"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Selasa, 19 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 8

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Hellooo tim #BangkitkanCRAGSISA akhirnya kita sampai di part 8 dengan lancar. Btw kok judulnya ganti? YAAA! Diprotes mulu soal judul, akhirnya saya ganti jadi When You Hold Me. Jauh amat ya. Nggak pa-pa judul ganti, yang penting ceritanya masih sama. Dari awal memang saya ngambil lagu Because Of You - Keith Martin jadi soundtrack (?) tapi karna banyak yang nyuruh ganti judul akhirnya saya ganti. When You Hold Me itu juga penggalan lirik lagu itu kok hehehe jangan protes lagi ya. Capek ngedit postnya jadi kelamaan post part ini. Langsung aja ~

Hope you like it guys

8


Shil, I’m so sorry. Gue nggak bisa datang. God bless you, Shilla. Good luck! Gue yakin lo cantik dan sempurna :)
Send. Setelah mengirim chat kepada Shilla, Rio bergegas melajukan mobilnya ke rumah Ify. Awalnya gadis itu mengajak bertemu di Caffe, tetapi Rio menolak karena tak ingin merepotkan gadis itu. Rio tak pernah tahu kalau magnet Ify begitu kuat. Setelah menceritakan kejadian hari ini pada Mas Dayat, pria tersebut mendukung Rio untuk menemui Ify saat itu juga, lantas Rio terpaksa membatalkan janjinya pada Shilla.
Mobil Rio berhenti di halaman rumah bercorak mozaik dengan warna-warna pastel. Setelah memastikan bahwa ini adalah rumah Ify, pemuda tersebut turun dari mobilnya, berjalan menuju pintu dan mengetok dengan sopan. Tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan seorang pemuda kecil yang menatapnya bingung.
“Siapa ya?” tanya pemuda kecil tersebut.
“Rio, teman Ify. Ify ada?” balas Rio.
Laki-laki kecil itu memperhatikan Rio dengan seksama. Sebuah cengiran lebar terhias di wajahnya. Rio mengernyitkan dahi saat laki-laki kecil tersebut berlari masuk dan meneriakkan sesuatu di luar dugaan Rio.
“KAK IFYYYY!!! ADA COWOK LO TUUHHHH!”
Rio nyaris tersedak ludahnya sendiri namun tak urung tersenyum geli pula. Dari ambang pintu, dia bisa mendengar Ify mendumel dan beradu mulut dengan laki-laki kecil itu.
“Bacot banget sih lu! Sono belajar!” nyolot Ify.
“Cieee yang nggak mau diganggu pacarannya,” ledek laki-laki kecil itu.
“Siapa yang pacaran sih? Hus! Hussss!”
“Elo lah! Bye yang ketemu pacarrrr!!”
Selanjutnya Rio bisa mendengar suara pintu yang ditutup dengan cepat. Tak lama kemudian Ify pun muncul dengan wajah kesalnya. Rio mengulum senyum, gadis itu terlihat lucu sekali.
“Sori ya. Adek gue emang ngeselin. Yuk, masuk,” ujar Ify mempersilakan Rio.
“Nggak masalah kok,” balas Rio sambil terkekeh.
Rio lantas duduk di sofa. Pemuda itu mengedarkan pandangan. Rumah Ify cukup luas—meski tak seluas rumahnya—dan didominasi dengan foto-foto.
“Gue ambilin minum dulu ya,” pamit Ify.
“Nggak usah—“
“Nggak pa-pa. Anggap aja rumah sendiri, asal jangan lo jual,” potong Ify cepat.
Rio tertawa kecil lalu menganggukkan kepala. Begitu Ify menghilang, pemuda itu kembali melihat foto-foto yang terpajang dan memenuhi dinding. Ada beberapa foto Ify semasa kecil—Rio gemas sekali melihatnya—kemudian foto bersama orang tua dan laki-laki kecil yang diduga Rio sebagai adik Ify. Belum sempat selesai memandangi foto-foto tersebut, Ify sudah kembali dengan segelas orange juice dan beberapa toples berisi biskuit.
“Lihatin apa lo?” tanya Ify sambil meletakkan orange juice dan toples tersebut di atas meja.
“Foto. Rumah lo penuh banget sama foto ya,” sahut Rio.
“Bokap gue hobi motret.”
Ify duduk lalu mulai membuka kertas-kertas ulangan yang Rio bawa.
“Itu siapa?” tanya Rio menunjuk salah satu foto. Foto dua gadis kecil yang saling berpelukan dan tersenyum lebar ke arah kamera.
Ify ikut memandang foto tersebut lalu tersenyum.
“Gue sama Sivia. Kita sahabatan sejak kecil. Foto kita banyak banget, apalagi dulu bokap seneng banget ngefotoin kita, katanya kita lucu. Sivia anaknya heboh daridulu, nah gue pendiem. Sejak kenal deket sama Sivia, gue jadi ketularan gila,” cerocos Ify.
“Eh kok gue jadi curhat sih,” ceplos Ify.
Reflek Rio tertawa. Dia pikir Ify berbicara panjang lebar seperti tadi dengan kesadaran penuh.
“Astaga nilai lo parah banget,” cetus Ify saat melihat kertas ulangan Rio.
“Sepuluh, nol, lima belas, dua puluh, nol, tanda tanya ya ampun lo niat sekolah nggak sih? Kalo gue pasti udah dicoret dari kartu keluarga nih. Pokoknya mulai sekarang lo harus serius! Sekolah tuh bukan buat main-main!”
Rio meringis menyaksikan reaksi Ify yang di luar dugaannya.
“Tapi lo tenang aja, gue bantu lo sampai bisa,” lanjut Ify.
***
Gadis ini meneguk ludahnya sedari tadi saat melihat sneakers incarannya masih terpajang. Sialnya, harga dari sneakers tersebut cukup mahal sehingga Sivia—ya, gadis itu—belum bisa membeli. Dia tak mau berlama-lama memandangi sneakers tersebut karena semakin dipandang, Sivia semakin mupeng.
“Lo lihat Deva?”
Sivia terlonjak saat Alvin tahu-tahu sudah berada di sebelahnya.
“Loh, bukannya tadi...”
Ucapan Sivia menggantung karena baru menyadari baik Deva maupun Lintar sudah tak ada. Gadis itu berdecak, menyesal karena dia terlalu asik melihat-lihat sneakers.
“Gue telpon Bang Lintar dulu,” putus Sivia lalu mencoba menghubungi Lintar.
Sial. Sivia lupa kalau abangnya itu mematikan ponsel setelah bertelponria dengan Deva karena menghemat batre. Dan dia pun yakin, Lintar yang sedang asik dengan Deva tidak akan sempat mengingatnya.
“Gimana?” tanya Alvin.
Gadis itu menggelengkan kepala. “Gue lupa kalo ponselnya dimatiin. Lo udah coba nelpon Kak Deva?”
“Nggak diangkat. Kalo diangkat mah ngapain gue nanya elo,” sahut Alvin terdengar ketus dan tak berssahabat.
“Biasa aja dong. Gue kan nanya baik-baik,” nyolot Sivia seperti biasa.
Alvin tak menanggapi. Dia justru berjalan keluar toko sepatu sekaligus meninggalkan Sivia yang saat ini membelalakkan mata.
“Anjir, cowok kampret seenaknya ninggalin gue,” umpat Sivia lantas menyusul pemuda tersebut.
Sivia mempercepat langkahnya supaya dapat menyamai langkah Alvin. Begitu langkah mereka sejajar, Alvin justru berhenti berjalan. Pemuda tersebut menatap sengit ke arah Sivia seakan berkata pergi lo melalui sorot matanya yang tajam.
“Ngapain ngikutin gue?” sinis Alvin.
“Ya terus gue musti ngikutin siapa kalo bukan elo? Jelas-jelas tadi kita di toko sepatunya barengan. Mikir dong!”
“Gue nggak peduli lo mau ngikutin siapa. Tapi lo harus berhenti ngikutin gue,” tandas Alvin kemudian berlalu.
“Sialan,” desis Sivia.
Gadis itu tak mau menyerah. Bukannya mengikuti ucapan Alvin, dia kembali menguntit pemuda itu secara terang-terangan. Kali ini Alvin membiarkan, ia berusaha tak peduli dengan kehadiran gadis itu.
“Lo mau ke mana sih? Gue capek nih,” ucap Sivia yang berjalan di samping Alvin.
Pemuda itu hanya diam dan menatap lurus ke depan.
“Alvin maahhhh pelan-pelan dong jalannya. Gue beneran capek. Lo tuh nggak peka banget ya jadi cowok. Pasti lo jomblo kan? Mana ada yang mau sama cowok nggak peka kayak elo,” cerocos Sivia.
“Tuh kan nggak jawab lagi! Anjir muka lo kayak ngajak berantem! Berapa tahun lo nggak senyum? Nih gue ajarin. Sudut bibir kanan sama kiri ditarik lebar-lebar. Gini nih,” lanjutnya sambil mencontohkan senyum lebar ala Sivia.
“Berisik,” ketus Alvin.
Sivia mengerucutkan bibirnya. Ternyata lebih mudah meladeni Gabriel dibanding laki-laki di sebelahnya ini. Setidaknya bersama Gabriel tidak membuatnya terlihat seperti orang bodoh yang bicara sendirian. Tapi kalau diperhatikan dari jarak sedekat ini, Alvin ternyata sangat tampan. Ups.
“Vin, ini kita mau ke mana sih?” tanya Sivia dengan muka temboknya.
“Neraka,” sahut Alvin membuat Sivia merengut.
“Ha. Ha. Ha. Nggak menghibur sama sekali,” balas Sivia.
“Gue nggak ada niat ngehibur elo kok.”
Jleb. Sivia tak tahu kalau Alvin semenyebalkan ini. Pemuda itu sangat irit bicara, tetapi setiap kali bicara selalut terdengar menohok. Andai saja ini bukan tempat ramai, pasti Sivia sudah mencekik Alvin sekarang juga.
Gadis itu memilih mengedarkan pandangannya, berharap dia akan menemukan Deva atau Lintar atau siapa saja yang dia kenal. Sayangnya tempat seramai ini membuat kemungkinan menjadi kecil.
***
Alvin tak berhenti bersumpah serapah di dalam hati. Andai saja dia tak menuruti ucapan Deva, pasti sekarang dia tak terjebak bersama gadis berisik di sebelahnya ini. Dia sampai pusing mendengar Sivia—seingatnya Sivia adalah nama gadis ini—bercerocos meskipun diabaikan. Kalau dia terjebak bersama Shilla sih tak apa.
Shilla? Alvin nyaris melupakan gadis itu karena mencari-cari Deva dan Lintar. Buru-buru Alvin mengecek ponselnya. Lima panggilan tak terjawab dari Shilla. Kemudian Alvin mengecek arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 18.30! Shit! Kenapa Alvin bisa lupa?!
“Vin! Vin! Lo mau ke mana? Woiii! Kalo gue ilang diculik gimana? ALVIINN!!”
Alvin tak peduli dengan seruan Sivia. Pemuda tersebut berlari keluar Mall, menyempatkan membeli sebucket mawar, lalu menyetop taksi dan bergegas menuju tempat pagelaran busana. Yang ada di pikirannya saat ini hanya Shilla. Dia tak boleh mengecewakan gadis itu karena dia yakin saat ini Shilla tengah menunggunya.
“Pak, kenapa berhenti?” tanya Alvin panik.
“Lampu merah kan emang harus berhenti,” sahut sang sopir dengan nada heran seakan-akan Alvin adalah orang awam yang tak pernah naik kendaraan.
Pemuda itu mendengus. Jam 19.00 Shilla akan tampil. Setelah lampu merah berubah menjadi hijau, barulah taksi yang ditumpanginya melaju kembali. Alvin bernafas lega saat mereka hampir sampai. Tinggal belok ke pertigaan. Sayangnya kelegaan Alvin hanya berlangsung sejenak karena taksi itu kembali berhenti.
“Kenapa lagi sih, Pak?” omel Alvin tak sabar.
“Ada kecelakaan, Mas. Kayaknya parah banget,” sahut sang sopir.
Sebenarnya sopir itu ketakutan melihat wajah garang Alvin dan mendengar nada bicara pemuda tersebut. Alvin mendesah, sudah cukup dekat tetapi justru ada kejadian di luar dugaannya.
“Nih, Pak,” ujar Alvin menyerahkan uang.
“Loh, mau ke mana, Mas? Ini masih lumayan jauh, sekitar tiga kilometer lagi!” balas sopir itu.
“Saya jalan aja.”
Selanjutnya pemuda itu keluar dari taksi tanpa melupakan bucket mawar yang dibelinya. Alvin melirik ke jam tangan yang ia kenakan, detik berikutnya lelaki itu berlari dengan kencang, tak peduli beberapa orang yang sedang berlalu lalang mengumpatinya karena tak sengaja menabrak mereka tanpa meminta maaf. Pikiran Alvin lagi-lagi diisi penuh oleh Shilla.
“Shilla, tunggu gue,” gumam Alvin.
Keringat Alvin mulai bercucuran. Ia tak peduli kakinya sudah terasa sakit karena terlalu jauh berlari. Ia hanya ingin selalu ada di sisi Shilla.
Bibir pemuda ini tersungging saat ia datang tepat waktu. Meski dengan nafas terengah-engah, dia bahagia tak melewatkan gadis itu sedetikpun. Pemuda tersebut mulai memperhatikan Shilla yang sedang berlenggak-lenggok di catwalk, menampilkan senyum yang selalu membuat debar di dadanya. Semua mata memandang Shilla, memuji aura kecantikan gadis itu yang tak pernah sirna. Bagi Alvin, gadis itulah tokoh utamanya.
Alvin beringsut mundur saat Shilla akan menyelesaikan penampilannya. Sebelum Shilla sampai di backstage, pemuda itu sudah berada di sana.
Tepat saat Shilla menemukannya, Alvin menyunggingkan senyum terbaik. Diserahkannya sebucket mawar tadi pada Shilla, detik berikutnya Alvin merengkuh gadis itu dan memberikan kecupan singkat di puncak kepala Shilla, sangat singkat sampai-sampai gadis tersebut tak merasakan apa-apa.
“Lo cantik banget tuan puteri,” bisik Alvin.
Saat ingin mengurai pelukan tersebut, Shilla justru menahan dan pelukan itu terasa lebih erat. Detik selanjutnya Alvin merasakan bahunya basah. Shilla menangis.
“Tuan puteri, lo kenapa?”
Alvin benar-benar panik. Shilla tak pernah menangis. Gadis itu gadis yang tegar. Saat kedua orang tuanya tak datang di kelulusan SMP pun, Shilla masih bisa mengobrol seakan tak ada apa-apa. Padahal Alvin tahu kalau gadis itu teramat kecewa.
“Gabriel...”
Jantung Alvin berdentum. Firasat buruk menyergapnya saat dia mendengar gadis itu mengucapkan nama sahabatnya disela-sela isak tangisnya.
“Gabriel... nggak dateng, Vin. Dia udah janji mau dateng. Kenapa orang yang paling gue harapkan justru nggak dateng di hari penting ini, Vin? Kenapa?” racau Shilla semakin terisak.
Alvin mengeratkan pelukannya. Dia tak mau mendengar apa-apa lagi. Dia tak mau mendengar kelanjutan ucapan gadis itu. Apapun. Sedikitpun. Alvin tak mau mendengar! Tolong, sekali ini saja, jangan biarkan gadis itu bicara lagi—untuk saat ini.
“Gue sayang banget sama dia, Vin. Lebih dari sahabat...”
Ada yang hancur berantakan di dalam sana. Di dalam diri Alvin.
***
Alvin mengurung dirinya di dalam kamar. Pemuda itu tak mau keluar meskipun Deva sudah berkali-kali menggedor pintu kamarnya, memaki-maki dirinya karena meninggalkan Sivia begitu saja, dia tetap pada posisinya. Ucapan Shilla benar-benar membuatnya kesulitan bernafas. Sesak. Penantian selama enam tahun yang tak ada artinya karena gadis itu justru jatuh cinta pada Gabriel.
Mata Alvin menerawang jauh, tak habis pikir mengapa kisah cintanya sepahit ini. Mendengar isak tangis Shilla yang tak  pernah ditunjukkan pada siapapun membuatnya sedih. Akan tetapi, begitu sadar air mata itu diperuntukkan untuk laki-laki lain—dan laki-laki itu justru sahabatnya sendiri—membuat hati Alvin mencelos. Menyedihkan.
“Kenapa harus Gabriel, Shil? Kenapa bukan gue?” lirih Alvin.
Pemuda itu meremas selembar foto berisikan dirinya dan Shilla. Lima tahun lalu, kala The Wanted liburan ke Dufan bersama-sama. Gerakan itu terhenti karena tak ingin foto tersebut rusak. Kemudian dia beralih menatap foto-foto candid Shilla yang diambilnya dengan polaroid selama delapan tahun ini—sejak ia memiliki polaroid. Foto-foto itu disusun rapih di dinding, membuat sebuah kalimat. MY DREAM.
“Apa selamanya lo bakal jadi mimpi gue, Shil? Apa nggak ada kesempatan untuk memiliki elo seutuhnya?”
Ingatan Alvin berputar. Setelah mengungkapkan isi hatinya, Shilla tak bisa berhenti menangis sehingga Alvin harus membawanya keluar gedung. Mereka pun duduk di taman karena hanya tempat itu yang sepi.
Don’t cry, Princess,” bisik Alvin.
Laki-laki itu masih setia membagi dada bidang dan bahunya untuk Shilla. Untuk gadis yang sejak dulu menempati tahta tertinggi di hatinya.
“Gabriel pasti juga nggak akan suka kalo lo nangis,” imbuh Alvin.
Dan gadis itu menghentikan tangisnya. Sumpah, dia menyesal mengatakan itu. Dia tak pernah tahu kalau melihat gadis yang disayanginya berhenti menangis untuk orang lain bisa sesakit ini, meskipun orang itu pula yang menjadi alasannya menangis.
Sorry, gue ngerepotin elo,” ucap Shilla sangat pelan.
“Lo nggak pernah ngerepotin gue. Tapi, tolong jangan pernah nangis lagi. Gue bingung harus ngehibur kayak gimana,” ceplos Alvin menahan lara di hatinya.
Shilla tersenyum mendengarnya.
“Nah, senyum gini kan cantik,” cetus Alvin lalu terkekeh.
“Yang tadi jangan dibocorin sama siapapun ya, Vin. Gue nggak mau Gabriel tahu terus dia jauhin gue. Cukup Cakka aja yang pergi, jangan ada lagi,” ucap Shilla sudah membaik.
“Lo beneran jatuh cinta sama Gabriel?”
Sial. Alvin membodohkan dirinya sendiri mengapa menanyakan hal tersebut. Pertanyaan yang sudah jelas akan menyakiti dirinya sendiri jika Shilla menjawab. Nyatanya gadis itu benar-benar menjawab.
“Gue nggak tahu sejak kapan, tapi ini beneran. Sayangnya gue nggak pernah berani bilang karna takut persahabatan The Wanted bakalan hancur.”
Mendengar jawaban itu, mau tak mau Alvin merasa tersindir.
“Dia sangat dekat. Tapi kenapa tak tergapai?” tanya Shilla dengan pandangan mata yang kosong.
“Harusnya gue Shil yang nanya itu,” batin Alvin.
Lamunan Alvin buyar. Dia berharap mengalami amnesia saat ini juga.
***
“Siapa sih yang nggak kesel ditinggalin gitu aja? Lo kan tahu banget gue suka bingung kalo di Mall. Lah itu anak seenaknya pergi! Kesel! Dongkol banget! Dan lo tahu? Gue sampai ditemuin satpam Mall, diumumin kalo ada anak hilang namanya Sivia. Malu, Fy! Malu!”
Ify nyaris menertawakan kalau tak ingat sahabatnya ini benar-benar sedang badmood. Anak kelas 2 SMA diumumin di Mall karena hilang? Sumpah, ini konyol dan Sivia memang orang terkonyol.
“Terus dia nggak ada minta maaf lewat telpon atau apa gitu?” tanya Ify.
“Boro-boro. Gue yakin dia nggak bakalan inget udah ninggalin cewek manis sendirian di Mall. Nggak mikir kalau gue diculik nanti gimana coba?” ceplos Sivia membuat Ify memutar bola matanya malas.
“Penculik juga mikir-mikir kali kalo mau nyulik elo. Tiap detik nyerocos mulu,” cibir Ify. Sivia merengutkan wajahnya.
“Omong-omong, di gerbang tadi gue papasan sama Alvin. Mukanya makin horror. Datar banget,” cetus Ify.
“Tuh kan! Lo pasti setuju sama gue kalo dia jutek banget,” sahut Sivia pede.
Ify hanya mengedikkan bahunya. Gadis yang senang mengamati orang lain itu tak sepenuhnya setuju dengan ucapan Sivia. Sebab, beberapa kali dia memergoki Alvin menampakkan ekspresi yang berbeda. Bukan Alvin yang menyeramkan, bukan pula Alvin yang jutek, melainkan Alvin yang penuh perhatian. Anehnya, ekspresi itu selalu ditunjukkan saat menatap Shilla.
“Lo ngalamunin siapa? Rio?” cablak Sivia membuat beberapa anak di kelas menengok ke bangku mereka.
“Ngaco. Gue lagi mikir daftar novel yang belum kebeli,” sahut Ify cepat dan asal.
Beruntung sekali tak ada yang curiga.  Sejak Ify menceritakan kedekatannya dengan Rio, sahabatnya ini selalu mengait-ngaitkan semua hal dengan Rio.
“Minta beliin aja sama Rio. Duitnya kan banyak.”
Tuh kan! Rio lagi. Ify mendengus, diam-diam dia bersyukur karena tak ada yang mendengar ucapan Sivia kali ini. Lagipula kalaupun ada yang menanyakan, Ify akan dengan senang hati menyebut bahwa yang dimaksud adalah Rio lain. Bukan Rio The Wanted.
“Lo sama Gabriel gimana?” tanya Ify pelan.
Dia bermaksud mengalihkan pembicaraan.
“Gimana apa? Gue sama dia masih nyolot-nyolotan, lo tahu lah anak itu resenya kayak apa. Tapi mending dia daripada Alvin. Masa gue nyerocos mulu dikatain brisik? Nggak tahu diri! Jelas-jelas gue ngomong mulu gara-gara nggak ditanggepin sama dia,” balas Sivia menggebu-gebu. Tanpa sadar gadis itu malah membahas Alvin lagi.
Ify terkekeh. Geli mendengar curhatan Sivia sekaligus geli karna gadis itu mudah sekali dialihkan perhatiannya.
“Jadi nyantolnya ke Gabriel apa Alvin?” goda Ify.
“Lebih baik gue jadi jomblo seumur hidup,” jawab Sivia mantap.
“Nyet...”
“Apaan dah?” tanya Sivia bingung.
“Gue abis dibisikin malaikat nih, Nyet . Katanya doa lo udah disampaiin ke Tuhan. Selamat jadi jomblo seumur hidup. Gue turut bersuka cita. Akhirnya saingan mencari jodoh berkurang satu,” sahut Ify jahil.
Detik berikutnya mereka saling berdebat seperti biasa. Anak-anak sekelas pun sudah biasa menikmati kegaduhan yang dibuat oleh sepasang sahabat itu. Belum lagi kalau Debo muncul, pasti akan semakin heboh.
***
Gabriel melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Sudah ada sahabat-sahabatnya di sana. Sejujurnya, Gabriel masih mengantuk karena menonton klub bola favoritnya. Dahi Gabriel berkerut saat Shilla menatapnya dengan kesal.
“Semalem kenapa nggak datang?” tanya Shilla to the point.
Pemuda itu mengangkat sebelah alisnya karena tak mengerti dengan pertanyaan Shilla. Memangnya semalam dia harus datang ke mana?
“Maksudnya, Shil?” tanya Gabriel innocent.
Andai saja gadis itu sedang tak menyembunyikan perasaannya untuk pemuda di hadapannya ini. Pasti Shilla akan mengatakan panjang lebar bahwa semalam dia sangat berharap Gabriel ada di sana, dia menunggunya, dia ingin sekali Gabriel menyaksikannya di pagelaran busana.
“Kemarin lo bilang pasti dateng di pagelaran busana. Dulu lo juga sempet janji nggak akan mangkir. Lo lupa, Yel?” tanya Shilla retoris.
Sayangnya Gabriel tak menyadari nada terluka itu. Detik selanjutnya, Gabriel menepuk dahinya sendiri. Ternyata ini yang dimaksud Shilla kemarin, saat dia sedang asik memperhatikan Sivia dan tak menyimak obrolan. Itu sebabnya Gabriel salah tangkap.
“Hm, sorry. Semalam gue... mendadak sakit. Iya, kepala gue berat banget terus nyokap maksa supaya istirahat,” jawab Gabriel berbohong.
“Lo sakit? Sakit apa? Terus kenapa sekarang masuk? Lo harusnya di rumah aja.”
“Kayaknya kecapekan aja, Shil,” sahut Gabriel.
Demi neptunus, dia jadi merasa bersalah karena membohongi gadis ini dan membuatnya khawatir. Padahal jelas-jelas Gabriel kecapekan karna begadang menonton bola semalaman.
Sorry, Shilla. Gue nggak mungkin bilang kemarin gue nggak dengerin lo ngomong karna terpesona sama Sivia,” ucap Gabriel dalam hati.
Di lain sisi, Alvin yang berpura-pura tidur dengan menyumpalkan earplug di telinganya mendengar jelas sebab tak ada suara apapun yang keluar  dari earplug tersebut. Dia cemburu. Kali ini bukan pada Brian, tapi Gabriel. Selama ini Alvin disangka belum move on dari Angel oleh sahabat-sahabatnya hanya karna dia malas bertemu dengan Brian. Alasan  yang sesungguhnya adalah Shilla. Alvin tak suka melihat kedekatan Brian dengan gadis itu.
Rio sendiri tak begitu menyimak pembicaraan Shilla dan Gabriel. Dia sibuk dengan pikirannya, lagi-lagi tentang Ify. Pemuda itu tak tahu mengapa gadis tersebut bisa menyabotase otaknya sedemikian rupa. Lalu, Ozy. Laki-laki kecil yang ditemuinya di rumah Ify semalam. Obrolannya dengan Ozy membuat Rio semakin jatuh cinta pada gadis itu.
“Lo pacarnya Kak Ify ya, Kak?” ceplos Ozy.
“Temen,” jawab Rio sekenanya.
“Gue pikir pacarnya. Tapi bagus sih. Pacaran sama Kak Ify nanti bukannya ngajakin dinner romantis malah ke toko buku, mules duluan. Belum lagi nanti pas berduaan malah dicuekin sama novelnya.”
Rio tertawa mendengarnya. Ternyata benar kata Ify, adiknya ini rese. Tapi mungkin lebih tepat lagi kalau Ify mengatakan adiknya rese jika membicarakannya.
“Gitu ya? Emang sekarang Ify lagi kosong?” tanya Rio mulai memanfaatkan situasi untuk mengorek informasi berhubung gadis itu tengah mencarikan buku untuknya.
“Iya. Dia baru pacaran sekali, nggak tahu juga putus kenapa. Mungkin emang takdirnya nemenin Kak Sivia jadi jomblo,” jawab Ozy ngasal.
“Omong-omong, nama lo Mario Haling kan, Kak?” lanjutnya membuat Rio mengernyit heran.
“Tahu dari mana?”
Ozy tertawa kecil. “Sudah gue duga. Temennya Kak Shilla yang model terkenal itu kan? Cewek gue fans beratnya Kak Shilla, terus dia pernah ngasih lihat foto di instagramnya Kak Shilla. Hmm, The Wanted. Ya kan?” cerocos Ozy yang hanya diangguki oleh Rio.
“Nggak nyangka kakak gue bisa temenan sama cowok kece. Kenapa nggak pacaran sekalian? Siapa tahu gue ketularan kec—“
“Kecebong! Sana lu pergi!”
Tahu-tahu saja Ify sudah kembali dan memotong ucapan adiknya. Ozy nyengir lalu buru-buru pergi sebelum kena semprot.
“Galak banget sih, Mbak,” canda Rio.
“Dia tuh rese banget. Lo nggak diomongin aneh-aneh kan? Apa malah dia yang ngomongin gue?” sungut Ify.
“Nggak kok. Dia cuma curhat kalo ceweknya ngefans sama Shilla,” jawab Rio tak membocorkan pembicaraannya mengenai Ify tadi.
“Lah, itu tuyul punya cewek? Sialan, masih SMP aja sosoan pacaran,” umpat Ify.
“Nah elo SMA kok nggak ada pacar?” tanya Rio bermaksud meledek.
“Ngaca dong, Mas. Gue bukannya nggak ada pacar, tapi gue cuma lagi ngasih kesempatan ke jomblo-jomblo ngenes yang belum merasakan pacaran,” elak Ify membuat Rio terpingkal-pingkal.
Rio tersenyum mengingatnya. Setiap bersama gadis itu, waktu terasa lebih cepat berlalu. Sayangnya semalam dia tak bisa berlama-lama di rumah Ify karena orang tua gadis itu sedang pulang kampung. Mereka—khususnya Ify—tak mau jika tetangga sampai berpikir yang tidak-tidak.
“CAKKAAA!”
The Wanted—termasuk Rio—menoleh ke arah sumber suara. Rio mengernyit karena tak mengenali siapa yang sedang memanggil Cakka dari ambang pintu. Setelah Cakka melambaikan tangannya, seseorang itu masuk dan menghampiri bangku Cakka.
Bedge-nya kelas tiga,” cetus Gabriel.
“Sejak kapan Cakka kenal anak kelas tiga?” tanya Rio entah pada siapa.
Mereka memperhatikan Cakka dan seseorang itu dengan seksama. Mereka tampak akrab, terlihat seperti sudah lama kenal. Beberapa kali mereka saling melemparkan candaan lalu tertawa bersama.
Kasak-kusuk mulai terdengar di kelas. Kabar Cakka keluar dari The Wanted pun sudah tersebar di sangat cepat sampai ke guru-guru.
“Cakka kenal Kak Patton?”
“Lo nggak tahu? Cakka sekarang resmi jadi tim inti basket. Kak Patton sendiri yang resmiin Cakka buat gantiin Adyt, yang kemarin kecelakaan terus nggak dibolehin bokapnya main basket lagi.”
“Demi apa? Kak Patton sendiri? Gila! Hoki banget si Cakka. Udah masuk ke tim inti, kaptennya langsung lagi yang resmiin.”
“Cakka sekarang berubah. Temennya banyak dari seangkatan sampai kakak kelas. Denger-denger juga dia lagi banyak yang naksir. Lo tahu lah dia emang cakep, kakak kelas aja sampai ada yang belain nonton Cakka latihan.”
“Wih! Gue mau jadi fansnya Cakka kalo gitu. Eh kok lo tau banyak sih?”
“Satu sekolah juga udah pada tahu. Keluar makanya. Jangan di dalem kelas mulu.”
Percakapan itu didengarkan oleh The Wanted secara langsung tanpa dua anak itu sadari. Shilla menundukkan kepalanya, dia tak pernah tahu sudah sejauh itu perubahan Cakka. Alvin, Rio dan Gabriel sama kagetnya. Sejak Cakka keluar dari The Wanted, mereka lebih sering menghabiskan waktu di kelas sehingga tak tahu apa-apa.
***
“Cakka.”
Langkah Cakka terhenti. Pemuda itu berbalik dan mendapati Gabriel yang tengah berdiri menatapnya.
You look so different,” ucap Gabriel tak dapat menyembunyikan ketakjubannya.
Dia tak pernah melihat Cakka mengenakan seragam basket sejak mereka lulus SD. Kini Cakka mengenakannya, tampak sangat pas.
“Apa kabar, Cak?” lanjut Gabriel.
Cakka menarik salah satu sudut bibirnya. Dia tak menyangka akan bertemu dengan Gabriel dengan keadaan seperti ini. Hanya berdua. Dia pikir Gabriel sudah pulang sejak tadi, sebab biasanya juga seperti itu. Kecuali jika dia harus menemui kepala sekolah.
“Jauh lebih baik dari dulu,” balas Cakka cukup tajam.
Gabriel meringis mendengarnya. Padahal dia menyapa dengan maksud baik—lebih baik lagi kalau Cakka mau kembali—tapi ditanggapi dengan tajam.
“Kalau lo mau ngomongin hal nggak penting, gue nggak ada waktu,” kata Cakka kemudian berlalu.
Ingin Gabriel menahan pemuda itu  tapi lidahnya mendadak kelu. Mungkinkah Cakka yang sekarang masih sama dengan Cakka yang dikenalnya dulu? Pertanyaan tersebut terlintas begitu saja. Namun sekelebat bayangan tingkah laku Cakka sejak pertama kali bertemu sampai saat ini menyadarkan Gabriel tentang sesuatu.
Cakka yang dulu tak pernah bisa lepas dari bakset. Namun sejak Rio, partnernya mulai sibuk dengan urusannya, Cakka tak pernah menyentuh bola itu lagi. Dan sekarang Gabriel menemukan Cakka yang mencintai basket.
Tak mau membuang waktu lagi, pemuda itu berjalan ke arah lapangan indoor. Dia bersembunyi supaya tak ada yang tahu akan kehadirannya.
“Cakka, lo se-tim sama Debo ya,” ucap seseorang yang kalau tidak salah ingat, namanya adalah Patton.
“Wihhh kita harus kompak, bro!” seru Cakka lalu ber-high five dengan laki-laki berkulit putih. Mungkin itu yang namanya Debo. Ah, itu pemuda yang sempat membuat kegaduhan di kantin bersama Sivia dan Ify dulu.
Selanjutnya latihan dimulai. Gabriel masih asik memperhatikan sahabatnya—dia tak akan sudi menyebut Cakka sebagai mantan sahabat—yang sedang berusaha mempertahakan bola. Dia tersenyum, ternyata kemampuan Cakka masih ada sampai saat ini. Apakah ini yang membuat pemuda itu memutuskan untuk keluar dari The Wanted?
“CAKKAAAA!!! CAKKA CAKKA CAKKA!!”
Gabriel menutup telinganya saat tahu-tahu segerombolan gadis memenuhi tribun dan menyerukan nama Cakka. Ternyata pembicaraan teman sekelasnya tadi bukan gosip belaka.
Gabriel masih memperhatikan. Tim Cakka unggul dan memenangkan battle. Kemudian Cakka berlari-lari kecil ke sudut lapangan, menerima pemberian minum dari gadis berponi yang sama-sama mengenakan kaos basket. Sepertinya itu Agni. Selanjutnya mereka semua tampak mengobrol dan tertawa bersama.
“Kapan gue bisa kayak Cakka?” gumam Gabriel.

***
Bersambung...
Waaa akhirnya. Saya minta maaf kalau semakin nambah part ceritanya nggak sesuai ekspektasi hehe mohon dimaklumi. Saya juga lagi sibuk ngerjain laporan nih :'(
Oh iya, saya minta maaf karna ngacangin yang minta folback. Dari awal bikin akun wattpad niatnya emang mau baca-baca doang jadi saya cuma follow yang post cerita bagus karna nggak mau menuhin notif. Toh nggak folback kalian masih bisa baca *songong* Maafin :'( sudah kebal dikatain pelit folback :'(
Follow ask.fm/fannyslma

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Kak fannyy tambah penasaran bgt ini sama alur ceritanyaaa;3 sempet ngakak dibagian alvin ninggalin sivia wkwk trs diumumin anak ilang sm satpam mall nya (??) kampret tambah kecee bgt ini cerbung{} like this! Ditunggu next partnyaa^
eh bdw semangaat buat ngerjain laporannya:) gudlak!

Anonim mengatakan...

merit casino - yng.mobelj
merit casino. Play for real money at หาเงินออนไลน์ casino fairs. We offer more than 700 slot 메리트카지노 machines on every level. Play on a consistent basis for 인카지노 your profits.

Posting Komentar