Tittle: Gara-gara Nia
Author: Fanny Salma
NB: Jangan dicopast please.
Sedari
tadi, seorang pemuda terfokus pada acara televisi di hadapannya. Sesekali
pemuda itu memasukkan potongan kue ke dalam mulutnya. Yang dinantikan dalam
televisi itu pun muncul juga. Terlihat empat gadis remaja berpakaian ala pink
tengah mengobrolkan sesuatu.
Dari
ke-empat gadis itu, pandangannya terfokus pada gadis yang sedari tadi hanya
berdiam—bahkan jarang disorot—dan tanpa sadar, pemuda itu mengomel saat camera
teralih pada sosok lain. Matanya menatap lekat ke arah televisi sambil
tersenyum malu-malu. Tak segan-segan, dia mendekatkan diri ke depan televisinya
persis untuk melihat lebih jelas. Padahal, tak ada yang menghalangi
pandangannya sama sekali.
Lagi-lagi,
senyum malu-malu itu tak pudar. Malah terihat lebih jelas. Tentu saja itu
adalah efek dari menyaksikan objek yang masih sama seperti tadi.
“Makin
cantik, kamu,” gumamnya.
“Untung
nggak ada orang di rumah. Mati deh kalau ketahuan nonton sinetron,” lanjutnya
tanpa bisa mengalihkan pandangan dari televisi.
Tak lama
kemudian, acara itu berakhir. Wajah pemuda itu pun berubah.
“Yahhh
kok udahan? Gue masih mau lihat Ify! Ah nggak asik sumpah! Awas aja gue
sumpahin sinetronnya nggak laku lagi!” dumelnya.
Dia pun
sengaja mematikan televisinya.
Tepat
setelah itu, pintu terbuka dan membuatnya gelagapan. Segera pemuda tersebut
menyalakan kembali televisinya dan berpura-pura menonton acara talkshow.
Seorang
pria dan wanita serta satu pemuda lain masuk dan duduk di dekat pemuda
tersebut. Mereka nampak lelah dengan semua belanjaan yang sekarang bertengger
di atas meja.
“Nggak
ada yang ke rumah?” tanya wanita tersebut.
“Nggak
ada, Ma.”
“Kamu
nggak kenapa-napa kan kami tinggal tadi? Habisan Papa nggak enak badan jadi
yang nyetir mobil ya kakakmu.”
“Nggak
kok, Ma,” ujarnya sambil melirik sang Papa yang sudah tertidur pulas di atas
sofa ruang tamu.
“Rio!
Rio!!!”
Pemuda
yang sedang menyaksikan acara talkshow
itu pun mendengus sebal. “Apa sih Kak
Acel? Budek!”
“Besok
jadi ketemu Gabriel sama Patton?” tanya pemuda yang dipanggil Acel.
“Jadi.
Besok gue berangkat sendiri tapi,” jawab Rio.
“Yah gue
mau ikutan padahal,” keluh Acel.
“Ogah!!!”
Setelah
berkata demikian, Rio bergegas menuju kamarnya sambil menghindari lemparan
bantal yang dilakukan Acel. Hal yang membuat Manda—mama mereka—menggelengkan
kepalanya.
***
Rio menenggelamkan
kepalanya di bawah bantal akibat suara berisik yang berasal dari kamar Acel.
Dia heran. Padahal, kakaknya itu baru saja pergi mengantarkan kedua orang tua
mereka yang entah ke mana namun tak capek juga. Tak sampai di situ, suara
permainan gitar asal-asalan itu tembus ke telinganya.
Dengan
sebal, Rio menyentakkan bantalnya dan mencari earphone di dekat ranjangnya. Dapat! Segera disambungkan earphone tersebut ke ponselnya. Sebuah
lagu pun menggantikan suara bising tersebut.
“Ah
emang cuma Ify yang bisa bikin telinga adem,” celetuknya.
Layar
ponsel tersebut menampilkan tulisan ‘Because You Loved Me – Ify Alyssa (Cover)’
secara utuh. Rio pun tersenyum membacanya.
“Lagu favorite nih. Gue curiga, ini pasti buat
gue deh,” ceplos Rio entah pada siapa.
Kemudian,
dia meletakkan ponsel tersebut di samping kepalanya dan meraih tablet ber-flip cover hitam. Pemuda itu lantas
menjelajah ke dunia maya seperti malam-malam sebelumnya.
Dia
tersenyum tipis saat membaca sebuah tweet
teratas yang di-publish sekitar lima
belas menit yang lalu. Sebuah tweet
dari seseorang yang sedang dikaguminya. Lebih-lebih, wajahnya sempat disaksikan
di televisi dua jam yang lalu.
@ifyalyssa
hallo
Jemari
Rio pun mulai bergerak.
@riostevadit
Hallo ibu-ibu karlota. Udah malem. Tidur sana. Ckckck
Rio
tertawa kecil setelah membuat tweet yang sebenarnya kode untuk gadis itu.
Sayangnya, para fans-nya lah yang
mempunyai kepercayaan tinggi kalau tweet tersebut untuk mereka. Lebih-lebih Rio
menyebutkan kalimat ‘ibu-ibu karlota’. Hal itu hanya untuk menutup-nutupi
semuanya.
“Kapan
ya bisa ketemu lagi?” gumam Rio.
Seperti
biasa, pemuda itu melaksanakan aksi stalking-nya.
“Susah
jatuh cinta sama elo. Mau jadi stalker
twitter doang susahnya minta ampun. Apalagi jadi stalker hati lo? Nasib nasib, ckckck,” kesal Rio saat mengetahui
hanya itu tweet terbaru Ify.
“Sebenernya
lo udah jadian belum sih? Apa jangan-jangan gosip lo sama Dimas Anggara itu
beneran? Oh no! Jangan sampai!”
***
Rio
mematut dirinya di depan cermin. Setelah puas, pemuda itu segera keluar dari
kamarnya. Tak lupa dia membawa ponsel dan tabletnya seperti biasa. Ya. Dua
benda itu tak bisa dipisahkan darinya sejak beberapa tahun lalu. Tepatnya,
sejak dia tak bisa melihat gadis kesayangannya secara nyata.
“Ma, Rio
berangkat!” seru pemuda itu.
“Hati-hati.”
“Sip!!!”
Saat
akan keluar rumah, pemuda itu dihadang oleh Acel.
“Oleh-oleh!”
todongnya.
“OGAH!”
tolak Rio mentah-mentah.
“Oleh-oleh
atau gue kasih tahu ke semua orang kalau semalem elo nonton Diam-Diam Suka dan
ngelihatin Ify sampai senyum-senyum nggak jelas?”
Mata Rio
sontak terbelalak lebar. Dari mana Acel tahu?
“Heh!
Ngarang lo!” seloroh Rio berusaha menyembunyikan kekagetannya.
“Atau
soal semalem lo dengerin lagu coverannya Ify tiga puluh lima kali?”
Lagi-lagi
Rio terkesiap mendengarnya. “Kok elo—“
Ucapan
Rio terputus saat kakaknya itu mengacungkan sebuah camera digital. Sekarang dia mengerti. Acel memasangnya tanpa Rio
sadari.
“Sialan!”
Acel
tergelak dan sengaja memutar video semalam. Rio yang menyaksikan wajah
konyolnya itu mendelik sebal.
“Terus
soal lagu coveran? Lo tahu dari mana? Lo rekam juga?” tanya Rio masih sebal.
“Tadi
pagi gue ke kamar lo. Lo masih merem terus gue cek ponsel lo dan masih nge-play lagu itu. berdasarkan hitungan gue,
lo dengerin lagu itu sebanyak yang gue sebutin tadi. Puas adikku?” jawab Acel
dengan seringai lebarnya.
“Oke.
Kirim ke bbm pesenan lo apa aja.”
Acel
lantas berseru senang dan membiarkan adiknya pergi.
Rio pun
segera mencari taksi. Sebab, umurnya belum cukup untuk mengendarai motor atau
pun mobil secara bebas. Meski mempunyai ayah seorang TNI, Rio tak ingin
bersikap semena-mena. Dia mengikuti aturan yang ada.
“Ngebut
pak!” seru Rio setelah memberitahukan tempat yang ditujunya.
Taksi
itu pun melaju menyusuri kota Jakarta.
***
Dua
orang pemuda yang dicari Rio akhirnya berhasil ditemukannya. Ditambah lagi, ada
gadis kecil yang tengah duduk menyantap es krim. Rio pun memilih duduk di
seberang gadis keci itu.
“Kok
lama?” tanya salah seorang dari mereka.
“Biasa.
Ada penjajah di pagi hari,” seloroh Rio yang lantas menuliskan pesanannya.
“Acel?”
tebak pemuda lainnya.
“Yoi!
Emang siapa lagi?”
Gabriel
dan Patton (ya, mereka) tergelak. Memang, bukan hal baru lagi kalau mendengar
umpatan Rio mengenai sosok kakaknya itu. Meski dari segi wajah, Acel terlihat
lebih kalem, namun sebenarnya sebaliknya. Acel selalu menjahili Rio dengan
tingkah-tingkah usilnya yang kadang membuat Rio marah-marah seharian.
“Gimana
jadinya?” tanya Rio.
“Gini...”
Ucapan
Patton terhenti karena pemuda itu menyeruput minumannya terlebih dahulu.
Setelah tenggorokannya terasa basah, barulah pemuda tersebut melanjutkan
ucapannya.
“Gue
punya konsep yang moga-moga aja keren.”
“Apaan
emang?” tanya Gabriel.
“Divo!”
seru Patton mantap.
Gabriel
dan Rio—dua pemuda yang kata orang mempunyai mimik muka yang mirip—saling
berpandangan dan mengernyit heran. Patton yang mengerti akan ekspresi itu pun
mulai menjelaskan secara detail.
“Semacam
icil divo dulu tuh. Nanti kita cover
lagu yang pernah dinyanyiin icil divo tapi dalam bentuk rekaman. Jadi, ada video clip-nya!” jelas Patton.
“Nggak
ribet tuh?” celetuk Gabriel.
“Nah
bener tuh kata Gabriel!” timpal Rio.
“Nggak
akan. Gimana?”
“Gue
setuju aja sih,” ujar Gabriel—tanpa dosa.
“Lah lo
ngapain protes tadi?” dengus Rio.
“Tapi lo
setuju nggak, Yo?” tanya Gabriel pada Rio.
“Setuju,”
jawab Rio.
“Ya elo
ngapain ngebenerin gue tadi?”
Patton
geleng-geleng mendengarnya. Rasanya, dia sedang berada di zona mandi bola
dimana ada dua anak laki-laki yang bertengkar hanya karena hal tidak penting.
Setelah
membahas semuanya, tiga pemuda itu pun menghabiskan makanan mereka.
“Eh Nia
main apaan sih?” tanya Rio yang memperhatikan gadis kecil yang tak lain adalah
adik Gabriel.
“Main
tembak-tembakan di hapenya bang Iyel,” jawab Nia.
Rio yang
merasa tertarik pun pindah tempat duduk di samping gadis itu.
“Anak
cewek main tembak-tembakan. Kalau gede bakalan banyak yang nembak deh pasti,”
celetuk Patton.
Gabriel
pun menimpali. Begitu seterusnya hingga mereka asik sendiri.
Rio sama
sekali tak menggubris dua pemuda itu. Dia justru akrab dengan Nia. Pemuda itu
membimbing Nia dalam memainkan game-nya.
Ternyata, mudah sekali dekat dengan gadis kecil ini.
“Ah udah
ah, Nia capek.”
“Oh ya
udah. Terus mau ngapain?” tanya Rio.
Nia pun
mengambil tablet milik abangnya. “Nih aku kasih lihat foto-foto aja ya, Kak,”
usul Nia yang langsung disetujui oleh Rio.
Ternyata
gadis itu membuka foto-foto semasa Idola Cilik. Rio pun nampak berpikir, kenapa
Gabriel masih sempat memindahkan foto-foto ini ke tabletnya? Namun pikiran itu
ditepis saat seorang gadis yang amat dikenalnya memenuhi layar tablet Gabriel.
“Ini ada
Nia loh, Kak,” ucap Nia menunjuk dirinya.
“Wah...
iya,” komentar Rio.
“Asem!
Ini udah mirip foto keluarga. Mana Nia di tengah-tengah Ify sama Gabriel lagi!
Nggak bener nih, berasa ngelihat Angel jadi mertua, Ify sama Gabriel
suami-istri terus anaknya si Nia sama Deva. Kamfret!” dumel Rio dalam hati.
“Nia
pernah deket sama Kak Ify loh,” pamer Nia dengan wajah polosnya.
“Terus
kenapa?” tanya Rio bingung.
“Ih
kakak nih! Nggak pernah nonton tv ya? Kak Ify kan sering ada di tv. Nggak kayak
abang tuh,” jawab Nia dengan ekspresi menggemaskan.
Rio
menggaruk tengkuknya. “Sering liat lah. Cewek gue tuh, eh calon deng,” ujar Rio
dalam hati—lagi.
“Oh iya
iya. Kak Ify asik ya orangnya?” tanya Rio yang mulai mengambil kesempatan untuk
mengorek-ngorek info tentang Ify.
“Banget!
Nia deketnya sama Kak Ify, terus Kak Alvin juga. Mereka berdua juga deket. Nia
tahu kalo Kak Alvin sama Kak Ify itu sering sms-an. Kadang bercandaan juga,”
cerocos Nia yang mulai bawel.
“WHAT?
ALVIN SAMA IFY?! NO!!!” jerit Rio yang lagi-lagi tertahankan.
“Nia
pengen mereka pacaran. Cocok. Eh tapi sama abang juga nggak pa-pa. Jadi kan Nia
bisa pamer ke temen-temen, hehe.”
“Nggak
bisa!” seru Rio tiba-tiba.
Patton
dan Gabriel yang awalnya asik pun mengalihkan pandangan mereka.
“Apanya
yang nggak bisa, Yo?” selidik Patton.
“Ah
enggak kok, cuma lagi main-main aja,” jawab Rio gelagapan.
“Kita
kan udah berhenti main, Kak. Tadi Nia kan cuma bilang pengen abang pacaran sama
Kak Ify,” sahut Nia polos.
Rio
sontak menepuk keningnya. Gabriel dan Patton yang mendengar penjelasan Nia pun
sekarang menatapnya tajam.
“Mati
gue!”
***
0 komentar:
Posting Komentar