Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Halooo. Gimana part kemarin? Kayaknya makin ke sini #BangkitkanCRAGSISA makin nggak seru ya._. soalnya saya sendiri bingung mau digimanain ceritanya. Sejauh ini, ceritanya ya seperti yang kalian baca hehe btw thanks banget yang udah sempetin komentar, saya baca semua kok
Hope you like it guys
7
Seminggu sudah perang dingin antara The Wanted dan
Cakka berlangsung. Ada kekecewaan yang menelusup di benak Cakka karena
menganggap persahabatan mereka selama ini memang tak ada artinya. Di lain sisi,
Shilla pun kecewa mengapa Cakka lebih memilih seseorang yang baru hadir
dibanding The Wanted yang telah lama hadir. Shilla sangat kecewa.
Gadis
yang sedang menghadap ke bangku Rio dan Gabriel itu melirik Cakka melalui sudut
matanya, semakin hari Cakka semakin tampak baik-baik saja. Seminggu sudah dan
lelaki itu tak menunjukkan tanda-tanda ingin kembali. Selama itu pula, The
Wanted menghabiskan waktunya di kelas.
“Selesai,”
gumam Gabriel seraya menutup bukunya.
“Lo
nggak capek belajar mulu?” cetus Alvin.
Gabriel
menggelengkan kepalanya. “Nyaris lupa. Rio, lo dipanggil Bu Maryam,” kata
Gabriel membuat Rio yang sedang memainkan ponselnya terhenti.
“Ck, ini pasti gara-gara gue nggak
ngerjain PR,” dumelnya.
“Temenin
gue yuk, Yel,” ajak Rio.
Gabriel
mengangguk lalu keduanya beranjak dan meninggalkan Shilla bersama Alvin.
“Mau ke
kantin?” tawar Alvin.
“Nanti
aja istirahat kedua biar sekalian sama Rio, Gabriel, C—maksud gue kita nunggu
Rio sama Gabriel,” sahut Shilla tak fokus. Dia bahkan nyaris menyebutkan nama
Cakka.
Alvin
hanya menganggukkan kepala dan tak berniat membahas apapun.
***
Gabriel
bersama Rio berjalan beriringan menuju ruang kepala sekolah. Tak ada obrolan
karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat hampir sampai di depan
UKS, muncul dua gadis yang tak lain adalah Ify dan Sivia dari dalam sana. Baik
Gabriel maupun Rio sama-sama terkejut.
“Ify.”
“Sivia.”
Dua
kutub utara tersebut menyerukan nama Ify dan Sivia secara bersamaan. Ify yang
awalnya tak menyadari kehadiran Rio dan Gabriel hanya bisa menggigit bibir
bawahnya.
Sadar
bahwa Rio menyebutkan nama lain, Gabriel menoleh ke arah sahabatnya tersebut
dan meminta penjelasan. Namun Rio hanya bungkam, dia sudah terfokus pada sosok
Ify yang kini menatapnya. Sementara itu Sivia berlagak seperti biasa.
“Ngapain
lo manggil-manggil gue?” balas Sivia memecahkan keheningan.
“Lo
ngapain di sini?” tanya Gabriel.
“Suka-suka
gue,” sahut Sivia seperti biasa.
Gabriel
terkekeh mendengarnya. Gadis itu tak pernah berubah sejak pertemuan pertama
mereka. Akan tetapi, sifat ini yang akhirnya membuat Gabriel jatuh cinta
padanya.
“Hm,
Siv, kayaknya kita harus buru-buru ketemu Bu Maryam,” cetus Ify mengalihkan
perhatian.
Tanpa
berlama-lama lagi, Ify menarik Sivia supaya buru-buru menghindari dua pemuda
itu. Gabriel pun beralih menatap Rio. Satu hal yang mereka sadari, tujuan Rio
dan gadis itu sama.
“Mungkin
nggak ada hubungannya sama salah satu dari mereka? Apa malah dua-duanya?”
ceplos Gabriel.
Rio
hanya mengedikkan bahu lalu mengawali langkah yang sempat tertunda. Mau tak mau
Gabriel mengikutinya.
Sesampainya
di meja Bu Maryam, dua gadis yang bertemu dengan mereka di depan UKS tadi
tampak terkejut. Mereka saling berbisik, bertanya-tanya mengapa Rio dan Gabriel
berada di ruangan ini pula.
“Rio,
silakan duduk,” ucap Bu Maryam.
Rio
mengangguk lalu duduk di sebelah Ify. Gabriel sendiri menyempatkan untuk
melirik ke arah Sivia sebelum memutuskan duduk di samping Rio.
“Begini,
kamu tahu kan kalau nilai-nilai kamu semakin hari semakin merosot?” tanya Bu
Maryam membuka percakapan.
Rio
mengangguk. Dia tahu persis.
“Saya
takut kamu kamu tidak bisa naik ke kelas berikutnya,” ucap Bu Maryam mengambil
jeda cukup lama.
Bukan
hanya Rio yang kaget mendengarnya, tapi juga Ify, Sivia dan Gabriel. Separah
itu kah? Rio tak pernah tahu kalau nasibnya di sekolah ini sudah terancam.
“Saya
paham dengan kesibukan kamu, tapi bukan berarti kamu harus melalaikan tugas
utama kamu. Guru-guru sudah banyak mengeluhkan kamu tapi mereka tidak berani
menegur. Saya, sebagai wali kelas kamu yang harus bertanggung jawab
menyampaikan ini.
“Diberi
tugas pengganti pun tidak kamu kerjakan. Tidak ada pemasukan nilai sama sekali.
Sejujurnya saya kecewa. Ibu bukan mau menggurui karena sekarang kita mengobrol
sebagai teman. Kamu paham kan, Yo?”
Cukup
lama Rio sibuk dengan pikirannya. Dia masih tak menyangka kesibukannya
berdampak buruk.
“Riooo,”
lirih Bu Maryam membuyarkan lamunan Rio.
“Hm,
iya. Lalu, saya harus bagaimana, Bu?” sahut Rio gelagapan.
Bu
Maryam tersenyum. “Untuk itu, saya panggil kamu ke sini, Fy,” ucap wanita
tersebut mengalihkan pandangan pada Ify.
Sivia,
Gabriel dan Rio pun ikut menatap gadis itu.
“Saya?”
ulang Ify tak mengerti.
“Iya.
Saya meminta bantuan kamu untuk membantu Rio supaya mengejar ketertinggalannya
sampai nilai-nilainya aman,” jelas Bu Maryam.
“Kenapa
saya, Bu?” tanya Ify masih tak mengerti.
“Karena
saya percaya sama kamu. Gabriel dan Sivia, mereka saya jadikan saksi. Kamu mau
kan, Fy? Saya sangat berharap sama kamu, Ify.”
“Saya...”
Ucapan
Ify menggantung. Dia tak tahu harus
mengiyakan atau menolak, tapi mendengar nada penuh harapan dari bibir Bu Maryam
membuatnya tersudut.
“Iya,
Fy. Jawab iya,” bisik Sivia.
“Saya...
setuju kalau Rio setuju,” sahut Ify mantap.
Kini,
keputusan kembali pada Rio. Laki-laki itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya
dengan penuh keyakinan.
“Saya
setuju.”
***
Gabriel
dan Rio berbicara empat mata. Ini mengenai Ify dan Sivia. Ya, dua gadis yang
akhir-akhir ini memberikan warna baru. Yang semula hanya hitam dan putih,
sekarang bertambah jadi merah, kuning, hijau.
“Jadi,
lo kenal sama Ify?” tanya Gabriel.
“Lo
kenal sama Sivia?” balas Rio.
Sejurus
kemudian mereka tertawa kecil. Tak menyangka, bahwa gadis yang mereka kenal itu
justru bersahabat. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata Gabriel dan Rio
sama-sama saling menyembunyikan. Rio tak pernah tahu kalau Gabriel mengenal
Sivia, begitu pula sebaliknya. Kini semuanya terungkap.
“Awalnya
gimana?” tanya Gabriel.
Rio
lantas menceritakan proses pertemuannya dengan Ify sampai kelanjutan chat mereka. Gabriel mendengarkan dengan
seksama, sesekali pemuda itu tertawa saat Rio menceritakan moment yang terdengar lucu.
“Lo
sadar sesuatu nggak, Yo?” tanya Gabriel saat Rio mengakhiri ceritanya.
“Apa?”
“Lo
kayak nggak punya beban apapun setiap nyebut nama Ify,” jawab Gabriel membuat
Rio kembali terkekeh.
“Terus,
lo sama Sivia?” balas Rio mengalihkan pembicaraan.
Gantian
Gabriel yang menceritakan pertemuan kecilnya dengan gadis nyolot itu. Gabriel
tak bisa menahan tawanya setiap kali mengingat nada menyebalkan yang
dilontarkan Sivia, lalu dia juga menceritakan kejadian saat di Dufan.
“Lo
nggak pernah sebahagia ini dinyolotin
cewek,” kekeh Rio.
Gabriel
mengangguk setuju. Mau menyangkal bagaimanapun, dia tak bisa membohongi dirinya
sendiri kalau dia bahagia. Kini, mereka sama-sama menemukan dunia baru, dunia
yang dikenalkan oleh orang tak terduga.
“Yo, mau
janji sesuatu?” tanya Gabriel serius.
“Janji
apa?” balasnya.
“Jangan
sampai Shilla maupun Alvin tahu.”
Akhirnya
mereka sepakat untuk merahasiakan ini. Mereka tidak mau kehilangan Ify maupun
Sivia, tetapi mereka juga tidak siap jika harus kehilangan The Wanted.
Mereka berdua pun memutuskan untuk kembali ke kelas
karena bel masuk sudah menyeruak ke seluruh penjuru sekolah. Tepat saat Rio dan
Gabriel melangkah masuk ke dalam kelas, Cakka juga masuk. Mereka berpapasan
namun Cakka memilih membuang muka dan buru-buru duduk.
Gabriel
menghela nafas, begitu pula dengan Rio.
***
Istirahat
kedua adalah surga bagi kelas Agni karena pelajaran sejarah yang dibencinya
berakhir. Seperti biasa, Ify dan Sivia menunggunya di depan kelas. Sudah
seminggu ini mereka bertiga menghabiskan waktu istirahat, ditambah lagi dengan
kehadiran Cakka—itu sebabnya Agni menolak ajakan anak basket. Sejak Cakka
memilih berpindah haluan—sampai sekarang Agni tidak tahu apa yang terjadi pada
Cakka—dia merasa harus siap siaga untuk pemuda tersebut.
Cakka
sudah banyak berubah. Apalagi sekarang laki-laki itu sudah bergabung dengan tim
basket, temannya bertambah, bahkan Agni menemukan Cakka yang baru. Cakka yang
sekarang banyak bicara, jahil, seru dan menyenangkan. Sangat kontras dengan
Cakka The Wanted yang terkesan menjaga image.
“Cakka
nunggu di kantin, katanya mau pesenin buat kita biar nggak perlu ngantri,” ucap
Sivia kala Agni menghampiri.
“Sip.
Yuk langsung ke kantin, perut gue udah teriak minta dikasih asupan.”
Mereka
bertiga berjalan menuju kantin. Sesampainya, Cakka melambaikan tangan sebagai
kode untuk Agni, Ify dan Sivia.
“Seperti
biasa kan?” tanya Agni lalu duduk di samping Cakka.
“Bakso
nggak pakai mie sama es jeruk kan?” balas Cakka.
Agni
reflek mengacungkan jempolnya. Sejak Cakka bergabung bersama mereka, dia jadi
punya kebiasaan menghafal pesanan Agni, Ify dan Sivia.
“Ah
sialan! Followers gue ilang satu!”
seru Sivia dengan hebohnya.
“Apa sih
nyet lebay amat kadaran satu doang,” dengus Ify.
“ENAK
AJA LEBAY! COBA BAYANGIIIINNN, INI BARU SATU TAPI NANTI? BAYANGIIIINNN!”
Ify
sampai harus menutup telinganya rapat-rapat. Cakka sendiri dengan jahil
melemparkan tissue yang yang ada di depannya ke wajah Sivia.
“ANJIRRR
CAKKAAAAA!”
Mendengar
seruan Sivia yang siap menerkamnya, Cakka justru terbahak-bahak. Detik
selanjutnya giliran Ify dan Agni, mereka berdua ikut melemparkan tissue ke
wajah Sivia. Tawa mereka semakin lebar melihat gadis berpipi chubby tersebut
bersumpah serapah.
“Makanya
jadi cewek tuh yang kalem,” ledek Cakka.
“Gue
yang begini bisa bikin Justin Bieber meleleh, apalagi kalo kalem? Bisa bisa
Shawn, Cameron, Calum, semuanya naksir sama gue. Kan gue jadi bingung milih
yang mana,” cerocos Sivia dengan pedenya.
“Ngimpi
aja lu sono. Sosoan justin bieber, shawn, cameron, pacaran aja belum pernah
dihhh,” ceplos Ify sukses membuat Agni dan Cakka menyemburkan tawanya.
“Ngaca
jink. Kalo gue taken, nanti lo malam
mingguan sama siapa?” balas Sivia.
“Sama
gue dong. Ya kan, Fy?” cetus Cakka membela Ify.
Sivia
semakin cemberut karena tak ada yang memihaknya.
Di lain
sisi, The Wanted formasi baru terperangah ketika mata mereka tak sengaja
menangkap sosok Cakka. Rio dan Gabriel saling melirik, mereka heran mengapa
Cakka bersama dengan Ify dan Sivia. Dan... apakah gadis berponi itu adalah
Agni?
“Kita duduk
di sana,” koor Shilla mengalihkan perhatian.
Cakka
sendiri menyadari kehadiran mereka, tapi dia berusaha untuk tak peduli.
“Cakka
awas!” seru Ify.
Terlambat.
Sivia tertawa puas menyaksikan wajah Cakka yang basah karena sengaja diciprati
dengan es teh. Tak mau kalah, pemuda itu menyentuh sedotannya, menutup lubang
atas sedotan tersebut supaya airnya tertahan. Detik berikutnya giliran wajah
Sivia yang basah terkena es jeruk.
“Sivia
jorokkkk!” seru Agni saat Sivia menjilat es jeruk hasil cipratan Cakka di dekat
bibirnya.
“Sayang
tahu,” balas Sivia seenak jidat.
Jawaban
Sivia justru membuat Cakka semakin tertawa. Tawa yang lepas. Tawa yang membuat
The Wanted nyaris menahan napas karena menyadari pemuda itu tampak sangat
bahagia.
Shilla
mengawasi mereka dengan ekor matanya. Hatinya panas, dia merasa dikhianati.
Nafsu makannya mendadak hilang karena pemandangan tersebut.
“Lo
kenapa, Shil?” tanya Alvin.
Shilla
menggelengkan kepalanya.
“Nanti
malam kalian dateng kan ke pagelaran busana? Jangan bilang kalian lupa,” ujar
Shilla membuka obrolan.
“Gue—“
“Meeting lagi? Ayolah, ini impian gue
sejak dulu. Gue pingin lo ada di sana, termasuk kalian berdua,” potong Shilla
diakhiri dengan menatap Alvin dan Gabriel.
Rio
akhirnya mengangguk. “Gue usahain, lo tahu kan Mas Dayat kayak apa? Tapi kalau
Mas Dayat nggak ngebolehin, gue terpaksa nggak dateng.”
“Siap! Lo
gimana, Yel? Lo udah janji mau dateng,” kata Shilla beralih ke Gabriel.
“Pasti
gue dateng,” sahut Gabriel.
“Dan gue
nggak usah ditanya. Gue selalu ada buat lo tuan puteri,” sambung Alvin.
Senyum
Shilla merekah mendengar jawaban mereka semua. Meski tanpa Cakka, kekosongan
itu tak begitu hampa. Shilla percaya pada mereka bertiga.
***
Diam-diam
Rio dan Gabriel mengamati bangku Ify, Sivia, Cakka dan Agni sedaritadi. Mereka
bercanda, saling meledek, menjahili, lalu tertawa lepas. Sama persis seperti
yang dilakukan Rio saat bersama Ify, begitu pula saat Gabriel bersama Sivia. Ada
secercah keinginan untuk bergabung ke sana, tapi berusaha dibunuh mati-matian.
Rio ikut
tersenyum saat Ify tertawa lebar. Gadis itu, entah mengapa terlihat sangat
cantik di matanya. Rio tak pernah melihat gadis secantik Ify, dia tak pernah
bertemu dengan gadis yang mampu membuat hatinya berdesir, jatungnya berdetak
tak karuan, bahkan mampu menciptakan rindu.
Itu pula
yang dirasakan Gabriel saat matanya menatap Sivia. Mereka sama-sama keras kepala,
tapi Gabriel yang selalu luluh dengan egonya. Di satu sisi, pemuda ini kagum
pada Sivia. Di sisi lain, dia iri karena Sivia bisa menjadi dirinya sendiri,
dia bebas mengungkapkan apa yang dirasakannya.
“Jangan
kelamaan lihatin mereka,” bisik Rio yang terlihat fokus dengan ponselnya.
Gabriel
tersadar, lalu mengalihkan pandangan sebelum Shilla dan Alvin memergoki.
Seperti yang telah diutarakan Gabriel, dua anak itu tak boleh tahu tentang
Sivia dan Ify.
“Nanti
malam kalian dateng kan ke pagelaran busana? Jangan bilang kalian lupa.”
Shilla
nampaknya sengaja membuka obrolan. Sejak Cakka menyatakan keluar dari
keanggotaan The Wanted, gadis itu terlihat biasa-biasa saja. Malahan Gabriel
sempat menangkap kebencian di wajah Shilla saat memasuki kantin tadi.
Gabriel
hanya tak begitu menyimak apa yang diucapkan Shilla, termasuk saat dia berbicara
pada Rio, pemuda itu justru mencuri kesempatan untuk melirik Sivia.
“Siap! Lo
gimana, Yel? Lo udah janji mau dateng,” kata Shilla membuat Gabriel gelagapan.
“Pasti
gue dateng.”
Sejurus
kemudian, Gabriel menelan ludah dan merutuki dirinya sendiri. Dia bertanya-tanya
pada benaknya, memangnya dia akan ke mana? Sumpah, Gabriel hanya mendengar
sepotong, hanya kalimat ‘Lo udah janji
mau dateng’ yang sampai di telinganya, lantas pemuda itu memberikan jawaban
di luar pikirannya. Saat melihat wajah bahagia Shilla, dia tak berani untuk
bertanya.
“Mungkin
maksudnya besok dateng ke sekolah apa enggak,” batin Gabriel membuat kesimpulan
sendiri.
Tak lama
kemudian, bel masuk berbunyi. Gabriel melirik ke bangku Sivia dan ternyata
mereka sudah menghilang. Pemuda itu hanya dapat menghela nafas kecewa.
“Yuk
kita ke kelas,” ajak Shilla.
The
Wanted lantas meninggalkan kantin. Sementara itu, Rio asik dengan dunianya.
Mereka berpikir Rio sedang menghubungi Mas Dayat seperti biasa. Tak ada yang
tahu kalau pemuda itu sedang chat
dengan Ify.
Ify: Lo ngapain nge-chat? Nggak
ada guru?
Rio: Ada. Udah biasa kok
Ify: Buset pantesan kata Bu Maryam nilai lo jelek.
Udah, simpen ponselnya. Perhatiin tuh yang dijelasin guru
Rio: Galak amat sih. Pulang
sekolah kita belajar?
Ify: Bodo. Sori, pulang sekolah
gue ada janji
Rio: Terus kapan?
Ify: Malam sih gue nggak sibuk.
Tapi itu kalo lo ada waktu
Rio: Ada kok
Ify: Yaudah, nanti malam bawa
buku-buku lo sama hasil ulangan semuanya
Rio: Siap. Kita ketemu nanti
malam. See you
Ify: Udah sono belajar
Rio tak
membalas lagi karena takut gadis itu marah padanya. Entah apa yang membuatnya
menuruti ucapan Ify, sekarang Rio memperhatikan apa yang sedang dijelaskan di depan
sana meski matanya terasa perih karena
mengantuk.
Di
sebelahnya, Gabriel yang biasanya rajin mendengarkan memilih untuk stalking akun instagram Sivia yang tak
sengaja ditemukannya. Foto yang diupload Sivia sudah mencapai 243 foto dan bisa
dibilang hits, tak heran jika followersnya mencapai ribuan. Jemari
Gabriel terus men-scroll down dengan
hati-hati, jangan sampai kepencet love!
Mata
Gabriel menyipit saat dia melihat foto yang amat familiar. Ahh, itu foto mereka
berdua saat di atas bianglala! Namun Sivia sengaja menempelkan stiker di wajah
mereka berdua hingga tak ada yang tahu bahwa laki-laki tersebut adalah dirinya.
Pemuda itu lantas menyempatkan membaca komentar.
@ifyaly weehhh sok misterius, jomblo ya jomblo
aja
@siviazz brisik u @ifyaly
@agni123 gebetan baru? Kayaknya cakep nih
@ifyaly
@ifyaly Semoga di balik stiker itu emang cakep,
bukan muka Pak Rahmat
@siviazz poop @ifyaly @agni123
Sudut
bibir Gabriel terangkat saat membacanya. Apalagi saat membaca komen Ify.
Omong-omong, Pak Rahmat adalah satpam Budi Karya yang kumisnya sangat tebal dan
membuat anak-anak cowok menyebut beliau sebagai Pak Raden.
“Gabriel,
kerjakan soal di depan.”
Pemuda
itu terkesiap lalu reflek menyimpan ponselnya ke dalam saku. Gabriel menatap
papan tulis, di sana sudah ada satu buah soal Matematika.
“Ayo
Gabriel.”
Dia
buru-buru melangkah ke depan, menerima uluran spidol dari Pak Tendy kemudian
mengerjakan soal tersebut. Tak butuh waktu lama karena Gabriel dapat
menjawabnya dengan mudah.
“Hebat!
Padahal saya belum menerangkan,” cetus Pak Tendy membuat Gabriel dongkol. Itu
artinya guru ini memergoki Gabriel yang tengah memainkan ponsel.
“Saya
boleh kembali kan, Pak?” tanya Gabriel.
“Boleh.”
Gabriel
mengangguk dan kembali ke bangkunya. Meski dia adalah anak pemilik yayasan,
Gabriel tak pernah bersikap semena-mena pada guru-guru di sini. Dia menghormati
mereka tanpa terkecuali.
***
Sivia
baru saja merebahkan tubuhnya di sofa. Sepulang sekolah, Cakka mengajak makan
dan dia berhasil menguras dompet laki-laki tersebut. Untungnya dikuras pun
dompet Cakka akan selalu ada isinya. Baru akan memejamkan mata, sosok Lintar
datang dan tanpa berdosa menggeser posisi Sivia hingga gadis itu nyaris
terjepit.
“Sialan!
Tamu paling nggak tahu diri,” maki Sivia membuat Lintar terbahak.
“Dari
mana aja lo? Jam segini baru pulang. Kelayapan ya?” balas Lintar.
“Ya
dong. Gue kan gaul, makanya jam segini baru pulang. Daripada elo? Pulang
sekolah langsung pulang udah kayak anak SD,” ledek Sivia mengingat kebiasaan
Lintar semasa sekolah dulu.
“Anjir.
Tadinya gue mau ngajakin elo jalan, tapi berhubung lo ngeselin jadinya—“
“Eh! Eh!
Tadi gue bercanda doang kok. Jangan baper gitu dong sepupuku yang terganteng,”
potong Sivia bersemangat.
“Giliran
ada maunya aja muji,” cibir Lintar.
Sivia
hanya memamerkan deretan gigi putihnya sambil mengacungkan dua jari membentuk
huruf V. “Gue mandi dulu, habis itu kita jalan,” pamit Sivia kemudian berlari
meninggalkan Lintar di ruang tamu.
“Punya
sepupu jomblo ya begini,” gumam Lintar.
Sejak dulu,
Lintar dan Sivia memang sangat dekat. Bahkan Lintar lebih dekat dengan Sivia
dibanding dengan Nyopon, adik kandungnya sendiri. Mungkin karena dia lebih
senang memiliki adik perempuan dibanding laki-laki.
Waktu
menunjukkan pukul 16.00 WIB saat Sivia kembali muncul dengan sweater dan celana pendeknya—tidak lagi
mengenakan seragam.
Di lain
sisi, Alvin merengut karena berhasil dipaksa oleh Deva untuk jalan-jalan. Entahlah.
Alvin selalu memiliki firasat buruk setiap kali bersama kakaknya itu. Untuk
kali ini, firasat buruk itu belum juga hilang.
“Kita
mau ke mana sih?” kesal Alvin.
“Jalan-jalan
ke Mall seperti biasa,” sahut Deva yang sedang menyetir.
“Buang
waktu gue. Udah deh, turunin gue di sini, gue balik naik taksi,” ketus Alvin.
“You wish.”
Reflek Alvin
mengumpat di depan Deva. Tetapi kakaknya itu justru tertawa puas melihat
penderitaan sang adik. Dia memang memiliki rencana terselubung, yakni mempertemukan
Alvin dengan Sivia kembali. Maka dari itu Deva bersekongkol dengan Lintar. Untuk
pertemuan ini, Deva sudah merencanakan drama yang disusunnya bersama Lintar
beberapa hari lalu.
“Sivia jomblo kan, Lin?” tanya Deva
Lintar sedikit bingung mendengarnya. “Jangan bilang
lo mau nembak Sivia,” seloroh Lintar. Spontan Deva menepuk dahinya.
“Mau gue jodohin sama Alvin. Lo tahu sendiri
kan adek gue itu kayak gimana? Tapi kalo lo setuju sih,” jelas Deva.
“Oalah. Setuju aja gue sih. Alvin jutek, Sivia
cablak. Pas banget,” ceplos Lintar.
Deva jadi merasa memilih partner yang tepat.
“Gimana kalo kita jalan kayak waktu itu lagi? Terus
nanti...”
Deva menjelaskan rencana untuk mempertemukan
Alvin dan Sivia kembali secara rinci. Kali ini, dia pikirkan dengan matang
supaya Alvin tak curiga berhubung adiknya itu mudah peka dengan keadaan. Lintar
pun turut andil dalam memberikan ide.
“Sip!”
Tempat tujuan
mereka adalah Mall karena rencana itu hanya bisa terwujud di tempat ini. Alvin
pun dengan malas mengikuti Deva yang turun dari mobil. Mall memang selalu
ramai, ini yang dibutuhkan Deva untuk melancarkan misinya.
“Lo
dimana? Gue udah sampai. Ohh... oke.”
Deva
menyimpan kembali ponselnya setelah berbicara dengan Lintar.
“Yuk, ke
atas. Lo mau nyari sepatu kan?” ceplos Deva.
Alvin
mengangkat sebelah alisnya. “Kapan gue bilang?”
“Gue
yang bilang. Ayo, keburu Mall-nya tutup,” balas Deva asal.
Alvin
mencibir, namun tetap mengikuti langkah Deva.
Betapa
terkejutnya Sivia saat tahu bahwa Deva datang bersama Alvin. Dia melirik ke
arah Lintar, tapi wajah Lintar juga menunjukkan keheranan, Sivia jadi berpikir
kalau Lintar memang tak tahu akan ada Alvin di sini. Lintar memang memberitahu
Sivia mengenai kedatangan Deva yang dadakan, tapi dia tak menyebutkan nama
Alvin.
“Halo,
Vin. Apa kabar?” sapa Lintar.
“Hm,
baik.”
“Wahhh
kita ketemu lagi Sivia,” sapa Deva pada Sivia.
“Heyyy!
Halo Kak Deva, makin ganteng aja nih si kakak,” balas Sivia.
“Bisa
aja lo,” kekeh Deva.
“Jadi,
kita mau ke mana nih?” tanya Lintar.
“Katanya
mau nyari sepatu, Dev,” cetus Alvin berniat menyindir.
“Oh iya
sampai kelupaan. Temenin nyari sepatu dulu ya,” ceplos Deva.
“Kebetulan
gue juga mau nyari sepatu buat kondangan. Yuk deh,” sahut Lintar.
Akhirnya
Deva dan Lintar sibuk mencari sepatu yang cocok. Sivia sendiri memilih untuk melihat-lihat
sneakers, begitu pula dengan Alvin
yang sibuk sendiri. Mereka sama sekali tak sadar kalau Deva dan Lintar sudah
menghilang.
***
Rio: Shil, I’m so sorry. Gue nggak bisa datang. God bless you, Shilla. Good luck! Gue yakin lo cantik dan sempurna :)
Shilla
sedikit kecewa membaca chat dari Rio
yang mengabarkan bahwa dia tak bisa datang untuk melihatnya di pagelaran
busana. Tapi, Shilla juga tahu urusan Rio selalu lebih penting dari apapun.
Sekarang dia hanya bisa berharap pada Alvin dan Gabriel. Dua pemuda itu belum
memberi kabar apa-apa, jadi Shilla yakin mereka pasti akan datang.
Tadinya
Alvin menawarkan untuk menjemput tapi Shilla tolak karena dia tahu jarak
rumahnya dengan Alvin cukup jauh dan memakan waktu lama.
“Dia
pasti dateng, dia kan udah janji,” gumam Shilla.
“Oh My God! Shilla, kita ketemu lagi.”
Gadis
itu menoleh dan mendapati Angel Pieters tersenyum padanya. Mereka berpelukan
singkat.
“Alvin,
Cakka, Gabriel sama Rio mana?” tanya Angel sudah hafal dengan The Wanted yang
kemana-mana selalu bersama.
“Mereka
belum dateng,” jawab Shilla sekenanya.
Dia tak
mau mengatakan pada Angel kalau Cakka sudah bukan bagian dari mereka.
Selanjutnya, mereka asik mengobrolkan acara ini. Acara yang sangat megah
sehingga membuat Shilla merasa terhormat berada di sini.
Sayangnya,
kegelisahan mulai melanda Shilla saat Mr. Luke mengkomando bahwa acara akan
segera dimulai. Alvin dan Gabriel belum juga menampakkan diri. Sampai Angel
meninggalkannya, mereka tak juga datang. Shilla pun memutuskan untuk menelpon
Gabriel namun bukan jawaban dari pemuda itu yang didapatkan, melainkan mail box.
Dua
puluh kali. Hasilnya sama. Tak ada jawaban dari Gabriel. Shilla beralih
menelpon Alvin. Tersambung, tapi tidak diangkat.
“Sialan.
Sialan. Sialan. Ke mana sih kalian?”
Shilla
mencoba menelpon kembali. Nihil.
“Shilla,
ayo siap-siap!” seru Mr. Luke.
“Iya,”
sahut Shilla sambil menyimpan ponselnya.
Acara
dimulai. Shilla berlenggak-lenggok diatas catwalk,
membuat orang-orang terpana akan paras cantik yang dimiliki gadis tersebut.
Sempurna. Sampai gilirannya tampil berakhir, gadis itu tetap menguasai
panggung.
Setelah itu,
Shilla terkejut dengan kehadiran Alvin yang tiba-tiba sudah berada di backstage. Pemuda tersebut tersenyum
manis lalu menyerahkan sebucket mawar pada Shilla dan memberikan pelukan serta
kecupan singkat di puncak kepala gadis tersebut.
“Lo
cantik banget tuan puteri,” bisik Alvin.
Air mata
Shilla meluruh. Gadis itu mengeratkan pelukannya, membenamkan kepalanya
dalam-dalam di dada bidang Alvin, semua yang ditahannya di atas catwalk akhirnya tumpah. Kali ini yang
ada hanya Shilla bersama kekecewaannya.
“Tuan
puteri, lo kenapa?” tanya Alvin bingung.
“Gabriel...”
Samar-samar
Alvin mendengar Shilla menyebutkan nama Gabriel disela-sela isak tangisnya.
Firasat Alvin mendadak berubah jadi tak baik.
“Gabriel...
nggak dateng, Vin. Dia udah janji mau dateng. Kenapa orang yang paling gue
harapkan justru nggak dateng di hari penting ini, Vin? Kenapa?” racau Shilla.
Detik
itu, Alvin merasa setengah nyawanya melayang.
***
Bersambung...
Waaa sudah part 7 nggak nyangka (?) makin seru atau makin ngebosenin sih? Mohon kritik dan saran dong. Jangan jadi pembaca gelap. Punya pacar gelap aja nggak enak, apalagi pembaca gelap(?) apapun yang kalian sampaikan pasti saya terima dengan lapang dada kok karna ini juga buat lebih baik kedepannya:)
Follow ask.fm/fannyslma
0 komentar:
Posting Komentar