Tittle: When You Hold Me
Author: Fanny Salma
Helo readers & #BangkitkanCRAGSISA. Maafkan saya yang mager
sekali. Jadi, kemarin-kemarin nggak ada waktu ngetik, sekalinya ada malah
malas. Giliran udah kelar ngetik part ini malah kehabisan kuota. Btw ini lebih
panjang dari biasanya.
Hope you like it...
19
Senja.
Indahnya sang langit jingga adalah kesukaan Agni sejak dulu. Ingatan Agni
berputar ke beberapa tahun silam, saat dia dibawa ayahnya menyaksikan langit
senja di sebuah taman. Ia memang lebih dekat dengan sang ayah. Pria itu
mengajarinya mencintai basket. Tidak seperti ayah Ify yang konglomerat, ayahnya
hanyalah PNS, gajinya tidak seberapa tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Agni pun tidak pernah menuntut lebih. Untuk mendapatkan barang-barang yang ia
inginkan pun Agni menabung dari uang yang didapatkannya dari basket.
Kini,
Agni memandang langit senja dengan mengingat Cakka. Pemuda itu... tidak lelah
kah mengobrak-abrik hatinya? Saat pertama kali memergoki Cakka bermain basket
di lapangan indoor, Agni jadi punya
kebiasaan nongkrong di sana diam-diam hanya untuk mengamatinya. Lama-lama ia
justru jatuh hati pada pemuda tersebut. Sampai suatu hari Agni berani
menampakkan dirinya di hadapan Cakka, berusaha santai seperti menghadapi
teman-teman lain, dan meyakinkan Cakka bahwa ia mampu.
Kalau boleh
jujur, Agni sendiri ragu. Toh akhirnya ia melakukan semuanya. Bahkan saat
Shilla mengatakan sesuatu dengan sarkasme, Agni tetap mempertahankan Cakka.
Seperti kata Ify, ia tak mau kehilangan kesempatan. Pada akhirnya, Cakka tahu
Agni memandangnya seperti apa.
Tiba-tiba
ponsel Agni bergetar, membuat lamunannya buyar.
Sender: Ify
Ag, besok pagi berangkat bareng ya
To: Ify
Ok
Agni
mengedikkan bahunya lalu masuk ke dalam rumah.
***
Setelah
mengirimkan pesan singkat ke ponsel Agni atas suruhan Cakka, Ify
mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas meja dengan bosan. Sudah sekitar dua jam
dia belajar dengan Alvin, ini adalah belajar bersama episode perdana. Dengan
semena-mena Alvin menolak belajar di rumah Ify dan mengusulkan Cafe ini. Alvin
sempat menawarkan untuk menjemput, tapi ditolak dengan halus oleh gadis itu.
Sama
seperti ketika pertama kali belajar dengan Rio, dia meminta Alvin membawa
seluruh hasil ulangannya. Ify langsung gemas lantaran angka-angka yang tertera
di sana tak beda jauh dengan nilai Rio. Hanya saja, yang membuatnya gemas
adalah keisengan Alvin. Ia mengubah nilai-nilainya dengan warna pulpen yang
berbeda seolah-olah itu lucu. Misalnya, nilai 10 jadi 100, 20 jadi 70 atau 30
jadi 80. Saat Ify menegurnya, dia justru makan hati karena sahutan Alvin.
“Ini
apaan nih? Lo pikir ini lucu?” omel Ify kelepasan.
“Emang
gue bilang lucu?” balas Alvin datar.
Sontak
saat itu Ify mengerucutkan bibirnya. Ia tak tahu bahwa saat itu pula Alvin
tersenyum geli.
Kemudian,
Ify mengajarkan materi fisika berhubung Alvin paling payah di mata pelajaran
tersebut. Selama beberapa menit menjelaskan, Alvin hanya mengangguk-angguk.
Tentu saja Ify tersenyum puas karena mengira Alvin sudah paham. Namun saat akan
menuliskan satu soal sebagai tes awal, Alvin justru kembali membuatnya
geregetan dengan melontarkan pertanyaan ‘tadi
lu jelasin apa, Fy?’. Ify mengurut dadanya, berusaha menahan emosi, lebih
emosi menghadapi Alvin dibanding menghadapi Sivia. Dia bahkan lupa akan ketakutannya pada Alvin
berhubung pemuda itu lebih hangat—dan lebih menyebalkan—dari biasanya.
Ify
lantas kembali menjelaskan dengan sabar, terus dan terus, diulang dan diulang
lagi. Ia juga memberikan kesempatan Alvin bertanya bagian mana yang tidak
paham, meski lagi-lagi dijawab pahit.
“Bagian
mana yang lo belum paham?” tanya Ify sabar.
“Hmmm...”
Alvin
berpikir sejenak seolah sedang menelaah.
“Semuanya,”
imbuhnya.
Detik
itu Ify bersumpah tidak akan menerima tawaran mengajari orang dengan
sembarangan. Cukup Alvin saja. Kalau Rio, pemuda itu cepat tanggap sehingga Ify
hanya mengajari inti-intinya saja.
Setelah
Alvin mengatakan bahwa dia mengerti, Ify kembali mengujinya dengan soal. Hanya
satu sebagai percobaan. Sudah sekitar lima belas menit yang lalu ia berikan,
tapi Alvin masih berkutat dengan bukunya. Ify jadi bosan. Tampaknya sekarang
dia mengerti mengapa guru-guru malas berurusan dengan Alvin, sialnya sekarang
justru Ify yang harus berurusan dengan pemuda ini. Padahal waktu bercengkrama
di UKS saat itu Alvin tidak semenyebalkan ini. Ify curiga dia tengah dikerjai.
Gadis
itu menyeruput milkshake di gelas
kedua. Tadi dia memesan milkshake dan
sepiring besar kentang goreng karena tahu bersama Alvin akan membosankan. Tapi
ternyata baru seperempat jalan saja milkshake-nya
habis tak tersisa. Jadilah dia memesan lagi. Karena itu, Alvin sempat menyindir
‘lo ke sini jalan kaki ya?’ dan
dijawab dengan anggukan asal.
“Belum
kelar juga?” tanya Ify.
Alvin
mendongak, “Jangan ganggu konsentrasi gue.”
Kemudian
pemuda itu fokus ke bukunya lagi. Ify mendelik, mengapa kesannya jadi dia yang
merepotkan?
***
Shilla
menatap sebuah gaun di tangannya. Gaun selutut berwarna putih dengan pita besar
berwarna hitam di bagian pinggang. Di sampingnya, Cakka tampak menilai pilihan
gaun Shilla. Sebagai laki-laki yang tak mengerti fashion perempuan, bisa saja
Cakka menurut tapi masalahnya gaun ini untuk Agni.
“Cocok
nggak sih? Kulitnya kan sawo matang,” komentar Cakka.
Helaan
nafas Shilla menyapa telinga Cakka. Ya, ia tahu ini sudah baju ke sepuluh
dengan komentar berbeda. Shilla jadi frustasi. Sebagai wanita yang sudah
terbiasa bergelut dengan fashion,
Cakka berhasil membuatnya minder karena belum ada pilihan gaun yang cocok.
“Bentar,
gue ke Tante Nahni dulu,” kata Shilla.
Cakka
hanya mengangguk. Kalau pilihan gaun Shilla tak dapat menarik perhatian Cakka,
Shilla yakin Tante Nahni bisa.
Berhubung
ini bagian rencana Cakka dalam penembakan Agni, maka Shilla turur serta
membantu di urusan memilih gaun dan mendadani Agni besok malam. Yang lain pun
punya tugas masing-masing.
“Tante,
kalau gaun untuk cewek tomboy dan doyan olahraga gitu bagusnya yang mana ya?”
tanya Shilla pada Nahni Wijaya.
“Pasti
kulitnya agak gelap ya?” tanya Tante Nahni.
Shilla
mengangguk. Selanjutnya, wanita yang masih tampak muda itu memilihkan sebuah
gaun berwarna peach dengan sentuhan payet di bagian dada. Beberapa detik Shilla
mengagumi gaun itu. Sangat cantik.
“Warna
peach-nya nggak terlalu kontras sama warna kulit. Ukurannya memang segini.
Meskipun Tante nggak tahu siapa yang akan pakai, tapi Tante yakin anaknya pasti
punya bodi yang ideal karna dia suka olahraga,” jelas Tante Nahni.
“Iya
bodinya emang ideal,” kekeh Shilla.
“Saya
tanya Cakka dulu ya, Tan,” imbuhnya.
Tante
Nahni lantas mengangsurkan dress itu
pada Shilla untuk diperlihatkan pada Cakka. Tadi wanita itu sempat bingung,
tumben sekali Shilla datang bersama Cakka, bukan bersama Alvin seperti biasa.
Akhirnya dia mengerti kalau Shilla hanya menemani Cakka.
“Cak,
gimana?” tanya Shilla melirik dress
di tangannya.
“Bagus,
Shil. Kayaknya ini cocok banget buat Agni. Nggak terlalu terbuka juga,”
komentar Cakka.
“Suka?”
tanya Tante Nahni yang tiba-tiba muncul.
“Ini
pilihannya Tante Nahni, Cak. Ini aja?” ceplos Shilla.
Cakka
mengangguk, “Makasih buat pilihannya ya, Tante.”
“Sama-sama.
Cuman dress ini agak mahal karna
payetnya ribet banget. Nggak pa-pa, Cak? Tapi tetep Tante kasih diskon kok,”
balas Tante Nahni.
“Itu
bukan masalah kok. Yang penting ini saya suka banget,” kekeh Cakka.
Shilla
bernafas lega. Dalam hati ia uring-uringan, tahu begitu ia langsung minta
pendapat Tante Nahni daripada harus membuang waktu dengan mendengar ocehan
Cakka. Ah, ia jadi tak sabar untuk besok. Padahal besok bukan acara
penembakannya, tapi dia ikut senang kalau Cakka senang.
***
Keesokan
harinya, Ify terpaksa bangun sebelum subuh. Jarak rumah Agni ke rumahnya cukup
jauh. Sebenarnya ini bagian dari rencana yang dibuat oleh Cakka. Ify terpaksa
harus berkomplot dengan pemuda itu meskipun tidak tega juga dengan nasib Agni,
apalagi jika gadis tomboy itu tahu kalau Ify sudah berangkat sekolah duluan.
Demi
melancarkan amanat ini, Ify harus mengajak Sivia turut serta. Iyalah! Bisa bisa
rencana mereka gagal karena anak bodor itu. Seperti yang sudah pernah
dijelaskan, bahwa Sivia adalah makhluk yang paling susah bangun pagi. Pukul 5
pagi Ify sudah siap dengan perlengkapan sekolahnya lalu menuju rumah Sivia. Ozy
yang sudah hafal kebiasaan Ify jika pergi sepagi ini pun tidak bertanya
apa-apa.
Sesampainya
di rumah Sivia, Desi—Mama Sivia—mempersilahkan Ify masuk. Seperti biasa pula,
Ify menuju dapur dan meminjam alat tempurnya. Pembantu Sivia pun sudah siap
dengan earphone yang disumpalkan ke
telinga sambil memasak. Seperti dugaannya, beberapa menit setelah kepergian Ify
mulai terdengar suara gaduh di lantai atas. Apalagi kalau bukan hasil dari
pertunjukan solo marching band dari
Ify?
“SIVIAAAA
BANGUUUNNNN!!!” teriak Ify.
Jika
sudah seperti ini, Desi yang biasa tahan dengan musik-musik rock jutru memilih jogging. Sepertinya bagusan dengerin lagu rock 20 album daripada
harus mendengar keributan yang diciptakan Ify.
“WOIII!!!
LO MAU SAMPAI KAPAN TIDUR???”
Sivia
bergerak. Ify pikir gadis itu akan bangun, ternyata hanya merubah posisi tidur.
“EH
KAMPRET CEPETAN BANGUN!!!!”
Bukan
Sivia yang bangun, tapi justru Lintar yang menguap dengan wajah kesal karena
istirahatnya terganggu. Beberapa hari ini dia memang disibukkan dengan urusan
kantor dan kuliah S3 sehingga harus menginap dan baru sekarang bisa pulang. Ya,
baru semalam dia bisa merasakan tidur di kasur empuknya tapi sudah dirusuhi
oleh sahabat adik sepupunya.
“Harus
banget ya lu bikin konser tunggal di sini?” sengit Lintar dengan wajah
kusutnya.
Ify
terkekeh, merasa bersalah karena dia pikir Lintar belum pulang, “Eh Abang kapan
pulangnya? Kata Sivia udah beberapa hari nggak pulang.”
“Semalem.
Gue ngantuk banget nih. Ternyata lo lebih berisik daripada Sivia ya, Fy,” balas
Lintar membuat Ify keki.
“Lah
udah nyerah bangunin gue, Fy?” cetus Sivia tiba-tiba.
Ify
reflek menoleh, “Lo udah bangun daritadi?”
“Iyalah.
Lu berisik banget sih. Gue kesel lo bangunin jam segini, makanya gue merem
lagi,” jawab Sivia polos.
“Gue
tidur lagi ya,” pamit Lintar tak diacuhkan.
“Emang
lu ya tai banget. Cepetan mandi! Keburu kepergok Agni,” ujar Ify memilih tak
menanggapi.
Kalau
berdebat dengan Sivia terus, bisa menghabiskan waktu lama. Maka Ify bersikeras
mendorong Sivia menuju kamar mandi tanpa membiarkan gadis itu protes. Sambil
menunggu Sivia, Ify turun untuk numpang sarapan.
“Bi,
tolong siapin bekal buat Sivia ya,” kata Ify.
“Siap,
Non Ify.”
***
Naik
angkot ternyata bukan pilihan yang tepat karena angkot menuju rumah Ify baru jalan jika sudah penuh.
Jadilah jam setengah 7 kurang Agni masih di dalam angkutan umum ini,
berdesak-desakan dengan ibu-ibu pasar pula.
“Fy, gue
mau nyampe nih,” cetus Agni.
Ia
menelpon Ify untuk mengabari gadis itu.
“Astaga, Ag! Gue lupa kalau kita mau berangkat
bareng!”
Agni
melotot, “Serius lu? Terus ini lo dimana?”
“Udah naik bis sama Sivia. Dia ngajak berangkat
pagi soalnya mau nyalin PR.”
“Terus
gue...”
Ucapan
Agni terpotong saat mendengar suara Sivia.
“Aduh Ify buku lo nggak ada di tas. Kayaknya
ketinggalan. Terus ini gimana? Masa kita balik lagi?”
“Hah? Sumpah lo, Vi?”
Agni
mengernyit karena beberapa saat Ify dan Sivia ribut di seberang sana.
“Ify!
Ini gue gimana?” tanya Agni gemas.
“Ahhh kebetulan. Ag, plis ya lo ke rumah gue
ambilin buku gue yang ketinggalan. Nanti gue telpon Mama biar lo nggak
kelamaan.”
“Tapi, ini
kan udah jam—“
“Please, Agni. Lo tega gue dihukum? Mana itu pelajarannya
jam kedua lagi. Kalau habis istirahat sih gue bisa minta tolong sopir buat
nganterin. Plis ya, Ag.”
“Iya deh
iya!” sahut Agni menyerah.
“Makasih Agni.”
Klik.
Sambungan telepon terputus tepat saat Agni harus turun dari angkot dan berjalan
sebentar untuk sampai ke rumah Ify. Kalau tahu begini, lebih baik Agni
pura-pura lupa dan langsung ke sekolah.
Agni
melirik jam di tangannya lalu pasrah. Sudah dipastikan ia tidak mungkin selamat
dari ruangan BK.
***
“Ayo
turun, Fy!”
Ify
mengangguk kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku. Sebenarnya ia pun tidak
tega harus membohongi Agni, tapi semoga semuanya lancar sampai nanti malam.
Setelah merapalkan doa dalam hati, Ify mengikuti langkah Sivia menuju
sekolah—berhubung mereka turun di halte.
“Gue
nggak sabar nanti malam Cakka nembaknya kayak apa,” cetus Sivia.
“Yang
ditembak kan bukan elo. Kenapa jadi elo yang nggak sabar?” sahut Ify kalem.
Sivia
berdecak, “Buat patokan ntar kalo Alvin nembak gue.”
“Idih
pede banget lu kayak bakalan ditembak beneran sama dia,” cibir Ify.
“Pasti!
Gue yakin! Makanya lo doain gue supaya lancar sama Alvin!”
Tanpa
mempedulikan ocehan Sivia, Ify justru semakin mempercepat langkahnya. Sivia
menggerutu sebal kemudian menyamakan langkahnya dengan langkah Ify. Saat hendak
memprotes, ternyata Cakka sudah berdiri di depan gerbang dan mencegat mereka
berdua.
“Gimana
Agni?” tanya Cakka tak sabar.
“Sudah
beres diatur oleh Sivia. Asalkan ada Sivia, semuanya bahagia dunia akhirat,”
sahut Sivia sombong.
Reflek
tangan Ify bergerak menoyor Sivia.
“Nggak
usah ngarang cerita pagi-pagi!”
Bibir
Sivia mengerucut, “Sekali-kali biarkan gue berkreasi kenapa sih?”
“Nggak
usah dengerin dia, Cak. Pokoknya Agni bakalan telat sesuai permintaan elo.
Sumpah ya lo terkejam banget mau nembak tapi bikin sial anak orang dulu,”
cerocos Ify yang membuat Cakka tertawa renyah.
“Semoga
Rio nggak kepikiran nembak lo pakai cara begini ya, Fy,” canda Cakka.
Ify
melotot, “Kenapa jadi Rio sih?”
Cakka
menggaruk tengkuk belakangnya lantas merangkul Ify dan mengajaknya berjalan
bersama. Sivia? Gadis itu melongo, menunjuk dirinya sendiri dengan wajah
bingung, lalu berlari mengikuti dua orang yang telah meninggalkannya.
“Sialan
ya lu berdua!” gerutu Sivia yang telah berhasil mengejar Ify dan Cakka.
“Emang
lo nggak suka Rio, Fy? Sahabat gue yang satu itu meskipun kaku, tapi dia
hatinya lembut. Apalagi kalau udah menyangkut soal elo, Fy,” ceplos Cakka masih
tetap merangkul Ify.
Sivia
ikut mendengarkan meskipun dengan wajah bete.
“Bahasa
lo dangdut banget sih, Cak,” balas Ify.
“Gue kan
cuma mengutarakan yang sebenarnya aja,” elak Cakka.
“Lu
kelihatan seneng banget sih, Cak? Padahal kan nembaknya masih nanti malem.
Emang udah positif diterima?” celetuk Sivia.
Cakka
beralih memandang Sivia kemudian memutar bola matanya dengan malas.
“Pasti
lah,” tandasnya.
“Belum
tentu! Ntar tiba-tiba Agni ketemu cowok ganteng di angkutan terus jatuh cinta
pada pandangan pertama gimana?” balas Sivia membuat Ify tergelak.
“Tersialan
emang khayalan lu,” gerutu Cakka.
Detik
berikutnya Sivia menjulurkan lidah kemudian berlari meninggalkan Cakka dan Ify.
Reflek, Cakka melepaskan rangkulannya pada Ify lalu berlari mengejar Sivia yang
semakin meledeknya sambil tertawa-tawa puas. Ify terkekeh menyaksikan mereka, ia
membiarkan dua sahabatnya itu berlarian sampai beberapa kali menabrak
orang-orang yang berlalu lalang.
“Kok
nggak ikut kejar-kejaran kayak mereka?”
Ify
menoleh. Tahu-tahu saja Alvin sudah berjalan di sampingnya. Ah, kapan pemuda
itu datang?
“Capek
gue,” jawab Ify pendek.
“Sivia
emang seaktif itu ya?” tanya Alvin memandang wajah Ify dari samping.
Kening
Ify berkerut, seperti dé javu. Ah iya! Gabriel pernah bertanya mirip sekali dengan
pertanyaan barusan. Intinya sama, tapi penyampaiannya berbeda. Ify lantas
menelaah apa maksud Alvin bertanya demikian. Apa mungkin pemuda ini benar-benar
menyukai sahabatnya?
“Iya.
Emang begitu,” jawab Ify.
“Hmmm.”
Lagi-lagi
Ify bingung. Terkadang Alvin bersikap hangat, terkadang juga dingin. Terkadang
dia seperti patung yang tak pernah bisa tersenyum, tapi terkadang pula ia
terkekeh geli—bahkan tertawa. Benar-benar sulit menebak apa yang ada di pikiran
Alvin. Bahkan, jika Alvin mengatakan kebohongan atau kebenaran, semuanya akan terdengar
sama.
***
Sial.
Seperti dugaan, Agni terlambat. Ia lantas melangkah dengan tergesa-gesa menuju
gerbang Budi Karya yang sudah tertutup rapat.
“Pak,
bukain dong. Please bangettttt,”
pinta Agni memelas berharap satpam sekolahnya mau berbaik hati.
“Nggak
bisa, Neng. Saya bukain tapi Eneng ke ruang BK ya, soalnya saya bisa dipecat
kalau melanggar aturan.”
Agni
mencebikkan bibir sebal. Harusnya dia tahu ini akan terjadi. Terpaksa, gadis
itu menurut. Setelah pintu gerbang dibuka, Agni lantas masuk dan menuju ruang
BK dengan lemas. Percuma saja dia berlari hingga nyaris jatuh kalau akhirnya
dihukum juga. Ish!
Langkah
Agni terasa berat. Ia menyempatkan ke kelas XI IPA 4 untuk menyerahkan buku Ify
terlebih dahulu melalui guru yang sedang mengajar, raut wajah Ify seperti
sedang mengutarakan permintaan maaf dan dibalasnya dengan senyuman tipis.
Barulah dia menuju ruang BK dan bersiap mendapatkan hukuman.
“Agni,
kenapa? Terlambat?”
Agni
meneguk ludahnya lalu nyengir kuda. Baru saja melongokkan kepala, tapi sudah
disemprot seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Bu Vina pelakunya? Ibu guru yang
satu itu sangat sensi dengannya karena Pak Reihan sering memamerkan Agni pada
guru-guru. Berhubung Pak Reihan lajang, ada gosip yang mengatakan bahwa Bu Vina
naksir pada Pak Reihan. Makanya, Bu Vina—yang katanya sudah tua tapi belum
menikah juga—senewen dengan Agni. Padahal Agni tidak tertarik dengan Pak
Reihan.
“Iya,
Bu. Saya terlambat. Biasanya anak rajin kayak saya mah nggak pernah terlambat
ya, Bu,” sahut Agni sambil mendekat.
Ya, biar
saja lah dia pasang muka tembok. Sekali-kali!
“Rajin
apanya? Sini duduk,” balas Bu Vina.
Agni
menurut lalu duduk. Dia menyempatkan menyapa guru-guru BK yang lain. Diantara
semua guru BK ini, mengapa dia harus berhadapan dengan Bu Vina coba?
Untungnya
jadi Agni memang seperti ini. Banyak yang kenal padanya, termasuk guru-guru.
Jadi, bisa dikatakan bahwa dia sama terkenalnya dengan The Wanted.
“Enaknya
apa ya hukuman buat kamu?” gumam Bu Vina.
“Kok
nggak ditanyain dulu kenapa saya terlambat, Bu? Meskipun saya belum pernah
terlambat sebelumnya, tapi saya tahu kok kalau siswa yang terlambat berhak
melakukan penjelasan sebelum dihukum,” protes Agni.
Tidak
sia-sia juga dia sahabatan dengan Sivia. Ternyata cablaknya Sivia bisa menular
disaat yang tepat. Bu Vina tampak diam, mungkin malu karena suara Agni terlalu
keras dan guru-guru lain jadi meliriknya.
“Jadi,
kamu kenapa terlambat?” tanya Bu Vina dingin.
Agni
ingin memuntahkan tawanya, lucu sekali ternyata membuat orang lain keki. Namun
berhubung yang ingin ditertawakannya adalah gurunya sendiri, Agni menahan diri.
Dia lantas menjelaskan kronologis keterlambatannya pada Bu Vina tapi tampak
sekali bahwa wanita itu tak berminat mendengarkan. Mungkin saat ini isi kepala
wanita itu hanya ada hukuman-hukuman untuk Agni yang telah mempermalukannya.
“Ibu
dengerin saya nggak sih? Kan saya lagi cerita,” kata Agni iseng.
Bu Vina
mengerjap, “Iya saya dengerin.”
“Tadi
saya cerita apa coba?” tanya Agni semakin menjadi.
Wanita
di hadapannya itu gelagapan lalu mengalihkan perhatian dengan pura-pura membalas
sms. Iya, Agni tahu kalau itu pura-pura karena dia sempat melirik layar ponsel
Bu Vina yang tak ada notification
apapun.
“Bodo
amat deh ntar hukumannya apaan,” batin Agni.
“Ehem,”
dehem Bu Vina.
Bu Vina
menyimpan ponselnya lalu fokus pada Agni lagi.
“Kamu,
saya hukum untuk minta tanda tangan ke semua guru yang sedang mengajar dari
kelas sepuluh sampai dua belas.”
Mata
Agni terbelalak, “Semua?”
“Iya,”
jawab Bu Vina sambil mengangguk puas.
“Deal nih, Bu?” tanya Agni berharap
hukumannya diganti.
“Deal.”
Sial.
Sepertinya Bu Vina benar-benar ada dendam kesumat dengannya. Kemudian Agni
bertekat tidak mau terlihat kalah. Dia memasang senyum sebiasa mungkin.
“Cuma
minta tanda tangan kan, Bu? Itu sih terlalu mudah. Ya sudah, saya pamit dulu.
Selamat pagi, Bu Vina,” ujarnya dengan wajah sumringah yang dibuat senatural
mungkin.
Sumpah,
Agni menahan tawanya lagi menyaksikan Bu Vina melongo. Mungkin dia tidak
menyangka hukumannya akan disambut dengan kalimat demikian. Setelah keluar dari
ruangan dan sedikit menjauh barulah tawa Agni meledak-ledak. Hanya sekejap.
Sebab, selanjutnya dia memikirkan nasibnya sendiri. Minta tanda tangan ke semua
guru yang sedang mengajar? Errr... kalau ketemunya guru semacam Pak Reihan yang
baik hati sih nggak masalah.
***
Selesai.
Eh, nyaris! Setelah berjuang keras melaksanakan hukuman dari Bu Vina, nyaris
semua tanda tangan sudah terkumpul. Semuanya didapatkan dengan mudah, ya paling
tidak Agni hanya perlu menunggu sampai guru killer
selesai menjelaskan materi. Untung Agni sudah lihai memasang muka tembok karena
berteman dengan Sivia yang sering memalukan. Jadi, dia tidak masalah saat
menjadi pusat perhatian. Masalahnya, ada satu kelas yang belum didatanginya.
Kelas XI IPA 1. Kelasnya Cakka.
Sialnya,
kelas Cakka sedang diajar oleh Bu Maryam. Guru yang paling banyak omong. Agni
mendengus, ia berpikir ingin memalsukan tanda tangan wanita itu tapi pasti
ketahuan. Dia kan tidak handal dalam urusan seperti ini.
“Muka
tembok, Ag,” tekat Agni.
Gadis
itu lantas menghela nafas panjang seakan-akan di dalam ruangan yang akan
dimasukinya tidak ada pasokan oksigen sama
sekali. Selanjutnya, ia mengetok pintu kelas XI IPA 1 hingga membuat
seluruh warganya menoleh dan memusatkan perhatian padanya. Bu Maryam yang
sedang mengabsen pun menghentikan aktivitasnya.
“Permisi,
Bu,” ujar Agni sesopan mungkin.
“Iya.
Ada apa?” sahut Bu Maryam.
Agni
menggigit bibir bawahnya, melirik Cakka dan kawan-kawan yang tampak penasaran.
“Saya
dihukum Bu Vina untuk minta tanda tangan ke seluruh guru yang sedang mengajar. Makanya,
sekarang saya—“
“Mau
minta tanda tangan saya?” potong Bu Maryam.
Agni
mengangguk.
“Kenapa
dihukum?” tanya Bu Maryam.
“Tadi
pagi saya terlambat masuk, Bu,” jawab Agni sekenanya.
“Kenapa
bisa terlambat?”
Ish! Tuh
kan! Bu Maryam memang banyak omong. Tinggal tanda tangan lalu beliau bisa
melanjutkan mengajarnya dengan damai sentosa kenapa sih? Kok sepertinya susah
sekali. Dan yaaa... tentunya kejadian ini menguntungkan bagi kelas XI IPA 1.
“Kamu
pasti bangun kesiangan kan? Makanya kalau hari sekolah itu bangunnya pagi biar
nggak terlambat. Kalau ini sekolah punya bapak kamu sih nggak pa-pa, Gabriel
aja tidak pernah terlambat,” cerocos Bu Maryam.
Agni
mencibir karena tidak diberikan kesempatan bicara sama sekali. Bahkan, untuk
melakukan pembelaan. Kenapa sih guru ini? Coba kalau Ify yang berhadapan dengan
Bu Maryam, pasti beliau percaya saja pada Ify.
Barulah
setelah sampai sekitar 20 menit diceramahi di depan anak-anak kelas XI IPA 1 Bu
Maryam memberikan tanda tangannya. Itupun karena dia baru ingat kalau sekarang
sedang mengajar. Agni tersenyum paksa seraya mengucapkan terima kasih.
Selanjutnya, dia pamit dan kembali ke ruang BK.
“Masih
pagi tapi kok gue sial mulu sih,” gumam Agni miris.
***
Bel
istirahat menggema. Begitu teman-teman sekelas ngacir entah kemana, Shilla dan
kawan-kawan lantas mengerubungi Cakka dan menyalahkan pemuda itu.
“Parah
lu, Cak! Itu tadi Agni sampai diceramahin lama banget tahu,” cecar Shilla.
Cakka
meringis, “Mana gue tahu kalau dia bakal dihukum kayak gitu?”
Mendengar
jawaban Cakka, mereka lantas mengangguk paham. Sepertinya hukuman untuk Agni
tadi eksklusif karena biasanya anak-anak
yang terlambat tidak pernah dihukum sekreatif itu. Padahal diceramahi di
ruang BK saja sudah cukup, tidak perlu dilebih-lebihkan.
“Anggap
aja ini bonus dari rencana lo,” sahut Gabriel.
“Gue
ngeri kalau pas acara penembakan justru dia berubah pikiran kalau tahu kesialan
Agni ini bermula dari ide gila lo, Cak,” ceplos Rio yang membuat Cakka melotot
ke arahnya.
“Lu
nggak usah komentar deh, Yo. Kadang komentar lo itu nyakitin,” balas Cakka.
Yang
lain tertawa kecil. Entah sejak kapan Rio kembali ke sifat aslinya, ah iya...
sejak ayahnya membebaskan Rio untuk melakukan apa yang dia mau. Rio yang
sekarang jadi lebih terbuka dan pandangan matanya tidak pernah kosong.
“Terus
nanti malem gimana?” tanya Shilla.
“Sesuai
rencana. Pokoknya lo ke rumah Agni bareng Sivia. Lainnya, pokoknya ikut gue
langsung ke TKP. Rio, gue minta bantuan lo di belakang layar terutama masalah
mini konser ya? Nggak pa-pa kan kalau nggak tampil? Soalnya nggak ada yang bisa
diandalkan selain elo nih,” cerocos Cakka panjang lebar.
Rio
mengacungkan jempolnya.
“Gue mah
dimana aja bisa,” katanya setengah bercanda.
“Oh
kalau gitu gue tempatin lo di hatinya Ify aja, mumpung hatinya lagi kosong,”
celetuk Cakka.
“Nggg...”
Detik
itu Gabriel, Shilla, Cakka dan Alvin tertawa geli menyaksikan Rio yang sedang
salah tingkah. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau seorang Rio yang selama
ini mereka pikir hanya fokus dengan pekerjaan kantor ternyata bisa juga jatuh
cinta.
“Lo
salting ya?” tanya Alvin pura-pura tidak tahu.
“Ah,
ngaco lu. Biasa aja perasaan,” jawab Rio sok polos.
“Nggak
pa-pa kali, bro. Kita justru seneng
banget,” cetus Cakka.
“Kenapa
seneng?”
“Itu
berarti lo beneran nggak naksir Mas Dayat!” seru Gabriel iseng.
Rio
menggerutu, “Bacot lu.”
“Makanya
lo buruan deh nembak Ify. Kalau sama Mas Dayat nggak enak, nggak bisa dipeluk,
nggak bisa dibelai, kalau pacaran juga bahasnya masalah kantor,” ujar Cakka
sembarangan.
“Kalau
cuma dipeluk mah Mas Dayat juga bisa, Cak,” kilah Alvin.
“Iya,
bisa. Tapi nggak enak,” balas Cakka.
“WAH
ANCUR LO, CAK!” seru Gabriel.
Shilla
yang sedari tadi menyimak hanya geleng-geleng melihat kelakuan
sahabat-sahabatnya. Bisa-bisanya mereka membahas hal ini. Tak urung, Shilla
ikut terkekeh pula. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat
sahabat-sahabatnya yang semakin kompak.
***
Kantin
Budi Karya ramai seperti biasa. Ify dan Sivia yang baru sampai di bibir kantin
mulai mengedarkan pandangan mereka, mencari-cari tempat yang kosong. Tiba-tiba
Sivia melihat seseorang melambaikan tangan padanya. Ah, ternyata Gabriel. Dia
sedang bersama teman-teman yang lain, termasuk Agni.
“Nyet,
itu mereka di sana,” kata Sivia menunjuk ke salah satu bangku.
Ify
mengikuti arah yang ditunjuk Sivia.
“Lo ke
sana duluan ya. Gue ada urusan sama Debo. Nanti gue nyusul,” ujar Ify.
“Urusan
apa?” tanya Sivia bingung.
“Nanti
gue cerita,” jawab Ify.
Sivia
merelakan Ify bergabung ke meja Debo. Sepertinya mereka memang ada urusan
penting sehingga memilih bangku di pojokan yang tidak akan diperhatikan
siapapun. Sivia mengedikkan bahunya, kemudian bergabung ke meja tim menolak
Sivia bahagia.
“HAI EVERYBODY!” seru Sivia lalu menyempil
ditengah-tengah Agni dan Shilla.
Dengan
seenaknya gadis itu menyerobot minuman di atas meja lalu menenggaknya.
“Minuman
gueeee!” teriak Gabriel.
Sivia
nyengir, “Gue kira punya Agni.”
“Agni
aja belum pesen. Ganti pokoknya!” sungut Gabriel.
“Yah lo
kan tahu kalau gue miskin. Mending lo traktir gue deh, Yel,” seloroh Sivia.
“Fuck. Ngapa jadi elo yang minta
ditraktir?”
“Karna
gue miskin. Udahlah, ngalah sama gue. Gue kan cewek. Lo mau bilang fuck, bangsat, anjing, apa kek bodo amat
ya,” balas Sivia nyolot.
Gabriel
mendengus. Ia menatap hampa ke arah gelasnya yang sudah kosong tak tersisa.
Padahal dia belum sempat minum. Sementara itu, Agni menatap iba ke arah Gabriel
dan yang lain tertawa puas.
“Eh, Ify
mana?” tanya Shilla.
“Di
pojokan tuh sama si Debo,” jawab Sivia menunjuk ke sebuah meja.
Tampak
bahwa Debo dan Ify sedang membicarakan sesuatu yang amat serius. Mereka lantas
melirik Rio, kecuali Sivia yang memang tidak peka. Pemuda yang ditatap
beramai-ramai itu tampak tak sadar karena terfokus pada sosok Ify di pojokan
sana. Posisi duduk Ify dan Debo memang sangat dekat, bahkan bahu mereka nyaris
menempel. Hal itu membuat Rio merasa 'panas'.
“Panas
banget ya,” celetuk Cakka iseng.
Rio
tersadar dan sedikit gelagapan. Sial. Dia tertangkap basah lagi.
“Hah?
Orang kita duduk di bawah AC gini kok panas sih, Cak?” tanya Sivia polos.
“Lama-lama
lo gue jual deh, Siv,” gemas Cakka.
Sivia
mengerucutkan bibirnya. Bukan salahnya kan kalau dia menggemaskan? Ya,
sampai-sampai Cakka ingin menjualnya.
“Jujur
aja nih. Ify lagi proses move on, Yo.
Mungkin lo bisa bantu dia,” kata Agni mengalihkan perhatian.
“Maksudnya?”
tanya Rio terdengar bodoh.
“Harus
banget ya diterjemahin? Rio, lo tuh pinter sampai bisa ngurus perusahaan di
usia anak sekolah. Masa kayak gini aja lo nggak paham?” ceplos Shilla
geregetan.
Rio
masih memasang wajah bingung, dia benar-benar tak mengerti. Kalau memang Ify
sedang berusaha move on, itu berarti
bukan urusannya kan?
“Kayaknya
percuma aja, Shil. Lihat aja tampangnya lebih bego dari gue,” kata Sivia.
“Intinya
nih, Rioku sayang. Lo harus deketin Ify dan buru-buru nembak dia. Lo jatuh
cinta kan sama dia? Jadi, lo kudu berjuang. Ngerti kan, sayang?” jelas Cakka.
Wajah
Rio berubah jijik mendengar kata ‘sayang’ dari mulut Cakka. Sepertinya Cakka
memang lebih gila dari Gabriel. Yang lain pun sama jijiknya. Sivia yang pertama
bereaksi, dia melempari Cakka dengan kulit kacang yang daritadi dicamilnya.
Setahu Rio sih Sivia sudah membawa kacang saat dia sampai di sini.
“Gini
deh, Yo. Lo sayang kan sama Ify?” tanya Agni mulai menginterogasi.
Rio
tampak berpikir.
“Jangan
mikir, Rio. Lo jawabnya pakai hati. Rasain. Harus yakin.”
“Iya,”
jawab Rio akhirnya.
“Lo
nggak mau kehilangan dia?” tanya Agni lagi.
“Nggak
mau.”
“Sekarang
lo menyadari sesuatu?”
Rio
terdiam dan memejamkan mata sejenak. Saat membuka matanya kembali, sosok Ify
lah yang dilihatnya pertama kali.
“Gue
lihat kalian lagi serius banget. Ngomongin apa sih?” tanya Ify kemudian duduk
di sebelah Alvin karena itu satu-satunya tempat yang kosong.
“Udah
kelar urusannya sama Debo?” tanya Sivia.
Ify
mengedikkan bahunya, “Kayaknya makin runyam.
“Lo ada
masalah apa sama Debo?” tanya Sivia bingung.
Setahunya,
Ify dan Debo baik-baik saja. Malahan mereka akrab. Dan omong-omong, Debo pernah
menembak Ify saat kelas X dulu tapi ditolak.
“Bukan
sama Debo sih. Cuman...”
Ify
melirik yang lain, tampaknya penasaran dengan obrolan Ify dan Sivia. Gadis itu
menghela nafas, mungkin tak apa-apa kalau cerita. Toh Ify sudah percaya dengan
mereka semua.
“Debo
bilang kalau Ray tiba-tiba nelponin dia, katanya minta tolong supaya dia bisa
ketemu sama gue. Ya, jadilah gue diintrogasi sama tuh bocah karna penasaran kok
Ray kenal gue gitu,” jelas Ify.
“Ray
siapa lo?” tanya Alvin tanpa basa-basi.
Terdengar
helaan nafas kasar dari Ify.
“Mantan,”
jawab Sivia mewakilkan.
Barulah
mereka mengerti bahwa maksud Agni tadi adalah Ify sedang move on dari Ray. Pantas saja sikap Ify aneh waktu bertemu Ray di
SMA Global.
“Jadi?”
“Gue
minta tolong ke Debo supaya nggak nanggepin apapun kalau Ray bahas gue,” jawab
Ify sekenanya.
“Tuh
anak kok tai banget sih? Dia sendiri yang mutusin, tapi sekarang malah ngusik.
Maunya apa coba? Lagian udah punya cewek aja kegatelan,” maki Sivia.
Ify
hanya tersenyum paksa mendengar racauan Sivia. Tanpa sengaja pandangan Ify dan
Rio saling bertubrukan. Rio seolah bertanya ‘are
you ok?’ melalui sorot matanya dan dibalas Ify dengan anggukan.
Sekarang lo menyadari sesuatu?
“Iya,
gue sadar kalau Ify berhasil menyusup jauh ke dalam hati gue,” jawab Rio dalam
hati.
***
Pulang
sekolah. Kira-kira sudah sepuluh kesialan yang dialami Agni, benar-benar
membuatnya bete. Mulai dari Ify lupa kalau dia yang menyuruh Agni ke rumahnya,
terlambat sekolah, dihukum Bu Vina, diceramahi habis-habisan oleh Bu Maryam,
ketumpahan es teh, dan kesialan lainnya yang dialami Agni.
Maka,
saat bel pulang sekolah menggema, Agni buru-buru pulang sebelum terkena sial
lagi. Jika Agni begitu parno, lain hal dengan Cakka yang tampak puas karena
idenya sudah setengah berhasil. Tinggal acara inti saja.
“Shilla
sama Sivia jangan lupa jalankan tugas dengan baik. Spesial untuk Sivia, plis lo
jangan bocor apalagi keceplosan. Gue sumpel mulut lo pakai sorban kalau sampai
keceplosan,” ancam Cakka.
Sivia
lantas bersumpah serapah. Biar menyebalkan begini, tapi dia belum pernah bikin
rencana orang jadi gagal kok. Kalau tidak salah ingat.
“Ify,
Gabriel, Rio sama Alvin datang paling awal ya. Ntar kabar-kabar pokoknya.”
Mereka
berempat mengacungkan jempol. Kalau dengan anak-anak ini sih Cakka percaya
seratus persen.
“Kita
tos dulu biar lancar,” kata Sivia.
“Tos
apaan?” tanya Shilla.
“Tos tim
menolak Sivia bahagia,” jawab Sivia mantap.
Detik
itu Sivia seakan menjadi tersangka dari sebuah kasus besar. Memang, Sivia
sempat menciptakan tos saking kreatifnya. Terpaksa mereka mengikuti kemauan
Sivia karena wajah Sivia berubah menjadi kucing manis.
Mereka
lantas merapat dan saling menumpuk telapak tangan.
“TIM
MENOLAK SIVIA BAHAGIAAAAA!”
“YUHU
YUHU YUHUUUUU YEAAHHH!!!”
Sivia
tersenyum puas. Akhirnya tos itu launching
juga.
“Kenapa
sih kita harus nurutin dia?” tanya Alvin.
“Biar
setia kawan,” sahut Sivia asal.
Alvin
mencibir, “Ini sih namanya pembegoan yang terselubung.”
Yang
lain mengangguk setuju. Memangnya anak SMA mana yang mau melakukan tos aneh
tadi?
***
Baru
memejamkan mata sekitar 25 menit, Agni terpaksa membuka matanya karena
digelitiki. Ia menangkap sosok Sivia dan Shilla yang sedang nyengir tak
bermasalah telah membangunkan orang yang baru tidur sebentar. Ya, 25 menit itu
sebentar kan? Kalau digunakan untuk mandi, baru itu namanya lama.
“Kalian
nggak ada kerjaan ya jam segini ngerecokin rumah orang?” gerutu Agni.
“Ya kan
kita ada niat baik ke sini,” jawab Sivia sekenanya.
“Niat
baik apaan?” tanya Agni.
“Pesta
ulang tahun Cakka. Pestanya nanti malam. Jadi, gue sama Sivia eksklusif ke sini
buat dandanin elo ke pesta ulang tahun Cakka,” jelas Shilla.
Agni
mengernyit, antara percaya dan tidak dengan ucapan Shilla. Ya, maklum. Agni kan
bukan orang yang hafal dengan ulang tahun siapapun. Ulang tahunnya sendiri saja
sering dilupakan.
“Kok
tadi di sekolah nggak ada yang bahas?” selidiknya.
“Ya masa
kita mau kasih surprise tapi diomongin di depan orangnya? Kadang-kadang lo bego
juga ya, Ag,” kilah Sivia.
“Oh iya
juga ya. Kadang-kadang lo bisa pinter juga ya, Siv,” balas Agni tanpa dosa.
“Sialan!
Monyet! Babi!” maki Sivia.
Agni
tergelak mendengarnya.
“Udah
udah. Ngapa jadi ribut sih? Gue siapin alat-alat make up dulu ya,” lerai Shilla.
Gadis
cantik tersebut lantas menata peralatan make
up-nya di meja rias Agni. Shilla geleng-geleng saat mendapati hanya ada
bedak bayi, sisir, body lotion, parfume
dan vitamin rambut di sana.
“Lo punya
meja rias cuma buat diisi kayak ginian?” tanya Shilla.
“Gue
saranin lo mulai coba pakai bedak sama lipbalm deh, Ag. Kayak Sivia tuh
sekarang kelihatan lebih fresh,”
imbuhnya dengan memuji Sivia.
“Dia mah
emang lagi gila aja,” gumam Agni.
Selanjutnya,
Agni dan Sivia sibuk mengagumi alat-alat make
up yang dibawa Shilla. Semuanya lengkap dan banyak sekali. Kalau urusan make up, Ify lebih tahu dibanding Agni
dan Sivia yang memang kurang merawat diri. Bagi mereka, pakai body lotion itu yang terpenting.
“Ini baru
sebagian kecil kok yang gue bawa. Kalau dibawa semua kan ribet,” elak Shilla.
“Sebagian
kecil sebanyak ini ya?” tanya Sivia kagum.
Tapi
bagi Agni, itu terdengar norak.
“Kalian
mandi dulu gih. Udah jam empat sore nih. Kita cabut habis maghrib,” titah Shilla.
“Lo
duluan gih, Siv,” kata Agni.
“Gue
udah mandi kok. Lo udah mandi juga kan, Shil?” sahut Sivia.
Shilla
mengangguk, “Buruan mandi, Ag.”
Agni
mencebikkan bibirnya lalu menuju keluar dari kamarnya untuk mandi. Tak ada
kecurigaan sama sekali. Shilla masih merapaikan alat tempurnya, sementara Sivia
bertugas mengabari Cakka.
“Shil,
gue mau dong kapan-kapan didandanin sama elo,” celetuk Sivia.
“Gampang,”
sahut Shilla.
Beberapa
saat kemudian Agni kembali dengan wajah segar.
“Sini,
Ag. Gue make up-in lo dulu.”
Agni
menaikkan sebelah alisnya, “Harus ya?”
“Iya.”
“Sivia
dulu deh,” tolak Agni halus.
“Sivia
nanti gampang. Kan lo tamu spesialnya Cakka,” bujuk Shilla.
Setelah
berdebat singkat, akhirnya Agni mengalah. Ia membiarkan Shilla mendadaninya.
Diam-diam Agni khawatir pada dirinya sendiri yang merelakan diri untuk
didandani seperti ini.
***
“Mereka
udah ada di depan!” seru Cakka setelah membaca pesan singkat dari ponselnya
yang dikirim oleh Sivia.
“Bersiap
di posisi masing-masing!” koor Cakka.
Dengan
sigap Rio mematikan beberapa lampu supaya keberadaan Ify, Alvin dan Gabriel
tidak tersorot. Mendadak jantung Cakka berdetak dengan irama berantakan. Ia
gugup, takut jika ditolak. Padahal sejak pagi dia sudah yakin pasti diterima.
Sementara
itu, Agni dikawal Sivia dan Shilla sudah sampai di depan Cafe. Ini adalah Cafe
milik ibunda Cakka. Agni tidak tahu bahwa Cakka sampai meminta doa dan restu ke
ayah dan ibundanya untuk acara penembakan ini. Kedua orang tua Cakka tampak
bingung, sekaligus terharu karena untuk hal sekecil ini saja sampai segitunya.
“Kok
sepi ya?” tanya Agni bingung.
Shilla
dan Sivia saling pandang lalu menggeret Agni dengan paksa untuk masuk ke dalam
Cafe. Oh iya, Agni tadi protes habis-habisan karena dipaksa memakai gaun. Gaun
yang sangat cantik dan pasti harganya mahal. Lagi-lagi Agni mengalah, ia sampai
tak mengenali dirinya sendiri di depan cermin. Yang semakin membuatnya kesal
adalah dandanan Shilla dan Sivia yang tampak biasa saja. Agni menelan
kekesalannya karena Shilla dan Sivia terus berkelit sampai akhirnya Agni
pasrah—lagi.
Mata
Agni menjelajahi setiap sudut Cafe. Tak ada siapapun. Bahkan ketika dia memutar
tubuhnya, Shilla dan Sivia lenyap. Mereka menghilang. Agni mendengus, merasa
dirinya sedang dikerjai. Katanya Cakka ulang tahun? Tapi nyatanya pemuda itu
pun tidak ada di sini.
Cafe ini
memang didekorasi sangat indah seakan-akan memang akan ada pesta, tapi tak ada
tamu satupun. Lebih tepatnya lagi hanya ada dirinya sendirian. Mendadak bulu
kuduk Agni meremang. Jangan-jangan dia memang dikerjai!
“SHILLA
SIVIAAAA! SUMPAH LAWAKAN KALIAN RECEH!!!” teriak Agni.
Tak ada
sahutan. Seolah-olah memang benar bahwa di sini hanya ada dirinya. Saat hendak
melangkah keluar, tiba-tiba saja lampu di bagian mini stage—tempat konser penyanyi Cafe—menyala. Gantian lampu yang
awalnya menyala jadi meredup, kecuali satu lampu yang kini menyorotnya. Mata
Agni terbelalak. Di sana, orang-orang yang amat dia kenal berkumpul.
Petikan
gitar Gabriel manyadarkan Agni dari keterpanaannya, diikuti suara keyboard yang dimainkan Ify dan suara
drum dari Alvin. Sebuah intro lagu. Agni semakin terkejut saat Cakka, pemuda
yang katanya “ulang tahun” itu muncul dari tirai hitam yang berada di belakang mini stage. Cakka tengah menatapnya
dengan seulas senyum yang memabukkan. Ah, apa tadi? Mengapa Agni tiba-tiba jadi
puitis?
Dari dirimu kudapatkan arti cinta sejati
Setiap detik denganmu...
Suara
Cakka... merdu. Sangat merdu. Membuat Agni membeku, ditambah pemuda itu
bernyanyi sambil menatap lurus ke arahnya.
Dari dirimu kudapatkan
Belaian hati suci cinta...
Bersamamu kurasa bahagia
Senyumanmu membuatku meraja
Cakka
masih tetap menatapnya seolah lagu itu untuk Agni.
Percayalah ku takkan siakan dirimu
Kau yang kuinginkan hanyalah engkau
Bersamamu adalah hal yang terindah
Dan kuingin kau lebih
Masih
sama. Mata Cakka tak bisa lepas dari Agni. Begitu pula dengan gadis itu yang
tak bisa mengalihkan pandangannya sedetikpun. Sudah jelas, lagu ini memang
untuknya. Begitu pikir Agni.
Yang kuinginkan kau seutuhnya
Mencintaimu adalah hal yang terbaik
Aku cinta kamu
Agni terhenyak. Ia baru menyadari bahwa lagu
ini adalah pernyataan cinta.
Kau yang kuinginkan hanyalah engkau
Bersamamu adalah hal yang terindah
Dan kuingin kau lebih
Yang kuinginkan kau seutuhnya
Mencintaimu adalah hal yang terbaik
Aku cinta kamu
(Aku
Cinta Kamu – Two Triple 0)
Lirik
yang diulang barusan seolah menegaskan bahwa Cakka bersungguh-sungguh. Di detik
usainya lagu tersebut, Agni menangis. Air matanya meluruh. Ia bahkan tak peduli
dengan musik yang dimainkan Ify, Gabriel dan Alvin karena terfokus pada lirik
yang dinyanyikan Cakka. Ia memaknainya dalam. Ini bukan hanya pernyataan cinta,
tapi juga jawaban atas perntanyaan Agni mengenai kejelasan status mereka. Cakka
menembaknya!
“Agni...”
Agni
mendongak, menatap Cakka masih berada di atas stage. Pemuda itu lantas turun dan berjalan menghampiri sosok Agni
yang masih terpaku.
“Lagu tadi
mewakili perasaan aku ke kamu,” ujar Cakka pelan.
Pemuda
itu menghela nafas sejenak.
“Aku
cinta kamu. Aku mau kamu seutuhnya. Aku bukan laki-laki sempurna yang bisa
menawarkan kamu banyak hal,” Cakka mengambil jeda cukup lama, “Satu, Ag. Cuma satu
yang bisa aku tawarin ke kamu. Apa aku boleh jadi alasan setiap kali kamu
bahagia?”
Binar
bahagia Agni tak dapat disembunyikan.
"Cak...”
Agni speechless. Tak bisa berkata. Gadis itu
mengangguk seraya menyembunyikan sebagian wajahnya dengan telapak tangan. Detik
selanjutnya Cakka merengkuh tubuh itu untuk menyatu bersamanya.
“WOIIII!
SELAMAAATTTTT!!!” seru sahabat-sahabat yang telah bertugas.
Barulah
Agni sadar kalau dia benar-benar dikerjai.
“Asik
kita bakalan makan gratis!” seru Sivia.
“WOOO!!!!”
Agni
tertawa, begitu pula dengan Cakka.
“Gue
nggak nyangka lo hafal script-nya,
Cak,” celetuk Alvin yang langsung mendapat pelototan tajam dari Cakka.
“Alvin
mulut lo tai banget,” desis Cakka.
“Oh tadi
itu hafalan?” selidik Agni.
Cakka
nyengir, “Meskipun hafalan tapi kan dari hati, Ag. Lagian tadi kamu speechless gitu, kan aku jadi takut lupa
script. Untung masih inget,” sahutnya
tanpa dosa.
“Tetep
aja judulnya hapalan!” dengus Agni.
“Yang
penting sekarang aku sama kamu udah jadian. Yang udah lewat nggak usah dipikirin ya, sayang,” balas
Cakka.
Sontak
yang lainnya pura-pura muntah. Sementara pipi Agni bersemu merah.
“Kok lu
jadi sok imut gini sih, Cak? Jijik gue dengernya,” ceplos Ify.
Cakka
reflek merangkul gadis itu seperti biasa.
“Ify mau
juga dipanggil sayang? Bisa aja sih tapi kan gue takut sama Rio,” godanya.
“Jauh
jauh lu!” seru Ify menendang Cakka.
Cakka
tertawa puas. Apalagi melihat Rio yang semakin salah tingkah.
***
Bersambung...
Asik
udah ada yang jadian satu nih :p kira-kira yang lain gimana ya? Wkwk saya tunggu
komentarnya :)
Ask.fm/fannyslma
1 komentar:
Kerennnn Kak 😍 Baru Agni sama cakka nihh ,,,, hehehehe
Semangatt kak 💪💪
Posting Komentar