"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 17 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 7

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Halooo. Gimana part kemarin? Kayaknya makin ke sini #BangkitkanCRAGSISA makin nggak seru ya._. soalnya saya sendiri bingung mau digimanain ceritanya. Sejauh ini, ceritanya ya seperti yang kalian baca hehe btw thanks banget yang udah sempetin komentar, saya baca semua kok

Hope you like it guys

7


Seminggu  sudah perang dingin antara The Wanted dan Cakka berlangsung. Ada kekecewaan yang menelusup di benak Cakka karena menganggap persahabatan mereka selama ini memang tak ada artinya. Di lain sisi, Shilla pun kecewa mengapa Cakka lebih memilih seseorang yang baru hadir dibanding The Wanted yang telah lama hadir. Shilla sangat kecewa.
Gadis yang sedang menghadap ke bangku Rio dan Gabriel itu melirik Cakka melalui sudut matanya, semakin hari Cakka semakin tampak baik-baik saja. Seminggu sudah dan lelaki itu tak menunjukkan tanda-tanda ingin kembali. Selama itu pula, The Wanted menghabiskan waktunya di kelas.
“Selesai,” gumam Gabriel seraya menutup bukunya.
“Lo nggak capek belajar mulu?” cetus Alvin.
Gabriel menggelengkan kepalanya. “Nyaris lupa. Rio, lo dipanggil Bu Maryam,” kata Gabriel membuat Rio yang sedang memainkan ponselnya terhenti.
Ck, ini pasti gara-gara gue nggak ngerjain PR,” dumelnya.
“Temenin gue yuk, Yel,” ajak Rio.
Gabriel mengangguk lalu keduanya beranjak dan meninggalkan Shilla bersama Alvin.
“Mau ke kantin?” tawar Alvin.
“Nanti aja istirahat kedua biar sekalian sama Rio, Gabriel, C—maksud gue kita nunggu Rio sama Gabriel,” sahut Shilla tak fokus. Dia bahkan nyaris menyebutkan nama Cakka.
Alvin hanya menganggukkan kepala dan tak berniat membahas apapun.
***
Gabriel bersama Rio berjalan beriringan menuju ruang kepala sekolah. Tak ada obrolan karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat hampir sampai di depan UKS, muncul dua gadis yang tak lain adalah Ify dan Sivia dari dalam sana. Baik Gabriel maupun Rio sama-sama terkejut.
“Ify.”
“Sivia.”
Dua kutub utara tersebut menyerukan nama Ify dan Sivia secara bersamaan. Ify yang awalnya tak menyadari kehadiran Rio dan Gabriel hanya bisa menggigit bibir bawahnya.
Sadar bahwa Rio menyebutkan nama lain, Gabriel menoleh ke arah sahabatnya tersebut dan meminta penjelasan. Namun Rio hanya bungkam, dia sudah terfokus pada sosok Ify yang kini menatapnya. Sementara itu Sivia berlagak seperti biasa.
“Ngapain lo manggil-manggil gue?” balas Sivia memecahkan keheningan.
“Lo ngapain di sini?” tanya Gabriel.
“Suka-suka gue,” sahut Sivia seperti biasa.
Gabriel terkekeh mendengarnya. Gadis itu tak pernah berubah sejak pertemuan pertama mereka. Akan tetapi, sifat ini yang akhirnya membuat Gabriel jatuh cinta padanya.
“Hm, Siv, kayaknya kita harus buru-buru ketemu Bu Maryam,” cetus Ify mengalihkan perhatian.
Tanpa berlama-lama lagi, Ify menarik Sivia supaya buru-buru menghindari dua pemuda itu. Gabriel pun beralih menatap Rio. Satu hal yang mereka sadari, tujuan Rio dan gadis itu sama.
“Mungkin nggak ada hubungannya sama salah satu dari mereka? Apa malah dua-duanya?” ceplos Gabriel.
Rio hanya mengedikkan bahu lalu mengawali langkah yang sempat tertunda. Mau tak mau Gabriel mengikutinya.
Sesampainya di meja Bu Maryam, dua gadis yang bertemu dengan mereka di depan UKS tadi tampak terkejut. Mereka saling berbisik, bertanya-tanya mengapa Rio dan Gabriel berada di ruangan ini pula.
“Rio, silakan duduk,” ucap Bu Maryam.
Rio mengangguk lalu duduk di sebelah Ify. Gabriel sendiri menyempatkan untuk melirik ke arah Sivia sebelum memutuskan duduk di samping Rio.
“Begini, kamu tahu kan kalau nilai-nilai kamu semakin hari semakin merosot?” tanya Bu Maryam membuka percakapan.
Rio mengangguk. Dia tahu persis.
“Saya takut kamu kamu tidak bisa naik ke kelas berikutnya,” ucap Bu Maryam mengambil jeda cukup lama.
Bukan hanya Rio yang kaget mendengarnya, tapi juga Ify, Sivia dan Gabriel. Separah itu kah? Rio tak pernah tahu kalau nasibnya di sekolah ini sudah terancam.
“Saya paham dengan kesibukan kamu, tapi bukan berarti kamu harus melalaikan tugas utama kamu. Guru-guru sudah banyak mengeluhkan kamu tapi mereka tidak berani menegur. Saya, sebagai wali kelas kamu yang harus bertanggung jawab menyampaikan ini.
“Diberi tugas pengganti pun tidak kamu kerjakan. Tidak ada pemasukan nilai sama sekali. Sejujurnya saya kecewa. Ibu bukan mau menggurui karena sekarang kita mengobrol sebagai teman. Kamu paham kan, Yo?”
Cukup lama Rio sibuk dengan pikirannya. Dia masih tak menyangka kesibukannya berdampak buruk.
“Riooo,” lirih Bu Maryam membuyarkan lamunan Rio.
“Hm, iya. Lalu, saya harus bagaimana, Bu?” sahut Rio gelagapan.
Bu Maryam tersenyum. “Untuk itu, saya panggil kamu ke sini, Fy,” ucap wanita tersebut mengalihkan pandangan pada Ify.
Sivia, Gabriel dan Rio pun ikut menatap gadis itu.
“Saya?” ulang Ify tak mengerti.
“Iya. Saya meminta bantuan kamu untuk membantu Rio supaya mengejar ketertinggalannya sampai nilai-nilainya aman,” jelas Bu Maryam.
“Kenapa saya, Bu?” tanya Ify masih tak mengerti.
“Karena saya percaya sama kamu. Gabriel dan Sivia, mereka saya jadikan saksi. Kamu mau kan, Fy? Saya sangat berharap sama kamu, Ify.”
“Saya...”
Ucapan Ify menggantung. Dia tak  tahu harus mengiyakan atau menolak, tapi mendengar nada penuh harapan dari bibir Bu Maryam membuatnya tersudut.
“Iya, Fy. Jawab iya,” bisik Sivia.
“Saya... setuju kalau Rio setuju,” sahut Ify mantap.
Kini, keputusan kembali pada Rio. Laki-laki itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan.
“Saya setuju.”
***
Gabriel dan Rio berbicara empat mata. Ini mengenai Ify dan Sivia. Ya, dua gadis yang akhir-akhir ini memberikan warna baru. Yang semula hanya hitam dan putih, sekarang bertambah jadi merah, kuning, hijau.
“Jadi, lo kenal sama Ify?” tanya Gabriel.
“Lo kenal sama Sivia?” balas Rio.
Sejurus kemudian mereka tertawa kecil. Tak menyangka, bahwa gadis yang mereka kenal itu justru bersahabat. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata Gabriel dan Rio sama-sama saling menyembunyikan. Rio tak pernah tahu kalau Gabriel mengenal Sivia, begitu pula sebaliknya. Kini semuanya terungkap.
“Awalnya gimana?” tanya Gabriel.
Rio lantas menceritakan proses pertemuannya dengan Ify sampai kelanjutan chat mereka. Gabriel mendengarkan dengan seksama, sesekali pemuda itu tertawa saat Rio menceritakan moment yang terdengar lucu.
“Lo sadar sesuatu nggak, Yo?” tanya Gabriel saat Rio mengakhiri ceritanya.
“Apa?”
“Lo kayak nggak punya beban apapun setiap nyebut nama Ify,” jawab Gabriel membuat Rio kembali terkekeh.
“Terus, lo sama Sivia?” balas Rio mengalihkan pembicaraan.
Gantian Gabriel yang menceritakan pertemuan kecilnya dengan gadis nyolot itu. Gabriel tak bisa menahan tawanya setiap kali mengingat nada menyebalkan yang dilontarkan Sivia, lalu dia juga menceritakan kejadian saat di Dufan.
“Lo nggak  pernah sebahagia ini dinyolotin cewek,” kekeh Rio.
Gabriel mengangguk setuju. Mau menyangkal bagaimanapun, dia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia bahagia. Kini, mereka sama-sama menemukan dunia baru, dunia yang dikenalkan oleh orang tak terduga.
“Yo, mau janji sesuatu?” tanya Gabriel serius.
“Janji apa?” balasnya.
“Jangan sampai Shilla maupun Alvin tahu.”
Akhirnya mereka sepakat untuk merahasiakan ini. Mereka tidak mau kehilangan Ify maupun Sivia, tetapi mereka juga tidak siap jika harus kehilangan The Wanted.
Mereka  berdua pun memutuskan untuk kembali ke kelas karena bel masuk sudah menyeruak ke seluruh penjuru sekolah. Tepat saat Rio dan Gabriel melangkah masuk ke dalam kelas, Cakka juga masuk. Mereka berpapasan namun Cakka memilih membuang muka dan buru-buru duduk.
Gabriel menghela nafas, begitu pula dengan Rio.
***
Istirahat kedua adalah surga bagi kelas Agni karena pelajaran sejarah yang dibencinya berakhir. Seperti biasa, Ify dan Sivia menunggunya di depan kelas. Sudah seminggu ini mereka bertiga menghabiskan waktu istirahat, ditambah lagi dengan kehadiran Cakka—itu sebabnya Agni menolak ajakan anak basket. Sejak Cakka memilih berpindah haluan—sampai sekarang Agni tidak tahu apa yang terjadi pada Cakka—dia merasa harus siap siaga untuk pemuda tersebut.
Cakka sudah banyak berubah. Apalagi sekarang laki-laki itu sudah bergabung dengan tim basket, temannya bertambah, bahkan Agni menemukan Cakka yang baru. Cakka yang sekarang banyak bicara, jahil, seru dan menyenangkan. Sangat kontras dengan Cakka The Wanted yang terkesan menjaga image.
“Cakka nunggu di kantin, katanya mau pesenin buat kita biar nggak perlu ngantri,” ucap Sivia kala Agni menghampiri.
“Sip. Yuk langsung ke kantin, perut gue udah teriak minta dikasih asupan.”
Mereka bertiga berjalan menuju kantin. Sesampainya, Cakka melambaikan tangan sebagai kode untuk Agni, Ify dan Sivia.
“Seperti biasa kan?” tanya Agni lalu duduk di samping Cakka.
“Bakso nggak pakai mie sama es jeruk kan?” balas Cakka.
Agni reflek mengacungkan jempolnya. Sejak Cakka bergabung bersama mereka, dia jadi punya kebiasaan menghafal pesanan Agni, Ify dan Sivia.
“Ah sialan! Followers gue ilang satu!” seru Sivia dengan hebohnya.
“Apa sih nyet lebay amat kadaran satu doang,” dengus Ify.
“ENAK AJA LEBAY! COBA BAYANGIIIINNN, INI BARU SATU TAPI NANTI? BAYANGIIIINNN!”
Ify sampai harus menutup telinganya rapat-rapat. Cakka sendiri dengan jahil melemparkan tissue yang yang ada di depannya ke wajah Sivia.
“ANJIRRR CAKKAAAAA!”
Mendengar seruan Sivia yang siap menerkamnya, Cakka justru terbahak-bahak. Detik selanjutnya giliran Ify dan Agni, mereka berdua ikut melemparkan tissue ke wajah Sivia. Tawa mereka semakin lebar melihat gadis berpipi chubby tersebut bersumpah serapah.
“Makanya jadi cewek tuh yang kalem,” ledek Cakka.
“Gue yang begini bisa bikin Justin Bieber meleleh, apalagi kalo kalem? Bisa bisa Shawn, Cameron, Calum, semuanya naksir sama gue. Kan gue jadi bingung milih yang mana,” cerocos Sivia dengan pedenya.
“Ngimpi aja lu sono. Sosoan justin bieber, shawn, cameron, pacaran aja belum pernah dihhh,” ceplos Ify sukses membuat Agni dan Cakka menyemburkan tawanya.
“Ngaca jink. Kalo gue taken, nanti lo malam mingguan sama siapa?” balas Sivia.
“Sama gue dong. Ya kan, Fy?” cetus Cakka membela Ify.
Sivia semakin cemberut karena tak ada yang memihaknya.
Di lain sisi, The Wanted formasi baru terperangah ketika mata mereka tak sengaja menangkap sosok Cakka. Rio dan Gabriel saling melirik, mereka heran mengapa Cakka bersama dengan Ify dan Sivia. Dan... apakah gadis berponi itu adalah Agni?
“Kita duduk di sana,” koor Shilla mengalihkan perhatian.
Cakka sendiri menyadari kehadiran mereka, tapi dia berusaha untuk tak peduli.
“Cakka awas!” seru Ify.
Terlambat. Sivia tertawa puas menyaksikan wajah Cakka yang basah karena sengaja diciprati dengan es teh. Tak mau kalah, pemuda itu menyentuh sedotannya, menutup lubang atas sedotan tersebut supaya airnya tertahan. Detik berikutnya giliran wajah Sivia yang basah terkena es jeruk.
“Sivia jorokkkk!” seru Agni saat Sivia menjilat es jeruk hasil cipratan Cakka di dekat bibirnya.
“Sayang tahu,” balas Sivia seenak jidat.
Jawaban Sivia justru membuat Cakka semakin tertawa. Tawa yang lepas. Tawa yang membuat The Wanted nyaris menahan napas karena menyadari pemuda itu tampak sangat bahagia.
Shilla mengawasi mereka dengan ekor matanya. Hatinya panas, dia merasa dikhianati. Nafsu makannya mendadak hilang karena pemandangan tersebut.
“Lo kenapa, Shil?” tanya Alvin.
Shilla menggelengkan kepalanya.
“Nanti malam kalian dateng kan ke pagelaran busana? Jangan bilang kalian lupa,” ujar Shilla membuka obrolan.
“Gue—“
Meeting lagi? Ayolah, ini impian gue sejak dulu. Gue pingin lo ada di sana, termasuk kalian berdua,” potong Shilla diakhiri dengan menatap Alvin dan Gabriel.
Rio akhirnya mengangguk. “Gue usahain, lo tahu kan Mas Dayat kayak apa? Tapi kalau Mas Dayat nggak ngebolehin, gue terpaksa nggak dateng.”
“Siap! Lo gimana, Yel? Lo udah janji mau dateng,” kata Shilla beralih ke Gabriel.
“Pasti gue dateng,” sahut Gabriel.
“Dan gue nggak usah ditanya. Gue selalu ada buat lo tuan puteri,” sambung Alvin.
Senyum Shilla merekah mendengar jawaban mereka semua. Meski tanpa Cakka, kekosongan itu tak begitu hampa. Shilla percaya pada mereka bertiga.
***
Diam-diam Rio dan Gabriel mengamati bangku Ify, Sivia, Cakka dan Agni sedaritadi. Mereka bercanda, saling meledek, menjahili, lalu tertawa lepas. Sama persis seperti yang dilakukan Rio saat bersama Ify, begitu pula saat Gabriel bersama Sivia. Ada secercah keinginan untuk bergabung ke sana, tapi berusaha dibunuh mati-matian.
Rio ikut tersenyum saat Ify tertawa lebar. Gadis itu, entah mengapa terlihat sangat cantik di matanya. Rio tak pernah melihat gadis secantik Ify, dia tak pernah bertemu dengan gadis yang mampu membuat hatinya berdesir, jatungnya berdetak tak karuan, bahkan mampu menciptakan rindu.
Itu pula yang dirasakan Gabriel saat matanya menatap Sivia. Mereka sama-sama keras kepala, tapi Gabriel yang selalu luluh dengan egonya. Di satu sisi, pemuda ini kagum pada Sivia. Di sisi lain, dia iri karena Sivia bisa menjadi dirinya sendiri, dia bebas mengungkapkan apa yang dirasakannya.
“Jangan kelamaan lihatin mereka,” bisik Rio yang terlihat fokus dengan ponselnya.
Gabriel tersadar, lalu mengalihkan pandangan sebelum Shilla dan Alvin memergoki. Seperti yang telah diutarakan Gabriel, dua anak itu tak boleh tahu tentang Sivia dan Ify.
“Nanti malam kalian dateng kan ke pagelaran busana? Jangan bilang kalian lupa.”
Shilla nampaknya sengaja membuka obrolan. Sejak Cakka menyatakan keluar dari keanggotaan The Wanted, gadis itu terlihat biasa-biasa saja. Malahan Gabriel sempat menangkap kebencian di wajah Shilla saat memasuki kantin tadi.
Gabriel hanya tak begitu menyimak apa yang diucapkan Shilla, termasuk saat dia berbicara pada Rio, pemuda itu justru mencuri kesempatan untuk melirik Sivia.
“Siap! Lo gimana, Yel? Lo udah janji mau dateng,” kata Shilla membuat Gabriel gelagapan.
“Pasti gue dateng.”
Sejurus kemudian, Gabriel menelan ludah dan merutuki dirinya sendiri. Dia bertanya-tanya pada benaknya, memangnya dia akan ke mana? Sumpah, Gabriel hanya mendengar sepotong, hanya kalimat ‘Lo udah janji mau dateng’ yang sampai di telinganya, lantas pemuda itu memberikan jawaban di luar pikirannya. Saat melihat wajah bahagia Shilla, dia tak berani untuk bertanya.
“Mungkin maksudnya besok dateng ke sekolah apa enggak,” batin Gabriel membuat kesimpulan sendiri.
Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Gabriel melirik ke bangku Sivia dan ternyata mereka sudah menghilang. Pemuda itu hanya dapat menghela nafas kecewa.
“Yuk kita ke kelas,” ajak Shilla.
The Wanted lantas meninggalkan kantin. Sementara itu, Rio asik dengan dunianya. Mereka berpikir Rio sedang menghubungi Mas Dayat seperti biasa. Tak ada yang tahu kalau pemuda itu sedang chat dengan Ify.
Ify: Lo ngapain nge-chat? Nggak ada guru?
Rio: Ada. Udah biasa kok
Ify: Buset pantesan kata Bu Maryam nilai lo jelek. Udah, simpen ponselnya. Perhatiin tuh yang dijelasin guru
Rio: Galak amat sih. Pulang sekolah kita belajar?
Ify: Bodo. Sori, pulang sekolah gue ada janji
Rio: Terus kapan?
Ify: Malam sih gue nggak sibuk. Tapi itu kalo lo ada waktu
Rio: Ada kok
Ify: Yaudah, nanti malam bawa buku-buku lo sama hasil ulangan semuanya
Rio: Siap. Kita ketemu nanti malam. See you
Ify: Udah sono belajar
Rio tak membalas lagi karena takut gadis itu marah padanya. Entah apa yang membuatnya menuruti ucapan Ify, sekarang Rio memperhatikan apa yang sedang dijelaskan di depan sana meski matanya  terasa perih karena mengantuk.
Di sebelahnya, Gabriel yang biasanya rajin mendengarkan memilih untuk stalking akun instagram Sivia yang tak sengaja ditemukannya. Foto yang diupload Sivia sudah mencapai 243 foto dan bisa dibilang hits, tak heran jika followersnya mencapai ribuan. Jemari Gabriel terus men-scroll down dengan hati-hati, jangan sampai kepencet love!
Mata Gabriel menyipit saat dia melihat foto yang amat familiar. Ahh, itu foto mereka berdua saat di atas bianglala! Namun Sivia sengaja menempelkan stiker di wajah mereka berdua hingga tak ada yang tahu bahwa laki-laki tersebut adalah dirinya. Pemuda itu lantas menyempatkan membaca komentar.
@ifyaly weehhh sok misterius, jomblo ya jomblo aja
@siviazz brisik u @ifyaly
@agni123 gebetan baru? Kayaknya cakep nih @ifyaly
@ifyaly Semoga di balik stiker itu emang cakep, bukan muka Pak Rahmat
@siviazz poop @ifyaly @agni123
Sudut bibir Gabriel terangkat saat membacanya. Apalagi saat membaca komen Ify. Omong-omong, Pak Rahmat adalah satpam Budi Karya yang kumisnya sangat tebal dan membuat anak-anak cowok menyebut beliau sebagai Pak Raden.
“Gabriel, kerjakan soal di depan.”
Pemuda itu terkesiap lalu reflek menyimpan ponselnya ke dalam saku. Gabriel menatap papan tulis, di sana sudah ada satu buah soal Matematika.
“Ayo Gabriel.”
Dia buru-buru melangkah ke depan, menerima uluran spidol dari Pak Tendy kemudian mengerjakan soal tersebut. Tak butuh waktu lama karena Gabriel dapat menjawabnya dengan mudah.
“Hebat! Padahal saya belum menerangkan,” cetus Pak Tendy membuat Gabriel dongkol. Itu artinya guru ini memergoki Gabriel yang tengah memainkan ponsel.
“Saya boleh kembali kan, Pak?” tanya Gabriel.
“Boleh.”
Gabriel mengangguk dan kembali ke bangkunya. Meski dia adalah anak pemilik yayasan, Gabriel tak pernah bersikap semena-mena pada guru-guru di sini. Dia menghormati mereka tanpa terkecuali.
***
Sivia baru saja merebahkan tubuhnya di sofa. Sepulang sekolah, Cakka mengajak makan dan dia berhasil menguras dompet laki-laki tersebut. Untungnya dikuras pun dompet Cakka akan selalu ada isinya. Baru akan memejamkan mata, sosok Lintar datang dan tanpa berdosa menggeser posisi Sivia hingga gadis itu nyaris terjepit.
“Sialan! Tamu paling nggak tahu diri,” maki Sivia membuat Lintar terbahak.
“Dari mana aja lo? Jam segini baru pulang. Kelayapan ya?” balas Lintar.
“Ya dong. Gue kan gaul, makanya jam segini baru pulang. Daripada elo? Pulang sekolah langsung pulang udah kayak anak SD,” ledek Sivia mengingat kebiasaan Lintar semasa sekolah dulu.
“Anjir. Tadinya gue mau ngajakin elo jalan, tapi berhubung lo ngeselin jadinya—“
“Eh! Eh! Tadi gue bercanda doang kok. Jangan baper gitu dong sepupuku yang terganteng,” potong Sivia bersemangat.
“Giliran ada maunya aja muji,” cibir Lintar.
Sivia hanya memamerkan deretan gigi putihnya sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf V. “Gue mandi dulu, habis itu kita jalan,” pamit Sivia kemudian berlari meninggalkan Lintar di ruang tamu.
“Punya sepupu jomblo ya begini,” gumam Lintar.
Sejak dulu, Lintar dan Sivia memang sangat dekat. Bahkan Lintar lebih dekat dengan Sivia dibanding dengan Nyopon, adik kandungnya sendiri. Mungkin karena dia lebih senang memiliki adik perempuan dibanding laki-laki.
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB saat Sivia kembali muncul dengan sweater dan celana pendeknya—tidak lagi mengenakan seragam.
Di lain sisi, Alvin merengut karena berhasil dipaksa oleh Deva untuk jalan-jalan. Entahlah. Alvin selalu memiliki firasat buruk setiap kali bersama kakaknya itu. Untuk kali ini, firasat buruk itu belum juga hilang.
“Kita mau ke mana sih?” kesal Alvin.
“Jalan-jalan ke Mall seperti biasa,” sahut Deva yang sedang menyetir.
“Buang waktu gue. Udah deh, turunin gue di sini, gue balik naik taksi,” ketus Alvin.
You wish.”
Reflek Alvin mengumpat di depan Deva. Tetapi kakaknya itu justru tertawa puas melihat penderitaan sang adik. Dia memang memiliki rencana terselubung, yakni mempertemukan Alvin dengan Sivia kembali. Maka dari itu Deva bersekongkol dengan Lintar. Untuk pertemuan ini, Deva sudah merencanakan drama yang disusunnya bersama Lintar beberapa hari lalu.
“Sivia jomblo kan, Lin?” tanya Deva
Lintar sedikit bingung mendengarnya. “Jangan bilang lo mau nembak Sivia,” seloroh Lintar. Spontan Deva menepuk dahinya.
“Mau gue jodohin sama Alvin. Lo tahu sendiri kan adek gue itu kayak gimana? Tapi kalo lo setuju sih,” jelas Deva.
“Oalah. Setuju aja gue sih. Alvin jutek, Sivia cablak. Pas banget,” ceplos Lintar.
Deva jadi merasa memilih partner yang tepat.
“Gimana kalo kita jalan kayak waktu itu lagi? Terus nanti...”
Deva menjelaskan rencana untuk mempertemukan Alvin dan Sivia kembali secara rinci. Kali ini, dia pikirkan dengan matang supaya Alvin tak curiga berhubung adiknya itu mudah peka dengan keadaan. Lintar pun turut andil dalam memberikan ide.
“Sip!”
Tempat tujuan mereka adalah Mall karena rencana itu hanya bisa terwujud di tempat ini. Alvin pun dengan malas mengikuti Deva yang turun dari mobil. Mall memang selalu ramai, ini yang dibutuhkan Deva untuk melancarkan misinya.
“Lo dimana? Gue udah sampai. Ohh... oke.”
Deva menyimpan kembali ponselnya setelah berbicara dengan Lintar.
“Yuk, ke atas. Lo mau nyari sepatu kan?” ceplos Deva.
Alvin mengangkat sebelah alisnya. “Kapan gue bilang?”
“Gue yang bilang. Ayo, keburu Mall-nya tutup,” balas Deva asal.
Alvin mencibir, namun tetap mengikuti langkah Deva.
Betapa terkejutnya Sivia saat tahu bahwa Deva datang bersama Alvin. Dia melirik ke arah Lintar, tapi wajah Lintar juga menunjukkan keheranan, Sivia jadi berpikir kalau Lintar memang tak tahu akan ada Alvin di sini. Lintar memang memberitahu Sivia mengenai kedatangan Deva yang dadakan, tapi dia tak menyebutkan nama Alvin.
“Halo, Vin. Apa kabar?” sapa Lintar.
“Hm, baik.”
“Wahhh kita ketemu lagi Sivia,” sapa Deva pada Sivia.
“Heyyy! Halo Kak Deva, makin ganteng aja nih si kakak,” balas Sivia.
“Bisa aja lo,” kekeh Deva.
“Jadi, kita mau ke mana nih?” tanya Lintar.
“Katanya mau nyari sepatu, Dev,” cetus Alvin berniat menyindir.
“Oh iya sampai kelupaan. Temenin nyari sepatu dulu ya,” ceplos Deva.
“Kebetulan gue juga mau nyari sepatu buat kondangan. Yuk deh,” sahut Lintar.
Akhirnya Deva dan Lintar sibuk mencari sepatu yang cocok. Sivia sendiri memilih untuk melihat-lihat sneakers, begitu pula dengan Alvin yang sibuk sendiri. Mereka sama sekali tak sadar kalau Deva dan Lintar sudah menghilang.
***
Rio: Shil, I’m so sorry. Gue nggak bisa datang. God bless you, Shilla. Good luck! Gue yakin lo cantik dan sempurna :)
Shilla sedikit kecewa membaca chat dari Rio yang mengabarkan bahwa dia tak bisa datang untuk melihatnya di pagelaran busana. Tapi, Shilla juga tahu urusan Rio selalu lebih penting dari apapun. Sekarang dia hanya bisa berharap pada Alvin dan Gabriel. Dua pemuda itu belum memberi kabar apa-apa, jadi Shilla yakin mereka pasti akan datang.
Tadinya Alvin menawarkan untuk menjemput tapi Shilla tolak karena dia tahu jarak rumahnya dengan Alvin cukup jauh dan memakan waktu lama.
“Dia pasti dateng, dia kan udah janji,” gumam Shilla.
Oh My God! Shilla, kita ketemu lagi.”
Gadis itu menoleh dan mendapati Angel Pieters tersenyum padanya. Mereka berpelukan singkat.
“Alvin, Cakka, Gabriel sama Rio mana?” tanya Angel sudah hafal dengan The Wanted yang kemana-mana selalu bersama.
“Mereka belum dateng,” jawab Shilla sekenanya.
Dia tak mau mengatakan pada Angel kalau Cakka sudah bukan bagian dari mereka. Selanjutnya, mereka asik mengobrolkan acara ini. Acara yang sangat megah sehingga membuat Shilla merasa terhormat berada di sini.
Sayangnya, kegelisahan mulai melanda Shilla saat Mr. Luke mengkomando bahwa acara akan segera dimulai. Alvin dan Gabriel belum juga menampakkan diri. Sampai Angel meninggalkannya, mereka tak juga datang. Shilla pun memutuskan untuk menelpon Gabriel namun bukan jawaban dari pemuda itu yang didapatkan, melainkan mail box.
Dua puluh kali. Hasilnya sama. Tak ada jawaban dari Gabriel. Shilla beralih menelpon Alvin. Tersambung, tapi tidak diangkat.
“Sialan. Sialan. Sialan. Ke mana sih kalian?”
Shilla mencoba menelpon kembali. Nihil.
“Shilla, ayo siap-siap!” seru Mr. Luke.
“Iya,” sahut Shilla sambil menyimpan ponselnya.
Acara dimulai. Shilla berlenggak-lenggok diatas catwalk, membuat orang-orang terpana akan paras cantik yang dimiliki gadis tersebut. Sempurna. Sampai gilirannya tampil berakhir, gadis itu tetap menguasai panggung.
Setelah itu, Shilla terkejut dengan kehadiran Alvin yang tiba-tiba sudah berada di backstage. Pemuda tersebut tersenyum manis lalu menyerahkan sebucket mawar pada Shilla dan memberikan pelukan serta kecupan singkat di puncak kepala gadis tersebut.
“Lo cantik banget tuan puteri,” bisik Alvin.
Air mata Shilla meluruh. Gadis itu mengeratkan pelukannya, membenamkan kepalanya dalam-dalam di dada bidang Alvin, semua yang ditahannya di atas catwalk akhirnya tumpah. Kali ini yang ada hanya Shilla bersama kekecewaannya.
“Tuan puteri, lo kenapa?” tanya Alvin bingung.
“Gabriel...”
Samar-samar Alvin mendengar Shilla menyebutkan nama Gabriel disela-sela isak tangisnya. Firasat Alvin mendadak berubah jadi tak baik.
“Gabriel... nggak dateng, Vin. Dia udah janji mau dateng. Kenapa orang yang paling gue harapkan justru nggak dateng di hari penting ini, Vin? Kenapa?” racau Shilla.
Detik itu, Alvin merasa setengah nyawanya melayang.

***
Bersambung...
Waaa sudah part 7 nggak nyangka (?) makin seru atau makin ngebosenin sih? Mohon kritik dan saran dong. Jangan jadi pembaca gelap. Punya pacar gelap aja nggak enak, apalagi pembaca gelap(?) apapun yang kalian sampaikan pasti saya terima dengan lapang dada kok karna ini juga buat lebih baik kedepannya:)
Follow ask.fm/fannyslma

0 komentar:

Posting Komentar