Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Helo salam #BangkitkanCRAGSISA huaahh seneng banget baca komen-komennya. Udah pada main tebak-tebakan juga :p Saya bawa part 14 nih anggap aja THR(?) berhubung besok lebaran, saya mengucapkan mohon maaf lahir dan batin yaa. Langsung saja kita cusss ke part 14.
Hope you like it...
14
Suasana
lapangan indoor sangat khitmat. Tim Cakrawala dan Cakradara sedang fokus mendengarkan
intruksi Pak Reihan mengenai pertandingan basket yang akan berlangsung akhir
pekan ini. Cakka dan Agni yang punya tanggung jawab paling besar dalam
pertandingan ini tampak serius, mereka berdua tidak ingin mengecewakan siapapun.
“Cakka,
ini pertandingan pertama kamu. Jangan terlalu dibuat beban, apapun yang kamu
lakukan nanti lakukan yang terbaik. Kamu siap, Cakka?”
Cakka
menganggukkan kepalanya dengan percaya diri. Dia berharap latihan kerasnya
selama ini akan berbuah hasil.
“Untuk
Agni, saya yakin kamu mampu membawa teman-temanmu menuju final.”
Sejurus
kemudian, semuanya menatap Agni dan Cakka secara bergantian seakan dua tokoh
itu adalah penentu utama untuk menuju kemenangan. Sebagai seorang yang sudah
lama bergelut dalam bidang basket, profesionalitas Agni tak dapat diragukan
lagi. Banyak sekali piala yang telah disumbangkannya untuk Budi Karya.
Diam-diam
Agni mengingat obrolannya dengan Ify sepulang dari Quest Resto. Semalam gadis
itu menginap di rumah Ify karena malas pulang ke rumah. Lagipula kedua orang
tua Ify yang tak lain adalah om dan tante-nya sendiri tak pernah keberatan, dan
malam itu Ify tidak protes apa-apa. Tidak biasanya. Sebab, setiap Agni ingin
menginap pasti Ify akan protes terlebih dahulu, setidaknya melarang Agni untuk
tidak bersekutu dengan Ozy.
“Lo ada masalah apa, Ag?” tanya Ify tiba-tiba.
Agni merutuki dirinya sendiri dalam hati. Dia
selalu lupa kalau Ify pandai membaca perasaan seseorang dan pintar sekali
membaca situasi. Harusnya Agni sudah curiga kalau dirinya bakal diinterogasi.
“Nggak ada kok. Emang gue ada masalah apa?”
balas Agni pura-pura bingung.
“Lo nggak pernah jago akting. Apalagi di depan
gue,” sahut Ify lantas menghidupkan laptopnya.
“Eh gue ada perlu sama Ozy nih,” cetus Agni
hendak mencari Ozy.
“Dia ikut persami.”
“Sial! Sial! Sial!” rutuk Agni dalam hati.
“Jadi?” pancing Ify.
Agni mendesah, “Gue nyerah. Emang susah ya
bohong sama elo.”
“Jadi?”
“Gue bingung, Fy. Rasanya stres. Pikiran gue
runyaaaammmm bangeeetttt. Gue nggak ngerti musti gimana,” curhat Agni.
Gadis itu duduk sila di sebelah Ify yang tengah
memainkan laptop. Begitu mendengar Agni sudah mulai terbuka, Ify menutup
laptopnya dan fokus pada sepupu yang sekaligus menyandang gelar sebagai
sahabatnya.
“Cerita dari awal biar gue paham,” interupsi
Ify.
“Sebenernya Shilla pernah ngelabrak gue, Fy,”
ujar Agni membuat mata Ify membulat sempurna.
Dan tercetuslah rangkaian cerita dari bibir
Agni mengenai pertemuannya dengan Shilla ketika berada di toilet. Agni
menceritakan semuanya secara detail. Setelah itu, dia bercerita mengenai ucapan
Sion saat di depan kelas. Ify mendengarkan dengan baik, ia sama sekali tidak
memotong cerita Agni.
“... gue merasa apa yang diucapin Shilla dan
Sion itu bener, Fy. Gue jahat.”
Agni mengakhiri ceritanya.
“Lo cinta sama Cakka, Ag?” tanya Ify tanpa
basa-basi.
Agni terkejut mendengar pertanyaan Ify karena
ia tidak membahas perasaannya pada Cakka di dalam cerita. Rikuh, gadis itu
mengangguk pelan—sebab percuma saja jika ia berbohong—sedangkan Ify masih terus
memandangnya dengan sorot hangat seperti biasa.
“Lo takut kehilangan dia disaat kalian udah
sedekat ini?”
“Gue...”
“Ag, mungkin yang dibilang Shilla bener. Tapi,
gue nggak akan nyalahin elo karena mungkin juga elo bener. Kenapa? Karena
kalian punya sudut pandang yang beda.”
“Maksudnya?” tanya Agni.
“Shilla bilang begitu karena selama ini Cakka
udah terlalu lama jadi bagian dari hidupnya. Sementara menurut dia, lo baru
dateng ke hidup Cakka tapi lo bisa bikin Cakka ninggalin The Wanted,” Ify
mengambil jeda sejenak.
“Lo juga bener, Cakka percaya sama elo dan lo
nggak bisa jauhin dia. Tapi di balik itu semua lo, alasan utama lo menolak
keras bukan sekedar karena Cakka datang ke elo. Lo cuma nggak mau kehilangan
apa yang telah lo raih.”
Agni menggigit bibir bawahnya sambil mendekap
erat bantal milik Ify. Gadis itu menewarang jauh dan membenarkan ucapan Ify,
dia memang tidak mau kehilangan Cakka.
“Jadi?” tanya Ify.
“Jadi, gue nggak perlu mempermasalahkan ucapan
Shilla karena kita sama-sama punya alasan yang kuat?”
Ify mengangguk puas.
“Lagipula, lo tadi denger sendiri apa yang
dibilang Cakka. Ada atau enggaknya elo di hidup Cakka, posisi Shilla selalu
sama. Cakka selalu nganggep Shilla sahabat sampai kapanpun. Itu artinya lo
nggak pernah ambil posisi Shilla karena lo punya posisi sendiri di hidup
Cakka,” cerocos Ify membuat Agni
mengangguk paham.
Namun ada satu hal lagi yang mengganggu
pikirannya.
“Sion...,” gumam Agni.
“Masalah Sion, itu urusan pribadi lo sama dia.
Sebagai sahabat, gue cuma bisa kasih saran supaya lo ngomongin ini baik-baik
sama dia. Lo perlu bicara dari hati ke hati sama dia. Tapi nggak sekarang,”
balas Ify.
“Kenapa?”
“Agniiii... lo harus fokus sama pertandingan
basket. Sementara ini jangan pikirin sesuatu yang bikin beban lo bertambah!”
tegas Ify seperti kakak yang menasehati adiknya.
Agni bersyukur memiliki Ify sebagai sepupu
sekaligus sahabatnya. Entah mengapa, setiap kata yang diucapkan gadis itu
seperti sihir.
“Thanks banget, Fy. Gue bakal ngomong sama Sion
secepatnya setelah urusan basket kelar. I’m so glad to having you,” ucap Agni seraya memeluk Ify dari
samping.
Ify terkekeh sambil balas memeluk.
“Jangan bilang Cakka soal itu ya,” imbuhnya.
“Iya. Lo tenang aja.”
Lamunan
Agni buyar saat Pak Reihan menginterupsi seluruh tim basket untuk melakukan pemanasan.
Saat hendak berdiri, sebuah tangan terulur di depan wajah Agni. Gadis itu
mendongak, tersenyum, lalu menerima uluran tangan Cakka.
***
Pelajaran
kimia memang bukan hal yang mudah, bahkan untuk Ify yang biasa menjadi juara
kelas. Sivia sudah sangat gelisah di bangkunya karena Ify tak juga kembali
sejak meninggalkan kelas untuk mencari Shilla. Sahabatnya itu bersikeras
menemui Shilla meskipun sudah dilarang teman-teman sekelas. Sivia sendiri hanya
diam, mengalah untuk tidak ikut karena dia harus melindungi Ify dari Pak
Remi—guru kimia yang galaknya di bawah Bu Maryam. Padahal Ify mengatakan dia
tidak akan lama-lama
Kebiasaan
Pak Remi adalah mengabsen saat siswa-siswanya mencatat. Sementara itu, Sivia
belum menemukan alasan yang tepat jika nama Ify disebut. Sialnya lagi, absen
Ify di urutan atas!
“Bantu
hamba-Mu ini Tuhan. Semoga otak gue nggak mampet deh,” gumam Sivia.
Gadis
itu melirik Pak Remi yang sedang membuka buku absen dan membuatnya komat-kamit
tak jelas. Mulailah pria itu mengabsen siswa-siswinya sampai nama Ify
dipanggil.
“Alyssa...”
Sivia
masih diam.
“Alyssa
ke mana? Bukannya kakinya sudah sembuh?” tanya Pak Remi.
“Alyssa
diare, Pak,” jawab Sivia mengarang.
“Kamu
yakin, Sivia? Kamu nggak lagi bohongin saya, kan?” tanya Pak Remi curiga pada Sivia.
“Ya
bener dong, Pak! Masa saya bohong?” nyolot Sivia.
“Minggu
kemarin kamu bohongin saya masalah jam. Minggu kemarinnya kamu bohong dengan bilang
saya dipanggil kepala sekolah. Minggu kemarinnya lagi, kamu bohongin saya
masalah ehmmm Bu Maryam,” balas Pak Remi membuat Sivia meneguk ludahnya.
Sial,
sepertinya Pak Remi sudah sensitif dengannya. Yang dikatakan pria itu memang
benar. Minggu kemarin Pak Remi telat mengajar, lalu Sivia mengatakan bahwa
pelajaran hari ini dipercepat menjadi 30 menit. Pak Remi yang tidak tahu
apa-apa percaya padanya. Minggu kemarinnya, Sivia sangat bosan dan ijin ke
toilet. Setelah dari toilet, dia mengatakan pada Pak Remi bahwa beliau
dipanggil kepala sekolah. Minggu kemarinnya lagi, Sivia iseng mengerjai Pak
Remi mengenai Bu Maryam. Dia tahu kalau Pak Remi naksir Bu Maryam, sayangnya Bu
Maryam sudah punya tunangan dan mau menikah. Dan Sivia, dengan kejahilannya
mengatakan pada Pak Remi bahwa Bu Maryam tidak jadi menikah. Selain itu semua,
masih banyak lagi kejahilan yang dilakukan Sivia.
“Yailah,
Pak. Kan waktu itu saya bercanda aja. Jangan diambil hati, Pak. Nanti jadi
penyakit,” ceplos Sivia membuat Pak Remi melotot.
“Saya
cuma inget!” balas Pak Remi setengah nyolot.
Anak-anak
sekelas sudah cekikikan menyaksikan kesengitan Pak Remi pada Sivia. Entah sudah
berapa kali pria itu dikerjai oleh Sivia sampai Ify yang berstatus sebagai
sahabat jadi kena getahnya.
Sebagai
anak pintar dan juara kelas, Ify jadi anak kesayangan guru-guru, termasuk Pak
Remi. Akan tetapi, sejak sensi pada Sivia, Pak Remi jadi sensi juga dengan Ify.
“Bapak
diem-diem suka inget sama saya? Aduh saya emang biasa mampir ke ingatan orang,
Pak,” cetus Sivia mulai kumat.
“Kamu
saja yang kepedean!”
“Lah kok
jadi nyalahin saya, Pak? Kan tadi Bapak sendiri yang bilang Bapak inget sama
saya. Gimana sih, Pak?”
“Yang
saya inget buruk-buruk semua, nggak ada yang bagus,” nyolot Pak Remi.
“Sial
nih,” gumam Sivia.
Meski
keki, gadis itu mulai memasang wajah polos lagi.
“Bapak
bikin saya drop nih. Saya memang banyak kekurangan, Pak. Makanya saya seneng
banget kalo diajar sama Pak Remi. Bakat saya yang selama ini terpendam suka
nampak tiba-tiba,” cerocos Sivia.
“Bakat
apa?” tanya Pak Remi bingung.
“Bakat
bohongin Bapak. Hehehehhehe.”
“SIVIAAAA!!!
KERJAKAN SOAL DI DEPAN!!!”
“Di depan
nggak ada soal, Pak. Adanya catatan,” balas Sivia sangat polos.
Detik
itu Pak Remi baru sadar kalau dia belum memberikan soal sama sekali. Tawa yang
sedari tadi ditahan teman-teman sekelasnya akhirnya meledak. Sivia sendiri
bersyukur karena Debo tidak ada di kelas. Kalau ada, bisa bisa Debo mengompori
Pak Remi.
Sivia
lega sekali karena Pak Remi jadi lupa mengenai Ify. Tak apa pria itu semakin
sensi padanya, asal Ify tidak mendapat hukuman karena bolos pelajaran.
***
“Kenapa
hidup gue semakin berantakan, Tuhan?”
Shilla
memeluk kedua lutut dan menelungkupkan kepalanya.
“Ternyata
lo di sini, Shil. Gue udah nyari ke mana-mana.”
Mendengar
suara itu, Shilla mengangkat kepalanya dan terkejut saat Ify sudah duduk di
sebelahnya.
“Lo
ngapain di sini? Mau ngetawain gue? Puas kan lo lihat gue kayak gini? Seneng
kan? Ah iyalah pasti lo seneng dan bahagia kayak mereka,” sinis Shilla.
Ify tak
berkomentar. Gadis itu memejamkan matanya dan menggelengkan kepala. Meski tak
membuka mata, dia yakin Shilla tengah memperhatikannya saat ini.
“Gue ke
sini karna takut lo kenapa-napa,” cicit Ify.
Selanjutnya,
mata itu terbuka. Ify menoleh ke samping dan mendapati Shilla lagi-lagi
terkejut.
“Kenapa
lo musti takut? Kita nggak saling kenal. Lo bahkan bukan siapa-siapa gue,”
balas Shilla.
“Gue
Ify,” kata Ify mengulurkan tangan.
“Apa
sih? Gue tahu!”
“Lo
sendiri yang bilang kita nggak saling kenal. Karena lo tahu nama gue, jadi
anggap aja kita udah saling kenal,” balas Ify tak acuh.
“Maksud
gue...”
“Lo tahu
nggak betapa sayangnya Cakka sama lo?” tanya Ify memotong.
“Sayang?”
Ify
mengangguk kecil, “Bukan cuma Cakka. Gue yakin Rio sama Gabriel juga sayang
sama elo. Mereka sahabat-sahabat terbaik yang lo punya.”
“Lo ke
sini cuma mau bullshit? Percuma, Fy.... Gue nggak percaya sama lo. Mereka bukan
sahabat baik, mereka ninggalin gue gitu aja,” kekeh Shilla menahan air matanya.
“Jadi,
sahabat baik itu kayak siapa? Kayak elo?” tanya Ify.
Shilla tak
bersuara.
“Sahabat
yang baik itu kayak gimana, Shil? Yang nggak mau tahu impian sahabatnya? Yang harus
selalu ada sama elo? Yang nggak boleh sahabatan sama yang lain? Yang kayak
gimana, Shil?” tanya Ify beruntun.
“Yang
nggak ninggalin gue kayak gini!”
Ify
tertawa kecil, “Mereka nggak pernah ninggalin elo, Shil. Lo sendiri yang minta
mereka pergi! Lo nggak sadar?”
“Gue
minta mereka pergi karena gue kecewa...”
“Kecewa
karena ternyata mereka punya sahabat lain?” tanya Ify.
“Sebelas
tahun! Sebelas tahun gue mempertahankan The Wanted. Gue anak tunggal, Fy. Orang
tua gue sibuk dan sekarang mereka pisah. Cuma mereka yang gue punya. Apa gue
salah mempertahankan satu-satunya yang gue punya? Apa gue salah mempertahankan
satu-satunya yang berharga dalam hidup gue?
“Gue
kecewa! Semua orang bilang akan selalu ada buat gue, tapi semuanya ninggalin
gue satu persatu. Orang tua gue, Cakka, Rio, Gabriel....”
Semua
yang ingin disampaikan Shilla pada dunia akhirnya diungkapkan pada Ify. Air
mata Shilla meluruh, menyusuri pipinya hingga jatuh dan menyatu bersama
kepedihan.
“Maafin
gue, Shilla. Tapi, gue harus bilang ini. Lo terlalu fokus memenjara mereka.
Mereka butuh dunia yang lebih luas, bukan sekedar dunia yang lo buat. Bukan
cuma mereka, tetapi juga elo sendiri,” ujar Ify tanpa memandang Shilla. Ia
takut jika ia tetap memandang gadis yang selalu terlihat angkuh itu sedang
menangis, ia jadi tidak tega menyampaikan kalimat-kalimat yang mungkin menohok.
“Gue
nggak paham...”
“Selama
ini, lo menuntut mereka untuk mengikuti dunia yang lo buat. Lo lupa kalau
mereka juga ingin membangun dunia sendiri. Apa lo tahu impian Cakka itu bisa
jadi pemain basket? Apa lo tahu Rio sangat lelah dan ingin lepas dari pekerjaan
kantor? Apa lo tahu Gabriel itu sangat humoris dan narsis?” cerocos Ify.
Nafas
Shilla tercekat. Apa yang diutarakan Ify sama sekali tidak ia ketahui. Bahkan,
tentang Gabriel. Pemuda itu memang terkadang lucu, tapi... sangat humoris?
Sumpah, Shilla tidak tahu.
“Gue
nggak tahu...”
Ify
tersenyum tipis, “Satu-satunya yang mereka butuhkan cuma berinteraksi dengan
banyak orang. Seperti Cakka, sejak dia keluar dari The Wanted lo tahu sendiri
perubahannya. Dia juga berhasil jadi tim inti basket...”
Gadis
itu mengambil nafas sejenak, lalu melanjutkan.
“Rio,
dia juga butuh. Pertama kali gue ketemu dia, gue nggak percaya ada makhluk
sekaku itu dan kerjaannya cuma mandangin ponsel dengan wajah serius. Seandainya
ada kesempatan bergaul dengan yang lain, lo akan liat Rio versi tanpa beban.
Dia akan tahu kalau sekolah itu bukan tempat untuk mikirin urusan kantor.
“Dan
Gabriel... lo akan liat Gabriel yang semaunya sendiri, nyolot dan bikin banyolan-banyolan
yang bisa ngocok perut—“
“Bukan
Gabriel yang kerjaannya cuma baca buku dan ngerjain soal di dalam kelas. Lo
pikir gue percaya?” potong Shilla.
Ify
tertawa. Ternyata gadis itu sudah tidak menangis lagi. Sejurus kemudian, Ify
mengambil ponselnya, membuka room chat-nya
dengan Gabriel dan memperlihatkannya pada Shilla. Gadis itu tampak terkejut
karena Gabriel di chat itu berbeda,
seperti bukan Gabriel-nya. Biasanya dia akan membalas seperlunya.
“Ada
lagi yang mau gue tunjukin,” ujar Ify.
Jemarinya
berpindah ke galeri. Ify memutar salah satu video. Detik selanjutnya,
terpampang wajah Gabriel yang memenuhi layar.
“Haiii, gue lagi nyari kado buat Shilla. Btw
ini pake hp si Ify. Eh gue di hp lo kok cakep banget sih, Fy?” cerocos Gabriel
seraya menoleh ke belakang dimana Ify sedang berjalan bersama Sivia. Rio juga
ada.
“Pake aplikasi video 360 kali!” seru Sivia dari
belakang.
“Eh si anjir! Mana ada video 360? Adanya camera
360 bego!” balas Gabriel.
“Yang punya gue, makanya bagus,” sahut Ify
kalem.
“Sini yang punya hp ikutan nampang dong,” kata
Gabriel lalu memperlambat langkahnya. Bukannya Ify yang tersorot, justru Sivia
yang sengaja mengganggu dengan gaya hidung babi.
Detik
selanjutnya hanya terisi tawa lepas dari Gabriel hingga video pendek itu berakhir.
Selama menyaksikan, mata Shilla tak lepas dari sosok Gabriel.
***
Untuk
pertama kalinya dalam sejarah, Gabriel si anak pemilik yayasan Budi Karya
membolos pelajaran. Pemuda itu bersembunyi di rooftop bersama Rio. Tentu saja ini otak sahabatnya itu. Memangnya
siapa yang hobi bersembunyi di tempat ini selain Rio? Tapi ternyata rooftop memang indah meskipun matahari
bersinar disaat yang tidak tepat.
“Lo
harusnya nggak bolos,” ujar Rio.
“Lo
juga,” sahut Gabriel enteng.
Mereka
berdua lantas terkekeh bersamaan.
“Gue
udah janji sama Ify nggak akan bolos atau tidur pas pelajaran,” cetus Rio lalu
merebahkan tubuhnya.
Gabriel
melakukan hal yang sama. Ah, pantas saja Rio betah di sini. Meskipun bukan
kasur empuk yang ditidurinya, tapi rasanya nyaman karena semilir angin sedari
tadi menyapu kulit mereka. Sinar matahari yang tadinya sedikit mengganggu pun
jadi beralih fungsi sebagai penghangat.
“Kenapa
musti janji?”
“Karena
dia nggak mau nilai-nilai gue menyedihkan,” jawab Rio sekenanya.
“Tapi
sekarang lo lagi bolos,” balas Gabriel.
“Iya.
Nanti bisa minta maaf,” seloroh Rio membuat Gabriel terkikik geli.
Ingatan
Gabriel berputar ke beberapa tahun silam, saat mereka masih sama-sama kecil.
Dulu dia dan Rio tidak begitu akrab. Gabriel lebih akrab dengan Shilla karena
rumah mereka lebih dekat dibanding yang lain.
“Lo
inget waktu kita berlima pertama kali main di danau?” tanya Gabriel.
“Inget.
Lo sok pahlawan mau nyelametin kura-kura tenggelem,” balas Rio sedikit
mengejek.
Gabriel
melengos, “Gue kan nggak tahu kalo kura-kura bisa berenang.”
“Waktu
sok nyelametin ikan, lo juga nggak tahu ikan bisa berenang?”
“Itu
beda, bro. Gue lihat ikannya rada megap-megap, makanya gue tolongin,” elak
Gabriel membuat Rio mendelik ke arahnya.
“Ngaco
lu! Kayaknya dulu bukan karena itu lo tolongin deh,” bantah Rio.
“Emang,”
seloroh Gabriel.
“Terus?”
“Lo
inget waktu Shilla cerita soal ftv ikan duyung yang dia tonton? Apa ya
judulnya? Lupa gue. Pokoknya Shilla suka cerita deh,” ceplos Gabriel.
“Tahu
tahu.”
“Nah!
Kan Shilla bilang di ftv itu bapaknya nolongin ikan, pas diangkat ternyata jadi
putri duyung—“
“Terus
lo terinspirasi dan mau nyoba juga?” potong Rio.
Gabriel
nyengir seraya menganggukkan kepala.
“Sinting!”
maki Rio.
“Namanya
juga bocah. Kalo dipikir-pikir, The Wanted waktu masih kecil lebih asik ya
daripada sekarang? Apa karena udah sebelas tahun dan tetep gitu-gitu aja
makanya kita jadi bosen ya?” cerocos Gabriel.
“Entah.
Gue pun bingung.”
Selanjutnya
mereka sama-sama diam dan berkutat dengan pikiran masing-masing. Kali ini,
memandangi awan-awan menakjubkan yang biasanya terabaikan terasa menyenangkan.
Awan-awan di atas berubah-ubah bentuknya, tapi selalu tampak indah karena lebih
dari satu. Sama seperti persahabatan, seindah apapun bentuknya jika yang
mengisi hanya satu orang maka akan percuma.
***
Sudah
satu setengah jam dan Alvin baru menyelesaikan 3 tugas. Masih banyak. Lelaki
itu mendengus lalu melirik jam tangannya. Dia gelisah sekali, pikirannya
tertuju pada Shilla, ah... dia menyesal meninggalkan gadis itu sendirian di
kelas. Jika terjadi sesuatu bagaimana?
Alvin
mengecek ponselnya dan berdecak sebal karena Shilla belum membalas chat-nya. Mungkin gadis itu sedang fokus
pada pelajaran sehingga tidak tahu ada chat
masuk di ponselnya.
“Alvin...”
Tahu-tahu
saja Bu Maryam kembali dan membuatnya gelagapan.
“Hm,
iya, Bu?” balas Alvin.
“Saya
sudah tahu bagaimana caranya supaya nilai kamu dapat diperbaiki,” kata Bu
Maryam.
Alvin
tak menyahut.
“Saya
akan bicara dengan Ify supaya membuat jadwal mengajari kamu.”
“Tapi,
Bu. Rio kan juga belajar sama Ify. Kami belajar bertiga? Bukannya itu tidak
efisien?” balas Alvin bermaksud menolak.
“Saya
dapat laporan kalau nilai-nilai Rio sudah melebihi KKM. Nanti saya suruh Ify
memisah jadwal belajar antara dia dengan Rio dan dengan kamu. Pokoknya, saya
tidak terima penolakan dari kamu,” tegas Bu Maryam.
“Jadi,
Ibu terima penolakan dari Ify?”
Bu
Maryam melotot mendengarnya.
“Kamu
mau nyuruh Ify menolak?” tuding Bu Maryam.
Namun
Alvin menggeleng, “Saya cuma nanya.”
“Kamu
tenang saja, Ify tidak akan menolak karena saya punya penawaran bagus untuknya.
Kamu cukup terima jadi saja.”
Entah
mengapa obrolan ini terdengar seperti transaksi terlarang. Apa katanya tadi? Terima jadi. Alvin sudah tidak bisa
mengelak lagi. Terserah pun, dia tidak peduli sekalipun Bu Maryam meminta
Albert Einsten mengajarinya. Yang dibutuhkannya saat ini hanyalah tugasnya
cepat selesai dan dia bisa kembali ke kelas.
“Bu,
saya boleh kerjain ini di rumah?” tanya Alvin.
“Memangnya
kenapa kalau di sini? Kamu kan bisa anggap sekolah seperti rumah kamu sendiri,”
balas Bu Maryam.
“Di
rumah saya nggak ada Bu Maryam,” sahut Alvin tenang seakan dia berbicara dengan
tembok batu bata.
“Kamu
ini ya! Ya sudah, sana kembali ke kelas. Besok sudah harus selesai ya! Saya
nggak mau tahu. Kalau tidak selesai, saya nggak mau repot-repot mintain tugas
buat kamu ke guru-guru,” cerocos Bu Maryam yang tak diindahkan Alvin.
Pemuda
itu langsung mengucap permisi dan membuat Bu Maryam berdecak kesal. Dibanding
menghadapi Alvin, sepertinya dia lebih suka menghadapi siswa-siswa nakal yang
suka mampir ke ruang BK.
Kelegaan
Alvin karena dapat kabur dari ruang guru sirna saat tahu ternyata kelasnya
sedang jam kosong. Dia tak menemukan Shilla di dalam kelas. Tasnya pun tidak
ada! Yang membuatnya lebih terkejut lagi, bangkunya—lebih tepat lagi di bagian
Shilla duduk—berserakan kertas undangan pesta ulang tahun yang telah
disobek-sobek. Alvin lantas menatap anak-anak sekelas dengan sengit dan tajam,
tapi tak satupun dari mereka peduli pada pemuda itu.
Semuanya
asik bergurau. Tawa mereka meledak-ledak. Alvin, dia meraih tasnya dengan kasar
dan meninggalkan kelas. Sejurus kemudian, tawa dalam kelas itu menghilang
digantikan keterpanaan atas sikap Alvin. Hanya sekejap. Sebab beberapa detik
selanjutnya tawa itu kembali memenuhi ruangan.
Alvin
mencoba menghubungi Shilla namun ponsel gadis itu tidak aktif. Dengan langkah
lebar, dia menelusuri setiap jengkal Budi Karya hanya untuk menemukan Shilla. Tetap
tidak ada. Ke mana gadis itu? Biasanya dia bisa menemukan Shilla dengan
sekejap.
“Harusnya
gue nggak ninggalin Shilla. Shit!”
umpat Alvin.
Pemuda
itu berbelok ke UKS. Satu-satunya tempat yang mungkin didatangi Shilla. Namun
bukan gadis itu yang ia temukan, melainkan sosok bernama Ify yang semalam
diperkenalkan Gabriel dan Rio sebagai teman. Mendadak kaki Alvin kaku.
“Alvin,”
gumam Ify sampai ke telinganya.
Bukannya
menjawab, Alvin berbalik. Sebelum niat untuk pergi itu terlaksana, Ify berhasil
menahan langkahnya karena menyebutkan sebuah nama yang saat ini menyabotase
otaknya.
“Lo
nyariin Shilla, kan?”
Shilla.
Begitu nama itu menyapa telinganya, Alvin mengurungkan langkah dan kembali
menghadap Ify.
“Lo tahu
dia dimana?” tanya Alvin to the point.
Ify
mengernyit, sepertinya Alvin tak sadar bahwa pertanyaannya mengandung sarat
kepanikan. Alvin sendiri masih menunggu jawaban Ify.
“Dia
udah pulang,” jawab Ify.
“Pulang?”
Gadis
itu mengangguk, “Dia bilang dia butuh waktu sendiri.”
Selanjutnya,
Alvin mendekat. Memperpendek jarak diantara mereka. Semakin dekat, hingga Ify
dapat semakin jelas melihat kekhawatiran di mata pemuda itu.
“Lo tahu
apa yang terjadi sama dia sewaktu di kelas?” tanya Alvin.
Ditanya
seperti itu, Ify mendadak takut. Sejak dulu Ify memang takut pada Alvin. Sorot
matanya sangat dingin seakan di baliknya ada sesuatu yang tak boleh orang lain
lihat, dia begitu pandai menciptakan batas hingga tak bisa ditembus dengan cara
apapun. Dan sekarang, Alvin berkata dengan nada tersirat. Bukan hanya itu,
sorot matanya tampak... beda.
“Ify...”
Ify
meneguk ludah, tak menyangka bahwa Alvin yang paling kaku dan tak acuh itu tahu
namanya. Hanya sekejap Ify terperangah karena kemudian dia kembali bingung
harus menjawab apa.
“Ng—nggak,”
sahut Ify gelagapan.
“Serius
lo nggak tahu?” tanya Alvin memastikan.
“Tapi,
temen gue tahu.”
Meluncurlah
sebuah cerita yang tadi pagi didongengkan oleh Debo mengenai Shilla. Rahang
Alvin tampak mengeras, dahinya berkerut dan tahu-tahu tangannya mengepal. Ify
tampak pucat, takut jika kepalan itu tiba-tiba terarah padanya.
“Sorry,” kata Alvin mengerti.
Pemuda
itu melepas kepalan tangannya. Diam-diam, Ify bernafas lega karena Alvin masih
memiliki kesadaran.
“Lo nggak
perlu khawatir, Shilla baik-baik aja,” ucap Ify.
Dia tak
berniat menceritakan peristiwa setengah jam lalu dimana dia dan Shilla
mengobrol panjang—sesekali obrolan itu jadi sengit—di taman belakang. Alvin
bernafas lega, dia sendiri tak tahu mengapa mudah sekali percaya pada ucapan
Ify barusan.
“Lo
yakin kan kalo dia baik-baik aja?”
Ify
mengangguk.
“Oh iya.
Kenalin, gue Alvin,” ujar Alvin seraya mengulurkan tangan.
Meski
terperangah, Ify tetap menerima uluran itu dan menjabatnya.
“Ify.”
***
Tawa
lepas Gabriel di video yang diperlihatkan Ify masih membekas di otaknya. Belum
lagi, mengenai kenyataan-kenyataan yang dipaparkan oleh gadis itu. Kenyataan
yang selama ini tak diketahuinya sama sekali. Shilla. Saat ini dia tengah
membuka album foto The Wanted semasa kecil. Dia tersenyum tipis menyaksikan
foto-foto tersebut, mengapa dia baru sadar bahwa semuanya sudah berubah?
Sampai
pada foto dimana Cakka tengah memainkan bola basket bersama Rio, Alvin dan
Gabriel. Shilla ingat saat itu dialah yang mengambil foto karena tak bisa
bermain basket. Dia pikir, basket hanyalah untuk Cakka yang masih kecil, tak
disangka bahwa basket justru bagian dari dalam diri pemuda itu. Shilla menangis.
Betul kata Ify, dia memenjarakan Cakka hingga tanpa sadar membunuh bagian dari
dalam diri sahabatnya sendiri dan akhirnya Cakka tak bisa hidup hanya dengan
sebagian dari dalam dirinya yang lain.
“Kenapa
gue baru sadar betapa egoisnya gue?” lirih Shilla.
Halaman
selanjutnya, foto saat The Wanted liburan bersama-sama. Shilla terlihat memeluk
boneka sementara yang lainnya tampak merusak foto dengan bergaya aneh. Pahit
sekali menghadapi kenyataan bahwa foto ini adalah foto terakhir mereka menjadi
diri sendiri. Setelah itu, mereka berubah jadi sosok yang lain.
Shilla
teringat mengenai obrolannya dengan Alvin saat di kelas. Tepatnya, pada saat setelah kejadian dia
ditolong oleh Ify.
“Gue pingin kayak yang lain, Vin. Gue pingin
menangis saat sedih, tertawa saat bahagia, apapun asalkan gue nggak harus
berpura-pura.”
Dan Alvin menjawab, “Percaya sama gue, suatu
saat kita akan punya kesempatan untuk jadi diri sendiri.”
Klasik.
Namun bagi Shilla itu adalah kalimat sederhana yang punya makna dalam. Ada
harapan di dalam sana, ada doa, ada kepercayaan, ada tekat, dan mungkin ada
makna lain yang tak terjamah oleh Shilla.
Shilla
kembali memandang foto. Kali ini adalah foto saat pertama kali masuk SMP.
Mereka sudah berubah, berfoto hanya dengan seulas senyum yang seperti dipaksakan,
tanpa gaya-gaya konyol. Gadis itu meringis, sudah berapa lamakah mereka salah
arah? Shilla merasa berdosa. Di halaman selanjutnya sampai belakang, tak beda
jauh, hanya ada foto-foto dengan ekspresi serupa.
Setelah
puas, Shilla memandangi tumpukan kado yang—entah kapan—dipindahkan pembantunya
ke dalam kamar. Padahal tadi pagi dia masih melihatnya di teras.
“Dari
Alvin,” gumam Shilla.
Dia
ingat mengapa kado Alvin bercampur dengan kado-kado lain. Saat marah dengan Rio
dan Gabriel, dia melempar kado itu sembarangan.
Shilla
tersenyum geli karena Alvin memberikannya jepitan rambut lucu berwarna perak.
Dia membaca note yang terselip.
Poni lo udah mulai panjang, jadi gue beliin
jepitan.
Harganya nggak seberapa, tapi seenggaknya gue
beliin sesuatu yang berguna.
Happy
birthday, Tuan Puteri...
Dia
lantas memakai jepitan tersebut untuk menjepit poninya ke arah samping. Setelah
itu dia meraih kado lainnya. Dari Gabriel, sepasang high heels yang cantik.
Dari Rio, ah... merchandise eksklusif
Taylor Swift lengkap dengan tiket konsernya!
“Sayang
tiket konsernya nggak akan kepake, tapi nggak pa-pa,” kekeh Shilla.
Konser
itu diadakan bulan depan di negara tetangga, tepat saat Shilla ada acara fashion show. Setelah itu Shilla meraih
kado paling besar, dari Cakka dan Agni. Wow! Isinya boneka beruang yang
sangat besar dan lucu. Shilla meringis,
lagi-lagi yang dikatakan Ify benar, Cakka sayang padanya. Tahun lalu Shilla
mengatakan bahwa dia ingin sekali Cakka memberi kado boneka saat ulang tahunnya.
Dia tak menyangka sahabatnya itu masih mengingat. Terakhir, dari Ify dan Sivia.
Ternyata mereka juga memberi kado.
Pertama,
Shilla membuka kado dari Sivia. Ternyata gadis yang nyolot padanya itu menggambar
sketsa wajahnya. Cantik. Lalu, kado dari Ify, sebuah kotak yang didalamnya
dihias sedemikian rupa dan terdapat boneka mini yang... entahlah. Tapi, jika
diperhatikan, ini seperti dirinya, Rio, Gabriel, Cakka dan Alvin. Yaa! Ini
memang The Wanted!
Sejurus kemudian, Shilla menangis. Semua kado yang
diterimanya sangat indah. Namun, kado dari Sivia dan Ify yang paling menyentuh
hatinya. Selama ini dia menerima kado yang bisa dibeli dimanapun, baru sekarang
dia mendapat kado yang dibuat secara istimewa dengan usaha sendiri.
“Kenapa Gabriel...”
Nafas Shilla tercekat memandangi wajah bahagia
Gabriel dilayar ponsel Ify. Dia tak sanggup melanjutkan kalimat yang ingin
diutarakannya.
“Shilla, persahabatan itu bukan tentang
seberapa sering bersama. Persahabatan itu tentang rasa percaya bahwa sejauh
apapun dia pergi, dia akan selalu kembali,” kata Ify dengan senyum hangat.
“Gue bodoh, Fy! Gue bodoh! Selama ini gue
selalu takut kehilangan mereka, gue takut sendirian, gue... gue...”
“Akan selalu ada maaf dalam persahabatan,”
potong Ify cepat.
Shilla menjambak rambutnya, “Terima kasih udah
sadarin gue.”
Tak disangka-sangka, Ify memeluknya. Sangat erat
dan hangat.
“Gue boleh jadi sahabat lo kan, Fy?” lirih
Shilla.
“Kita semua sahabat,” balas Ify.
***
Bersambung...
Gimana
nih? Makin ke sini makin musingin ya kayaknya? Jangan lupa vote dan komennya
saya tunggu banget. Boleh juga ngobrol-ngobrol seru sama saya di
ask.fm/fannyslma :*
2 komentar:
Kalau saya sih slalu menunggu kelanjutanya, makin seru ka
Kalau saya sih slalu menunggu kelanjutanya, makin seru ka
Posting Komentar