"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Jumat, 11 Juli 2014

Cerpen - Gara-gara Nia



Tittle: Gara-gara Nia
Author: Fanny Salma

NB: Jangan dicopast please.


Sedari tadi, seorang pemuda terfokus pada acara televisi di hadapannya. Sesekali pemuda itu memasukkan potongan kue ke dalam mulutnya. Yang dinantikan dalam televisi itu pun muncul juga. Terlihat empat gadis remaja berpakaian ala pink tengah mengobrolkan sesuatu.
Dari ke-empat gadis itu, pandangannya terfokus pada gadis yang sedari tadi hanya berdiam—bahkan jarang disorot—dan tanpa sadar, pemuda itu mengomel saat camera teralih pada sosok lain. Matanya menatap lekat ke arah televisi sambil tersenyum malu-malu. Tak segan-segan, dia mendekatkan diri ke depan televisinya persis untuk melihat lebih jelas. Padahal, tak ada yang menghalangi pandangannya sama sekali.
Lagi-lagi, senyum malu-malu itu tak pudar. Malah terihat lebih jelas. Tentu saja itu adalah efek dari menyaksikan objek yang masih sama seperti tadi.
“Makin cantik, kamu,” gumamnya.
“Untung nggak ada orang di rumah. Mati deh kalau ketahuan nonton sinetron,” lanjutnya tanpa bisa mengalihkan pandangan dari televisi.
Tak lama kemudian, acara itu berakhir. Wajah pemuda itu pun berubah.
“Yahhh kok udahan? Gue masih mau lihat Ify! Ah nggak asik sumpah! Awas aja gue sumpahin sinetronnya nggak laku lagi!” dumelnya.
Dia pun sengaja mematikan televisinya.
Tepat setelah itu, pintu terbuka dan membuatnya gelagapan. Segera pemuda tersebut menyalakan kembali televisinya dan berpura-pura menonton acara talkshow.
Seorang pria dan wanita serta satu pemuda lain masuk dan duduk di dekat pemuda tersebut. Mereka nampak lelah dengan semua belanjaan yang sekarang bertengger di atas meja.
“Nggak ada yang ke rumah?” tanya wanita tersebut.
“Nggak ada, Ma.”
“Kamu nggak kenapa-napa kan kami tinggal tadi? Habisan Papa nggak enak badan jadi yang nyetir mobil ya kakakmu.”
“Nggak kok, Ma,” ujarnya sambil melirik sang Papa yang sudah tertidur pulas di atas sofa ruang tamu.
“Rio! Rio!!!”
Pemuda yang sedang menyaksikan acara talkshow itu pun mendengus sebal. “Apa sih Kak  Acel? Budek!”
“Besok jadi ketemu Gabriel sama Patton?” tanya pemuda yang dipanggil Acel.
“Jadi. Besok gue berangkat sendiri tapi,” jawab Rio.
“Yah gue mau ikutan padahal,” keluh Acel.
“Ogah!!!”
Setelah berkata demikian, Rio bergegas menuju kamarnya sambil menghindari lemparan bantal yang dilakukan Acel. Hal yang membuat Manda—mama mereka—menggelengkan kepalanya.
***
Rio menenggelamkan kepalanya di bawah bantal akibat suara berisik yang berasal dari kamar Acel. Dia heran. Padahal, kakaknya itu baru saja pergi mengantarkan kedua orang tua mereka yang entah ke mana namun tak capek juga. Tak sampai di situ, suara permainan gitar asal-asalan itu tembus ke telinganya.
Dengan sebal, Rio menyentakkan bantalnya dan mencari earphone di dekat ranjangnya. Dapat! Segera disambungkan earphone tersebut ke ponselnya. Sebuah lagu pun menggantikan suara bising tersebut.
“Ah emang cuma Ify yang bisa bikin telinga adem,” celetuknya.
Layar ponsel tersebut menampilkan tulisan ‘Because You Loved Me – Ify Alyssa (Cover)’ secara utuh. Rio pun tersenyum membacanya.
“Lagu favorite nih. Gue curiga, ini pasti buat gue deh,” ceplos Rio entah pada siapa.
Kemudian, dia meletakkan ponsel tersebut di samping kepalanya dan meraih tablet ber-flip cover hitam. Pemuda itu lantas menjelajah ke dunia maya seperti malam-malam sebelumnya.
Dia tersenyum tipis saat membaca sebuah tweet teratas yang di-publish sekitar lima belas menit yang lalu. Sebuah tweet dari seseorang yang sedang dikaguminya. Lebih-lebih, wajahnya sempat disaksikan di televisi dua jam yang lalu.
@ifyalyssa hallo
Jemari Rio pun mulai bergerak.
@riostevadit Hallo ibu-ibu karlota. Udah malem. Tidur sana. Ckckck
Rio tertawa kecil setelah membuat tweet yang sebenarnya kode untuk gadis itu. Sayangnya, para fans-nya lah yang mempunyai kepercayaan tinggi kalau tweet tersebut untuk mereka. Lebih-lebih Rio menyebutkan kalimat ‘ibu-ibu karlota’. Hal itu hanya untuk menutup-nutupi semuanya.
“Kapan ya bisa ketemu lagi?” gumam Rio.
Seperti biasa, pemuda itu melaksanakan aksi stalking-nya.
“Susah jatuh cinta sama elo. Mau jadi stalker twitter doang susahnya minta ampun. Apalagi jadi stalker hati lo? Nasib nasib, ckckck,” kesal Rio saat mengetahui hanya itu tweet terbaru Ify.
“Sebenernya lo udah jadian belum sih? Apa jangan-jangan gosip lo sama Dimas Anggara itu beneran? Oh no! Jangan sampai!”
***
Rio mematut dirinya di depan cermin. Setelah puas, pemuda itu segera keluar dari kamarnya. Tak lupa dia membawa ponsel dan tabletnya seperti biasa. Ya. Dua benda itu tak bisa dipisahkan darinya sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya, sejak dia tak bisa melihat gadis kesayangannya secara nyata.
“Ma, Rio berangkat!” seru pemuda itu.
“Hati-hati.”
“Sip!!!”
Saat akan keluar rumah, pemuda itu dihadang oleh Acel.
“Oleh-oleh!” todongnya.
“OGAH!” tolak Rio mentah-mentah.
“Oleh-oleh atau gue kasih tahu ke semua orang kalau semalem elo nonton Diam-Diam Suka dan ngelihatin Ify sampai senyum-senyum nggak jelas?”
Mata Rio sontak terbelalak lebar. Dari mana Acel tahu?
“Heh! Ngarang lo!” seloroh Rio berusaha menyembunyikan kekagetannya.
“Atau soal semalem lo dengerin lagu coverannya Ify tiga puluh lima kali?”
Lagi-lagi Rio terkesiap mendengarnya. “Kok elo—“
Ucapan Rio terputus saat kakaknya itu mengacungkan sebuah camera digital. Sekarang dia mengerti. Acel memasangnya tanpa Rio sadari.
“Sialan!”
Acel tergelak dan sengaja memutar video semalam. Rio yang menyaksikan wajah konyolnya itu mendelik sebal.
“Terus soal lagu coveran? Lo tahu dari mana? Lo rekam juga?” tanya Rio masih sebal.
“Tadi pagi gue ke kamar lo. Lo masih merem terus gue cek ponsel lo dan masih nge-play lagu itu. berdasarkan hitungan gue, lo dengerin lagu itu sebanyak yang gue sebutin tadi. Puas adikku?” jawab Acel dengan seringai lebarnya.
“Oke. Kirim ke bbm pesenan lo apa aja.”
Acel lantas berseru senang dan membiarkan adiknya pergi.
Rio pun segera mencari taksi. Sebab, umurnya belum cukup untuk mengendarai motor atau pun mobil secara bebas. Meski mempunyai ayah seorang TNI, Rio tak ingin bersikap semena-mena. Dia mengikuti aturan yang ada.
“Ngebut pak!” seru Rio setelah memberitahukan tempat yang ditujunya.
Taksi itu pun melaju menyusuri kota Jakarta.
***
Dua orang pemuda yang dicari Rio akhirnya berhasil ditemukannya. Ditambah lagi, ada gadis kecil yang tengah duduk menyantap es krim. Rio pun memilih duduk di seberang gadis keci itu.
“Kok lama?” tanya salah seorang dari mereka.
“Biasa. Ada penjajah di pagi hari,” seloroh Rio yang lantas menuliskan pesanannya.
“Acel?” tebak pemuda lainnya.
“Yoi! Emang siapa lagi?”
Gabriel dan Patton (ya, mereka) tergelak. Memang, bukan hal baru lagi kalau mendengar umpatan Rio mengenai sosok kakaknya itu. Meski dari segi wajah, Acel terlihat lebih kalem, namun sebenarnya sebaliknya. Acel selalu menjahili Rio dengan tingkah-tingkah usilnya yang kadang membuat Rio marah-marah seharian.
“Gimana jadinya?” tanya Rio.
“Gini...”
Ucapan Patton terhenti karena pemuda itu menyeruput minumannya terlebih dahulu. Setelah tenggorokannya terasa basah, barulah pemuda tersebut melanjutkan ucapannya.
“Gue punya konsep yang moga-moga aja keren.”
“Apaan emang?” tanya Gabriel.
“Divo!” seru Patton mantap.
Gabriel dan Rio—dua pemuda yang kata orang mempunyai mimik muka yang mirip—saling berpandangan dan mengernyit heran. Patton yang mengerti akan ekspresi itu pun mulai menjelaskan secara detail.
“Semacam icil divo dulu tuh. Nanti kita cover lagu yang pernah dinyanyiin icil divo tapi dalam bentuk rekaman. Jadi, ada video clip-nya!” jelas Patton.
“Nggak ribet tuh?” celetuk Gabriel.
“Nah bener tuh kata Gabriel!” timpal Rio.
“Nggak akan. Gimana?”
“Gue setuju aja sih,” ujar Gabriel—tanpa dosa.
“Lah lo ngapain protes tadi?” dengus Rio.
“Tapi lo setuju nggak, Yo?” tanya Gabriel pada Rio.
“Setuju,” jawab Rio.
“Ya elo ngapain ngebenerin gue tadi?”
Patton geleng-geleng mendengarnya. Rasanya, dia sedang berada di zona mandi bola dimana ada dua anak laki-laki yang bertengkar hanya karena hal tidak penting.
Setelah membahas semuanya, tiga pemuda itu pun menghabiskan makanan mereka.
“Eh Nia main apaan sih?” tanya Rio yang memperhatikan gadis kecil yang tak lain adalah adik Gabriel.
“Main tembak-tembakan di hapenya bang Iyel,” jawab Nia.
Rio yang merasa tertarik pun pindah tempat duduk di samping gadis itu.
“Anak cewek main tembak-tembakan. Kalau gede bakalan banyak yang nembak deh pasti,” celetuk Patton.
Gabriel pun menimpali. Begitu seterusnya hingga mereka asik sendiri.
Rio sama sekali tak menggubris dua pemuda itu. Dia justru akrab dengan Nia. Pemuda itu membimbing Nia dalam memainkan game-nya. Ternyata, mudah sekali dekat dengan gadis kecil ini.
“Ah udah ah, Nia capek.”
“Oh ya udah. Terus mau ngapain?” tanya Rio.
Nia pun mengambil tablet milik abangnya. “Nih aku kasih lihat foto-foto aja ya, Kak,” usul Nia yang langsung disetujui oleh Rio.
Ternyata gadis itu membuka foto-foto semasa Idola Cilik. Rio pun nampak berpikir, kenapa Gabriel masih sempat memindahkan foto-foto ini ke tabletnya? Namun pikiran itu ditepis saat seorang gadis yang amat dikenalnya memenuhi layar tablet Gabriel.
“Ini ada Nia loh, Kak,” ucap Nia menunjuk dirinya.
“Wah... iya,” komentar Rio.
“Asem! Ini udah mirip foto keluarga. Mana Nia di tengah-tengah Ify sama Gabriel lagi! Nggak bener nih, berasa ngelihat Angel jadi mertua, Ify sama Gabriel suami-istri terus anaknya si Nia sama Deva. Kamfret!” dumel Rio dalam hati.
“Nia pernah deket sama Kak Ify loh,” pamer Nia dengan wajah polosnya.
“Terus kenapa?” tanya Rio bingung.
“Ih kakak nih! Nggak pernah nonton tv ya? Kak Ify kan sering ada di tv. Nggak kayak abang tuh,” jawab Nia dengan ekspresi menggemaskan.
Rio menggaruk tengkuknya. “Sering liat lah. Cewek gue tuh, eh calon deng,” ujar Rio dalam hati—lagi.
“Oh iya iya. Kak Ify asik ya orangnya?” tanya Rio yang mulai mengambil kesempatan untuk mengorek-ngorek info tentang Ify.
“Banget! Nia deketnya sama Kak Ify, terus Kak Alvin juga. Mereka berdua juga deket. Nia tahu kalo Kak Alvin sama Kak Ify itu sering sms-an. Kadang bercandaan juga,” cerocos Nia yang mulai bawel.
“WHAT? ALVIN SAMA IFY?! NO!!!” jerit Rio yang lagi-lagi tertahankan.
“Nia pengen mereka pacaran. Cocok. Eh tapi sama abang juga nggak pa-pa. Jadi kan Nia bisa pamer ke temen-temen, hehe.”
“Nggak bisa!” seru Rio tiba-tiba.
Patton dan Gabriel yang awalnya asik pun mengalihkan pandangan mereka.
“Apanya yang nggak bisa, Yo?” selidik Patton.
“Ah enggak kok, cuma lagi main-main aja,” jawab Rio gelagapan.
“Kita kan udah berhenti main, Kak. Tadi Nia kan cuma bilang pengen abang pacaran sama Kak Ify,” sahut Nia polos.
Rio sontak menepuk keningnya. Gabriel dan Patton yang mendengar penjelasan Nia pun sekarang menatapnya tajam.
“Mati gue!”
***

0 komentar:

Posting Komentar