Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Hellooo tim #BangkitkanCRAGSISA akhirnya kita sampai di part 8 dengan lancar. Btw kok judulnya ganti? YAAA! Diprotes mulu soal judul, akhirnya saya ganti jadi When You Hold Me. Jauh amat ya. Nggak pa-pa judul ganti, yang penting ceritanya masih sama. Dari awal memang saya ngambil lagu Because Of You - Keith Martin jadi soundtrack (?) tapi karna banyak yang nyuruh ganti judul akhirnya saya ganti. When You Hold Me itu juga penggalan lirik lagu itu kok hehehe jangan protes lagi ya. Capek ngedit postnya jadi kelamaan post part ini. Langsung aja ~
Hope you like it guys
8
Shil, I’m so sorry. Gue nggak bisa
datang. God bless you, Shilla. Good
luck! Gue yakin lo cantik dan sempurna :)
Send.
Setelah mengirim chat kepada Shilla, Rio bergegas melajukan mobilnya ke rumah
Ify. Awalnya gadis itu mengajak bertemu di Caffe, tetapi Rio menolak karena tak
ingin merepotkan gadis itu. Rio tak pernah tahu kalau magnet Ify begitu kuat.
Setelah menceritakan kejadian hari ini pada Mas Dayat, pria tersebut mendukung
Rio untuk menemui Ify saat itu juga, lantas Rio terpaksa membatalkan janjinya
pada Shilla.
Mobil
Rio berhenti di halaman rumah bercorak mozaik dengan warna-warna pastel.
Setelah memastikan bahwa ini adalah rumah Ify, pemuda tersebut turun dari
mobilnya, berjalan menuju pintu dan mengetok dengan sopan. Tak lama kemudian
pintu terbuka dan menampilkan seorang pemuda kecil yang menatapnya bingung.
“Siapa
ya?” tanya pemuda kecil tersebut.
“Rio,
teman Ify. Ify ada?” balas Rio.
Laki-laki
kecil itu memperhatikan Rio dengan seksama. Sebuah cengiran lebar terhias di
wajahnya. Rio mengernyitkan dahi saat laki-laki kecil tersebut berlari masuk
dan meneriakkan sesuatu di luar dugaan Rio.
“KAK IFYYYY!!!
ADA COWOK LO TUUHHHH!”
Rio
nyaris tersedak ludahnya sendiri namun tak urung tersenyum geli pula. Dari
ambang pintu, dia bisa mendengar Ify mendumel dan beradu mulut dengan laki-laki
kecil itu.
“Bacot
banget sih lu! Sono belajar!” nyolot Ify.
“Cieee
yang nggak mau diganggu pacarannya,” ledek laki-laki kecil itu.
“Siapa
yang pacaran sih? Hus! Hussss!”
“Elo
lah! Bye yang ketemu pacarrrr!!”
Selanjutnya
Rio bisa mendengar suara pintu yang ditutup dengan cepat. Tak lama kemudian Ify
pun muncul dengan wajah kesalnya. Rio mengulum senyum, gadis itu terlihat lucu
sekali.
“Sori
ya. Adek gue emang ngeselin. Yuk, masuk,” ujar Ify mempersilakan Rio.
“Nggak
masalah kok,” balas Rio sambil terkekeh.
Rio
lantas duduk di sofa. Pemuda itu mengedarkan pandangan. Rumah Ify cukup
luas—meski tak seluas rumahnya—dan didominasi dengan foto-foto.
“Gue
ambilin minum dulu ya,” pamit Ify.
“Nggak
usah—“
“Nggak
pa-pa. Anggap aja rumah sendiri, asal jangan lo jual,” potong Ify cepat.
Rio
tertawa kecil lalu menganggukkan kepala. Begitu Ify menghilang, pemuda itu
kembali melihat foto-foto yang terpajang dan memenuhi dinding. Ada beberapa
foto Ify semasa kecil—Rio gemas sekali melihatnya—kemudian foto bersama orang
tua dan laki-laki kecil yang diduga Rio sebagai adik Ify. Belum sempat selesai
memandangi foto-foto tersebut, Ify sudah kembali dengan segelas orange juice dan beberapa toples berisi biskuit.
“Lihatin
apa lo?” tanya Ify sambil meletakkan orange
juice dan toples tersebut di atas meja.
“Foto. Rumah
lo penuh banget sama foto ya,” sahut Rio.
“Bokap
gue hobi motret.”
Ify
duduk lalu mulai membuka kertas-kertas ulangan yang Rio bawa.
“Itu
siapa?” tanya Rio menunjuk salah satu foto. Foto dua gadis kecil yang saling
berpelukan dan tersenyum lebar ke arah kamera.
Ify ikut
memandang foto tersebut lalu tersenyum.
“Gue
sama Sivia. Kita sahabatan sejak kecil. Foto kita banyak banget, apalagi dulu
bokap seneng banget ngefotoin kita, katanya kita lucu. Sivia anaknya heboh
daridulu, nah gue pendiem. Sejak kenal deket sama Sivia, gue jadi ketularan
gila,” cerocos Ify.
“Eh kok
gue jadi curhat sih,” ceplos Ify.
Reflek
Rio tertawa. Dia pikir Ify berbicara panjang lebar seperti tadi dengan
kesadaran penuh.
“Astaga
nilai lo parah banget,” cetus Ify saat melihat kertas ulangan Rio.
“Sepuluh,
nol, lima belas, dua puluh, nol, tanda tanya ya ampun lo niat sekolah nggak
sih? Kalo gue pasti udah dicoret dari kartu keluarga nih. Pokoknya mulai
sekarang lo harus serius! Sekolah tuh bukan buat main-main!”
Rio
meringis menyaksikan reaksi Ify yang di luar dugaannya.
“Tapi lo
tenang aja, gue bantu lo sampai bisa,” lanjut Ify.
***
Gadis
ini meneguk ludahnya sedari tadi saat melihat sneakers incarannya masih terpajang. Sialnya, harga dari sneakers tersebut cukup mahal sehingga
Sivia—ya, gadis itu—belum bisa membeli. Dia tak mau berlama-lama memandangi sneakers tersebut karena semakin
dipandang, Sivia semakin mupeng.
“Lo
lihat Deva?”
Sivia
terlonjak saat Alvin tahu-tahu sudah berada di sebelahnya.
“Loh,
bukannya tadi...”
Ucapan
Sivia menggantung karena baru menyadari baik Deva maupun Lintar sudah tak ada.
Gadis itu berdecak, menyesal karena dia terlalu asik melihat-lihat sneakers.
“Gue
telpon Bang Lintar dulu,” putus Sivia lalu mencoba menghubungi Lintar.
Sial. Sivia
lupa kalau abangnya itu mematikan ponsel setelah bertelponria dengan Deva
karena menghemat batre. Dan dia pun yakin, Lintar yang sedang asik dengan Deva
tidak akan sempat mengingatnya.
“Gimana?”
tanya Alvin.
Gadis
itu menggelengkan kepala. “Gue lupa kalo ponselnya dimatiin. Lo udah coba
nelpon Kak Deva?”
“Nggak
diangkat. Kalo diangkat mah ngapain gue nanya elo,” sahut Alvin terdengar ketus
dan tak berssahabat.
“Biasa
aja dong. Gue kan nanya baik-baik,” nyolot Sivia seperti biasa.
Alvin
tak menanggapi. Dia justru berjalan keluar toko sepatu sekaligus meninggalkan
Sivia yang saat ini membelalakkan mata.
“Anjir,
cowok kampret seenaknya ninggalin gue,” umpat Sivia lantas menyusul pemuda
tersebut.
Sivia
mempercepat langkahnya supaya dapat menyamai langkah Alvin. Begitu langkah mereka
sejajar, Alvin justru berhenti berjalan. Pemuda tersebut menatap sengit ke arah
Sivia seakan berkata pergi lo melalui
sorot matanya yang tajam.
“Ngapain
ngikutin gue?” sinis Alvin.
“Ya
terus gue musti ngikutin siapa kalo bukan elo? Jelas-jelas tadi kita di toko
sepatunya barengan. Mikir dong!”
“Gue
nggak peduli lo mau ngikutin siapa. Tapi lo harus berhenti ngikutin gue,”
tandas Alvin kemudian berlalu.
“Sialan,”
desis Sivia.
Gadis
itu tak mau menyerah. Bukannya mengikuti ucapan Alvin, dia kembali menguntit
pemuda itu secara terang-terangan. Kali ini Alvin membiarkan, ia berusaha tak
peduli dengan kehadiran gadis itu.
“Lo mau
ke mana sih? Gue capek nih,” ucap Sivia yang berjalan di samping Alvin.
Pemuda
itu hanya diam dan menatap lurus ke depan.
“Alvin
maahhhh pelan-pelan dong jalannya. Gue beneran capek. Lo tuh nggak peka banget
ya jadi cowok. Pasti lo jomblo kan? Mana ada yang mau sama cowok nggak peka
kayak elo,” cerocos Sivia.
“Tuh kan
nggak jawab lagi! Anjir muka lo kayak ngajak berantem! Berapa tahun lo nggak
senyum? Nih gue ajarin. Sudut bibir kanan sama kiri ditarik lebar-lebar. Gini
nih,” lanjutnya sambil mencontohkan senyum lebar ala Sivia.
“Berisik,”
ketus Alvin.
Sivia
mengerucutkan bibirnya. Ternyata lebih mudah meladeni Gabriel dibanding
laki-laki di sebelahnya ini. Setidaknya bersama Gabriel tidak membuatnya
terlihat seperti orang bodoh yang bicara sendirian. Tapi kalau diperhatikan
dari jarak sedekat ini, Alvin ternyata sangat tampan. Ups.
“Vin,
ini kita mau ke mana sih?” tanya Sivia dengan muka temboknya.
“Neraka,”
sahut Alvin membuat Sivia merengut.
“Ha. Ha.
Ha. Nggak menghibur sama sekali,” balas Sivia.
“Gue
nggak ada niat ngehibur elo kok.”
Jleb. Sivia
tak tahu kalau Alvin semenyebalkan ini. Pemuda itu sangat irit bicara, tetapi
setiap kali bicara selalut terdengar menohok. Andai saja ini bukan tempat
ramai, pasti Sivia sudah mencekik Alvin sekarang juga.
Gadis
itu memilih mengedarkan pandangannya, berharap dia akan menemukan Deva atau
Lintar atau siapa saja yang dia kenal. Sayangnya tempat seramai ini membuat
kemungkinan menjadi kecil.
***
Alvin
tak berhenti bersumpah serapah di dalam hati. Andai saja dia tak menuruti
ucapan Deva, pasti sekarang dia tak terjebak bersama gadis berisik di
sebelahnya ini. Dia sampai pusing mendengar Sivia—seingatnya Sivia adalah nama
gadis ini—bercerocos meskipun diabaikan. Kalau dia terjebak bersama Shilla sih
tak apa.
Shilla?
Alvin nyaris melupakan gadis itu karena mencari-cari Deva dan Lintar. Buru-buru
Alvin mengecek ponselnya. Lima panggilan tak terjawab dari Shilla. Kemudian
Alvin mengecek arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 18.30! Shit! Kenapa Alvin bisa lupa?!
“Vin!
Vin! Lo mau ke mana? Woiii! Kalo gue ilang diculik gimana? ALVIINN!!”
Alvin
tak peduli dengan seruan Sivia. Pemuda tersebut berlari keluar Mall, menyempatkan
membeli sebucket mawar, lalu menyetop taksi dan bergegas menuju tempat
pagelaran busana. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Shilla. Dia tak boleh
mengecewakan gadis itu karena dia yakin saat ini Shilla tengah menunggunya.
“Pak,
kenapa berhenti?” tanya Alvin panik.
“Lampu
merah kan emang harus berhenti,” sahut sang sopir dengan nada heran seakan-akan
Alvin adalah orang awam yang tak pernah naik kendaraan.
Pemuda
itu mendengus. Jam 19.00 Shilla akan tampil. Setelah lampu merah berubah menjadi
hijau, barulah taksi yang ditumpanginya melaju kembali. Alvin bernafas lega
saat mereka hampir sampai. Tinggal belok ke pertigaan. Sayangnya kelegaan Alvin
hanya berlangsung sejenak karena taksi itu kembali berhenti.
“Kenapa
lagi sih, Pak?” omel Alvin tak sabar.
“Ada
kecelakaan, Mas. Kayaknya parah banget,” sahut sang sopir.
Sebenarnya
sopir itu ketakutan melihat wajah garang Alvin dan mendengar nada bicara pemuda
tersebut. Alvin mendesah, sudah cukup dekat tetapi justru ada kejadian di luar
dugaannya.
“Nih,
Pak,” ujar Alvin menyerahkan uang.
“Loh,
mau ke mana, Mas? Ini masih lumayan jauh, sekitar tiga kilometer lagi!” balas
sopir itu.
“Saya
jalan aja.”
Selanjutnya
pemuda itu keluar dari taksi tanpa melupakan bucket mawar yang dibelinya. Alvin
melirik ke jam tangan yang ia kenakan, detik berikutnya lelaki itu berlari
dengan kencang, tak peduli beberapa orang yang sedang berlalu lalang
mengumpatinya karena tak sengaja menabrak mereka tanpa meminta maaf. Pikiran
Alvin lagi-lagi diisi penuh oleh Shilla.
“Shilla,
tunggu gue,” gumam Alvin.
Keringat
Alvin mulai bercucuran. Ia tak peduli kakinya sudah terasa sakit karena terlalu
jauh berlari. Ia hanya ingin selalu ada di sisi Shilla.
Bibir
pemuda ini tersungging saat ia datang tepat waktu. Meski dengan nafas terengah-engah,
dia bahagia tak melewatkan gadis itu sedetikpun. Pemuda tersebut mulai
memperhatikan Shilla yang sedang berlenggak-lenggok di catwalk, menampilkan senyum yang selalu membuat debar di dadanya.
Semua mata memandang Shilla, memuji aura kecantikan gadis itu yang tak pernah
sirna. Bagi Alvin, gadis itulah tokoh utamanya.
Alvin
beringsut mundur saat Shilla akan menyelesaikan penampilannya. Sebelum Shilla
sampai di backstage, pemuda itu sudah
berada di sana.
Tepat
saat Shilla menemukannya, Alvin menyunggingkan senyum terbaik. Diserahkannya
sebucket mawar tadi pada Shilla, detik berikutnya Alvin merengkuh gadis itu dan
memberikan kecupan singkat di puncak kepala Shilla, sangat singkat
sampai-sampai gadis tersebut tak merasakan apa-apa.
“Lo
cantik banget tuan puteri,” bisik Alvin.
Saat
ingin mengurai pelukan tersebut, Shilla justru menahan dan pelukan itu terasa
lebih erat. Detik selanjutnya Alvin merasakan bahunya basah. Shilla menangis.
“Tuan
puteri, lo kenapa?”
Alvin
benar-benar panik. Shilla tak pernah menangis. Gadis itu gadis yang tegar. Saat
kedua orang tuanya tak datang di kelulusan SMP pun, Shilla masih bisa mengobrol
seakan tak ada apa-apa. Padahal Alvin tahu kalau gadis itu teramat kecewa.
“Gabriel...”
Jantung
Alvin berdentum. Firasat buruk menyergapnya saat dia mendengar gadis itu mengucapkan
nama sahabatnya disela-sela isak tangisnya.
“Gabriel...
nggak dateng, Vin. Dia udah janji mau dateng. Kenapa orang yang paling gue
harapkan justru nggak dateng di hari penting ini, Vin? Kenapa?” racau Shilla
semakin terisak.
Alvin
mengeratkan pelukannya. Dia tak mau mendengar apa-apa lagi. Dia tak mau
mendengar kelanjutan ucapan gadis itu. Apapun. Sedikitpun. Alvin tak mau
mendengar! Tolong, sekali ini saja, jangan biarkan gadis itu bicara lagi—untuk saat
ini.
“Gue
sayang banget sama dia, Vin. Lebih dari sahabat...”
Ada yang
hancur berantakan di dalam sana. Di dalam diri Alvin.
***
Alvin
mengurung dirinya di dalam kamar. Pemuda itu tak mau keluar meskipun Deva sudah
berkali-kali menggedor pintu kamarnya, memaki-maki dirinya karena meninggalkan
Sivia begitu saja, dia tetap pada posisinya. Ucapan Shilla benar-benar
membuatnya kesulitan bernafas. Sesak. Penantian selama enam tahun yang tak ada
artinya karena gadis itu justru jatuh cinta pada Gabriel.
Mata
Alvin menerawang jauh, tak habis pikir mengapa kisah cintanya sepahit ini. Mendengar
isak tangis Shilla yang tak pernah
ditunjukkan pada siapapun membuatnya sedih. Akan tetapi, begitu sadar air mata
itu diperuntukkan untuk laki-laki lain—dan laki-laki itu justru sahabatnya
sendiri—membuat hati Alvin mencelos. Menyedihkan.
“Kenapa
harus Gabriel, Shil? Kenapa bukan gue?” lirih Alvin.
Pemuda
itu meremas selembar foto berisikan dirinya dan Shilla. Lima tahun lalu, kala
The Wanted liburan ke Dufan bersama-sama. Gerakan itu terhenti karena tak ingin
foto tersebut rusak. Kemudian dia beralih menatap foto-foto candid Shilla yang diambilnya dengan
polaroid selama delapan tahun ini—sejak ia memiliki polaroid. Foto-foto itu
disusun rapih di dinding, membuat sebuah kalimat. MY DREAM.
“Apa
selamanya lo bakal jadi mimpi gue, Shil? Apa nggak ada kesempatan untuk
memiliki elo seutuhnya?”
Ingatan Alvin berputar. Setelah mengungkapkan
isi hatinya, Shilla tak bisa berhenti menangis sehingga Alvin harus membawanya
keluar gedung. Mereka pun duduk di taman karena hanya tempat itu yang sepi.
“Don’t
cry, Princess,” bisik Alvin.
Laki-laki itu masih setia membagi dada bidang
dan bahunya untuk Shilla. Untuk gadis yang sejak dulu menempati tahta tertinggi
di hatinya.
“Gabriel pasti juga nggak akan suka kalo lo
nangis,” imbuh Alvin.
Dan gadis itu menghentikan tangisnya. Sumpah,
dia menyesal mengatakan itu. Dia tak pernah tahu kalau melihat gadis yang
disayanginya berhenti menangis untuk orang lain bisa sesakit ini, meskipun
orang itu pula yang menjadi alasannya menangis.
“Sorry, gue ngerepotin elo,” ucap Shilla sangat
pelan.
“Lo nggak pernah ngerepotin gue. Tapi, tolong
jangan pernah nangis lagi. Gue bingung harus ngehibur kayak gimana,” ceplos
Alvin menahan lara di hatinya.
Shilla tersenyum mendengarnya.
“Nah, senyum gini kan cantik,” cetus Alvin lalu
terkekeh.
“Yang tadi jangan dibocorin sama siapapun ya,
Vin. Gue nggak mau Gabriel tahu terus dia jauhin gue. Cukup Cakka aja yang
pergi, jangan ada lagi,” ucap Shilla sudah membaik.
“Lo beneran jatuh cinta sama Gabriel?”
Sial. Alvin membodohkan dirinya sendiri mengapa
menanyakan hal tersebut. Pertanyaan yang sudah jelas akan menyakiti dirinya
sendiri jika Shilla menjawab. Nyatanya gadis itu benar-benar menjawab.
“Gue nggak tahu sejak kapan, tapi ini beneran.
Sayangnya gue nggak pernah berani bilang karna takut persahabatan The Wanted
bakalan hancur.”
Mendengar jawaban itu, mau tak mau Alvin merasa
tersindir.
“Dia sangat dekat. Tapi kenapa tak tergapai?”
tanya Shilla dengan pandangan mata yang kosong.
“Harusnya gue Shil yang nanya itu,” batin
Alvin.
Lamunan
Alvin buyar. Dia berharap mengalami amnesia saat ini juga.
***
“Siapa
sih yang nggak kesel ditinggalin gitu aja? Lo kan tahu banget gue suka bingung
kalo di Mall. Lah itu anak seenaknya pergi! Kesel! Dongkol banget! Dan lo tahu?
Gue sampai ditemuin satpam Mall, diumumin kalo ada anak hilang namanya Sivia.
Malu, Fy! Malu!”
Ify
nyaris menertawakan kalau tak ingat sahabatnya ini benar-benar sedang badmood. Anak kelas 2 SMA diumumin di
Mall karena hilang? Sumpah, ini konyol dan Sivia memang orang terkonyol.
“Terus
dia nggak ada minta maaf lewat telpon atau apa gitu?” tanya Ify.
“Boro-boro.
Gue yakin dia nggak bakalan inget udah ninggalin cewek manis sendirian di Mall.
Nggak mikir kalau gue diculik nanti gimana coba?” ceplos Sivia membuat Ify
memutar bola matanya malas.
“Penculik
juga mikir-mikir kali kalo mau nyulik elo. Tiap detik nyerocos mulu,” cibir
Ify. Sivia merengutkan wajahnya.
“Omong-omong,
di gerbang tadi gue papasan sama Alvin. Mukanya makin horror. Datar banget,”
cetus Ify.
“Tuh
kan! Lo pasti setuju sama gue kalo dia jutek banget,” sahut Sivia pede.
Ify
hanya mengedikkan bahunya. Gadis yang senang mengamati orang lain itu tak
sepenuhnya setuju dengan ucapan Sivia. Sebab, beberapa kali dia memergoki Alvin
menampakkan ekspresi yang berbeda. Bukan Alvin yang menyeramkan, bukan pula
Alvin yang jutek, melainkan Alvin yang penuh perhatian. Anehnya, ekspresi itu
selalu ditunjukkan saat menatap Shilla.
“Lo
ngalamunin siapa? Rio?” cablak Sivia membuat beberapa anak di kelas menengok ke
bangku mereka.
“Ngaco.
Gue lagi mikir daftar novel yang belum kebeli,” sahut Ify cepat dan asal.
Beruntung
sekali tak ada yang curiga. Sejak Ify
menceritakan kedekatannya dengan Rio, sahabatnya ini selalu mengait-ngaitkan
semua hal dengan Rio.
“Minta
beliin aja sama Rio. Duitnya kan banyak.”
Tuh kan!
Rio lagi. Ify mendengus, diam-diam dia bersyukur karena tak ada yang mendengar
ucapan Sivia kali ini. Lagipula kalaupun ada yang menanyakan, Ify akan dengan
senang hati menyebut bahwa yang dimaksud adalah Rio lain. Bukan Rio The Wanted.
“Lo sama
Gabriel gimana?” tanya Ify pelan.
Dia
bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Gimana
apa? Gue sama dia masih nyolot-nyolotan, lo tahu lah anak itu resenya kayak
apa. Tapi mending dia daripada Alvin. Masa gue nyerocos mulu dikatain brisik? Nggak
tahu diri! Jelas-jelas gue ngomong mulu gara-gara nggak ditanggepin sama dia,”
balas Sivia menggebu-gebu. Tanpa sadar gadis itu malah membahas Alvin lagi.
Ify
terkekeh. Geli mendengar curhatan Sivia sekaligus geli karna gadis itu mudah
sekali dialihkan perhatiannya.
“Jadi
nyantolnya ke Gabriel apa Alvin?” goda Ify.
“Lebih
baik gue jadi jomblo seumur hidup,” jawab Sivia mantap.
“Nyet...”
“Apaan
dah?” tanya Sivia bingung.
“Gue
abis dibisikin malaikat nih, Nyet . Katanya doa lo udah disampaiin ke Tuhan.
Selamat jadi jomblo seumur hidup. Gue turut bersuka cita. Akhirnya saingan
mencari jodoh berkurang satu,” sahut Ify jahil.
Detik
berikutnya mereka saling berdebat seperti biasa. Anak-anak sekelas pun sudah
biasa menikmati kegaduhan yang dibuat oleh sepasang sahabat itu. Belum lagi
kalau Debo muncul, pasti akan semakin heboh.
***
Gabriel
melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Sudah ada sahabat-sahabatnya di
sana. Sejujurnya, Gabriel masih mengantuk karena menonton klub bola favoritnya.
Dahi Gabriel berkerut saat Shilla menatapnya dengan kesal.
“Semalem
kenapa nggak datang?” tanya Shilla to the
point.
Pemuda
itu mengangkat sebelah alisnya karena tak mengerti dengan pertanyaan Shilla.
Memangnya semalam dia harus datang ke mana?
“Maksudnya,
Shil?” tanya Gabriel innocent.
Andai
saja gadis itu sedang tak menyembunyikan perasaannya untuk pemuda di hadapannya
ini. Pasti Shilla akan mengatakan panjang lebar bahwa semalam dia sangat berharap
Gabriel ada di sana, dia menunggunya, dia ingin sekali Gabriel menyaksikannya
di pagelaran busana.
“Kemarin
lo bilang pasti dateng di pagelaran busana. Dulu lo juga sempet janji nggak
akan mangkir. Lo lupa, Yel?” tanya Shilla retoris.
Sayangnya
Gabriel tak menyadari nada terluka itu. Detik selanjutnya, Gabriel menepuk
dahinya sendiri. Ternyata ini yang dimaksud Shilla kemarin, saat dia sedang
asik memperhatikan Sivia dan tak menyimak obrolan. Itu sebabnya Gabriel salah
tangkap.
“Hm,
sorry. Semalam gue... mendadak sakit. Iya, kepala gue berat banget terus nyokap
maksa supaya istirahat,” jawab Gabriel berbohong.
“Lo
sakit? Sakit apa? Terus kenapa sekarang masuk? Lo harusnya di rumah aja.”
“Kayaknya
kecapekan aja, Shil,” sahut Gabriel.
Demi
neptunus, dia jadi merasa bersalah karena membohongi gadis ini dan membuatnya
khawatir. Padahal jelas-jelas Gabriel kecapekan karna begadang menonton bola
semalaman.
“Sorry, Shilla. Gue nggak mungkin bilang
kemarin gue nggak dengerin lo ngomong karna terpesona sama Sivia,” ucap Gabriel
dalam hati.
Di lain
sisi, Alvin yang berpura-pura tidur dengan menyumpalkan earplug di telinganya mendengar jelas sebab tak ada suara apapun
yang keluar dari earplug tersebut. Dia cemburu. Kali ini bukan pada Brian, tapi
Gabriel. Selama ini Alvin disangka belum move
on dari Angel oleh sahabat-sahabatnya hanya karna dia malas bertemu dengan
Brian. Alasan yang sesungguhnya adalah
Shilla. Alvin tak suka melihat kedekatan Brian dengan gadis itu.
Rio
sendiri tak begitu menyimak pembicaraan Shilla dan Gabriel. Dia sibuk dengan
pikirannya, lagi-lagi tentang Ify. Pemuda itu tak tahu mengapa gadis tersebut
bisa menyabotase otaknya sedemikian rupa. Lalu, Ozy. Laki-laki kecil yang
ditemuinya di rumah Ify semalam. Obrolannya dengan Ozy membuat Rio semakin
jatuh cinta pada gadis itu.
“Lo pacarnya Kak Ify ya, Kak?” ceplos Ozy.
“Temen,” jawab Rio sekenanya.
“Gue pikir pacarnya. Tapi bagus sih. Pacaran
sama Kak Ify nanti bukannya ngajakin dinner romantis malah ke toko buku, mules
duluan. Belum lagi nanti pas berduaan malah dicuekin sama novelnya.”
Rio tertawa mendengarnya. Ternyata benar kata
Ify, adiknya ini rese. Tapi mungkin lebih tepat lagi kalau Ify mengatakan adiknya
rese jika membicarakannya.
“Gitu ya? Emang sekarang Ify lagi kosong?”
tanya Rio mulai memanfaatkan situasi untuk mengorek informasi berhubung gadis
itu tengah mencarikan buku untuknya.
“Iya. Dia baru pacaran sekali, nggak tahu juga
putus kenapa. Mungkin emang takdirnya nemenin Kak Sivia jadi jomblo,” jawab Ozy
ngasal.
“Omong-omong, nama lo Mario Haling kan, Kak?”
lanjutnya membuat Rio mengernyit heran.
“Tahu dari mana?”
Ozy tertawa kecil. “Sudah gue duga. Temennya
Kak Shilla yang model terkenal itu kan? Cewek gue fans beratnya Kak Shilla,
terus dia pernah ngasih lihat foto di instagramnya Kak Shilla. Hmm, The Wanted.
Ya kan?” cerocos Ozy yang hanya diangguki oleh Rio.
“Nggak nyangka kakak gue bisa temenan sama
cowok kece. Kenapa nggak pacaran sekalian? Siapa tahu gue ketularan kec—“
“Kecebong! Sana lu pergi!”
Tahu-tahu saja Ify sudah kembali dan memotong
ucapan adiknya. Ozy nyengir lalu buru-buru pergi sebelum kena semprot.
“Galak banget sih, Mbak,” canda Rio.
“Dia tuh rese banget. Lo nggak diomongin
aneh-aneh kan? Apa malah dia yang ngomongin gue?” sungut Ify.
“Nggak kok. Dia cuma curhat kalo ceweknya
ngefans sama Shilla,” jawab Rio tak membocorkan pembicaraannya mengenai Ify
tadi.
“Lah, itu tuyul punya cewek? Sialan, masih SMP
aja sosoan pacaran,” umpat Ify.
“Nah elo SMA kok nggak ada pacar?” tanya Rio
bermaksud meledek.
“Ngaca dong, Mas. Gue bukannya nggak ada pacar,
tapi gue cuma lagi ngasih kesempatan ke jomblo-jomblo ngenes yang belum
merasakan pacaran,” elak Ify membuat Rio terpingkal-pingkal.
Rio
tersenyum mengingatnya. Setiap bersama gadis itu, waktu terasa lebih cepat
berlalu. Sayangnya semalam dia tak bisa berlama-lama di rumah Ify karena orang
tua gadis itu sedang pulang kampung. Mereka—khususnya Ify—tak mau jika tetangga
sampai berpikir yang tidak-tidak.
“CAKKAAA!”
The
Wanted—termasuk Rio—menoleh ke arah sumber suara. Rio mengernyit karena tak
mengenali siapa yang sedang memanggil Cakka dari ambang pintu. Setelah Cakka
melambaikan tangannya, seseorang itu masuk dan menghampiri bangku Cakka.
“Bedge-nya kelas tiga,” cetus Gabriel.
“Sejak
kapan Cakka kenal anak kelas tiga?” tanya Rio entah pada siapa.
Mereka
memperhatikan Cakka dan seseorang itu dengan seksama. Mereka tampak akrab,
terlihat seperti sudah lama kenal. Beberapa kali mereka saling melemparkan
candaan lalu tertawa bersama.
Kasak-kusuk
mulai terdengar di kelas. Kabar Cakka keluar dari The Wanted pun sudah tersebar
di sangat cepat sampai ke guru-guru.
“Cakka
kenal Kak Patton?”
“Lo
nggak tahu? Cakka sekarang resmi jadi tim inti basket. Kak Patton sendiri yang
resmiin Cakka buat gantiin Adyt, yang kemarin kecelakaan terus nggak dibolehin
bokapnya main basket lagi.”
“Demi
apa? Kak Patton sendiri? Gila! Hoki banget si Cakka. Udah masuk ke tim inti,
kaptennya langsung lagi yang resmiin.”
“Cakka
sekarang berubah. Temennya banyak dari seangkatan sampai kakak kelas. Denger-denger
juga dia lagi banyak yang naksir. Lo tahu lah dia emang cakep, kakak kelas aja
sampai ada yang belain nonton Cakka latihan.”
“Wih!
Gue mau jadi fansnya Cakka kalo gitu. Eh kok lo tau banyak sih?”
“Satu
sekolah juga udah pada tahu. Keluar makanya. Jangan di dalem kelas mulu.”
Percakapan
itu didengarkan oleh The Wanted secara langsung tanpa dua anak itu sadari.
Shilla menundukkan kepalanya, dia tak pernah tahu sudah sejauh itu perubahan
Cakka. Alvin, Rio dan Gabriel sama kagetnya. Sejak Cakka keluar dari The
Wanted, mereka lebih sering menghabiskan waktu di kelas sehingga tak tahu
apa-apa.
***
“Cakka.”
Langkah
Cakka terhenti. Pemuda itu berbalik dan mendapati Gabriel yang tengah berdiri
menatapnya.
“You look so different,” ucap Gabriel tak
dapat menyembunyikan ketakjubannya.
Dia tak
pernah melihat Cakka mengenakan seragam basket sejak mereka lulus SD. Kini
Cakka mengenakannya, tampak sangat pas.
“Apa
kabar, Cak?” lanjut Gabriel.
Cakka
menarik salah satu sudut bibirnya. Dia tak menyangka akan bertemu dengan
Gabriel dengan keadaan seperti ini. Hanya berdua. Dia pikir Gabriel sudah
pulang sejak tadi, sebab biasanya juga seperti itu. Kecuali jika dia harus
menemui kepala sekolah.
“Jauh
lebih baik dari dulu,” balas Cakka cukup tajam.
Gabriel
meringis mendengarnya. Padahal dia menyapa dengan maksud baik—lebih baik lagi
kalau Cakka mau kembali—tapi ditanggapi dengan tajam.
“Kalau
lo mau ngomongin hal nggak penting, gue nggak ada waktu,” kata Cakka kemudian
berlalu.
Ingin
Gabriel menahan pemuda itu tapi lidahnya
mendadak kelu. Mungkinkah Cakka yang sekarang masih sama dengan Cakka yang
dikenalnya dulu? Pertanyaan tersebut terlintas begitu saja. Namun sekelebat
bayangan tingkah laku Cakka sejak pertama kali bertemu sampai saat ini
menyadarkan Gabriel tentang sesuatu.
Cakka yang
dulu tak pernah bisa lepas dari bakset. Namun sejak Rio, partnernya mulai sibuk
dengan urusannya, Cakka tak pernah menyentuh bola itu lagi. Dan sekarang
Gabriel menemukan Cakka yang mencintai basket.
Tak mau
membuang waktu lagi, pemuda itu berjalan ke arah lapangan indoor. Dia bersembunyi supaya tak ada yang tahu akan
kehadirannya.
“Cakka,
lo se-tim sama Debo ya,” ucap seseorang yang kalau tidak salah ingat, namanya
adalah Patton.
“Wihhh
kita harus kompak, bro!” seru Cakka
lalu ber-high five dengan laki-laki
berkulit putih. Mungkin itu yang namanya Debo. Ah, itu pemuda yang sempat
membuat kegaduhan di kantin bersama Sivia dan Ify dulu.
Selanjutnya
latihan dimulai. Gabriel masih asik memperhatikan sahabatnya—dia tak akan sudi
menyebut Cakka sebagai mantan sahabat—yang sedang berusaha mempertahakan bola.
Dia tersenyum, ternyata kemampuan Cakka masih ada sampai saat ini. Apakah ini
yang membuat pemuda itu memutuskan untuk keluar dari The Wanted?
“CAKKAAAA!!!
CAKKA CAKKA CAKKA!!”
Gabriel
menutup telinganya saat tahu-tahu segerombolan gadis memenuhi tribun dan
menyerukan nama Cakka. Ternyata pembicaraan teman sekelasnya tadi bukan gosip
belaka.
Gabriel
masih memperhatikan. Tim Cakka unggul dan memenangkan battle. Kemudian Cakka berlari-lari kecil ke sudut lapangan, menerima
pemberian minum dari gadis berponi yang sama-sama mengenakan kaos basket. Sepertinya
itu Agni. Selanjutnya mereka semua tampak mengobrol dan tertawa bersama.
“Kapan
gue bisa kayak Cakka?” gumam Gabriel.
***
Bersambung...
Waaa akhirnya. Saya minta maaf kalau semakin nambah part ceritanya nggak sesuai ekspektasi hehe mohon dimaklumi. Saya juga lagi sibuk ngerjain laporan nih :'(
Oh iya, saya minta maaf karna ngacangin yang minta folback. Dari awal bikin akun wattpad niatnya emang mau baca-baca doang jadi saya cuma follow yang post cerita bagus karna nggak mau menuhin notif. Toh nggak folback kalian masih bisa baca *songong* Maafin :'( sudah kebal dikatain pelit folback :'(
Follow ask.fm/fannyslma
2 komentar:
Kak fannyy tambah penasaran bgt ini sama alur ceritanyaaa;3 sempet ngakak dibagian alvin ninggalin sivia wkwk trs diumumin anak ilang sm satpam mall nya (??) kampret tambah kecee bgt ini cerbung{} like this! Ditunggu next partnyaa^
eh bdw semangaat buat ngerjain laporannya:) gudlak!
merit casino - yng.mobelj
merit casino. Play for real money at หาเงินออนไลน์ casino fairs. We offer more than 700 slot 메리트카지노 machines on every level. Play on a consistent basis for 인카지노 your profits.
Posting Komentar