Tittle: You're Mine
Author: Fanny Salma
2
Sedari
tadi, gadis dengan rambut sebahu lebih sedikit itu berdecak kasar di meja
makan. Di hadapannya, ada pria dan wanita yang tengah tertawa lebar akibat
candaan kecil yang dilontarkan oleh pemuda yang berada di sampingnya. Rasanya,
gadis itu ingin pergi saja--seandainya diperbolehkan--lantas mengunci diri di dalam
kamar.
“Ify,
kenapa diem aja?” tanya pria yang ada di hadapan gadis itu.
“Ya
terus, Ify harus ngomong apa dong, Pa?” balas gadis itu--Ify--dengan
nada malas.
“Hush!
Nggak sopan,” tegur wanita di sebelah pria yang tak lain adalah papanya Ify.
Sedangkan wanita itu adalah mamanya.
“Mungkin
Ify kecapekan, Om, Tante. Tadi kan kelas Ify ada materi olah raga,” timpal
pemuda di samping Ify.
“Cihhh,
sok manis,” desis Ify tak kentara namun cukup sampai ke telinga pemuda di
sampingnya.
“Wah...
nak Rio care banget ya sama Ify. Sampai
tahu hal sekecil itu. Kamu beruntung sekali Ify.”
Beruntung?
Ify benar-benar muak. Dia lantas melempar tatapan membunuh ke arah Rio. Namun,
pemuda itu mengerling kemudian menjulurkan lidahnya. Hal tersebut tentu membuat
Ify semakin geram.
“Lalu,
kapan kalian akan menikah?” tanya mamanya Ify.
“Uhukkk...
uhuuukkk....”
Ify
tersedak. Tanpa aba-aba, Rio sudah menyodorkan segelas air putih untuk gadis
itu. Dia pun segera menegak air tersebut hingga setengah gelas.
“Mama!
Ify itu masih SMA. Kenapa ngomongin pernikahan sih?!” kesal Ify.
“Bentar
lagi juga lulus. Lagipula, kalau di-planning
dari sekarang kan lebih baik. Mama juga pengen cepet nimang cucu. Tante Menda
juga kan, Yo?” cerocos mamanya Ify yang kemudian menatap Rio.
“Iya
dong, tant. Rio aja gak sabar--”
“Awww!!!”
Rio
mendelik ke arah Ify. Gadis itu dengan sengaja menginjak kakinya.
“Loh...
kenapa, Yo?” tanya papanya Ify.
“Nggg...
nggak kok, Om. Cuman kena kaki meja,” jawab Rio berbohong.
“Ah kamu
itu. Makanya hati-hati. Tadi, mau bilang apa? Nggak sabar apa, Yo?” tanya
mamanya Ify.
“Itu...
nggak sabar... mau... mau cepet lulus. Iya gitu. Abis lulus kan Rio kuliah
sebentar terus abis itu Rio lanjutin perusahaan Papa.”
Setelah
itu, Ify tak mendengarkan lagi apa yang mereka bicarakan. Dia berkutat pada
makanannya yang tak kunjung habis.
***
Paginya,
Rio dan Gabriel sudah ada di gelanggang.
Mereka tengah melakukan one by one di
lapangan basket seperti biasa. Kemudian, seperti biasa pula, Rio menceritakan
semua kejadian ketika sengaja menunggu Ify sampai dipaksa untuk makan bersama
orang tua Ify. Tak henti-hentinya pemuda itu tersenyum setiap kali menyebutkan
nama Ify.
“Gue
seneng banget sumpaaahhh!!!” seru Rio.
“Seneng
palelu?! Itu Ify kasian kali, Yo. Dia kan nggak cinta sama elo,” seloroh
Gabriel.
“Cinta nggak
berlaku buat yang ini. Yang terpenting, bonyok Ify udah suka dan klik banget
sama gue. Tinggal nunggu si Ify aja maunya kapan gue nikahin,” ceplos Rio
dengan gaya tengil. Gabriel pun menjitak kepala pemuda tersebut.
“Dih!
Otak lo nggak bener nih udah ngomongin nikah segala. Sadar, Yo! Kita itu masih
SMA dan status kita belum lulus. Lo mau nyari ijazah apa ijab sah deh,” cerocos
Gabriel. Rio sendiri hanya acuh.
“Oh...
lo nggak mau gue undang ke pernikahan gue sama Ify? Oke.”
“Eh
nggak gitu juga kali. Siapa tahu kan jodoh gue ntar ada di acara pernikahan lo
sama Ify,” dengus Gabriel.
Rio
terkekeh geli. Sahabatnya itu memang sama konyolnya dengan dirinya. Hanya saja,
Gabriel tak melakukan hal-hal gila seperti yang dilakukan Rio. Misalnya,
mendoakan Ify putus dengan Alvin lalu berpaling padanya dan mereka akhirnya
menikah serta hidup bahagia selamanya seperti yang ada di dongeng-dongeng.
Di sisi
lain, Ify datang dengan mata bengkak. Hal itu membuat sahabat-sahabatnya heran.
Sebagai sahabat sejati, akhirnya mereka memutuskan untuk membolos bersama.
Cakka yang biasa membawa mobil sendiri pun segera menuju parkiran dan melajukan
mobilnya menuju gerbang dimana Ify, Zevana, Shilla dan Acha menunggu di sana.
“Ayo
naik!” seru Cakka.
Tanpa
ba-bi-bu-be-bo lagi, mereka naik ke mobil Cakka. Ify yang biasanya memilih
untuk duduk di samping Cakka, kini malah duduk di belakang karena sedari tadi
gadis itu sudah menempel di bahu Acha. Zevana pun duduk di jok depan.
“Untungnya
kita bisa bolos seenaknya. Jadi, nggak perlu nadahin kuahnya Miss R deh,”
celetuk Zevana.
“Lagian,
lo kenapa deh, Fy? Dateng-dateng mata udah bengkak, mana nangis lagi. Sebagai
gadis yang selalu tampil sempurna, lo nggak banget,” timpal Shilla yang
kemudian dipelototi sahabat-sahabatnya. Gadis itu hanya nyengir.
“Alviiinnn....”
“Kenapa
sama Alvin?” tanya Cakka mulai tertarik.
“Kita
putus. Huaaaaaa,” racau Ify yang kembali menangis.
“Kok
bisa?” tanya Acha.
“Ja...
jadi... semalem...”
Alvin sengaja datang ke rumah Ify tanpa memberi
tahu gadis itu terlebih dahulu. Niat ingin memberi surprise malah gagal karena
yang membukakan pintu justru papanya Ify langsung. Biasanya, setiap Alvin ke
sini, yang membuka pintu adalah pembantu Ify.
“Malam, Om,” sapa Alvin seramah mungkin.
“Iya. Mau apa?”
Alvin jadi kikuk mendengar nada tak bersahabat
dari papanya Ify. Tapi dia berusaha sebiasa mungkin.”
“Mau cari Ify. Ify ada?” tanya Alvin sopan.
“Tidur. Kamu pulang saja.”
“Tidur?” Alvin benar-benar curiga karena lima
menit yang lalu, Ify mengirim whatsapp kalau dia sedang menonton film.
Benar saja. Gadis itu muncul dari belakang
papanya dan membelalakkan mata.
“Loh... Alvin? Kok nggak bilang mau ke sini?”
tanya Ify terkejut.
“Tadi kata Papa kamu, kamu lagi tidur,” ujar
Alvin tak mempedulikan pertanyaan Ify.
Sejurus kemudian, Ify menatap papanya yang
sedang menatap dirinya dingin. Gadis itu mendadak gugup. Namun, sekali lagi.
Dia berusaha menyembunyikan semuanya supaya Alvin tak curiga.
“Masuk, yuk,” ajak Ify.
“Tapi...”
“Ekhem,” dehem papanya Ify.
“Ify. Masuk,” ujarnya dengan nada tegas.
“Pa--”
“Papa bilang masuk.”
Karena takut, Ify memilih diam. Dia lantas
melirik Alvin yang menganggukkan kepalanya. Mau tak mau, Ify menuruti perintah
papanya.
“Terus,
kok lo sama dia bisa putus?” tanya Cakka mewakili semuanya.
“Tadi
pagi Alvin jemput gue di gang. Pas di mobil, dia bilang kalau gue sama dia
udahan aja.”
“Fy, kita udahan ya,” ujar Alvin yang masih
tetap fokus menyetir.
“Hah?! Maksud kamu apa?” tanya Ify.
“Iya. Udahan. Aku sama kamu jalan
masing-masing, nggak kayak gini lagi. Kamu ngerti kan?”
Penjelasan Alvin bukan hanya membuat Ify
mengerti--seperti yang dia tanyakan--tapi juga membuat Ify cukup
lama terpaku dan membisu. Dia menatap Alvin tak percaya. Tanpa ada angin
apa-apa, Alvin berkata demikian secara tiba-tiba.
“Aku udah tahu semuanya. Orang tua kamu nggak
suka kan sama aku? Dan mereka akan jodohin kamu. Jadi, itu alasan kamu nggak
pernah ijinin aku main ke rumah kamu setiap kali ada orang tua kamu di rumah?”
jelas Alvin hingga membuat Ify terkesiap.
“Vin...”
“Mereka bener, Fy. Kita emang nggak sebanding.
Dan mungkin, mereka memilihkan orang yang sebanding sama kamu,” ujar Alvin.
“Tapi aku cintanya sama kamu,” balas Ify yang
matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku juga. Tapi, cinta nggak harus memiliki
kan?” tanya Alvin retoris.
“Semudah itu kamu ngelepas aku? Hanya karena
perjodohan sialan itu?”
Alvin tersenyum miris. Dia menepikan mobilnya.
Kemudian, pemuda itu memutar tubuhnya hingga menatap sosok Ify yang kini
menundukkan kepalanya. Lebih-lebih, Alvin tahu benar bahwa Ify tengah menahan
tangisnya.
“Aku nggak pernah ngelepasin kamu. Aku cuma
nggak mau kamu jadi anak durhaka, aku nggak mau gadis kesayangan aku dibenci
Tuhan karna nggak mau nurut sama orang tua, aku nggak mau terjadi apa-apa sama
kamu. Aku sayang kamu, Fy. Lebih dari apa yang kamu tahu.”
Rangkaian kata yang disusun Alvin berhasil
menohok hati Ify. Dia sendiri mengakui bahwa Ify sudah menentang orang tuanya,
berbicara tak sopan pula setiap kali membahas perjodohan itu.
“Perjuangin aku, Vin. Sedikit aja... aku
mohon,” lirih Ify.
“Tanpa kamu minta, aku udah lakuin itu. Kamu
tahu apa yang aku lakuin waktu Papa kamu minta supaya kita putus?”
Tanpa menunggu jawaban Ify, Alvin pun menjawab.
“Aku jatuhin harga diri aku dengan berlutut di depan Papa kamu. Tapi Papa kamu
bilang ke aku, aku nggak perlu melakukan hal bodoh itu karena keputusannya udah
bulat.”
“Kamu harus bahagia, Fy.”
Cakka,
Acha, Zevana dan Shilla hanya bisa diam mendengar cerita Ify barusan. Mendengar
begitu dewasanya sosok Alvin, membuat mereka sadar bahwa wajah saja Ify susah
menyia-nyiakan pemuda sebaik itu.
“Udah,
Fy. Jangan nangis lagi.”
Ify tak
peduli. Air matanya tetap mengucur tanpa dimintanya.
***
“Eh...
mereka bolos ya? Mentang-mentang bonyoknya berkuasa eh seenaknya aja bolos.”
Mendengar
ucapan Gabriel, Rio pun mengalihkan pandangannya menuju gerbang. Terlihat bahwa
Ify dan teman-temannya tengah naik ke mobil Cakka. Detik berikutnya, mobil itu
melaju meninggalkan Green Day SHS.
“Mau ke
mana, ya?” gumam Rio.
“Lo tadi
liat Ify nggak? Kok dia dipeluk Acha gitu terus kayaknya lagi nangis?”tanya
Gabriel.
“Ah,
masa sih?” balas Rio tak percaya.
“Serius.
Eh, itu temen sekelasnya Ify kan? Bentar. Heh!! Elo! Sini!”
Gabriel
memanggil anak laki-laki dengan rambut kribo. “Ada apa manggil gue?”
“Ify
sama kawan-kawan kenapa bolos ya?” tanya Gabriel to the point.
“Nggak
tahu. Tadi, Ify dateng ke kelas pake mata bengkak terus nangis. Abis itu,
mereka bolos,” jawab pemuda tersebut.
Setelah
mengucapkan terima kasih, pemuda itu pun berlalu. Meninggalkan Gabriel dan Rio
yang tengah berpikir keras.
“Jangan-jangan....”
Ujar Gabriel terputus.
“Jangan-jangan
apa?” tanya Rio.
“Lo abis
ngapa-ngapain dia ya? Lo nggak--”
“Sembarangan!”
potong Rio dengan nada tinggi.
“Kalo
yang lo maksud begituan, gue nggak mungkin ngelakuin itu. Lo tahu sendiri, gue
itu anak baik-baik meski kadang suka ngeres sih,” lanjutnya.
Gabriel
pun menjitak kepala Rio. “Awas aja kalo lo buntingin anak orang! Gue sate dan
gue bagiin daging lo ke ragunan... eh tapi kan badan lo tulang doang.”
Daripada
menanggapi ucapan Gabriel yang semakin ngaco, Rio memilih untuk meninggalkan
pemuda itu. Gabriel segera tersadar. Tapi, Rio sudah terlalu jauh hingga
membuat Gabriel hanya bisa berteriak.
“Yo!!!
Yo!!! Mau ke mana lo???!!!” teriak Gabriel ketika melihat sahabatnya itu
berjalan menuju parkiran.
“Nemuin
cewek gue lah!!!” seru Rio.
“Cewek
orang woiii!!!” balas Gabriel.
Rio tak
peduli. Dia menaiki motornya dan meninggalkan Green Day SHS, serta meninggalkan
Gabriel pula.
***
Sudah
larut malam, tapi Ify tak juga pulang. Rio sudah lelah menunggu Ify di depan
rumahnya sejak siang tadi. Orang tua Ify pun tidak ada di rumah saat ini.
Sampai sebuah sinar dari lampu mobil menyeruak ke dalam mata Rio.
Pemuda
itu nyaris tersenyum kala semua penghuni mobil itu keluar namun tak menampakkan
sosok Ify. Mereka berlari ke arah Rio.
“Om sama
Tante mana???” tanya Cakka dengan panik.
“Mereka
nggak ada di rumah. Lalu, Ify mana? Kok lo nggak sama dia? Bukannya--”
“Itu
dia!!! Ify nggak mau pulang. Dia masih ada di taman deket sini,” jawab Cakka.
Tanpa
basa-basi, Rio berlari menuju motornya dan bergegas menuju tempat yang dimaksudkan
Cakka tadi. Sampai di sana, Rio menepikan motornya dan melihat Ify tengah
terdiam di bawah pohon. Untungnya taman ini tak pernah gelap, Ify pun tak
mengenakan pakaian warna putih. Jadi, Rio tidak perlu merasakan kesan horor.
Rio
melangkahkan kakinya. Dia mendekati sosok Ify tanpa berniat mengganggu. Tapi
apa daya, Rio tak pernah bisa tahan berdiam ketika bersama Ify.
“Nggak
takut sendirian?”
Mendengar
suara yang amat dia kenal, Ify terkesiap. Rio sudah berdiri di depannya dengan
posisi membelakangi Ify.
“Ngapain
lo ke sini?!” ketus Ify.
“Suka-suka
gue dong. Ngapain lo ngatur-ngatur?” balas Rio nyolot--dan
tanpa dosa.
“Lagian,
lo jadi kayak orang patah hati gini,” lanjut Rio.
Sejurus
kemudian, Ify menangis. Rio membalikkan badannya dan terkesiap. Pemuda itu
lantas mendekati sosok Ify dengan panik. Tanpa sadar, kepala gadis itu sudah
bersandar di dadanya. Rio sendiri tak tahu persis kapan tepatnya posisi ini dimulai.
“Lo
kenapa?” tanya Rio sambil mengusap puncak kepala Ify.
“Ini
semua gara-gara elo tau!” hardik Ify dengan suara paraunya.
“Gue?”
tanya Rio dengan heran. Detik berikutnya, pemuda itu merinding karena mengingat
ucapan ngaco Gabriel ketika di sekolah mengenai ‘buntingin anak orang’. Tidak.
Rio masih waras.
“Gue
putus sama Alvin! Huuuaaa!!!” jerit Ify.
Rio
kelabakan sendiri, takut jika ada orang yang lewat lalu menuduh macam-macam.
“Heh
jangan kenceng-kenceng! Kalo ada yang lewat terus ngirain gue ngapa-ngapain elo
gimana? Gue mau aja sih tanggung ja--”
“BEGOOO!!!
Lo tuh cowok paling bego sekaligus sedeng yang sebenernya nggak mau gue
kenal!!! Gue sebel sama elo!!!” maki Ify memotong ucapan Rio sambil memukuli
tubuh pemuda itu.
“Aduuuhhh!
Sakit, Fy. Ampun ahhh woiii!!!”
Tangan
Rio berusaha menangkal tangan Ify yang terus memukulinya. Detik berikutnya,
sosok Ify sudah berada di pelukan Rio--satu-satunya cara untuk
menghentikan aksi brutal Ify--dan gadis itu hanya bisa terpaku menerima perlakuan pemuda tersebut.
***
1 Juni 2014 (Kelulusan SMA)
Sorak
sorai di Green Day SHS menggema ketika semua siswa dinyatakan lulus. Termasuk
Ify yang kini meloncat-loncat sambil memeluk sahabat-sahabatnya.
“Yeeeyyy!!!
Akhirnya kita lulus jugaaa!!!” seru Ify kegirangan.
“Iya iya!
Dan gue bisa kuliah di singapore,” sahut Shilla.
“Yahhh...
sayang banget ya kita musti pisah begini. Shilla ke singapore, Acha ke Aussy,
Cakka ke Los Angeles dan gue di UI,” keluh Zevana.
“Lo kan
sama Ify!” celetuk Cakka.
“Ya tapi
kan nggak asik berdua doang.”
“Bener
tuh kata Zevana,” timpal Ify.
“IFY!
IFY!” seru seseorang yang membuat pemilik nama--beserta
sahabat-sahabatnya--menoleh dan menunda pembicaraan.
Seorang pemuda
yang seragamnya sudah penuh coretan tengah menghampiri mereka¾atau
tepatnya Ify. Dengan senyum yang lebar,
pemuda itu menarik lengan Ify.
“Pinjem
Ify ya. Dadaahhh!!”
Sahabat-sahabat
Ify hanya bisa melongo begitu Rio--pemuda tersebut--membawa
Ify pergi dari hadapan mereka. Lalu, mereka pun geleng-geleng melihat dua
sejoli itu.
“Sejak
Alvin nggak ada kabar, mereka jadi deket. Gue berani taruhan, Rio mau nembak
Ify,” ceplos Cakka.
Detik berikutnya,
mereka mengangguk dan menyusul dengan niatan menguntit Ify dan Rio. Lebih tepatnya,
ingin menyaksikan acara penembakan pemuda tersebut.
Benar
saja, Rio membawa Ify ke tempat sepi. Mereka terlihat berbincang cukup lama.
Cakka, Shilla, Zevana dan Acha pun mendekat--tak kentara--supaya
bisa mendengar percakapan mereka.
“Fy,
mungkin di hati lo masih ada Alvin. Mungkin, nama gue belum bisa menempati
posisi itu seutuhnya. Begitu bukan?”
Ify
mengerutkan keningnya. Dia mulai paham arah pembicaraan mereka ini. “Sorry, Yo.”
“Nggak
pa-pa,” sahut Rio dengan senyum simpulnya.
“Tapi,
lo mau kasih kesempatan ke gue kan? Jadi satu-satunya pendamping hidup lo? Jadi
yang terakhir menempati hati lo? Gue janji, gue akan ngegeser posisi Alvin
seutuhnya,” lanjutnya.
“Tapi--”
“Gue
nggak becanda, Fy. Selama ini, gue tahu lo kesel sama gue. Gue tahu lo sebel
banget setiap gue godain. Tapi, di balik itu semua gue punya maksud supaya lo
selalu inget gue. Supaya elo selalu ingat gimana sosok Rio Feryata yang
menyebalkan di mata Ify Michella. Lo paham kan?” potong Rio.
“Yo...
jujur aja, gue terharu dengernya. Gue... gue....”
“Ify... please. Mau kan jadiin aku yang terakhir
di hidup kamu?”
Jantung
Ify sudah berdetak lebih cepat dari biasanya. Lidahnya kelu, begitu pula
tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Dia semakin salah tingkah ketika Rio
menatapnya seperti ini.
“Gimana?”
tanya Rio sekali lagi.
“Nggg...
oke.”
“HUUUAAA
THANKS IFFFYYY!!!”
Gadis itu
terkesiap ketika Rio menghapus jarak mereka dengan merengkuhnya. Detik berikutnya,
tubuh gadis itu terangkat dan terasa melayang-layang. Dia pun tertawa lepas,
begitu pula Rio.
“CIIIEEE!!!”
Suara-suara
yang amat dikenal mereka membuat Rio melepaskan tubuh Ify. Mereka pun berbalik
dan mendapati Cakka, Zevana, Acha, Shilla dan Gabriel sudah bersiul-siul sambil
menggoda. Ah, sejak kapan Gabriel berbaur dengan mereka?
“Kalian
ngintipin yaaa?!” hardik Ify dengan kesal.
“Ya
dong! Abisan bawanya ke tempat sepi. Ih, gue pikir mau diajakin mesum sama
onoh,” sahut Zevana tanpa dosa sambil mengarahkan dagunya ke arah Rio.
“Enak
aja! Gue laki-laki yang baik tahu!” sungut Rio.
“Hahaha.
Cie yang jadian, peje jangan lupa yaaa!!!”
seru Gabriel yang disetujui oleh yang lain.
“Tenang
aja. Ntar kalian dapet jatah pajak tiga kali,” jawab Rio.
“Apaan
aja,Yo?” tanya Acha.
“Pajak
jadian, pajak tunangan sama pajak nikah,” jawab Rio--tanpa
dosa.
“HEH?!
Lo sama bonyok sama aja deh ya. Ngomonginnya nikah mulu diiihhh!” sengit Ify
dengan nada sensi.
“Nggak
inget kata nyokap lo? ‘Mama pengen banget
nimang cucu’ ih Mama lo tahu banget apa yang gue mau,” ceplos Rio dengan
menirukan gaya bicara mamanya Ify.
Sejurus kemudian,
mereka semua--kecuali Ify--tergelak sampai mata mereka berair. Apalagi melihat ekspresi evil Ify yang sudah ingin menelan Rio
bulat-bulat serta tatapan ‘berani amat lo
bongkar aib gue?!’ membuat semua ini terlihat lucu.
Namun,
semua itu tak lama karena tiba-tiba bibir Rio sudah mendarat di kedua pipi
gadis itu. Rio mencium Ify di depan sahabat-sahabatnya. Mereka membelalakkan
mata dan bibir mereka pun menganga lebar.
“Akhirnya
dapet juga! Yeeeaahhh!!!” seru Rio kegirangan.
“RIIIOOO!!!”
“HAHAHA.
Alvin kalo nyium lo kan selalu pipi kiri, kalo gue dua-duanya. Jadi, level gue
sama Alvin tinggian gue dong?” goda Rio sambil memainkan sebelah alisnya.
“Anjay,
dia mulai ngeres,” ceplos Gabriel sambil menepuk keningnya.
***
END
0 komentar:
Posting Komentar