"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Senin, 04 Juli 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 14

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Helo salam #BangkitkanCRAGSISA huaahh seneng banget baca komen-komennya. Udah pada main tebak-tebakan juga :p Saya bawa part 14 nih anggap aja THR(?) berhubung besok lebaran, saya mengucapkan mohon maaf lahir dan batin yaa. Langsung saja kita cusss ke part 14.

Hope you like it...

14


Suasana lapangan indoor sangat khitmat. Tim Cakrawala dan Cakradara sedang fokus mendengarkan intruksi Pak Reihan mengenai pertandingan basket yang akan berlangsung akhir pekan ini. Cakka dan Agni yang punya tanggung jawab paling besar dalam pertandingan ini tampak serius, mereka berdua tidak ingin mengecewakan siapapun.
“Cakka, ini pertandingan pertama kamu. Jangan terlalu dibuat beban, apapun yang kamu lakukan nanti lakukan yang terbaik. Kamu siap, Cakka?”
Cakka menganggukkan kepalanya dengan percaya diri. Dia berharap latihan kerasnya selama ini akan berbuah hasil.
“Untuk Agni, saya yakin kamu mampu membawa teman-temanmu menuju final.”
Sejurus kemudian, semuanya menatap Agni dan Cakka secara bergantian seakan dua tokoh itu adalah penentu utama untuk menuju kemenangan. Sebagai seorang yang sudah lama bergelut dalam bidang basket, profesionalitas Agni tak dapat diragukan lagi. Banyak sekali piala yang telah disumbangkannya untuk Budi Karya.
Diam-diam Agni mengingat obrolannya dengan Ify sepulang dari Quest Resto. Semalam gadis itu menginap di rumah Ify karena malas pulang ke rumah. Lagipula kedua orang tua Ify yang tak lain adalah om dan tante-nya sendiri tak pernah keberatan, dan malam itu Ify tidak protes apa-apa. Tidak biasanya. Sebab, setiap Agni ingin menginap pasti Ify akan protes terlebih dahulu, setidaknya melarang Agni untuk tidak bersekutu dengan Ozy.
“Lo ada masalah apa, Ag?” tanya Ify tiba-tiba.
Agni merutuki dirinya sendiri dalam hati. Dia selalu lupa kalau Ify pandai membaca perasaan seseorang dan pintar sekali membaca situasi. Harusnya Agni sudah curiga kalau dirinya bakal diinterogasi.
“Nggak ada kok. Emang gue ada masalah apa?” balas Agni pura-pura bingung.
“Lo nggak pernah jago akting. Apalagi di depan gue,” sahut Ify lantas menghidupkan laptopnya.
“Eh gue ada perlu sama Ozy nih,” cetus Agni hendak mencari Ozy.
“Dia ikut persami.”
“Sial! Sial! Sial!” rutuk Agni dalam hati.
“Jadi?” pancing Ify.
Agni mendesah, “Gue nyerah. Emang susah ya bohong sama elo.”
“Jadi?”
“Gue bingung, Fy. Rasanya stres. Pikiran gue runyaaaammmm bangeeetttt. Gue nggak ngerti musti gimana,” curhat Agni.
Gadis itu duduk sila di sebelah Ify yang tengah memainkan laptop. Begitu mendengar Agni sudah mulai terbuka, Ify menutup laptopnya dan fokus pada sepupu yang sekaligus menyandang gelar sebagai sahabatnya.
“Cerita dari awal biar gue paham,” interupsi Ify.
“Sebenernya Shilla pernah ngelabrak gue, Fy,” ujar Agni membuat mata Ify membulat sempurna.
Dan tercetuslah rangkaian cerita dari bibir Agni mengenai pertemuannya dengan Shilla ketika berada di toilet. Agni menceritakan semuanya secara detail. Setelah itu, dia bercerita mengenai ucapan Sion saat di depan kelas. Ify mendengarkan dengan baik, ia sama sekali tidak memotong cerita Agni.
“... gue merasa apa yang diucapin Shilla dan Sion itu bener, Fy. Gue jahat.”
Agni mengakhiri ceritanya.
“Lo cinta sama Cakka, Ag?” tanya Ify tanpa basa-basi.
Agni terkejut mendengar pertanyaan Ify karena ia tidak membahas perasaannya pada Cakka di dalam cerita. Rikuh, gadis itu mengangguk pelan—sebab percuma saja jika ia berbohong—sedangkan Ify masih terus memandangnya dengan sorot hangat seperti biasa.
“Lo takut kehilangan dia disaat kalian udah sedekat ini?”
“Gue...”
“Ag, mungkin yang dibilang Shilla bener. Tapi, gue nggak akan nyalahin elo karena mungkin juga elo bener. Kenapa? Karena kalian punya sudut pandang yang beda.”
“Maksudnya?” tanya Agni.
“Shilla bilang begitu karena selama ini Cakka udah terlalu lama jadi bagian dari hidupnya. Sementara menurut dia, lo baru dateng ke hidup Cakka tapi lo bisa bikin Cakka ninggalin The Wanted,” Ify mengambil jeda sejenak.
“Lo juga bener, Cakka percaya sama elo dan lo nggak bisa jauhin dia. Tapi di balik itu semua lo, alasan utama lo menolak keras bukan sekedar karena Cakka datang ke elo. Lo cuma nggak mau kehilangan apa yang telah lo raih.”
Agni menggigit bibir bawahnya sambil mendekap erat bantal milik Ify. Gadis itu menewarang jauh dan membenarkan ucapan Ify, dia memang tidak mau kehilangan Cakka.
“Jadi?” tanya Ify.
“Jadi, gue nggak perlu mempermasalahkan ucapan Shilla karena kita sama-sama punya alasan yang kuat?”
Ify mengangguk puas.
“Lagipula, lo tadi denger sendiri apa yang dibilang Cakka. Ada atau enggaknya elo di hidup Cakka, posisi Shilla selalu sama. Cakka selalu nganggep Shilla sahabat sampai kapanpun. Itu artinya lo nggak pernah ambil posisi Shilla karena lo punya posisi sendiri di hidup Cakka,” cerocos  Ify membuat Agni mengangguk paham.
Namun ada satu hal lagi yang mengganggu pikirannya.
“Sion...,” gumam Agni.
“Masalah Sion, itu urusan pribadi lo sama dia. Sebagai sahabat, gue cuma bisa kasih saran supaya lo ngomongin ini baik-baik sama dia. Lo perlu bicara dari hati ke hati sama dia. Tapi nggak sekarang,” balas Ify.
“Kenapa?”
“Agniiii... lo harus fokus sama pertandingan basket. Sementara ini jangan pikirin sesuatu yang bikin beban lo bertambah!” tegas Ify seperti kakak yang menasehati adiknya.
Agni bersyukur memiliki Ify sebagai sepupu sekaligus sahabatnya. Entah mengapa, setiap kata yang diucapkan gadis itu seperti sihir.
Thanks banget, Fy. Gue bakal ngomong sama Sion secepatnya setelah urusan basket kelar. I’m so glad to having you,” ucap Agni seraya memeluk Ify dari samping.
Ify terkekeh sambil balas memeluk.
“Jangan bilang Cakka soal itu ya,” imbuhnya.
“Iya. Lo tenang aja.”
Lamunan Agni buyar saat Pak Reihan menginterupsi seluruh tim basket untuk melakukan pemanasan. Saat hendak berdiri, sebuah tangan terulur di depan wajah Agni. Gadis itu mendongak, tersenyum, lalu menerima uluran tangan Cakka.
***
Pelajaran kimia memang bukan hal yang mudah, bahkan untuk Ify yang biasa menjadi juara kelas. Sivia sudah sangat gelisah di bangkunya karena Ify tak juga kembali sejak meninggalkan kelas untuk mencari Shilla. Sahabatnya itu bersikeras menemui Shilla meskipun sudah dilarang teman-teman sekelas. Sivia sendiri hanya diam, mengalah untuk tidak ikut karena dia harus melindungi Ify dari Pak Remi—guru kimia yang galaknya di bawah Bu Maryam. Padahal Ify mengatakan dia tidak akan lama-lama
Kebiasaan Pak Remi adalah mengabsen saat siswa-siswanya mencatat. Sementara itu, Sivia belum menemukan alasan yang tepat jika nama Ify disebut. Sialnya lagi, absen Ify di urutan atas!
“Bantu hamba-Mu ini Tuhan. Semoga otak gue nggak mampet deh,” gumam Sivia.
Gadis itu melirik Pak Remi yang sedang membuka buku absen dan membuatnya komat-kamit tak jelas. Mulailah pria itu mengabsen siswa-siswinya sampai nama Ify dipanggil.
“Alyssa...”
Sivia masih diam.
“Alyssa ke mana? Bukannya kakinya sudah sembuh?” tanya Pak Remi.
“Alyssa diare, Pak,” jawab Sivia mengarang.
“Kamu yakin, Sivia? Kamu nggak lagi bohongin saya, kan?” tanya Pak Remi curiga pada Sivia.
“Ya bener dong, Pak! Masa saya bohong?” nyolot Sivia.
“Minggu kemarin kamu bohongin saya masalah jam. Minggu kemarinnya kamu bohong dengan bilang saya dipanggil kepala sekolah. Minggu kemarinnya lagi, kamu bohongin saya masalah ehmmm Bu Maryam,” balas Pak Remi membuat Sivia meneguk ludahnya.
Sial, sepertinya Pak Remi sudah sensitif dengannya. Yang dikatakan pria itu memang benar. Minggu kemarin Pak Remi telat mengajar, lalu Sivia mengatakan bahwa pelajaran hari ini dipercepat menjadi 30 menit. Pak Remi yang tidak tahu apa-apa percaya padanya. Minggu kemarinnya, Sivia sangat bosan dan ijin ke toilet. Setelah dari toilet, dia mengatakan pada Pak Remi bahwa beliau dipanggil kepala sekolah. Minggu kemarinnya lagi, Sivia iseng mengerjai Pak Remi mengenai Bu Maryam. Dia tahu kalau Pak Remi naksir Bu Maryam, sayangnya Bu Maryam sudah punya tunangan dan mau menikah. Dan Sivia, dengan kejahilannya mengatakan pada Pak Remi bahwa Bu Maryam tidak jadi menikah. Selain itu semua, masih banyak lagi kejahilan yang dilakukan Sivia.
“Yailah, Pak. Kan waktu itu saya bercanda aja. Jangan diambil hati, Pak. Nanti jadi penyakit,” ceplos Sivia membuat Pak Remi melotot.
“Saya cuma inget!” balas Pak Remi setengah nyolot.
Anak-anak sekelas sudah cekikikan menyaksikan kesengitan Pak Remi pada Sivia. Entah sudah berapa kali pria itu dikerjai oleh Sivia sampai Ify yang berstatus sebagai sahabat jadi kena getahnya.
Sebagai anak pintar dan juara kelas, Ify jadi anak kesayangan guru-guru, termasuk Pak Remi. Akan tetapi, sejak sensi pada Sivia, Pak Remi jadi sensi juga dengan Ify.
“Bapak diem-diem suka inget sama saya? Aduh saya emang biasa mampir ke ingatan orang, Pak,” cetus Sivia mulai kumat.
“Kamu saja yang kepedean!”
“Lah kok jadi nyalahin saya, Pak? Kan tadi Bapak sendiri yang bilang Bapak inget sama saya. Gimana sih, Pak?”
“Yang saya inget buruk-buruk semua, nggak ada yang bagus,” nyolot Pak Remi.
“Sial nih,” gumam Sivia.
Meski keki, gadis itu mulai memasang wajah polos lagi.
“Bapak bikin saya drop nih. Saya memang banyak kekurangan, Pak. Makanya saya seneng banget kalo diajar sama Pak Remi. Bakat saya yang selama ini terpendam suka nampak tiba-tiba,” cerocos Sivia.
“Bakat apa?” tanya Pak Remi bingung.
“Bakat bohongin Bapak. Hehehehhehe.”
“SIVIAAAA!!! KERJAKAN SOAL DI DEPAN!!!”
“Di depan nggak ada soal, Pak. Adanya catatan,” balas Sivia sangat polos.
Detik itu Pak Remi baru sadar kalau dia belum memberikan soal sama sekali. Tawa yang sedari tadi ditahan teman-teman sekelasnya akhirnya meledak. Sivia sendiri bersyukur karena Debo tidak ada di kelas. Kalau ada, bisa bisa Debo mengompori Pak Remi.
Sivia lega sekali karena Pak Remi jadi lupa mengenai Ify. Tak apa pria itu semakin sensi padanya, asal Ify tidak mendapat hukuman karena bolos pelajaran.
***
“Kenapa hidup gue semakin berantakan, Tuhan?”
Shilla memeluk kedua lutut dan menelungkupkan kepalanya.
“Ternyata lo di sini, Shil. Gue udah nyari ke mana-mana.”
Mendengar suara itu, Shilla mengangkat kepalanya dan terkejut saat Ify sudah duduk di sebelahnya.
“Lo ngapain di sini? Mau ngetawain gue? Puas kan lo lihat gue kayak gini? Seneng kan? Ah iyalah pasti lo seneng dan bahagia kayak mereka,” sinis Shilla.
Ify tak berkomentar. Gadis itu memejamkan matanya dan menggelengkan kepala. Meski tak membuka mata, dia yakin Shilla tengah memperhatikannya saat ini.
“Gue ke sini karna takut lo kenapa-napa,” cicit Ify.
Selanjutnya, mata itu terbuka. Ify menoleh ke samping dan mendapati Shilla lagi-lagi terkejut.
“Kenapa lo musti takut? Kita nggak saling kenal. Lo bahkan bukan siapa-siapa gue,” balas Shilla.
“Gue Ify,” kata Ify mengulurkan tangan.
“Apa sih? Gue tahu!”
“Lo sendiri yang bilang kita nggak saling kenal. Karena lo tahu nama gue, jadi anggap aja kita udah saling kenal,” balas Ify tak acuh.
“Maksud gue...”
“Lo tahu nggak betapa sayangnya Cakka sama lo?” tanya Ify memotong.
“Sayang?”
Ify mengangguk kecil, “Bukan cuma Cakka. Gue yakin Rio sama Gabriel juga sayang sama elo. Mereka sahabat-sahabat terbaik yang lo punya.”
“Lo ke sini cuma mau bullshit? Percuma, Fy.... Gue nggak percaya sama lo. Mereka bukan sahabat baik, mereka ninggalin gue gitu aja,” kekeh Shilla menahan air matanya.
“Jadi, sahabat baik itu kayak siapa? Kayak elo?” tanya Ify.
Shilla tak bersuara.
“Sahabat yang baik itu kayak gimana, Shil? Yang nggak mau tahu impian sahabatnya? Yang harus selalu ada sama elo? Yang nggak boleh sahabatan sama yang lain? Yang kayak gimana, Shil?” tanya Ify beruntun.
“Yang nggak ninggalin gue kayak gini!”
Ify tertawa kecil, “Mereka nggak pernah ninggalin elo, Shil. Lo sendiri yang minta mereka pergi! Lo nggak sadar?”
“Gue minta mereka pergi karena gue kecewa...”
“Kecewa karena ternyata mereka punya sahabat lain?” tanya Ify.
“Sebelas tahun! Sebelas tahun gue mempertahankan The Wanted. Gue anak tunggal, Fy. Orang tua gue sibuk dan sekarang mereka pisah. Cuma mereka yang gue punya. Apa gue salah mempertahankan satu-satunya yang gue punya? Apa gue salah mempertahankan satu-satunya yang berharga dalam hidup gue?
“Gue kecewa! Semua orang bilang akan selalu ada buat gue, tapi semuanya ninggalin gue satu persatu. Orang tua gue, Cakka, Rio, Gabriel....”
Semua yang ingin disampaikan Shilla pada dunia akhirnya diungkapkan pada Ify. Air mata Shilla meluruh, menyusuri pipinya hingga jatuh dan menyatu bersama kepedihan.
“Maafin gue, Shilla. Tapi, gue harus bilang ini. Lo terlalu fokus memenjara mereka. Mereka butuh dunia yang lebih luas, bukan sekedar dunia yang lo buat. Bukan cuma mereka, tetapi juga elo sendiri,” ujar Ify tanpa memandang Shilla. Ia takut jika ia tetap memandang gadis yang selalu terlihat angkuh itu sedang menangis, ia jadi tidak tega menyampaikan kalimat-kalimat yang mungkin menohok.
“Gue nggak paham...”
“Selama ini, lo menuntut mereka untuk mengikuti dunia yang lo buat. Lo lupa kalau mereka juga ingin membangun dunia sendiri. Apa lo tahu impian Cakka itu bisa jadi pemain basket? Apa lo tahu Rio sangat lelah dan ingin lepas dari pekerjaan kantor? Apa lo tahu Gabriel itu sangat humoris dan narsis?” cerocos Ify.
Nafas Shilla tercekat. Apa yang diutarakan Ify sama sekali tidak ia ketahui. Bahkan, tentang Gabriel. Pemuda itu memang terkadang lucu, tapi... sangat humoris? Sumpah, Shilla tidak tahu.
“Gue nggak tahu...”
Ify tersenyum tipis, “Satu-satunya yang mereka butuhkan cuma berinteraksi dengan banyak orang. Seperti Cakka, sejak dia keluar dari The Wanted lo tahu sendiri perubahannya. Dia juga berhasil jadi tim inti basket...”
Gadis itu mengambil nafas sejenak, lalu melanjutkan.
“Rio, dia juga butuh. Pertama kali gue ketemu dia, gue nggak percaya ada makhluk sekaku itu dan kerjaannya cuma mandangin ponsel dengan wajah serius. Seandainya ada kesempatan bergaul dengan yang lain, lo akan liat Rio versi tanpa beban. Dia akan tahu kalau sekolah itu bukan tempat untuk mikirin urusan kantor.
“Dan Gabriel... lo akan liat Gabriel yang semaunya sendiri, nyolot dan bikin banyolan-banyolan yang bisa ngocok perut—“
“Bukan Gabriel yang kerjaannya cuma baca buku dan ngerjain soal di dalam kelas. Lo pikir gue percaya?” potong Shilla.
Ify tertawa. Ternyata gadis itu sudah tidak menangis lagi. Sejurus kemudian, Ify mengambil ponselnya, membuka room chat-nya dengan Gabriel dan memperlihatkannya pada Shilla. Gadis itu tampak terkejut karena Gabriel di chat itu berbeda, seperti bukan Gabriel-nya. Biasanya dia akan membalas seperlunya.
“Ada lagi yang mau gue tunjukin,” ujar Ify.
Jemarinya berpindah ke galeri. Ify memutar salah satu video. Detik selanjutnya, terpampang wajah Gabriel yang memenuhi layar.
“Haiii, gue lagi nyari kado buat Shilla. Btw ini pake hp si Ify. Eh gue di hp lo kok cakep banget sih, Fy?” cerocos Gabriel seraya menoleh ke belakang dimana Ify sedang berjalan bersama Sivia. Rio juga ada.
“Pake aplikasi video 360 kali!” seru Sivia dari belakang.
“Eh si anjir! Mana ada video 360? Adanya camera 360 bego!” balas Gabriel.
“Yang punya gue, makanya bagus,” sahut Ify kalem.
“Sini yang punya hp ikutan nampang dong,” kata Gabriel lalu memperlambat langkahnya. Bukannya Ify yang tersorot, justru Sivia yang sengaja mengganggu dengan gaya hidung babi.
Detik selanjutnya hanya terisi tawa lepas dari Gabriel hingga video pendek itu berakhir. Selama menyaksikan, mata Shilla tak lepas dari sosok Gabriel.
***
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Gabriel si anak pemilik yayasan Budi Karya membolos pelajaran. Pemuda itu bersembunyi di rooftop bersama Rio. Tentu saja ini otak sahabatnya itu. Memangnya siapa yang hobi bersembunyi di tempat ini selain Rio? Tapi ternyata rooftop memang indah meskipun matahari bersinar disaat yang tidak tepat.
“Lo harusnya nggak bolos,” ujar Rio.
“Lo juga,” sahut Gabriel enteng.
Mereka berdua lantas terkekeh bersamaan.
“Gue udah janji sama Ify nggak akan bolos atau tidur pas pelajaran,” cetus Rio lalu merebahkan tubuhnya.
Gabriel melakukan hal yang sama. Ah, pantas saja Rio betah di sini. Meskipun bukan kasur empuk yang ditidurinya, tapi rasanya nyaman karena semilir angin sedari tadi menyapu kulit mereka. Sinar matahari yang tadinya sedikit mengganggu pun jadi beralih fungsi sebagai penghangat.
“Kenapa musti janji?”
“Karena dia nggak mau nilai-nilai gue menyedihkan,” jawab Rio sekenanya.
“Tapi sekarang lo lagi bolos,” balas Gabriel.
“Iya. Nanti bisa minta maaf,” seloroh Rio membuat Gabriel terkikik geli.
Ingatan Gabriel berputar ke beberapa tahun silam, saat mereka masih sama-sama kecil. Dulu dia dan Rio tidak begitu akrab. Gabriel lebih akrab dengan Shilla karena rumah mereka lebih dekat dibanding yang lain.
“Lo inget waktu kita berlima pertama kali main di danau?” tanya Gabriel.
“Inget. Lo sok pahlawan mau nyelametin kura-kura tenggelem,” balas Rio sedikit mengejek.
Gabriel melengos, “Gue kan nggak tahu kalo kura-kura bisa berenang.”
“Waktu sok nyelametin ikan, lo juga nggak tahu ikan bisa berenang?”
“Itu beda, bro. Gue lihat ikannya rada megap-megap, makanya gue tolongin,” elak Gabriel membuat Rio mendelik ke arahnya.
“Ngaco lu! Kayaknya dulu bukan karena itu lo tolongin deh,” bantah Rio.
“Emang,” seloroh Gabriel.
“Terus?”
“Lo inget waktu Shilla cerita soal ftv ikan duyung yang dia tonton? Apa ya judulnya? Lupa gue. Pokoknya Shilla suka cerita deh,” ceplos Gabriel.
“Tahu tahu.”
“Nah! Kan Shilla bilang di ftv itu bapaknya nolongin ikan, pas diangkat ternyata jadi putri duyung—“
“Terus lo terinspirasi dan mau nyoba juga?” potong Rio.
Gabriel nyengir seraya menganggukkan kepala.
“Sinting!” maki Rio.
“Namanya juga bocah. Kalo dipikir-pikir, The Wanted waktu masih kecil lebih asik ya daripada sekarang? Apa karena udah sebelas tahun dan tetep gitu-gitu aja makanya kita jadi bosen ya?” cerocos Gabriel.
“Entah. Gue pun bingung.”
Selanjutnya mereka sama-sama diam dan berkutat dengan pikiran masing-masing. Kali ini, memandangi awan-awan menakjubkan yang biasanya terabaikan terasa menyenangkan. Awan-awan di atas berubah-ubah bentuknya, tapi selalu tampak indah karena lebih dari satu. Sama seperti persahabatan, seindah apapun bentuknya jika yang mengisi hanya satu orang maka akan percuma.
***
Sudah satu setengah jam dan Alvin baru menyelesaikan 3 tugas. Masih banyak. Lelaki itu mendengus lalu melirik jam tangannya. Dia gelisah sekali, pikirannya tertuju pada Shilla, ah... dia menyesal meninggalkan gadis itu sendirian di kelas. Jika terjadi sesuatu bagaimana?
Alvin mengecek ponselnya dan berdecak sebal karena Shilla belum membalas chat-nya. Mungkin gadis itu sedang fokus pada pelajaran sehingga tidak tahu ada chat masuk di ponselnya.
“Alvin...”
Tahu-tahu saja Bu Maryam kembali dan membuatnya gelagapan.
“Hm, iya, Bu?” balas Alvin.
“Saya sudah tahu bagaimana caranya supaya nilai kamu dapat diperbaiki,” kata Bu Maryam.
Alvin tak menyahut.
“Saya akan bicara dengan Ify supaya membuat jadwal mengajari kamu.”
“Tapi, Bu. Rio kan juga belajar sama Ify. Kami belajar bertiga? Bukannya itu tidak efisien?” balas Alvin bermaksud menolak.
“Saya dapat laporan kalau nilai-nilai Rio sudah melebihi KKM. Nanti saya suruh Ify memisah jadwal belajar antara dia dengan Rio dan dengan kamu. Pokoknya, saya tidak terima penolakan dari kamu,” tegas Bu Maryam.
“Jadi, Ibu terima penolakan dari Ify?”
Bu Maryam melotot mendengarnya.
“Kamu mau nyuruh Ify menolak?” tuding Bu Maryam.
Namun Alvin menggeleng, “Saya cuma nanya.”
“Kamu tenang saja, Ify tidak akan menolak karena saya punya penawaran bagus untuknya. Kamu cukup terima jadi saja.”
Entah mengapa obrolan ini terdengar seperti transaksi terlarang. Apa katanya tadi? Terima jadi. Alvin sudah tidak bisa mengelak lagi. Terserah pun, dia tidak peduli sekalipun Bu Maryam meminta Albert Einsten mengajarinya. Yang dibutuhkannya saat ini hanyalah tugasnya cepat selesai dan dia bisa kembali ke kelas.
“Bu, saya boleh kerjain ini di rumah?” tanya Alvin.
“Memangnya kenapa kalau di sini? Kamu kan bisa anggap sekolah seperti rumah kamu sendiri,” balas Bu Maryam.
“Di rumah saya nggak ada Bu Maryam,” sahut Alvin tenang seakan dia berbicara dengan tembok batu bata.
“Kamu ini ya! Ya sudah, sana kembali ke kelas. Besok sudah harus selesai ya! Saya nggak mau tahu. Kalau tidak selesai, saya nggak mau repot-repot mintain tugas buat kamu ke guru-guru,” cerocos Bu Maryam yang tak diindahkan Alvin.
Pemuda itu langsung mengucap permisi dan membuat Bu Maryam berdecak kesal. Dibanding menghadapi Alvin, sepertinya dia lebih suka menghadapi siswa-siswa nakal yang suka mampir ke ruang BK.
Kelegaan Alvin karena dapat kabur dari ruang guru sirna saat tahu ternyata kelasnya sedang jam kosong. Dia tak menemukan Shilla di dalam kelas. Tasnya pun tidak ada! Yang membuatnya lebih terkejut lagi, bangkunya—lebih tepat lagi di bagian Shilla duduk—berserakan kertas undangan pesta ulang tahun yang telah disobek-sobek. Alvin lantas menatap anak-anak sekelas dengan sengit dan tajam, tapi tak satupun dari mereka peduli pada pemuda itu.
Semuanya asik bergurau. Tawa mereka meledak-ledak. Alvin, dia meraih tasnya dengan kasar dan meninggalkan kelas. Sejurus kemudian, tawa dalam kelas itu menghilang digantikan keterpanaan atas sikap Alvin. Hanya sekejap. Sebab beberapa detik selanjutnya tawa itu kembali memenuhi ruangan.
Alvin mencoba menghubungi Shilla namun ponsel gadis itu tidak aktif. Dengan langkah lebar, dia menelusuri setiap jengkal Budi Karya hanya untuk menemukan Shilla. Tetap tidak ada. Ke mana gadis itu? Biasanya dia bisa menemukan Shilla dengan sekejap.
“Harusnya gue nggak ninggalin Shilla. Shit!” umpat Alvin.
Pemuda itu berbelok ke UKS. Satu-satunya tempat yang mungkin didatangi Shilla. Namun bukan gadis itu yang ia temukan, melainkan sosok bernama Ify yang semalam diperkenalkan Gabriel dan Rio sebagai teman. Mendadak kaki Alvin kaku.
“Alvin,” gumam Ify sampai ke telinganya.
Bukannya menjawab, Alvin berbalik. Sebelum niat untuk pergi itu terlaksana, Ify berhasil menahan langkahnya karena menyebutkan sebuah nama yang saat ini menyabotase otaknya.
“Lo nyariin Shilla, kan?”
Shilla. Begitu nama itu menyapa telinganya, Alvin mengurungkan langkah dan kembali menghadap Ify.
“Lo tahu dia dimana?” tanya Alvin to the point.
Ify mengernyit, sepertinya Alvin tak sadar bahwa pertanyaannya mengandung sarat kepanikan. Alvin sendiri masih menunggu jawaban Ify.
“Dia udah pulang,” jawab Ify.
“Pulang?”
Gadis itu mengangguk, “Dia bilang dia butuh waktu sendiri.”
Selanjutnya, Alvin mendekat. Memperpendek jarak diantara mereka. Semakin dekat, hingga Ify dapat semakin jelas melihat kekhawatiran di mata pemuda itu.
“Lo tahu apa yang terjadi sama dia sewaktu di kelas?” tanya Alvin.
Ditanya seperti itu, Ify mendadak takut. Sejak dulu Ify memang takut pada Alvin. Sorot matanya sangat dingin seakan di baliknya ada sesuatu yang tak boleh orang lain lihat, dia begitu pandai menciptakan batas hingga tak bisa ditembus dengan cara apapun. Dan sekarang, Alvin berkata dengan nada tersirat. Bukan hanya itu, sorot matanya tampak... beda.
“Ify...”
Ify meneguk ludah, tak menyangka bahwa Alvin yang paling kaku dan tak acuh itu tahu namanya. Hanya sekejap Ify terperangah karena kemudian dia kembali bingung harus menjawab apa.
“Ng—nggak,” sahut Ify gelagapan.
“Serius lo nggak tahu?” tanya Alvin memastikan.
“Tapi, temen gue tahu.”
Meluncurlah sebuah cerita yang tadi pagi didongengkan oleh Debo mengenai Shilla. Rahang Alvin tampak mengeras, dahinya berkerut dan tahu-tahu tangannya mengepal. Ify tampak pucat, takut jika kepalan itu tiba-tiba terarah padanya.
Sorry,” kata Alvin mengerti.
Pemuda itu melepas kepalan tangannya. Diam-diam, Ify bernafas lega karena Alvin masih memiliki kesadaran.
“Lo nggak perlu khawatir, Shilla baik-baik aja,” ucap Ify.
Dia tak berniat menceritakan peristiwa setengah jam lalu dimana dia dan Shilla mengobrol panjang—sesekali obrolan itu jadi sengit—di taman belakang. Alvin bernafas lega, dia sendiri tak tahu mengapa mudah sekali percaya pada ucapan Ify barusan.
“Lo yakin kan kalo dia baik-baik aja?”
Ify mengangguk.
“Oh iya. Kenalin, gue Alvin,” ujar Alvin seraya mengulurkan tangan.
Meski terperangah, Ify tetap menerima uluran itu dan menjabatnya.
“Ify.”
***
Tawa lepas Gabriel di video yang diperlihatkan Ify masih membekas di otaknya. Belum lagi, mengenai kenyataan-kenyataan yang dipaparkan oleh gadis itu. Kenyataan yang selama ini tak diketahuinya sama sekali. Shilla. Saat ini dia tengah membuka album foto The Wanted semasa kecil. Dia tersenyum tipis menyaksikan foto-foto tersebut, mengapa dia baru sadar bahwa semuanya sudah berubah?
Sampai pada foto dimana Cakka tengah memainkan bola basket bersama Rio, Alvin dan Gabriel. Shilla ingat saat itu dialah yang mengambil foto karena tak bisa bermain basket. Dia pikir, basket hanyalah untuk Cakka yang masih kecil, tak disangka bahwa basket justru bagian dari dalam diri pemuda itu. Shilla menangis. Betul kata Ify, dia memenjarakan Cakka hingga tanpa sadar membunuh bagian dari dalam diri sahabatnya sendiri dan akhirnya Cakka tak bisa hidup hanya dengan sebagian dari dalam dirinya yang lain.
“Kenapa gue baru sadar betapa egoisnya gue?” lirih Shilla.
Halaman selanjutnya, foto saat The Wanted liburan bersama-sama. Shilla terlihat memeluk boneka sementara yang lainnya tampak merusak foto dengan bergaya aneh. Pahit sekali menghadapi kenyataan bahwa foto ini adalah foto terakhir mereka menjadi diri sendiri. Setelah itu, mereka berubah jadi sosok yang lain.
Shilla teringat mengenai obrolannya dengan Alvin saat di kelas.  Tepatnya, pada saat setelah kejadian dia ditolong oleh Ify.
“Gue pingin kayak yang lain, Vin. Gue pingin menangis saat sedih, tertawa saat bahagia, apapun asalkan gue nggak harus berpura-pura.”
Dan Alvin menjawab, “Percaya sama gue, suatu saat kita akan punya kesempatan untuk jadi diri sendiri.”
Klasik. Namun bagi Shilla itu adalah kalimat sederhana yang punya makna dalam. Ada harapan di dalam sana, ada doa, ada kepercayaan, ada tekat, dan mungkin ada makna lain yang tak terjamah oleh Shilla.
Shilla kembali memandang foto. Kali ini adalah foto saat pertama kali masuk SMP. Mereka sudah berubah, berfoto hanya dengan seulas senyum yang seperti dipaksakan, tanpa gaya-gaya konyol. Gadis itu meringis, sudah berapa lamakah mereka salah arah? Shilla merasa berdosa. Di halaman selanjutnya sampai belakang, tak beda jauh, hanya ada foto-foto dengan ekspresi serupa.
Setelah puas, Shilla memandangi tumpukan kado yang—entah kapan—dipindahkan pembantunya ke dalam kamar. Padahal tadi pagi dia masih melihatnya di teras.
“Dari Alvin,” gumam Shilla.
Dia ingat mengapa kado Alvin bercampur dengan kado-kado lain. Saat marah dengan Rio dan Gabriel, dia melempar kado itu sembarangan.
Shilla tersenyum geli karena Alvin memberikannya jepitan rambut lucu berwarna perak. Dia membaca note yang terselip.
Poni lo udah mulai panjang, jadi gue beliin jepitan.
Harganya nggak seberapa, tapi seenggaknya gue beliin sesuatu yang berguna.
Happy birthday, Tuan Puteri...
Dia lantas memakai jepitan tersebut untuk menjepit poninya ke arah samping. Setelah itu dia meraih kado lainnya. Dari Gabriel, sepasang high heels yang cantik. Dari Rio, ah... merchandise eksklusif Taylor Swift lengkap dengan tiket konsernya!
“Sayang tiket konsernya nggak akan kepake, tapi nggak pa-pa,” kekeh Shilla.
Konser itu diadakan bulan depan di negara tetangga, tepat saat Shilla ada acara fashion show. Setelah itu Shilla meraih kado paling besar, dari Cakka dan Agni. Wow! Isinya boneka beruang yang sangat  besar dan lucu. Shilla meringis, lagi-lagi yang dikatakan Ify benar, Cakka sayang padanya. Tahun lalu Shilla mengatakan bahwa dia ingin sekali Cakka memberi kado boneka saat ulang tahunnya. Dia tak menyangka sahabatnya itu masih mengingat. Terakhir, dari Ify dan Sivia. Ternyata mereka juga memberi kado.
Pertama, Shilla membuka kado dari Sivia. Ternyata gadis yang nyolot padanya itu menggambar sketsa wajahnya. Cantik. Lalu, kado dari Ify, sebuah kotak yang didalamnya dihias sedemikian rupa dan terdapat boneka mini yang... entahlah. Tapi, jika diperhatikan, ini seperti dirinya, Rio, Gabriel, Cakka dan Alvin. Yaa! Ini memang The Wanted!
Sejurus  kemudian, Shilla menangis. Semua kado yang diterimanya sangat indah. Namun, kado dari Sivia dan Ify yang paling menyentuh hatinya. Selama ini dia menerima kado yang bisa dibeli dimanapun, baru sekarang dia mendapat kado yang dibuat secara istimewa dengan usaha sendiri.
“Kenapa Gabriel...”
Nafas Shilla tercekat memandangi wajah bahagia Gabriel dilayar ponsel Ify. Dia tak sanggup melanjutkan kalimat yang ingin diutarakannya.
“Shilla, persahabatan itu bukan tentang seberapa sering bersama. Persahabatan itu tentang rasa percaya bahwa sejauh apapun dia pergi, dia akan selalu kembali,” kata Ify dengan senyum hangat.
“Gue bodoh, Fy! Gue bodoh! Selama ini gue selalu takut kehilangan mereka, gue takut sendirian, gue... gue...”
“Akan selalu ada maaf dalam persahabatan,” potong Ify cepat.
Shilla menjambak rambutnya, “Terima kasih udah sadarin gue.”
Tak disangka-sangka, Ify memeluknya. Sangat erat dan hangat.
“Gue boleh jadi sahabat lo kan, Fy?” lirih Shilla.
“Kita semua sahabat,” balas Ify.

***
Bersambung...
Gimana nih? Makin ke sini makin musingin ya kayaknya? Jangan lupa vote dan komennya saya tunggu banget. Boleh juga ngobrol-ngobrol seru sama saya di ask.fm/fannyslma :*

2 komentar:

@adi.permana mengatakan...

Kalau saya sih slalu menunggu kelanjutanya, makin seru ka

@adi.permana mengatakan...

Kalau saya sih slalu menunggu kelanjutanya, makin seru ka

Posting Komentar