"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Senin, 04 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 3

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Haiii kembali #BangkitkanCRAGSISA karena lagi banyak tugas jadi di-post seadanya yaaa. Btw mau curhat, ini belum masuk konflik. Konflik mungkin part 4/5 terserah mood penulisnya(?) terus ini juga masih penguatan karakter tokoh. Belum kelihatan banget karakternya gimana kecuali mungkin yang paling kelihatan itu karakter Shilla & Sivia. Di sini juga kalian nggak perlu bingung kalo ada nama tokoh-tokoh lain karena aku usahain fokus tetap ke CRAG SISA supaya nggak melenceng. Rada susah sebenernya nulis ini. Biasanya fokus ke  Rio-Ify tapi ini selalu ada pergantian scene (?)

Hope you like it

3



Gadis ini mempersiapkan diri untuk berlenggak-lenggok di atas catwalk. Dengan busana rancangan Nahni Wijaya, Shilla terlihat sangat mempesona dengan balutan dress berwarna pink. Panjangnya kira-kira di atas lutut, menampakkan kaki jenjangnya. Dress ini dibalut dengan diamond yang menambah kesan mahal. Sangat cocok untuk Shilla.
“Kamu grogi banget, Shil?” tanya Nahni mengamati sikap Shilla yang sedari tadi tampak cemas.
Shilla menggeleng. “Lagi kesel sama anak-anak, Tan. Mereka mendadak nggak bisa dateng buat lihat Shilla,” curhatnya.
Satu jam lalu, Cakka mengabarkan bahwa dia harus ke pesta teman lama papanya, Alvin diajak kakaknya yang bernama Deva entah kemana, Gabriel mengantar mamanya ke salon dan Rio tentu saja meeting. Padahal Shilla  ingin sekali mereka melihat penampilannya saat ini.
“Gue yakin lo pasti cantik kok. Besok lo pamerin fotonya deh.”
Alvin mengatakan itu untuk menghiburnya. Sayangnya Shilla sudah terlanjur bad mood. Kalau tidak ingat ini adalah acara yang ditunggunya sejak sebulan lalu, dia pasti sudah kabur dan mencari mereka semua lalu memarahi. Seenaknya membatalkan janji.
“Ya sudah, kamu berusaha rileks dulu gih. Sepuluh menit lagi acaranya dimulai.”
Shilla mengangguk patuh pada Nahni Wijaya. Dia jadi lupa membicarakan konser anaknya, ah sudahlah. Yang terpenting saat ini adalah dia harus tampil semaksimal mungkin dan membuat para penonton mengaguminya. Dia harus tetap sempurna.
Di lain sisi, Alvin menatap sebal ke arah kakaknya yang sudah menculiknya seenak jidat. Begitu sampai rumah, Alvin yang sudah siap menuju acara fashion show Shilla langsung ditarik dan diajak keliling Jakarta. Meski jarang bertemu dengan Deva, dia tak pernah merindukan kakaknya itu. Entahlah.
“Kita mau ke mana dah? Daritadi lo nggak jelas,” cibir Alvin.
“Mau maksa lo kerja di kantor Papa,” sahut Deva kalem.
“Anjir! Devaaa! Nggak yaaa gue nggak mau,” balas Alvin tak santai. Dia memang sudah biasa memanggil Deva tanpa embel-embel ‘kak’. Mereka hanya berbeda dua tahun.
“Nggak lah. Papa juga ogah punya karyawan yang kerjanya molor mulu kayak lo. Gue mau ngajak lo makan, lama banget nggak makan bareng lo.”
Tentu saja Alvin tak terima dibilang kerjanya hanya molor alias tidur. Meski kenyataannya demikian.
“Ngapain ngajak gue makan bareng? Lo nggak maho kan?” ketus Alvin.
“Sialan. Enggaklah! Gue malah curiga yang maho itu elo. Masa sejak putus sama Angel nggak ada cewek yang nyangkut? Kebanyakan main sama The Wanted lo,” ceplos Deva membuat Alvin mengerutkan kening.
“Apa hubungannya sama The Wanted?” tanya Alvin bingung.
The Wanted kan kebanyakan cowok. Apa jangan-jangan lo suka sama Shilla?” pancing Deva.
Alvin menggeleng keras. “Gue pantang suka sama sahabat sendiri.”
“Lo masih inget yang dibilang Angel sewaktu kalian putus?” tanya Deva.
Alvin mulai mengingat-ingat. Itu sudah lama sekali, tapi akhirnya dia ingat juga karena dari semua kalimat Angel malam itu, kalimat ini yang paling diingatnya. Kalimat yang mungkin akan selalu membekas.
“Lo harus lihat dunia luar.”
You get it, bro. Lo harus lihat dunia luar yang lebih liar. Bukan sebatas persahabatan yang harus dijaga sampai kapanpun. It’s okay lo mau bilang lo sayang mereka, tapi lo harus realistis kalau hidup lo bukan sebatas mereka. Ada banyak hal yang perlu lo ketahui,” jelas Deva mencoba mengubah mindset adiknya.
“Jangan sok menggurui,” cerca Alvin. Baginya, The Wanted segalanya.
“Oke lupakan tentang The Wanted. Sekarang kita cari cewek buat lo, semoga dia bisa benerin otak lo,” putus Deva lantas memarkirkan mobilnya di Choc’s Caffe.
Yang Alvin tahu, nasibnya saat ini sedang terancam.
***
Berada di gramedia rasanya seperti surga bagi Ify. Andai uangnya cukup untuk membeli semua buku—kalau bisa sekalian tempatnya—yang ada di sini. Sayangnya Ify tak sekaya itu. Tapi, setidaknya dia punya jatah membeli tiga novel dari ayahnya. Kalau bukan karena ayahnya meminta dia untuk mencarikan buku biografi untuk hadiah sahabatnya yang sebentar lagi berulang tahun, Ify tidak akan mendapat tiga novel gratis.
Ify memilih untuk mencari-cari buku biografi terlebih dahulu supaya bisa berlama-lama memilih novel. Sejujurnya, Ify tidak pernah tertarik dengan buku biografi siapapun jadi dia tak tahu harus memilih yang mana, baginya semua sama saja.
“Sekarang nggak cuma suka novel?”
Gadis itu mendongak dan sangat shocked melihat Rio sudah berada di hadapannya.
“Lo ngapain di sini?” tanya Ify spontan.
“Gue nemenin Mas Dayat,” jawab Rio menunjuk ke arah bapak-bapak disudut rak.
“Lo kayaknya kaget banget,” tambah Rio.
Menyadari ekspresinya sangat terbaca, Ify lantas berusaha tersenyum dan sibuk mencari buku pesanan ayahnya lagi. Saat ini Ify berpikir sampai kapan Rio akan berada di sini. Lagipula, toko buku kan banyak, kenapa juga mereka harus bertemu?
“Lo suka buku biografi?”
Oh God. Rio belum pergi juga.
“Nggak. Titipan bokap gue,” jawab Ify sekenanya.
Dia menyambar salah satu buku yang menurutnya menarik.
“Alyssa, gue boleh kan temenan sama lo?” tanya Rio terdengar formal.
Ify meneguk ludahnya lalu memandang Rio dengan aneh. Apa tadi? Laki-laki ini ingin berteman dengannya? Demi neptunus, dia berharap telinganya salah mendengar. Dia tidak mau punya urusan dengan The Wanted, termasuk Rio.
“Hm, gimana?” ulang Rio sekali lagi.
“Maaf, nggak bisa,” jawab Ify lantas menghela nafas dan meninggalkan Rio menuju rak novel.
Rio mematung di tempatnya. Dia menatap Ify yang mulai membentangkan jarak. Sejak bertemu di toko buku saat itu, Rio tak bisa fokus untuk tidak memikirkannya. Dia merasakan getaran yang tak dapat dia rasakan ketika bersama Shilla, padahal keduanya sama-sama perempuan.
Dia bahkan sengaja mengikuti Ify ke sini saat dilihatnya Ify turun dari sebuah taksi. Untuk itu, dia sengaja membatalkan janjinya pada Shilla. Rio sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya.
“Gimana, Yo?” tanya Mas Dayat yang muncul tiba-tiba.
“Dia nggak mau temenan sama saya,” jawab Rio tersenyum getir.
“Belum. Coba lagi, mungkin kamu masih kaku. Kamu harus banyak bergaul supaya nggak kaku. Begini, saya tinggal ke mobil supaya kamu lebih rileks,” ucap Mas Dayat menyemangati.
Rio hanya mengangguk lalu melangkah mendekati gadis itu lagi. Di mata Rio, ada sesuatu yang berbeda saat melihatnya. Alyssa. Alyssa. Alyssa. Rio suka merapalkan namanya.
Ck, lo lagi. Belum nyerah juga?” ketus Ify.
“Lo kenapa? Gue pernah punya salah sama lo?” tanya Rio membuat Ify terdiam.
Sekarang Ify berharap dirinya sedang bersama Sivia. Jika bersama Sivia, dia yakin sahabatnya itu akan mengusir Rio dengan tidak terhormat. Sekarang Ify bingung, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak membenci Rio, dia hanya tidak  mau berurusan dengan The Wanted. Lalu, berteman? Membayangkannya saja tidak pernah.
“Alyssa—“
“Ify,” potong Ify cepat.
“Tapi waktu kita ketemu di—“
“Gue lupa nyebutin kalo gue biasa dipanggil Ify,” potong Ify lagi.
Rio mengangguk-angguk. “Lupain pertanyaan gue tadi. Lo masih mau nyari novel?”
“Hm, iya. Gue mau nyari novel. Lo nggak berniat nungguin gue kan?” balas Ify bernafas lega.
“Gue temenin.”
Sejurus kemudian, Ify menarik nafas dan menatap Rio dengan sorot mata tak terbaca. Beberapa detik kemudian gadis itu menganggukkan kepala.
Sementara itu di tempat yang berbeda, Sivia sedang mengerjapkan matanya berkali-kali karena tidak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Unbelivable! Ini benar-benar tidak bisa dipercaya. Lintar, abang sepupunya berteman dengan Deva, kakak dari Alvin The Wanted! Bagaimana bisa?
Sivia terus menatap Lintar dan Deva yang tengah bernostalgia ala lelaki. Sementara dirinya, dibiarkan diam layaknya patung manekin bersama Alvin. Ingin sekali Sivia merengek untuk pulang supaya tidak usah berlama-lama di dekat Alvin. Melihatnya di sekolah dari kejauhan saja membuatnya muak, apalagi sedekat ini!
“Abang,” rajuk Sivia.
“Apaan Siv? Oh iya, Dev, kenalin ini namanya Sivia. Adik sepupu gue,” kata Lintar pada Deva.
“Hai, gue Deva. Sekolah di mana, Siv?” balas Deva ramah. Berbeda sekali dengan Alvin yang memasang wajah jutek sedari tadi.
“Budi Karya,” jawab Sivia sekenanya.
“Wahh pas banget. Alvin juga di Budi Karya. Kalian nggak saling kenal?” ceplos Deva yang memang sejak awal sudah berniat mencarikan gebetan untuk adiknya.
Sivia hanya menggeleng.
“Aduh rugi banget lo, Vin. Masa nggak kenal cewek secantik ini? Waktu itu lo bilangnya anak-anak Budi Karya nggak ada yang cantik. Nah ini apa?” cerocos Deva mau tak mau membuat Sivia terbang juga. Dipuji cowok cakep yang super ramah gitu loh._.
“Bacot lo,” cetus Alvin lalu menyesap hot chocolate-nya.
“Emang gue bacot ya, Siv?” tanya Deva.
“Nggak kok, Kak. Justru Kak Deva anaknya asik gitu. Kakak pasti temennya banyak ya kan? Gue juga kayak Kak Deva gitu soalnya. Temen gue banyak,” jawab Sivia sengaja menekankan kalimat temen banyak.
Dalam hati, Alvin merasa tersindir tapi tak berkomentar apa-apa.
Pada akhirnya, pertemuan itu didominasi oleh obrolan Deva dan Sivia. Lintar nampak biasa saja karena laki-laki itu sesekali menimpali, membicarakan teman-teman lamanya dengan Deva atau mengolok-olok Sivia. Hanya Alvin yang merasa tak nyaman dan ingin kabur—sayangnya Deva terus menahan agar dia tetap di sana.
***
“Kalian beneran nggak dateng,” ucap Shilla dengan nada pelan dan terdengar kecewa.
“Gue udah bilang ada acara,” bantah Cakka membela diri.
Shilla menggigit bibir bawahnya. Semalam, acaranya nyaris kacau jika fokusnya tidak kembali di saat yang tepat. Dia nyaris terpeleset saat berlenggak-lenggok di atas catwalk namun teratasi dengan baik dan tidak ada yang sadar. Ini semua karena Shilla masih berharap mereka berempat muncul tiba-tiba.
“Buat acara lo selanjutnya, kita pastikan kalau kita bakal dateng,” hibur Gabriel.
Gadis itu beralih menatap Gabriel, lalu mengangguk. Selanjutnya Gabriel mengusap puncak kepala Shilla dengan rasa sayang. Meski kekecewaan itu masih belum terhapus sepenuhnya, Shilla memegang teguh janji Gabriel.
“Sekarang nggak ngambek lagi kan? Kita ke kantin yuk?” ajak Alvin.
“Tapi bayarin ya,” cetus Shilla.
“Siap tuan puteri.”
The Wanted memutuskan untuk menuju kantin. Rio masih setia bersama ponselnya walau sebenarnya pikirannya tak benar-benar ada di sini. Laki-laki itu masih memikirkan Alys—maksudnya Ify.
Rio menatap wajah Gabriel, Shilla, Alvin dan Cakka bergantian. Sejak sebelas tahun lalu, ekspresi mereka—termasuk dirinya—tak pernah berubah saat bersama-sama. Selalu menunjukkan bahwa masing-masing dari mereka baik-baik saja, seolah tak pernah ada beban di sana. Lalu, Rio teringat ucapan Ify semalam.
“Di dunia ini, nggak mungkin ada orang yang selalu baik-baik aja. Yang ada hanya orang yang lagi bohongin dirinya sendiri.”
Rio menarik nafas lalu membuangnya secara teratur.
“Nanti malam ke konsernya Brian kan?” tanya Cakka begitu mereka sampai di kantin.
“Harus. Kalian nggak boleh ada yang mangkir,” jawab Shilla cepat sebelum ada yang beralasan lagi.
“Gue udah ijin ya,” sela Rio.
“Ya. Kecuali Rio nggak boleh ada yang mangkir,” kata Shilla terdengar meralat.
“Iya tuan puteri yang nggak bisa dibantah,” ceplos Alvin membuat Shilla melotot dan reflek meninju bahu Alvin yang kebetulan duduk di sebelahnya.
Cowok itu meringis, lalu tertawa. Bukan hanya dirinya tetapi juga yang lain. Dengan hal sekecil ini, mereka selalu tertawa. Tapi untuk sekarang, sejak mengobrol dengan Ify, Rio merasa tawa ini membosankan dan kosong.
“Anjir sumpah gua ngakak banget lihat ekspresinya Bu Maryam! Lo kurang ajar banget Fy jadi murid!”
“Enak aja! Gue kan membela diri!”
Perhatian The Wanted terpecah mendengar suara dua orang gadis yang terdengar mengobrolkan sesuatu yang seru. Mereka terus memperhatikan. Detik itu, Alvin mengenal salah satunya sebagai Sivia. Rio mengenal salah satunya sebagai Ify. Yang lain, hanya mengingat bahwa mereka adalah dua gadis yang dimarahi oleh Shilla kemarin karena membuat gaduh.
“Ya suka-suka lo lah, tapi gue tetep kepengin ngakak. Aduhhh seumur-umur belum pernah gue lihat Bu Maryam blushing gara-gara muridnya.”
“Lo udah ngakak daritadi bego.”
“Yeee ngatain. Biasa aja kali jink.”
“Udah biasa nyet.”
“IFY! SIVIAAA!”
Dua gadis itu menoleh, sekarang seorang gadis lain dengan poni pagar yang sengat dikenal Cakka menghampiri mereka. Dan obrolan mereka terdengar sejuta kali lebih seru dibanding dengan obrolan The Wanted.
“Eh nyokap gue pulang dari Paris. Katanya bawa oleh-oleh gitu buat kalian,” celetuk Shilla yang tersadar paling awal. Dia berusaha mencari perhatian.
“Oh ya?” sahut Cakka.
“Heem. Nanti malam pas kita ke konser Brian sekalian gue bawain ya. Buat Rio, nanti gue titipin ke Cakka,” cerocos gadis tersebut.
Diam-diam, Rio melirik ke bangku Ify. Gadis itu menjadi sangat ekpresif ketika bersama teman-temannya. Tawanya lebar. Saat mata Rio tak sengaja menangkap sebuah novel di tangan Ify, laki-laki itu tersenyum. Novel itu... dia yang membelikannya.
“Lo suka ini nggak?” tanya Rio menyerahkan sebuah novel pilihannya pada Ify.
“Oh My God! Ini novel inceran gue sejak lama. Tuh kan stoknya tinggal ini doang. Waaa thanks banget aduhh,” cerocos Ify tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Mau tak mau Rio tersenyum tipis.
“Gue beliin,” ucap Rio membuat Ify melotot.
“Nggak. Gue bayar sendiri. Gue bawa duit kok,” tolak Ify.
“Anggap aja itu hadiah perkenalan dari gue.”
Dan dia menyetujui.
***
Gabriel keluar dari ruangan kepala sekolah dan menyusuri koridor yang sudah sepi. The Wanted pun sudah pulang karena punya urusan masing-masing. Obrolannya dengan sang kepsek menyita waktunya cukup lama hingga bel pulang berbunyi pun urusan mereka belum terselesaikan.
Laki-laki itu berhenti saat menangkap seseorang di kelas XI IPA 4. Seseorang yang beberapa hari lalu menabraknya, lalu memakinya dan terakhir kali mereka berpapasan, Gabriel memintanya untuk minta maaf tapi ditolak mentah-mentah oleh orang tersebut. Entah setan apa yang membuatnya untuk melangkah masuk ke dalam kelas tersebut, yang jelas dia masih ingin memperpanjang urusannya.
“Kita ketemu lagi,” ucap Gabriel datar.
Gadis yang tengah mencatat tersebut mendongak, terkejut dengan kehadiran Gabriel yang tiba-tiba, lalu memasang wajah sinis. Entah mengapa pula dia senang ditatap seperti itu. Disaat orang-orang hanya berani memaki dan memasang wajah tak suka di belakang, gadis ini berani melakukan keduanya di hadapan Gabriel langsung.
Ck, lo ngapain di sini?” ketus Sivia—yang tak Gabriel ketahui namanya.
“Lo tahu, urusan kita belum kelar,” jawab Gabriel lalu duduk di bangku depan gadis tersebut.
“Lo masih mau gue minta maaf? Gue udah bilang, gue nggak mau. Lo mau laporin gue ke guru? Silakan. Lo mau keluarin gue dari sekolah? Gue nggak takut,” cerocos Sivia lalu membuang muka.
“Dasar cewek nyolot,” sengit Gabriel.
“Eh apa lo bilang?! Gue nggak takut sama elo tahu!  Ayo sini kita adu jotos!”
Sivia menggebu-gebu mengucapkannya karena tidak terima dikatakan nyolot oleh Gabriel yang menurutnya lebih nyolot. Biasanya saat Ify mengatainya nyolot Sivia justru terima-terima saja.
“Lo orang teraneh yang pernah gue temui,” desis Gabriel.
“Lo nggak sadar diri banget ya? Yang aneh itu elo sama  temen-temen lo itu. Udah sombong, sok anti-sosial lagi. Emangnya kalian siapa sih sampai anak-anak takut dan nggak berani negur?” ceplos Sivia tanpa sadar mengungkapkan kekesalannya tentang The Wanted.
Dia tak tahu, Gabriel membisu mendengar unek-unek Sivia yang mungkin mewakili unek-unek seluruh siswa di sekolah. Ada yang menelusup di hati Gabriel, suatu keinginan untuk membela The Wanted. Setelah Sivia tak bicara lagi, gantian Gabriel yang berbicara.
“Jaga ucapan lo. Lo nggak tahu apa-apa tentang The Wanted,” tandas Gabriel.
Sivia tersenyum meremehkan. “Lo ngomong begitu karna mereka temen-temen lo atau karna lo membenarkan apa yang gue ucapkan tadi?”
“Gue—“
“Main lo kurang jauh, bro,” potong Sivia cepat sebelum Gabriel menyelesaikan ucapannya.
***
 Cakka dan Agni tengah melakukan one by one di lapangan indoor yang kebetulan kosong di jam pulang sekolah. Setelah pertemuan saat itu, Cakka dan Agni menjadi lumayan dekat. Mereka sering chatting membicarakan hal-hal seputar basket. Cakka tak pernah sebahagia ini sejak kehilangan Rio sebagai partner basketnya, kini dia mendapatkan pengganti Rio setelah sekian lama. Pengganti yang lebih sempurna karena dia datang menyalakan mimpi Cakka yang nyaris padam.
Begitu Cakka mendapat chat dari Agni bahwa hari ini anak basket tidak ada latihan, mereka membuat janji dadakan untuk bermain bersama. Cakka lantas berpura-pura memasuki mobilnya, menunggu sampai Rio, Alvin dan Shilla meninggalkan sekolah. Lantas, laki-laki itu menelpon sopir keluarganya untuk mengambil mobil dan menggantinya dengan motor—nyaris tak pernah dia pakai—supaya Gabriel tidak tahu dia masih berada di sekolah.
“Satu point lagi buat gue!” seru Agni.
Cakka tertawa.  Meski kalah jauh dari point Agni, dia tidak merasa kecewa, justru semakin bersemangat untuk bisa melebihi Agni. Benar kata gadis itu, terlalu lama bermain tanpa lawan membuatnya kaku.
“Istirahat dulu ya, Cak,” koor Agni lantas menepi dan meneguk minumnya.
Cakka melakukan hal yang sama.
“Temen-temen lo nggak marah lo ke sini?” tanya Agni.
“Mereka nggak tahu.”
Reflek Agni menutup mulutnya. Itu berarti, selama ini Cakka bermain basket tanpa sepengetahuan mereka. Barulah Agni paham mengapa dia selalu menemukan Cakka di lapangan indoor tanpa The Wanted.
“Tahu nggak, Ag? Gue seneng banget bisa kenal lo,” cetus Cakka seraya mengembangkan senyumnya.
“Kenapa?”
“Lo bikin sesuatu yang mustahil di hidup gue jadi nyata. Selama ini gue cuma bisa bermimpi, tapi sekarang gue nggak perlu memimpikannya lagi karena ada elo yang bisa bantu gue mewujudkan. Nggak ada yang lebih indah dari itu, Ag,” lirih Cakka terdengar sangat bahagia.
Agni merangkul bahu pemuda itu. Di balik Cakka yang terkenal sombong dan anti-sosial, gadis itu melihat Cakka yang sedang melepas keputusasaannya.
“Lo bisa mewujudkan segalanya kalo mau karena semua orang punya hak untuk memperjuangkan,” ucap Agni memberi semangat.
Jauh dari posisi mereka sekarang, seseorang mengamati gerak-gerik Cakka dan Agni.

***
Bersambung...
Wahahaha gimana? Butuh kritik & saran dong. Menurut kalian setelah baca 3 part ini, couple-nya siapa sih? Aku mau tahu dong

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Aakkhhh, kereen
couple nya ttp Rify, Alvia, Shiel, Cagni
Hahaa... Cepet next ya qaqa
Semangatt!!

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

keren, aku suka. kayaknya nih ya, Rio sama Ify. Alvin sama Gabriel rebutan Sivia, sedangkan Cakka sama Agni dan Shilla suka sama Gabriel?
mungkin gitu, hihi

Posting Komentar