Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Halooo finally saya kembali dengan WYHM. Mau post ini kok rasanya berat karna bener-bener nggak pede. Udah diedit berkali-kali, tapi masih belum puas juga sampai akhirnya saya nyerah. Saya post seadanya saja hehe
Hope you like it...
16
Pengumuman
mengenai peniadaan pelajaran khusus kelas XI membuat mereka bersorak senang,
terutama bagi kelas yang hari ini ada ulangan. Sangat kontras dengan anak-anak
kelas X dan XII yang menatap iri. Anak-anak kelas XI sengaja dikirim ke SMA
Global untuk menjadi supporter
Cakrawala dan Cakradara yang hari ini melakukan pertandingan.
Sejujurnya
ini adalah mandat dari Gabriel, si anak pemilik yayasan. Tahun lalu, mereka
tetap melakukan kegiatan belajar mengajar meskipun ada pertandingan. Namun sekarang
Gabriel mengubah peraturan—dengan persetujuan kepala sekolah—karena selain
Cakka ada diantara orang-orang yang berjuang untuk kemenangan sekolah, dia juga
ingin lebih peduli dengan sekolah yang dibangun papanya ini.
“Jadi,
nilai ulangan fisika gue udah mencapai KKM nih?” cetus Alvin.
Gabriel
mengangguk. Selain membebaskan anak-anak kelas XI dari KBM, Gabriel mengatakan
bahwa siapapun yang ikut memberi support
di SMA Global maka nilai ulangan fisikanya sudah mencapai KKM. Ya, beruntung
sekali karena Bu Maryam bisa diajak kompromi. Tentunya tak ada yang menyia-nyiakan
kesempatan ini. Lagipula, memberi support
bukan hal yang susah.
“Gue
juga udah siapin poster-poster buat dukung tim basket. Sebagian udah dikasihin
ke anak-anak, satu lagi ada di mobil gue buat kita pegang selama pertandingan
nanti,” jelas Gabriel.
“Semoga
kebaikan lo dibalas Yang Maha Kuasa, sahabatku,” ceplos Sivia membuat Gabriel
melengos.
“Tanpa reward itu pun fisika gue selalu di atas
KKM,” timpal Ify menyombong ke Sivia.
“Lo mah
beruntung aja dapet otak yang kayak Einsten, disayang Bu Maryam pula,” bantah
Sivia.
“Itu sih
lo aja yang nggak pernah belajar,” sahut Gabriel.
Sivia
mengecurutkan bibirnya.
“Tim
menolak Sivia bahagia kayaknya makin banyak ya,” curhat Sivia.
“Apaan
tuh tim menolak Sivia bahagia?” tanya Shilla bingung.
“Kalian,”
jawab Sivia seenaknya.
“Biasa,
Shil. Dia lagi suka kasih nama-nama nggak jelas, palingan itu salah satu
kekreatifannya lagi,” timpal Rio.
Shilla
tertawa mendengarnya. Ah, belum lama mengenal Sivia dan Ify tapi dia sudah
sangat nyaman dengan dua gadis ini. Sivia sangat lucu, cablak dan terkadang
terkesan nyolot. Kalau Ify, Shilla tak tahu harus menjabarkan Ify seperti apa.
Tetapi dia sangat baik dan memahaminya. Ditambah lagi dengan Agni. Meskipun
dulu sempat bentrok dengannya, Shilla sekarang jadi tahu kalau Agni sangat humble dan royal.
“Ini
kita jadi berangkat nggak? Keburu pertandingannya kelar,” kata Alvin tak sabar.
“Oh iya.
Ya udah yuk. Kita pakai mobil siapa?” sahut Shilla.
“Pakai
mobil masing-masing. Kan kita nggak mungkin balik lagi ke sekolah. Selain
lumayan jauh, gue juga mager,” jawab Alvin.
“Terus
gue sama Sivia gimana?” tanya Ify bingung. Sama persis seperti kemarin, saat
Gabriel dan Rio sama-sama membawa mobil.
“Susah
deh ya kalo naiknya angkutan umum kayak kita, Fy,” dengus Sivia.
“Sama
gue dong. Yuk!” sahut Shilla dengan sedikit terkekeh.
Ify dan
Sivia spontan bertosria—entah dalam rangka apa—kemudian mereka semua berjalan
menuju parkiran. Sesampainya di parkiran, mereka berpisah dan menghampiri mobil
masing-masing. Tentunya Ify dan Sivia mebuntuti Shilla.
***
Langkah
kaki Agni terlihat buru-buru menuju lapangan. Gadis itu hanya bisa nyengir
ketika teman-teman lainnya sudah berada di sana dengan wajah masam karena
terlalu lama menunggu. Rikuh, Agni semakin mempercepat langkahnya lalu maju dan
berdiri di samping Cakka serta Pak Reihan.
“Maaf,
tadi bener-bener macet,” ujar Agni.
“Berhubung
semuanya sudah lengkap, silahkan ganti seragam kalian terlebih dahulu. Setelah
itu kalian kembali berkumpul di sini.”
Semuanya
menurut lalu membubarkan diri untuk berganti seragam. Beberapa menit kemudian,
tim basket kembali dengan kaos kebanggaan mereka. Betapa terkejutnya mereka
saat sadar bahwa nyaris seluruh kelas XI berada di tribun. Cakka melihat
sahabat-sahabatnya yang membawa poster bertuliskan ‘CAKRAWALA DAN CAKRADARA
BISA!’ sedang melambaikan tangan ke arahnya. Pemuda itu lantas menyenggol
lengan Agni.
“Apaan?”
tanya Agni bingung.
“Tuh,”
cetus Cakka menunjuk sahabat-sahabatnya.
Agni
mengikuti arah pandang lelaki di sebelahnya. Detik selanjutnya senyum gadis itu
merekah. Agni dan Cakka lantas berdadahria.
“Si
Gabriel minta ke kepsek supaya anak-anak angkatan kita ke sini buat kasih support,” celetuk Debo yang kemudian
meneguk air mineralnya.
“Pantesan.
Gue pikir kita bakalan kekurangan supporter,”
sahut Agni.
“Sama.
Lo tahu sendiri lah gimana supporter
anak-anak SMA Global. Ngeri cuy! Gue
yakin final kita hadap-hadapan sama mereka kayak tahun lalu,” timpal Olin yang
tanpa sengaja mendengar obrolan mereka.
Cakka
lantas mengedarkan pandangannya. Ah, jelaslah supporter SMA Global sebanyak ini. Ini kan kandang mereka!
“Mau supporter kita banyak atau sedikit nggak
masalah. Kita kan udah latihan keras, masa cuma karna supporter jadi minder? Gue yakin kok kita bakalan sampai final,”
dalih Cakka.
“Bener
kata Cakka. Udah, nggak usah mikirin aneh-aneh,” timpal Agni.
Obrolan
itu terhenti ketika Pak Reihan menginterupsi supaya Cakrawala berkumpul
berhubung pertandingan akan dimulai. Agni lantas duduk bersama teman-teman
setimnya. Tahun lalu dia juga memimpin Cakradara dan menembus juara 1,
sayangnya Cakrawala yang dipimpin Patton hanya sampai juara 2.
Agni
menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru lapangan dan berhenti di satu titik.
Gadis itu menyipitkan matanya, berusaha mengingat seseorang yang sedang
diperhatikannya saat ini. Seorang laki-laki yang sepertinya begitu familiar
bersama gadis cantik berpakaian cheers.
Perempuan
yang ternyata anggota cheers dari SMA
Global tersebut lantas bergabung bersama teman-teman cheers lainnya dan si
laki-laki familiar itu pun bergabung bersama tim basket. Ah, Agni ingat
laki-laki itu adalah kapten basket Global. Tapi, bukan hal itu yang berusaha
diingatnya.
“Ag, lihatin
apaan?” tanya Zevana.
Agni
tampak gelagapan, “Nggak kok.”
“Eh ayo
gabung sama Pak Reihan,” cetus Olivia.
“Agni!
Ayo!”
Agni
kembali gelagapan. Gadis itu lantas mengikuti teman-temannya.
***
Pertandingan
basket ini dibuka dengan performance
tim cheers dari SMA Global. Para
gadis cantik itu melakukan berbagai gerakan dengan sangat sempurna, nyaris tak
ada cacat. Banyak sekali penonton yang terpukau, tak terkecuali supporter dari Cakrawala.
“SMA
Global daridulu selalu bikin ngeri,” ceplos Sivia.
Ify
mengangguk setuju meskipun baru sekarang dia dan Sivia menonton pertandingan
secara live seperti ini. Mengenai
kengerian SMA Global pun mereka tahu dari Agni. Tahun lalu, Agni dibabat habis
oleh Global hingga sempat cidera ringan. Untungnya Agni dan kawan-kawan
berhasil mempertahankan tim mereka sampai ke final dan akhirnya menang.
Pertandingan
pertama, Cakrawala dan Cakradara sama-sama lolos dengan sangat mudah.
Sepertinya kedatangan supporter yang
lumayan banyak membuat semangat mereka membuncah.
Sampai
beberapa jam kemudian bersama ketegangan yang luar biasa, dua tim kebanggaan
Budi Karya berhasil memasuki final dan melawan SMA Global. Seperti tahun lalu.
Bedanya, hari ini mereka kembali berhadapan dengan anggota tim yang
berbeda—kecuali Agni.
“Fy...
lihat itu!” seru Sivia.
“Apaan?”
tanya Ify bingung.
“Perhatiin
anggota Global.”
Sejurus
kemudian Ify mulai memperhatikan tim basket dari Global. Betapa terkejutnya
gadis itu saat matanya menangkap sosok yang amat dikenalnya.
“Dia
sekolah sini?” tanya Sivia.
Ify
menggeleng, “Gue juga baru tahu.”
“Are you ok?”
Tak ada
sahutan dari Ify. Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya dari sosok
tersebut. Sementara itu, Alvin yang duduk di sebelah Sivia menyenggol lengan
gadis tersebut.
“Apa?”
tanya Sivia.
“Ify
kenapa?” balas Alvin.
Saat
hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar teriakan dari penonton. Para penonton
lantas memfokuskan perhatian mereka di tengah lapangan.
“Kenapa
tadi?” tanya Sivia entah pada siapa.
“Gue
juga nggak lihat,” timpal Ify.
“Global
mainnya agak kasar. Debo disenggol sampai jatoh,” sahut Gabriel.
Suasana
pertandingan antara Cakrawala dan Global semakin memanas. Global berhasil
memancing emosi Cakrawala dengan menjatuhkan salah satu pemainnya. Debo, pemuda
itu meringis merasakan nyeri di kakinya.
“Gimana,
De? Perlu diganti?” tanya Cakka.
Debo
menggeleng, “Gue masih bisa kok. Gue nggak mau kehilangan moment di final.”
“Tapi
kaki sama tangan lo beneran nggak pa-pa?” tanya Olin.
“Sialan
emang mereka! Mainnya kasar banget!” lanjutnya.
“Yaudah
kalo masih bisa, ayo kita main lagi,” kata Cakka dengan rahang mengeras.
Cakka
berusaha mengatur emosinya. Sejujurnya, dia tidak pernah berada di pertandingan
seperti ini dan ternyata rasanya teramat berat. Pemuda itu melirik ke arah
sahabat-sahabatnya yang ikut menatap cemas namun tetap meneriakkan support. Cakka menggeleng keras, dia
tidak boleh mengecewakan siapapun.
“Debo,
lo tuker posisi sama Olin,” ujar Cakka yang langsung disepakati.
Permainan
kembali di mulai. Cakka benar-benar fokus pada pertandingan ini. Sebagai point guard, dia tidak boleh salah
membaca pergerakan lawan. Otak Cakka mulai bekerja mencari strategi untuk
melumpuhkan pergerakan lawan. Semuanya berjalan lancar.
“Debo!”
seru Cakka.
Debo
lantas mengangguk dan menerima sang orange
dari tangan Olin. Tanpa berlama-lama lagi, pemuda itu men-shoot ke arah ring. Gagal. Olin lantas melakukan rebound dengan cepat dan...
“CAKRAWALAAAAA!!!”
Shoot. Skor
mulai beda tipis namun Global tetap lebih unggul. Cakka mengacungkan jempolnya
lalu melanjutkan permainan. Kali ini tim Cakrawala memperketat pengawasan
terhadap Global. Ternyata benar, Global bukanlah sembarang tim yang bisa
dianggap remeh.
Debo
berhasil menguasai bola kembali. Sayangnya, pemuda itu dihadang hingga tak dapat bergerak. Dahi Debo tampak mengerut
sampai tiba-tiba kekasaran dari permainan Global terulang kembali.
“DEBO!!!”
Pemuda
itu kembali terjatuh. Kali ini sakitnya luar biasa.
“FUCK! SIALAN! LO SENGAJA YA?!!!” teriak
Olin melabrak pemain Global yang menyenggol Debo.
“Nggak
tuh.”
“BULLSHIT!”
Cakka
langsung bergerak menarik Olin, “Udah. Calm
down.”
“Tapi,
Cak. Gue yakin dia sengaja! Debo nggak akan jatuh kalo itu nggak sengaja. Gue
yakin dia sengaja!” nyolot Olin mulai berapi-api.
“Inget
ucapan gue? Sekasar apapun permainan basket lawan, kita harus bisa
mengendalikan diri. Kalau mereka matik api, kita bikin hujan, jadi kita nggak
akan kebakar,” balas Cakka.
Pemuda
itu lalu menghampiri Debo yang meringisi kesakitan.
“Deb,
gimana? Ganti?” tanya Cakka.
“Lo
kapten macam apa sih, Cak?” sengit Olin.
Cakka
menatap Olin dengan sorot tak percaya, “Lin, gue mohon supaya lo mengendalikan
diri sampai pertandingan ini selesai.”
“Gue
mulai ragu sama lo,” kata Olin lagi.
“Olin,
jaga ucapan lo,” tegur Debo.
“Nggak
pa-pa lo ragu sama gue, asal lo masih percaya sama kemampuan lo. Ayo kita
lanjutin lagi. Kita masih bisa ngejar skor,” balas Cakka membuat Olin menunduk.
“Sori,
gue emosi,” ujar Olin pelan.
“Nope.”
“Gue
ikut, Cak. Jangan diganti,” kata Debo.
Cakka
mengangguk. Permainan kembali dimulai. Kali ini Cakrawala bermain dengan lebih
kompak dari sebelumnya. Banyak yang terpukau dengan permainan mereka saat ini.
Terlihat lebih bernyawa.
“Sebentar
lagi,” batin Cakka.
Pemuda
itu berhadapan dengan kapten Global dengan bola yang masih berada di tangan
Cakka. Keringatnya sudah mengucur deras.
“Sekarang.”
Dan tiba-tiba
Cakka lolos dari kapten Global lalu melesat. Pemuda itu melakukan slam dunk hingga membuat semua orang
terpukau.
“HUAAAAA
CAKRAWALAAAAA!!!!”
Tepat
saat itu, permainan berakhir. Cakka menatap papan skor dengan tak percaya.
Teman-teman satu timnya lantas berlari ke arah Cakka yang masih terpaku.
Cakrawala berpelukan sangat erat. Para pendukung Cakrawala pun tanpa sadar ikut
saling berpelukan.
“KITA
MENANG CAK! KITA MENANG!” seru Debo.
Cakka
masih tak bergerak, “Bilang sama gue ini bukan mimpi.”
“BUKAN
BEGOOOO!!!”
Mereka
semua tergelak. Cakradara beserta Pak Reihan lantas menghampiri.
“Selamat
ya kalian,” ujar Cakradara.
“Cakka
yang tadi itu... keren banget!” pekik Agni.
“Habis
ini gantian Cakradara. Kalian juga harus menang ya,” balas Cakka seraya
terkekeh.
Agni
mengangguk.
***
Kali ini
gantian tim Cakradara yang unjuk kebolehan. Agni, gadis itu sudah terkenal di
sekolah-sekolah lain karena kemampuan basketnya. Dan sekarang, dia kembali
unjuk diri hingga membuat tim lawan sedikit kehilangan kepercayaan diri.
“Jump ball.”
Agni
berdiri di tengah bersama kapten dari tim lawan. Kalau tidak salah, namanya
Aren. Mereka sempat bertemu beberapa kali saat gathering namun tak sempat mengobrol.
Saat
bola basket itu melayang di udara, Agni yang lebih tinggi dengan mudah
menggapainya. Bola lantas dikuasai Cakradara. Permainan basket Agni memang tak
bisa diremehkan oleh siapapun. Belum
lagi gadis itu punya banyak strategi yang dapat melumpuhkan tim lawan dengan
cepat.
Perebutan
bola mulai terjadi. Sayangnya, belum ada yang berhasil merebut bola dari tangan
Cakradara. Agni memang sudah mengantisipasi. Sementara itu, Agni sengaja
menempatkan Zevana di posisi center
karena perawakannya yang paling tinggi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa
Cakradara sudah mempunyai pondasi yang kokoh.
“Oliv,
fokus!” seru Agni.
Olivia
yang sempat buyar konsentrasinya kembali fokus karena teriakan Agni. Entah
mengapa, permainan basket putri justru lebih menegangkan dibanding Cakrawala
tadi. Sebab, dua tim yang sedang bermain ini sama-sama punya potensi tinggi untuk
menang. Permainan mereka dikemas dengan sangat sempurna. Sudah setengah jam,
Cakradara masih memimpin. Tak ayal, semua orang mengagumi Agni.
Di
bangku penonton, Ify dan Sivia masih terkagum-kagum menyaksikan sahabat mereka
berlaga. Meski sudah sering menjadi penonton untuk Agni, kekaguman itu selalu
ada.
“Gue
nggak kedip lihat Agni,” ceplos Shilla.
“Sama,”
sahut Rio.
“Permainannya
bener-bener... rapih. Beda banget sama cowok-cowok tadi,” kata Ify.
Mereka
mengangguk setuju.
“Kata
Agni sih tim yang sekarang lebih tahan banting. Mau kasar pun nggak akan ngefek
apa-apa,” ceplos Sivia.
“Kelihatan
banget kok,” timpal Gabriel.
Sementara Alvin, dia asik menonton dan malas
berkomentar.
Sampai
pada akhirnya, Cakradara meraih kemenangan. Para supporter dari Budi Karya bersorak gembira karena meraih kemenangan
besar hari ini. Bukan hanya kemenangan Cakrawala dan Cakradara, tetapi juga
kemenangan Agni sebagai kapten terbaik.
***
Ify dan
kawan-kawan menuju ke tempat Cakrawala dan Cakradara berkumpul untuk memberikan
selamat. Dua tim hebat itu tampak melakukan selebrasi dengan wajah bahagia.
“AGNIII!”
seru Ify dan Sivia.
Agni
menoleh, “WOO KALIAANNN!”
Mereka
lantas berpelukan.
“Gue
sangat amat bangga sama elo. Nggak sia-sia lo jadi sahabat gue,” ceplos Sivia
yang langsung kena toyor dari Agni.
“Selamat,
Ag. Selalu,” timpal Ify.
Agni
terkekeh lalu menganggukkan kepala.
“Agni,
selamat yaaa! Lo keren banget!” kata Shilla yang membuat Agni sedikit kikuk.
Tak
urung, gadis itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu banyak
sekali ucapan selamat berhamburan. Bukan hanya untuk sang kapten terbaik, tapi
juga untuk seluruh tim yang sudah bekerja keras.
“Gue
nggak diselametin khusus nih?” celetuk Debo.
Pemuda
itu tengah menyelonjorkan kakinya yang masih terasa sakit. Mereka lantas
menghampiri Debo dan menatapnya tidak tega.
“Selamat
untuk pejuang luar biasa yang sial banget karna kena gempur mulu,” kata Ify
membuat Debo melotot ke arahnya.
“Nggak
gitu juga ya,” sewotnya.
“Kaki lo
masih sakit?” tanya Sivia.
“Sakit.
Banget,” jawab Debo.
“Sukurin!”
seru Sivia menyebalkan.
“Parah
lu, Siv. Ini temen lo udah kayak gini malah disukurin,” nimbrung Agni yang baru
saja selesai menerima ucapan selamat.
Sivia
hanya nyengir mendengarnya.
“Cak,
sori buat yang tadi. Maaf karena gue sempet ragu sama lo,” kata Olin
mengalihkan perhatian.
“Nggak
pa-pa,” sahut Cakka.
“Kaki lo
gimana, Deb? Sori tadi gue nggak maksa lo diganti,” imbuhnya beralih ke Debo
yang juga menyimak obrolan Olin dan Cakka.
“Better. Gue justru seneng karna nggak diganti,”
kekeh Debo.
Cakka
ikut terkekeh, “Lo lebih tahu kemampuan lo dibanding gue, kalau lo yakin maka
gue juga juga harus yakin. Jadi, tadi gue iyain aja pas lo bilang lo mau tetep
main.”
“Bapak
bangga sekali sama kalian semua. Untuk itu, setelah ini kita akan merayakan kemenangan.
Gimana kalau di Cafe deket-deket sini?” cetus Pak Reihan.
Para tim
basket mengangguk semangat.
“Tapi,
sepertinya saya sama Agni mau rayain bareng mereka aja, Pak,” tolak Cakka
menunjuk sahabat-sahabatnya.
“Yahhh
nggak asik dong kalo kaptennya kabur,” ceplos Olivia.
“Sekarang
lo rayain bareng tim basket aja, Cak. Nanti malam bareng kita, gimana?” usul
Shilla.
“Boleh
tuh kata Shilla,” seloroh Debo.
“Ya
udah, gitu aja,” kata Agni.
“Sip!”
“Kalau
gitu, kami pulang dulu ya,” pamit Gabriel.
“Terima
kasih untuk partisipasinya ya, Yel,” balas Pak Reihan.
Gabriel
hanya menganggukkan kepala lalu undur diri bersama sahabat-sahabatnya.
***
Tim
menolak Sivia bahagia berjalan menuju parkiran SMA Global yang masih lumayan
ramai, tapi tidak seramai saat mereka datang ke sini. Mendadak langkah Ify
terhenti saat seorang pemuda yang amat dikenalnya sedang duduk berdua bersama
gadis cantik. Kaki Ify mendadak kaku. Sivia yang sadar akan hal itu menatap Ify
dengan sorot mata penuh makna.
“Kita
lewat jalan lain aja?” tawar Sivia.
Ify
menoleh lalu menggeleng, “Nggak pa-pa.”
Shilla,
Alvin, Gabriel dan Rio bertanya-tanya apa yang sebenarnya dua gadis itu
obrolkan. Rikuh, mereka memilih diam.
Langkah
mereka semakin dekat dengan objek yang tadi dibicarakan. Ify berusaha menguasai
dirinya, sementara Sivia mendadak cemas. Saat nyaris melewati, tiba-tiba...
“Ify...”
Langkah
Ify terhenti. Begitu pula dengan yang lainnya. Ify menoleh, memasang senyum
yang tampak dipaksakan.
“Hm,
Ray...”
“Lo sekolah
di Budi Karya?” tanya pemuda tersebut.
Ify
sedikit melirik ke si anak gadis itu, “Iya.”
“Lo
kapten basket Global kan?” ceplos Gabriel.
Ray—nama
pemuda itu—beralih ke Gabriel kemudian menganggukkan kepala. Dia lantas kembali
fokus pada Ify yang terlihat enggan bertemu dengannya. Tanpa sadar, Ray
mendengus, sekelebat masa lalu antara dia dan Ify mendadak terputar di otaknya.
“Oh iya,
kenalin. Ini Iley,” kata Ray menunjuk anak gadis di sampingnya.
“Ify. Hm,
gue duluan ya,” balas Ify tanpa mengulurkan tangan sama sekali.
Sejurus
kemudian, Ify menarik lengan Sivia dan berjalan meninggalkan Ray dan Iley. Tim menolak Sivia bahagia lantas mengikuti
dengan bingung. Sementara itu, Ray mendesah, ia menatap Iley yang mungkin
sedang bertanya-tanya.
“Harusnya
lo tadi jangan begitu,” kata Sivia melepaskan tangannya.
Ify
memijat keningnya, “Bodo ah.”
“Tadi
siapa sih, Fy? Kok lo jadi aneh?” tanya
Shilla bingung.
“Bukan
siapa-siapa kok. Hm, Shil, boleh nebeng sampai rumah gue?” balas Ify.
“Gue ke
rumah lo aja gimana? Ntar malem kan kita rayain kemenangan Cakka sama Agni,
biar sekalian gitu,” usul Shilla.
“Oke. Lo
gimana, Siv?” tanya Ify beralih ke Sivia.
Belum
sempat bicara, Alvin menyela lebih dulu.
“Sivia
biar sama gue. Kebetulan gue disuruh jemput Deva di rumah Sivia,” katanya.
“Kak
Deva ngapain di rumah Sivia?” tanya Gabriel.
“Ketemu
Bang Lintar, sepupunya Sivia,” jawab Alvin sekenanya.
“Bang
Lintar itu sahabatnya Kak Deva dan sekarang tinggal di rumah gue karna gaya
hidupnya nggak sehat. Orang tuanya kan di Aussie, dia dititipin gitu ke bokap
sama nyokap biar ada yang ngawasin,” jelas Sivia.
“Ohh.
Terus nanti kumpul dimana?” tanya Gabriel.
“Langsung
di Cafe aja.”
***
Impian
yang dulu pernah ia tinggalkan ternyata jadi kenyataan. Cakka, dia menatap haru
ke arah teman-temannya. Ia masih tak percaya bahwa ia berhasil memembawa timnya
menjemput kemenangan. Bahkan, baru saja, Pak Reihan mengumumkan bahwa Cakka
didaulat menjadi kapten basket sungguhan. Bukan lagi kapten sementara.
“Bapak
yakin sekali kamu bisa memimpin Cakrawala dengan baik,” ujar Pak Reihan.
“Saya
akan berusaha,” sahut Cakka.
Debo dan
Agni lantas merangkul Cakka secara bersamaan.
“Mantap,
bro!” seru Debo.
“Gue
ikut seneng, Cak,” kata Agni.
Cakka
menoleh ke arah Agni hingga jarak wajah mereka teramat dekat.
“Kalau
bukan karna elo, gue nggak mungkin bisa kayak gini,” kata Cakka.
Agni
memalingkan wajahnya karena pipinya memanas. Ah, dia berharap Cakka tak
mendengar irama jantungnya yang berantakan.
“Kenapa
lu, Ag? Kok kayak kepanasan gitu?” celetuk Olin sekaligus menggoda.
“Deg-degan
banget ya deket-deketan sama Cakka?” imbuh Zevana.
Semuanya
terkikik mendengarnya, tak terkecuali Cakka, sedangkan Agni hanya melengos
karena pipinya semakin memanas. Ia yakin sekarang pipinya sudah semerah
kesumba. Gadis itu memilih untuk ke toilet dibanding mendengarkan gurauan
teman-temannya yang semakin menjadi.
“Tanggung
jawab lu, Cak. Anak orang lu bikin salting.”
Agni
masih bisa mendengar suara Debo saat berjalan menjauhi teman-temannya.
“Gue
sama Agni tuh sahabatan, nggak mungkin dia salting lah,” elak Cakka.
Lagi-lagi
ia masih mendengar suara pemuda itu. Agni buru-buru mempercepat langkahnya
menuju toilet. Sesampainya, gadis itu menatap wajahnya di cermin. Sangat
kontras jika dibandingkan dengan Shilla. Mengapa dia tiba-tiba membandingkan
dirinya dengan Shilla?
Agni
tidak tahu. Yang dia tahu, lelaki seperti Cakka lebih pantas bersanding dengan
gadis secantik Shilla. Minimal bukan yang seperti dia. Agni mendesah, dia
pesimis, belum lagi mendengar ucapan Cakka tadi. Mereka hanya sebatas sahabat.
“Stop mikirin aneh-aneh Agni,” ucapnya
pada diri sendiri.
Dia
buru-buru mencuci muka lalu kembali.
“Udah
mau pulang?” tanya Agni.
“Iya.
Udah jam segini,” jawab Olivia.
“Bareng
gue kan, Ag?” tanya Cakka seraya menyelempangkan tasnya.
“Gue mau
nebeng Zevana deh, kan searah,” jawab Agni.
“Mau
nebeng gue?” tanya Zevana.
Agni
mengangguk.
“Oke
deh.”
“Oh ya
udah, gue duluan ya. Ntar malem kalo mau bareng gue nggak pa-pa kok,” ujar
Cakka yang hanya dibalas anggukan oleh Agni.
Setelah
Cakka pergi, Agni bernafas lega. Dia sedang tak bisa mengontrol detak
jantungnya jika berdekatan dengan pemuda itu.
***
Rumah
Ify tak kalah luas jika dibandingkan dengan rumah Shilla. Harus dia akui bahwa
desain interior rumah ini begitu menarik. Kata Ify, kedua orang tuanya sedang
pulang kampung karena semalam neneknya sakit.
“Lo
sendirian dong?” tanya Shilla.
Mereka
sedang menaiki anak tangga satu persatu.
“Ada
Ozy. Dia adek gue, masih SMP. Biasanya jam segini lagi tidur,” jawab Ify
sekenanya.
“Lucu,”
komentar Shilla menunjuk foto-foto polaroid yang sepertinya sengaja dipajang
sebagai hiasan pintu. Semua foto itu berisi foto Ify dari bayi sampai sekarang.
“Bokap
gue emang suka fotografi dan suka ngehias rumah pakai foto-foto, kalo gue mah
mending baca novel sampai jereng,” sahut Ify lalu membuka pintu kamarnya.
Shilla
takjub melihat kamar Ify yang lagi-lagi penuh dengan foto. Gadis itu
berkeliling dan menatapi tembok yang digambar seperti frame, disitulah foto-foto mendominasi.
“Banyak
amat,” katanya.
Ify menarik
ujung bibirnya, “Kalau ini gue yang nempelin. Bokap cuma berperan nyediain
tempat. By the way, ini adek gue
namanya Ozy, terus ada juga foto sama Sivia dan Agni.”
“Lo sama
Sivia udah kenal dari kecil?” tanya Shilla kaget.
“Iya. Udah
sekitar tiga belas tahun lebih,” jawab Ify.
“Wow! Lebih
lama dari The Wanted,” tanggap Shilla membuat Ify tertawa kecil.
Ify
lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur, detik berikutnya ia memejamkan mata,
ingatannya lantas berputar pada kejadian saat berada di SMA Global tadi. Hhh,
lelaki itu... Ray. Kalau tahu ada Ray di sana, Ify bersumpah akan membuat
seribu alasan supaya ia tak datang.
Sudah
berapa lama mereka tidak bertemu? Baru satu tahun. Lain lagi jika pertanyaannya
adalah sudah berapa lama mereka saling diam? Jawabannya sudah dua setengah
tahun. Dan tiba-tiba, mereka harus bertemu lagi dengan keadaan yang berbeda,
belum lagi dengan kanyataan bahwa Ray sudah menemukan seseorang yang lebih baik
darinya. Errr, Ify meringis. Tak tahu mengapa rasanya masih tak rela.
“Ini...
Ray kan, Fy?”
Gadis
itu tersentak mendengar pertanyaan Shilla. Sedari tadi Ify membiarkan Shilla menelusuri
foto-fotonya.
“Salah
lihat kali,” jawab Ify.
“Name tag-nya masih kebaca, Ify,” keukeuh
Shilla.
Sejurus,
Ify merutuki kebodohannya. Sudah lama sekali ia ingin melepaskan fotonya bersama
Ray dari sana tapi entah mengapa rasanya sulit. Ada sesuatu yang membuatnya
enggan.
“Jadi,
bener ya dugaan gue kalo elo sama kapten basket Global itu ada something?”
Ify
memutar otaknya, “Nggak seperti yang lo pikir.”
“Kenapa
gue nggak yakin ya? Tatapan lo ke dia tadi seperti... tatapan luka?”
“Jadi,
lo udah pandai ngamatin orang?” kekeh Ify.
Shilla
lalu duduk bersila di samping Ify.
“Kebetulan.
Lama-lama gue merasa lo mirip Alvin. Sama-sama susah ditebak, sama-sama paham
apa yang gue rasain, dan tertutup.”
“Nggak
usah dipikirin soal Ray. Apapun yang lo lihat, I’m fine.”
Bohong.
Ify berbohong mengatakan dirinya baik-baik saja. Setelah apa yang terjadi
sekian tahun ini, dia baik-baik saja? Dan dengan bodohnya, Shilla mempercayai
kebohongannya. Mungkin bukan hanya Shilla, tapi juga semua orang. Kecuali
Sivia.
“Ray, apa yang udah gue lewatkan?”
***
Hanya
berdua bersama orang yang kita cintai memang bukan hal mudah. Terkadang, Sivia
harus berusaha mati-matian untuk tidak tenggelam saat memandangi wajah Alvin.
Ah, sialan! Semakin dipandang, Sivia jadi harus mengakui bahwa pemuda itu
sangat tampan. Demi neptunus, selama ini laki-laki yang diakuinya tampan hanyalah
aktor korea kesukaannya. Sekarang dia justru memuji-muji Alvin.
Belum
lagi Sivia harus mengurus debaran jantungnya yang iramanya berantakan hingga
membuatnya keringat dingin. Tapi, dia menikmati semua ini. Dia suka. Sivia
bergumam dalam hati, ternyata seperti ini rasanya jatuh cinta. Setelah bertahun-tahun
hidup di bumi, baru sekarang Sivia mengalami yang namanya jatuh cinta. Kalau
tahu akan seindah ini, dia pasti akan menerima dengan senang hati. Sayangnya,
Sivia tahu persis akan ada moment
dimana keindahan ini akan lenyap. Seperti kisah cinta Ify beberapa tahun silam.
“Tumben
lo diem,” cetus Alvin karena merasa aneh dengan sikap Sivia yang mendadak
kalem.
Sivia
terkesiap, “Kalo ngomong ntar lu katain berisik.”
Tak
urung Alvin menarik ujung bibirnya hingga membentuk senyum tipis. Sangat tipis
hingga Sivia sendiri tak yakin telah melihatnya. Selanjutnya, gadis itu
bersorak dalam hati, menahan pekikan girang yang mungkin akan membuat Alvin
mengira gadis disebelahnya sedang kesurupan. Ah, Sivia berhasil merekam senyum
itu. Senyum terlangka saat pemuda tersebut bersamanya.
“Rumah
lo yang mana?” tanya Alvin.
Sivia
bergumam. Mengapa mendadak ia lupa letak rumahnya sendiri?
“Lo nggak
tinggal di Ragunan kan?” tanya Alvin—lagi.
“ENAK
AJA!” protes Sivia dengan nada nyolot dan tatapan siap membunuh.
“Keluar
deh singanya,” seloroh Alvin.
“Kalau
gue singa, gue pasti minder deket-deket sama lu tahu!” balas Sivia.
Kali ini
Alvin bukan hanya tersenyum, melainkan tertawa. Perlahan suara Sivia kembali
lenyap. Hanya ada suara tawa Alvin yang membuat fokus Sivia tersedot seakan-akan
tawa itu adalah lagu terindah yang sedang ia dengar.
Sivia
meneguk ludahnya sendiri. Seandainya ada Ify atau siapapun di sini selain dia
dan Alvin, gadis itu tak perlu mati gaya seperti ini.
“Oi!
Serius nih rumah lu dimana?” tanya Alvin menyurutkan tawanya.
Sivia
langsung memalingkan wajah ke arah jendela.
“Anggap
aja di khayangan. Gue ngantuk ah,” sahut Sivia lalu memejamkan mata dan
pura-pura tidur.
Alvin
mengernyit bingung, tapi selanjutnya memilih mengalah dan menanyakan alamat
rumah Sivia pada Deva. Setelah mengotak-atik ponselnya, Alvin melirik ke arah
Sivia yang masih keukeuh memejamkan mata. Alvin tahu gadis itu tidak
benar-benar tidur, tapi ia membiarkannya saja.
Bahkan
sampai di tempat tujuan, Sivia masih betah pada posisinya. Alvin sendiri
mengambil banyak jeda saat tahu-tahu wangi shampo gadis di sebelahnya menyeruak
ke indra penciuman. Ah, Alvin menyukai wangi ini.
“Udah
sampai, Mbak,” cetus Alvin tetap manatap lurus ke depan.
Reflek
Sivia berakting sedang menguap.
“Nyenyak
banget ya tidurnya?” tanya Alvin geli.
“Uhm, he
eh,” sahut Sivia.
“Yuk,
turun.”
Sivia
menggigit bibir bawahnya, disaat seperti ini dia justru berharap Alvin membukakan
pintu untuknya. Ah, memangnya dia siapa?
“Mau di
sini terus?” tanya Alvin melalui pintu kemudi yang masih terbuka lebar.
“Sabar
kali! Gue kan baru ngumpulin nyawa!” sahut Sivia galak.
Selanjutnya,
gadis itu turun dari mobil dan berjalan masuk ke rumahnya. Alvin mendengus. Padahal
dia sudah menunggu, tapi seenaknya ditinggalkan.
***
“Ray?”
Kepala
Agni menyembul dari pintu kamar Ify hingga membuat dua gadis di dalam ruangan
itu nyaris terlonjak karena kaget. Agni nyengir tak bersalah, lalu masuk ke
kamar tersebut dan duduk di lantai. Dari gelagatnya, Shilla jadi yakin kalau
Agni memang sudah menganggap kamar ini sebagai kamarnya sendiri.
“Ray
Prasetya, Fy? Lo ketemu dimana?” tanya Agni tak tahan.
Ify
melirik Shilla yang sepertinya mulai penasaran.
“Waktu
nonton basket tadi,” jawab Ify.
“Ahhh!”
seru Agni tiba-tiba.
“Pantesan
tadi gue tuh kayak kenal banget sama kapten basket Global, tapi gue beneran
nggak tahu kalau itu Ray. Dia jadi tinggi dan rambutnya nggak gondrong lagi,”
kata Agni menjelaskan.
“Orang
yang pernah bilang nggak bisa hidup tanpa lo itu belum mati?”
Mereka
menoleh ke ambang pintu. Setelah terkejut dengan kedatangan Agni, kali ini
mereka dikejutkan dengan wajah datar dan dingin seorang anak laki-laki yang
diyakini Shilla sebaggai adik Ify.
“Ozy,
sejak kapan lo di sana?” tanya Ify dengan sarat kepanikan.
“Sejak
gue denger Kak Agni dateng,” jawab Ozy.
Ify
tampak gusar lalu melirik Agni yang menampilkan rasa bersalah karena berbicara
terlalu keras dan lupa menutup pintu. Detik berikutnya Ify ikut merutuki
dirinya sendiri.
“Gue
nggak peduli alasan kalian putus dulu, tapi gue benci sama dia karena seenaknya
bikin lo sakit hati lalu pergi gitu aja,” ujar Ozy membuat Ify meremas sepreinya
kuat-kuat.
“Bukan
dia yang salah. Gue yang salah,” sahut Ify.
“Udah gue
bilang gue nggak peduli! Yang gue peduliin itu elo, Kak,” tandas Ozy.
Ify
terharu. Adiknya itu semakin hari semakin dewasa. Meski mereka selalu
bertengkar karena masalah sepele, dia tahu bahwa Ozy selalu menyayanginya.
Menyayangi tanpa kata.
“It’s over, Zy. Dia cuma masa lalu yang sampai
kapanpun selalu ada di belakang,” kata Ify.
Semua
pasang telinga mengartikan bahwa Ify benar-benar yakin dengan apa yang
diucapkan. Gadis itu selalu percaya diri dengan semua yang ia lakukan. Dan entah
mengapa, itu selalu membuat semua orang percaya bahwa dia baik-baik saja.
Shilla, ia menelusuri wajah Ify dengan intens. Dia seakan sedang mencari celah
kebohongan gadis itu, tapi tak berhasil. Shilla mendesah, ternyata lebih susah
mengerti Ify daripada Alvin.
***
Bersambung...
Part ini adalah part paling berat karna nggak tahu harus nulis apa -_- ditunggu kritik sarannya ya. Btw follow ask.fm/fannyslma
0 komentar:
Posting Komentar