"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Rabu, 17 Agustus 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 21

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Kali ini saya nggak akan berkata-kata di pembuka. Pffftttt langsung aja ya

Hope you like it...

21


Shilla mengusap matanya yang menitikkan air mata karena candaan Sivia sedari tadi berhasil mengocok perut. Tak hanya Shilla, tapi juga Agni yang sampai memegangi perutnya karena sudah tak kuat dengan celotehan Sivia. Sejurus kemudian, Gabriel datang sendirian dengan wajah yang terlihat... bahagia? Shilla mengernyitkan dahi, tak biasa mendapati wajah Gabriel secerah itu setelah berhadapan dengan kepsek.
“Gue melewatkan apa nih?” tanya Gabriel mengambil tempat di depan Shilla.
“Melewatkan lawakan recehnya manusia receh,” cetus Alvin lalu mengunyah bakwannya.
Tanpa diberitahu dengan detail pun Gabriel sudah bisa menebak bahwa yang dimaksudkan adalah Sivia. Tampaknya gadis itu tak tersinggung sama sekali karena disebut sebagai manusia receh.
“Kita ditraktir Cakka sama Agni loh istirahat kedua nanti!” seru Sivia.
“Soalnya istirahat pertama sekarang nggak ada Rio sama Ify. Mereka ngapain tuh di ruang musik?” sahut Cakka.
“Tadi gue sempet ketemu. Kayaknya cuma main-main aja,” jawab Gabriel.
“Yakin tuh main-main aja? Gimana kalau dari ruang musik udah jadian?”
Suara Shilla membuat Gabriel mendongak dan tertawa renyah. Tampaknya bukan hanya Shilla yang berpikir demikian karena yang lain tampak setuju dengan ucapan Shilla barusan. Sumpah, Gabriel ingin tertawa membayangkan Rio dan Ify mendengar ini langsung. Pasti dua-duanya salah tingkah.
“Gue jamin enggak,” kata Gabriel.
“Enggak sekarang maksudnya,” imbuh pemuda itu.
“Oh iya tadi gue udah pesenin bakso buat lo,” ujar Shilla.
“Padahal gue lagi pingin siomay terenak sedunia,” balas Gabriel.
Mendengar ucapan pemuda itu, Sivia yang sedang menikmati siomaynya langsung menjauhkan dari jangkauan Gabriel.
“Kenapa lu?” tanya Cakka pada Sivia.
“Jaga-jaga, sayangku,” jawab Sivia.
“Cowok gue anjrit!” cecar Agni.
“Anggap aja cowok bersama. Nggak usah dibikin repot gitu deh.”
“Asik juga ya jadi rebutan,” kekeh Cakka yang langsung dilempari tissue.
***
Jemari Rio menari-nari di atas tuts piano, begitu pula dengan Ify. Entah sejak kapan dua sejoli itu berduet memainkan benda ini. Awalnya Ify iseng memainkan intro lagu Lost Star—ya lagu itu masih menjadi lagu favorite-nya—kemudian tiba-tiba saja Rio ikut memainkan piano tersebut.
Sepeninggalan Gabriel, belum ada pembicaraan sama sekali di antara keduanya. Ify, masih sibuk memikirkan apa yang akan terjadi jika Gabriel benar-benar menembak sahabatnya. Namun Rio justru sibuk memikirkan bagaimana memiliki Ify seutuhnya.
“Fy...”
“Yo...”
Keduanya terkekeh karena tanpa sengaja saling memanggil di waktu yang bersamaan.
“Lo dulu,” kata Rio.
“Hmmm, gue kepikiran Gabriel sama Sivia,” balasnya jujur.
Rio mengangguk-angguk, menganggap itu adalah hal yang wajar karena ia tahu bahwa Ify sangat peduli dengan Sivia. Meski terkadang dua anak itu memperdebatkan hal yang kurang penting, tapi Rio bisa menangkap keterikatan antara keduanya.
“Takut kalau Gabriel nggak bisa jagain Sivia?” tanya Rio.
“Gue percaya kok sama Gabriel. Tapi, masalahnya...”
Ify terdiam seraya menggigit bibir bawahnya, dia tidak mungkin mengatakan bahwa Sivia sudah berharap lebih pada Alvin. Kemungkinan besar, perasaan Gabriel... tak terbalaskan. Mengingatkannya pada perasaannya teruntuk Ray—dulu.
“Kita support aja ya, jangan mikir yang enggak-enggak,” kata Rio mencoba memberi ketenangan pada pikiran Ify.
“Oke. Hm, lo tadi mau ngomong apa?”
Gantian Rio yang terdiam. Ify mengernyit, berusaha menangkap kegelisahan apa yang sedang menyelimuti pemuda di sampingnya.
“Rio...”
Tiba-tiba saja tangan Rio meraih kedua tangan Ify. Pemuda itu menggenggam tangannya dan menatapnya dalam seakan hanya Ify objek terindah di dalam ruangan ini. Ada yang berdesir di sana, di dalam diri Ify. Apalagi kedua bola mata itu benar-benar berhasil mengunci pandangannya.
Ify sedang menerka-nerka apa yang hendak diucapkan Rio. Detik berikutnya pemuda itu mendekatkan wajahnya. Mata Ify terbelalak dan pikirannya menjadi kosong. Otak Ify tak berfungsi. Wajah itu semakin dekat hingga Ify bisa merasakan nafas Rio yang memburu. Apa jangan-jangan pemuda ini akan...
“Gue mohon, jangan pernah ingat Ray lagi,” kata Rio kemudian merengkuh Ify untuk kedua kalinya.
Tanpa sadar Ify menghembuskan nafas lega, dia pikir Rio akan... ah, Ify jadi baru sadar kalau dia menahan nafas sedari tadi. Entah sejak kapan dia jadi lupa caranya bernafas. Tidak seperti kemarin ketika ia hanya membiarkan Rio memeluk tubuh kecilnya, kini gadis itu membalas pelukan tersebut.
Hanya sekejap. Sekejap yang berhasil membuat keduanya salah tingkah.
***
Berbagai rencana sudah ada di otak Gabriel. Ia membayangkan bagaimana wajah shock Sivia jika ia menembaknya. Apa gadis itu justru akan berkata ‘tuh kan bener kalo pesona gue susah ditolak’ atau perkataan ajaib lainnya? Dia sudah memikirkan keputusan ini semalaman hingga ia nyaris terjaga sampai pagi.
Gabriel juga sengaja merahasiakan ini dari anak-anak kecuali Rio dan Ify karena dari awal pun Rio dan Ify sudah tahu akan perasaannya untuk Sivia seperti apa. Ya, tentunya merahasiakan ini berarti harus berpura-pura.
“Kenapa sih lo senyum-senyum mulu?” selidik Shilla.
Kini Gabriel dan Shilla sedang berada di perpustakaan untuk mencari buku. Kebetulan mereka satu kelompok untuk tugas sejarah. Sebenarnya semua anak XI IPA 1 berada di perpustakaan, tapi Gabriel dan Shilla memisahkan diri di rak pojok karena rak lainnya sudah sesak.
“Emang kenapa? Gue kan ganteng,” sahut Gabriel kalem.
Shilla mendorong bahu pemuda itu, “Pede banget sih najis.”
Gabriel tertawa renyah mendengarnya lalu kembali fokus mencari buku untuk kelompoknya. Shilla sendiri juga melakukan hal yang sama. Begitu melihat buku yang ia cari, senyum Shilla mengembang.
Sayangnya buku itu berada di bagian atas hingga membuat Shilla terpaksa berjinjit-jinjit untuk mendapatkannya. Saat berhasil menyentuh buku yang dia inginkan, mendadak Gabriel tanpa sengaja menabraknya dari samping dan membuat Shilla kehilangan keseimbangan.
Bruk.
Shilla tak tahu. Sumpah, ia tak tahu saat tiba-tiba Gabriel sudah lebih dulu merengkuhnya supaya ia tak bernasib sama dengan buku yang akan diambilnya tadi.
“Jantung gue,” batin Shilla berteriak.
Detak jantungnya tak bisa dikontrol. Mata Shilla tak berkedip menyaksikan ketampanan Gabriel, pemuda yang dipujanya beberapa tahun ini secara dekat. Aroma maskulin dari pemuda itu pun menyeruak ke hidungnya. Sumpah, Shilla tidak tahu harus menjabarkan seperti apa perasaannya.
“Lo makin berat ya ternyata,” cengir Gabriel tanpa mengubah posisinya.
Dan selanjutnya Shilla seolah ditarik paksa untuk kembali ke dunia nyata. Sayangnya Shilla terlanjur terhipnotis oleh cengiran Gabriel. Ya, Gabriel semakin terlihat tampan dengan deretan gigi putihnya yang rapih.
Are you ok, Shilla?”
Gadis itu gelagapan kemudian melepaskan rengkuhan Gabriel dengan salah tingkah. Ia yakin sekali kalau saat ini pipinya bersemu merah.
“Lo kenapa? Muka lo jadi merah. Ada yang kepentok?” tanya Gabriel panik.
“Cu—cuman shocked,” jawab Shilla sedikit berbohong.
Gabriel mendesah lega, “Syukur deh kalau nggak kenapa-napa.”
Beberapa saat Shilla merasa kehilangan kesadaran. Bolehkah dia berharap hanya karena mendengar kekhawatiran pemuda itu? Bolehkah? Sedikit saja....
***
Sudah bisa ditebak pandangan seperti apa yang dilemparkan Sivia dan Agni padanya. Tatapan menyelidik. Sejak kembali dari ruang musik, mood Ify membaik. Sangat baik malahan. Tentunya Sivia dan Agni curiga padanya. Ini baru mereka berdua, belum lagi nanti istirahat kedua harus menghadapi tatapan dari Shilla dan yang lain.
Tadinya Agni ada urusan dengan Debo—berhubung kelas mereka kosong—tapi dia jadi tersangkut di kelas XI IPA 4 karena Ify.
“Lo ngapain aja di ruang musik? Nggak mesum kan?” seloroh Sivia.
Ify memutar bola matanya jengah karena teringat kejadian di luar dugaannya, “Ampun deh otak lo.” Pelukan sekejap bukan berarti mesum kan?
“Ya abisan lo aneh banget gini,” dengus Agni.
“Tapi nggak pa-pa, Ag. Daripada lihat Ify yang kemarin-kemarin,” sahut Sivia.
Ify hanya tersenyum tipis. Ia tahu, Sivia pasti sangat khawatir padanya karena kemarin-kemarin hanya ada Ray di otak Ify.
“Taruhan sama gue. Setelah gue sama Cakka, Ify sama Rio bakal bikin pengumuman officially,” ceplos Agni.
“Kalau nggak gimana?” tanya Sivia.
“Gue traktir lo bakso,” jawab Agni sekenanya.
DEAL!” seru Sivia.
Sialan. Ify menggerutu karena dijadikan bahan taruhan. Tapi sayangnya Agni dan Sivia sama-sama tak peduli.
***
“ASIK DITRAKTIR CAKKA!” seru Sivia kegirangan.
Akibat ulahnya yang kekanakan, kini gadis itu jadi korban lemparan tissue bekas. Sivia merengut lalu menjulurkan lidahnya.
“Geser dong geser,” interupsi Shilla yang baru bergabung.
“Sini, Shil. Samping gue kosong,” cetus Gabriel.
Shilla lantas duduk di samping pemuda itu dengan ragu. Pasalnya, sejak kejadian di perpustakaan, Shilla jadi sengaja menghindari bersebelahan dengan Gabriel. Dia bisa merasakan jantungnya meloncat-loncat setiap berada di samping pemuda impiannya.
“Lo kenapa? Sakit?” tanya Gabriel seraya menempelkan telapak tangannya pada dahi Shilla.
Seketika wajah Shilla memanas. Sial, dia berusaha keras untuk mengendalikan diri. Jangan sampai Gabriel atau yang lainnya tahu kalau dia gugup!
“Agak anget dikit. Wajah lo juga pucet. Mau gue pesenin teh anget?” tawar Gabriel.
Shilla meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya, “Air mineral aja.”
“Oke.”
Shilla menghembuskan nafas lega setelah Gabriel beranjak dan menanyakan pesanan lainnya lalu menuju stand. Gadis itu lantas mengalihkan pandangan dan tanpa sengaja bertatapan dengan Alvin. Pemuda itu tersenyum padanya, senyum yang tampak kikuk.
“SHILLA!” seru Ify membuat Shilla menatapnya.
“Apaan?” tanya Shilla.
“Nih gue bawa freshcare. Kata Gabriel badan lo rada anget,” ceplos Ify seraya menyodorkan freshcare-nya.
“Hm, thanks ya Ify.”
Freshcare itu berpindah ke tangan Shilla. Demi menghargai niat baik Ify, dia mengoleskan benda tersebut pada tengkuk dan lehernya. Ya, Gabriel tidak salah karena harus diakui dia memang kurang sehat karena lelah syuting. Tapi sebenarnya wajah pucat pasi itu bukan karena badannya yang kurang sehat, melainkan efek bersentuhan kulit dengan Gabriel.
Shilla melirik sahabat-sahabatnya yang sedang menggoda Ify serta Rio—mengenai mereka yang kabur ke ruang musik. Sesekali gadis itu terkikik geli melihat Rio yang tampak enggan ditanya macam-macam. Ify yang biasanya tenang pun terlihat gusar.
“Harusnya lo nembak aja, Yo. Jangan cuma ngajakin pacaran di ruang musik tapi nggak ada status,” seloroh Cakka.
“Bahasa lo ketinggian banget sumpah,” balas Ify.
“Emang lo mau digantung, Fy?” tanya Cakka.
Ify memutar bola matanya malas, “Justru gue mau gantung elo di rooftop sekolah.”
“Uhuy si Ify mah suka malu-malu tapi mau,” goda Sivia yang mendadak jadi sekutuan dengan Cakka.
“Diem lu jomblo kering!” maki Ify.
Sivia mengerucutkan bibirnya sementara yang lain sudah menyemburkan tawa. Lama-lama Shilla jadi tertarik ikut serta.
“Iya nih Rio kapan nembak Ify?” kekeh Shilla.
Rio memutar bola matanya malas. “Nanti kalau nggak hujan,” sahut pemuda itu asal.
“Apa perlu gue wakilin nembaknya?” cetus Cakka iseng.
“Nggak perlu,” ketus Rio.
“Kalian berisik banget sih,” cetus Alvin.
“Lu aja tuh yang kebanyakan diem. Hati-hati kesurupan. Kalau udah kesurupan sekali, ntar bisa kesurupan tiap hari,” sahut Sivia dengan tenang.
Alvin melotot tajam padanya. “Diem lu jomblo kering!” ketus Alvin menirukan gaya bicara Ify.
“Eh ngaca tuh lo juga jomblo!” balas Sivia tidak terima.
“Yang penting nggak sampai kering,” kata Alvin kalem.
Daripada mendengar dua anak ini terus berdebat, yang lain memilih untuk sibuk masing-masing dan tidak mempedulikan Alvin-Sivia. Biar saja mereka menikmati perdebatan yang tak ada ujungnya itu.
***
Malamnya, Gabriel sudah siap. Demi Sivia, semuanya Gabriel persiapkan sendirian. Tanpa bantuan siapapun.
Pemuda itu mematut dirinya di depan cermin. Dia sengaja memakai jins dan kaos berlengan panjang. Tampak santai namun tetap memberi kesan elegant. Setelah dirasa cukup, dia meraih sebucket mawar yang dipesan secara khusus. Ya, dia hanya membawa bunga. Sesederhana itu.
Sebelum berangkat menuju rumah Sivia, dia mengetikkan pesan melalui aplikasi line. Kebetulan siang tadi Gabriel membuat multichat dengan Rio dan Ify.
Gabriel: Doain gue ya
Rio: Sekarang banget nembaknya?
Gabriel: Ini mau otw
Gabriel: Sumpah gue deg-degan
Ify: Semangat Gabriel. Gue bantu doa ya
Gabriel: Thanks Ify
Rio: Kabar-kabar ya
Ify: Kabar-kabar ya (2)
Gabriel: Siap
Setelah menyimpan ponselnya, Gabriel bergegas menuju mobilnya. Ia sengaja meletakkan bucket mawar di jok sebelah. Kemudian mobil itu melesat ke rumah Sivia. Selama perjalanan, Gabriel tak henti mengawasi bucket mawar tersebut. Ia takut jika benda itu akan rusak sebelum sampai ke tangan Sivia. Kini, dadanya berdebar-debar dan tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa panas dingin. Bahkan ketika mobilnya sudah terparkir di depan rumah Sivia pun ia justru semakin sulit mengendalikan rasa nervous-nya.
“Lo bisa, Gabriel,” gumam Gabriel menyemangati dirinya sendiri.
Gabriel melangkah hati-hati. Ia sengaja tak menyimpan bucket mawar tersebut supaya menjadi surprise. Sebelum mengetok pintu, Gabriel menghela nafas panjang terlebih dahulu.
Tok... tok... tok...
Tak butuh waktu lama menunggu pintu dibukakan. Begitu pintu tersebut terbuka lebar, bukan Sivia yang berada di baliknya, melainkan Tante Desi—mamanya.
“Selamat malam, Tante,” sapa Gabriel hangat.
“Malam Gabriel,” balas Desi tak kalah hangat.
Wanita ini memang sudah hafal sosok Gabriel yang sering berkunjung kemari untuk menemui putrinya.
“Sivia ada, Tan?” tanya Gabriel sopan.
“Sivia nggak bilang sama kamu kalau dia keluar?” balas Desi dengan wajah bingung.
“Hm, saya ke sini nggak ngabarin Sivia.”
Desi tampak menggumam sebentar, “Dia lagi keluar nggak tahu ke mana. Kamu mau pulang atau nunggu di sini dulu?”
“Saya... nunggu saja, Tante. Nggak pa-pa, kan?”
“Ya sudah, masuk yuk! Tapi maaf ya Tante nggak bisa nemenin. Lagi sibuk beres-beres di dapur. Kamu duduk dulu, biar Tante ambilin minum,” ceplos Desi membuat Gabriel tersenyum tipis.
“Nggak perlu repot-repot, Tante,” kekeh Gabriel.
Desi ikut terkekeh, “Kamu kan tamu. Sebentar ya.”
Sepeninggalan Desi, Gabriel mendesah kecewa. Ke mana gadis itu? Apa Sivia pergi bersama abangnya? Omong-omong, Gabriel belum pernah bertemu dengan sosok abang yang sering diceritakan gadis itu.
***
Alvin: Lima belas menit lagi gue sampai rumah lo
Seperti dulu, mata Sivia terbelalak membaca chat dari Alvin. Laki-laki itu sepertinya senang sekali membuatnya memaki-maki, mengumpat, bersumpah serapah dan lain-lain. Siapa yang tidak shock tiba-tiba di-chat seperti itu? Katakanlah ini berlebihan, tapi masalahnya ini Alvin. Orang yang dicintai Sivia.
Sivia: Tae lima belas menit mah buat ngaca juga nggak cukup kampreeeetttt
Sivia: Mau ngapain sih lu jink?
Alvin: Sepuluh menit lagi dan jangan bikin gue nunggu
Sivia: FAK FAK FAK!
Alvin: Ok
Sivia mengeram frustasi kemudian buru-buru mengganti baju rumahnya dengan celana jins dan atasan yang dia ambil asal-asalan. Setelah merapihkan rambut, bedakan, memakai lipbalm dan menyemprotkan parfume, ponselnya berdering.
“IYA IYA NYET GUE UDAH SIAP!” semprot Sivia.
“Bagus. Gue udah di depan rumah lo. Langsung masuk mobil gue aja ya.”
Tanpa membalas, Sivia mematikan sambungan teleponnya. Ia lantas memakai sneakers kesayangannya dan keluar kamar dengan sedikit berlari.
“MA! SIVIA KELUAR!” teriak Sivia.
Berhubung mamanya sibuk di dapur sedari tadi dan Alvin mulai tidak sabaran, Sivia terpaksa berteriak. Mamanya sendiri tidak mempermasalahkan hal tersebut.
“Telat satu menit,” cetus Alvin begitu Sivia menutup pintu mobil.
“Bangsat. Kita mau ngapain sih? Daftar jadi tentara perang?” maki Sivia.
“Mau nge-date.”
Tepat saat itu mobil mereka melaju kencang menyusuri ibukota di malam hari. Mata Sivia melotot tajam, masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Alvin barusan. Setelah membuatnya ngos-ngosan, pemuda itu juga menambahkan olahraga spot jantung untuknya. Nge-date? Sivia tidak salah dengar kan?
Tanpa di sangka, mobil Alvin berhenti di sebuah restoran. Jadi, benar mereka akan nge-date? Sivia lantas merutuki Alvin karena tidak mengatakan dari awal. Kalau tahu akan dibawa ke tempat macam ini, Sivia bisa menggunakan dress-nya. Bukan celana jins.
“Sialan, gue salah kostum,” cicit Sivia mengamati lalu lalang manusia di restoran tersebut.
Rata-rata dari mereka mengenakan dress dan heels. Mereka tampak cantik dan tampan. Tapi... Sivia kemudian melirik Alvin, ia bersyukur karena pemuda itu sama saja dengannya. Hanya mengenakan celana jins dan kaos polo berwarna hitam.
“Lo pasti bercanda kan kita mau nge-date?” tuding Sivia.
Alvin menoleh, terkekeh pelan, “Ayo masuk.”
“Serius mau masuk ke sana? Kita pasti jadi pusat perhatian,” balas Sivia melirik pakaiannya dan Alvin.
“Lo kan udah biasa malu-maluin. Yuk!”
Sumpah, Sivia ingin mencekik leher Alvin sekarang juga.
“Untung sayang,” gumam Sivia.
Terpaksa Sivia menuruti titah Alvin. Seperti dugaannya, banyak pasang mata yang memperhatikan mereka berdua. Alvin tampak cuek—sudah biasa kan? Berbeda dengan Sivia yang jengah ditatap demikian.
“Mau makan apa?” tanya Alvin mengalihkan perhatian.
“Sama kayak elo deh.”
Alvin mengangguk kemudian mengatakan pesananya pada waiters. Setelah memastikan pesanan Alvin, wanita itu berlalu.
***
Sudah satu jam Gabriel berada di ruang tamu Sivia. Tante Desi pun juga masih sibuk di dapur. Entahlah apa yang dilakukan wanita itu. Tadi mereka sempat mengobrol sebentar lalu Gabriel ditinggalkan lagi karena pekerjaannya belum selesai.
Pemuda itu melirik ke arah jam dinding dan mendesah lagi. Dia sudah mengabarkan Rio dan Ify bahwa Sivia belum juga pulang. Kata Ify, dia pun tidak tahu Sivia pergi ke mana karena tidak mengatakan apa-apa. Ify sudah mencoba spam chat tapi tak ada respon apapun dari Sivia.
“Sivia ke mana sih itu anak? Tante telpon juga nggak diangkat.”
Gabriel menegakkan posisi duduknya ketika Desi tiba.
“Sudah selesai, Tante?” tanya Gabriel.
“Iya, sudah. Maaf ya jadi Tante tinggal. Tadi sore ada arisan jadinya numpuk semuanya di dapur,” curhat Tante Desi.
“Nggak pa-pa kok, Tante,” sahut Gabriel sopan.
Desi lantas duduk di sofa seberang. Gabriel tampak sedikit canggung karena ini pertama kalinya ia hanya berdua dengan mamanya Sivia. Biasanya masih ada Sivia yang mencairkan suasana.
“Ada yang penting banget  ya, Yel?” tanya Desi.
Disodori pertanyaan seperti itu membuatnya gusar. Tidak mungkin kan kalau Gabriel menjawab bahwa ia akan menembak putrinya?
“Hmm nggak begitu penting kok, Tan,” jawab Gabriel membuat Desi tersenyum.
Wanita itu tahu kalau Gabriel tengah berbohong. Memangnya laki-laki mana yang rela menunggu hingga satu jam lebih hanya untuk urusan tidak penting? Toh Desi diam saja, memaklumi bahwa ini bukan urusannya.
“Kamu temenan sama Ify juga?” tanya Desi lagi.
Gabriel menganggukkan kepalanya, “Iya. Sudah sahabat deket meskipun belum lama kenal. Kata Sivia, Ify deket juga sama Tante ya?”
“Begitu deh. Maklum, bisa dibilang tetanggaan tapi nggak deket banget rumahnya. Waktu pindah ke sini itu Tante sama Om pertama kali kenalnya sama orang tua Ify. Waktu itu Tante sama mamanya Ify sama-sama lagi hamil. Terus...”
Desi lantas menceritakan sejarah kedekatan antara Sivia dan Ify. Sesekali Gabriel tertawa mendengar celetukan ajaib Desi, ia baru tahu kalau Desi lebih ceplas-ceplos dibandingkan dengan Sivia. Begitu banyak informasi yang didapatkan Gabriel dari wanita di hadapannya.
Mengenai Sivia yang pernah jadi preman sewaktu SD, keisengan Sivia yang membuat Desi ditegur ibu-ibu karena anaknya jadi korban kejahilan Sivia, tentang Ify yang melarang Sivia berbuat nakal tapi ujung-ujungnya ikut juga, dan masih banyak lagi. Yang paling membuatnya terenyuh, Sivia pernah nangis semalaman karena Ify sakit dan tidak bisa masuk sekolah. Gadis itu sampai membolos tiga hari untuk menemani Ify. Dan senakal apapun Sivia, Ify selalu membela sekalipun itu di depan Tante Desi. Dari situ Gabriel tahu betapa dekatnya mereka.
“Mereka nggak pernah berantem ya, Tante?” tanya Gabriel teringat ucapan Sivia mengenai dia yang tak pernah bertengkar dengan Ify sama sekali.
Desi menggeleng, “Setahu Tante sih nggak pernah.”
“Mereka tuh akrab banget sampai sering dikira anak kembar. Apalagi Sivia nggak punya sodara, jadi kemana-mana sama Ify. Kadang sama Ozy juga, adiknya Ify. Sifat Sivia sama Ozy kan nyaris sama,” lanjut wanita itu.
“Tante jadi kayak punya dua anak perempuan dong,” kekeh Gabriel.
“Nggak juga. Kalau Ify emang sih anak perempuan banget, tapi Sivia enggak. Dulu nih tiap dipakaiin rok pasti jalannya masih ngangkang. Beneran kayak anak cowok. Makanya jadi preman.”
Detik itu tawa Gabriel meledak membayangkan Sivia kecil yang memakai rok tapi jalannya seperti preman.
***
“Kenyang,” gumam Sivia meletakkan garpu dan sendoknya.
Selama menghabiskan makanan, tidak obrolan sama sekali. Alvin juga nampak fokus dan tidak berminat bicara. Sivia pun akhirnya memilih diam, meskipun dalam hati kesal juga diabaikan.
Setelah menyeruput orange juice-nya, Sivia menatap Alvin. Pemuda itu sudah selesai makan sejak semenit yang lalu.
“Sivia, mau nggak jadi pacar gue?”
Sivia nyaris tersedak ludahnya sendiri saat mendengarnya. Ia tak salah kan? Alvin baru saja menembaknya? Sumpah? Dan reaksi Sivia benar-benar shock, terkejut, apalah. Tidak angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Alvin melontarkan pertanyaan yang membuat jantungnya nyaris copot.
“Sivia,” kata Alvin membuyarkan lamunan gadis itu.
“Lo lagi bercanda ya?” tanya Sivia gugup.
Alvin mendesah kasar, “Lo pikir gue tipe orang yang suka diajak bercanda?”
Sivia menggelengkan kepala seraya mengerucutkan bibir. Ya, dia tahu kalau Alvin bukan Gabriel yang punya selera humor recehan seperti dirinya. Tapi...
“Gue ulang sekali lagi. Lo mau nggak jadi pacar gue?” tanya Alvin memberi sedikit tekanan pada setiap kata yang diucapkannya.
Mendadak gadis itu sulit berpikir. Ini yang dinantikannya. Jadi, apakah ada alasan untuk menolak? Sivia menganggukkan kepala dengan senyum terkembang. Alvin ikut tersenyum.
“Jadi, sekarang kita pacaran ya,” kekeh Sivia.
“Iya,” sahut Alvin ikut terkekeh.
Detik berikutnya Sivia sedikit kecewa karena ekspektasi memang hanya sekedar ekspektasi. Dia pikir jika Alvin menembaknya maka akan lebih romantis dari Cakka. Nyatanya, Alvin hanya melemparkan sebuah pertanyaan yang membuat Sivia hanya sekedar menjawab ya atau tidak. Setelah itu sunyi. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada kata-kata romantis, dan tidak ada apapun yang pernah dimimpikannya.
“Kenapa?” tanya Alvin dengan alis terangkat.
Sivia menggeleng, membuang pikiran-pikiran negatifnya. Yang ia butuhkan bukan semua ekspektasi itu, melainkan sosok Alvin di sampingnya.
“Gue seneng,” ujarnya jujur.
Tak ada kebohongan. Dia memang bahagia karena akhirnya dia bisa merasakan apa yang dialami Agni. Cinta yang berbalas. Bukan cinta sepihak.
“Mulai sekarang, jangan deket-deket sama cowok manapun ya. Gue nggak suka,” kata Alvin mulai serius.
Sivia mengernyit tak mengerti, “Emang gue deket-deket sama siapa?”
“Gabriel,” jawab Alvin singkat dan padat.
“Astagaaa lo cemburu sama Gabriel? Sumpah ini lucu banget,” pekik Sivia tak dapat menahan tawa.
Selanjutnya, hati Sivia menghangat. Ia tidak akan menuntut Alvin harus seperti Cakka, sebab Alvin adalah Alvin. Di balik ketidakpedulian pemuda itu, ternyata Alvin cemburu hanya karena kedekatannya dengan Gabriel. Mendadak perut Sivia seperti terisi ribuan kupu-kupu!
***
“IFYYY!!! AAAA GUE SENENG BANGEEETTTT SUMPAAAHHH!!!!”
Ify menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar teriakan histeris Sivia. Ia lantas memutuskan untuk menekan tombol loud speaker demi berjaga-jaga—siapa tahu telinganya langsung bermasalah.
“Apaan sih lu? Nggak perlu teriak! Lo ngomong biasa aja kayak toa kampret,” protes Ify.
Sepertinya Sivia tidak mempedulikan ucapan Ify dan tidak tersinggung sama sekali karena dia benar-benar bahagia. Hanya karena sudah resmi dengan Alvin.
“AKHIRNYA GUE JADIAN SAMA ALVIN! SUMPAH INI KEREN BANGET! DAN TAHU???? LO ORANG PERTAMA YANG GUE KASIH TAHU!! HUAAAHHH I LOVE YOU IPI!”
“Hah?”
Mulut Ify terbuka dengan sempurna. Matanya terbelalak lebar. Ia berharap salah dengar. Bukankah yang menembak Sivia itu Gabriel? Mengapa dia jadian dengan Alvin? Masih diliputi banyak pertanyaan, Ify menahan diri untuk tidak menyebut-nyebut nama Gabriel. Apalagi Sivia terdengar... sangat sangat bahagia?
Ify mendesah kasar, otaknya benar-benar tertuju pada sosok Gabriel yang mungkin kini patah hati. Pasti patah hati.
“Kenapa bisa?” tanya Ify.
Detik selanjutnya Sivia menceritakan kronologinya. Bagaimana Alvin tiba-tiba Alvin datang menjemputnya, mengaja nge-date, dan menembaknya. Bodohnya, Sivia tak bisa mengerem cerita mengenai Alvin yang membukakan pintu mobil untuknya dan memeluknya singkat.
“.... Jangan godain gue! Awas aja ya lu godain gue!”
Ify tersenyum tipis, “Nggak kok.”
“KAK IFY ADA TAMU!”
Ify menoleh ke ambang pintu dimana ada Ozy di sana. Pemuda kecil itu tampak kesal, sepertinya sudah sedari tadi memanggil.
“Vi, ada tamu nih. Bonyok lagi keluar kota. Ceritanya lanjut besok ya!” interupsi Ify.
“Yaaahhh. Iya deh.”
Bye, Via!” seru Ify kemudian memutuskan sambungan telepon.
“Ada siapa?” tanya Ify pada Ozy.
Ozy mengangkat bahunya, “Yang pernah berangkat bareng elo sama Kak Sivia. Tapi bukan Kak Rio.”
Dan Ify langsung bisa menebak bahwa itu adalah Gabriel. Buru-buru dia menuruni tangga setelah memastikan Ozy akan sibuk dengan PS terbarunya. Dia tidak mau Ozy mendengar percakapannya dengan Gabriel, takut jika Ozy akan keceplosan di depan Sivia.
Benar saja, Gabriel duduk di ruang tamu dengan kepala tertunduk.
“Gabriel,” panggil Ify membuatnya mendongak.
Ify terhenyak mendapati raut wajah Gabriel yang tampak sendu. Ia tahu penyebabnya. Apa ia tahu kalau Sivia sudah resmi dengan Alvin?
“Hai, Fy. Sori gue ke sini,” balasnya dengan seulas senyum yang dipaksakan.
“Tadi Sivia telepon gue. Dia bilang kalau...”
Ucapan Ify menggantung. Tak tahu apakah kabar mengenai Sivia-Alvin harus disampaikannya atau tidak. Ia lantas memutuskan untuk menyampaikannya.
“Dia jadian sama Alvin,” lanjut Ify pelan.
Detik berikutnya Gabriel mengacak rambut dengan frustasi. Ify lantas paham bahwa pemuda itu bukannya hanya patah hati. Ia hancur. Berantakan.
***
Gabriel melirik jam dinding yang tergantung di dekat jendela.
“Hm, Tante. Kayaknya saya pulang aja. Sudah lama juga saya di sini. Kalau Sivia pulang, tolong jangan bilang kalau saya ke sini ya, Tan.”
Sudah sekitar dua jam lebih Gabriel di sini. Ia merasa tidak enak pada Desi. Maka dari itu, Gabriel menyerah dan memutuskan untuk pamit. Untungnya Desi memaklumi dan mengiyakan permintaan Gabriel.
“Selamat malam, Tante. Saya pulang dulu,” ujar Gabriel.
“Malam. Kamu hati-hati ya,” balas Desi.
Gabriel mengangguk. Kemudian ia masuk ke dalam mobilnya. Saat mobil itu melaju, tanpa sengaja ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah Sivia melalui spionnya. Ia yakin Sivia berada di dalam mobil itu. Dengan sigap Gabriel menginjak rem dan berinisiatif kembali ke rumah tersebut.
Akan tetapi, gerakan Gabriel terhenti saat menyadari bahwa itu adalah mobil Alvin. Gabriel terus mengawasi. Alvin tampak keluar lalu berjalan membukakan pintu penumpang.
“Sivia,” gumam Gabriel terus memperhatikan.
Detik berikutnya, tiba-tiba Alvin memeluk Sivia. Hati Gabriel serasa diremas pelan. Nyeri. Pemuda itu membuang pandangannya ke arah bucket mawar yang rencananya akan digunakan sebagai properti menembak Sivia.
Shit. Shit. Shit,” umpat Gabriel.
Ia lantas melajukan mobilnya ke rumah Ify. Kini, hanya gadis itu tujuannya. Sebab dia yang paling mengerti perasaannya untuk Sivia seperti apa.
***
“Dia jadian sama Alvin.”
Empat kata itu membuat pertahanan Gabriel runtuh. Pantas saja Alvin dan Sivia berpelukan. Pantas saja Alvin yang cuek itu membukakan pintu untuk Sivia. Pantas saja ia bisa melihat mata Sivia bersinar bahagia.
“Gue lihat semuanya, Fy,” gumam Gabriel terdengar menyedihkan.
“Yel...”
“Gue lihat Alvin bukain pintu buat Sivia. Gue lihat mereka pelukan. Yang paling menyedihkan, gue bisa lihat betapa bahagianya Sivia meskipun dari jarak jauh.”
Ify tidak tahu harus berbuat apa. Dia terbiasa dijadikan tempat curhat, tapi dengan Gabriel... rasanya berbeda. Dia seperti melihat dirinya sendiri saat kehilangan Ray. Sakit. Kecewa. Sedih. Tapi berusaha tegar.
“Ini pertama kalinya Sivia jatuh cinta,” lirih Ify.
Dia benci berada di posisi seperti ini. Saat ia merasa tak berguna. Ify menyesal mendukung keputusan Gabriel, ia menyesal membiarkan Gabriel merasakan pahit yang pernah dialaminya.
“Bukan salah lo,” ujar Gabriel seolah menangkap gurat penyesalan di wajah Ify.
“Memang gue yang mau kok,” imbuhnya.
Ify mendesah, “Gue tahu rasanya.”
“Makanya gue ke sini. Kalau gue datengin Rio, gue yakin dia bakal kasih gue tatapan yang bikin gue sungkan. Sementara lo mandang gue lebih manusiawi,” ceplos Gabriel.
“Yel, gue tahu lo—“
“Iya, Fy. Lo pasti tahu. Please, jangan dijabarin ya. Gue nggak mau ngomongin apapun tentang itu,” potong Gabriel membuat Ify bungkam.
Sepertinya Gabriel hanya butuh teman.
“Iya,” cicit Ify.
Malam itu dihabiskan Ify dan Gabriel membicarakan hal-hal lain. Ify tahu yang saat ini diinginkan Gabriel hanyalah mengobrol dan mengobrol. Sederhananya, Gabriel tidak mau mengingat apapun yang terjadi sebelumnya seolah dari awal pun tujuannya adalah berada di  rumah ini.
Ia tidak mau mengingat Sivia. Sama sekali. Jadi, sebisa mungkin Ify tidak menyebut-nyebut nama Sivia.
***
Bersambung...

Untuk part ini kayaknya saya nggak begitu ngarepin komentar. Tapi kalau bersedia silakan komentar(?) kalau bisa yang berfaedah -_-

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wow info yang menarik nih kak.. kalau ingin tahu tentang cara membuat website yukk disini saja.. terimakasih...

Posting Komentar