"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Rabu, 06 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 4

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Saya kembali bawa #BangkitkanCRAGSISA sekarang part 4. Bener-bener nggak tahu apa ini cerbung bisa makin disukai atau justru sebaliknya apalagi udah lama banget nggak nulis ff seperti ini.

Hope you like it guys

4


Konser Brian benar-benar menghebohkan. Tiketnya terjual habis. The Wanted minus Rio jadi bersyukur karna mereka mendapat tiket VVIP. Setelah konser selesai, mereka dipersilahkan ke backstage. Shilla yang paling bahagia karena di backstage ada Shine Band, band favoritnya.
Thanks so much Brian! Akhirnya gue ketemu Kak Gerald, bisa foto bareng juga. Mau gue post di instagram,” ceplos Shilla terlihat sangat bahagia.
“Lo kalo mau ketemu siapapun, kontak gue aja, nanti gue atur jadwalnya,” balas Brian membuat wajah Shilla semakin sumringah.
“Siap!”
“Udah kan, Shil? Gue ngantuk banget nih,” cetus Alvin sambil menguap.
Shilla mengangguk lalu berpamitan dengan Brian. Begitu pula dengan Cakka, Gabriel dan Alvin—meski Alvin masih menunjukkan wajah malasnya sejak berangkat ke sini. Mereka lantas berpisah menjadi 2 bagian. Shilla bersama Gabriel, Cakka bersama Alvin.
“Hati-hati lo bawa cewek,” tegur Alvin pada Gabriel yang terbiasa ngebut.
“Nggak usah ceramah,” balas Gabriel lalu meng-gas mobilnya.
“Ye itu bocah dibilangin malah nyelonong,” dumel Alvin. Cowok itu mengecek ponselnya, 50 missed call dari Deva memenuhi notifications.
“Percaya aja sama Gabriel. Mana berani dia ngebut-ngebutan bawa Shilla. Yang ada besok beneran sisa tulang,” timpal Cakka.
Alvin tak tertawa sama sekali. Pemuda itu lantas mengemudikan mobilnya setelah mengirim chat untuk Deva. Dalam hati, Cakka mengeluh. Dia merasa semakin hari menciptakan tawa di The Wanted semakin sulit. Apakah selera humor mereka sudah berubah? Kalau iya, mengapa?
Kembali, pikiran untuk meninggalkan The Wanted terlintas di otak Cakka. Dia buru-buru menghapusnya sebelum pikiran itu meracuninya dengan lebih keji.
***
Gabriel menghempaskan tubuhnya setelah mengantarkan Shilla. Sejak pertemuannya dengan gadis yang sampai sekarang belum dia ketahui namanya itu, dia merasa apa yang diucapkan gadis tersebut terus menghantuinya. Apa benar The Wanted sudah menarik diri sejauh itu? Apa benar The Wanted terlihat sangat sok? Berbagai pertanyaan berkeliaran di otak Gabriel.
“Lo nggak sadar diri banget ya? Yang aneh itu elo sama  temen-temen lo itu. Udah sombong, sok anti-sosial lagi. Emangnya kalian siapa sih sampai anak-anak takut dan nggak berani negur?”
Memangnya kalian siapa... Memangnya The Wanted siapa...
“Gue mikirin apa sih? Apapun yang dibilang cewek itu, The Wanted tetep segalanya. Cuma Rio, Shilla, Alvin dan Cakka sahabat-sahabat gue.”
Dia pernah terjebak di situasi yang menyedihkan. Saat tak ada satupun anak yang mau berteman dengannya. Saat satu-satunya teman yang dia punya ikut meninggalkannya. Saat itu, saat ayahnya menjadi pemberitaan di televisi karena kasus korupsi. Semua anak memandangnya takut seakan-akan Gabriel akan merampas uang jajan mereka.
Lalu, The Wanted datang menawarkan persahabatan yang indah. Sekarang, cuma karena omong kosong gadis yang tak dikenalnya, dia jadi memikirkan macam-macam?
Namun ada satu hal yang disadari Gabriel. Satu hal yang ingin ditampiknya tapi tetap tak bisa. Dia, mulai menaruh hati pada gadis tanpa nama. Gabriel jatuh cinta padanya sejak pertemuan pertama. Gabriel sengaja memperpanjang urusan mereka. Dengan cara inilah, Gabriel tetap bisa berkomunikasi dengan gadis tersebut.
“Cantik,” gumam Gabriel membayangkan sosok gadis yang telah membuatnya jatuh cinta.
Tanpa sadar mata Gabriel sudah terpejam, dia telah berada di lautan mimpi.
Di lain sisi, Alvin tak henti mengeluh karena Deva tiba-tiba menerobos ke kamarnya dan menjadikan kamar Alvin sebagai kantor dadakan. Kakaknya itu nyaris tak pernah ada waktu di rumah karena sibuk bekerja di perusahaan papa mereka. Tentu saja Alvin sangat senang, papanya sudah punya penerus yang dapat diandalkan dan Alvin bebas menjadi apapun yang dia mau.
Deva dengan tanpa rasa berdosa menguasai kamar Alvin. Bersama dengan laptopnya, laki-laki itu mengerjakan sebuah laporan, membuat fokus Alvin hilang karena suara ketikan.
“Belum tidur lo?” tanya Deva  membuat Alvin ingin mengusirnya saat ini juga.
“Menurut lo?” balas Alvin dengan ketus.
“Jangan sensi begitu, bikin cewek takut mau deket-deket,” kekeh Deva.
“Bacot.”
“Gimana Sivia? Udah sampai mana pendekatan kalian?” tanya Deva tanpa mengalihkan pandangan dari laptop.
“Nggak ada pendekatan apapun. Gue nggak tertarik sama dia,” sahut Alvin.
Deva berdecak, tampak tak puas dengan jawaban adiknya.
“Sampai kapan lo mau jadi orang bego?” ceplos Deva yang sudah berpindah di sebelah Alvin.
“Maksudnya?”
“Shilla. Lo suka kan sama Shilla?” pancing Deva.
Nafas Alvin tercekat, tiba-tiba saja dia sulit untuk mengucapkan sepatah kata. Pemuda itu memandangi Deva dengan sorot mata yang penuh makna. Detik selanjutnya, Deva tertawa hambar.
“Jangan sok tahu,” ketus Alvin susah payah.
“Gue tahu. Enam tahun kan?”
Lagi-lagi Deva membuatnya kesulitan bicara. Alvin tak tahu harus menjawab apa, dia kehilangan kata-kata. Jantungnya berdegup cepat dan mendadak dirinya kesulitan bernafas.
“Lo harus bisa nemuin cewek lain sebelum persahabatan yang lo bangun hancur cuma karna perasaan lo,  bro.”
Alvin menggelengkan kepala. Dia selalu mencoba dan... gagal.
***
The Wanted berjalan beriringan menuju kelas. Sepanjang koridor, anak-anak Budi Karya tak henti untuk memandangi mereka. Pesona mereka memang mampu memikat kaum manapun. Shilla, gadis itu sangat cantik dan mempesona. Sayangnya, dia sangat perfeksionis—mengedepankan kesempurnaan—hingga terkadang membuat orang lain jengkel.
Gabriel, lelaki itu memiliki pembawaan paling tenang di antara yang lainnya. Tinggi dan kurus adalah ciri khas Gabriel. Alvin, meskipun nyaris semua The Wanted bersifat kaku, dialah yang paling kaku. Jika Alvin sudah bicara, ucapannya akan sangat menohok. Kemudian Rio, dia yang paling pendiam dan wajahnya selalu menampakkan keseriusan seakan-akan dia tak pernah memiliki waktu untuk beristirahat.  Lalu, Cakka. Dia satu-satunya member The Wanted yang terlihat bersahabat. Entahlah, setiap kali mengamati The Wanted, mereka bagaikan sosok-sosok yang sulit dibaca.
Dari semua anak  yang mengamati The Wanted, Sivia dan Ify termasuk di dalamnya. Mereka sedang duduk di bangku taman. Jika Sivia sibuk memainkan game candy crush di ponselnya, Ify sibuk bersama novelnya, lalu tiba-tiba saja kegiatan favorit mereka jadi tak menarik kala menyaksikan The Wanted.
“Lo lihatin siapa, Fy?” tanya Sivia.
The Wanted,” jawab Ify singkat.
“Maksudnya siapa?  The Wanted kan ada lima,” dengus Sivia.
“Semuanya.”
Semuanya. Ya, Ify mengamati semuanya. Dari Shilla, Gabriel, Alvin, Cakka dan Rio. Menyebut nama Rio membuat Ify teringat pada pertemuan mereka. Meski satu sekolah, mereka justru bertemu dan mengobrol di toko buku. Ini terdengar lucu.
“Kenapa sih mereka nyebelin semua? Gabriel, Alvin, semuanya. Gue sampai bingung harus ngadepin mereka kayak gimana. Padahal kan lo tahu sendiri gue itu anaknya rese,” curhat Sivia membuat Ify terkekeh.
“Jadi  lo ngaku rese nih?” goda Ify.
“Emang tadi  gue ngomong apaan?” balas Sivia polos.
“Hm, padahal  kan lo tahu sendiri gue itu  anaknya rese,” kata Ify sengaja menirukan gaya bicara Sivia.
“Yee tai. Itu tadi khilaf doang,” kilah Sivia.
“Enggak. Itu pengakuan dosa,” bantah Ify.
Selanjutnya dua cewek tersebut saling memperdebatkan hal yang tidak penting. Sampai bel masuk berbunyi barulah keduanya berhenti.
The Wanted olahraga,” ceplos Sivia.
Ify mengikuti arah pandang Sivia dimana The Wanted sudah berganti pakaian. Detik itu, pandangan Ify dan Alvin saling bertubrukan. Ify buru-buru mengalihkan pandangannya dan menyeret Sivia untuk masuk kelas.
***
“Bisa diem nggak?”
Suasana mendadak senyap diiringi cibiran lirih. Hanya beberapa yang berani bicara, itu pun dengan nada yang teramat pelan. Semua mata memandang Shilla, menyetujui bahwa gadis itulah bintangnya. Gadis itu tak  menyukai kebisingan yang berlebihan. Begitu ada teman satu kelasnya yang berteriak karena ditakut-takuti dengan ulat, Shilla merasa dunianya diombang-ambing.
“Ini bukan arena buat ganggu ketentraman orang,” tandas Shilla sama seperti kejadian di kantin.
Sahabat-sahabatnya terdiam seakan pro dengan tindakan Shilla. Ini pula yang membuat mereka semua tidak menyukai The Wanted, terlalu mengagungkan Shilla. Namun selama Gabriel masih berada di posisi tertinggi Budi Karya semuanya memilih patuh pada The Wanted—termasuk pada Shilla.
Sementara itu Cakka tak mempedulikan keributan apa yang terjadi saat ini. Dia melihat Agni sedang duduk menontonnya bersama teman-teman sekelasnya. Senyum Cakka merekah, sengaja ia tujukan pada gadis itu. Agni yang berada cukup jauh dari  lapangan membalasnya.
“Lihatin siapa, Cak?”
Cakka tersentak saat Alvin mendaratkan tangannya di atas bahu Cakka. Laki-laki itu menoleh, tersenyum tipis pada Alvin lalu menggeleng.
“Lo nggak lagi nyimpen rahasia kan?” selidik Alvin.
“Semua orang punya rahasia kan, Vin?” balas Cakka kalem.
You’re right.
Tentu, Alvin punya rahasia. Rahasia tentang perasaannya pada Shilla yang dia simpan sejak enam tahun lalu.
“Pak Reihan ngebebasin jam olahraga. Kita mau tetep main atau—“
“Gue cabut,” potong Rio cepat.
Wajahnya sangat pucat menandakan dia benar-benar butuh istirahat. Gabriel pun mengangguk dan membiarkan Rio melangkah keluar lapangan. Sementara itu, Cakka yang sebenarnya ingin bermain seperti yang lain terpaksa mengikuti langkah sahabat-sahabatnya. Sebelum benar-benar pergi, dia kembali menatap Agni. Gadis tersebut menggerakkan bibirnya, bertanya mengapa Cakka pergi, dan dibalas olehnya hanya dengan menunjuk ke arah sahabat-sahabatnya.
“Ayo, Cak!” seru Shilla.
Cakka lantas menyejajarkan langkahnya.
“Rio ke mana, Yel?” tanya Alvin pada Gabriel.
“UKS. Mau tidur kayaknya. Mukanya pucet banget kayak zombie,” jawab Gabriel.
“Jam 2 pagi dia telepon gue nanya tugas. Kayaknya dia baru kelar meeting terus ngelembur tugas sekolah,” sambung Cakka.
Tak ada komentar lagi. Mereka menganggap apa yang dilakukan Rio sudah biasa dan tak perlu dibahas. Selama Rio menyempatkan tidur seperti sekarang, mereka tidak akan mengkhawatirkan pemuda tersebut.
***
Langkah Rio terhenti saat mendengar sebuah suara di ruang musik. Rencananya, laki-laki itu akan tidur di rooftop karena tak ingin bertemu siapapun. Saat melewati ruang musik dan mendengar permainan piano, Rio mengurungkan niatnya menuju rooftop karena penasaran. Cowok itu mengintip melalui celah pintu.
Di sana, seorang gadis dengan rambut yang sudah melewati bahu tengah memainkan piano. Rio sangat menikmati permainan itu. Dia bahkan tak sadar saat si gadis telah menyelesaikan lagunya lalu membuka pintu dan terkejut mendapati Rio. Rio sendiri sama terkejutnya.
“Ify,” pekik Rio tertahan.
Ify. Ya, dialah yang memainkan piano.
“Lo ngapain di sini?” tanya Ify heran.
“G—gue mau ke rooftop. Pas denger ada suara piano...”
Rio tak melanjutkan ceritanya. Lagipula, Ify tahu persis apa kelanjutan dari ucapan Rio  barusan. Maka gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai kode bahwa dia paham dengan maksud Rio.
“Bukannya ada jam olahraga?”
Sejak mereka mengobrol di gramedia, Ify dapat sedikit menerima Rio.
Free. Lo sendiri?” balas Rio.
“Sama. Lagi ada remedial. Berhubung Sivia juga remed, gue ke sini.”
“Mau ikut ke rooftop?” tawar Rio entah kerasukan setan apa.
Saat Ify mengatakan ‘boleh’, Rio tak tahu mengapa dia bahagia. Jadilah  mereka menuju rooftop bersama-sama. Selalu. Rooftop sekolah selalu tampak indah bagi Rio. Jauh dari keramaian, jauh dari segala hal yang membuat kepala Rio pening. Namun kali ini dia tak sendirian, dia membawa seseorang yang akhir-akhir  ini memenuhi kepalanya. Alyssa.
“Gue selalu ke sini,” ucap Rio  membuka percakapan.
Mereka tengah duduk bersila sambil memandangi hamparan kota Jakarta.
“Gue tahu,” balas Ify membuat Rio menoleh ke arahnya.
“Gue sering lihat lo lagi jalan ke tangga  rooftop,” imbuhnya.
“Lo suka musik, Fy?” tanya Rio.
Ify tersenyum tipis lalu menganggukkan kepala. “Suka. Tapi lebih suka baca novel. Gue pengin jadi penulis,” sahutnya.
“Kenapa jadi penulis? Gue denger permainan piano lo tadi bagus banget, kenapa nggak jadi musisi?” ceplos Rio.
“Karena ketika gue menulis, gue pakai hati. Beda ketika gue main piano, gue pakai teknik yang udah gue pelajari. Segala sesuatu yang dilakukan pakai hati pasti akan terasa mudah dan menyenangkan.”
Rio terpaku. Apa yang dikatakan Ify membuatnya tertohok. Selama ini, dia terlalu lelah melakukan apa yang diperintahkan papanya, dia terlalu sibuk bergelut dengan dunia papanya. Rio sadar, apa yang dia lakukan untuk papanya sama sekali tak memakai hati—sedikitpun. Itu sebabnya semua terasa berat.
“Lo bener. Selama ini, gue berusaha keras memendam impian gue karena terlalu sibuk mewujudkan impian bokap gue,” gumam Rio dengan getir.
“Biar gue tebak. Lo mau jadi musisi kan?” cetus Ify yang membuat Rio terperangah.
“Lo dukun ya?” kekeh Rio.
Gadis itu mengerucutkan bibirnya—membuat Rio menatapnya gemas—lalu ekspresi itu berubah menjadi jahil. “Mau tahu banget?”
Selanjutnya Rio tertawa lepas. Beban yang Rio pendam seakan berada dalam tawa  itu. Sumpah, seumur hidupnya, ini pertama kalinya dia menemukan makhluk seekspresif Ify.
“Inget waktu di gramedia? Lo sempet ngambil buku tentang musik, terus entah kenapa lo balikin lagi tempat asalnya,” ujar Ify.
Rio mengangguk. “Gue balikin lagi karna gue nggak butuh.”
“Iya. Lo nggak butuh bukunya, lo cuma butuh kesempatan buat jalanin apa yang lo mau. Bener kan?”
Lagi-lagi Rio dibuat kagum oleh gadis di sampingnya ini. Gadis yang tampak pendiam, tapi dapat berubah jadi cablak, kemudian dia juga pengamat yang baik dan memiliki cara ‘tersendiri’ untuk melihat dunia—yang membuat Rio semakin kagum. Ify baru mengenalnya tapi mengapa gadis ini langsung menggeser posisi The Wanted sebagai orang yang paling memahaminya?
“Pulang sekolah ada acara?” tanya Ify membuyarkan lamunan Rio.
“Pulang sekolah nggak ada, kalau sorenya gue ada rapat perusahaan,” jawab Rio.
“Ada apaan emangnya?” tambah Rio.
Ify tersenyum misterius. “Mau gue tunjukin sesuatu?”
***
Derap langkah Sivia terdengar saat menyusuri koridor untuk mencari Ify. Semua tempat telah di-cek namun sahabatnya itu menghilang entah kemana. Langkah Sivia terhenti begitu yang dijumpainya justru salah seorang anggota The Wanted yang bermasalah dengannya, Gabriel! Kesialan apa yang membuatnya justru berjumpa dengan pemuda itu dengan tak sengaja?
Sivia menatap sengit pada pemuda tersebut lalu berniat pergi namun pergelangan tangannya dicekal. Dia terpaksa menghentikan langkah lalu menghadap ke arah Gabriel, bersiap menyemprotnya dengan ucapan-ucapan pedas seperti kemarin.
“Kita selesaiin semuanya,” tandas Gabriel membuatnya menelan kembali kata-kata yang sudah tiba ditenggorokan.
“Mau lo apa?” tanya Sivia sinis dan sebagai kode bahwa bendera perang sudah berkibar. Namun Gabriel terlihat santai mendengarnya. Wajahnya pun tampak biasa saja, berbeda dengan ekspresi Sivia yang sudah siap memakan Gabriel saat ini juga.
“Gue cuma mau kita kelarin masalah ini. Dengan cara apapun,” jelas Gabriel membuat Sivia mengernyit.
Dengan cara apapun. Apakah ini berarti Gabriel akan mendepaknya dari Budi Karya secara tidak terhormat? Nyali Sivia kembali ciut seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan sekarang Sivia justru merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
“Goblok lo, Siv. Kayaknya dia baperan,” desis Sivia dalam hati.
“Terserah lo mau nantangin gue apa, asal jangan adu jotos. Bukan karena gue takut, tapi gue nggak mau dituduh yang enggak-enggak. Gimana?”
“Nantangin?” tanya Sivia memfrasekan ucapan Gabriel.
Gabriel mengangguk. “Siapapun yang kalah nanti, dia wajib minta maaf.”
“Maksudnya gue yang nyari ide kita harus ngapain?” tanya Sivia. Tiba-tiba dia merasa sangat bodoh di depan pemuda ini.
“Iya,” sahut Gabriel pendek.
Sivia tampak berpikir, lalu terlintas sebuah ide yang menggilakan. Ide yang mungkin tidak akan pernah dilupakan Gabriel seumur hidupnya. Gadis itu tersenyum misterius, membuat Gabriel menyesal telah menawarkan hal tersebut demi mengobrol dengan Sivia kembali.
“Oke. Deal,” putus Sivia.
“Nama lo siapa?” tanya Gabriel.
“Sivia, dan lo nggak perlu memperkenalkan nama. Selain karena gue udah tahu, gue juga enek dengernya,” ceplos gadis itu seenak jidat.
Gabriel hanya mencibir.
“Hm, pulang sekolah kita ketemu di—“
“Gue tunggu di parkiran setelah semua anak pulang,” potong Gabriel cepat.
“Kok jadi lo y—“
“Nggak terima protes,” potong Gabriel lagi lantas berlalu sebelum ada yang melihatnya berbicara dengan Sivia.
Sivia mencak-mencak melihat kelakuan pemuda itu. Namun Gabriel, dia justru tersenyum geli sambil melirik Sivia melalui tembok lorong yang kebetulan ditempeli dengan kesenian keramik. Keramik-keramik itulah yang memantulkan sosok Sivia.
***
Sekelas dengan The Wanted bukan hal yang bagus. Meski di dalamnya ada Gabriel yang dapat memilih siapa saja guru yang mengajar di kelasnya, tapi anak-anak onar lebih memilih agar tidak sekelas. Ribut sedikit saja Shilla akan marah-marah. Terkadang mereka mencibir, tak paham dengan selera humor Shilla yang berkelas tinggi.
Baru dibicarakan, Gabriel memasuki kelas. Dia datang bersamaan dengan Rio. The Wanted kembali lengkap.
“Lo lebih fresh, tidur berapa lama?” cetus Alvin.
“Hmm... setengah jam,” jawab Rio berbohong. Dia bahkan tidak jadi tidur karena lebih senang mengobrol dengan Ify.
“Kak Gerald follow back instagram gue!” seru Shilla menarik perhatian.
“Lo jadi post fotonya ya?” tanya Gabriel dibalas dengan anggukan.
Selanjutnya, Shilla menyandarkan kepalanya di bahu Gabriel. Dia berhasil membuat para kaum hawa memekik pelan. Gadis itu sering melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh sepasang kekasih, seperti sekarang. Namun apa yang dilakukan Shilla sama sekali tak berarti apa-apa bagi The Wanted. Kecuali bagi Alvin.
Tak ada yang tahu bahwa sorot mata Alvin berubah dingin melihat Shilla bersama Gabriel. Tak ada yang tahu bahwa Alvin sedang menahan kecemburuannya. Pemuda itu menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan teratur dan berulang-ulang.
“Kita jalan yuk? Lama banget kita nggak jalan,” rajuk Shilla tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.
“Gue nggak bisa,” tolak Rio cepat.
“Gue juga nggak bisa,” sambung Gabriel.
Spontan Shilla menegakkan duduknya—tidak bersandar lagi—dan menatap Gabriel dengan kening berkerut. Mata itu meminta penjelasan, tapi Gabriel tak dapat membaca kode yang disampaikan Shilla. Gadis itupun mendengus.
“Kenapa? Biasanya cuma Rio yang nggak bisa,” protesnya.
“Gue ada acara lain,” jawab Gabriel.
Shilla tampak tak puas, dia kembali memprotes. “Acara apa? Tumben lo ada acara di luar The Wanted?”
“Kok lo jadi kepo begitu sih, Shil? Urusan Gabriel kan nggak cuma di The Wanted,” ketus Alvin secara reflek.
“Udah udah. Kalian ributin apa sih? Mending jalan-jalannya ditunda dulu ya, Shil. Gue juga mau bantuin sepupu gue nyari event organizer buat acara pestanya,” ucap Cakka menengahi.
Akhirnya Shilla menurut pada Cakka. Gabriel sendiri tak begitu ambil pusing karena sudah terbiasa dengan sifat Shilla sejak mereka masih kecil. Yang dia pikirkan saat ini justru apa yang direncanakan Sivia. Hm, Sivia. Omong-omong, Gabriel tak menyangka gadis cantik itu memiliki nama yang sama cantiknya.
Sampai bel pulang berbunyi, pikiran Gabriel masih tertuju pada Sivia. Dia lantas berbohong pada sahabat-sahabatnya, mengatakan bahwa dia masih ada urusan dengan kepala sekolah.
“Gue duluan, jadwal kursus dimajuin,” pamit Shilla tampak buru-buru.
“Bareng, Shil!” seru Alvin.
“Ayo.”
Jadilah mereka keluar kelas bersama, meninggalkan Cakka, Rio dan Gabriel. Selain Gabriel, Rio juga berjanji pada Ify. Lebih tepatnya lagi gadis itu yang menjanjikan sesuatu pada Rio. Maka, gantian Rio yang nampak buru-buru.
“Hari ini pada kenapa sih,” dumel Cakka lalu memutuskan pulang.
Diam-diam pemuda itu kecewa karena hari ini jadwal latihan anak basket sehingga dia dan Agni tidak dapat bertemu. Padahal Cakka ingin memamerkan shot three point-nya pada gadis tersebut.
“Bagus, semuanya udah pulang,” gumam Gabriel.
Pemuda itu lantas menuju ke parkiran. Di sana, dia dapat melihat Sivia sedang mendumel—mungkin juga sedang menyumpahi dirinya. Gabriel terkikik geli.
“Ayo!” seru Gabriel.
“Lama banget sih lo! Ke parkirannya lewat tembok raksasa dulu? Apa bertapa dulu biar otak lo beneran dikit? Panas banget tahu! Kalo kulit gue berubah jadi kayak lo gimana?” semprot Sivia tanpa henti.
“Berisik banget sih jadi cewek. Ayo!”
Sivia semakin melipat wajahnya dan mengikuti Gabriel menuju tempat parkir mobil lelaki itu. Dengan terpaksa, Sivia masuk ke dalam mobil setelah berdebat panjang—juga setelah diancam—dengan Gabriel.
“Jadi, udah ada rencana bakal ngapain?” tanya Gabriel.
Mereka sudah keluar dari arena sekolah dan kini Gabriel mengemudikan mobilnya dengan pelan karena belum tahu tujuan.
“Ke Dufan,” jawab Sivia.
Mata Gabriel terbelalak mendengarnya. “Dufan? Lo ngigo?”
“Nggak lah! Kita ke Dufan, kita naik semua permainan yang ada di sana. Yang paling bahagia yang menang,” jelas Sivia semakin membuat Gabriel melotot.

***
Bersambung...
So, gimana? Butuh kritik & saran. Bukan sekedar vote hehe semoga kalian mau menyempatkan untuk komentar ya. Btw follow ask.fm/fannyslma

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Gue kepikiran mlh shilla yg suka sm gabriel, tapi iyel sukanya sama sivia, hmm. Kangen couple Siviel<3 , Duhh ketinggalan bgt komennya yaa gue kak ehehe :D kerenn loh ini! Baru sempet baca yg part ini:' ini mau lanjut baca lg yeay! yang penting udah ninggalin jejak yhaa(?)

Posting Komentar