Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Kali ini saya nggak akan berkata-kata di pembuka. Pffftttt langsung
aja ya
Hope you like it...
21
Shilla
mengusap matanya yang menitikkan air mata karena candaan Sivia sedari tadi
berhasil mengocok perut. Tak hanya Shilla, tapi juga Agni yang sampai memegangi
perutnya karena sudah tak kuat dengan celotehan Sivia. Sejurus kemudian,
Gabriel datang sendirian dengan wajah yang terlihat... bahagia? Shilla
mengernyitkan dahi, tak biasa mendapati wajah Gabriel secerah itu setelah
berhadapan dengan kepsek.
“Gue
melewatkan apa nih?” tanya Gabriel mengambil tempat di depan Shilla.
“Melewatkan
lawakan recehnya manusia receh,” cetus Alvin lalu mengunyah bakwannya.
Tanpa
diberitahu dengan detail pun Gabriel sudah bisa menebak bahwa yang dimaksudkan
adalah Sivia. Tampaknya gadis itu tak tersinggung sama sekali karena disebut
sebagai manusia receh.
“Kita ditraktir
Cakka sama Agni loh istirahat kedua nanti!” seru Sivia.
“Soalnya
istirahat pertama sekarang nggak ada Rio sama Ify. Mereka ngapain tuh di ruang
musik?” sahut Cakka.
“Tadi
gue sempet ketemu. Kayaknya cuma main-main aja,” jawab Gabriel.
“Yakin
tuh main-main aja? Gimana kalau dari ruang musik udah jadian?”
Suara
Shilla membuat Gabriel mendongak dan tertawa renyah. Tampaknya bukan hanya
Shilla yang berpikir demikian karena yang lain tampak setuju dengan ucapan
Shilla barusan. Sumpah, Gabriel ingin tertawa membayangkan Rio dan Ify
mendengar ini langsung. Pasti dua-duanya salah tingkah.
“Gue
jamin enggak,” kata Gabriel.
“Enggak
sekarang maksudnya,” imbuh pemuda itu.
“Oh iya
tadi gue udah pesenin bakso buat lo,” ujar Shilla.
“Padahal
gue lagi pingin siomay terenak sedunia,” balas Gabriel.
Mendengar
ucapan pemuda itu, Sivia yang sedang menikmati siomaynya langsung menjauhkan
dari jangkauan Gabriel.
“Kenapa
lu?” tanya Cakka pada Sivia.
“Jaga-jaga,
sayangku,” jawab Sivia.
“Cowok
gue anjrit!” cecar Agni.
“Anggap
aja cowok bersama. Nggak usah dibikin repot gitu deh.”
“Asik
juga ya jadi rebutan,” kekeh Cakka yang langsung dilempari tissue.
***
Jemari
Rio menari-nari di atas tuts piano, begitu pula dengan Ify. Entah sejak kapan
dua sejoli itu berduet memainkan benda ini. Awalnya Ify iseng memainkan intro
lagu Lost Star—ya lagu itu masih menjadi lagu favorite-nya—kemudian tiba-tiba saja Rio ikut memainkan piano
tersebut.
Sepeninggalan
Gabriel, belum ada pembicaraan sama sekali di antara keduanya. Ify, masih sibuk
memikirkan apa yang akan terjadi jika Gabriel benar-benar menembak sahabatnya.
Namun Rio justru sibuk memikirkan bagaimana memiliki Ify seutuhnya.
“Fy...”
“Yo...”
Keduanya
terkekeh karena tanpa sengaja saling memanggil di waktu yang bersamaan.
“Lo
dulu,” kata Rio.
“Hmmm,
gue kepikiran Gabriel sama Sivia,” balasnya jujur.
Rio
mengangguk-angguk, menganggap itu adalah hal yang wajar karena ia tahu bahwa
Ify sangat peduli dengan Sivia. Meski terkadang dua anak itu memperdebatkan hal
yang kurang penting, tapi Rio bisa menangkap keterikatan antara keduanya.
“Takut
kalau Gabriel nggak bisa jagain Sivia?” tanya Rio.
“Gue
percaya kok sama Gabriel. Tapi, masalahnya...”
Ify
terdiam seraya menggigit bibir bawahnya, dia tidak mungkin mengatakan bahwa
Sivia sudah berharap lebih pada Alvin. Kemungkinan besar, perasaan Gabriel...
tak terbalaskan. Mengingatkannya pada perasaannya teruntuk Ray—dulu.
“Kita support aja ya, jangan mikir yang
enggak-enggak,” kata Rio mencoba memberi ketenangan pada pikiran Ify.
“Oke.
Hm, lo tadi mau ngomong apa?”
Gantian
Rio yang terdiam. Ify mengernyit, berusaha menangkap kegelisahan apa yang
sedang menyelimuti pemuda di sampingnya.
“Rio...”
Tiba-tiba
saja tangan Rio meraih kedua tangan Ify. Pemuda itu menggenggam tangannya dan
menatapnya dalam seakan hanya Ify objek terindah di dalam ruangan ini. Ada yang
berdesir di sana, di dalam diri Ify. Apalagi kedua bola mata itu benar-benar
berhasil mengunci pandangannya.
Ify
sedang menerka-nerka apa yang hendak diucapkan Rio. Detik berikutnya pemuda itu
mendekatkan wajahnya. Mata Ify terbelalak dan pikirannya menjadi kosong. Otak
Ify tak berfungsi. Wajah itu semakin dekat hingga Ify bisa merasakan nafas Rio
yang memburu. Apa jangan-jangan pemuda ini akan...
“Gue
mohon, jangan pernah ingat Ray lagi,” kata Rio kemudian merengkuh Ify untuk
kedua kalinya.
Tanpa
sadar Ify menghembuskan nafas lega, dia pikir Rio akan... ah, Ify jadi baru
sadar kalau dia menahan nafas sedari tadi. Entah sejak kapan dia jadi lupa caranya
bernafas. Tidak seperti kemarin ketika ia hanya membiarkan Rio memeluk tubuh
kecilnya, kini gadis itu membalas pelukan tersebut.
Hanya
sekejap. Sekejap yang berhasil membuat keduanya salah tingkah.
***
Berbagai
rencana sudah ada di otak Gabriel. Ia membayangkan bagaimana wajah shock Sivia jika ia menembaknya. Apa
gadis itu justru akan berkata ‘tuh kan
bener kalo pesona gue susah ditolak’ atau perkataan ajaib lainnya? Dia
sudah memikirkan keputusan ini semalaman hingga ia nyaris terjaga sampai pagi.
Gabriel
juga sengaja merahasiakan ini dari anak-anak kecuali Rio dan Ify karena dari
awal pun Rio dan Ify sudah tahu akan perasaannya untuk Sivia seperti apa. Ya,
tentunya merahasiakan ini berarti harus berpura-pura.
“Kenapa
sih lo senyum-senyum mulu?” selidik Shilla.
Kini Gabriel
dan Shilla sedang berada di perpustakaan untuk mencari buku. Kebetulan mereka
satu kelompok untuk tugas sejarah. Sebenarnya semua anak XI IPA 1 berada di
perpustakaan, tapi Gabriel dan Shilla memisahkan diri di rak pojok karena rak
lainnya sudah sesak.
“Emang
kenapa? Gue kan ganteng,” sahut Gabriel kalem.
Shilla
mendorong bahu pemuda itu, “Pede banget sih najis.”
Gabriel
tertawa renyah mendengarnya lalu kembali fokus mencari buku untuk kelompoknya.
Shilla sendiri juga melakukan hal yang sama. Begitu melihat buku yang ia cari,
senyum Shilla mengembang.
Sayangnya
buku itu berada di bagian atas hingga membuat Shilla terpaksa berjinjit-jinjit
untuk mendapatkannya. Saat berhasil menyentuh buku yang dia inginkan, mendadak
Gabriel tanpa sengaja menabraknya dari samping dan membuat Shilla kehilangan
keseimbangan.
Bruk.
Shilla
tak tahu. Sumpah, ia tak tahu saat tiba-tiba Gabriel sudah lebih dulu
merengkuhnya supaya ia tak bernasib sama dengan buku yang akan diambilnya tadi.
“Jantung
gue,” batin Shilla berteriak.
Detak
jantungnya tak bisa dikontrol. Mata Shilla tak berkedip menyaksikan ketampanan
Gabriel, pemuda yang dipujanya beberapa tahun ini secara dekat. Aroma maskulin
dari pemuda itu pun menyeruak ke hidungnya. Sumpah, Shilla tidak tahu harus
menjabarkan seperti apa perasaannya.
“Lo
makin berat ya ternyata,” cengir Gabriel tanpa mengubah posisinya.
Dan
selanjutnya Shilla seolah ditarik paksa untuk kembali ke dunia nyata. Sayangnya
Shilla terlanjur terhipnotis oleh cengiran Gabriel. Ya, Gabriel semakin
terlihat tampan dengan deretan gigi putihnya yang rapih.
“Are you ok, Shilla?”
Gadis
itu gelagapan kemudian melepaskan rengkuhan Gabriel dengan salah tingkah. Ia
yakin sekali kalau saat ini pipinya bersemu merah.
“Lo
kenapa? Muka lo jadi merah. Ada yang kepentok?” tanya Gabriel panik.
“Cu—cuman
shocked,” jawab Shilla sedikit
berbohong.
Gabriel
mendesah lega, “Syukur deh kalau nggak kenapa-napa.”
Beberapa
saat Shilla merasa kehilangan kesadaran. Bolehkah dia berharap hanya karena
mendengar kekhawatiran pemuda itu? Bolehkah? Sedikit saja....
***
Sudah
bisa ditebak pandangan seperti apa yang dilemparkan Sivia dan Agni padanya.
Tatapan menyelidik. Sejak kembali dari ruang musik, mood Ify membaik. Sangat baik malahan. Tentunya Sivia dan Agni
curiga padanya. Ini baru mereka berdua, belum lagi nanti istirahat kedua harus
menghadapi tatapan dari Shilla dan yang lain.
Tadinya
Agni ada urusan dengan Debo—berhubung kelas mereka kosong—tapi dia jadi
tersangkut di kelas XI IPA 4 karena Ify.
“Lo
ngapain aja di ruang musik? Nggak mesum kan?” seloroh Sivia.
Ify
memutar bola matanya jengah karena teringat kejadian di luar dugaannya, “Ampun
deh otak lo.” Pelukan sekejap bukan berarti mesum kan?
“Ya abisan
lo aneh banget gini,” dengus Agni.
“Tapi
nggak pa-pa, Ag. Daripada lihat Ify yang kemarin-kemarin,” sahut Sivia.
Ify
hanya tersenyum tipis. Ia tahu, Sivia pasti sangat khawatir padanya karena
kemarin-kemarin hanya ada Ray di otak Ify.
“Taruhan
sama gue. Setelah gue sama Cakka, Ify sama Rio bakal bikin pengumuman officially,” ceplos Agni.
“Kalau
nggak gimana?” tanya Sivia.
“Gue
traktir lo bakso,” jawab Agni sekenanya.
“DEAL!” seru Sivia.
Sialan.
Ify menggerutu karena dijadikan bahan taruhan. Tapi sayangnya Agni dan Sivia
sama-sama tak peduli.
***
“ASIK
DITRAKTIR CAKKA!” seru Sivia kegirangan.
Akibat
ulahnya yang kekanakan, kini gadis itu jadi korban lemparan tissue bekas. Sivia
merengut lalu menjulurkan lidahnya.
“Geser
dong geser,” interupsi Shilla yang baru bergabung.
“Sini,
Shil. Samping gue kosong,” cetus Gabriel.
Shilla
lantas duduk di samping pemuda itu dengan ragu. Pasalnya, sejak kejadian di
perpustakaan, Shilla jadi sengaja menghindari bersebelahan dengan Gabriel. Dia
bisa merasakan jantungnya meloncat-loncat setiap berada di samping pemuda
impiannya.
“Lo
kenapa? Sakit?” tanya Gabriel seraya menempelkan telapak tangannya pada dahi
Shilla.
Seketika
wajah Shilla memanas. Sial, dia berusaha keras untuk mengendalikan diri. Jangan
sampai Gabriel atau yang lainnya tahu kalau dia gugup!
“Agak
anget dikit. Wajah lo juga pucet. Mau gue pesenin teh anget?” tawar Gabriel.
Shilla
meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya, “Air mineral aja.”
“Oke.”
Shilla
menghembuskan nafas lega setelah Gabriel beranjak dan menanyakan pesanan
lainnya lalu menuju stand. Gadis itu lantas mengalihkan pandangan dan tanpa
sengaja bertatapan dengan Alvin. Pemuda itu tersenyum padanya, senyum yang
tampak kikuk.
“SHILLA!”
seru Ify membuat Shilla menatapnya.
“Apaan?”
tanya Shilla.
“Nih gue
bawa freshcare. Kata Gabriel badan lo
rada anget,” ceplos Ify seraya menyodorkan freshcare-nya.
“Hm, thanks ya Ify.”
Freshcare itu
berpindah ke tangan Shilla. Demi menghargai niat baik Ify, dia mengoleskan benda
tersebut pada tengkuk dan lehernya. Ya, Gabriel tidak salah karena harus diakui
dia memang kurang sehat karena lelah syuting. Tapi sebenarnya wajah pucat pasi
itu bukan karena badannya yang kurang sehat, melainkan efek bersentuhan kulit
dengan Gabriel.
Shilla
melirik sahabat-sahabatnya yang sedang menggoda Ify serta Rio—mengenai mereka
yang kabur ke ruang musik. Sesekali gadis itu terkikik geli melihat Rio yang
tampak enggan ditanya macam-macam. Ify yang biasanya tenang pun terlihat gusar.
“Harusnya
lo nembak aja, Yo. Jangan cuma ngajakin pacaran di ruang musik tapi nggak ada
status,” seloroh Cakka.
“Bahasa
lo ketinggian banget sumpah,” balas Ify.
“Emang
lo mau digantung, Fy?” tanya Cakka.
Ify
memutar bola matanya malas, “Justru gue mau gantung elo di rooftop sekolah.”
“Uhuy si
Ify mah suka malu-malu tapi mau,” goda Sivia yang mendadak jadi sekutuan dengan
Cakka.
“Diem lu
jomblo kering!” maki Ify.
Sivia mengerucutkan
bibirnya sementara yang lain sudah menyemburkan tawa. Lama-lama Shilla jadi
tertarik ikut serta.
“Iya nih
Rio kapan nembak Ify?” kekeh Shilla.
Rio
memutar bola matanya malas. “Nanti kalau nggak hujan,” sahut pemuda itu asal.
“Apa
perlu gue wakilin nembaknya?” cetus Cakka iseng.
“Nggak
perlu,” ketus Rio.
“Kalian
berisik banget sih,” cetus Alvin.
“Lu aja
tuh yang kebanyakan diem. Hati-hati kesurupan. Kalau udah kesurupan sekali,
ntar bisa kesurupan tiap hari,” sahut Sivia dengan tenang.
Alvin
melotot tajam padanya. “Diem lu jomblo kering!” ketus Alvin menirukan gaya
bicara Ify.
“Eh
ngaca tuh lo juga jomblo!” balas Sivia tidak terima.
“Yang
penting nggak sampai kering,” kata Alvin kalem.
Daripada
mendengar dua anak ini terus berdebat, yang lain memilih untuk sibuk
masing-masing dan tidak mempedulikan Alvin-Sivia. Biar saja mereka menikmati perdebatan
yang tak ada ujungnya itu.
***
Malamnya,
Gabriel sudah siap. Demi Sivia, semuanya Gabriel persiapkan sendirian. Tanpa
bantuan siapapun.
Pemuda
itu mematut dirinya di depan cermin. Dia sengaja memakai jins dan kaos
berlengan panjang. Tampak santai namun tetap memberi kesan elegant. Setelah dirasa cukup, dia meraih sebucket mawar yang dipesan secara khusus. Ya, dia hanya membawa
bunga. Sesederhana itu.
Sebelum
berangkat menuju rumah Sivia, dia mengetikkan pesan melalui aplikasi line.
Kebetulan siang tadi Gabriel membuat multichat
dengan Rio dan Ify.
Gabriel: Doain gue ya
Rio: Sekarang banget nembaknya?
Gabriel: Ini mau otw
Gabriel: Sumpah gue deg-degan
Ify: Semangat Gabriel. Gue bantu doa ya
Gabriel: Thanks
Ify
Rio: Kabar-kabar ya
Ify: Kabar-kabar ya (2)
Gabriel: Siap
Setelah
menyimpan ponselnya, Gabriel bergegas menuju mobilnya. Ia sengaja meletakkan bucket mawar di jok sebelah. Kemudian
mobil itu melesat ke rumah Sivia. Selama perjalanan, Gabriel tak henti
mengawasi bucket mawar tersebut. Ia
takut jika benda itu akan rusak sebelum sampai ke tangan Sivia. Kini, dadanya
berdebar-debar dan tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa panas dingin. Bahkan
ketika mobilnya sudah terparkir di depan rumah Sivia pun ia justru semakin
sulit mengendalikan rasa nervous-nya.
“Lo
bisa, Gabriel,” gumam Gabriel menyemangati dirinya sendiri.
Gabriel
melangkah hati-hati. Ia sengaja tak menyimpan bucket mawar tersebut supaya menjadi surprise. Sebelum mengetok pintu, Gabriel menghela nafas panjang
terlebih dahulu.
Tok... tok... tok...
Tak
butuh waktu lama menunggu pintu dibukakan. Begitu pintu tersebut terbuka lebar,
bukan Sivia yang berada di baliknya, melainkan Tante Desi—mamanya.
“Selamat
malam, Tante,” sapa Gabriel hangat.
“Malam
Gabriel,” balas Desi tak kalah hangat.
Wanita
ini memang sudah hafal sosok Gabriel yang sering berkunjung kemari untuk
menemui putrinya.
“Sivia
ada, Tan?” tanya Gabriel sopan.
“Sivia
nggak bilang sama kamu kalau dia keluar?” balas Desi dengan wajah bingung.
“Hm,
saya ke sini nggak ngabarin Sivia.”
Desi
tampak menggumam sebentar, “Dia lagi keluar nggak tahu ke mana. Kamu mau pulang
atau nunggu di sini dulu?”
“Saya...
nunggu saja, Tante. Nggak pa-pa, kan?”
“Ya
sudah, masuk yuk! Tapi maaf ya Tante nggak bisa nemenin. Lagi sibuk beres-beres
di dapur. Kamu duduk dulu, biar Tante ambilin minum,” ceplos Desi membuat
Gabriel tersenyum tipis.
“Nggak
perlu repot-repot, Tante,” kekeh Gabriel.
Desi
ikut terkekeh, “Kamu kan tamu. Sebentar ya.”
Sepeninggalan
Desi, Gabriel mendesah kecewa. Ke mana gadis itu? Apa Sivia pergi bersama
abangnya? Omong-omong, Gabriel belum pernah bertemu dengan sosok abang yang
sering diceritakan gadis itu.
***
Alvin: Lima belas menit lagi gue sampai rumah
lo
Seperti
dulu, mata Sivia terbelalak membaca chat dari
Alvin. Laki-laki itu sepertinya senang sekali membuatnya memaki-maki,
mengumpat, bersumpah serapah dan lain-lain. Siapa yang tidak shock tiba-tiba di-chat seperti itu? Katakanlah ini berlebihan, tapi masalahnya ini
Alvin. Orang yang dicintai Sivia.
Sivia: Tae lima belas menit mah buat ngaca juga
nggak cukup kampreeeetttt
Sivia: Mau ngapain sih lu jink?
Alvin: Sepuluh menit lagi dan jangan bikin gue
nunggu
Sivia: FAK FAK FAK!
Alvin: Ok
Sivia
mengeram frustasi kemudian buru-buru mengganti baju rumahnya dengan celana jins
dan atasan yang dia ambil asal-asalan. Setelah merapihkan rambut, bedakan,
memakai lipbalm dan menyemprotkan parfume, ponselnya berdering.
“IYA IYA
NYET GUE UDAH SIAP!” semprot Sivia.
“Bagus. Gue udah di depan rumah lo. Langsung
masuk mobil gue aja ya.”
Tanpa
membalas, Sivia mematikan sambungan teleponnya. Ia lantas memakai sneakers
kesayangannya dan keluar kamar dengan sedikit berlari.
“MA!
SIVIA KELUAR!” teriak Sivia.
Berhubung
mamanya sibuk di dapur sedari tadi dan Alvin mulai tidak sabaran, Sivia
terpaksa berteriak. Mamanya sendiri tidak mempermasalahkan hal tersebut.
“Telat
satu menit,” cetus Alvin begitu Sivia menutup pintu mobil.
“Bangsat.
Kita mau ngapain sih? Daftar jadi tentara perang?” maki Sivia.
“Mau
nge-date.”
Tepat
saat itu mobil mereka melaju kencang menyusuri ibukota di malam hari. Mata
Sivia melotot tajam, masih tak percaya dengan apa yang diucapkan Alvin barusan.
Setelah membuatnya ngos-ngosan, pemuda itu juga menambahkan olahraga spot
jantung untuknya. Nge-date? Sivia
tidak salah dengar kan?
Tanpa di
sangka, mobil Alvin berhenti di sebuah restoran. Jadi, benar mereka akan nge-date? Sivia lantas merutuki Alvin karena
tidak mengatakan dari awal. Kalau tahu akan dibawa ke tempat macam ini, Sivia
bisa menggunakan dress-nya. Bukan
celana jins.
“Sialan,
gue salah kostum,” cicit Sivia mengamati lalu lalang manusia di restoran
tersebut.
Rata-rata
dari mereka mengenakan dress dan heels. Mereka tampak cantik dan tampan.
Tapi... Sivia kemudian melirik Alvin, ia bersyukur karena pemuda itu sama saja
dengannya. Hanya mengenakan celana jins dan kaos polo berwarna hitam.
“Lo
pasti bercanda kan kita mau nge-date?”
tuding Sivia.
Alvin
menoleh, terkekeh pelan, “Ayo masuk.”
“Serius
mau masuk ke sana? Kita pasti jadi pusat perhatian,” balas Sivia melirik
pakaiannya dan Alvin.
“Lo kan
udah biasa malu-maluin. Yuk!”
Sumpah,
Sivia ingin mencekik leher Alvin sekarang juga.
“Untung
sayang,” gumam Sivia.
Terpaksa
Sivia menuruti titah Alvin. Seperti dugaannya, banyak pasang mata yang
memperhatikan mereka berdua. Alvin tampak cuek—sudah biasa kan? Berbeda dengan
Sivia yang jengah ditatap demikian.
“Mau
makan apa?” tanya Alvin mengalihkan perhatian.
“Sama
kayak elo deh.”
Alvin
mengangguk kemudian mengatakan pesananya pada waiters. Setelah memastikan pesanan Alvin, wanita itu berlalu.
***
Sudah
satu jam Gabriel berada di ruang tamu Sivia. Tante Desi pun juga masih sibuk di
dapur. Entahlah apa yang dilakukan wanita itu. Tadi mereka sempat mengobrol
sebentar lalu Gabriel ditinggalkan lagi karena pekerjaannya belum selesai.
Pemuda
itu melirik ke arah jam dinding dan mendesah lagi. Dia sudah mengabarkan Rio
dan Ify bahwa Sivia belum juga pulang. Kata Ify, dia pun tidak tahu Sivia pergi
ke mana karena tidak mengatakan apa-apa. Ify sudah mencoba spam chat tapi tak ada respon apapun dari Sivia.
“Sivia
ke mana sih itu anak? Tante telpon juga nggak diangkat.”
Gabriel
menegakkan posisi duduknya ketika Desi tiba.
“Sudah
selesai, Tante?” tanya Gabriel.
“Iya,
sudah. Maaf ya jadi Tante tinggal. Tadi sore ada arisan jadinya numpuk semuanya
di dapur,” curhat Tante Desi.
“Nggak
pa-pa kok, Tante,” sahut Gabriel sopan.
Desi
lantas duduk di sofa seberang. Gabriel tampak sedikit canggung karena ini
pertama kalinya ia hanya berdua dengan mamanya Sivia. Biasanya masih ada Sivia
yang mencairkan suasana.
“Ada
yang penting banget ya, Yel?” tanya
Desi.
Disodori
pertanyaan seperti itu membuatnya gusar. Tidak mungkin kan kalau Gabriel
menjawab bahwa ia akan menembak putrinya?
“Hmm
nggak begitu penting kok, Tan,” jawab Gabriel membuat Desi tersenyum.
Wanita
itu tahu kalau Gabriel tengah berbohong. Memangnya laki-laki mana yang rela
menunggu hingga satu jam lebih hanya untuk urusan tidak penting? Toh Desi diam
saja, memaklumi bahwa ini bukan urusannya.
“Kamu
temenan sama Ify juga?” tanya Desi lagi.
Gabriel
menganggukkan kepalanya, “Iya. Sudah sahabat deket meskipun belum lama kenal.
Kata Sivia, Ify deket juga sama Tante ya?”
“Begitu
deh. Maklum, bisa dibilang tetanggaan tapi nggak deket banget rumahnya. Waktu pindah
ke sini itu Tante sama Om pertama kali kenalnya sama orang tua Ify. Waktu itu
Tante sama mamanya Ify sama-sama lagi hamil. Terus...”
Desi
lantas menceritakan sejarah kedekatan antara Sivia dan Ify. Sesekali Gabriel
tertawa mendengar celetukan ajaib Desi, ia baru tahu kalau Desi lebih
ceplas-ceplos dibandingkan dengan Sivia. Begitu banyak informasi yang
didapatkan Gabriel dari wanita di hadapannya.
Mengenai
Sivia yang pernah jadi preman sewaktu SD, keisengan Sivia yang membuat Desi
ditegur ibu-ibu karena anaknya jadi korban kejahilan Sivia, tentang Ify yang
melarang Sivia berbuat nakal tapi ujung-ujungnya ikut juga, dan masih banyak
lagi. Yang paling membuatnya terenyuh, Sivia pernah nangis semalaman karena Ify
sakit dan tidak bisa masuk sekolah. Gadis itu sampai membolos tiga hari untuk
menemani Ify. Dan senakal apapun Sivia, Ify selalu membela sekalipun itu di
depan Tante Desi. Dari situ Gabriel tahu betapa dekatnya mereka.
“Mereka
nggak pernah berantem ya, Tante?” tanya Gabriel teringat ucapan Sivia mengenai
dia yang tak pernah bertengkar dengan Ify sama sekali.
Desi
menggeleng, “Setahu Tante sih nggak pernah.”
“Mereka
tuh akrab banget sampai sering dikira anak kembar. Apalagi Sivia nggak punya
sodara, jadi kemana-mana sama Ify. Kadang sama Ozy juga, adiknya Ify. Sifat
Sivia sama Ozy kan nyaris sama,” lanjut wanita itu.
“Tante
jadi kayak punya dua anak perempuan dong,” kekeh Gabriel.
“Nggak
juga. Kalau Ify emang sih anak perempuan banget, tapi Sivia enggak. Dulu nih
tiap dipakaiin rok pasti jalannya masih ngangkang. Beneran kayak anak cowok.
Makanya jadi preman.”
Detik
itu tawa Gabriel meledak membayangkan Sivia kecil yang memakai rok tapi
jalannya seperti preman.
***
“Kenyang,”
gumam Sivia meletakkan garpu dan sendoknya.
Selama
menghabiskan makanan, tidak obrolan sama sekali. Alvin juga nampak fokus dan
tidak berminat bicara. Sivia pun akhirnya memilih diam, meskipun dalam hati
kesal juga diabaikan.
Setelah
menyeruput orange juice-nya, Sivia
menatap Alvin. Pemuda itu sudah selesai makan sejak semenit yang lalu.
“Sivia,
mau nggak jadi pacar gue?”
Sivia
nyaris tersedak ludahnya sendiri saat mendengarnya. Ia tak salah kan? Alvin
baru saja menembaknya? Sumpah? Dan reaksi Sivia benar-benar shock, terkejut, apalah. Tidak angin,
tidak ada hujan, tiba-tiba Alvin melontarkan pertanyaan yang membuat jantungnya
nyaris copot.
“Sivia,”
kata Alvin membuyarkan lamunan gadis itu.
“Lo lagi
bercanda ya?” tanya Sivia gugup.
Alvin
mendesah kasar, “Lo pikir gue tipe orang yang suka diajak bercanda?”
Sivia
menggelengkan kepala seraya mengerucutkan bibir. Ya, dia tahu kalau Alvin bukan
Gabriel yang punya selera humor recehan seperti dirinya. Tapi...
“Gue
ulang sekali lagi. Lo mau nggak jadi pacar gue?” tanya Alvin memberi sedikit
tekanan pada setiap kata yang diucapkannya.
Mendadak
gadis itu sulit berpikir. Ini yang dinantikannya. Jadi, apakah ada alasan untuk
menolak? Sivia menganggukkan kepala dengan senyum terkembang. Alvin ikut
tersenyum.
“Jadi,
sekarang kita pacaran ya,” kekeh Sivia.
“Iya,”
sahut Alvin ikut terkekeh.
Detik
berikutnya Sivia sedikit kecewa karena ekspektasi memang hanya sekedar
ekspektasi. Dia pikir jika Alvin menembaknya maka akan lebih romantis dari
Cakka. Nyatanya, Alvin hanya melemparkan sebuah pertanyaan yang membuat Sivia
hanya sekedar menjawab ya atau tidak. Setelah itu sunyi. Tidak ada pelukan
hangat, tidak ada kata-kata romantis, dan tidak ada apapun yang pernah
dimimpikannya.
“Kenapa?”
tanya Alvin dengan alis terangkat.
Sivia
menggeleng, membuang pikiran-pikiran negatifnya. Yang ia butuhkan bukan semua
ekspektasi itu, melainkan sosok Alvin di sampingnya.
“Gue
seneng,” ujarnya jujur.
Tak ada
kebohongan. Dia memang bahagia karena akhirnya dia bisa merasakan apa yang
dialami Agni. Cinta yang berbalas. Bukan cinta sepihak.
“Mulai
sekarang, jangan deket-deket sama cowok manapun ya. Gue nggak suka,” kata Alvin
mulai serius.
Sivia
mengernyit tak mengerti, “Emang gue deket-deket sama siapa?”
“Gabriel,”
jawab Alvin singkat dan padat.
“Astagaaa
lo cemburu sama Gabriel? Sumpah ini lucu banget,” pekik Sivia tak dapat menahan
tawa.
Selanjutnya,
hati Sivia menghangat. Ia tidak akan menuntut Alvin harus seperti Cakka, sebab
Alvin adalah Alvin. Di balik ketidakpedulian pemuda itu, ternyata Alvin cemburu
hanya karena kedekatannya dengan Gabriel. Mendadak perut Sivia seperti terisi
ribuan kupu-kupu!
***
“IFYYY!!! AAAA GUE SENENG BANGEEETTTT
SUMPAAAHHH!!!!”
Ify
menjauhkan ponselnya dari telinga mendengar teriakan histeris Sivia. Ia lantas
memutuskan untuk menekan tombol loud speaker demi berjaga-jaga—siapa tahu
telinganya langsung bermasalah.
“Apaan
sih lu? Nggak perlu teriak! Lo ngomong biasa aja kayak toa kampret,” protes
Ify.
Sepertinya
Sivia tidak mempedulikan ucapan Ify dan tidak tersinggung sama sekali karena
dia benar-benar bahagia. Hanya karena sudah resmi dengan Alvin.
“AKHIRNYA GUE JADIAN SAMA ALVIN! SUMPAH INI
KEREN BANGET! DAN TAHU???? LO ORANG PERTAMA YANG GUE KASIH TAHU!! HUAAAHHH I LOVE YOU IPI!”
“Hah?”
Mulut
Ify terbuka dengan sempurna. Matanya terbelalak lebar. Ia berharap salah
dengar. Bukankah yang menembak Sivia itu Gabriel? Mengapa dia jadian dengan
Alvin? Masih diliputi banyak pertanyaan, Ify menahan diri untuk tidak
menyebut-nyebut nama Gabriel. Apalagi Sivia terdengar... sangat sangat bahagia?
Ify
mendesah kasar, otaknya benar-benar tertuju pada sosok Gabriel yang mungkin
kini patah hati. Pasti patah hati.
“Kenapa
bisa?” tanya Ify.
Detik
selanjutnya Sivia menceritakan kronologinya. Bagaimana Alvin tiba-tiba Alvin
datang menjemputnya, mengaja nge-date,
dan menembaknya. Bodohnya, Sivia tak bisa mengerem cerita mengenai Alvin yang
membukakan pintu mobil untuknya dan memeluknya singkat.
“.... Jangan godain gue! Awas aja ya lu godain
gue!”
Ify
tersenyum tipis, “Nggak kok.”
“KAK IFY
ADA TAMU!”
Ify
menoleh ke ambang pintu dimana ada Ozy di sana. Pemuda kecil itu tampak kesal,
sepertinya sudah sedari tadi memanggil.
“Vi, ada
tamu nih. Bonyok lagi keluar kota. Ceritanya lanjut besok ya!” interupsi Ify.
“Yaaahhh. Iya deh.”
“Bye, Via!” seru Ify kemudian memutuskan
sambungan telepon.
“Ada
siapa?” tanya Ify pada Ozy.
Ozy
mengangkat bahunya, “Yang pernah berangkat bareng elo sama Kak Sivia. Tapi
bukan Kak Rio.”
Dan Ify
langsung bisa menebak bahwa itu adalah Gabriel. Buru-buru dia menuruni tangga
setelah memastikan Ozy akan sibuk dengan PS terbarunya. Dia tidak mau Ozy
mendengar percakapannya dengan Gabriel, takut jika Ozy akan keceplosan di depan
Sivia.
Benar
saja, Gabriel duduk di ruang tamu dengan kepala tertunduk.
“Gabriel,”
panggil Ify membuatnya mendongak.
Ify
terhenyak mendapati raut wajah Gabriel yang tampak sendu. Ia tahu penyebabnya.
Apa ia tahu kalau Sivia sudah resmi dengan Alvin?
“Hai,
Fy. Sori gue ke sini,” balasnya dengan seulas senyum yang dipaksakan.
“Tadi
Sivia telepon gue. Dia bilang kalau...”
Ucapan
Ify menggantung. Tak tahu apakah kabar mengenai Sivia-Alvin harus
disampaikannya atau tidak. Ia lantas memutuskan untuk menyampaikannya.
“Dia
jadian sama Alvin,” lanjut Ify pelan.
Detik
berikutnya Gabriel mengacak rambut dengan frustasi. Ify lantas paham bahwa
pemuda itu bukannya hanya patah hati. Ia hancur. Berantakan.
***
Gabriel
melirik jam dinding yang tergantung di dekat jendela.
“Hm,
Tante. Kayaknya saya pulang aja. Sudah lama juga saya di sini. Kalau Sivia
pulang, tolong jangan bilang kalau saya ke sini ya, Tan.”
Sudah
sekitar dua jam lebih Gabriel di sini. Ia merasa tidak enak pada Desi. Maka
dari itu, Gabriel menyerah dan memutuskan untuk pamit. Untungnya Desi memaklumi
dan mengiyakan permintaan Gabriel.
“Selamat
malam, Tante. Saya pulang dulu,” ujar Gabriel.
“Malam.
Kamu hati-hati ya,” balas Desi.
Gabriel
mengangguk. Kemudian ia masuk ke dalam mobilnya. Saat mobil itu melaju, tanpa
sengaja ia melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah Sivia melalui spionnya.
Ia yakin Sivia berada di dalam mobil itu. Dengan sigap Gabriel menginjak rem
dan berinisiatif kembali ke rumah tersebut.
Akan
tetapi, gerakan Gabriel terhenti saat menyadari bahwa itu adalah mobil Alvin.
Gabriel terus mengawasi. Alvin tampak keluar lalu berjalan membukakan pintu
penumpang.
“Sivia,”
gumam Gabriel terus memperhatikan.
Detik
berikutnya, tiba-tiba Alvin memeluk Sivia. Hati Gabriel serasa diremas pelan.
Nyeri. Pemuda itu membuang pandangannya ke arah bucket mawar yang rencananya akan digunakan sebagai properti
menembak Sivia.
“Shit. Shit. Shit,” umpat Gabriel.
Ia
lantas melajukan mobilnya ke rumah Ify. Kini, hanya gadis itu tujuannya. Sebab
dia yang paling mengerti perasaannya untuk Sivia seperti apa.
***
“Dia
jadian sama Alvin.”
Empat
kata itu membuat pertahanan Gabriel runtuh. Pantas saja Alvin dan Sivia
berpelukan. Pantas saja Alvin yang cuek itu membukakan pintu untuk Sivia.
Pantas saja ia bisa melihat mata Sivia bersinar bahagia.
“Gue
lihat semuanya, Fy,” gumam Gabriel terdengar menyedihkan.
“Yel...”
“Gue
lihat Alvin bukain pintu buat Sivia. Gue lihat mereka pelukan. Yang paling
menyedihkan, gue bisa lihat betapa bahagianya Sivia meskipun dari jarak jauh.”
Ify
tidak tahu harus berbuat apa. Dia terbiasa dijadikan tempat curhat, tapi dengan
Gabriel... rasanya berbeda. Dia seperti melihat dirinya sendiri saat kehilangan
Ray. Sakit. Kecewa. Sedih. Tapi berusaha tegar.
“Ini
pertama kalinya Sivia jatuh cinta,” lirih Ify.
Dia
benci berada di posisi seperti ini. Saat ia merasa tak berguna. Ify menyesal
mendukung keputusan Gabriel, ia menyesal membiarkan Gabriel merasakan pahit
yang pernah dialaminya.
“Bukan
salah lo,” ujar Gabriel seolah menangkap gurat penyesalan di wajah Ify.
“Memang
gue yang mau kok,” imbuhnya.
Ify
mendesah, “Gue tahu rasanya.”
“Makanya
gue ke sini. Kalau gue datengin Rio, gue yakin dia bakal kasih gue tatapan yang
bikin gue sungkan. Sementara lo mandang gue lebih manusiawi,” ceplos Gabriel.
“Yel,
gue tahu lo—“
“Iya,
Fy. Lo pasti tahu. Please, jangan dijabarin ya. Gue nggak mau ngomongin apapun
tentang itu,” potong Gabriel membuat
Ify bungkam.
Sepertinya
Gabriel hanya butuh teman.
“Iya,”
cicit Ify.
Malam
itu dihabiskan Ify dan Gabriel membicarakan hal-hal lain. Ify tahu yang saat
ini diinginkan Gabriel hanyalah mengobrol dan mengobrol. Sederhananya, Gabriel
tidak mau mengingat apapun yang terjadi sebelumnya seolah dari awal pun
tujuannya adalah berada di rumah ini.
Ia tidak
mau mengingat Sivia. Sama sekali. Jadi, sebisa mungkin Ify tidak
menyebut-nyebut nama Sivia.
***
Bersambung...
Untuk
part ini kayaknya saya nggak begitu ngarepin komentar. Tapi kalau bersedia
silakan komentar(?) kalau bisa yang berfaedah -_-
1 komentar:
wow info yang menarik nih kak.. kalau ingin tahu tentang cara membuat website yukk disini saja.. terimakasih...
Posting Komentar