Tittle:
When You Hold Me
Author:
Fanny Salma
Hi guys! Maaf atas kengaretan ini. Maklum, tiga hari
bermalam di RS dan pulang-pulang jadi kayak beruang karna hibernasi setiap
hari.
Hope you like it...
18
Pukul
sebelas malam di tengah derasnya hujan.
Rio tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bertamu, apalagi dengan keadaan basah
kuyup seperti ini. Tapi, pemuda itu benar-benar kalap setelah bicara dengan
papanya. Dan di sinilah Rio sekarang, di depan gerbang sebuah rumah yang
didominasi cat warna putih, ia bersandar di mobil dan membiarkan hujan terus
menghujaminya.
Rumah
Ify. Entah apa yang membuatnya berada di sini. Saat keluar dari ruangan
papanya, pikiran Rio langsung tertuju pada gadis yang akhir-akhir ini
membuatnya campur aduk. Bahagia, sedih, malu, khawatir dan berani. Yang jelas
Rio merasakan hal-hal yang dirasakan manusia normal pada umumnya.
Pemuda
itu tak tahu bahwa Ify masih terjaga di kamarnya. Gadis tersebut berusaha
memejamkan mata namun sulit. Suara petir yang menyambar membuatnya takut. Ify
mendesah, lalu beranjak dari kasur dan melongokkan kepalanya ke jendela hanya
untuk memastikan kapan hujan kira-kira akan berhenti. Melihat sebuah mobil
terparkir di depan rumahnya, dia semakin mempertajam penglihatan.
“Rio,”
desis Ify sarat kepanikan.
Tampak
sosok pemuda yang amat dikenalnya. Dari posturnya yang menjulang, sudah jelas
bahwa itu Rio. Mata Ify mengerjap, berpikir bahwa dia hanya berhalusinasi, tapi
sosok itu masih tetap berada di sana. Berdiri dan membiarkan hujan menyentuh
kulitnya.
Ify
lantas berlari ke bawah, membangunkan kedua orang tuanya yang telah terlelap.
Mendengar suara berisik yang dibuat oleh Ify secara tak sengaja, Ozy pun ikut
terbangun dan menyusul ke bawah.
“Ada apa
sih, Kak?” tanya Ozy seraya menguap lebar.
“Iya,
Fy. Ada apa? Kamu susah tidur?” tanya mamanya.
“Di
luar...”
Dia
mendadak bingung bagaimana menjelaskan bahwa di luar sana ada Rio. Kedua orang
tuanya mengernyit tak mengerti, begitu pula dengan Ozy.
“Apaan?”
tanya Ozy.
“Kenapa
di luar?” sahut papanya.
“Tadi
Ify nggak bisa tidur, terus iseng ngecek ke luar. Ify lihat ada Rio di luar,
tepatnya di depan rumah kita,” jelas Ify.
Mata Ozy
membulat, “Serius lu, Kak? Ini nyaris tengah malem dan di luar lagi hujan!”
“Pa, cek
dulu. Kasihan Rio kalo dia beneran di luar,” interupsi mamanya.
Papanya
mengangguk lalu berjalan menuju pintu. Mama, Ify dan Ozy lantas mengekor di
belakang. Saat membuka pintu, pemandangan pertama yang dilihat mereka semua
adalah sosok pemuda yang tengah menundukkan kepala. Ah, Rio!
“Bener
Kak Rio,” gumam Ozy.
“Fy,
ambil payung!” seru mamanya.
Ify
langsung mengangguk dan mencari payung dengan gesit. Tampaknya Rio belum menyadari bahwa dia sudah membuat
penghuni rumah ini kalang kabut melihat keadaannya. Setelah berhasil
mendapatkan payung, Ify berlari ke ambang pintu. Papanya menerima payung
tersebut lalu menghampiri Rio.
Tahu-tahu
saja hujan berhenti di sekitar Rio. Pemuda itu mendongak dan terkejut saat
mendapati seorang pria tengah berbagi payung padanya.
“Nak Rio
kenapa hujan-hujanan di sini? Kamu kan bisa pencet bel rumah Om,” kata Papa Ify
dengan senyum hangat.
Rio
tercenung sejenak, “Maaf. Saya nggak maksud—“
“Ayo
masuk!” potong Papa Ify.
“Saya
pulang saja. Ini udah tengah malam. Pasti saya mengganggu,” tolak Rio.
“Ayo
masuk dulu,” balas pria itu meyakinkan.
Rio
mengangguk. Mereka lantas berjalan beriringan melewati halaman. Sejurus
kemudian, Rio meringis karena sadar telah menganggu waktu istirahat penghuni
rumah ini.
“Ify, tolong
ambilin handuk buat Rio. Rio, kamu ikut Ozy ke kamarnya ya, ganti baju kamu
yang udah basah itu biar nggak masuk angin,” titah Mama Ify.
Ify
menganggukkan kepala dengan patuh lalu berlari menyambar handuk. Sementara itu,
Rio diajak Ozy ke kamarnya. Dua pemuda itu memiliki postur tubuh yang nyaris
sama. Ozy dan Ify memang memiliki perawakan tinggi yang mereka dapat dari gen
papa.
“Lo
pakai ini aja, Kak. Belum pernah gue pake semua kok karna kegedean,” ujar Ozy
mengangsurkan kaos dan celana pendek.
Tak lama
kemudian, Ify datang dengan handuk di tangannya.
“Nih
handuknya. Lo bersihin diri dulu deh, Yo,” kata Ify.
Sedari tadi
Rio hanya pasrah. Pemuda itu lantas masuk ke kamar mandi yang berada di kamar
Ozy. Sebagai manusia yang punya kebiasaan mandi berjam-jam, Ozy punya kamar
mandi khusus di kamarnya sendiri.
“Kayaknya
Kak Rio lagi ada masalah,” ceplos Ozy.
Ah, Ify
setuju. Hanya saja ada yang mengusiknya. Mengapa dari banyak pilihan rumah yang
bisa ia kunjungi tengah malam seperti ini, Rio justru ke rumahnya? Mengapa
bukan rumah Gabriel? Atau Cakka? Kalau pilihan itu diambil, dia tak perlu
kehujanan. Kecuali jika... Ify langsung menutup mulutnya rapat.
***
Hangat.
Kepulan asap yang muncul dari cokelat panas yang di tangannya ini sangat cocok
dengan hujan. Alvin, ia masih terjaga disaat orang lain memilih untuk
menuntaskan hasrat tidur pulas di balik selimut tebal. Tiba-tiba pemuda itu
ingin menikmati hujan dari jendela balkon kamarnya.
Akhir-akhir
ini Alvin tak lagi menemani Shilla kemanapun dia mau, dia juga sudah tak sedekat
dulu dengan gadis itu. Tapi tampaknya Shilla biasa saja karena sudah ada
Gabriel di sampingnya. Memang seharusnya begitu.
Rintik
hujan sudah mulai mereda, Alvin kembali menyesap cokelat panas untuk memadamkan
api di hatinya. Kali ini bukan api kecemburuan, tapi api lainnya. Api cemburu
itu telah padam sejak dia memutuskan untuk beralih pada Sivia. Gadis manis yang
sangat berisik. Mendadak rasa bersalah itu muncul kembali.
Alvin
meletakkan cangkirnya karena isinya sudah raib dan berpindah ke perut. Sejurus
kemudian, dia berjalan menuju dinding. Masih ada di sana, foto-foto polaroid
Shilla yang dirangkai menjadi kalimat MY DREAM. Jemari Alvin terangkat menelusuri
foto-foto tersebut lalu terhenti pada satu foto. Itu adalah foto pertama yang
diambilnya. Perlahan, jemarinya bergerak turun, ia ingin melepaskan foto-foto
itu dari dinding kamarnya. Saat hendak melakukan, seperti ada sesuatu yang
menghentikan niatnya. Alvin menggeleng tegas, kemudian memindahkan figura
berukuran besar—berisi foto keluarga—untuk menutupi foto-foto Shilla.
“Impian
gue tentang lo begitu banyak, Shil. Inti dari semuanya adalah gue mau lo
bahagia. Sampai gue sadar, satu-satunya cara supaya lo bahagia adalah...
melepaskan. Sampai kapanpun, lo adalah cinta sebelah tangan yang nggak pernah
sedikitpun gue sesali.”
It’s over. It’s done. Apalah itu. Yang jelas, sampai di sini, Alvin yakin pilihannya
sudah tepat. Apa yang dilakukannya sangat sempurna. Sebab, hanya dengan cara
ini ia menjadi alasan mengapa Shilla bahagia.
***
“Rio,
kamu makan sup buatan Tante ya biar badan kamu angetan,” kata Mama Ify.
Rio
terkesima diberi perhatian seperti ini. Rasanya, sudah lama sekali ia tidak
diperhatikan siapapun. Kedua orang tuanya workholic.
Mereka berangkat pagi-pagi sekali dan pulang malam, terkadang malah tidak
pulang. Mereka tidak pernah tahu apakah anak semata wayangnya sudah makan atau
belum, sakit atau tidak, tidur nyenyak atau sebaliknya.
“Ozy
tidur duluan ya, ngantuk banget,” ceplos Ozy seraya menguap.
“Kalau
nguap itu mulutnya ditutup,” tegur papanya.
Ozy
hanya mengangguk tak acuh lalu kembali ke kamarnya. Sementara itu, Rio mulai
menikmati sup buatan mamanya Ify yang bisa dibilang rasa hotel berbintang.
Padahal cuma sup. Detik berikutnya Rio baru ingat kalau dia belum makan, pantas
saja dia seperti sedang kelaparan.
“Lo
ngapain sih tadi nggak nelpon gue aja? Kan nggak perlu hujan-hujanan,” celetuk
Ify yang duduk di sebelah Rio.
Sumpah,
Ify belum mengantuk sama sekali. Padahal hujan berganti dengan gerimis dan
sudah tak ada lagi petir-petir yang menyambar.
“Takut
ganggu,” jawab Rio pendek.
“Lagi
ada masalah sama bokap lo?” tebak Ify.
Rio
meringis. Di depan Ify, semua tentang Rio seolah transparan. Dia bisa langsung
menebak tepat sasaran. Dan pilihan Rio memang tak salah. Dia butuh orang
seperti Ify, seseorang yang bisa mengerti dan memahaminya tanpa Rio harus
bicara.
Sedangkan
kedua orang tua Ify seperti tokoh pasif diantara mereka, mendengarkan
percakapan putrinya dengan putra sahabat mereka kala remaja dulu. Diam-diam
Papa Ify tersenyum, betapa fisik Rio sama persis dengan Reon.
“Masih
masalah yang sama ya?” tebak Ify lagi.
Kali ini
Papa Ify mengamati putrinya. Ify memang menuruni gen istrinya. Bukan hanya
secara fisik, tapi juga sifat.
“Tadi
gue berantem sama bokap. Gue udah bilang mau stop jadi apa yang Papa mau dan jadi musisi, tapi... Papa nggak
setuju. Sepanjang sejarah gue jadi anaknya, ini kali pertama kita berantem
kayak gini,” jelas Rio serinci mungkin.
Papa dan
Mama Ify reflek bertatapan.
“Jadi
musisi?” tanya Mama Ify memastikan.
Rio pun
tersadar bahwa saat ini bukan hanya ada dia dan Ify, melainkan ada orang tua
gadis itu pula. Dia lantas mengangguk dengan kikuk.
“Hm, Fy,
antar Rio ke kamar tamu ya,” titah papanya.
Meski
bingung, Ify tetap melakukan perintah papanya. Sepeninggalan dua remaja itu,
kedua orang tua Ify kembali saling menatap dengan wajah serius.
***
Keesokan
paginya, Sivia belingsatan saat tahu-tahu Alvin mengirimi pesan akan
menjemputnya dan berangkat ke sekolah bersama. Kebiasaan buruk Sivia adalah
bangun di waktu yang bisa dibilang mepet. Ify saja jika ingin berangkat bersama
Sivia terpaksa bangun lebih pagi supaya punya waktu untuk membangunkan
sahabatnya yang susah bangun pagi itu. Biasanya Ify sampai harus meminjam
peralatan dapur dan membuat solo marching
band. Tentunya yang dilakukan Ify bukan hanya dapat membangunkan Sivia,
tapi juga semua orang di komplek.
“Apa sih
kamu kok gedebak gedebuk gitu?” tanya Desi—Mama Sivia—bingung sekaligus kesal
karena Sivia sangat berisik, lebih berisik dari biasanya.
“Gawat,
Ma! Ini super gawat!” seru Sivia.
“Hah?
Apa yang gawat?” tanya Desi berubah panik.
“Sivia
bakal dijemput gebetan! Sumpah, ini gawat!” seru Sivia heboh.
Detik
berikutnya Desi ingin memasukkan anaknya ke dalam karung goni. Dia pikir ada
hal berbahaya, tahunya tidak penting.
“Siapa
sih yang jemput? Gabriel? Kan udah biasa gitu,” balas mamanya membuat Sivia
cemberut.
Dia
ingat saat pertama kali Gabriel menyambangi rumahnya, mamanya langsung heboh
karena tidak percaya akhirnya putrinya ini dijemput laki-laki. Mana tampan
pula. Sejak saat itu mamanya salah sangka dan mengira kalau Gabriel adalah
gebetan Sivia.
“Bukan
Gabriel ih! Gabriel mah partner
nyolot-nyolotan. Ini sahabatnya Gabriel, Ma. Namanya Alvin,” jelas Sivia.
Desi
reflek memukul lengan Sivia, “Kamu ini ya! Siapa yang ngajarin jadi playgirl? Mana itu sahabatnya Gabriel
sendiri lagi! Tobat kamu Sivia!”
Sial.
Sepertinya kecablakannya didapat dari ibunya sendiri. Like mother like daughter. Memang, jika teman-temannya mengatakan
bahwa Sivia adalah makhluk terberisik dan tercablak yang mereka kenal, itu
berarti mereka belum pernah ketemu mamanya.
“Kok
jadi playgirl sih?” dengus Sivia.
“Jadi,
kamu naksirnya sama siapa? Gabriel apa sahabatnya?” tanya Desi polos.
“Alvin,
Ma. Kan udah Sivia bilang, Gabriel tuh partner
nyolot-nyolotan. Ah, jam berapa nih? Loh kok udah jam segini? Mama sih ngajak
ngobrol!”
Sekali
lagi, tangan Desi melayang ke lengan putrinya.
“Sembarangan
ya kamu nyalahin orang tua! Salah siapa nanggepin,” balas Desi tak acuh.
Mungkin
kalau di chat, sudah bertebaran
stiker cony dan brown sedang berantem atau james yang lebay. Tapi Sivia tak
berniat membalas lagi, bisa bisa sampai episode ke seribu masih belum kelar
urusannya. Jadi, gadis itu memilih untuk sibuk berdandan. Desi sendiri
memperhatikan dengan bingung. Sebab, dia tak pernah melihat putrinya heboh
memperhatikan penampilan seperti ini.
Mulai dari
tas, Sivia mengganti tas yang biasa dipakai dengan tas baru hadiah dari Lintar
tahun lalu. Tas yang sudah lama disimpan dengan alasan cewek banget. Lalu, Sivia memakai bedak dan lip gloss! Meskipun tipis, tetap saja wajah yang biasanya polos
tanpa polesan apa-apa—cuci muka pakai facial
foam saja sebulan sekali—kini jadi lebih fresh. Sebenarnya Desi sudah menyuruh Sivia pakai bedak dan lip gloss sejak lama karena kulit Sivia
memang berwarna pucat.
“Sekarang
aja sok bersihin sepatu,” cibir mamanya.
Sivia nyengir
lalu tampak puas dengan sepatunya yang mengkilap. Selanjutnya, dia menyempotkan
parfume. Ya, parfume! Bukan baby cologne.
Tak urung, Desi tersenyum geli, ternyata putrinya sudah beranjak dewasa.
“Ma,
bagusnya digerai apa dikuncir ya?” tanya Sivia meminta pendapat.
“Hm...
dibotakin,” sahut mamanya menyebalkan.
“Mama
ih!”
“Hehe
dikuncir aja,” kata mamanya.
Dia pun
menguncir rambutnya yang sudah panjang itu seperti ekor kuda. Sumpah, Sivia
harus menguncirnya dengan hati-hati supaya rapih.
“Lagian
ketemu tiap hari aja pakai sok ribet begini,” kekeh Desi.
Tak lama
kemudian, terdengar suara klakson mobil. Sivia langsung yakin kalau mobil itu
adalah mobil Alvin.
“Wah,
udah dateng! Ma, berangkat dulu!” pamit Sivia buru-buru.
“Eh,
sarapan dulu!” seru mamanya toa.
“Nggak
mau! Ntar seragamnya bau nasi,” tolak Sivia membuat mamanya geleng-geleng.
Sejak kapan seragam bisa bau nasi?
Desi
lantas mengikuti anaknya sampai ambang pintu.
“Tante,
saya ijin berangkat sama Sivia,” pamit Alvin padanya.
“Hati-hati
ya, jangan ngebut,” pesannya khas seperti ibu-ibu pada umumnya.
Alvin
tersenyum tipis lalu mengangguk. Dia dan Sivia lantas masuk ke mobil, melesat
menuju Budi Karya di tengah padatnya ibu kota.
***
Tubuh
Gabriel menegang saat mobil Alvin terparkir di sebelah mobilnya. Bukan itu yang
mengusiknya, tapi sosok Sivia yang menyembul dari balik pintu mobil tersebut.
Sesaat, aliran darah Gabriel berpacu dengan nafasnya yang memburu. Saat Sivia
melambaikan tangan ke arahnya pun Gabriel masih tak berkutik.
“Kenapa
lu?” tanya Sivia.
Gabriel
terkesiap, dia tak menyadari bahwa Sivia sudah ada di sampingnya.
“Ng—nggak.
Berangkat bareng ya?” sahut Gabriel dengan senyum paksa.
“Iya.
Gue sengaja jemput Sivia,” jawab Alvin tenang.
Gabriel
kembali tersenyum, lebih terpaksa dari sebelumnya. Tapi sepertinya Sivia tak
sadar karena gadis itu langsung menarik lengannya dan Alvin secara bersamaan.
Gabriel pasrah, begitu pula dengan Alvin.
Sesampainya
di kelas XI IPA 4 Sivia baru melepaskan tarikannya dan melenggang masuk ke
kelas. Gabriel dan Alvin pun menuju kelas mereka yang berada paling ujung. Tak
ingin menyulut api, Gabriel berusaha bersikap sewajarnya. Di balik itu semua,
ada kegundahan yang tak bisa dijelaskan olehnya. Apalagi saat menyaksikan wajah
bahagia Sivia.
“GAB!
VIN!” seru Cakka.
Mereka
lantas menghampiri Cakka yang sedang duduk di bangku Alvin—sebelah Shilla.
“Apaan?”
tanya Alvin.
“Rio
sakit,” jawab Cakka membuat Gabriel dan Alvin bingung.
Setahu
mereka, Rio jarang sekali sakit. Kerja 24 jam saja dia masih baik-baik saja
meskipun efeknya adalah ngantuk dan tidak konsen.
“Sakit
apa?” tanya Gabriel.
“Demam
sama flu gitu. Tadi Ify ke sini ngasihin suratnya,” sahut Shilla.
“Kok
Ify?” tanya Gabriel lagi.
Shilla
mengedikkan bahunya, “Gue juga belum dikasih tau full ceritanya. Yang jelas, Rio di rumah Ify. Nanti pulang sekolah
kita ke rumah Ify ya.”
Mereka
mengangguk setuju. Alvin jadi teringat tadi Sivia sempat menunjukkan rumah Ify
tapi rumah itu terlihat sepi, gerbangnya juga tertutup rapat, kata Sivia sih
Ify memang rajin berangkat pagi.
“Cak,
kapan nembak Agni?” tanya Shilla pada Cakka.
Alvin
dan Gabriel reflek menatap Cakka seolah pemuda itu sedang menjadi tersangka.
Cakka meringis, kemudian melotot ke arah Shilla yang cengar-cengir.
“Wah kok
nggak cerita sih, Cak?” kekeh Alvin.
Cakka
tampak malu-malu, “Gue masih nyari ide buat nembak. Shilla emang ya bacot
banget segala diumumin.”
“Jadi,
diantara kita berlima ntar lo duluan dong yang jadian?” goda Gabriel.
“Iya
dong. Kalo nungguin lu semua, gue bisa jadi jomblo lapuk,” seloroh Cakka.
“Lu
ngatain gue bacot taunya lebih bacot elu jir,” cetus Shilla.
Detik
berikutnya mereka tertawa. Ah, tawa yang benar-benar tawa. Bukan sekedar tawa
formalitas. Rasanya menyenangkan.
***
“Jadi,
lo merasa Rio jatuh cinta sama lo?” tanya Sivia mengambil kesimpulan.
Istirahat
pertama ini, bangku Sivia dan Ify dijadikan tempat konferensi dadakan oleh
mereka sendiri ditambah dengan Agni. Katanya ini dilakukan untuk memanfaatkan aksi
mengirit uang saku berhubung makanan di kantin semakin mahal. Untungnya pula Shilla,
Cakka, Alvin dan Gabriel sedang rapat mengenai rencana penembakan.
“Bukan
merasa lagi, tapi udah faktanya begitu. Lo kan tahu Ify itu mbah dukun,”
celetuk Agni sambil menyuapkan kacang ke dalam mulutnya sendiri.
Tadi
Agni sempat protes saat Sivia mengeluarkan kacangnya, Sivia memang sengaja
menyetok kacang di dalam laci untuk berjaga-jaga saat bosan. Kata Agni, mereka
akan diskusi, bukan nonton film, tapi ujung-ujungnya Agni ikut makan.
“Kelihatan
banget sih kalau Rio naksir elo, Fy. Daridulu malah. Tapi, kok lo baru
merasanya sekarang?” tanya Sivia.
Ify
mengerjap, Sivia yang acuh tak acuh saja sadar.
“Gue
juga udah merasa sih sejak dulu. Cuman gue mikirnya mungkin dia begitu karna
pertama kali dapet temen di luar The Wanted,” aku Ify.
Beberapa
menit yang lalu, Ify menceritakan kronologi semalam saat tiba-tiba Rio sudah
ada di depan rumahnya. Ia pun mengutarakan kegusarannya semalam, pertanyaan
yang akhirnya ia jawab sendiri. Mengapa Rio justru berada di rumahnya? Bukan di
rumah Cakka atau Gabriel? Dan jawaban yang muncul dalam benak Ify adalah... Rio
menganggap Ify sebagai penenang jiwa, lebih dari itu, Rio jatuh cinta padanya.
“Coba
deh lo respon Rio. Bukan respon yang kayak biasanya, tapi lebih dalam lagi, lo
selami hatinya. Gue yakin lo bukannya belum move
on dari Ray, tapi lo terlalu menutup hati sampai Rio nggak bisa masuk sama
sekali.”
Ify
menatap Sivia ragu. Sejak dulu, tidak ada yang mampu mencapai standar jatuh
cintanya selain Ray. Sampai pada saat mereka harus saling melepaskan, standar
itu tak berlaku lagi. Tapi bukan berarti ada orang yang bisa menyusup
seenaknya.
“Lo
nggak ada perasaan apapun ke Rio?” tanya Agni.
“Ng—nggak
tahu. Mungkin tertarik, tapi—“
“Cukup.
Intinya lo bisa kok jatuh cinta sama Rio kayak yang dibilang Sivia tadi,”
potong Agni.
Ify
hanya mengangguk paham.
“Terus
elo ada masalah apa, Ag?” tanya Ify to
the point.
“Cakka
udah tahu soal perasaan gue ke dia,” kata Agni pelan.
Sivia
sontak melotot, “Lo suka sama Cakka, Ag?”
Agni
melirik sekilas kemudian mengangguk.
“Terus?”
“Dia bilang
dia juga suka gue.”
“Bukannya
itu kabar bagus?” balas Ify.
Agni
mengedikkan bahunya, “Masalahnya dia nggak kasih kepastian atau kejelasan gitu status
gue sama dia apa.”
Ify dan
Sivia mengerti. Sudah jelas saling cinta, tapi status tetap hal yang terpenting
bagi perempuan. Betul kan?
***
Jam
pelajaran sejarah, bosan, mengantuk. Perpaduan yang pas sekaligus menyakitkan. Alvin
menguap, detik berikutnya menular ke Shilla, lalu Cakka dan Gabriel terakhir.
Namun bukan hanya mereka berempat yang menguap karena selanjutnya satu kelas
tertular, tiap detiknya selalu ada yang menguap seolah kegiatan itu dilakukan
secara bergilir atau mungkin bisa dibilang sahut-sahutan.
Pak
Sutrisna yang sedang membacakan sejarah kerajaan majapahit tak sadar sama
sekali bahwa siswa-siswanya sudah benar-benar bosan. Shilla melirik Cakka yang
duduk di sebelahnya karena Alvin pindah di sebelah Gabriel.
“Cak,”
panggil Shilla.
Cakka
menoleh seraya menguap, “Apaan?”
“Mau
kapan lancarin rencananya?” tanya Shilla membuka obrolan.
“Ntar kalo
Rio sembuh aja.”
Shilla
ber-oh-ria lalu diam lagi. Sumpah, ini sangat membosankan. Apalagi Cakka sedang
tidak asik diajak mengobrol karna mengantuk.
“Lama-lama
Pak Sutrisna mirip manusia purba,” dumel Shilla.
Cakka
yang mendengar hanya terkikik geli. Selanjutnya, dia memilih menyandarkan
kepalanya di atas meja. Tak lama kemudian laki-laki itu tertidur pulas. Ah,
beruntungnya Cakka karena ditutupi oleh Petra. Berhubung Petra memiliki bodi
yang sangat lebar, teman-temannya suka iri dengan Alvin yang kebagian duduk di
belakang Petra—dan sekarang jadi bangku Cakka sementara. Tentunya mereka hanya
iri disaat seperti ini saja, sebab selain itu Petra justru punya potensi
menghilangkan papan tulis tanpa kekuatan magic.
Di sisi
lain, Alvin melirik Gabriel dari sudut matanya. Pemuda itu tampak gelisah,
seperti sedang memikirkan sesuatu. Alvin mendengus pelan lalu berusaha fokus
pada Pak Sutrisna yang masih asik dengan ceritanya.
***
“Tim
menolak Sivia bahagia berkumpul kembali yay,” ceplos Sivia saat menginjakkan kaki
di rumah Ify.
Yang lain
geleng-geleng kepala mendengarnya. Meski akhir-akhir ini sebutan itu tak lagi
asing, tetap saja membuat geli. Anehnya lagi si proklamator justru sangat
bangga.
Sesuai
rencana, mereka semua menjenguk Rio di rumah Ify setelah pulang sekolah.
“Yuk
masuk,” ajak Ify membukakan pintu rumahnya.
Begitu
pintu itu terbuka, terdapat pemandangan yang membuat kening Ify berkerut.
Seorang pria seusia papanya sedang bercengkrama dengan kedua orang tua Ify.
Mereka tampak bicara serius.
“Om Reon
ke sini?” desis Cakka.
Ify
menoleh, “Om Reon? Bokapnya Rio?”
“Iya.
Itu bokapnya Rio,” jawab Cakka.
Menyadari
ada tamu baru, kedua orang tua Ify dan pria yang ternyata Reon itu menoleh. Mama
Ify langsung memberi kode pada putrinya supaya memberi salam terlebih dahulu. Mereka
bertujuh lantas mendekat.
“Selamat
siang,” sapa mereka semua.
“Anakmu
yang ini ya?” tanya Reon menunjuk Ify.
“Iya. Dia
anakku. Sangat mirip ibunya kan?” balas papanya dengan seringaian kecil.
Reon
mengangguk, “Nama kamu siapa?”
“Saya
Ify, Om.”
“Ohhh
Ify,” gumam Reon.
Pria itu
lantas melirik yang lain, “Shilla, Gabriel, Alvin dan Cakka. Lama nggak jumpa.
Apa kabar? Mau nengokin Rio ya?”
“Baik,
Om. Kami memang mau nengokin Rio,” sahut Cakka mewakili.
“Ajak
temen-temen kamu, Fy. Rio masih di kamar. Dia sudah mendingan daripada tadi
pagi,” kata mamanya.
Ify
menurut lalu mengucapkan permisi dan mengajak sahabat-sahabatnya ke kamar tamu.
Sepeninggalan mereka, wajah Reon dan kedua orang tua Ify kembali serius. Tidak
seperti tadi.
“Menurutmu
aku terlalu keras mendidik Rio?” tanya Reon.
“Kamu
mendidik Rio seperti ayahmu mendidik kamu, Reon. Jelas itu salah karena Rio
bukan kamu,” jawab Papa Ify.
Reon
berdecak, rahangnya mengeras, “Aku hanya ingin dia jadi orang, seperti kata
kakeknya. Jadi, aku pikir dengan cara ini dia akan jadi orang sungguhan.”
“Bukannya
dulu kamu juga ingin jadi musisi? Kamu tahu kan rasanya dikekang? Kamu juga
tahu kan rasanya impian kamu dimatikan?” cerocos Mama Ify mebuat Reon tersenyum
lirih.
Dulu,
Reon sempat mencintai wanita ini. Gita, mamanya Ify. Tapi akhirnya dia relakan cintanya
untuk Alex—Papa Ify. Mereka menyukai orang yang sama! Karena tak ingin merusak
persahabatan, akhirnya Reon mundur dan justru gencar mendekatkan Alex dengan
Gita hingga mereka resmi berpacaran dan menikah. Ternyata wanita ini masih
sama, hangat dan pengertian. Dan mendengar cerita Dayat mengenai putranya yang
dekat dengan Ify, dia pun jadi yakin bahwa Ify punya sifat itu juga.
“Sangat
tahu. Sakit dan berantakan,” sahut Reon tenang.
“Itu
juga yang dirasakan Rio,” ujar Gita menatap Reon penuh harap.
“Tapi,
Git. Musisi... aku tahu dulu aku juga pernah memimpikannya. Sekarang cara
pandangku beda, jadi musisi hanya akan buang-buang waktu,” kilah Reon.
“Setidaknya
beri anakmu kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri, bukan jadi seperti apa
yang kamu mau,” tandas Alex.
Reon
mendengus, “Okey! Aku paham kalau lagi-lagi aku harus kalah jika bicara dengan
kalian! Akan kuturuti perintah kalian, sahabat-sahabat laknat!”
Tawa Alex
dan Gita meledak. Sekeras apapun Reon, dia paling tidak sanggup menolak
mengiyakan kata-kata Alex dan Gita. Seperti dulu, saat Reon mengenal gadis
cantik yang akhirnya menjadi istrinya. Kalau bukan karena Alex dan Gita yang
memaksanya melakukan pendekatan, pasti Reon masih lajang sampai sekarang. Dia
punya gengsi yang sangat tinggi!
“Apa
kabar istrimu?” tanya Alex.
“Baik. Dia
sama sepertiku, bekerja setiap hari. Nanti kusampaikan salam kalian,” seloroh
Reon.
“Nggak
ada yang nitip salam. Tapi, nggak pa-pa sih,” kekeh Gita.
“Omong-omong,
kayaknya hidupku nggak jauh-jauh dari kalian ya,” cetus Reon.
“Aku
pikir juga gitu,” sahut Alex.
Reon tertawa
kecil, “Rio pasti akan mendampingi Ify. Aku yakin sekali. Kalau tidak, lebih
baik kita jodohkan saja.”
“Dasar
gangster!” balas Alex di sela tawanya.
***
Rio
membuka matanya perlahan sambil mengerjap saat mendengar kegaduhan yang
diciptakan tim menolak Sivia bahagia. Pemuda itu sudah menduga bahwa mereka lah
biang kegaduhannya. Dia lantas mengubah posisinya menjadi duduk dibantu oleh
Ify.
“Gimana
rasanya dirawat calon mertua, Yo?” ceplos Gabriel tanpa rem.
“Lu
dateng-dateng ngajak sparing ya,”
sengit Rio.
Pusing yang
dirasakannya tadi pagi sudah menghilang. Tak hanya itu, dia sudah merasa jauh
lebih baik meskipun flu-nya belum sembuh.
“Eleh
sakit aja sok jagoan lu. Eh emang sok jagoan deng hujan-hujanan di depan rumah
gebetan, udah kek cowok ftv yang ditolak cintanya,” ledek Gabriel semakin
menjadi.
“Fuck. Bacot lu, Yel,” balas Rio.
Tawa Gabriel
langsung meledak mendengarnya sedangkan yang lain sudah cekikikan sedari tadi,
kecuali Ify yang memilih tersenyum. Alvin yang jarang tertawa saja ikut
tertawa. Sumpah, tawa Alvin masih menjadi pemandangan terindah yang disaksikan
Sivia.
“Nyokap
gue nggak ngeselin kan, Yo?” tanya Ify.
Rio
menggeleng, “Baik banget malah.”
“Jangan
berpindah hati ke emaknya,” sahut Cakka.
“Ini
bocah pake ikut-ikutan. Lo nggak sekalian, Vin?” decak Rio.
“Ntar.
Ini shift-nya Gabriel sama Cakka,” jawab
Alvin semakin membuat Rio gemas.
“Eh
guys, gue ke dapur dulu ya nyari sesuatu buat dirampok,” cetus Agni mengalihkan
perhatian.
“Buat
kita jangan lupa, Ag!”
Agni
mengacungkan jempolnya lalu melenggang pergi. Baginya, merampok di rumah tante
dan omnya sendiri sudah hal yang biasa.
“Eh
mumpung Agni pergi tuh, Cak. Lo jelasin ke mereka tuh soal rencana lo,” kata
Shilla.
“Rencana
apaan, Cak?” tanya Rio.
Cakka
menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal sama sekali. Kemudian, dia mulai
menceritakan rencana penembakan untuk Agni secara rinci. Rio, Sivia dan Ify
yang tak tahu menahu nyaris tak percaya mendengarnya.
“Lo
serius mau nembak Agni, Cak?” tanya Ify.
“Iya. Sangat
serius. Kalian dukung gue kan?” balas Cakka.
“Dukung!!!”
seru Ify dan Sivia bersamaan.
Tepat saat
itu Agni masuk dengan wajah bingung. Ditangannya sudah ada banyak camilan yang
dia ambil dari kulkas di dapur rumah Ify.
“Dukung
apaan?” tanya Agni heran.
Agni tak
sadar sahabat-sahabatnya sedang saling melirik.
“Dukung
tim menolak Sivia bahagia tetap ada selamanya! HIDUP! CAYOOO!!!!” teriak Sivia
tiba-tiba dengan semangat 45.
“Telinga
gue budek, goblok!!!” dumel Agni reflek menjauhkan wajah Sivia dengan telapak tangannya.
“AGNIIII!!!
KECANTIKAN GUE MASYA ALLAH MENGAPA KAU NODAIIII?”
Jeritan
Sivia mampu membuat orang-orang menutup telinganya rapat-rapat karena takut
kehilangan indra pendengar. Sivia sendiri tampak nyengir dengan wajah polos,
sama sekali tak merasa bersalah.
“Mama
kira ada apaan,” cetus seseorang.
Ternyata
kedua orang tua Ify serta papanya Rio sudah berada di ambang pintu.
“Sivia
emang gitu, Tante. Muka tembok banget nggak sadar suaranya ngalahin toa masjid,”
adu Agni.
Gita terkekeh
lalu mengalihkan pandangan ke arah Rio.
“Rio,
sudah baikan?” tanya Gita.
Rio
mengangguk, “Sudah. Makasih banyak Tante mau merawat saya.”
“Cari
muka ke calon mertua,” bisik Cakka ke Alvin berhubung mereka bersebelahan.
“Ini
papamu mau bicara penting,” Alex angkat bicara.
Rio
menatap papanya. Sebelum anak-anak ini datang, Rio tahu kalau papanya ada di
sini, entah bagaimana bisa. Yang jelas, Rio spontan pura-pura tidur. Selain
karena tidak ingin bicara apa-apa, kepalanya juga pusing.
“Kita
keluar dulu yuk!” ajak Alvin.
Begitu
mendengar ajakan Alvin, mereka menurut lalu meninggalkan Rio bersama papanya
serta kedua orang tua Ify.
“Papa
mau bicara apa?” tanya Rio dingin.
Reon
mendesah, “Sudah Papa putuskan. Mulai sekarang, kamu boleh melakukan apapun
yang kamu mau asal bisa kamu pertanggungjawabkan.”
Bibir
Rio terbuka, matanya berbinar, “Papa yakin? Ini maksudnya aku boleh berhenti
kerja di perusahaan? Boleh jadi musisi? Bebas meraih apa yang aku mau?”
“Iya.
Apapun yang kamu mau.”
“Makasih,
Pa. Makasih banyak,” kekeh Rio menahan tangisnya.
“Bilang
makasih juga ke Om Alex sama Tante Gita,” titah Reon.
Rio
mengernyit, “Om sama Tante yang bantuin Rio bilang ke Papa?”
“Iya.
Mereka memang sahabat-sahabat laknat, tahu saja kalau Papa selalu kalah kalau
berurusan sama mereka berdua. Padahal sudah lama sekali tidak bertemu, tapi
tetap saja Papa yang kalah,” kekeh Reon tiba-tiba ingin menangis.
Meski
tak mengerti, toh akhirnya Rio tetap berucap terima kasih.
***
Di dalam
mobil Gabriel hanya ada keheningan. Setengah jam lalu, Shilla meminta Gabriel
menemaninya menuju tempat fashion show.
Kalau bukan karena janji yang pernah diucapkannya dulu, laki-laki itu memilih
memanjakan diri di atas kasur empuknya. Ya, siapa sih yang mau keluar
malam-malam saat hujan mengguyur seperti ini? Shilla memang masih mengikuti
kegiatan-kegiatan modeling-nya
seperti dulu. Bahkan, lebih aktif. Jika dulu hanya sebatas fashion show, pemotretan dan iklan, sekarang merambat ke dunia seni
peran.
Jika dihitung,
sudah ada 3 film yang dibintangi Shilla. Meski muncul bukan sebagai peran utama
dan hanya beberapa scene, nama Shilla
jelas menjadi sorotan. Termasuk mengenai hubungan asmara. Di akun sosmed gadis
itu, banyak sekali yang mengira Shilla terlibat cinta lokasi dengan salah satu
aktor di filmnya. Namun gadis itu membantah dengan keras.
“Kayaknya
males banget keluar bareng gue,” sindir Shilla.
“Males
keluar. Bukan males keluar bareng lo,” ralat Gabriel.
“Apa
bedanya?” tanya Shilla.
“Jelas
beda. Kalau males keluar, itu artinya gue emang males keluar. Kalau males
keluar bareng lo, artinya gue cuma males keluar bareng elo tapi sama yang lain fine aja gitu,” jelas Gabriel.
Shilla
mengangguk paham, “Gue boleh cerita, Yel?”
“Cerita
aja, sama gue ini,” sahut Gabriel.
“Kemarin
sidang perceraian orang tua gue final. Mereka udah resmi cerai. Dan untuk hak
asuh anak, gue sendiri yang menentukan mau ikut Papa atau Mama. Sampai sekarang
gue bingung mau pilih siapa,” curhat Shilla dengan kesedihan mendalam.
Gabriel
tercenung, dia sendiri bingung harus menanggapi seperti apa. Cukup lama senyap
menyapa karena Gabriel sibuk berpikir.
“Nggak
perlu milih,” kata Gabriel akhirnya.
“Dua-duanya
orang tua lo. Nggak bisa dipilih. Untuk urusan tinggal dengan siapa, ikutin aja
kata hati lo,” imbuhnya.
“Nggak
enak ya jadi anak broken home,” gumam
Shilla.
“Nggak
perlu dipikirkan. Lo masih bisa bersyukur kok karena kedua orang tua lo masih
ada, masih jadiin lo tanggung jawab mereka, nggak peduli mereka masih sama-sama
atau enggak,” balas Gabriel.
Shilla
menganggukkan kepala lalu memandang keluar jendela. Dia memang sudah
mengikhlaskan jika kedua orang tuanya memang sudah tak bisa dipersatukan. Jika
dipaksakan, Shilla tahu mereka tidak akan bahagia.
“Thanks ya, Yel,” kata Shilla.
Bibir
Gabriel tersungging manis. Debaran di dada Shilla pun datang lagi, seperti
biasanya. Shilla balas tersenyum lalu kembali memandangi jendela.
***
Bersambung...
Saya tunggu
komentarnya ya. Follow twitter.com/fannyslma & ask.fm/fannyslma kuy!