Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Saya kembali bawa #BangkitkanCRAGSISA sekarang part 4. Bener-bener nggak tahu apa ini cerbung bisa makin disukai atau justru sebaliknya apalagi udah lama banget nggak nulis ff seperti ini.
Hope you like it guys
4
Konser
Brian benar-benar menghebohkan. Tiketnya terjual habis. The Wanted minus Rio jadi bersyukur karna mereka mendapat tiket
VVIP. Setelah konser selesai, mereka dipersilahkan ke backstage. Shilla yang paling bahagia karena di backstage ada Shine Band, band
favoritnya.
“Thanks so much Brian! Akhirnya gue
ketemu Kak Gerald, bisa foto bareng juga. Mau gue post di instagram,” ceplos Shilla terlihat sangat bahagia.
“Lo kalo
mau ketemu siapapun, kontak gue aja, nanti gue atur jadwalnya,” balas Brian
membuat wajah Shilla semakin sumringah.
“Siap!”
“Udah
kan, Shil? Gue ngantuk banget nih,” cetus Alvin sambil menguap.
Shilla
mengangguk lalu berpamitan dengan Brian. Begitu pula dengan Cakka, Gabriel dan
Alvin—meski Alvin masih menunjukkan wajah malasnya sejak berangkat ke sini.
Mereka lantas berpisah menjadi 2 bagian. Shilla bersama Gabriel, Cakka bersama
Alvin.
“Hati-hati
lo bawa cewek,” tegur Alvin pada Gabriel yang terbiasa ngebut.
“Nggak
usah ceramah,” balas Gabriel lalu meng-gas mobilnya.
“Ye itu
bocah dibilangin malah nyelonong,” dumel Alvin. Cowok itu mengecek ponselnya,
50 missed call dari Deva memenuhi notifications.
“Percaya
aja sama Gabriel. Mana berani dia ngebut-ngebutan bawa Shilla. Yang ada besok
beneran sisa tulang,” timpal Cakka.
Alvin
tak tertawa sama sekali. Pemuda itu lantas mengemudikan mobilnya setelah
mengirim chat untuk Deva. Dalam hati,
Cakka mengeluh. Dia merasa semakin hari menciptakan tawa di The Wanted semakin sulit. Apakah selera
humor mereka sudah berubah? Kalau iya, mengapa?
Kembali,
pikiran untuk meninggalkan The Wanted
terlintas di otak Cakka. Dia buru-buru menghapusnya sebelum pikiran itu meracuninya
dengan lebih keji.
***
Gabriel
menghempaskan tubuhnya setelah mengantarkan Shilla. Sejak pertemuannya dengan
gadis yang sampai sekarang belum dia ketahui namanya itu, dia merasa apa yang
diucapkan gadis tersebut terus menghantuinya. Apa benar The Wanted sudah menarik diri sejauh itu? Apa benar The Wanted terlihat sangat sok? Berbagai
pertanyaan berkeliaran di otak Gabriel.
“Lo nggak sadar diri banget ya? Yang aneh itu
elo sama temen-temen lo itu. Udah
sombong, sok anti-sosial lagi. Emangnya kalian siapa sih sampai anak-anak takut
dan nggak berani negur?”
Memangnya
kalian siapa... Memangnya The Wanted
siapa...
“Gue
mikirin apa sih? Apapun yang dibilang cewek itu, The Wanted tetep segalanya. Cuma Rio, Shilla, Alvin dan Cakka
sahabat-sahabat gue.”
Dia
pernah terjebak di situasi yang menyedihkan. Saat tak ada satupun anak yang mau
berteman dengannya. Saat satu-satunya teman yang dia punya ikut
meninggalkannya. Saat itu, saat ayahnya menjadi pemberitaan di televisi karena
kasus korupsi. Semua anak memandangnya takut seakan-akan Gabriel akan merampas
uang jajan mereka.
Lalu, The Wanted datang menawarkan
persahabatan yang indah. Sekarang, cuma karena omong kosong gadis yang tak
dikenalnya, dia jadi memikirkan macam-macam?
Namun
ada satu hal yang disadari Gabriel. Satu hal yang ingin ditampiknya tapi tetap
tak bisa. Dia, mulai menaruh hati pada gadis tanpa nama. Gabriel jatuh cinta
padanya sejak pertemuan pertama. Gabriel sengaja memperpanjang urusan mereka.
Dengan cara inilah, Gabriel tetap bisa berkomunikasi dengan gadis tersebut.
Tanpa
sadar mata Gabriel sudah terpejam, dia telah berada di lautan mimpi.
Di lain
sisi, Alvin tak henti mengeluh karena Deva tiba-tiba menerobos ke kamarnya dan
menjadikan kamar Alvin sebagai kantor dadakan. Kakaknya itu nyaris tak pernah
ada waktu di rumah karena sibuk bekerja di perusahaan papa mereka. Tentu saja
Alvin sangat senang, papanya sudah punya penerus yang dapat diandalkan dan
Alvin bebas menjadi apapun yang dia mau.
Deva
dengan tanpa rasa berdosa menguasai kamar Alvin. Bersama dengan laptopnya,
laki-laki itu mengerjakan sebuah laporan, membuat fokus Alvin hilang karena
suara ketikan.
“Belum
tidur lo?” tanya Deva membuat Alvin
ingin mengusirnya saat ini juga.
“Menurut
lo?” balas Alvin dengan ketus.
“Jangan
sensi begitu, bikin cewek takut mau deket-deket,” kekeh Deva.
“Bacot.”
“Gimana
Sivia? Udah sampai mana pendekatan kalian?” tanya Deva tanpa mengalihkan
pandangan dari laptop.
“Nggak ada
pendekatan apapun. Gue nggak tertarik sama dia,” sahut Alvin.
Deva
berdecak, tampak tak puas dengan jawaban adiknya.
“Sampai
kapan lo mau jadi orang bego?” ceplos Deva yang sudah berpindah di sebelah
Alvin.
“Maksudnya?”
“Shilla.
Lo suka kan sama Shilla?” pancing Deva.
Nafas
Alvin tercekat, tiba-tiba saja dia sulit untuk mengucapkan sepatah kata. Pemuda
itu memandangi Deva dengan sorot mata yang penuh makna. Detik selanjutnya, Deva
tertawa hambar.
“Jangan
sok tahu,” ketus Alvin susah payah.
“Gue
tahu. Enam tahun kan?”
Lagi-lagi
Deva membuatnya kesulitan bicara. Alvin tak tahu harus menjawab apa, dia
kehilangan kata-kata. Jantungnya berdegup cepat dan mendadak dirinya kesulitan
bernafas.
“Lo
harus bisa nemuin cewek lain sebelum persahabatan yang lo bangun hancur cuma
karna perasaan lo, bro.”
Alvin
menggelengkan kepala. Dia selalu mencoba dan... gagal.
***
The Wanted
berjalan beriringan menuju kelas. Sepanjang koridor, anak-anak Budi Karya tak
henti untuk memandangi mereka. Pesona mereka memang mampu memikat kaum manapun.
Shilla, gadis itu sangat cantik dan mempesona. Sayangnya, dia sangat
perfeksionis—mengedepankan kesempurnaan—hingga terkadang membuat orang lain
jengkel.
Gabriel,
lelaki itu memiliki pembawaan paling tenang di antara yang lainnya. Tinggi dan
kurus adalah ciri khas Gabriel. Alvin, meskipun nyaris semua The Wanted bersifat kaku, dialah yang
paling kaku. Jika Alvin sudah bicara, ucapannya akan sangat menohok. Kemudian
Rio, dia yang paling pendiam dan wajahnya selalu menampakkan keseriusan
seakan-akan dia tak pernah memiliki waktu untuk beristirahat. Lalu, Cakka. Dia satu-satunya member The Wanted yang terlihat bersahabat.
Entahlah, setiap kali mengamati The
Wanted, mereka bagaikan sosok-sosok yang sulit dibaca.
Dari
semua anak yang mengamati The Wanted, Sivia dan Ify termasuk di
dalamnya. Mereka sedang duduk di bangku taman. Jika Sivia sibuk memainkan game candy crush di ponselnya, Ify sibuk
bersama novelnya, lalu tiba-tiba saja kegiatan favorit mereka jadi tak menarik
kala menyaksikan The Wanted.
“Lo
lihatin siapa, Fy?” tanya Sivia.
“The Wanted,” jawab Ify singkat.
“Maksudnya
siapa? The Wanted kan ada lima,” dengus Sivia.
“Semuanya.”
Semuanya.
Ya, Ify mengamati semuanya. Dari Shilla, Gabriel, Alvin, Cakka dan Rio.
Menyebut nama Rio membuat Ify teringat pada pertemuan mereka. Meski satu
sekolah, mereka justru bertemu dan mengobrol di toko buku. Ini terdengar lucu.
“Kenapa
sih mereka nyebelin semua? Gabriel, Alvin, semuanya. Gue sampai bingung harus
ngadepin mereka kayak gimana. Padahal kan lo tahu sendiri gue itu anaknya
rese,” curhat Sivia membuat Ify terkekeh.
“Jadi lo ngaku rese nih?” goda Ify.
“Emang tadi gue ngomong apaan?” balas Sivia polos.
“Hm,
padahal kan lo tahu sendiri gue itu anaknya rese,” kata Ify sengaja menirukan
gaya bicara Sivia.
“Yee
tai. Itu tadi khilaf doang,” kilah Sivia.
“Enggak.
Itu pengakuan dosa,” bantah Ify.
Selanjutnya
dua cewek tersebut saling memperdebatkan hal yang tidak penting. Sampai bel
masuk berbunyi barulah keduanya berhenti.
“The Wanted olahraga,” ceplos Sivia.
Ify
mengikuti arah pandang Sivia dimana The
Wanted sudah berganti pakaian. Detik itu, pandangan Ify dan Alvin saling
bertubrukan. Ify buru-buru mengalihkan pandangannya dan menyeret Sivia untuk
masuk kelas.
***
“Bisa
diem nggak?”
Suasana
mendadak senyap diiringi cibiran lirih. Hanya beberapa yang berani bicara, itu
pun dengan nada yang teramat pelan. Semua mata memandang Shilla, menyetujui
bahwa gadis itulah bintangnya. Gadis itu tak
menyukai kebisingan yang berlebihan. Begitu ada teman satu kelasnya yang
berteriak karena ditakut-takuti dengan ulat, Shilla merasa dunianya
diombang-ambing.
“Ini
bukan arena buat ganggu ketentraman orang,” tandas Shilla sama seperti kejadian
di kantin.
Sahabat-sahabatnya
terdiam seakan pro dengan tindakan Shilla. Ini pula yang membuat mereka semua
tidak menyukai The Wanted, terlalu mengagungkan
Shilla. Namun selama Gabriel masih berada di posisi tertinggi Budi Karya
semuanya memilih patuh pada The Wanted—termasuk
pada Shilla.
Sementara
itu Cakka tak mempedulikan keributan apa yang terjadi saat ini. Dia melihat
Agni sedang duduk menontonnya bersama teman-teman sekelasnya. Senyum Cakka
merekah, sengaja ia tujukan pada gadis itu. Agni yang berada cukup jauh
dari lapangan membalasnya.
“Lihatin
siapa, Cak?”
Cakka
tersentak saat Alvin mendaratkan tangannya di atas bahu Cakka. Laki-laki itu
menoleh, tersenyum tipis pada Alvin lalu menggeleng.
“Lo
nggak lagi nyimpen rahasia kan?” selidik Alvin.
“Semua
orang punya rahasia kan, Vin?” balas Cakka kalem.
“You’re right.”
Tentu,
Alvin punya rahasia. Rahasia tentang perasaannya pada Shilla yang dia simpan
sejak enam tahun lalu.
“Pak
Reihan ngebebasin jam olahraga. Kita mau tetep main atau—“
“Gue
cabut,” potong Rio cepat.
Wajahnya
sangat pucat menandakan dia benar-benar butuh istirahat. Gabriel pun mengangguk
dan membiarkan Rio melangkah keluar lapangan. Sementara itu, Cakka yang
sebenarnya ingin bermain seperti yang lain terpaksa mengikuti langkah
sahabat-sahabatnya. Sebelum benar-benar pergi, dia kembali menatap Agni. Gadis
tersebut menggerakkan bibirnya, bertanya mengapa Cakka pergi, dan dibalas
olehnya hanya dengan menunjuk ke arah sahabat-sahabatnya.
“Ayo,
Cak!” seru Shilla.
Cakka
lantas menyejajarkan langkahnya.
“Rio ke
mana, Yel?” tanya Alvin pada Gabriel.
“UKS.
Mau tidur kayaknya. Mukanya pucet banget kayak zombie,” jawab Gabriel.
“Jam 2
pagi dia telepon gue nanya tugas. Kayaknya dia baru kelar meeting terus ngelembur tugas sekolah,” sambung Cakka.
Tak ada
komentar lagi. Mereka menganggap apa yang dilakukan Rio sudah biasa dan tak
perlu dibahas. Selama Rio menyempatkan tidur seperti sekarang, mereka tidak
akan mengkhawatirkan pemuda tersebut.
***
Langkah
Rio terhenti saat mendengar sebuah suara di ruang musik. Rencananya, laki-laki
itu akan tidur di rooftop karena tak
ingin bertemu siapapun. Saat melewati ruang musik dan mendengar permainan
piano, Rio mengurungkan niatnya menuju rooftop
karena penasaran. Cowok itu mengintip melalui celah pintu.
Di sana,
seorang gadis dengan rambut yang sudah melewati bahu tengah memainkan piano.
Rio sangat menikmati permainan itu. Dia bahkan tak sadar saat si gadis telah
menyelesaikan lagunya lalu membuka pintu dan terkejut mendapati Rio. Rio
sendiri sama terkejutnya.
“Ify,”
pekik Rio tertahan.
Ify. Ya,
dialah yang memainkan piano.
“Lo
ngapain di sini?” tanya Ify heran.
“G—gue
mau ke rooftop. Pas denger ada suara
piano...”
Rio tak
melanjutkan ceritanya. Lagipula, Ify tahu persis apa kelanjutan dari ucapan
Rio barusan. Maka gadis itu
mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai kode bahwa dia paham dengan maksud Rio.
“Bukannya
ada jam olahraga?”
Sejak
mereka mengobrol di gramedia, Ify dapat sedikit menerima Rio.
“Free. Lo sendiri?” balas Rio.
“Sama.
Lagi ada remedial. Berhubung Sivia juga remed, gue ke sini.”
“Mau
ikut ke rooftop?” tawar Rio entah
kerasukan setan apa.
Saat Ify
mengatakan ‘boleh’, Rio tak tahu mengapa dia bahagia. Jadilah mereka menuju rooftop bersama-sama. Selalu. Rooftop
sekolah selalu tampak indah bagi Rio. Jauh dari keramaian, jauh dari segala hal
yang membuat kepala Rio pening. Namun kali ini dia tak sendirian, dia membawa
seseorang yang akhir-akhir ini memenuhi
kepalanya. Alyssa.
“Gue
selalu ke sini,” ucap Rio membuka
percakapan.
Mereka
tengah duduk bersila sambil memandangi hamparan kota Jakarta.
“Gue
tahu,” balas Ify membuat Rio menoleh ke arahnya.
“Gue
sering lihat lo lagi jalan ke tangga rooftop,” imbuhnya.
“Lo suka
musik, Fy?” tanya Rio.
Ify tersenyum
tipis lalu menganggukkan kepala. “Suka. Tapi lebih suka baca novel. Gue pengin
jadi penulis,” sahutnya.
“Kenapa
jadi penulis? Gue denger permainan piano lo tadi bagus banget, kenapa nggak
jadi musisi?” ceplos Rio.
“Karena
ketika gue menulis, gue pakai hati. Beda ketika gue main piano, gue pakai
teknik yang udah gue pelajari. Segala sesuatu yang dilakukan pakai hati pasti
akan terasa mudah dan menyenangkan.”
Rio
terpaku. Apa yang dikatakan Ify membuatnya tertohok. Selama ini, dia terlalu
lelah melakukan apa yang diperintahkan papanya, dia terlalu sibuk bergelut
dengan dunia papanya. Rio sadar, apa yang dia lakukan untuk papanya sama sekali
tak memakai hati—sedikitpun. Itu sebabnya semua terasa berat.
“Lo
bener. Selama ini, gue berusaha keras memendam impian gue karena terlalu sibuk
mewujudkan impian bokap gue,” gumam Rio dengan getir.
“Biar
gue tebak. Lo mau jadi musisi kan?” cetus Ify yang membuat Rio terperangah.
“Lo
dukun ya?” kekeh Rio.
Gadis
itu mengerucutkan bibirnya—membuat Rio menatapnya gemas—lalu ekspresi itu
berubah menjadi jahil. “Mau tahu banget?”
Selanjutnya
Rio tertawa lepas. Beban yang Rio pendam seakan berada dalam tawa itu. Sumpah, seumur hidupnya, ini pertama
kalinya dia menemukan makhluk seekspresif Ify.
“Inget
waktu di gramedia? Lo sempet ngambil buku tentang musik, terus entah kenapa lo
balikin lagi tempat asalnya,” ujar Ify.
Rio
mengangguk. “Gue balikin lagi karna gue nggak butuh.”
“Iya. Lo
nggak butuh bukunya, lo cuma butuh kesempatan buat jalanin apa yang lo mau.
Bener kan?”
Lagi-lagi
Rio dibuat kagum oleh gadis di sampingnya ini. Gadis yang tampak pendiam, tapi
dapat berubah jadi cablak, kemudian dia juga pengamat yang baik dan memiliki
cara ‘tersendiri’ untuk melihat dunia—yang membuat Rio semakin kagum. Ify baru
mengenalnya tapi mengapa gadis ini langsung menggeser posisi The Wanted sebagai orang yang paling
memahaminya?
“Pulang
sekolah ada acara?” tanya Ify membuyarkan lamunan Rio.
“Pulang
sekolah nggak ada, kalau sorenya gue ada rapat perusahaan,” jawab Rio.
“Ada apaan
emangnya?” tambah Rio.
Ify
tersenyum misterius. “Mau gue tunjukin sesuatu?”
***
Derap
langkah Sivia terdengar saat menyusuri koridor untuk mencari Ify. Semua tempat
telah di-cek namun sahabatnya itu menghilang entah kemana. Langkah Sivia
terhenti begitu yang dijumpainya justru salah seorang anggota The Wanted yang bermasalah dengannya,
Gabriel! Kesialan apa yang membuatnya justru berjumpa dengan pemuda itu dengan
tak sengaja?
Sivia
menatap sengit pada pemuda tersebut lalu berniat pergi namun pergelangan tangannya
dicekal. Dia terpaksa menghentikan langkah lalu menghadap ke arah Gabriel,
bersiap menyemprotnya dengan ucapan-ucapan pedas seperti kemarin.
“Kita
selesaiin semuanya,” tandas Gabriel membuatnya menelan kembali kata-kata yang
sudah tiba ditenggorokan.
“Mau lo
apa?” tanya Sivia sinis dan sebagai kode bahwa bendera perang sudah berkibar.
Namun Gabriel terlihat santai mendengarnya. Wajahnya pun tampak biasa saja,
berbeda dengan ekspresi Sivia yang sudah siap memakan Gabriel saat ini juga.
“Gue
cuma mau kita kelarin masalah ini. Dengan cara apapun,” jelas Gabriel membuat
Sivia mengernyit.
Dengan cara apapun. Apakah ini berarti Gabriel akan mendepaknya dari Budi Karya
secara tidak terhormat? Nyali Sivia kembali ciut seperti sebelum-sebelumnya.
Bahkan sekarang Sivia justru merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
“Goblok
lo, Siv. Kayaknya dia baperan,” desis Sivia dalam hati.
“Terserah
lo mau nantangin gue apa, asal jangan adu jotos. Bukan karena gue takut, tapi
gue nggak mau dituduh yang enggak-enggak. Gimana?”
“Nantangin?”
tanya Sivia memfrasekan ucapan Gabriel.
Gabriel
mengangguk. “Siapapun yang kalah nanti, dia wajib minta maaf.”
“Maksudnya
gue yang nyari ide kita harus ngapain?” tanya Sivia. Tiba-tiba dia merasa
sangat bodoh di depan pemuda ini.
“Iya,” sahut
Gabriel pendek.
Sivia
tampak berpikir, lalu terlintas sebuah ide yang menggilakan. Ide yang mungkin
tidak akan pernah dilupakan Gabriel seumur hidupnya. Gadis itu tersenyum
misterius, membuat Gabriel menyesal telah menawarkan hal tersebut demi mengobrol
dengan Sivia kembali.
“Oke.
Deal,” putus Sivia.
“Nama lo
siapa?” tanya Gabriel.
“Sivia,
dan lo nggak perlu memperkenalkan nama. Selain karena gue udah tahu, gue juga
enek dengernya,” ceplos gadis itu seenak jidat.
Gabriel
hanya mencibir.
“Hm, pulang
sekolah kita ketemu di—“
“Gue
tunggu di parkiran setelah semua anak pulang,” potong Gabriel cepat.
“Kok
jadi lo y—“
“Nggak
terima protes,” potong Gabriel lagi lantas berlalu sebelum ada yang melihatnya
berbicara dengan Sivia.
Sivia
mencak-mencak melihat kelakuan pemuda itu. Namun Gabriel, dia justru tersenyum
geli sambil melirik Sivia melalui tembok lorong yang kebetulan ditempeli dengan
kesenian keramik. Keramik-keramik itulah yang memantulkan sosok Sivia.
***
Sekelas
dengan The Wanted bukan hal yang
bagus. Meski di dalamnya ada Gabriel yang dapat memilih siapa saja guru yang
mengajar di kelasnya, tapi anak-anak onar lebih memilih agar tidak sekelas.
Ribut sedikit saja Shilla akan marah-marah. Terkadang mereka mencibir, tak
paham dengan selera humor Shilla yang berkelas tinggi.
Baru
dibicarakan, Gabriel memasuki kelas. Dia datang bersamaan dengan Rio. The Wanted kembali lengkap.
“Lo
lebih fresh, tidur berapa lama?”
cetus Alvin.
“Hmm...
setengah jam,” jawab Rio berbohong. Dia bahkan tidak jadi tidur karena lebih
senang mengobrol dengan Ify.
“Kak
Gerald follow back instagram gue!”
seru Shilla menarik perhatian.
“Lo jadi
post fotonya ya?” tanya Gabriel
dibalas dengan anggukan.
Selanjutnya,
Shilla menyandarkan kepalanya di bahu Gabriel. Dia berhasil membuat para kaum
hawa memekik pelan. Gadis itu sering melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan
oleh sepasang kekasih, seperti sekarang. Namun apa yang dilakukan Shilla sama
sekali tak berarti apa-apa bagi The
Wanted. Kecuali bagi Alvin.
Tak ada
yang tahu bahwa sorot mata Alvin berubah dingin melihat Shilla bersama Gabriel.
Tak ada yang tahu bahwa Alvin sedang menahan kecemburuannya. Pemuda itu menarik
nafas, lalu menghembuskannya dengan teratur dan berulang-ulang.
“Kita
jalan yuk? Lama banget kita nggak jalan,” rajuk Shilla tanpa mengalihkan
perhatiannya dari ponsel.
“Gue
nggak bisa,” tolak Rio cepat.
“Gue
juga nggak bisa,” sambung Gabriel.
Spontan
Shilla menegakkan duduknya—tidak bersandar lagi—dan menatap Gabriel dengan
kening berkerut. Mata itu meminta penjelasan, tapi Gabriel tak dapat membaca
kode yang disampaikan Shilla. Gadis itupun mendengus.
“Kenapa?
Biasanya cuma Rio yang nggak bisa,” protesnya.
“Gue ada
acara lain,” jawab Gabriel.
Shilla
tampak tak puas, dia kembali memprotes. “Acara apa? Tumben lo ada acara di luar
The Wanted?”
“Kok lo
jadi kepo begitu sih, Shil? Urusan Gabriel kan nggak cuma di The Wanted,” ketus Alvin secara reflek.
“Udah
udah. Kalian ributin apa sih? Mending jalan-jalannya ditunda dulu ya, Shil. Gue
juga mau bantuin sepupu gue nyari event
organizer buat acara pestanya,” ucap Cakka menengahi.
Akhirnya
Shilla menurut pada Cakka. Gabriel sendiri tak begitu ambil pusing karena sudah
terbiasa dengan sifat Shilla sejak mereka masih kecil. Yang dia pikirkan saat
ini justru apa yang direncanakan Sivia. Hm, Sivia. Omong-omong, Gabriel tak
menyangka gadis cantik itu memiliki nama yang sama cantiknya.
Sampai
bel pulang berbunyi, pikiran Gabriel masih tertuju pada Sivia. Dia lantas
berbohong pada sahabat-sahabatnya, mengatakan bahwa dia masih ada urusan dengan
kepala sekolah.
“Gue
duluan, jadwal kursus dimajuin,” pamit Shilla tampak buru-buru.
“Bareng,
Shil!” seru Alvin.
“Ayo.”
Jadilah
mereka keluar kelas bersama, meninggalkan Cakka, Rio dan Gabriel. Selain
Gabriel, Rio juga berjanji pada Ify. Lebih tepatnya lagi gadis itu yang
menjanjikan sesuatu pada Rio. Maka, gantian Rio yang nampak buru-buru.
“Hari
ini pada kenapa sih,” dumel Cakka lalu memutuskan pulang.
Diam-diam
pemuda itu kecewa karena hari ini jadwal latihan anak basket sehingga dia dan
Agni tidak dapat bertemu. Padahal Cakka ingin memamerkan shot three point-nya pada gadis tersebut.
“Bagus,
semuanya udah pulang,” gumam Gabriel.
Pemuda
itu lantas menuju ke parkiran. Di sana, dia dapat melihat Sivia sedang
mendumel—mungkin juga sedang menyumpahi dirinya. Gabriel terkikik geli.
“Ayo!”
seru Gabriel.
“Lama
banget sih lo! Ke parkirannya lewat tembok raksasa dulu? Apa bertapa dulu biar
otak lo beneran dikit? Panas banget tahu! Kalo kulit gue berubah jadi kayak lo
gimana?” semprot Sivia tanpa henti.
“Berisik
banget sih jadi cewek. Ayo!”
Sivia
semakin melipat wajahnya dan mengikuti Gabriel menuju tempat parkir mobil
lelaki itu. Dengan terpaksa, Sivia masuk ke dalam mobil setelah berdebat
panjang—juga setelah diancam—dengan Gabriel.
“Jadi,
udah ada rencana bakal ngapain?” tanya Gabriel.
Mereka
sudah keluar dari arena sekolah dan kini Gabriel mengemudikan mobilnya dengan
pelan karena belum tahu tujuan.
“Ke
Dufan,” jawab Sivia.
Mata
Gabriel terbelalak mendengarnya. “Dufan? Lo ngigo?”
“Nggak
lah! Kita ke Dufan, kita naik semua permainan yang ada di sana. Yang paling
bahagia yang menang,” jelas Sivia semakin membuat Gabriel melotot.
***
Bersambung...
So,
gimana? Butuh kritik & saran. Bukan sekedar vote hehe semoga kalian mau
menyempatkan untuk komentar ya. Btw follow ask.fm/fannyslma
1 komentar:
Gue kepikiran mlh shilla yg suka sm gabriel, tapi iyel sukanya sama sivia, hmm. Kangen couple Siviel<3 , Duhh ketinggalan bgt komennya yaa gue kak ehehe :D kerenn loh ini! Baru sempet baca yg part ini:' ini mau lanjut baca lg yeay! yang penting udah ninggalin jejak yhaa(?)
Posting Komentar