"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 22 Juli 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 16

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Halooo finally saya kembali dengan WYHM. Mau post ini kok rasanya berat karna bener-bener nggak pede. Udah diedit berkali-kali, tapi masih belum puas juga sampai akhirnya saya nyerah. Saya post seadanya saja hehe

Hope you like it...

16


Pengumuman mengenai peniadaan pelajaran khusus kelas XI membuat mereka bersorak senang, terutama bagi kelas yang hari ini ada ulangan. Sangat kontras dengan anak-anak kelas X dan XII yang menatap iri. Anak-anak kelas XI sengaja dikirim ke SMA Global untuk menjadi supporter Cakrawala dan Cakradara yang hari ini melakukan pertandingan.
Sejujurnya ini adalah mandat dari Gabriel, si anak pemilik yayasan. Tahun lalu, mereka tetap melakukan kegiatan belajar mengajar meskipun ada pertandingan. Namun sekarang Gabriel mengubah peraturan—dengan persetujuan kepala sekolah—karena selain Cakka ada diantara orang-orang yang berjuang untuk kemenangan sekolah, dia juga ingin lebih peduli dengan sekolah yang dibangun papanya ini.
“Jadi, nilai ulangan fisika gue udah mencapai KKM nih?” cetus Alvin.
Gabriel mengangguk. Selain membebaskan anak-anak kelas XI dari KBM, Gabriel mengatakan bahwa siapapun yang ikut memberi support di SMA Global maka nilai ulangan fisikanya sudah mencapai KKM. Ya, beruntung sekali karena Bu Maryam bisa diajak kompromi. Tentunya tak ada yang menyia-nyiakan kesempatan ini. Lagipula, memberi support bukan hal yang susah.
“Gue juga udah siapin poster-poster buat dukung tim basket. Sebagian udah dikasihin ke anak-anak, satu lagi ada di mobil gue buat kita pegang selama pertandingan nanti,” jelas Gabriel.
“Semoga kebaikan lo dibalas Yang Maha Kuasa, sahabatku,” ceplos Sivia membuat Gabriel melengos.
“Tanpa reward itu pun fisika gue selalu di atas KKM,” timpal Ify menyombong ke Sivia.
“Lo mah beruntung aja dapet otak yang kayak Einsten, disayang Bu Maryam pula,” bantah Sivia.
“Itu sih lo aja yang nggak pernah belajar,” sahut Gabriel.
Sivia mengecurutkan bibirnya.
“Tim menolak Sivia bahagia kayaknya makin banyak ya,” curhat Sivia.
“Apaan tuh tim menolak Sivia bahagia?” tanya Shilla bingung.
“Kalian,” jawab Sivia seenaknya.
“Biasa, Shil. Dia lagi suka kasih nama-nama nggak jelas, palingan itu salah satu kekreatifannya lagi,” timpal Rio.
Shilla tertawa mendengarnya. Ah, belum lama mengenal Sivia dan Ify tapi dia sudah sangat nyaman dengan dua gadis ini. Sivia sangat lucu, cablak dan terkadang terkesan nyolot. Kalau Ify, Shilla tak tahu harus menjabarkan Ify seperti apa. Tetapi dia sangat baik dan memahaminya. Ditambah lagi dengan Agni. Meskipun dulu sempat bentrok dengannya, Shilla sekarang jadi tahu kalau Agni sangat humble dan royal.
“Ini kita jadi berangkat nggak? Keburu pertandingannya kelar,” kata Alvin tak sabar.
“Oh iya. Ya udah yuk. Kita pakai mobil siapa?” sahut Shilla.
“Pakai mobil masing-masing. Kan kita nggak mungkin balik lagi ke sekolah. Selain lumayan jauh, gue juga mager,” jawab Alvin.
“Terus gue sama Sivia gimana?” tanya Ify bingung. Sama persis seperti kemarin, saat Gabriel dan Rio sama-sama membawa mobil.
“Susah deh ya kalo naiknya angkutan umum kayak kita, Fy,” dengus Sivia.
“Sama gue dong. Yuk!” sahut Shilla dengan sedikit terkekeh.
Ify dan Sivia spontan bertosria—entah dalam rangka apa—kemudian mereka semua berjalan menuju parkiran. Sesampainya di parkiran, mereka berpisah dan menghampiri mobil masing-masing. Tentunya Ify dan Sivia mebuntuti Shilla.
***
Langkah kaki Agni terlihat buru-buru menuju lapangan. Gadis itu hanya bisa nyengir ketika teman-teman lainnya sudah berada di sana dengan wajah masam karena terlalu lama menunggu. Rikuh, Agni semakin mempercepat langkahnya lalu maju dan berdiri di samping Cakka serta Pak Reihan.
“Maaf, tadi bener-bener macet,” ujar Agni.
“Berhubung semuanya sudah lengkap, silahkan ganti seragam kalian terlebih dahulu. Setelah itu kalian kembali berkumpul di sini.”
Semuanya menurut lalu membubarkan diri untuk berganti seragam. Beberapa menit kemudian, tim basket kembali dengan kaos kebanggaan mereka. Betapa terkejutnya mereka saat sadar bahwa nyaris seluruh kelas XI berada di tribun. Cakka melihat sahabat-sahabatnya yang membawa poster bertuliskan ‘CAKRAWALA DAN CAKRADARA BISA!’ sedang melambaikan tangan ke arahnya. Pemuda itu lantas menyenggol lengan Agni.
“Apaan?” tanya Agni bingung.
“Tuh,” cetus Cakka menunjuk sahabat-sahabatnya.
Agni mengikuti arah pandang lelaki di sebelahnya. Detik selanjutnya senyum gadis itu merekah. Agni dan Cakka lantas berdadahria.
“Si Gabriel minta ke kepsek supaya anak-anak angkatan kita ke sini buat kasih support,” celetuk Debo yang kemudian meneguk air mineralnya.
“Pantesan. Gue pikir kita bakalan kekurangan supporter,” sahut Agni.
“Sama. Lo tahu sendiri lah gimana supporter anak-anak SMA Global. Ngeri cuy! Gue yakin final kita hadap-hadapan sama mereka kayak tahun lalu,” timpal Olin yang tanpa sengaja mendengar obrolan mereka.
Cakka lantas mengedarkan pandangannya. Ah, jelaslah supporter SMA Global sebanyak ini. Ini  kan kandang mereka!
“Mau supporter kita banyak atau sedikit nggak masalah. Kita kan udah latihan keras, masa cuma karna supporter jadi minder? Gue yakin kok kita bakalan sampai final,” dalih Cakka.
“Bener kata Cakka. Udah, nggak usah mikirin aneh-aneh,” timpal Agni.
Obrolan itu terhenti ketika Pak Reihan menginterupsi supaya Cakrawala berkumpul berhubung pertandingan akan dimulai. Agni lantas duduk bersama teman-teman setimnya. Tahun lalu dia juga memimpin Cakradara dan menembus juara 1, sayangnya Cakrawala yang dipimpin Patton hanya sampai juara 2.
Agni menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru lapangan dan berhenti di satu titik. Gadis itu menyipitkan matanya, berusaha mengingat seseorang yang sedang diperhatikannya saat ini. Seorang laki-laki yang sepertinya begitu familiar bersama gadis cantik berpakaian cheers.
Perempuan yang ternyata anggota cheers dari SMA Global tersebut lantas bergabung bersama teman-teman cheers lainnya dan  si laki-laki familiar itu pun bergabung bersama tim basket. Ah, Agni ingat laki-laki itu adalah kapten basket Global. Tapi, bukan hal itu yang berusaha diingatnya.
“Ag, lihatin apaan?” tanya Zevana.
Agni tampak gelagapan, “Nggak kok.”
“Eh ayo gabung sama Pak Reihan,” cetus Olivia.
“Agni! Ayo!”
Agni kembali gelagapan. Gadis itu lantas mengikuti teman-temannya.
***
Pertandingan basket ini dibuka dengan performance tim cheers dari SMA Global. Para gadis cantik itu melakukan berbagai gerakan dengan sangat sempurna, nyaris tak ada cacat. Banyak sekali penonton yang terpukau, tak terkecuali supporter dari Cakrawala.
“SMA Global daridulu selalu bikin ngeri,” ceplos Sivia.
Ify mengangguk setuju meskipun baru sekarang dia dan Sivia menonton pertandingan secara live seperti ini. Mengenai kengerian SMA Global pun mereka tahu dari Agni. Tahun lalu, Agni dibabat habis oleh Global hingga sempat cidera ringan. Untungnya Agni dan kawan-kawan berhasil mempertahankan tim mereka sampai ke final dan akhirnya menang.
Pertandingan pertama, Cakrawala dan Cakradara sama-sama lolos dengan sangat mudah. Sepertinya kedatangan supporter yang lumayan banyak membuat semangat mereka membuncah.
Sampai beberapa jam kemudian bersama ketegangan yang luar biasa, dua tim kebanggaan Budi Karya berhasil memasuki final dan melawan SMA Global. Seperti tahun lalu. Bedanya, hari ini mereka kembali berhadapan dengan anggota tim yang berbeda—kecuali Agni.
“Fy... lihat itu!” seru Sivia.
“Apaan?” tanya Ify bingung.
“Perhatiin anggota Global.”
Sejurus kemudian Ify mulai memperhatikan tim basket dari Global. Betapa terkejutnya gadis itu saat matanya menangkap sosok yang amat dikenalnya.
“Dia sekolah sini?” tanya Sivia.
Ify menggeleng, “Gue juga baru tahu.”
Are you ok?”
Tak ada sahutan dari Ify. Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya dari sosok tersebut. Sementara itu, Alvin yang duduk di sebelah Sivia menyenggol lengan gadis tersebut.
“Apa?” tanya Sivia.
“Ify kenapa?” balas Alvin.
Saat hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar teriakan dari penonton. Para penonton lantas memfokuskan perhatian mereka di tengah lapangan.
“Kenapa tadi?” tanya Sivia entah pada siapa.
“Gue juga nggak lihat,” timpal Ify.
“Global mainnya agak kasar. Debo disenggol sampai jatoh,” sahut Gabriel.
Suasana pertandingan antara Cakrawala dan Global semakin memanas. Global berhasil memancing emosi Cakrawala dengan menjatuhkan salah satu pemainnya. Debo, pemuda itu meringis merasakan nyeri di kakinya.
“Gimana, De? Perlu diganti?” tanya Cakka.
Debo menggeleng, “Gue masih bisa kok. Gue nggak mau kehilangan moment di final.”
“Tapi kaki sama tangan lo beneran nggak pa-pa?” tanya Olin.
“Sialan emang mereka! Mainnya kasar banget!” lanjutnya.
“Yaudah kalo masih bisa, ayo kita main lagi,” kata Cakka dengan rahang mengeras.
Cakka berusaha mengatur emosinya. Sejujurnya, dia tidak pernah berada di pertandingan seperti ini dan ternyata rasanya teramat berat. Pemuda itu melirik ke arah sahabat-sahabatnya yang ikut menatap cemas namun tetap meneriakkan support. Cakka menggeleng keras, dia tidak boleh mengecewakan siapapun.
“Debo, lo tuker posisi sama Olin,” ujar Cakka yang langsung disepakati.
Permainan kembali di mulai. Cakka benar-benar fokus pada pertandingan ini. Sebagai point guard, dia tidak boleh salah membaca pergerakan lawan. Otak Cakka mulai bekerja mencari strategi untuk melumpuhkan pergerakan lawan. Semuanya berjalan lancar.
“Debo!” seru Cakka.
Debo lantas mengangguk dan menerima sang orange dari tangan Olin. Tanpa berlama-lama lagi, pemuda itu men-shoot ke arah ring. Gagal. Olin lantas melakukan rebound dengan cepat dan...
“CAKRAWALAAAAA!!!”
Shoot. Skor mulai beda tipis namun Global tetap lebih unggul. Cakka mengacungkan jempolnya lalu melanjutkan permainan. Kali ini tim Cakrawala memperketat pengawasan terhadap Global. Ternyata benar, Global bukanlah sembarang tim yang bisa dianggap remeh.
Debo berhasil menguasai bola kembali. Sayangnya, pemuda itu dihadang hingga tak  dapat bergerak. Dahi Debo tampak mengerut sampai tiba-tiba kekasaran dari permainan Global terulang kembali.
“DEBO!!!”
Pemuda itu kembali terjatuh. Kali ini sakitnya luar biasa.
FUCK! SIALAN! LO SENGAJA YA?!!!” teriak Olin melabrak pemain Global yang menyenggol Debo.
“Nggak tuh.”
BULLSHIT!”
Cakka langsung bergerak menarik Olin, “Udah. Calm down.”
“Tapi, Cak. Gue yakin dia sengaja! Debo nggak akan jatuh kalo itu nggak sengaja. Gue yakin dia sengaja!” nyolot Olin mulai berapi-api.
“Inget ucapan gue? Sekasar apapun permainan basket lawan, kita harus bisa mengendalikan diri. Kalau mereka matik api, kita bikin hujan, jadi kita nggak akan kebakar,” balas Cakka.
Pemuda itu lalu menghampiri Debo yang meringisi kesakitan.
“Deb, gimana? Ganti?” tanya Cakka.
“Lo kapten macam apa sih, Cak?” sengit Olin.
Cakka menatap Olin dengan sorot tak percaya, “Lin, gue mohon supaya lo mengendalikan diri sampai pertandingan ini selesai.”
“Gue mulai ragu sama lo,” kata Olin lagi.
“Olin, jaga ucapan lo,” tegur Debo.
“Nggak pa-pa lo ragu sama gue, asal lo masih percaya sama kemampuan lo. Ayo kita lanjutin lagi. Kita masih bisa ngejar skor,” balas Cakka membuat Olin menunduk.
“Sori, gue emosi,” ujar Olin pelan.
Nope.”
“Gue ikut, Cak. Jangan diganti,” kata Debo.
Cakka mengangguk. Permainan kembali dimulai. Kali ini Cakrawala bermain dengan lebih kompak dari sebelumnya. Banyak yang terpukau dengan permainan mereka saat ini. Terlihat lebih bernyawa.
“Sebentar lagi,” batin Cakka.
Pemuda itu berhadapan dengan kapten Global dengan bola yang masih berada di tangan Cakka. Keringatnya sudah mengucur deras.
“Sekarang.”
Dan tiba-tiba Cakka lolos dari kapten Global lalu melesat. Pemuda itu melakukan slam dunk hingga membuat semua orang terpukau.
“HUAAAAA CAKRAWALAAAAA!!!!”
Tepat saat itu, permainan berakhir. Cakka menatap papan skor dengan tak percaya. Teman-teman satu timnya lantas berlari ke arah Cakka yang masih terpaku. Cakrawala berpelukan sangat erat. Para pendukung Cakrawala pun tanpa sadar ikut saling berpelukan.
“KITA MENANG CAK! KITA MENANG!” seru Debo.
Cakka masih tak bergerak, “Bilang sama gue ini bukan mimpi.”
“BUKAN BEGOOOO!!!”
Mereka semua tergelak. Cakradara beserta Pak Reihan lantas menghampiri.
“Selamat ya kalian,” ujar Cakradara.
“Cakka yang tadi itu... keren banget!” pekik Agni.
“Habis ini gantian Cakradara. Kalian juga harus menang ya,” balas Cakka seraya terkekeh.
Agni mengangguk.
***
Kali ini gantian tim Cakradara yang unjuk kebolehan. Agni, gadis itu sudah terkenal di sekolah-sekolah lain karena kemampuan basketnya. Dan sekarang, dia kembali unjuk diri hingga membuat tim lawan sedikit kehilangan kepercayaan diri.
Jump ball.”
Agni berdiri di tengah bersama kapten dari tim lawan. Kalau tidak salah, namanya Aren. Mereka sempat bertemu beberapa kali saat gathering namun tak sempat mengobrol.
Saat bola basket itu melayang di udara, Agni yang lebih tinggi dengan mudah menggapainya. Bola lantas dikuasai Cakradara. Permainan basket Agni memang tak bisa diremehkan oleh  siapapun. Belum lagi gadis itu punya banyak strategi yang dapat melumpuhkan tim lawan dengan cepat.
Perebutan bola mulai terjadi. Sayangnya, belum ada yang berhasil merebut bola dari tangan Cakradara. Agni memang sudah mengantisipasi. Sementara itu, Agni sengaja menempatkan Zevana di posisi center karena perawakannya yang paling tinggi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa Cakradara sudah mempunyai pondasi yang kokoh.
“Oliv, fokus!” seru Agni.
Olivia yang sempat buyar konsentrasinya kembali fokus karena teriakan Agni. Entah mengapa, permainan basket putri justru lebih menegangkan dibanding Cakrawala tadi. Sebab, dua tim yang sedang bermain ini sama-sama punya potensi tinggi untuk menang. Permainan mereka dikemas dengan sangat sempurna. Sudah setengah jam, Cakradara masih memimpin. Tak ayal, semua orang mengagumi Agni.
Di bangku penonton, Ify dan Sivia masih terkagum-kagum menyaksikan sahabat mereka berlaga. Meski sudah sering menjadi penonton untuk Agni, kekaguman itu selalu ada.
“Gue nggak kedip lihat Agni,” ceplos Shilla.
“Sama,” sahut Rio.
“Permainannya bener-bener... rapih. Beda banget sama cowok-cowok tadi,” kata Ify.
Mereka mengangguk setuju.
“Kata Agni sih tim yang sekarang lebih tahan banting. Mau kasar pun nggak akan ngefek apa-apa,” ceplos Sivia.
“Kelihatan banget kok,” timpal Gabriel.
Sementara  Alvin, dia asik menonton dan malas berkomentar.
Sampai pada akhirnya, Cakradara meraih kemenangan. Para supporter dari Budi Karya bersorak gembira karena meraih kemenangan besar hari ini. Bukan hanya kemenangan Cakrawala dan Cakradara, tetapi juga kemenangan Agni sebagai kapten terbaik.
***
Ify dan kawan-kawan menuju ke tempat Cakrawala dan Cakradara berkumpul untuk memberikan selamat. Dua tim hebat itu tampak melakukan selebrasi dengan wajah bahagia.
“AGNIII!” seru Ify dan Sivia.
Agni menoleh, “WOO KALIAANNN!”
Mereka lantas berpelukan.
“Gue sangat amat bangga sama elo. Nggak sia-sia lo jadi sahabat gue,” ceplos Sivia yang langsung kena toyor dari Agni.
“Selamat, Ag. Selalu,” timpal Ify.
Agni terkekeh lalu menganggukkan kepala.
“Agni, selamat yaaa! Lo keren banget!” kata Shilla yang membuat Agni sedikit kikuk.
Tak urung, gadis itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu banyak sekali ucapan selamat berhamburan. Bukan hanya untuk sang kapten terbaik, tapi juga untuk seluruh tim yang sudah bekerja keras.
“Gue nggak diselametin khusus nih?” celetuk Debo.
Pemuda itu tengah menyelonjorkan kakinya yang masih terasa sakit. Mereka lantas menghampiri Debo dan menatapnya tidak tega.
“Selamat untuk pejuang luar biasa yang sial banget karna kena gempur mulu,” kata Ify membuat Debo melotot ke arahnya.
“Nggak gitu juga ya,” sewotnya.
“Kaki lo masih sakit?” tanya Sivia.
“Sakit. Banget,” jawab Debo.
“Sukurin!” seru Sivia menyebalkan.
“Parah lu, Siv. Ini temen lo udah kayak gini malah disukurin,” nimbrung Agni yang baru saja selesai menerima ucapan selamat.
Sivia hanya nyengir mendengarnya.
“Cak, sori buat yang tadi. Maaf karena gue sempet ragu sama lo,” kata Olin mengalihkan perhatian.
“Nggak pa-pa,” sahut Cakka.
“Kaki lo gimana, Deb? Sori tadi gue nggak maksa lo diganti,” imbuhnya beralih ke Debo yang juga menyimak obrolan Olin dan Cakka.
Better. Gue justru seneng karna nggak diganti,” kekeh Debo.
Cakka ikut terkekeh, “Lo lebih tahu kemampuan lo dibanding gue, kalau lo yakin maka gue juga juga harus yakin. Jadi, tadi gue iyain aja pas lo bilang lo mau tetep main.”
“Bapak bangga sekali sama kalian semua. Untuk itu, setelah ini kita akan merayakan kemenangan. Gimana kalau di Cafe deket-deket sini?” cetus Pak Reihan.
Para tim basket mengangguk semangat.
“Tapi, sepertinya saya sama Agni mau rayain bareng mereka aja, Pak,” tolak Cakka menunjuk sahabat-sahabatnya.
“Yahhh nggak asik dong kalo kaptennya kabur,” ceplos Olivia.
“Sekarang lo rayain bareng tim basket aja, Cak. Nanti malam bareng kita, gimana?” usul Shilla.
“Boleh tuh kata Shilla,” seloroh Debo.
“Ya udah, gitu aja,” kata Agni.
“Sip!”
“Kalau gitu, kami pulang dulu ya,” pamit Gabriel.
“Terima kasih untuk partisipasinya ya, Yel,” balas Pak Reihan.
Gabriel hanya menganggukkan kepala lalu undur diri bersama sahabat-sahabatnya.
***
Tim menolak Sivia bahagia berjalan menuju parkiran SMA Global yang masih lumayan ramai, tapi tidak seramai saat mereka datang ke sini. Mendadak langkah Ify terhenti saat seorang pemuda yang amat dikenalnya sedang duduk berdua bersama gadis cantik. Kaki Ify mendadak kaku. Sivia yang sadar akan hal itu menatap Ify dengan sorot mata penuh makna.
“Kita lewat jalan lain aja?” tawar Sivia.
Ify menoleh lalu menggeleng, “Nggak pa-pa.”
Shilla, Alvin, Gabriel dan Rio bertanya-tanya apa yang sebenarnya dua gadis itu obrolkan. Rikuh, mereka memilih diam.
Langkah mereka semakin dekat dengan objek yang tadi dibicarakan. Ify berusaha menguasai dirinya, sementara Sivia mendadak cemas. Saat nyaris melewati, tiba-tiba...
“Ify...”
Langkah Ify terhenti. Begitu pula dengan yang lainnya. Ify menoleh, memasang senyum yang tampak dipaksakan.
“Hm, Ray...”
“Lo sekolah di Budi Karya?” tanya pemuda tersebut.
Ify sedikit melirik ke si anak gadis itu, “Iya.”
“Lo kapten basket Global kan?” ceplos Gabriel.
Ray—nama pemuda itu—beralih ke Gabriel kemudian menganggukkan kepala. Dia lantas kembali fokus pada Ify yang terlihat enggan bertemu dengannya. Tanpa sadar, Ray mendengus, sekelebat masa lalu antara dia dan Ify mendadak terputar di otaknya.
“Oh iya, kenalin. Ini Iley,” kata Ray menunjuk anak gadis di sampingnya.
“Ify. Hm, gue duluan ya,” balas Ify tanpa mengulurkan tangan sama sekali.
Sejurus kemudian, Ify menarik lengan Sivia dan berjalan meninggalkan Ray dan Iley.  Tim menolak Sivia bahagia lantas mengikuti dengan bingung. Sementara itu, Ray mendesah, ia menatap Iley yang mungkin sedang bertanya-tanya.
“Harusnya lo tadi jangan begitu,” kata Sivia melepaskan tangannya.
Ify memijat keningnya, “Bodo ah.”
“Tadi siapa sih, Fy?  Kok lo jadi aneh?” tanya Shilla bingung.
“Bukan siapa-siapa kok. Hm, Shil, boleh nebeng sampai rumah gue?” balas Ify.
“Gue ke rumah lo aja gimana? Ntar malem kan kita rayain kemenangan Cakka sama Agni, biar sekalian gitu,” usul Shilla.
“Oke. Lo gimana, Siv?” tanya Ify beralih ke Sivia.
Belum sempat bicara, Alvin menyela lebih dulu.
“Sivia biar sama gue. Kebetulan gue disuruh jemput Deva di rumah Sivia,” katanya.
“Kak Deva ngapain di rumah Sivia?” tanya Gabriel.
“Ketemu Bang Lintar, sepupunya Sivia,” jawab Alvin sekenanya.
“Bang Lintar itu sahabatnya Kak Deva dan sekarang tinggal di rumah gue karna gaya hidupnya nggak sehat. Orang tuanya kan di Aussie, dia dititipin gitu ke bokap sama nyokap biar ada yang ngawasin,” jelas Sivia.
“Ohh. Terus nanti kumpul dimana?” tanya Gabriel.
“Langsung di Cafe aja.”
***
Impian yang dulu pernah ia tinggalkan ternyata jadi kenyataan. Cakka, dia menatap haru ke arah teman-temannya. Ia masih tak percaya bahwa ia berhasil memembawa timnya menjemput kemenangan. Bahkan, baru saja, Pak Reihan mengumumkan bahwa Cakka didaulat menjadi kapten basket sungguhan. Bukan lagi kapten sementara.
“Bapak yakin sekali kamu bisa memimpin Cakrawala dengan baik,” ujar Pak Reihan.
“Saya akan berusaha,” sahut Cakka.
Debo dan Agni lantas merangkul Cakka secara bersamaan.
“Mantap, bro!” seru Debo.
“Gue ikut seneng, Cak,” kata Agni.
Cakka menoleh ke arah Agni hingga jarak wajah mereka teramat dekat.
“Kalau bukan karna elo, gue nggak mungkin bisa kayak gini,” kata Cakka.
Agni memalingkan wajahnya karena pipinya memanas. Ah, dia berharap Cakka tak mendengar irama jantungnya yang berantakan.
“Kenapa lu, Ag? Kok kayak kepanasan gitu?” celetuk Olin sekaligus menggoda.
“Deg-degan banget ya deket-deketan sama Cakka?” imbuh Zevana.
Semuanya terkikik mendengarnya, tak terkecuali Cakka, sedangkan Agni hanya melengos karena pipinya semakin memanas. Ia yakin sekarang pipinya sudah semerah kesumba. Gadis itu memilih untuk ke toilet dibanding mendengarkan gurauan teman-temannya yang semakin menjadi.
“Tanggung jawab lu, Cak. Anak orang lu bikin salting.”
Agni masih bisa mendengar suara Debo saat berjalan menjauhi teman-temannya.
“Gue sama Agni tuh sahabatan, nggak mungkin dia salting lah,” elak Cakka.
Lagi-lagi ia masih mendengar suara pemuda itu. Agni buru-buru mempercepat langkahnya menuju toilet. Sesampainya, gadis itu menatap wajahnya di cermin. Sangat kontras jika dibandingkan dengan Shilla. Mengapa dia tiba-tiba membandingkan dirinya dengan Shilla?
Agni tidak tahu. Yang dia tahu, lelaki seperti Cakka lebih pantas bersanding dengan gadis secantik Shilla. Minimal bukan yang seperti dia. Agni mendesah, dia pesimis, belum lagi mendengar ucapan Cakka tadi. Mereka hanya sebatas sahabat.
Stop mikirin aneh-aneh Agni,” ucapnya pada diri sendiri.
Dia buru-buru mencuci muka lalu kembali.
“Udah mau pulang?” tanya Agni.
“Iya. Udah jam segini,” jawab Olivia.
“Bareng gue kan, Ag?” tanya Cakka seraya menyelempangkan tasnya.
“Gue mau nebeng Zevana deh, kan searah,” jawab Agni.
“Mau nebeng gue?” tanya Zevana.
Agni mengangguk.
“Oke deh.”
“Oh ya udah, gue duluan ya. Ntar malem kalo mau bareng gue nggak pa-pa kok,” ujar Cakka yang hanya dibalas anggukan oleh Agni.
Setelah Cakka pergi, Agni bernafas lega. Dia sedang tak bisa mengontrol detak jantungnya jika berdekatan dengan pemuda itu.
***
Rumah Ify tak kalah luas jika dibandingkan dengan rumah Shilla. Harus dia akui bahwa desain interior rumah ini begitu menarik. Kata Ify, kedua orang tuanya sedang pulang kampung karena semalam neneknya sakit.
“Lo sendirian dong?” tanya Shilla.
Mereka sedang menaiki anak tangga satu persatu.
“Ada Ozy. Dia adek gue, masih SMP. Biasanya jam segini lagi tidur,” jawab Ify sekenanya.
“Lucu,” komentar Shilla menunjuk foto-foto polaroid yang sepertinya sengaja dipajang sebagai hiasan pintu. Semua foto itu berisi foto Ify dari bayi sampai sekarang.
“Bokap gue emang suka fotografi dan suka ngehias rumah pakai foto-foto, kalo gue mah mending baca novel sampai jereng,” sahut Ify lalu membuka pintu kamarnya.
Shilla takjub melihat kamar Ify yang lagi-lagi penuh dengan foto. Gadis itu berkeliling dan menatapi tembok yang digambar seperti frame, disitulah foto-foto mendominasi.
“Banyak amat,” katanya.
Ify menarik ujung bibirnya, “Kalau ini gue yang nempelin. Bokap cuma berperan nyediain tempat. By the way, ini adek gue namanya Ozy, terus ada juga foto sama Sivia dan Agni.”
“Lo sama Sivia udah kenal dari kecil?” tanya Shilla kaget.
“Iya. Udah sekitar tiga belas tahun lebih,” jawab Ify.
“Wow! Lebih lama dari The Wanted,” tanggap Shilla membuat Ify tertawa kecil.
Ify lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur, detik berikutnya ia memejamkan mata, ingatannya lantas berputar pada kejadian saat berada di SMA Global tadi. Hhh, lelaki itu... Ray. Kalau tahu ada Ray di sana, Ify bersumpah akan membuat seribu alasan supaya ia tak datang.
Sudah berapa lama mereka tidak bertemu? Baru satu tahun. Lain lagi jika pertanyaannya adalah sudah berapa lama mereka saling diam? Jawabannya sudah dua setengah tahun. Dan tiba-tiba, mereka harus bertemu lagi dengan keadaan yang berbeda, belum lagi dengan kanyataan bahwa Ray sudah menemukan seseorang yang lebih baik darinya. Errr, Ify meringis. Tak tahu mengapa rasanya masih tak rela.
“Ini... Ray kan, Fy?”
Gadis itu tersentak mendengar pertanyaan Shilla. Sedari  tadi Ify membiarkan Shilla menelusuri foto-fotonya.
“Salah lihat kali,” jawab Ify.
Name tag-nya masih kebaca, Ify,” keukeuh Shilla.
Sejurus, Ify merutuki kebodohannya. Sudah lama sekali ia ingin melepaskan fotonya bersama Ray dari sana tapi entah mengapa rasanya sulit. Ada sesuatu yang membuatnya enggan.
“Jadi, bener ya dugaan gue kalo elo sama kapten basket Global itu ada something?”
Ify memutar otaknya, “Nggak seperti yang lo pikir.”
“Kenapa gue nggak yakin ya? Tatapan lo ke dia tadi seperti... tatapan luka?”
“Jadi, lo udah pandai ngamatin orang?” kekeh Ify.
Shilla lalu duduk bersila di samping Ify.
“Kebetulan. Lama-lama gue merasa lo mirip Alvin. Sama-sama susah ditebak, sama-sama paham apa yang gue rasain, dan tertutup.”
“Nggak usah dipikirin soal Ray. Apapun yang lo lihat, I’m fine.
Bohong. Ify berbohong mengatakan dirinya baik-baik saja. Setelah apa yang terjadi sekian tahun ini, dia baik-baik saja? Dan dengan bodohnya, Shilla mempercayai kebohongannya. Mungkin bukan hanya Shilla, tapi juga semua orang. Kecuali Sivia.
“Ray, apa yang udah gue lewatkan?”
***
Hanya berdua bersama orang yang kita cintai memang bukan hal mudah. Terkadang, Sivia harus berusaha mati-matian untuk tidak tenggelam saat memandangi wajah Alvin. Ah, sialan! Semakin dipandang, Sivia jadi harus mengakui bahwa pemuda itu sangat tampan. Demi neptunus, selama ini laki-laki yang diakuinya tampan hanyalah aktor korea kesukaannya. Sekarang dia justru memuji-muji Alvin.
Belum lagi Sivia harus mengurus debaran jantungnya yang iramanya berantakan hingga membuatnya keringat dingin. Tapi, dia menikmati semua ini. Dia suka. Sivia bergumam dalam hati, ternyata seperti ini rasanya jatuh cinta. Setelah bertahun-tahun hidup di bumi, baru sekarang Sivia mengalami yang namanya jatuh cinta. Kalau tahu akan seindah ini, dia pasti akan menerima dengan senang hati. Sayangnya, Sivia tahu persis akan ada moment dimana keindahan ini akan lenyap. Seperti kisah cinta Ify beberapa tahun silam.
“Tumben lo diem,” cetus Alvin karena merasa aneh dengan sikap Sivia yang mendadak kalem.
Sivia terkesiap, “Kalo ngomong ntar lu katain berisik.”
Tak urung Alvin menarik ujung bibirnya hingga membentuk senyum tipis. Sangat tipis hingga Sivia sendiri tak yakin telah melihatnya. Selanjutnya, gadis itu bersorak dalam hati, menahan pekikan girang yang mungkin akan membuat Alvin mengira gadis disebelahnya sedang kesurupan. Ah, Sivia berhasil merekam senyum itu. Senyum terlangka saat pemuda tersebut bersamanya.
“Rumah lo yang mana?” tanya Alvin.
Sivia bergumam. Mengapa mendadak ia lupa letak rumahnya sendiri?
“Lo nggak tinggal di Ragunan kan?” tanya Alvin—lagi.
“ENAK AJA!” protes Sivia dengan nada nyolot dan tatapan siap membunuh.
“Keluar deh singanya,” seloroh Alvin.
“Kalau gue singa, gue pasti minder deket-deket sama lu tahu!” balas Sivia.
Kali ini Alvin bukan hanya tersenyum, melainkan tertawa. Perlahan suara Sivia kembali lenyap. Hanya ada suara tawa Alvin yang membuat fokus Sivia tersedot seakan-akan tawa itu adalah lagu terindah yang sedang ia dengar.
Sivia meneguk ludahnya sendiri. Seandainya ada Ify atau siapapun di sini selain dia dan Alvin, gadis itu tak perlu mati gaya seperti ini.
“Oi! Serius nih rumah lu dimana?” tanya Alvin menyurutkan tawanya.
Sivia langsung memalingkan wajah ke arah jendela.
“Anggap aja di khayangan. Gue ngantuk ah,” sahut Sivia lalu memejamkan mata dan pura-pura tidur.
Alvin mengernyit bingung, tapi selanjutnya memilih mengalah dan menanyakan alamat rumah Sivia pada Deva. Setelah mengotak-atik ponselnya, Alvin melirik ke arah Sivia yang masih keukeuh memejamkan mata. Alvin tahu gadis itu tidak benar-benar tidur, tapi ia membiarkannya saja.
Bahkan sampai di tempat tujuan, Sivia masih betah pada posisinya. Alvin sendiri mengambil banyak jeda saat tahu-tahu wangi shampo gadis di sebelahnya menyeruak ke indra penciuman. Ah, Alvin menyukai wangi ini.
“Udah sampai, Mbak,” cetus Alvin tetap manatap lurus ke depan.
Reflek Sivia berakting sedang menguap.
“Nyenyak banget ya tidurnya?” tanya Alvin geli.
“Uhm, he eh,” sahut Sivia.
“Yuk, turun.”
Sivia menggigit bibir bawahnya, disaat seperti ini dia justru berharap Alvin membukakan pintu untuknya. Ah, memangnya dia siapa?
“Mau di sini terus?” tanya Alvin melalui pintu kemudi yang masih terbuka lebar.
“Sabar kali! Gue kan baru ngumpulin nyawa!” sahut Sivia galak.
Selanjutnya, gadis itu turun dari mobil dan berjalan masuk ke rumahnya. Alvin mendengus. Padahal dia sudah menunggu, tapi seenaknya ditinggalkan.
***
“Ray?”
Kepala Agni menyembul dari pintu kamar Ify hingga membuat dua gadis di dalam ruangan itu nyaris terlonjak karena kaget. Agni nyengir tak bersalah, lalu masuk ke kamar tersebut dan duduk di lantai. Dari gelagatnya, Shilla jadi yakin kalau Agni memang sudah menganggap kamar ini sebagai kamarnya sendiri.
“Ray Prasetya, Fy? Lo ketemu dimana?” tanya Agni tak tahan.
Ify melirik Shilla yang sepertinya mulai penasaran.
“Waktu nonton basket tadi,” jawab Ify.
“Ahhh!” seru Agni tiba-tiba.
“Pantesan tadi gue tuh kayak kenal banget sama kapten basket Global, tapi gue beneran nggak tahu kalau itu Ray. Dia jadi tinggi dan rambutnya nggak gondrong lagi,” kata Agni menjelaskan.
“Orang yang pernah bilang nggak bisa hidup tanpa lo itu belum mati?”
Mereka menoleh ke ambang pintu. Setelah terkejut dengan kedatangan Agni, kali ini mereka dikejutkan dengan wajah datar dan dingin seorang anak laki-laki yang diyakini Shilla sebaggai adik Ify.
“Ozy, sejak kapan lo di sana?” tanya Ify dengan sarat kepanikan.
“Sejak gue denger Kak Agni dateng,” jawab Ozy.
Ify tampak gusar lalu melirik Agni yang menampilkan rasa bersalah karena berbicara terlalu keras dan lupa menutup pintu. Detik berikutnya Ify ikut merutuki dirinya sendiri.
“Gue nggak peduli alasan kalian putus dulu, tapi gue benci sama dia karena seenaknya bikin lo sakit hati lalu pergi gitu aja,” ujar Ozy membuat Ify meremas sepreinya kuat-kuat.
“Bukan dia yang salah. Gue yang salah,” sahut Ify.
“Udah gue bilang gue nggak peduli! Yang gue peduliin itu elo, Kak,” tandas Ozy.
Ify terharu. Adiknya itu semakin hari semakin dewasa. Meski mereka selalu bertengkar karena masalah sepele, dia tahu bahwa Ozy selalu menyayanginya. Menyayangi tanpa kata.
It’s over, Zy. Dia cuma masa lalu yang sampai kapanpun selalu ada di belakang,” kata Ify.
Semua pasang telinga mengartikan bahwa Ify benar-benar yakin dengan apa yang diucapkan. Gadis itu selalu percaya diri dengan semua yang ia lakukan. Dan entah mengapa, itu selalu membuat semua orang percaya bahwa dia baik-baik saja.
Shilla, ia menelusuri wajah Ify dengan intens. Dia seakan sedang mencari celah kebohongan gadis itu, tapi tak berhasil. Shilla mendesah, ternyata lebih susah mengerti Ify daripada Alvin.
***
 Bersambung...
 Part ini adalah part paling berat karna nggak tahu harus nulis apa -_- ditunggu kritik sarannya ya. Btw follow ask.fm/fannyslma

0 komentar:

Posting Komentar