"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 16 April 2016

Cerbung [FF] - When You Hold Me part 6

Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma

Halooo. Jumpa kembali dengan #BangkitkanCRAGSISA setelah seminggu ini akhirnya saya bisa lanjutin lagi. Ada yang kangen sama The Wanted? Apa sama Sivia, Ify & Agni? Apa malah kangen ke Mas Dayat? Eh.

Hope you like it guys

6


Laki-laki ini terus berjalan, menerobos lalu lalang siswa-siswi di koridor, tak peduli pada orang-orang yang sempat ditabraknya secara tak sengaja. Sampai-sampai, langkah kaki ini tanpa sadar membawa dirinya ke lapangan basket indoor. Kesadaran Cakka sungguh terlambat. Di dalam sana, tiga orang gadis sedang menatapnya dengan sorot mata bingung.
Cakka mengenali salah satu dari mereka sebagai Agni. Perlahan, laki-laki itu melangkah mundur.
“Cakka!”
Seruan Agni membuatnya menahan langkah. Wanita itu menghampirinya, bertanya melalui sorot mata yang penuh makna. Namun bibir Cakka mendadak kelu, ia tak tahu harus menjelaskan apa pada gadis di hadapannya ini, belum lagi dua gadis asing tersebut tiba-tiba sudah berdiri di antara mereka.
“Wah panjang umur lo.”
Laki-laki itu menolehkan kepala pada sosok gadis berpipi tembem. Sedetik kemudian, Agni melotot ke arah tersebut.
“Hai, gue Ify,” kata gadis lainnya yang sedari tadi hanya mengamati.
“Dan gue Sivia,” lanjut si gadis berpipi tembem.
Keduanya sama-sama mengulurkan tangan, menunggu Cakka menjabatnya. Sekelebat masalahnya dengan Shilla mendadak lenyap saat Cakka menerima uluran tangan tersebut dan mendapat sambutan hangat dari Ify dan Sivia.
“Mereka temen-temen gue, Cak. Oh iya, kalau Ify ini sepupu gue juga,” jelas Agni pada Cakka.
Cakka hanya menganggukkan kepala, khas seperti saat pertama kali dia bertemu dengan Agni, tak tahu harus mengatakan apa lagi. Sepertinya Ify dan Sivia memaklumi meski Cakka dapat menangkap bahasa tubuh Sivia yang tampak tak suka.
“Oh iya, lo ngapain pagi-pagi ke sini?” tanya Agni bingung.
Sejurus kemudian, lelaki itu gelisah, dia pun tak tahu mengapa kakinya melangkah kemari. Yang ada di pikirannya tadi hanya tempat ini. Sebuah ide sekaligus keputusan tiba-tiba melintas di otaknya.
“Gue mau bilang, gue setuju tawaran lo waktu itu buat join di ekskul basket,” kata Cakka membuat tiga gadis di depannya ini saling pandang dan bertanya-tanya. Meski Agni tak tahu apa yang telah merasuki Cakka, gadis itu tampak senang. Dia pun memutuskan untuk tak mau tahu alasan apa yang membuat Cakka mengambil keputusan tersebut.
“Lo serius? Gue ikut seneng dengernya. Nanti pas istirahat kita ketemu ya, gue kenalin ke anak-anak,” ujar Agni sumringah.
“Emang nggak pa-pa kalo dia masuk ekskul basket, Ag?” ceplos Sivia.
Cakka bisa melihat Ify menyikut Sivia dan berkata mulut lo dijaga tanpa suara. Cakka sendiri tak tersinggung, dia tahu mereka pasti akan bersikap demikian terhadapnya.
Ups, maksudnya—“
“Gue akan berusaha bersosialisasi. Kalian mau bantu gue kan?” potong Cakka cepat sebelum Sivia melanjutkan ucapannya.
“Waahhh bener kata lo, Ag. Cakka emang nggak kaku-kaku banget. Siap! Kita pasti bantu. Ya kan, Fy?”
Cakka tertawa kecil melihat respon Sivia sementara Ify nampak menahan malu.
“Mulut lo kadang minta dibekep ya, Siv,” cetus Agni.
“Dilakban aja Ag,” timpal Ify.
Cakka semakin tertawa mendengar mereka saling meledek satu sama lain. Entah, untuk pertama kali dalam hidupnya, melepas The Wanted adalah hal yang menurut Cakka seharusnya dia lakukan sejak dulu. Sayangnya, dialah yang dilepas, bukan melepas.
***
Sejak pertengkaran  mereka, Cakka  belum kembali ke kelas juga. Shilla masih memikirkan pemuda itu meski wajahnya terlihat tenang seakan-akan tak ada sesuatu yang terjadi sebelumnya. Rio, dia tetap terfokus pada bisnis papanya sampai-sampai lupa mengenai Cakka. Gabriel sendiri sibuk mencekoki dirinya dengan belajar dan belajar sedangkan Alvin seperti biasa, tak terbaca.
Begitu bel istirahat berbunyi The Wanted masih tetap duduk di bangku mereka. Shilla menghela nafas panjang, dia masih tak percaya melepaskan Cakka begitu saja. Gadis itu menatap satu persatu sahabatnya, mereka tak bisa memahami apa yang bergejolak di hati Shilla saat ini.
“Gabriel...”
“Bentar, gue masih nyelesaiin matematika,” sahut Gabriel.
Gadis itu kembali terdiam. Lantas, dia beralih ke arah Rio. Baru membuka mulut, pemuda itu justru menempelkan ponselnya di telinga,  membuat Shilla membungkam—lagi.
“Halo, apa Mas? Terus gimana? Saya...”
Shilla tak dapat mendengar apa yang dibicarakan Rio melalui ponselnya karena laki-laki itu berdiri dan membentangkan jarak. Rio keluar kelas. Tersisa Alvin, tapi Shilla sudah tak berminat membicarakan apapun.
Mengapa hari ini terasa lebih berat?
Di lain sisi, Agni bersama Sivia dan Ify mengantarkan Cakka menuju lapangan basket. Bukan lagi indoor, melainkan outdoor. Jantung Cakka benar-benar diuji karena sedari tadi jantung itu berdegup sangat cepat. Dia sudah meninggalkan jam pelajaran pertama dan memilih berdiam di UKS lalu sekarang dia berhasil mencuri perhatian karena untuk pertama kalinya, Cakka berjalan bersama orang di luar sahabat-sahabatnya.
Belum sampai di situ karena kehebohan selanjutnya adalah melihat Cakka bergabung dengan anak-anak basket di lapangan outdoor. Dia tak pernah mengira bahwa akan secepat ini hidupnya berubah.
“Lo santai aja, anak basket asik-asik kok,” cetus Sivia.
Sedari tadi gadis itu menyemangati Cakka. Sekarang mereka sedang menunggu Agni yang sedang mengobrol bersama Patton, kapten basket yang sebentar lagi masa jabatannya akan habis. Cakka tak begitu mempedulikan ucapan Sivia karena dia sibuk menguping apa yang diobrolkan Agni bersama anak-anak basket.
“Cakka, Ag? Lo waras kan Ag?”
“Tenang aja, Kak. Bisa dites dulu kok. Lagian kan Adyt udah nggak bisa main bakset lagi gara-gara nggak dibolehin bokapnya.”
“Iya sih, Ag. Tapi kan—“
Please, Kak. Gue nggak pernah ngecewain elo kan?”
“Hmm, iya sih. Oke deh. Mana anaknya?”
Obrolan Agni dan Patton terhenti karena selanjutnya Agni memberi kode pada Cakka untuk ikut bergabung. Sivia dan Ify sendiri dengan setia menemani laki-laki itu.
“Lo serius mau join di basket?” tanya Patton to the point.
“Iya, Kak. Saya—“
“Nggak perlu formal. Gue-elo aja pakainya,” potong Patton.
Cakka tersenyum lalu melanjutkan ucapannya. “Gue mau join di basket. Kalau kakak belum yakin nggak pa-pa, gue siap kok dites dulu.”
“Gini aja, nanti sepulang sekolah kita ketemu. Siap kan?”
“Siap!” sahut Cakka dengan senyum terkembang.
“Ya udah segitu aja. Kita ketemu lagi nanti,” kata Patton.
“Makasih, Kak. Say—eh gue pamit dulu.”
Patton terkekeh dan menganggukkan kepala. Melihat Cakka yang sangat kaku seperti ini, mengingatkan Ify pada Rio. Gadis itu yakin, meski sekarang sifat mereka tampak sama, mereka yang sebenarnya punya sifat yang kontras. Seperti yang telah dia, Sivia dan Agni bicarakan pagi tadi.
Sivia dan Ify punya janji pada Agni untuk menemuinya di lapangan indoor. Selain karena itu tempat favorit Agni, disitu juga sepi. Sivia menceritakan rangkaian kejadian bersama Gabriel, begitu pula dengan Ify dan Agni.
“Gue nggak paham dia—Gabriel—tuh nyolot banget pokoknya tiap sama dia gue jadi emosi, tapi ternyata asik juga sih,” curhat Sivia.
“Oh jadi lo udah merubah pandangan tentang The Wanted?” sahut Ify.
“Bukannya elo juga? Lo sama Rio sekarang deket kan? Gue baca chat line lo sama dia, ups,” cetus Sivia lalu reflek menutup mulut.
Ify mendengus. “Dasar jomblo kepo.”
“Lo juga jomblo! Sesama jomblo jangan ngatain dong!” protes Sivia.
“Yeee jomblo nyolot. Kayaknya nyolotan elo daripada Gabriel,” ledek Ify.
“Si tai. Kenapa jadi gue?” dengus Sivia.
Ify dan Agni tertawa kecil.
By the way, gue nggak pernah merubah pandangan apapun tentang mereka. Gue emang kesel, tapi nggak sekesel elo. Terus gue cuma nggak mau punya urusan sama mereka,” ujar Ify seraya meringis saat mengucapkan kalimat terakhir. Dia sudah berurusan dengan Rio.
Whatever. Tapi tetep, buat gue mereka ngeselin,” tandas Sivia.
“Cakka nggak kayak yang lo bayangin loh, Siv. Dia emang bagian dari The Wanted, tapi anaknya baik, dia cuma nggak tahu musti mulai dari mana, basketnya juga keren,” celetuk Agni.
“Lo ngomongin Cakka, Ag? Lo naksir Cakka ya? Tumben loh lo muji cowok, muji gue aja bisa diitung pake jari,” ceplos Sivia.
“Bacot banget sih lu, Siv. Suka-suka Agni kali dia mau muji cowok apa cew—“
“Tapi ini tuh yang dipuji Cakka sis!” sambar Sivia.
“Gue setuju aja kok kalo Agni sama Cakka, jadi kayak novel yang gue baca. Ceritanya kapten basket puteri sama kapten basket putera yang saling jatuh cinta,” sahut Ify polos dan tidak nyambung.
Ingin rasanya Sivia menjambak sahabatnya ini sekarang juga.
“Bodo amat, Fy! Bodo amat! Satu lagi, Cakka bukan kapten basket, wle.”
Agni hanya tertawa menyaksikan sepasang sahabat ini. Obrolan mereka terhenti saat mendengar langkah kaki yang tak lain adalah langkah kaki Cakka.
“Ke kantin yuk. Cak, lo mau ikut atau gimana?” tanya Ify.
“Gue balik ke kelas aja. Makasih ya, Ag, Sivia dan Ify,” ucap Cakka seraya tersenyum.
“Santai aja sama kita, sekarang kan kita temen,” balas Sivia.
“Oh temen ya, Siv? Tadi siapa ya yang ngomong The Wanted itu ngeselin?” sindir Ify yang membuat Sivia cemberut.
“Nggak usah dengerin Ify. Pengecualian buat elo kok, Cak,” alibi Sivia. Gantian Ify mencibir.
Cakka  terkekeh. “Nope. Sampai jumpa pulang sekolah.”
***
Begitu urusannya dengan Mas Dayat selesai, Rio mematikan sambungan teleponnya. Dia berniat melangkah masuk ke dalam kelas, tetapi kehadiran Cakka membuat lelaki itu masih berdiri di tempatnya. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Rio pikir, pemuda itu akan menyapanya seperti biasa, tetapi di luar dugaan, Cakka tetap meneruskan langkah tanpa mengindahkan tatapan Rio.
“Kayaknya dia serius,” gumam Rio.
Rio ingin menyusul. Sayangnya, saat dia mendengar suara tawa Ify, mendadak lelaki itu lupa segalanya. Gadis yang akhir-akhir ini menemani kekosongan hidupnya tengah berjalan beriringan bersama teman-temannya. Entah apa yang mereka bicarakan, Rio hanya terfokus pada tawa gadis itu. Meski dari jarak yang cukup jauh.
Hati Rio berdesir. Sejak pertemuan pertama, dia telah merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Sesuatu yang sampai sekarang tak dapat dia jelaskan.
“Jangan takut bermimpi.”
Sepotong kalimat dari bibir Ify itu telah terekam di otaknya. Kalimat yang akhirnya dijadikan Rio sebagai kekuatan untuk membenahi kisah hidupnya. Ingatan Rio berputar. Semalam, untuk pertama kalinya Rio menyentuh piano yang telah lama dia lupakan. Jemari Rio bergetar hebat. Begitu jemari itu menari-nari di atas tuts piano, rasanya seperti ‘dilahirkan kembali’.
“Gue suka banget sama lagu Lost Stars punyanya Adam Levine. Kapan-kapan lo nyanyiin buat gue ya eh bercanda deng.”
Rio terkekeh. Malam itu, dia menyanyikan lagu tersebut bersama pianonya untuk Ify—meski gadis itu tak mendengar.
Setelah Ify menghilang dari pandangannya, barulah Rio masuk ke dalam kelas. Suasana baru dirasakannya. Cakka, pemuda itu berpindah tempat duduk. Yang semula duduk sendiri di samping bangku Shilla dan Alvin, sekarang dia duduk di belakang.
“Cakka, lo ngapain pindah?” tanya Rio pada Cakka.
Tak ada sahutan. Laki-laki itu menelungkupkan wajahnya. Rio berdecak, lalu menghampiri sahabat-sahabatnya. Sementara itu, teman-teman yang kebetulan berada di kelas tampak mencuri-curi pandang, penasaran dengan apa yang telah terjadi.
“Dia nggak ngomong apa-apa dari pertama masuk,” ucap Gabriel.
“Shilla,” panggil Gabriel beralih ke Shilla.
Gadis itu membalikkan tubuhnya, begitu pula Alvin.
“Apa?” sahut Shilla datar.
“Lo harus minta maaf ke Cakka,” ucap Gabriel to the point.
Shilla menggeleng keras. “Nggak. Dia yang harus minta maaf ke gue,” tandasnya dengan nada tak dapat dibantah.
“Tapi—“
“Yel, lo nggak denger tadi pagi? Dia lebih milih cewek itu dibanding The Wanted. Sampai kapanpun, gue nggak bakalan terima,” potong Shilla keras kepala.
Baik  Gabriel, Rio maupun Alvin sama-sama mendesah. Keputusan Shilla sudah final. The Wanted kehilangan Cakka. Shilla langsung membalikkan tubuhnya ke posisi semula, lantas menggigit bibir bawahnya.
“Bukan. Bukan gitu maksud gue,” batin Shilla.
***
Sepulang sekolah, Cakka bergegas meninggalkan kelas. The Wanted hanya menatapnya datar lalu berusaha menahan diri untuk menyerukan nama lelaki tersebut.
Ya, Cakka berniat melunasi janjinya pada Patton untuk bertemu di lapangan indoor. Pas sekali karena hari ini anak basket ada latihan untuk lomba. Di pintu masuk, Cakka disambut oleh Ify dan Sivia yang sedang melambaikan tangan.
“Semangat banget lo,” kekeh Sivia.
Cakka ikut terkekeh dan menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal sama sekali. Dia memang sudah tak sabar untuk bergabung dengan tim basket sehingga selama pelajaran Cakka tak henti menengok ke arah jam dinding.
“Kalian kok ke sini? Anak basket juga?” tanya Cakka.
“Enggak lah. Kita mau nyemangatin elo,” jawab Ify.
“Nyemangatin gue?” ulang Cakka dengan bingung.
“Iya. Sekarang kan lo temen kita juga. Lo pasti butuh dukungan kan? Kita di sini buat elo. Temen selalu ada buat temennya,” jelas Ify.
Sumpah, Cakka terharu mendengarnya.  Dia tak pernah diperlakukan seperti ini oleh siapapun, termasuk The Wanted. Shilla lah yang mendapatkan perhatian karena dia satu-satunya perempuan diantara mereka berlima. Sedangkan Ify dan Sivia, mereka kemari dengan alasan ingin memberikan semangat kepadanya.
“Lo yang rileks ya. Oh iya, Agni lagi ganti baju,” cetus Sivia.
Thanks ya. Gue nggak tahu harus ngomong apa,” balas Cakka tulus.
“Sama-sama. Yuk kita temenin masuk.”
Benar kata Agni. Sivia dan Ify adalah bestfriend goals. Belum dua puluh empat jam mengenal mereka, tapi Cakka dapat melihatnya.
“Debooo!” seru Sivia.
Si kaos nomor 13 menengok dan menghampiri mereka. Debo, dia sedikit terkejut dengan kehadiran Cakka. Tak hanya Cakka namun juga yang lainnya.
“Nih, gue bawain lo temen baru. Ajakin dia kenalan sama yang lain dong,” ceplos Sivia.
“Cakka?”
“He eh. Lo jangan kayak orang bego gitu dah. Tiap hari juga ngelihat,” ceplos Sivia lagi. Cakka jadi hafal kalau Sivia ini anaknya memang blak-blakan.
“Hai. Salam kenal ya,” ujar Cakka mengulurkan tangan.
Debo pun menjabat. “Gue Debo. Jadi bener ya kata Kak Patton kalo lo mau join? Yuk ikut gue, gue kenalin sama yang lain.”
“Jangan di-bully ya. Awas aja kalo lo bully, lo berurusan sama gue, Ify dan Agni,” ancam Sivia membuat Cakka tertawa.
“Santai mbak. Sana pulang aja kalian,” balas Debo agak kesal.
“Anjir. Berani ngusir kita?” sahut Ify.
“Yuk, Cak. Kita pergi dari sini sebelum ada duo macan ngamuk,” celetuk Debo lalu menarik Cakka untuk segera pergi.
Sementara itu, Sivia dan Ify sibuk bersumpah serapah karena disebut sebagai ‘duo macan’. Mereka lantas memilih untuk duduk saat Agni sudah kembali ke lapangan. Mata Sivia dan Ify pun mengarah ke Cakka, laki-laki tersebut sibuk berkenalan dengan anak-anak basket.
***
“Kenapa, Yo?”
Lelaki itu menoleh ke pria yang berada di sebelahnya. Rio. Dia tersenyum paksa lalu kembali menatapi ponselnya.
“Mikirin gadis yang di toko buku itu ya?” tanya Mas Dayat tak mau menyerah.
Rio mengangguk. “Saya lagi nunggu chat dari Ify, Mas.”
“Ify? Bukannya waktu itu kamu bilang namanya Alyssa?”
“Iya, tapi biasa dipanggil Ify. Namanya cantik kan, Mas?” balas Rio.
Mas Dayat terkekeh mendengarnya. “Namanya apa orangnya?” goda lelaki yang umurnya sudah menginjak kepala empat.
“Dua-duanya,” sahut Rio.
“Udah sampai mana pendekatannya?” goda Mas Dayat sekali lagi. Sejak Mas Dayat tahu tentang Ify, dia jadi sering menggodanya.
“Nggak ada pendekatan apa-apa. Mas kan tahu saya kemana-mana sama The Wanted. Saya sama dia seringnya ngobrol di chat, kalau di sekolah kayak orang yang saling nggak kenal,” jelas Rio.
Dia memang sangat terbuka pada Mas Dayat. Laki-laki itu menjadi panutannya, bukan berarti papanya tak memberikan contoh yang baik. Akan tetapi, Mas Dayat lebih banyak memiliki waktu bersama Rio dibanding papanya sendiri.
“Kok gitu? Nanti kamu jadi perjaka tua loh, mau?”
“Kenapa jadi didoain jelek?” dengus Rio.
Mas Dayat tertawa. “Semua masa itu nggak bisa diulang, termasuk masa muda. Jangan sampai suatu saat kamu menyesal karna menyia-nyiakan masa muda kamu.”
“Tapi, Mas tahu sendiri saya nggak punya waktu untuk mikirin hal-hal yang dilakuin anak seumuran saya. Ngerjain PR aja saya nggak sempet,” ringis Rio.
Sejurus kemudian Mas Dayat menepuk bahu bos kecilnya itu. Mas Dayat tahu persis tentang kesibukan Rio yang terkadang membuat laki-laki itu tak punya waktu untuk tidur.
***
Riuh tepuk tangan Sivia dan Ify membangkitkan semangat Cakka. Tanpa disangka-sangka, Cakka mendapat tantangan langsung dari Patton, si kapten basket. Awalnya pemuda itu sangat gugup karena menghadapi sang master tapi semangat yang diberikan teman-teman barunya membuat Cakka bertekat akan mengalahkan Patton.
Permainan dimulai. Gerakan Patton yang lincah ini mengingatkannya pada Agni. Mereka saling kejar, merebutkan sang orange untuk mencetak point.
“CAKKAAAA LO BISAAA!”
“SEMANGATTTT CAKKKAAAA!”
Suara-suara itu membuat Cakka tak mau kalah dari Patton. Kali ini Patton yang berhasil menguasai bola, laki-laki tersebut terus men-dribble dan menghindari kejaran Cakka. Shot! Tambahan satu point untuk Patton.
Beberapa lama kemudian, point terunggul masih dipegang oleh Patton. Namun semangat itu masih menyala di dalam tubuh Cakka. Begitu bola berhasil dikuasainya, Cakka berusaha keras untuk men-dribble menuju ring. Waktu yang tersisa tinggal enam detik. Cakka mempercepat gerakannya, melalukan lay up di garis three point lalu... shot! Pemuda itu berhasil menambah tiga angka.
Sedetik kemudian, wajah gembira Cakka berubah muram kala three point-nya tak dapat memenangkan battle ini.
“Keren bro!” seru Patton sambil menepuk bahunya.
Cakka menoleh. “Lebih keren elo. Hm, thanks ya udah kasih gue kesempatan. Mungkin gue emang nggak cocok gabung sama kalian,” lirih Cakka.
Patton terkekeh. “Siapa bilang nggak cocok? Selamat datang di Cakrawala, Cakka Nuraga,” ujar Patton membuat Cakka melotot. Dia tak salah dengar? Cakrawala? Bukankah itu nama tim basket inti di sekolahnya?
“Cakrawala?” ulang Cakka tak mempercayai apa yang dia dengar.
“Yapp. Mulai sekarang, lo resmi bergabung gantiin posisi Adyt.”
Detik berikutnya Cakka bersorak dan memeluk teman-teman barunya satu persatu. Mereka nampak ikut bahagia dengan keputusan Patton.
“Selamat Cakka!”
Congratulation bro. Mulai sekarang, lo tim inti.”
Cakka hanya menganggukkan kepalanya dan berterima kasih. Lantas, lelaki itu beralih ke Patton. Awalnya dia ragu Patton akan menerima dirinya, tetapi justru Patton yang membuat Cakka resmi menjadi tim inti.
“Kak, gue nggak tahu harus ngomong apa lagi. Makasih banyak karna lo udah mau menerima gue,” ucap Cakka.
“Gue tahu lo punya kemampuan. Pak Reihan juga udah pernah cerita ke gue kalo lo jago basket, sayangnya waktu itu gue belum lihat jadi setengah percaya. Akhirnya bisa gue buktiin juga. Kayaknya lo bisa ngegeser posisi gue,” cerocos Patton diakhiri dengan kekehan.
“Bener banget. Cuma elo yang battle sama Kak Patton bisa dapetin point yang beda tipis. Kita yang udah lama di basket aja nggak pernah sanggup ngejar point-nya,” sambung Debo.
“Sekali lagi, thanks ya,” balas Cakka dengan cengiran lebarnya.
“WAAA CAKKAAA CONGRATULATION!!!”
Cakka beralih ke tiga gadis yang tahu-tahu sudah di sebelahnya. Ify, Sivia dan Agni. Mereka bangga sekali dengan pencapaian Cakka. Sementara itu, anggota basket yang lain mulai melakukan latihan atas perintah Patton. Hal itu dilakukan Patton supaya tidak mengganggu Cakka dan tiga gadis tersebut.
“Selamat bro,” ucap Agni lalu merangkul laki-laki itu.
“Kalau bukan karna elo, gue nggak bisa sampai di sini,” kekeh Cakka.
Agni hanya tersenyum menanggapinya.
“Cakka, selamat ya. Lo keren banget tadi,” ceplos Ify.
“Bener kan kata gue? Lo bisa. Gue sampai nggak kedip liatin elo main. Biasanya nih, liat Agni main basket sepuluh detik aja udah males eh tadi gue liat elo dari awal sampai akhir,” imbuh Sivia panjang lebar.
“Anjir ini anak songong banget,” dengus Agni karena namanya dibawa-bawa.
Sivia tak menggubris sama sekali. Selanjutnya, Ify dan Sivia memberikan pelukan singkat sebagai ucapan selamat kepada  Cakka. Pemuda itu sendiri dengan senang hati membalas pelukan tersebut.
“Makasih ya Ify, Sivia. Hm, gimana kalau besok gue traktir kalian makan?” tawar Cakka membuat mata Sivia bersinar terang.
“Serius? Gue mau banget. Tapi kalo gue nambah nggak pa-pa kan? Terus kalo bungkus bawa pulang gimana? Boleh kan?” sahut Sivia tanpa dosa.
“Si perut karet beraksi,” gumam Agni.
“Cita-cita kurus, hobinya makan. Siapa lagi kalo bukan Sivia,” gumam Ify.
“Gue denger ya nyet,” dumel Sivia.
“Santai aja, Siv. Lo mau nambah sama mas-masnya juga gue oke kok. Tapi gue nggak yakin masnya mau sama elo,” canda Cakka.
“Anjirrr! Sadeeeestttt!” seru Agni dan Ify bersamaan.
“Hayati lelah di-bully. Mau balik ke rumah abang JB aja kalo gitu,” celetuk Sivia berpura-pura ngambek.
***
Akhirnya Ify dapat merebahkan tubuhnya di kamar. Beruntung sekali Cakka mau mengantarkan pulang dirinya, Sivia dan Agni. Gadis itu lantas mengecek ponselnya yang sedari pagi tak dia sentuh sama sekali.
Begitu membuka aplikasi chat line, nama Rio berada di urutan teratas sementara di bawah-bawah hanya berisi chat yang kurang penting seperti get rich, promo tidak jelas dan chat grup kelasnya. Ify membukanya dan menemukan beberapa chat yang dikirim seharian ini dalam waktu berbeda.
Rio
Hai, sibuk banget?
Ify...
Gue ganggu?
Kapan kita ke rumah anak jalanan lagi?
Buru-buru Ify membalasnya. Setelah di-send, chat-nya langsung di-read oleh Rio. Apa itu artinya dia menunggu Ify membalas chat-nya sedari tadi? Atau hanya kebetulan?
Belum sempat Ify memikirkan lebih lanjut, ponsel Ify berdering. Rio menelponnya melalui line! Sialnya jemari Ify reflek menerima telepon tersebut.
“Halo, Yo.”
“Hai. Kemana aja? Kok baru bales chat gue?”
Suara Rio terdengar lemas. Sepertinya pemuda itu butuh tidur.
“Sori, seharian ini nggak sempet ngecek handphone. Lo ada apa nelpon gue?” balas Ify. Ada jeda cukup lama saat Ify melontarkan pertanyaan tersebut.
“Gue juga nggak tahu.”
Ify mengernyitkan dahinya. “Kok nggak tahu?”
“Hmmm lo udah mau tidur ya?”
“Hah? Enggak. Tapi kayaknya lo butuh tidur, Yo. Dari suara kedengeran banget lo lagi ngantuk.”
Ify dapat mendengar kekehan Rio dari seberang sana. “Iya, gue ngantuk. Tapi sekarang masih ada kerjaan, makanya gue nelpon elo.”
“Ngerjain apaan lo? Ada PR ya?” tanya Ify.
“Hmm, iya. Mau nemenin nggak?”
“Boleh deh. Lo nyanyi gih biar nggak ngantuk,” sahut Ify sekenanya.
“Nggak ah.”
“Yaahh terus mau ngapain?”
“Lo ngantuk ya, Fy? Gue denger lo nguap.”
“Anjir serius denger? Gue pikir nggak akan sampai ke elo. Sori, ya,” ucap Ify merasa bersalah.
“Nggak pa-pa. Lo sekarang baring, pakai selimut, siap-siap mau tidur deh. Tapi sambungan teleponnya jangan dimatiin.”
“Tapi—“
“Siap?” potong Rio di telepon.
Mendengar itu, Ify melakukan apa yang diperintahkan oleh Rio. Gadis tersebut sudah siap dengan posisi tidurnya. Akan tetapi, ponsel yang menempel di telinganya sedari tadi masih tetap di sana.
“Udah nih,” kata Ify.
Just for you. Enjoy...”
Sejurus kemudian terdengar petikan gitar, sebuah intro yang amat dihafal oleh Ify terdengar. Lost Stars milik Adam Levine. Detik berikutnya suara Rio menyanyikan lagu tersebut memenuhi telinga Ify.
Please don’t see
Just a boy caught up in dreams and fantasies
Please see me
Reaching out for someone I can’t see
Ify tak pernah tahu suara Rio semerdu itu. Bahkan, Ify lebih menyukai lagu itu dinyanyikan Rio dibanding Adam Levine.
Take my hand
Let’s see where we wake up tomorrow
Malam ini, seseorang menyanyikan lagu favoritnya. Just for you. Ify tersenyum mengingat Rio mengatakan kalimat itu di awal, berarti lagu ini sengaja dinyanyikan hanya untuknya. Pipi Ify mendadak bersemu merah.
Suara Rio menjadi pengantar tidur Ify. Gadis itu tanpa sadar terlelap sebelum lagu berakhir.
But are we all lost stars
Trying to light up the dark?
Rio mengakhiri lagunya. Tanpa bertanya, Rio tahu gadis itu sudah tidur.
“Goodnight, my one and only.”

***
Bersambung...
Gimana? Makin penasaran sama kelanjutan The Wanted? Nggak ada Siviel? Nggak ada Alshil? Rify cuma sedikit? Tenang, masih banyak part kok. Ditunggu aja yaaa. Mohon kritik dan sarannya yaaa. Ngehargain karya saya ini gampang kok, cuma dengan komentar dan kalian bisa baca tanpa bayar (?)
Btw follow ask.fm/fannyslma

0 komentar:

Posting Komentar