Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Haiii kembali #BangkitkanCRAGSISA karena lagi banyak tugas jadi di-post seadanya yaaa. Btw mau curhat, ini belum masuk konflik. Konflik mungkin part 4/5 terserah mood penulisnya(?) terus ini juga masih penguatan karakter tokoh. Belum kelihatan banget karakternya gimana kecuali mungkin yang paling kelihatan itu karakter Shilla & Sivia. Di sini juga kalian nggak perlu bingung kalo ada nama tokoh-tokoh lain karena aku usahain fokus tetap ke CRAG SISA supaya nggak melenceng. Rada susah sebenernya nulis ini. Biasanya fokus ke Rio-Ify tapi ini selalu ada pergantian scene (?)
Hope you like it
3
Gadis
ini mempersiapkan diri untuk berlenggak-lenggok di atas catwalk. Dengan busana rancangan Nahni Wijaya, Shilla terlihat
sangat mempesona dengan balutan dress
berwarna pink. Panjangnya kira-kira di atas lutut, menampakkan kaki jenjangnya.
Dress ini dibalut dengan diamond yang
menambah kesan mahal. Sangat cocok untuk Shilla.
“Kamu
grogi banget, Shil?” tanya Nahni mengamati sikap Shilla yang sedari tadi tampak
cemas.
Shilla
menggeleng. “Lagi kesel sama anak-anak, Tan. Mereka mendadak nggak bisa dateng
buat lihat Shilla,” curhatnya.
Satu jam
lalu, Cakka mengabarkan bahwa dia harus ke pesta teman lama papanya, Alvin
diajak kakaknya yang bernama Deva entah kemana, Gabriel mengantar mamanya ke
salon dan Rio tentu saja meeting.
Padahal Shilla ingin sekali mereka
melihat penampilannya saat ini.
“Gue yakin lo pasti cantik kok. Besok lo
pamerin fotonya deh.”
Alvin
mengatakan itu untuk menghiburnya. Sayangnya Shilla sudah terlanjur bad mood. Kalau tidak ingat ini adalah
acara yang ditunggunya sejak sebulan lalu, dia pasti sudah kabur dan mencari
mereka semua lalu memarahi. Seenaknya membatalkan janji.
“Ya
sudah, kamu berusaha rileks dulu gih. Sepuluh menit lagi acaranya dimulai.”
Shilla
mengangguk patuh pada Nahni Wijaya. Dia jadi lupa membicarakan konser anaknya,
ah sudahlah. Yang terpenting saat ini adalah dia harus tampil semaksimal
mungkin dan membuat para penonton mengaguminya. Dia harus tetap sempurna.
Di lain
sisi, Alvin menatap sebal ke arah kakaknya yang sudah menculiknya seenak jidat.
Begitu sampai rumah, Alvin yang sudah siap menuju acara fashion show Shilla langsung ditarik dan diajak keliling Jakarta.
Meski jarang bertemu dengan Deva, dia tak pernah merindukan kakaknya itu.
Entahlah.
“Kita
mau ke mana dah? Daritadi lo nggak jelas,” cibir Alvin.
“Mau
maksa lo kerja di kantor Papa,” sahut Deva kalem.
“Anjir!
Devaaa! Nggak yaaa gue nggak mau,” balas Alvin tak santai. Dia memang sudah
biasa memanggil Deva tanpa embel-embel ‘kak’. Mereka hanya berbeda dua tahun.
“Nggak
lah. Papa juga ogah punya karyawan yang kerjanya molor mulu kayak lo. Gue mau
ngajak lo makan, lama banget nggak makan bareng lo.”
Tentu
saja Alvin tak terima dibilang kerjanya hanya molor alias tidur. Meski
kenyataannya demikian.
“Ngapain
ngajak gue makan bareng? Lo nggak maho kan?” ketus Alvin.
“Sialan.
Enggaklah! Gue malah curiga yang maho itu elo. Masa sejak putus sama Angel
nggak ada cewek yang nyangkut? Kebanyakan main sama The Wanted lo,” ceplos Deva membuat Alvin mengerutkan kening.
“Apa
hubungannya sama The Wanted?” tanya
Alvin bingung.
“The Wanted kan kebanyakan cowok. Apa
jangan-jangan lo suka sama Shilla?” pancing Deva.
Alvin
menggeleng keras. “Gue pantang suka sama sahabat sendiri.”
“Lo
masih inget yang dibilang Angel sewaktu kalian putus?” tanya Deva.
Alvin
mulai mengingat-ingat. Itu sudah lama sekali, tapi akhirnya dia ingat juga
karena dari semua kalimat Angel malam itu, kalimat ini yang paling diingatnya.
Kalimat yang mungkin akan selalu membekas.
“Lo
harus lihat dunia luar.”
“You get it, bro. Lo harus lihat dunia
luar yang lebih liar. Bukan sebatas persahabatan yang harus dijaga sampai
kapanpun. It’s okay lo mau bilang lo
sayang mereka, tapi lo harus realistis kalau hidup lo bukan sebatas mereka. Ada
banyak hal yang perlu lo ketahui,” jelas Deva mencoba mengubah mindset adiknya.
“Jangan
sok menggurui,” cerca Alvin. Baginya, The
Wanted segalanya.
“Oke
lupakan tentang The Wanted. Sekarang
kita cari cewek buat lo, semoga dia bisa benerin otak lo,” putus Deva lantas
memarkirkan mobilnya di Choc’s Caffe.
Yang
Alvin tahu, nasibnya saat ini sedang terancam.
***
Berada
di gramedia rasanya seperti surga bagi Ify. Andai uangnya cukup untuk membeli
semua buku—kalau bisa sekalian tempatnya—yang ada di sini. Sayangnya Ify tak
sekaya itu. Tapi, setidaknya dia punya jatah membeli tiga novel dari ayahnya.
Kalau bukan karena ayahnya meminta dia untuk mencarikan buku biografi untuk
hadiah sahabatnya yang sebentar lagi berulang tahun, Ify tidak akan mendapat
tiga novel gratis.
Ify
memilih untuk mencari-cari buku biografi terlebih dahulu supaya bisa
berlama-lama memilih novel. Sejujurnya, Ify tidak pernah tertarik dengan buku
biografi siapapun jadi dia tak tahu harus memilih yang mana, baginya semua sama
saja.
“Sekarang
nggak cuma suka novel?”
Gadis
itu mendongak dan sangat shocked
melihat Rio sudah berada di hadapannya.
“Lo
ngapain di sini?” tanya Ify spontan.
“Gue
nemenin Mas Dayat,” jawab Rio menunjuk ke arah bapak-bapak disudut rak.
“Lo
kayaknya kaget banget,” tambah Rio.
Menyadari
ekspresinya sangat terbaca, Ify lantas berusaha tersenyum dan sibuk mencari
buku pesanan ayahnya lagi. Saat ini Ify berpikir sampai kapan Rio akan berada
di sini. Lagipula, toko buku kan banyak, kenapa juga mereka harus bertemu?
“Lo suka
buku biografi?”
Oh God. Rio belum pergi juga.
“Nggak.
Titipan bokap gue,” jawab Ify sekenanya.
Dia
menyambar salah satu buku yang menurutnya menarik.
“Alyssa,
gue boleh kan temenan sama lo?” tanya Rio terdengar formal.
Ify
meneguk ludahnya lalu memandang Rio dengan aneh. Apa tadi? Laki-laki ini ingin
berteman dengannya? Demi neptunus, dia berharap telinganya salah mendengar. Dia
tidak mau punya urusan dengan The Wanted,
termasuk Rio.
“Hm,
gimana?” ulang Rio sekali lagi.
“Maaf,
nggak bisa,” jawab Ify lantas menghela nafas dan meninggalkan Rio menuju rak
novel.
Rio
mematung di tempatnya. Dia menatap Ify yang mulai membentangkan jarak. Sejak
bertemu di toko buku saat itu, Rio tak bisa fokus untuk tidak memikirkannya.
Dia merasakan getaran yang tak dapat dia rasakan ketika bersama Shilla, padahal
keduanya sama-sama perempuan.
Dia
bahkan sengaja mengikuti Ify ke sini saat dilihatnya Ify turun dari sebuah
taksi. Untuk itu, dia sengaja membatalkan janjinya pada Shilla. Rio sendiri tak
tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.
“Gimana,
Yo?” tanya Mas Dayat yang muncul tiba-tiba.
“Dia
nggak mau temenan sama saya,” jawab Rio tersenyum getir.
“Belum.
Coba lagi, mungkin kamu masih kaku. Kamu harus banyak bergaul supaya nggak
kaku. Begini, saya tinggal ke mobil supaya kamu lebih rileks,” ucap Mas Dayat
menyemangati.
Rio
hanya mengangguk lalu melangkah mendekati gadis itu lagi. Di mata Rio, ada
sesuatu yang berbeda saat melihatnya. Alyssa. Alyssa. Alyssa. Rio suka
merapalkan namanya.
“Ck, lo lagi. Belum nyerah juga?” ketus
Ify.
“Lo
kenapa? Gue pernah punya salah sama lo?” tanya Rio membuat Ify terdiam.
Sekarang
Ify berharap dirinya sedang bersama Sivia. Jika bersama Sivia, dia yakin
sahabatnya itu akan mengusir Rio dengan tidak terhormat. Sekarang Ify bingung,
dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak membenci Rio, dia
hanya tidak mau berurusan dengan The Wanted. Lalu, berteman?
Membayangkannya saja tidak pernah.
“Alyssa—“
“Ify,”
potong Ify cepat.
“Tapi
waktu kita ketemu di—“
“Gue
lupa nyebutin kalo gue biasa dipanggil Ify,” potong Ify lagi.
Rio
mengangguk-angguk. “Lupain pertanyaan gue tadi. Lo masih mau nyari novel?”
“Hm,
iya. Gue mau nyari novel. Lo nggak berniat nungguin gue kan?” balas Ify
bernafas lega.
“Gue
temenin.”
Sejurus
kemudian, Ify menarik nafas dan menatap Rio dengan sorot mata tak terbaca.
Beberapa detik kemudian gadis itu menganggukkan kepala.
Sementara
itu di tempat yang berbeda, Sivia sedang mengerjapkan matanya berkali-kali
karena tidak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Unbelivable! Ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Lintar, abang
sepupunya berteman dengan Deva, kakak dari Alvin The Wanted! Bagaimana bisa?
Sivia
terus menatap Lintar dan Deva yang tengah bernostalgia ala lelaki. Sementara
dirinya, dibiarkan diam layaknya patung manekin bersama Alvin. Ingin sekali
Sivia merengek untuk pulang supaya tidak usah berlama-lama di dekat Alvin.
Melihatnya di sekolah dari kejauhan saja membuatnya muak, apalagi sedekat ini!
“Abang,”
rajuk Sivia.
“Apaan
Siv? Oh iya, Dev, kenalin ini namanya Sivia. Adik sepupu gue,” kata Lintar pada
Deva.
“Hai,
gue Deva. Sekolah di mana, Siv?” balas Deva ramah. Berbeda sekali dengan Alvin
yang memasang wajah jutek sedari tadi.
“Budi
Karya,” jawab Sivia sekenanya.
“Wahh
pas banget. Alvin juga di Budi Karya. Kalian nggak saling kenal?” ceplos Deva
yang memang sejak awal sudah berniat mencarikan gebetan untuk adiknya.
Sivia
hanya menggeleng.
“Aduh
rugi banget lo, Vin. Masa nggak kenal cewek secantik ini? Waktu itu lo
bilangnya anak-anak Budi Karya nggak ada yang cantik. Nah ini apa?” cerocos
Deva mau tak mau membuat Sivia terbang juga. Dipuji cowok cakep yang super ramah
gitu loh._.
“Bacot
lo,” cetus Alvin lalu menyesap hot
chocolate-nya.
“Emang
gue bacot ya, Siv?” tanya Deva.
“Nggak
kok, Kak. Justru Kak Deva anaknya asik gitu. Kakak pasti temennya banyak ya
kan? Gue juga kayak Kak Deva gitu soalnya. Temen gue banyak,” jawab Sivia
sengaja menekankan kalimat temen banyak.
Dalam
hati, Alvin merasa tersindir tapi tak berkomentar apa-apa.
Pada
akhirnya, pertemuan itu didominasi oleh obrolan Deva dan Sivia. Lintar nampak
biasa saja karena laki-laki itu sesekali menimpali, membicarakan teman-teman
lamanya dengan Deva atau mengolok-olok Sivia. Hanya Alvin yang merasa tak
nyaman dan ingin kabur—sayangnya Deva terus menahan agar dia tetap di sana.
***
“Kalian
beneran nggak dateng,” ucap Shilla dengan nada pelan dan terdengar kecewa.
“Gue
udah bilang ada acara,” bantah Cakka membela diri.
Shilla
menggigit bibir bawahnya. Semalam, acaranya nyaris kacau jika fokusnya tidak
kembali di saat yang tepat. Dia nyaris terpeleset saat berlenggak-lenggok di
atas catwalk namun teratasi dengan
baik dan tidak ada yang sadar. Ini semua karena Shilla masih berharap mereka
berempat muncul tiba-tiba.
“Buat
acara lo selanjutnya, kita pastikan kalau kita bakal dateng,” hibur Gabriel.
Gadis
itu beralih menatap Gabriel, lalu mengangguk. Selanjutnya Gabriel mengusap
puncak kepala Shilla dengan rasa sayang. Meski kekecewaan itu masih belum
terhapus sepenuhnya, Shilla memegang teguh janji Gabriel.
“Sekarang
nggak ngambek lagi kan? Kita ke kantin yuk?” ajak Alvin.
“Tapi
bayarin ya,” cetus Shilla.
“Siap
tuan puteri.”
The Wanted
memutuskan untuk menuju kantin. Rio masih setia bersama ponselnya walau
sebenarnya pikirannya tak benar-benar ada di sini. Laki-laki itu masih
memikirkan Alys—maksudnya Ify.
Rio
menatap wajah Gabriel, Shilla, Alvin dan Cakka bergantian. Sejak sebelas tahun
lalu, ekspresi mereka—termasuk dirinya—tak pernah berubah saat bersama-sama.
Selalu menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka baik-baik saja, seolah tak
pernah ada beban di sana. Lalu, Rio teringat ucapan Ify semalam.
“Di dunia ini, nggak mungkin ada orang yang
selalu baik-baik aja. Yang ada hanya orang yang lagi bohongin dirinya sendiri.”
Rio
menarik nafas lalu membuangnya secara teratur.
“Nanti
malam ke konsernya Brian kan?” tanya Cakka begitu mereka sampai di kantin.
“Harus.
Kalian nggak boleh ada yang mangkir,” jawab Shilla cepat sebelum ada yang
beralasan lagi.
“Gue
udah ijin ya,” sela Rio.
“Ya.
Kecuali Rio nggak boleh ada yang mangkir,” kata Shilla terdengar meralat.
“Iya
tuan puteri yang nggak bisa dibantah,” ceplos Alvin membuat Shilla melotot dan
reflek meninju bahu Alvin yang kebetulan duduk di sebelahnya.
Cowok
itu meringis, lalu tertawa. Bukan hanya dirinya tetapi juga yang lain. Dengan
hal sekecil ini, mereka selalu tertawa. Tapi untuk sekarang, sejak mengobrol
dengan Ify, Rio merasa tawa ini membosankan dan kosong.
“Anjir
sumpah gua ngakak banget lihat ekspresinya Bu Maryam! Lo kurang ajar banget Fy
jadi murid!”
“Enak
aja! Gue kan membela diri!”
Perhatian
The Wanted terpecah mendengar suara
dua orang gadis yang terdengar mengobrolkan sesuatu yang seru. Mereka terus
memperhatikan. Detik itu, Alvin mengenal salah satunya sebagai Sivia. Rio
mengenal salah satunya sebagai Ify. Yang lain, hanya mengingat bahwa mereka
adalah dua gadis yang dimarahi oleh Shilla kemarin karena membuat gaduh.
“Ya
suka-suka lo lah, tapi gue tetep kepengin ngakak. Aduhhh seumur-umur belum
pernah gue lihat Bu Maryam blushing
gara-gara muridnya.”
“Lo udah
ngakak daritadi bego.”
“Yeee
ngatain. Biasa aja kali jink.”
“Udah
biasa nyet.”
“IFY!
SIVIAAA!”
Dua
gadis itu menoleh, sekarang seorang gadis lain dengan poni pagar yang sengat
dikenal Cakka menghampiri mereka. Dan obrolan mereka terdengar sejuta kali
lebih seru dibanding dengan obrolan The
Wanted.
“Eh
nyokap gue pulang dari Paris. Katanya bawa oleh-oleh gitu buat kalian,” celetuk
Shilla yang tersadar paling awal. Dia berusaha mencari perhatian.
“Oh ya?”
sahut Cakka.
“Heem.
Nanti malam pas kita ke konser Brian sekalian gue bawain ya. Buat Rio, nanti
gue titipin ke Cakka,” cerocos gadis tersebut.
Diam-diam,
Rio melirik ke bangku Ify. Gadis itu menjadi sangat ekpresif ketika bersama
teman-temannya. Tawanya lebar. Saat mata Rio tak sengaja menangkap sebuah novel
di tangan Ify, laki-laki itu tersenyum. Novel itu... dia yang membelikannya.
“Lo suka ini nggak?” tanya Rio menyerahkan
sebuah novel pilihannya pada Ify.
“Oh My God! Ini novel inceran gue sejak lama.
Tuh kan stoknya tinggal ini doang. Waaa thanks banget aduhh,” cerocos Ify tak
dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Mau tak mau Rio tersenyum tipis.
“Gue beliin,” ucap Rio membuat Ify melotot.
“Nggak. Gue bayar sendiri. Gue bawa duit kok,”
tolak Ify.
“Anggap aja itu hadiah perkenalan dari gue.”
Dan dia menyetujui.
***
Gabriel
keluar dari ruangan kepala sekolah dan menyusuri koridor yang sudah sepi. The Wanted pun sudah pulang karena punya
urusan masing-masing. Obrolannya dengan sang kepsek menyita waktunya cukup lama
hingga bel pulang berbunyi pun urusan mereka belum terselesaikan.
Laki-laki itu berhenti saat menangkap seseorang di kelas XI IPA 4. Seseorang yang beberapa
hari lalu menabraknya, lalu memakinya dan terakhir kali mereka berpapasan,
Gabriel memintanya untuk minta maaf tapi ditolak mentah-mentah oleh orang
tersebut. Entah setan apa yang membuatnya untuk melangkah masuk ke dalam kelas
tersebut, yang jelas dia masih ingin memperpanjang urusannya.
“Kita
ketemu lagi,” ucap Gabriel datar.
Gadis
yang tengah mencatat tersebut mendongak, terkejut dengan kehadiran Gabriel yang
tiba-tiba, lalu memasang wajah sinis. Entah mengapa pula dia senang ditatap
seperti itu. Disaat orang-orang hanya berani memaki dan memasang wajah tak suka
di belakang, gadis ini berani melakukan keduanya di hadapan Gabriel langsung.
“Ck, lo ngapain di sini?” ketus
Sivia—yang tak Gabriel ketahui namanya.
“Lo
tahu, urusan kita belum kelar,” jawab Gabriel lalu duduk di bangku depan gadis
tersebut.
“Lo
masih mau gue minta maaf? Gue udah bilang, gue nggak mau. Lo mau laporin gue ke
guru? Silakan. Lo mau keluarin gue dari sekolah? Gue nggak takut,” cerocos
Sivia lalu membuang muka.
“Dasar
cewek nyolot,” sengit Gabriel.
“Eh apa
lo bilang?! Gue nggak takut sama elo tahu!
Ayo sini kita adu jotos!”
Sivia
menggebu-gebu mengucapkannya karena tidak terima dikatakan nyolot oleh Gabriel
yang menurutnya lebih nyolot. Biasanya saat Ify mengatainya nyolot Sivia justru
terima-terima saja.
“Lo
orang teraneh yang pernah gue temui,” desis Gabriel.
“Lo
nggak sadar diri banget ya? Yang aneh itu elo sama temen-temen lo itu. Udah sombong, sok
anti-sosial lagi. Emangnya kalian siapa sih sampai anak-anak takut dan nggak
berani negur?” ceplos Sivia tanpa sadar mengungkapkan kekesalannya tentang The Wanted.
Dia tak
tahu, Gabriel membisu mendengar unek-unek Sivia yang mungkin mewakili unek-unek
seluruh siswa di sekolah. Ada yang menelusup di hati Gabriel, suatu keinginan
untuk membela The Wanted. Setelah
Sivia tak bicara lagi, gantian Gabriel yang berbicara.
“Jaga
ucapan lo. Lo nggak tahu apa-apa tentang The
Wanted,” tandas Gabriel.
Sivia
tersenyum meremehkan. “Lo ngomong begitu karna mereka temen-temen lo atau karna
lo membenarkan apa yang gue ucapkan tadi?”
“Gue—“
“Main lo
kurang jauh, bro,” potong Sivia cepat sebelum Gabriel menyelesaikan ucapannya.
***
Cakka dan Agni tengah melakukan one by one di lapangan indoor yang kebetulan kosong di jam
pulang sekolah. Setelah pertemuan saat itu, Cakka dan Agni menjadi lumayan
dekat. Mereka sering chatting
membicarakan hal-hal seputar basket. Cakka tak pernah sebahagia ini sejak
kehilangan Rio sebagai partner
basketnya, kini dia mendapatkan pengganti Rio setelah sekian lama. Pengganti
yang lebih sempurna karena dia datang menyalakan mimpi Cakka yang nyaris padam.
Begitu
Cakka mendapat chat dari Agni bahwa
hari ini anak basket tidak ada latihan, mereka membuat janji dadakan untuk
bermain bersama. Cakka lantas berpura-pura memasuki mobilnya, menunggu sampai
Rio, Alvin dan Shilla meninggalkan sekolah. Lantas, laki-laki itu menelpon
sopir keluarganya untuk mengambil mobil dan menggantinya dengan motor—nyaris
tak pernah dia pakai—supaya Gabriel tidak tahu dia masih berada di sekolah.
“Satu point lagi buat gue!” seru Agni.
Cakka
tertawa. Meski kalah jauh dari point Agni, dia tidak merasa kecewa,
justru semakin bersemangat untuk bisa melebihi Agni. Benar kata gadis itu,
terlalu lama bermain tanpa lawan membuatnya kaku.
“Istirahat
dulu ya, Cak,” koor Agni lantas menepi dan meneguk minumnya.
Cakka
melakukan hal yang sama.
“Temen-temen
lo nggak marah lo ke sini?” tanya Agni.
“Mereka
nggak tahu.”
Reflek
Agni menutup mulutnya. Itu berarti, selama ini Cakka bermain basket tanpa
sepengetahuan mereka. Barulah Agni paham mengapa dia selalu menemukan Cakka di
lapangan indoor tanpa The Wanted.
“Tahu
nggak, Ag? Gue seneng banget bisa kenal lo,” cetus Cakka seraya mengembangkan
senyumnya.
“Kenapa?”
“Lo
bikin sesuatu yang mustahil di hidup gue jadi nyata. Selama ini gue cuma bisa
bermimpi, tapi sekarang gue nggak perlu memimpikannya lagi karena ada elo yang
bisa bantu gue mewujudkan. Nggak ada yang lebih indah dari itu, Ag,” lirih
Cakka terdengar sangat bahagia.
Agni
merangkul bahu pemuda itu. Di balik Cakka yang terkenal sombong dan
anti-sosial, gadis itu melihat Cakka yang sedang melepas keputusasaannya.
“Lo bisa
mewujudkan segalanya kalo mau karena semua orang punya hak untuk memperjuangkan,”
ucap Agni memberi semangat.
Jauh
dari posisi mereka sekarang, seseorang mengamati gerak-gerik Cakka dan Agni.
***
Bersambung...
Wahahaha
gimana? Butuh kritik & saran dong. Menurut kalian setelah baca 3 part ini,
couple-nya siapa sih? Aku mau tahu dong
3 komentar:
Aakkhhh, kereen
couple nya ttp Rify, Alvia, Shiel, Cagni
Hahaa... Cepet next ya qaqa
Semangatt!!
keren, aku suka. kayaknya nih ya, Rio sama Ify. Alvin sama Gabriel rebutan Sivia, sedangkan Cakka sama Agni dan Shilla suka sama Gabriel?
mungkin gitu, hihi
Posting Komentar