari banyak pilihan rumah yang bisa ia kunjungi tengah malam seperti ini, Rio justru ke rumahnya? Mengapa bukan rumah Gabriel? Atau Cakka? Kalau pilihan itu diambil, dia tak perlu kehujanan. Kecuali jika... Ify langsung menutup mulutnya rapat.
***
Hangat. Kepulan asap yang muncul dari cokelat panas yang di tangannya ini sangat cocok dengan hujan. Alvin, ia masih terjaga disaat orang lain memilih untuk menuntaskan hasrat tidur pulas di balik selimut tebal. Tiba-tiba pemuda itu ingin menikmati hujan dari jendela balkon kamarnya.
Akhir-akhir ini Alvin tak lagi menemani Shilla kemanapun dia mau, dia juga sudah tak sedekat dulu dengan gadis itu. Tapi tampaknya Shilla biasa saja karena sudah ada Gabriel di sampingnya. Memang seharusnya begitu.
Rintik hujan sudah mulai mereda, Alvin kembali menyesap cokelat panas untuk memadamkan api di hatinya. Kali ini bukan api kecemburuan, tapi api lainnya. Api cemburu itu telah padam sejak dia memutuskan untuk beralih pada Sivia. Gadis manis yang sangat berisik. Mendadak rasa bersalah itu muncul kembali.
Alvin meletakkan cangkirnya karena isinya sudah raib dan berpindah ke perut. Sejurus kemudian, dia berjalan menuju dinding. Masih ada di sana, foto-foto polaroid Shilla yang dirangkai menjadi kalimat MY DREAM. Jemari Alvin terangkat menelusuri foto-foto tersebut lalu terhenti pada satu foto. Itu adalah foto pertama yang diambilnya. Perlahan, jemarinya bergerak turun, ia ingin melepaskan foto-foto itu dari dinding kamarnya. Saat hendak melakukan, seperti ada sesuatu yang menghentikan niatnya. Alvin menggeleng tegas, kemudian memindahkan figura berukuran besar—berisi foto keluarga—untuk menutupi foto-foto Shilla.
“Impian gue tentang lo begitu banyak, Shil. Inti dari semuanya adalah gue mau lo bahagia. Sampai gue sadar, satu-satunya cara supaya lo bahagia adalah... melepaskan. Sampai kapanpun, lo adalah cinta sebelah tangan yang nggak pernah sedikitpun gue sesali.”
It’s over. It’s done. Apalah itu. Yang jelas, sampai di sini, Alvin yakin pilihannya sudah tepat. Apa yang dilakukannya sangat sempurna. Sebab, hanya dengan cara ini ia menjadi alasan mengapa Shilla bahagia.
***
“Rio, kamu makan sup buatan Tante ya biar badan kamu angetan,” kata Mama Ify.
Rio terkesima diberi perhatian seperti ini. Rasanya, sudah lama sekali ia tidak diperhatikan siapapun. Kedua orang tuanya workholic. Mereka berangkat pagi-pagi sekali dan pulang malam, terkadang malah tidak pulang. Mereka tidak pernah tahu apakah anak semata wayangnya sudah makan atau belum, sakit atau tidak, tidur nyenyak atau sebaliknya.
“Ozy tidur duluan ya, ngantuk banget,” ceplos Ozy seraya menguap.
“Kalau nguap itu mulutnya ditutup,” tegur papanya.
Ozy hanya mengangguk tak acuh lalu kembali ke kamarnya. Sementara itu, Rio mulai menikmati sup buatan mamanya Ify yang bisa dibilang rasa hotel berbintang. Padahal cuma sup. Detik berikutnya Rio baru ingat kalau dia belum makan, pantas saja dia seperti sedang kelaparan.
“Lo ngapain sih tadi nggak nelpon gue aja? Kan nggak perlu hujan-hujanan,” celetuk Ify yang duduk di sebelah Rio.
Sumpah, Ify belum mengantuk sama sekali. Padahal hujan berganti dengan gerimis dan sudah tak ada lagi petir-petir yang menyambar.
“Takut ganggu,” jawab Rio pendek.
“Lagi ada masalah sama bokap lo?” tebak Ify.
Rio meringis. Di depan Ify, semua tentang Rio seolah transparan. Dia bisa langsung menebak tepat sasaran. Dan pilihan Rio memang tak salah. Dia butuh orang seperti Ify, seseorang yang bisa mengerti dan memahaminya tanpa Rio harus bicara.
Sedangkan kedua orang tua Ify seperti tokoh pasif diantara mereka, mendengarkan percakapan putrinya dengan putra sahabat mereka kala remaja dulu. Diam-diam Papa Ify tersenyum, betapa fisik Rio sama persis dengan Reon.
“Masih masalah yang sama ya?” tebak Ify lagi.
Kali ini Papa Ify mengamati putrinya. Ify memang menuruni gen istrinya. Bukan hanya secara fisik, tapi juga sifat.
“Tadi gue berantem sama bokap. Gue udah bilang mau stop jadi apa yang Papa mau dan jadi musisi, tapi... Papa nggak setuju. Sepanjang sejarah gue jadi anaknya, ini kali pertama kita berantem kayak gini,” jelas Rio serinci mungkin.
Papa dan Mama Ify reflek bertatapan.
“Jadi musisi?” tanya Mama Ify memastikan.
Rio pun tersadar bahwa saat ini bukan hanya ada dia dan Ify, melainkan ada orang tua gadis itu pula. Dia lantas mengangguk dengan kikuk.
“Hm, Fy, antar Rio ke kamar tamu ya,” titah papanya.
Meski bingung, Ify tetap melakukan perintah papanya. Sepeninggalan dua remaja itu, kedua orang tua Ify kembali saling menatap dengan wajah serius.
***
Keesokan paginya, Sivia belingsatan saat tahu-tahu Alvin mengirimi pesan akan menjemputnya dan berangkat ke sekolah bersama. Kebiasaan buruk Sivia adalah bangun di waktu yang bisa dibilang mepet. Ify saja jika ingin berangkat bersama Sivia terpaksa bangun lebih pagi supaya punya waktu untuk membangunkan sahabatnya yang susah bangun pagi itu. Biasanya Ify sampai harus meminjam peralatan dapur dan membuat solo marching band. Tentunya yang dilakukan Ify bukan hanya dapat membangunkan Sivia, tapi juga semua orang di komplek.
“Apa sih kamu kok gedebak gedebuk gitu?” tanya Desi—Mama Sivia—bingung sekaligus kesal karena Sivia sangat berisik, lebih berisik dari biasanya.
“Gawat, Ma! Ini super gawat!” seru Sivia.
“Hah? Apa yang gawat?” tanya Desi berubah panik.
“Sivia bakal dijemput gebetan! Sumpah, ini gawat!” seru Sivia heboh.
Detik berikutnya Desi ingin memasukkan anaknya ke dalam karung goni. Dia pikir ada hal berbahaya, tahunya tidak penting.
“Siapa sih yang jemput? Gabriel? Kan udah biasa gitu,” balas mamanya membuat Sivia cemberut.
Dia ingat saat pertama kali Gabriel menyambangi rumahnya, mamanya langsung heboh karena tidak percaya akhirnya putrinya ini dijemput laki-laki. Mana tampan pula. Sejak saat itu mamanya salah sangka dan mengira kalau Gabriel adalah gebetan Sivia.
“Bukan Gabriel ih! Gabriel mah partner nyolot-nyolotan. Ini sahabatnya Gabriel, Ma. Namanya Alvin,” jelas Sivia.
Desi reflek memukul lengan Sivia, “Kamu ini ya! Siapa yang ngajarin jadi playgirl? Mana itu sahabatnya Gabriel sendiri lagi! Tobat kamu Sivia!”
Sial. Sepertinya kecablakannya didapat dari ibunya sendiri. Like mother like daughter. Memang, jika teman-temannya mengatakan bahwa Sivia adalah makhluk terberisik dan tercablak yang mereka kenal, itu berarti mereka belum pernah ketemu mamanya.
“Kok jadi playgirl sih?” dengus Sivia.
“Jadi, kamu naksirnya sama siapa? Gabriel apa sahabatnya?” tanya Desi polos.
“Alvin, Ma. Kan udah Sivia bilang, Gabriel tuh partner nyolot-nyolotan. Ah, jam berapa nih? Loh kok udah jam segini? Mama sih ngajak ngobrol!”
Sekali lagi, tangan Desi melayang ke lengan putrinya.
“Sembarangan ya kamu nyalahin orang tua! Salah siapa nanggepin,” balas Desi tak acuh.
Mungkin kalau di chat, sudah bertebaran stiker cony dan brown sedang berantem atau james yang lebay. Tapi Sivia tak berniat membalas lagi, bisa bisa sampai episode ke seribu masih belum kelar urusannya. Jadi, gadis itu memilih untuk sibuk berdandan. Desi sendiri memperhatikan dengan bingung. Sebab, dia tak pernah melihat putrinya heboh memperhatikan penampilan seperti ini.
Mulai dari tas, Sivia mengganti tas yang biasa dipakai dengan tas baru hadiah dari Lintar tahun lalu. Tas yang sudah lama disimpan dengan alasan cewek banget. Lalu, Sivia memakai bedak dan lip gloss! Meskipun tipis, tetap saja wajah yang biasanya polos tanpa polesan apa-apa—cuci muka pakai facial foam saja sebulan sekali—kini jadi lebih fresh. Sebenarnya Desi sudah menyuruh Sivia pakai bedak dan lip gloss sejak lama karena kulit Sivia memang berwarna pucat.
“Sekarang aja sok bersihin sepatu,” cibir mamanya.
Sivia nyengir lalu tampak puas dengan sepatunya yang mengkilap. Selanjutnya, dia menyempotkan parfume. Ya, parfume! Bukan baby cologne. Tak urung, Desi tersenyum geli, ternyata putrinya sudah beranjak dewasa.
“Ma, bagusnya digerai apa dikuncir ya?” tanya Sivia meminta pendapat.
“Hm... dibotakin,” sahut mamanya menyebalkan.
“Mama ih!”
“Hehe dikuncir aja,” kata mamanya.
Dia pun menguncir rambutnya yang sudah panjang itu seperti ekor kuda. Sumpah, Sivia harus menguncirnya dengan hati-hati supaya rapih.
“Lagian ketemu tiap hari aja pakai sok ribet begini,” kekeh Desi.
Tak lama kemudian, terdengar suara klakson mobil. Sivia langsung yakin kalau mobil itu adalah mobil Alvin.
“Wah, udah dateng! Ma, berangkat dulu!” pamit Sivia buru-buru.
“Eh, sarapan dulu!” seru mamanya toa.
“Nggak mau! Ntar seragamnya bau nasi,” tolak Sivia membuat mamanya geleng-geleng. Sejak kapan seragam bisa bau nasi?
Desi lantas mengikuti anaknya sampai ambang pintu.
“Tante, saya ijin berangkat sama Sivia,” pamit Alvin padanya.
“Hati-hati ya, jangan ngebut,” pesannya khas seperti ibu-ibu pada umumnya.
Alvin tersenyum tipis lalu mengangguk. Dia dan Sivia lantas masuk ke mobil, melesat menuju Budi Karya di tengah padatnya ibu kota.
***
Tubuh Gabriel menegang saat mobil Alvin terparkir di sebelah mobilnya. Bukan itu yang mengusiknya, tapi sosok Sivia yang menyembul dari balik pintu mobil tersebut. Sesaat, aliran darah Gabriel berpacu dengan nafasnya yang memburu. Saat Sivia melambaikan tangan ke arahnya pun Gabriel masih tak berkutik.
“Kenapa lu?” tanya Sivia.
Gabriel terkesiap, dia tak menyadari bahwa Sivia sudah ada di sampingnya.
“Ng—nggak. Berangkat bareng ya?” sahut Gabriel dengan senyum paksa.
“Iya. Gue sengaja jemput Sivia,” jawab Alvin tenang.
Gabriel kembali tersenyum, lebih terpaksa dari sebelumnya. Tapi sepertinya Sivia tak sadar karena gadis itu langsung menarik lengannya dan Alvin secara bersamaan. Gabriel pasrah, begitu pula dengan Alvin.
Sesampainya di kelas XI IPA 4 Sivia baru melepaskan tarikannya dan melenggang masuk ke kelas. Gabriel dan Alvin pun menuju kelas mereka yang berada paling ujung. Tak ingin menyulut api, Gabriel berusaha bersikap sewajarnya. Di balik itu semua, ada kegundahan yang tak bisa dijelaskan olehnya. Apalagi saat menyaksikan wajah bahagia Sivia.
“GAB! VIN!” seru Cakka.
Mereka lantas menghampiri Cakka yang sedang duduk di bangku Alvin—sebelah Shilla.
“Apaan?” tanya Alvin.
“Rio sakit,” jawab Cakka membuat Gabriel dan Alvin bingung.
Setahu mereka, Rio jarang sekali sakit. Kerja 24 jam saja dia masih baik-baik saja meskipun efeknya adalah ngantuk dan tidak konsen.
“Sakit apa?” tanya Gabriel.
“Demam sama flu gitu. Tadi Ify ke sini ngasihin suratnya,” sahut Shilla.
“Kok Ify?” tanya Gabriel lagi.
Shilla mengedikkan bahunya, “Gue juga belum dikasih tau full ceritanya. Yang jelas, Rio di rumah Ify. Nanti pulang sekolah kita ke rumah Ify ya.”
Mereka mengangguk setuju. Alvin jadi teringat tadi Sivia sempat menunjukkan rumah Ify tapi rumah itu terlihat sepi, gerbangnya juga tertutup rapat, kata Sivia sih Ify memang rajin berangkat pagi.
“Cak, kapan nembak Agni?” tanya Shilla pada Cakka.
Alvin dan Gabriel reflek menatap Cakka seolah pemuda itu sedang menjadi tersangka. Cakka meringis, kemudian melotot ke arah Shilla yang cengar-cengir.
“Wah kok nggak cerita sih, Cak?” kekeh Alvin.
Cakka tampak malu-malu, “Gue masih nyari ide buat nembak. Shilla emang ya bacot banget segala diumumin.”
“Jadi, diantara kita berlima ntar lo duluan dong yang jadian?” goda Gabriel.
“Iya dong. Kalo nungguin lu semua, gue bisa jadi jomblo lapuk,” seloroh Cakka.
“Lu ngatain gue bacot taunya lebih bacot elu jir,” cetus Shilla.
Detik berikutnya mereka tertawa. Ah, tawa yang benar-benar tawa. Bukan sekedar tawa formalitas. Rasanya menyenangkan.
***
“Jadi, lo merasa Rio jatuh cinta sama lo?” tanya Sivia mengambil kesimpulan.
Istirahat pertama ini, bangku Sivia dan Ify dijadikan tempat konferensi dadakan oleh mereka sendiri ditambah dengan Agni. Katanya ini dilakukan untuk memanfaatkan aksi mengirit uang saku berhubung makanan di kantin semakin mahal. Untungnya pula Shilla, Cakka, Alvin dan Gabriel sedang rapat mengenai rencana penembakan.
“Bukan merasa lagi, tapi udah faktanya begitu. Lo kan tahu Ify itu mbah dukun,” celetuk Agni sambil menyuapkan kacang ke dalam mulutnya sendiri.
Tadi Agni sempat protes saat Sivia mengeluarkan kacangnya, Sivia memang sengaja menyetok kacang di dalam laci untuk berjaga-jaga saat bosan. Kata Agni, mereka akan diskusi, bukan nonton film, tapi ujung-ujungnya Agni ikut makan.
“Kelihatan banget sih kalau Rio naksir elo, Fy. Daridulu malah. Tapi, kok lo baru merasanya sekarang?” tanya Sivia.
Ify mengerjap, Sivia yang acuh tak acuh saja sadar.
“Gue juga udah merasa sih sejak dulu. Cuman gue mikirnya mungkin dia begitu karna pertama kali dapet temen di luar The Wanted,” aku Ify.
Beberapa menit yang lalu, Ify menceritakan kronologi semalam saat tiba-tiba Rio sudah ada di depan rumahnya. Ia pun mengutarakan kegusarannya semalam, pertanyaan yang akhirnya ia jawab sendiri. Mengapa Rio justru berada di rumahnya? Bukan di rumah Cakka atau Gabriel? Dan jawaban yang muncul dalam benak Ify adalah... Rio menganggap Ify sebagai penenang jiwa, lebih dari itu, Rio jatuh cinta padanya.
“Coba deh lo respon Rio. Bukan respon yang kayak biasanya, tapi lebih dalam lagi, lo selami hatinya. Gue yakin lo bukannya belum move on dari Ray, tapi lo terlalu menutup hati sampai Rio nggak bisa masuk sama sekali.”
Ify menatap Sivia ragu. Sejak dulu, tidak ada yang mampu mencapai standar jatuh cintanya selain Ray. Sampai pada saat mereka harus saling melepaskan, standar itu tak berlaku lagi. Tapi bukan berarti ada orang yang bisa menyusup seenaknya.
“Lo nggak ada perasaan apapun ke Rio?” tanya Agni.
“Ng—nggak tahu. Mungkin tertarik, tapi—“
“Cukup. Intinya lo bisa kok jatuh cinta sama Rio kayak yang dibilang Sivia tadi,” potong Agni.
Ify hanya mengangguk paham.
“Terus elo ada masalah apa, Ag?” tanya Ify to the point.
“Cakka udah tahu soal perasaan gue ke dia,” kata Agni pelan.
Sivia sontak melotot, “Lo suka sama Cakka, Ag?”
Agni melirik sekilas kemudian mengangguk.
“Terus?”
“Dia bilang dia juga suka gue.”
“Bukannya itu kabar bagus?” balas Ify.
Agni mengedikkan bahunya, “Masalahnya dia nggak kasih kepastian atau kejelasan gitu status gue sama dia apa.”
Ify dan Sivia mengerti. Sudah jelas saling cinta, tapi status tetap hal yang terpenting bagi perempuan. Betul kan?
***
Jam pelajaran sejarah, bosan, mengantuk. Perpaduan yang pas sekaligus menyakitkan. Alvin menguap, detik berikutnya menular ke Shilla, lalu Cakka dan Gabriel terakhir. Namun bukan hanya mereka berempat yang menguap karena selanjutnya satu kelas tertular, tiap detiknya selalu ada yang menguap seolah kegiatan itu dilakukan secara bergilir atau mungkin bisa dibilang sahut-sahutan.
Pak Sutrisna yang sedang membacakan sejarah kerajaan majapahit tak sadar sama sekali bahwa siswa-siswanya sudah benar-benar bosan. Shilla melirik Cakka yang duduk di sebelahnya karena Alvin pindah di sebelah Gabriel.
“Cak,” panggil Shilla.
Cakka menoleh seraya menguap, “Apaan?”
“Mau kapan lancarin rencananya?” tanya Shilla membuka obrolan.
“Ntar kalo Rio sembuh aja.”
Shilla ber-oh-ria lalu diam lagi. Sumpah, ini sangat membosankan. Apalagi Cakka sedang tidak asik diajak mengobrol karna mengantuk.
“Lama-lama Pak Sutrisna mirip manusia purba,” dumel Shilla.
Cakka yang mendengar hanya terkikik geli. Selanjutnya, dia memilih menyandarkan kepalanya di atas meja. Tak lama kemudian laki-laki itu tertidur pulas. Ah, beruntungnya Cakka karena ditutupi oleh Petra. Berhubung Petra memiliki bodi yang sangat lebar, teman-temannya suka iri dengan Alvin yang kebagian duduk di belakang Petra—dan sekarang jadi bangku Cakka sementara. Tentunya mereka hanya iri disaat seperti ini saja, sebab selain itu Petra justru punya potensi menghilangkan papan tulis tanpa kekuatan magic.
Di sisi lain, Alvin melirik Gabriel dari sudut matanya. Pemuda itu tampak gelisah, seperti sedang memikirkan sesuatu. Alvin mendengus pelan lalu berusaha fokus pada Pak Sutrisna yang masih asik dengan ceritanya.
***
“Tim menolak Sivia bahagia berkumpul kembali yay,” ceplos Sivia saat menginjakkan kaki di rumah Ify.
Yang lain geleng-geleng kepala mendengarnya. Meski akhir-akhir ini sebutan itu tak lagi asing, tetap saja membuat geli. Anehnya lagi si proklamator justru sangat bangga.
Sesuai rencana, mereka semua menjenguk Rio di rumah Ify setelah pulang sekolah.
“Yuk masuk,” ajak Ify membukakan pintu rumahnya.
Begitu pintu itu terbuka, terdapat pemandangan yang membuat kening Ify berkerut. Seorang pria seusia papanya sedang bercengkrama dengan kedua orang tua Ify. Mereka tampak bicara serius.
“Om Reon ke sini?” desis Cakka.
Ify menoleh, “Om Reon? Bokapnya Rio?”
“Iya. Itu bokapnya Rio,” jawab Cakka.
Menyadari ada tamu baru, kedua orang tua Ify dan pria yang ternyata Reon itu menoleh. Mama Ify langsung memberi kode pada putrinya supaya memberi salam terlebih dahulu. Mereka bertujuh lantas mendekat.
“Selamat siang,” sapa mereka semua.
“Anakmu yang ini ya?” tanya Reon menunjuk Ify.
“Iya. Dia anakku. Sangat mirip ibunya kan?” balas papanya dengan seringaian kecil.
Reon mengangguk, “Nama kamu siapa?”
“Saya Ify, Om.”
“Ohhh Ify,” gumam Reon.
Pria itu lantas melirik yang lain, “Shilla, Gabriel, Alvin dan Cakka. Lama nggak jumpa. Apa kabar? Mau nengokin Rio ya?”
“Baik, Om. Kami memang mau nengokin Rio,” sahut Cakka mewakili.
“Ajak temen-temen kamu, Fy. Rio masih di kamar. Dia sudah mendingan daripada tadi pagi,” kata mamanya.
Ify menurut lalu mengucapkan permisi dan mengajak sahabat-sahabatnya ke kamar tamu. Sepeninggalan mereka, wajah Reon dan kedua orang tua Ify kembali serius. Tidak seperti tadi.
“Menurutmu aku terlalu keras mendidik Rio?” tanya Reon.
“Kamu mendidik Rio seperti ayahmu mendidik kamu, Reon. Jelas itu salah karena Rio bukan kamu,” jawab Papa Ify.
Reon berdecak, rahangnya mengeras, “Aku hanya ingin dia jadi orang, seperti kata kakeknya. Jadi, aku pikir dengan cara ini dia akan jadi orang sungguhan.”
“Bukannya dulu kamu juga ingin jadi musisi? Kamu tahu kan rasanya dikekang? Kamu juga tahu kan rasanya impian kamu dimatikan?” cerocos Mama Ify mebuat Reon tersenyum lirih.
Dulu, Reon sempat mencintai wanita ini. Gita, mamanya Ify. Tapi akhirnya dia relakan cintanya untuk Alex—Papa Ify. Mereka menyukai orang yang sama! Karena tak ingin merusak persahabatan, akhirnya Reon mundur dan justru gencar mendekatkan Alex dengan Gita hingga mereka resmi berpacaran dan menikah. Ternyata wanita ini masih sama, hangat dan pengertian. Dan mendengar cerita Dayat mengenai putranya yang dekat dengan Ify, dia pun jadi yakin bahwa Ify punya sifat itu juga.
“Sangat tahu. Sakit dan berantakan,” sahut Reon tenang.
“Itu juga yang dirasakan Rio,” ujar Gita menatap Reon penuh harap.
“Tapi, Git. Musisi... aku tahu dulu aku juga pernah memimpikannya. Sekarang cara pandangku beda, jadi musisi hanya akan buang-buang waktu,” kilah Reon.
“Setidaknya beri anakmu kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri, bukan jadi seperti apa yang kamu mau,” tandas Alex.
Reon mendengus, “Okey! Aku paham kalau lagi-lagi aku harus kalah jika bicara dengan kalian! Akan kuturuti perintah kalian, sahabat-sahabat laknat!”
Tawa Alex dan Gita meledak. Sekeras apapun Reon, dia paling tidak sanggup menolak mengiyakan kata-kata Alex dan Gita. Seperti dulu, saat Reon mengenal gadis cantik yang akhirnya menjadi istrinya. Kalau bukan karena Alex dan Gita yang memaksanya melakukan pendekatan, pasti Reon masih lajang sampai sekarang. Dia punya gengsi yang sangat tinggi!
“Apa kabar istrimu?” tanya Alex.
“Baik. Dia sama sepertiku, bekerja setiap hari. Nanti kusampaikan salam kalian,” seloroh Reon.
“Nggak ada yang nitip salam. Tapi, nggak pa-pa sih,” kekeh Gita.
“Omong-omong, kayaknya hidupku nggak jauh-jauh dari kalian ya,” cetus Reon.
“Aku pikir juga gitu,” sahut Alex.
Reon tertawa kecil, “Rio pasti akan mendampingi Ify. Aku yakin sekali. Kalau tidak, lebih baik kita jodohkan saja.”
“Dasar gangster!” balas Alex di sela tawanya.
***
Rio membuka matanya perlahan sambil mengerjap saat mendengar kegaduhan yang diciptakan tim menolak Sivia bahagia. Pemuda itu sudah menduga bahwa mereka lah biang kegaduhannya. Dia lantas mengubah posisinya menjadi duduk dibantu oleh Ify.
“Gimana rasanya dirawat calon mertua, Yo?” ceplos Gabriel tanpa rem.
“Lu dateng-dateng ngajak sparing ya,” sengit Rio.
Pusing yang dirasakannya tadi pagi sudah menghilang. Tak hanya itu, dia sudah merasa jauh lebih baik meskipun flu-nya belum sembuh.
“Eleh sakit aja sok jagoan lu. Eh emang sok jagoan deng hujan-hujanan di depan rumah gebetan, udah kek cowok ftv yang ditolak cintanya,” ledek Gabriel semakin menjadi.
Fuck. Bacot lu, Yel,” balas Rio.
Tawa Gabriel langsung meledak mendengarnya sedangkan yang lain sudah cekikikan sedari tadi, kecuali Ify yang memilih tersenyum. Alvin yang jarang tertawa saja ikut tertawa. Sumpah, tawa Alvin masih menjadi pemandangan terindah yang disaksikan Sivia.
“Nyokap gue nggak ngeselin kan, Yo?” tanya Ify.
Rio menggeleng, “Baik banget malah.”
“Jangan berpindah hati ke emaknya,” sahut Cakka.
“Ini bocah pake ikut-ikutan. Lo nggak sekalian, Vin?” decak Rio.
“Ntar. Ini shift-nya Gabriel sama Cakka,” jawab Alvin semakin membuat Rio gemas.
“Eh guys, gue ke dapur dulu ya nyari sesuatu buat dirampok,” cetus Agni mengalihkan perhatian.
“Buat kita jangan lupa, Ag!”
Agni mengacungkan jempolnya lalu melenggang pergi. Baginya, merampok di rumah tante dan omnya sendiri sudah hal yang biasa.
“Eh mumpung Agni pergi tuh, Cak. Lo jelasin ke mereka tuh soal rencana lo,” kata Shilla.
“Rencana apaan, Cak?” tanya Rio.
Cakka menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal sama sekali. Kemudian, dia mulai menceritakan rencana penembakan untuk Agni secara rinci. Rio, Sivia dan Ify yang tak tahu menahu nyaris tak percaya mendengarnya.
“Lo serius mau nembak Agni, Cak?” tanya Ify.
“Iya. Sangat serius. Kalian dukung gue kan?” balas Cakka.
“Dukung!!!” seru Ify dan Sivia bersamaan.
Tepat saat itu Agni masuk dengan wajah bingung. Ditangannya sudah ada banyak camilan yang dia ambil dari kulkas di dapur rumah Ify.
“Dukung apaan?” tanya Agni heran.
Agni tak sadar sahabat-sahabatnya sedang saling melirik.
“Dukung tim menolak Sivia bahagia tetap ada selamanya! HIDUP! CAYOOO!!!!” teriak Sivia tiba-tiba dengan semangat 45.
“Telinga gue budek, goblok!!!” dumel Agni reflek menjauhkan wajah Sivia dengan telapak tangannya.
“AGNIIII!!! KECANTIKAN GUE MASYA ALLAH MENGAPA KAU NODAIIII?”
Jeritan Sivia mampu membuat orang-orang menutup telinganya rapat-rapat karena takut kehilangan indra pendengar. Sivia sendiri tampak nyengir dengan wajah polos, sama sekali tak merasa bersalah.
“Mama kira ada apaan,” cetus seseorang.
Ternyata kedua orang tua Ify serta papanya Rio sudah berada di ambang pintu.
“Sivia emang gitu, Tante. Muka tembok banget nggak sadar suaranya ngalahin toa masjid,” adu Agni.
Gita terkekeh lalu mengalihkan pandangan ke arah Rio.
“Rio, sudah baikan?” tanya Gita.
Rio mengangguk, “Sudah. Makasih banyak Tante mau merawat saya.”
“Cari muka ke calon mertua,” bisik Cakka ke Alvin berhubung mereka bersebelahan.
“Ini papamu mau bicara penting,” Alex angkat bicara.
Rio menatap papanya. Sebelum anak-anak ini datang, Rio tahu kalau papanya ada di sini, entah bagaimana bisa. Yang jelas, Rio spontan pura-pura tidur. Selain karena tidak ingin bicara apa-apa, kepalanya juga pusing.
“Kita keluar dulu yuk!” ajak Alvin.
Begitu mendengar ajakan Alvin, mereka menurut lalu meninggalkan Rio bersama papanya serta kedua orang tua Ify.
“Papa mau bicara apa?” tanya Rio dingin.
Reon mendesah, “Sudah Papa putuskan. Mulai sekarang, kamu boleh melakukan apapun yang kamu mau asal bisa kamu pertanggungjawabkan.”
Bibir Rio terbuka, matanya berbinar, “Papa yakin? Ini maksudnya aku boleh berhenti kerja di perusahaan? Boleh jadi musisi? Bebas meraih apa yang aku mau?”
“Iya. Apapun yang kamu mau.”
“Makasih, Pa. Makasih banyak,” kekeh Rio menahan tangisnya.
“Bilang makasih juga ke Om Alex sama Tante Gita,” titah Reon.
Rio mengernyit, “Om sama Tante yang bantuin Rio bilang ke Papa?”
“Iya. Mereka memang sahabat-sahabat laknat, tahu saja kalau Papa selalu kalah kalau berurusan sama mereka berdua. Padahal sudah lama sekali tidak bertemu, tapi tetap saja Papa yang kalah,” kekeh Reon tiba-tiba ingin menangis.
Meski tak mengerti, toh akhirnya Rio tetap berucap terima kasih.
***
Di dalam mobil Gabriel hanya ada keheningan. Setengah jam lalu, Shilla meminta Gabriel menemaninya menuju tempat fashion show. Kalau bukan karena janji yang pernah diucapkannya dulu, laki-laki itu memilih memanjakan diri di atas kasur empuknya. Ya, siapa sih yang mau keluar malam-malam saat hujan mengguyur seperti ini? Shilla memang masih mengikuti kegiatan-kegiatan modeling-nya seperti dulu. Bahkan, lebih aktif. Jika dulu hanya sebatas fashion show, pemotretan dan iklan, sekarang merambat ke dunia seni peran.
Jika dihitung, sudah ada 3 film yang dibintangi Shilla. Meski muncul bukan sebagai peran utama dan hanya beberapa scene, nama Shilla jelas menjadi sorotan. Termasuk mengenai hubungan asmara. Di akun sosmed gadis itu, banyak sekali yang mengira Shilla terlibat cinta lokasi dengan salah satu aktor di filmnya. Namun gadis itu membantah dengan keras.
“Kayaknya males banget keluar bareng gue,” sindir Shilla.
“Males keluar. Bukan males keluar bareng lo,” ralat Gabriel.
“Apa bedanya?” tanya Shilla.
“Jelas beda. Kalau males keluar, itu artinya gue emang males keluar. Kalau males keluar bareng lo, artinya gue cuma males keluar bareng elo tapi sama yang lain fine aja gitu,” jelas Gabriel.
Shilla mengangguk paham, “Gue boleh cerita, Yel?”
“Cerita aja, sama gue ini,” sahut Gabriel.
“Kemarin sidang perceraian orang tua gue final. Mereka udah resmi cerai. Dan untuk hak asuh anak, gue sendiri yang menentukan mau ikut Papa atau Mama. Sampai sekarang gue bingung mau pilih siapa,” curhat Shilla dengan kesedihan mendalam.
Gabriel tercenung, dia sendiri bingung harus menanggapi seperti apa. Cukup lama senyap menyapa karena Gabriel sibuk berpikir.
“Nggak perlu milih,” kata Gabriel akhirnya.
“Dua-duanya orang tua lo. Nggak bisa dipilih. Untuk urusan tinggal dengan siapa, ikutin aja kata hati lo,” imbuhnya.
“Nggak enak ya jadi anak broken home,” gumam Shilla.
“Nggak perlu dipikirkan. Lo masih bisa bersyukur kok karena kedua orang tua lo masih ada, masih jadiin lo tanggung jawab mereka, nggak peduli mereka masih sama-sama atau enggak,” balas Gabriel.
Shilla menganggukkan kepala lalu memandang keluar jendela. Dia memang sudah mengikhlaskan jika kedua orang tuanya memang sudah tak bisa dipersatukan. Jika dipaksakan, Shilla tahu mereka tidak akan bahagia.
Thanks ya, Yel,” kata Shilla.
Bibir Gabriel tersungging manis. Debaran di dada Shilla pun datang lagi, seperti biasanya. Shilla balas tersenyum lalu kembali memandangi jendela.
***
Bersambung...

Saya tunggu komentarnya ya. Follow twitter.com/fannyslma & ask.fm/fannyslma kuy!