"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Minggu, 23 Februari 2014

You're Mine [2/2]



Tittle: You're Mine
Author: Fanny Salma

2



Sedari tadi, gadis dengan rambut sebahu lebih sedikit itu berdecak kasar di meja makan. Di hadapannya, ada pria dan wanita yang tengah tertawa lebar akibat candaan kecil yang dilontarkan oleh pemuda yang berada di sampingnya. Rasanya, gadis itu ingin pergi saja--seandainya diperbolehkan--lantas mengunci diri di dalam kamar.
“Ify, kenapa diem aja?” tanya pria yang ada di hadapan gadis itu.
“Ya terus, Ify harus ngomong apa dong, Pa?” balas gadis itu--Ify--dengan nada malas.
“Hush! Nggak sopan,” tegur wanita di sebelah pria yang tak lain adalah papanya Ify. Sedangkan wanita itu adalah mamanya.
“Mungkin Ify kecapekan, Om, Tante. Tadi kan kelas Ify ada materi olah raga,” timpal pemuda di samping Ify.
“Cihhh, sok manis,” desis Ify tak kentara namun cukup sampai ke telinga pemuda di sampingnya.
“Wah... nak Rio care banget ya sama Ify. Sampai tahu hal sekecil itu. Kamu beruntung sekali Ify.”
Beruntung? Ify benar-benar muak. Dia lantas melempar tatapan membunuh ke arah Rio. Namun, pemuda itu mengerling kemudian menjulurkan lidahnya. Hal tersebut tentu membuat Ify semakin geram.
“Lalu, kapan kalian akan menikah?” tanya mamanya Ify.
“Uhukkk... uhuuukkk....”
Ify tersedak. Tanpa aba-aba, Rio sudah menyodorkan segelas air putih untuk gadis itu. Dia pun segera menegak air tersebut hingga setengah gelas.
“Mama! Ify itu masih SMA. Kenapa ngomongin pernikahan sih?!” kesal Ify.
“Bentar lagi juga lulus. Lagipula, kalau di-planning dari sekarang kan lebih baik. Mama juga pengen cepet nimang cucu. Tante Menda juga kan, Yo?” cerocos mamanya Ify yang kemudian menatap Rio.
“Iya dong, tant. Rio aja gak sabar--
“Awww!!!”
Rio mendelik ke arah Ify. Gadis itu dengan sengaja menginjak kakinya.
“Loh... kenapa, Yo?” tanya papanya Ify.
“Nggg... nggak kok, Om. Cuman kena kaki meja,” jawab Rio berbohong.
“Ah kamu itu. Makanya hati-hati. Tadi, mau bilang apa? Nggak sabar apa, Yo?” tanya mamanya Ify.
“Itu... nggak sabar... mau... mau cepet lulus. Iya gitu. Abis lulus kan Rio kuliah sebentar terus abis itu Rio lanjutin perusahaan Papa.”
Setelah itu, Ify tak mendengarkan lagi apa yang mereka bicarakan. Dia berkutat pada makanannya yang tak kunjung habis.
***
Paginya, Rio dan Gabriel sudah ada  di gelanggang. Mereka tengah melakukan one by one di lapangan basket seperti biasa. Kemudian, seperti biasa pula, Rio menceritakan semua kejadian ketika sengaja menunggu Ify sampai dipaksa untuk makan bersama orang tua Ify. Tak henti-hentinya pemuda itu tersenyum setiap kali menyebutkan nama Ify.
“Gue seneng banget sumpaaahhh!!!” seru Rio.
“Seneng palelu?! Itu Ify kasian kali, Yo. Dia kan nggak cinta sama elo,” seloroh Gabriel.
“Cinta nggak berlaku buat yang ini. Yang terpenting, bonyok Ify udah suka dan klik banget sama gue. Tinggal nunggu si Ify aja maunya kapan gue nikahin,” ceplos Rio dengan gaya tengil. Gabriel pun menjitak kepala pemuda tersebut.
“Dih! Otak lo nggak bener nih udah ngomongin nikah segala. Sadar, Yo! Kita itu masih SMA dan status kita belum lulus. Lo mau nyari ijazah apa ijab sah deh,” cerocos Gabriel. Rio sendiri hanya acuh.
“Oh... lo nggak mau gue undang ke pernikahan gue sama Ify? Oke.”
“Eh nggak gitu juga kali. Siapa tahu kan jodoh gue ntar ada di acara pernikahan lo sama Ify,” dengus Gabriel.
Rio terkekeh geli. Sahabatnya itu memang sama konyolnya dengan dirinya. Hanya saja, Gabriel tak melakukan hal-hal gila seperti yang dilakukan Rio. Misalnya, mendoakan Ify putus dengan Alvin lalu berpaling padanya dan mereka akhirnya menikah serta hidup bahagia selamanya seperti yang ada di dongeng-dongeng.
Di sisi lain, Ify datang dengan mata bengkak. Hal itu membuat sahabat-sahabatnya heran. Sebagai sahabat sejati, akhirnya mereka memutuskan untuk membolos bersama. Cakka yang biasa membawa mobil sendiri pun segera menuju parkiran dan melajukan mobilnya menuju gerbang dimana Ify, Zevana, Shilla dan Acha menunggu di sana.
“Ayo naik!” seru Cakka.
Tanpa ba-bi-bu-be-bo lagi, mereka naik ke mobil Cakka. Ify yang biasanya memilih untuk duduk di samping Cakka, kini malah duduk di belakang karena sedari tadi gadis itu sudah menempel di bahu Acha. Zevana pun duduk di jok depan.
“Untungnya kita bisa bolos seenaknya. Jadi, nggak perlu nadahin kuahnya Miss R deh,” celetuk Zevana.
“Lagian, lo kenapa deh, Fy? Dateng-dateng mata udah bengkak, mana nangis lagi. Sebagai gadis yang selalu tampil sempurna, lo nggak banget,” timpal Shilla yang kemudian dipelototi sahabat-sahabatnya. Gadis itu hanya nyengir.
“Alviiinnn....”
“Kenapa sama Alvin?” tanya Cakka mulai tertarik.
“Kita putus. Huaaaaaa,” racau Ify yang kembali menangis.
“Kok bisa?” tanya Acha.
“Ja... jadi... semalem...”
Alvin sengaja datang ke rumah Ify tanpa memberi tahu gadis itu terlebih dahulu. Niat ingin memberi surprise malah gagal karena yang membukakan pintu justru papanya Ify langsung. Biasanya, setiap Alvin ke sini, yang membuka pintu adalah pembantu Ify.
“Malam, Om,” sapa Alvin seramah mungkin.
“Iya. Mau apa?”
Alvin jadi kikuk mendengar nada tak bersahabat dari papanya Ify. Tapi dia berusaha sebiasa mungkin.”
“Mau cari Ify. Ify ada?” tanya Alvin sopan.
“Tidur. Kamu pulang saja.”
“Tidur?” Alvin benar-benar curiga karena lima menit yang lalu, Ify mengirim whatsapp kalau dia sedang menonton film.
Benar saja. Gadis itu muncul dari belakang papanya dan membelalakkan mata.
“Loh... Alvin? Kok nggak bilang mau ke sini?” tanya Ify terkejut.
“Tadi kata Papa kamu, kamu lagi tidur,” ujar Alvin tak mempedulikan pertanyaan Ify.
Sejurus kemudian, Ify menatap papanya yang sedang menatap dirinya dingin. Gadis itu mendadak gugup. Namun, sekali lagi. Dia berusaha menyembunyikan semuanya supaya Alvin tak curiga.
“Masuk, yuk,” ajak Ify.
“Tapi...”
“Ekhem,” dehem papanya Ify.
“Ify. Masuk,” ujarnya dengan nada tegas.
“Pa--
“Papa bilang masuk.”
Karena takut, Ify memilih diam. Dia lantas melirik Alvin yang menganggukkan kepalanya. Mau tak mau, Ify menuruti perintah papanya.
“Terus, kok lo sama dia bisa putus?” tanya Cakka mewakili semuanya.
“Tadi pagi Alvin jemput gue di gang. Pas di mobil, dia bilang kalau gue sama dia udahan aja.”
“Fy, kita udahan ya,” ujar Alvin yang masih tetap fokus menyetir.
“Hah?! Maksud kamu apa?” tanya Ify.
“Iya. Udahan. Aku sama kamu jalan masing-masing, nggak kayak gini lagi. Kamu ngerti kan?”
Penjelasan Alvin bukan hanya membuat Ify mengerti--seperti yang dia tanyakan--tapi juga membuat Ify cukup lama terpaku dan membisu. Dia menatap Alvin tak percaya. Tanpa ada angin apa-apa, Alvin berkata demikian secara tiba-tiba.
“Aku udah tahu semuanya. Orang tua kamu nggak suka kan sama aku? Dan mereka akan jodohin kamu. Jadi, itu alasan kamu nggak pernah ijinin aku main ke rumah kamu setiap kali ada orang tua kamu di rumah?” jelas Alvin hingga membuat Ify terkesiap.
“Vin...”
“Mereka bener, Fy. Kita emang nggak sebanding. Dan mungkin, mereka memilihkan orang yang sebanding sama kamu,” ujar Alvin.
“Tapi aku cintanya sama kamu,” balas Ify yang matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku juga. Tapi, cinta nggak harus memiliki kan?” tanya Alvin retoris.
“Semudah itu kamu ngelepas aku? Hanya karena perjodohan sialan itu?”
Alvin tersenyum miris. Dia menepikan mobilnya. Kemudian, pemuda itu memutar tubuhnya hingga menatap sosok Ify yang kini menundukkan kepalanya. Lebih-lebih, Alvin tahu benar bahwa Ify tengah menahan tangisnya.
“Aku nggak pernah ngelepasin kamu. Aku cuma nggak mau kamu jadi anak durhaka, aku nggak mau gadis kesayangan aku dibenci Tuhan karna nggak mau nurut sama orang tua, aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Aku sayang kamu, Fy. Lebih dari apa yang kamu tahu.”
Rangkaian kata yang disusun Alvin berhasil menohok hati Ify. Dia sendiri mengakui bahwa Ify sudah menentang orang tuanya, berbicara tak sopan pula setiap kali membahas perjodohan itu.
“Perjuangin aku, Vin. Sedikit aja... aku mohon,” lirih Ify.
“Tanpa kamu minta, aku udah lakuin itu. Kamu tahu apa yang aku lakuin waktu Papa kamu minta supaya kita putus?”
Tanpa menunggu jawaban Ify, Alvin pun menjawab. “Aku jatuhin harga diri aku dengan berlutut di depan Papa kamu. Tapi Papa kamu bilang ke aku, aku nggak perlu melakukan hal bodoh itu karena keputusannya udah bulat.”
“Kamu harus bahagia, Fy.”
Cakka, Acha, Zevana dan Shilla hanya bisa diam mendengar cerita Ify barusan. Mendengar begitu dewasanya sosok Alvin, membuat mereka sadar bahwa wajah saja Ify susah menyia-nyiakan pemuda sebaik itu.
“Udah, Fy. Jangan nangis lagi.”
Ify tak peduli. Air matanya tetap mengucur tanpa dimintanya.
***
“Eh... mereka bolos ya? Mentang-mentang bonyoknya berkuasa eh seenaknya aja bolos.”
Mendengar ucapan Gabriel, Rio pun mengalihkan pandangannya menuju gerbang. Terlihat bahwa Ify dan teman-temannya tengah naik ke mobil Cakka. Detik berikutnya, mobil itu melaju meninggalkan Green Day SHS.
“Mau ke mana, ya?” gumam Rio.
“Lo tadi liat Ify nggak? Kok dia dipeluk Acha gitu terus kayaknya lagi nangis?”tanya Gabriel.
“Ah, masa sih?” balas Rio tak percaya.
“Serius. Eh, itu temen sekelasnya Ify kan? Bentar. Heh!! Elo! Sini!”
Gabriel memanggil anak laki-laki dengan rambut kribo. “Ada apa manggil gue?”
“Ify sama kawan-kawan kenapa bolos ya?” tanya Gabriel to the point.
“Nggak tahu. Tadi, Ify dateng ke kelas pake mata bengkak terus nangis. Abis itu, mereka bolos,” jawab pemuda tersebut.
Setelah mengucapkan terima kasih, pemuda itu pun berlalu. Meninggalkan Gabriel dan Rio yang tengah berpikir keras.
“Jangan-jangan....” Ujar Gabriel terputus.
“Jangan-jangan apa?” tanya Rio.
“Lo abis ngapa-ngapain dia ya? Lo nggak--
“Sembarangan!” potong Rio dengan nada tinggi.
“Kalo yang lo maksud begituan, gue nggak mungkin ngelakuin itu. Lo tahu sendiri, gue itu anak baik-baik meski kadang suka ngeres sih,” lanjutnya.
Gabriel pun menjitak kepala Rio. “Awas aja kalo lo buntingin anak orang! Gue sate dan gue bagiin daging lo ke ragunan... eh tapi kan badan lo tulang doang.”
Daripada menanggapi ucapan Gabriel yang semakin ngaco, Rio memilih untuk meninggalkan pemuda itu. Gabriel segera tersadar. Tapi, Rio sudah terlalu jauh hingga membuat Gabriel hanya bisa berteriak.
“Yo!!! Yo!!! Mau ke mana lo???!!!” teriak Gabriel ketika melihat sahabatnya itu berjalan menuju parkiran.
“Nemuin cewek gue lah!!!” seru Rio.
“Cewek orang woiii!!!” balas Gabriel.
Rio tak peduli. Dia menaiki motornya dan meninggalkan Green Day SHS, serta meninggalkan Gabriel pula.
***
Sudah larut malam, tapi Ify tak juga pulang. Rio sudah lelah menunggu Ify di depan rumahnya sejak siang tadi. Orang tua Ify pun tidak ada di rumah saat ini. Sampai sebuah sinar dari lampu mobil menyeruak ke dalam mata Rio.
Pemuda itu nyaris tersenyum kala semua penghuni mobil itu keluar namun tak menampakkan sosok Ify. Mereka berlari ke arah Rio.
“Om sama Tante mana???” tanya Cakka dengan panik.
“Mereka nggak ada di rumah. Lalu, Ify mana? Kok lo nggak sama dia? Bukannya--
“Itu dia!!! Ify nggak mau pulang. Dia masih ada di taman deket sini,” jawab Cakka.
Tanpa basa-basi, Rio berlari menuju motornya dan bergegas menuju tempat yang dimaksudkan Cakka tadi. Sampai di sana, Rio menepikan motornya dan melihat Ify tengah terdiam di bawah pohon. Untungnya taman ini tak pernah gelap, Ify pun tak mengenakan pakaian warna putih. Jadi, Rio tidak perlu merasakan kesan horor.
Rio melangkahkan kakinya. Dia mendekati sosok Ify tanpa berniat mengganggu. Tapi apa daya, Rio tak pernah bisa tahan berdiam ketika bersama Ify.
“Nggak takut sendirian?”
Mendengar suara yang amat dia kenal, Ify terkesiap. Rio sudah berdiri di depannya dengan posisi membelakangi Ify.
“Ngapain lo ke sini?!” ketus Ify.
“Suka-suka gue dong. Ngapain lo ngatur-ngatur?” balas Rio nyolot--dan tanpa dosa.
“Lagian, lo jadi kayak orang patah hati gini,” lanjut Rio.
Sejurus kemudian, Ify menangis. Rio membalikkan badannya dan terkesiap. Pemuda itu lantas mendekati sosok Ify dengan panik. Tanpa sadar, kepala gadis itu sudah bersandar di dadanya. Rio sendiri tak tahu persis kapan tepatnya posisi ini dimulai.
“Lo kenapa?” tanya Rio sambil mengusap puncak kepala Ify.
“Ini semua gara-gara elo tau!” hardik Ify dengan suara paraunya.
“Gue?” tanya Rio dengan heran. Detik berikutnya, pemuda itu merinding karena mengingat ucapan ngaco Gabriel ketika di sekolah mengenai ‘buntingin anak orang’. Tidak. Rio masih waras.
“Gue putus sama Alvin! Huuuaaa!!!” jerit Ify.
Rio kelabakan sendiri, takut jika ada orang yang lewat lalu menuduh macam-macam.
“Heh jangan kenceng-kenceng! Kalo ada yang lewat terus ngirain gue ngapa-ngapain elo gimana? Gue mau aja sih tanggung ja--
“BEGOOO!!! Lo tuh cowok paling bego sekaligus sedeng yang sebenernya nggak mau gue kenal!!! Gue sebel sama elo!!!” maki Ify memotong ucapan Rio sambil memukuli tubuh pemuda itu.
“Aduuuhhh! Sakit, Fy. Ampun ahhh woiii!!!”
Tangan Rio berusaha menangkal tangan Ify yang terus memukulinya. Detik berikutnya, sosok Ify sudah berada di pelukan Rio--satu-satunya cara untuk menghentikan aksi brutal Ify--dan gadis itu hanya bisa terpaku menerima perlakuan pemuda tersebut.
***
1 Juni 2014 (Kelulusan SMA)
Sorak sorai di Green Day SHS menggema ketika semua siswa dinyatakan lulus. Termasuk Ify yang kini meloncat-loncat sambil memeluk sahabat-sahabatnya.
“Yeeeyyy!!! Akhirnya kita lulus jugaaa!!!” seru Ify kegirangan.
“Iya iya! Dan gue bisa kuliah di singapore,” sahut Shilla.
“Yahhh... sayang banget ya kita musti pisah begini. Shilla ke singapore, Acha ke Aussy, Cakka ke Los Angeles dan gue di UI,” keluh Zevana.
“Lo kan sama Ify!” celetuk Cakka.
“Ya tapi kan nggak asik berdua doang.”
“Bener tuh kata Zevana,” timpal Ify.
“IFY! IFY!” seru seseorang yang membuat pemilik nama--beserta sahabat-sahabatnya--menoleh dan menunda pembicaraan.
Seorang pemuda yang seragamnya sudah penuh coretan tengah menghampiri mereka¾atau tepatnya Ify. Dengan senyum yang lebar,  pemuda itu menarik lengan Ify.
“Pinjem Ify ya. Dadaahhh!!”
Sahabat-sahabat Ify hanya bisa melongo begitu Rio--pemuda tersebut--membawa Ify pergi dari hadapan mereka. Lalu, mereka pun geleng-geleng melihat dua sejoli itu.
“Sejak Alvin nggak ada kabar, mereka jadi deket. Gue berani taruhan, Rio mau nembak Ify,” ceplos Cakka.
Detik berikutnya, mereka mengangguk dan menyusul dengan niatan menguntit Ify dan Rio. Lebih tepatnya, ingin menyaksikan acara penembakan pemuda tersebut.
Benar saja, Rio membawa Ify ke tempat sepi. Mereka terlihat berbincang cukup lama. Cakka, Shilla, Zevana dan Acha pun mendekat--tak kentara--supaya bisa mendengar percakapan mereka.
“Fy, mungkin di hati lo masih ada Alvin. Mungkin, nama gue belum bisa menempati posisi itu seutuhnya. Begitu bukan?”
Ify mengerutkan keningnya. Dia mulai paham arah pembicaraan mereka ini. “Sorry, Yo.”
“Nggak pa-pa,” sahut Rio dengan senyum simpulnya.
“Tapi, lo mau kasih kesempatan ke gue kan? Jadi satu-satunya pendamping hidup lo? Jadi yang terakhir menempati hati lo? Gue janji, gue akan ngegeser posisi Alvin seutuhnya,” lanjutnya.
“Tapi--
“Gue nggak becanda, Fy. Selama ini, gue tahu lo kesel sama gue. Gue tahu lo sebel banget setiap gue godain. Tapi, di balik itu semua gue punya maksud supaya lo selalu inget gue. Supaya elo selalu ingat gimana sosok Rio Feryata yang menyebalkan di mata Ify Michella. Lo paham kan?” potong Rio.
“Yo... jujur aja, gue terharu dengernya. Gue... gue....”
“Ify... please. Mau kan jadiin aku yang terakhir di hidup kamu?”
Jantung Ify sudah berdetak lebih cepat dari biasanya. Lidahnya kelu, begitu pula tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Dia semakin salah tingkah ketika Rio menatapnya seperti ini.
“Gimana?” tanya Rio sekali lagi.
“Nggg... oke.”
“HUUUAAA THANKS IFFFYYY!!!”
Gadis itu terkesiap ketika Rio menghapus jarak mereka dengan merengkuhnya. Detik berikutnya, tubuh gadis itu terangkat dan terasa melayang-layang. Dia pun tertawa lepas, begitu pula Rio.
“CIIIEEE!!!”
Suara-suara yang amat dikenal mereka membuat Rio melepaskan tubuh Ify. Mereka pun berbalik dan mendapati Cakka, Zevana, Acha, Shilla dan Gabriel sudah bersiul-siul sambil menggoda. Ah, sejak kapan Gabriel berbaur dengan mereka?
“Kalian ngintipin yaaa?!” hardik Ify dengan kesal.
“Ya dong! Abisan bawanya ke tempat sepi. Ih, gue pikir mau diajakin mesum sama onoh,” sahut Zevana tanpa dosa sambil mengarahkan dagunya ke arah Rio.
“Enak aja! Gue laki-laki yang baik tahu!” sungut Rio.
“Hahaha. Cie yang jadian, peje jangan lupa yaaa!!!” seru Gabriel yang disetujui oleh yang lain.
“Tenang aja. Ntar kalian dapet jatah pajak tiga kali,” jawab Rio.
“Apaan aja,Yo?” tanya Acha.
“Pajak jadian, pajak tunangan sama pajak nikah,” jawab Rio--tanpa dosa.
“HEH?! Lo sama bonyok sama aja deh ya. Ngomonginnya nikah mulu diiihhh!” sengit Ify dengan nada sensi.
“Nggak inget kata nyokap lo? ‘Mama pengen banget nimang cucu’ ih Mama lo tahu banget apa yang gue mau,” ceplos Rio dengan menirukan gaya bicara mamanya Ify.
Sejurus kemudian, mereka semua--kecuali Ify--tergelak sampai mata mereka berair. Apalagi melihat ekspresi evil Ify yang sudah ingin menelan Rio bulat-bulat serta tatapan ‘berani amat lo bongkar aib gue?!’ membuat semua ini terlihat lucu.
Namun, semua itu tak lama karena tiba-tiba bibir Rio sudah mendarat di kedua pipi gadis itu. Rio mencium Ify di depan sahabat-sahabatnya. Mereka membelalakkan mata dan bibir mereka pun menganga lebar.
“Akhirnya dapet juga! Yeeeaahhh!!!” seru Rio kegirangan.
“RIIIOOO!!!”
“HAHAHA. Alvin kalo nyium lo kan selalu pipi kiri, kalo gue dua-duanya. Jadi, level gue sama Alvin tinggian gue dong?” goda Rio sambil memainkan sebelah alisnya.
“Anjay, dia mulai ngeres,” ceplos Gabriel sambil menepuk keningnya.
***

END

0 komentar:

Posting Komentar