Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Halooo. Jumpa kembali dengan #BangkitkanCRAGSISA setelah seminggu ini akhirnya saya bisa lanjutin lagi. Ada yang kangen sama The Wanted? Apa sama Sivia, Ify & Agni? Apa malah kangen ke Mas Dayat? Eh.
Hope you like it guys
6
Laki-laki
ini terus berjalan, menerobos lalu lalang siswa-siswi di koridor, tak peduli
pada orang-orang yang sempat ditabraknya secara tak sengaja. Sampai-sampai,
langkah kaki ini tanpa sadar membawa dirinya ke lapangan basket indoor. Kesadaran Cakka sungguh
terlambat. Di dalam sana, tiga orang gadis sedang menatapnya dengan sorot mata
bingung.
Cakka
mengenali salah satu dari mereka sebagai Agni. Perlahan, laki-laki itu
melangkah mundur.
“Cakka!”
Seruan
Agni membuatnya menahan langkah. Wanita itu menghampirinya, bertanya melalui
sorot mata yang penuh makna. Namun bibir Cakka mendadak kelu, ia tak tahu harus
menjelaskan apa pada gadis di hadapannya ini, belum lagi dua gadis asing
tersebut tiba-tiba sudah berdiri di antara mereka.
“Wah
panjang umur lo.”
Laki-laki
itu menolehkan kepala pada sosok gadis berpipi tembem. Sedetik kemudian, Agni
melotot ke arah tersebut.
“Hai,
gue Ify,” kata gadis lainnya yang sedari tadi hanya mengamati.
“Dan gue
Sivia,” lanjut si gadis berpipi tembem.
Keduanya
sama-sama mengulurkan tangan, menunggu Cakka menjabatnya. Sekelebat masalahnya
dengan Shilla mendadak lenyap saat Cakka menerima uluran tangan tersebut dan
mendapat sambutan hangat dari Ify dan Sivia.
“Mereka
temen-temen gue, Cak. Oh iya, kalau Ify ini sepupu gue juga,” jelas Agni pada
Cakka.
Cakka
hanya menganggukkan kepala, khas seperti saat pertama kali dia bertemu dengan
Agni, tak tahu harus mengatakan apa lagi. Sepertinya Ify dan Sivia memaklumi
meski Cakka dapat menangkap bahasa tubuh Sivia yang tampak tak suka.
“Oh iya,
lo ngapain pagi-pagi ke sini?” tanya Agni bingung.
Sejurus
kemudian, lelaki itu gelisah, dia pun tak tahu mengapa kakinya melangkah
kemari. Yang ada di pikirannya tadi hanya tempat ini. Sebuah ide sekaligus
keputusan tiba-tiba melintas di otaknya.
“Gue mau
bilang, gue setuju tawaran lo waktu itu buat join di ekskul basket,” kata Cakka membuat tiga gadis di depannya
ini saling pandang dan bertanya-tanya. Meski Agni tak tahu apa yang telah
merasuki Cakka, gadis itu tampak senang. Dia pun memutuskan untuk tak mau tahu
alasan apa yang membuat Cakka mengambil keputusan tersebut.
“Lo
serius? Gue ikut seneng dengernya. Nanti pas istirahat kita ketemu ya, gue
kenalin ke anak-anak,” ujar Agni sumringah.
“Emang
nggak pa-pa kalo dia masuk ekskul basket, Ag?” ceplos Sivia.
Cakka
bisa melihat Ify menyikut Sivia dan berkata mulut
lo dijaga tanpa suara. Cakka sendiri tak tersinggung, dia tahu mereka pasti
akan bersikap demikian terhadapnya.
“Ups, maksudnya—“
“Gue
akan berusaha bersosialisasi. Kalian mau bantu gue kan?” potong Cakka cepat
sebelum Sivia melanjutkan ucapannya.
“Waahhh
bener kata lo, Ag. Cakka emang nggak kaku-kaku banget. Siap! Kita pasti bantu.
Ya kan, Fy?”
Cakka
tertawa kecil melihat respon Sivia sementara Ify nampak menahan malu.
“Mulut
lo kadang minta dibekep ya, Siv,” cetus Agni.
“Dilakban
aja Ag,” timpal Ify.
Cakka
semakin tertawa mendengar mereka saling meledek satu sama lain. Entah, untuk
pertama kali dalam hidupnya, melepas The Wanted adalah hal yang menurut Cakka
seharusnya dia lakukan sejak dulu. Sayangnya, dialah yang dilepas, bukan
melepas.
***
Sejak
pertengkaran mereka, Cakka belum kembali ke kelas juga. Shilla masih
memikirkan pemuda itu meski wajahnya terlihat tenang seakan-akan tak ada
sesuatu yang terjadi sebelumnya. Rio, dia tetap terfokus pada bisnis papanya
sampai-sampai lupa mengenai Cakka. Gabriel sendiri sibuk mencekoki dirinya
dengan belajar dan belajar sedangkan Alvin seperti biasa, tak terbaca.
Begitu
bel istirahat berbunyi The Wanted masih tetap duduk di bangku mereka. Shilla
menghela nafas panjang, dia masih tak percaya melepaskan Cakka begitu saja.
Gadis itu menatap satu persatu sahabatnya, mereka tak bisa memahami apa yang
bergejolak di hati Shilla saat ini.
“Gabriel...”
“Bentar,
gue masih nyelesaiin matematika,” sahut Gabriel.
Gadis
itu kembali terdiam. Lantas, dia beralih ke arah Rio. Baru membuka mulut,
pemuda itu justru menempelkan ponselnya di telinga, membuat Shilla membungkam—lagi.
“Halo,
apa Mas? Terus gimana? Saya...”
Shilla
tak dapat mendengar apa yang dibicarakan Rio melalui ponselnya karena laki-laki
itu berdiri dan membentangkan jarak. Rio keluar kelas. Tersisa Alvin, tapi
Shilla sudah tak berminat membicarakan apapun.
Mengapa
hari ini terasa lebih berat?
Di lain
sisi, Agni bersama Sivia dan Ify mengantarkan Cakka menuju lapangan basket.
Bukan lagi indoor, melainkan outdoor. Jantung Cakka benar-benar diuji
karena sedari tadi jantung itu berdegup sangat cepat. Dia sudah meninggalkan
jam pelajaran pertama dan memilih berdiam di UKS lalu sekarang dia berhasil
mencuri perhatian karena untuk pertama kalinya, Cakka berjalan bersama orang di
luar sahabat-sahabatnya.
Belum
sampai di situ karena kehebohan selanjutnya adalah melihat Cakka bergabung
dengan anak-anak basket di lapangan outdoor.
Dia tak pernah mengira bahwa akan secepat ini hidupnya berubah.
“Lo
santai aja, anak basket asik-asik kok,” cetus Sivia.
Sedari
tadi gadis itu menyemangati Cakka. Sekarang mereka sedang menunggu Agni yang
sedang mengobrol bersama Patton, kapten basket yang sebentar lagi masa
jabatannya akan habis. Cakka tak begitu mempedulikan ucapan Sivia karena dia
sibuk menguping apa yang diobrolkan Agni bersama anak-anak basket.
“Cakka,
Ag? Lo waras kan Ag?”
“Tenang
aja, Kak. Bisa dites dulu kok. Lagian kan Adyt udah nggak bisa main bakset lagi
gara-gara nggak dibolehin bokapnya.”
“Iya
sih, Ag. Tapi kan—“
“Please, Kak. Gue nggak pernah ngecewain
elo kan?”
“Hmm,
iya sih. Oke deh. Mana anaknya?”
Obrolan
Agni dan Patton terhenti karena selanjutnya Agni memberi kode pada Cakka untuk
ikut bergabung. Sivia dan Ify sendiri dengan setia menemani laki-laki itu.
“Lo
serius mau join di basket?” tanya
Patton to the point.
“Iya,
Kak. Saya—“
“Nggak
perlu formal. Gue-elo aja pakainya,” potong Patton.
Cakka
tersenyum lalu melanjutkan ucapannya. “Gue mau join di basket. Kalau kakak belum yakin nggak pa-pa, gue siap kok
dites dulu.”
“Gini
aja, nanti sepulang sekolah kita ketemu. Siap kan?”
“Siap!”
sahut Cakka dengan senyum terkembang.
“Ya udah
segitu aja. Kita ketemu lagi nanti,” kata Patton.
“Makasih,
Kak. Say—eh gue pamit dulu.”
Patton
terkekeh dan menganggukkan kepala. Melihat Cakka yang sangat kaku seperti ini,
mengingatkan Ify pada Rio. Gadis itu yakin, meski sekarang sifat mereka tampak
sama, mereka yang sebenarnya punya sifat yang kontras. Seperti yang telah dia,
Sivia dan Agni bicarakan pagi tadi.
Sivia dan Ify punya janji pada Agni untuk
menemuinya di lapangan indoor. Selain karena itu tempat favorit Agni, disitu juga sepi. Sivia menceritakan
rangkaian kejadian bersama Gabriel, begitu pula dengan Ify dan Agni.
“Gue nggak paham dia—Gabriel—tuh nyolot banget
pokoknya tiap sama dia gue jadi emosi, tapi ternyata asik juga sih,” curhat
Sivia.
“Oh jadi lo udah merubah pandangan tentang The
Wanted?” sahut Ify.
“Bukannya elo juga? Lo sama Rio sekarang deket
kan? Gue baca chat line lo sama dia, ups,” cetus Sivia lalu reflek menutup mulut.
Ify mendengus. “Dasar jomblo kepo.”
“Lo juga jomblo! Sesama jomblo jangan ngatain
dong!” protes Sivia.
“Yeee jomblo nyolot. Kayaknya nyolotan elo
daripada Gabriel,” ledek Ify.
“Si tai. Kenapa jadi gue?” dengus Sivia.
Ify dan Agni tertawa kecil.
“By the
way, gue nggak pernah merubah pandangan
apapun tentang mereka. Gue emang kesel, tapi nggak sekesel elo. Terus gue cuma
nggak mau punya urusan sama mereka,” ujar Ify seraya meringis saat mengucapkan
kalimat terakhir. Dia sudah berurusan dengan Rio.
“Whatever. Tapi tetep, buat gue mereka ngeselin,”
tandas Sivia.
“Cakka nggak kayak yang lo bayangin loh, Siv.
Dia emang bagian dari The Wanted, tapi anaknya baik, dia cuma nggak tahu musti
mulai dari mana, basketnya juga keren,” celetuk Agni.
“Lo ngomongin Cakka, Ag? Lo naksir Cakka ya?
Tumben loh lo muji cowok, muji gue aja bisa diitung pake jari,” ceplos Sivia.
“Bacot banget sih lu, Siv. Suka-suka Agni kali
dia mau muji cowok apa cew—“
“Tapi ini tuh yang dipuji Cakka sis!” sambar
Sivia.
“Gue setuju aja kok kalo Agni sama Cakka, jadi
kayak novel yang gue baca. Ceritanya kapten basket puteri sama kapten basket
putera yang saling jatuh cinta,” sahut Ify polos dan tidak nyambung.
Ingin rasanya Sivia menjambak sahabatnya ini
sekarang juga.
“Bodo amat, Fy! Bodo amat! Satu lagi, Cakka
bukan kapten basket, wle.”
Agni hanya tertawa menyaksikan sepasang sahabat
ini. Obrolan mereka terhenti saat mendengar langkah kaki yang tak lain adalah
langkah kaki Cakka.
“Ke
kantin yuk. Cak, lo mau ikut atau gimana?” tanya Ify.
“Gue
balik ke kelas aja. Makasih ya, Ag, Sivia dan Ify,” ucap Cakka seraya
tersenyum.
“Santai
aja sama kita, sekarang kan kita temen,” balas Sivia.
“Oh
temen ya, Siv? Tadi siapa ya yang ngomong The Wanted itu ngeselin?” sindir Ify
yang membuat Sivia cemberut.
“Nggak
usah dengerin Ify. Pengecualian buat elo kok, Cak,” alibi Sivia. Gantian Ify
mencibir.
Cakka terkekeh. “Nope. Sampai jumpa pulang sekolah.”
***
Begitu
urusannya dengan Mas Dayat selesai, Rio mematikan sambungan teleponnya. Dia berniat
melangkah masuk ke dalam kelas, tetapi kehadiran Cakka membuat lelaki itu masih
berdiri di tempatnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Rio pikir,
pemuda itu akan menyapanya seperti biasa, tetapi di luar dugaan, Cakka tetap
meneruskan langkah tanpa mengindahkan tatapan Rio.
“Kayaknya
dia serius,” gumam Rio.
Rio
ingin menyusul. Sayangnya, saat dia mendengar suara tawa Ify, mendadak lelaki
itu lupa segalanya. Gadis yang akhir-akhir ini menemani kekosongan hidupnya
tengah berjalan beriringan bersama teman-temannya. Entah apa yang mereka
bicarakan, Rio hanya terfokus pada tawa gadis itu. Meski dari jarak yang cukup
jauh.
Hati Rio
berdesir. Sejak pertemuan pertama, dia telah merasakan sesuatu yang aneh pada
dirinya. Sesuatu yang sampai sekarang tak dapat dia jelaskan.
“Jangan takut bermimpi.”
Sepotong
kalimat dari bibir Ify itu telah terekam di otaknya. Kalimat yang akhirnya
dijadikan Rio sebagai kekuatan untuk membenahi kisah hidupnya. Ingatan Rio
berputar. Semalam, untuk pertama kalinya Rio menyentuh piano yang telah lama
dia lupakan. Jemari Rio bergetar hebat. Begitu jemari itu menari-nari di atas
tuts piano, rasanya seperti ‘dilahirkan kembali’.
“Gue suka banget sama lagu Lost Stars punyanya Adam
Levine. Kapan-kapan lo nyanyiin buat gue ya eh bercanda deng.”
Rio
terkekeh. Malam itu, dia menyanyikan lagu tersebut bersama pianonya untuk
Ify—meski gadis itu tak mendengar.
Setelah
Ify menghilang dari pandangannya, barulah Rio masuk ke dalam kelas. Suasana
baru dirasakannya. Cakka, pemuda itu berpindah tempat duduk. Yang semula duduk
sendiri di samping bangku Shilla dan Alvin, sekarang dia duduk di belakang.
“Cakka,
lo ngapain pindah?” tanya Rio pada Cakka.
Tak ada
sahutan. Laki-laki itu menelungkupkan wajahnya. Rio berdecak, lalu menghampiri
sahabat-sahabatnya. Sementara itu, teman-teman yang kebetulan berada di kelas
tampak mencuri-curi pandang, penasaran dengan apa yang telah terjadi.
“Dia
nggak ngomong apa-apa dari pertama masuk,” ucap Gabriel.
“Shilla,”
panggil Gabriel beralih ke Shilla.
Gadis
itu membalikkan tubuhnya, begitu pula Alvin.
“Apa?”
sahut Shilla datar.
“Lo
harus minta maaf ke Cakka,” ucap Gabriel to
the point.
Shilla
menggeleng keras. “Nggak. Dia yang harus minta maaf ke gue,” tandasnya dengan
nada tak dapat dibantah.
“Tapi—“
“Yel, lo
nggak denger tadi pagi? Dia lebih milih cewek itu dibanding The Wanted. Sampai
kapanpun, gue nggak bakalan terima,” potong Shilla keras kepala.
Baik Gabriel, Rio maupun Alvin sama-sama mendesah.
Keputusan Shilla sudah final. The Wanted kehilangan Cakka. Shilla langsung
membalikkan tubuhnya ke posisi semula, lantas menggigit bibir bawahnya.
“Bukan.
Bukan gitu maksud gue,” batin Shilla.
***
Sepulang
sekolah, Cakka bergegas meninggalkan kelas. The Wanted hanya menatapnya datar
lalu berusaha menahan diri untuk menyerukan nama lelaki tersebut.
Ya,
Cakka berniat melunasi janjinya pada Patton untuk bertemu di lapangan indoor. Pas sekali karena hari ini anak
basket ada latihan untuk lomba. Di pintu masuk, Cakka disambut oleh Ify dan
Sivia yang sedang melambaikan tangan.
“Semangat
banget lo,” kekeh Sivia.
Cakka
ikut terkekeh dan menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal sama sekali. Dia
memang sudah tak sabar untuk bergabung dengan tim basket sehingga selama
pelajaran Cakka tak henti menengok ke arah jam dinding.
“Kalian
kok ke sini? Anak basket juga?” tanya Cakka.
“Enggak
lah. Kita mau nyemangatin elo,” jawab Ify.
“Nyemangatin
gue?” ulang Cakka dengan bingung.
“Iya.
Sekarang kan lo temen kita juga. Lo pasti butuh dukungan kan? Kita di sini buat
elo. Temen selalu ada buat temennya,” jelas Ify.
Sumpah,
Cakka terharu mendengarnya. Dia tak
pernah diperlakukan seperti ini oleh siapapun, termasuk The Wanted. Shilla lah
yang mendapatkan perhatian karena dia satu-satunya perempuan diantara mereka
berlima. Sedangkan Ify dan Sivia, mereka kemari dengan alasan ingin memberikan
semangat kepadanya.
“Lo yang
rileks ya. Oh iya, Agni lagi ganti baju,” cetus Sivia.
“Thanks ya. Gue nggak tahu harus ngomong
apa,” balas Cakka tulus.
“Sama-sama.
Yuk kita temenin masuk.”
Benar
kata Agni. Sivia dan Ify adalah bestfriend
goals. Belum dua puluh empat jam mengenal mereka, tapi Cakka dapat
melihatnya.
“Debooo!”
seru Sivia.
Si kaos
nomor 13 menengok dan menghampiri mereka. Debo, dia sedikit terkejut dengan
kehadiran Cakka. Tak hanya Cakka namun juga yang lainnya.
“Nih,
gue bawain lo temen baru. Ajakin dia kenalan sama yang lain dong,” ceplos
Sivia.
“Cakka?”
“He eh.
Lo jangan kayak orang bego gitu dah. Tiap hari juga ngelihat,” ceplos Sivia
lagi. Cakka jadi hafal kalau Sivia ini anaknya memang blak-blakan.
“Hai.
Salam kenal ya,” ujar Cakka mengulurkan tangan.
Debo pun
menjabat. “Gue Debo. Jadi bener ya kata Kak Patton kalo lo mau join? Yuk ikut gue, gue kenalin sama
yang lain.”
“Jangan
di-bully ya. Awas aja kalo lo bully,
lo berurusan sama gue, Ify dan Agni,” ancam Sivia membuat Cakka tertawa.
“Santai
mbak. Sana pulang aja kalian,” balas Debo agak kesal.
“Anjir.
Berani ngusir kita?” sahut Ify.
“Yuk,
Cak. Kita pergi dari sini sebelum ada duo macan ngamuk,” celetuk Debo lalu
menarik Cakka untuk segera pergi.
Sementara
itu, Sivia dan Ify sibuk bersumpah serapah karena disebut sebagai ‘duo macan’.
Mereka lantas memilih untuk duduk saat Agni sudah kembali ke lapangan. Mata
Sivia dan Ify pun mengarah ke Cakka, laki-laki tersebut sibuk berkenalan dengan
anak-anak basket.
***
“Kenapa,
Yo?”
Lelaki
itu menoleh ke pria yang berada di sebelahnya. Rio. Dia tersenyum paksa lalu
kembali menatapi ponselnya.
“Mikirin
gadis yang di toko buku itu ya?” tanya Mas Dayat tak mau menyerah.
Rio
mengangguk. “Saya lagi nunggu chat
dari Ify, Mas.”
“Ify?
Bukannya waktu itu kamu bilang namanya Alyssa?”
“Iya,
tapi biasa dipanggil Ify. Namanya cantik kan, Mas?” balas Rio.
Mas
Dayat terkekeh mendengarnya. “Namanya apa orangnya?” goda lelaki yang umurnya
sudah menginjak kepala empat.
“Dua-duanya,”
sahut Rio.
“Udah
sampai mana pendekatannya?” goda Mas Dayat sekali lagi. Sejak Mas Dayat tahu
tentang Ify, dia jadi sering menggodanya.
“Nggak
ada pendekatan apa-apa. Mas kan tahu saya kemana-mana sama The Wanted. Saya
sama dia seringnya ngobrol di chat,
kalau di sekolah kayak orang yang saling nggak kenal,” jelas Rio.
Dia
memang sangat terbuka pada Mas Dayat. Laki-laki itu menjadi panutannya, bukan
berarti papanya tak memberikan contoh yang baik. Akan tetapi, Mas Dayat lebih
banyak memiliki waktu bersama Rio dibanding papanya sendiri.
“Kok
gitu? Nanti kamu jadi perjaka tua loh, mau?”
“Kenapa
jadi didoain jelek?” dengus Rio.
Mas
Dayat tertawa. “Semua masa itu nggak bisa diulang, termasuk masa muda. Jangan
sampai suatu saat kamu menyesal karna menyia-nyiakan masa muda kamu.”
“Tapi,
Mas tahu sendiri saya nggak punya waktu untuk mikirin hal-hal yang dilakuin
anak seumuran saya. Ngerjain PR aja saya nggak sempet,” ringis Rio.
Sejurus kemudian
Mas Dayat menepuk bahu bos kecilnya itu. Mas Dayat tahu persis tentang
kesibukan Rio yang terkadang membuat laki-laki itu tak punya waktu untuk tidur.
***
Riuh
tepuk tangan Sivia dan Ify membangkitkan semangat Cakka. Tanpa disangka-sangka,
Cakka mendapat tantangan langsung dari Patton, si kapten basket. Awalnya pemuda
itu sangat gugup karena menghadapi sang master tapi semangat yang diberikan
teman-teman barunya membuat Cakka bertekat akan mengalahkan Patton.
Permainan
dimulai. Gerakan Patton yang lincah ini mengingatkannya pada Agni. Mereka
saling kejar, merebutkan sang orange
untuk mencetak point.
“CAKKAAAA
LO BISAAA!”
“SEMANGATTTT
CAKKKAAAA!”
Suara-suara
itu membuat Cakka tak mau kalah dari Patton. Kali ini Patton yang berhasil
menguasai bola, laki-laki tersebut terus men-dribble dan menghindari kejaran Cakka. Shot! Tambahan satu point
untuk Patton.
Beberapa
lama kemudian, point terunggul masih
dipegang oleh Patton. Namun semangat itu masih menyala di dalam tubuh Cakka.
Begitu bola berhasil dikuasainya, Cakka berusaha keras untuk men-dribble menuju ring. Waktu yang tersisa tinggal enam detik. Cakka mempercepat
gerakannya, melalukan lay up di garis
three point lalu... shot! Pemuda itu berhasil menambah tiga
angka.
Sedetik
kemudian, wajah gembira Cakka berubah muram kala three point-nya tak dapat memenangkan battle ini.
“Keren bro!” seru Patton sambil menepuk
bahunya.
Cakka
menoleh. “Lebih keren elo. Hm, thanks ya udah kasih gue kesempatan. Mungkin gue
emang nggak cocok gabung sama kalian,” lirih Cakka.
Patton
terkekeh. “Siapa bilang nggak cocok? Selamat datang di Cakrawala, Cakka
Nuraga,” ujar Patton membuat Cakka melotot. Dia tak salah dengar? Cakrawala?
Bukankah itu nama tim basket inti di sekolahnya?
“Cakrawala?”
ulang Cakka tak mempercayai apa yang dia dengar.
“Yapp.
Mulai sekarang, lo resmi bergabung gantiin posisi Adyt.”
Detik
berikutnya Cakka bersorak dan memeluk teman-teman barunya satu persatu. Mereka
nampak ikut bahagia dengan keputusan Patton.
“Selamat
Cakka!”
“Congratulation bro. Mulai sekarang, lo
tim inti.”
Cakka
hanya menganggukkan kepalanya dan berterima kasih. Lantas, lelaki itu beralih
ke Patton. Awalnya dia ragu Patton akan menerima dirinya, tetapi justru Patton
yang membuat Cakka resmi menjadi tim inti.
“Kak,
gue nggak tahu harus ngomong apa lagi. Makasih banyak karna lo udah mau
menerima gue,” ucap Cakka.
“Gue
tahu lo punya kemampuan. Pak Reihan juga udah pernah cerita ke gue kalo lo jago
basket, sayangnya waktu itu gue belum lihat jadi setengah percaya. Akhirnya
bisa gue buktiin juga. Kayaknya lo bisa ngegeser posisi gue,” cerocos Patton
diakhiri dengan kekehan.
“Bener
banget. Cuma elo yang battle sama Kak
Patton bisa dapetin point yang beda
tipis. Kita yang udah lama di basket aja nggak pernah sanggup ngejar point-nya,” sambung Debo.
“Sekali
lagi, thanks ya,” balas Cakka dengan
cengiran lebarnya.
“WAAA
CAKKAAA CONGRATULATION!!!”
Cakka
beralih ke tiga gadis yang tahu-tahu sudah di sebelahnya. Ify, Sivia dan Agni.
Mereka bangga sekali dengan pencapaian Cakka. Sementara itu, anggota basket
yang lain mulai melakukan latihan atas perintah Patton. Hal itu dilakukan
Patton supaya tidak mengganggu Cakka dan tiga gadis tersebut.
“Selamat
bro,” ucap Agni lalu merangkul
laki-laki itu.
“Kalau
bukan karna elo, gue nggak bisa sampai di sini,” kekeh Cakka.
Agni
hanya tersenyum menanggapinya.
“Cakka,
selamat ya. Lo keren banget tadi,” ceplos Ify.
“Bener
kan kata gue? Lo bisa. Gue sampai nggak kedip liatin elo main. Biasanya nih,
liat Agni main basket sepuluh detik aja udah males eh tadi gue liat elo dari
awal sampai akhir,” imbuh Sivia panjang lebar.
“Anjir
ini anak songong banget,” dengus Agni karena namanya dibawa-bawa.
Sivia
tak menggubris sama sekali. Selanjutnya, Ify dan Sivia memberikan pelukan
singkat sebagai ucapan selamat kepada
Cakka. Pemuda itu sendiri dengan senang hati membalas pelukan tersebut.
“Makasih
ya Ify, Sivia. Hm, gimana kalau besok gue traktir kalian makan?” tawar Cakka
membuat mata Sivia bersinar terang.
“Serius?
Gue mau banget. Tapi kalo gue nambah nggak pa-pa kan? Terus kalo bungkus bawa
pulang gimana? Boleh kan?” sahut Sivia tanpa dosa.
“Si
perut karet beraksi,” gumam Agni.
“Cita-cita
kurus, hobinya makan. Siapa lagi kalo bukan Sivia,” gumam Ify.
“Gue
denger ya nyet,” dumel Sivia.
“Santai
aja, Siv. Lo mau nambah sama mas-masnya juga gue oke kok. Tapi gue nggak yakin
masnya mau sama elo,” canda Cakka.
“Anjirrr!
Sadeeeestttt!” seru Agni dan Ify bersamaan.
“Hayati
lelah di-bully. Mau balik ke rumah
abang JB aja kalo gitu,” celetuk Sivia berpura-pura ngambek.
***
Akhirnya
Ify dapat merebahkan tubuhnya di kamar. Beruntung sekali Cakka mau mengantarkan
pulang dirinya, Sivia dan Agni. Gadis itu lantas mengecek ponselnya yang sedari
pagi tak dia sentuh sama sekali.
Begitu
membuka aplikasi chat line, nama Rio
berada di urutan teratas sementara di bawah-bawah hanya berisi chat yang kurang
penting seperti get rich, promo tidak
jelas dan chat grup kelasnya. Ify
membukanya dan menemukan beberapa chat
yang dikirim seharian ini dalam waktu berbeda.
Rio
Hai, sibuk banget?
Ify...
Gue ganggu?
Kapan kita ke rumah anak jalanan lagi?
Buru-buru
Ify membalasnya. Setelah di-send, chat-nya langsung di-read oleh Rio. Apa itu artinya dia
menunggu Ify membalas chat-nya sedari
tadi? Atau hanya kebetulan?
Belum
sempat Ify memikirkan lebih lanjut, ponsel Ify berdering. Rio menelponnya
melalui line! Sialnya jemari Ify reflek menerima telepon tersebut.
“Halo,
Yo.”
“Hai. Kemana aja? Kok baru bales chat gue?”
Suara
Rio terdengar lemas. Sepertinya pemuda itu butuh tidur.
“Sori,
seharian ini nggak sempet ngecek
handphone. Lo ada apa nelpon gue?” balas Ify. Ada jeda cukup lama saat Ify
melontarkan pertanyaan tersebut.
“Gue juga nggak tahu.”
Ify
mengernyitkan dahinya. “Kok nggak tahu?”
“Hmmm lo udah mau tidur ya?”
“Hah? Enggak.
Tapi kayaknya lo butuh tidur, Yo. Dari suara kedengeran banget lo lagi
ngantuk.”
Ify
dapat mendengar kekehan Rio dari seberang sana. “Iya, gue ngantuk. Tapi sekarang masih ada kerjaan, makanya gue nelpon
elo.”
“Ngerjain
apaan lo? Ada PR ya?” tanya Ify.
“Hmm, iya. Mau nemenin nggak?”
“Boleh
deh. Lo nyanyi gih biar nggak ngantuk,” sahut Ify sekenanya.
“Nggak ah.”
“Yaahh
terus mau ngapain?”
“Lo ngantuk ya, Fy? Gue denger lo nguap.”
“Anjir
serius denger? Gue pikir nggak akan sampai ke elo. Sori, ya,” ucap Ify merasa
bersalah.
“Nggak pa-pa. Lo sekarang baring, pakai
selimut, siap-siap mau tidur deh. Tapi sambungan teleponnya jangan dimatiin.”
“Tapi—“
“Siap?”
potong Rio di telepon.
Mendengar
itu, Ify melakukan apa yang diperintahkan oleh Rio. Gadis tersebut sudah siap
dengan posisi tidurnya. Akan tetapi, ponsel yang menempel di telinganya sedari
tadi masih tetap di sana.
“Udah
nih,” kata Ify.
“Just for you. Enjoy...”
Sejurus
kemudian terdengar petikan gitar, sebuah intro yang amat dihafal oleh Ify
terdengar. Lost Stars milik Adam Levine. Detik berikutnya suara Rio menyanyikan
lagu tersebut memenuhi telinga Ify.
Please don’t see
Just a boy caught up in dreams and fantasies
Please see me
Reaching out for someone I can’t see
Ify tak
pernah tahu suara Rio semerdu itu. Bahkan, Ify lebih menyukai lagu itu
dinyanyikan Rio dibanding Adam Levine.
Take my hand
Let’s see where we wake up tomorrow
Malam
ini, seseorang menyanyikan lagu favoritnya. Just
for you. Ify tersenyum mengingat Rio mengatakan kalimat itu di awal,
berarti lagu ini sengaja dinyanyikan hanya untuknya. Pipi Ify mendadak bersemu
merah.
Suara
Rio menjadi pengantar tidur Ify. Gadis itu tanpa sadar terlelap sebelum lagu
berakhir.
But are we all lost stars
Trying to light up the dark?
Rio
mengakhiri lagunya. Tanpa bertanya, Rio tahu gadis itu sudah tidur.
“Goodnight, my one and only.”
***
Bersambung...
Gimana? Makin penasaran sama kelanjutan The Wanted? Nggak ada Siviel? Nggak ada Alshil? Rify cuma sedikit? Tenang, masih banyak part kok. Ditunggu aja yaaa. Mohon kritik dan sarannya yaaa. Ngehargain karya saya ini gampang kok, cuma dengan komentar dan kalian bisa baca tanpa bayar (?)
Btw follow ask.fm/fannyslma
0 komentar:
Posting Komentar