"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 08 Juni 2013

Cerpen - Pem(beri)besar Harapan Palsu


Judul    : Pem(beri)besar Harapan Palsu
Author  : Fanni Salma :)


            Matahari bersinar dengan cerahnya, memamerkan kebahagiaan saat ia dapat berbagi sinarnya yang selalu saja menembus jendela kamarku. Maka aku akan terbangun dengan malasnya, menganggap bahwa matahari terlalu cepat menampakkan dirinya, aku menguap lebar lalu bergegas menuju kamar mandi yang berada di depan ranjangku. Dengan langkah gontai aku mengambil handuk kemudian memasuki ruangan pengap itu, tak lama kemudian aku telah bersiap dengan seragam kebanggaanku. Seragam SMA Fairys, sekolah yang sudah setahun aku tempati, sekolah yang sangat diidolakan semua orang termasuk aku, bahkan aku tak pernah menyangka akan menjadi salah satu penghuni sekolah elit ini. Ah benakku mensyukuri semua ini.
            Lalu aku turun ke lantai bawah untuk melakukan aktivitas seharianku, apa lagi kalo bukan sarapan? Bau sedap yang menghampiri hidung capingku sangat menggoda. Mama selalu membuatkanku sarapan yang berbeda setiap paginya.
            “Pagi sayang,”sapa Mamaku masih dengan menggunakan celemek.
            “Pagi ma, pagi pa,”balasku. Papa yang sedang membaca koran –hal biasa untuk ukuran bapak- hanya mengangguk tanpa menoleh sedikitpun.
Segera aku mengambil tempat duduk lalu menghabiskan sarapanku. Setelah meneguk guava juice milikku, aku segera berdiri dan berpamitan kepada keduanya. Tentu saja aku akan berangkat bersama supir pribadiku sejak SD itu.
“Hati-hati Ify.” Aku hanya mengangguk lalu bergegas menghampiri pak Rahmat dan menuju ke sekolah kebanggaanku.
Ify Alyssa. Begitu namaku. Hampir semua orang di SMA Fairys mengenalku, bukan karena aku cantik atau pintar tetapi karena aku yang ramah. Aku mempunyai sahabat yang bernama Sivia Azizah, dia berbeda kelas denganku. Dan yang terpenting, diam-diam aku menyukai teman sekelasnya, ia bernama Mario atau Rio.
“Pagi fy,”sapa teman sebangkuku. Gabriel namanya. Ya, aku duduk dengan pemuda ini karena memang sudah aturan di kelasku untuk duduk dengan lawan jenis, parahnya jumlah laki-laki dan perempuan di kelasku sangat pas. Aku juga tak pernah tau kenapa bisa duduk dengan Gabriel, kata bu Ervy –wali kelaku- wajah kami mirip jadi dia menyuruhku untuk duduk bersamanya. Ah mirip dari mana coba?
“Pagi yel,”balasku.
“Istirahat ntar mau ke kelas Via lagi?”tanya Gabriel. Aku paham maksudnya, dia sudah lama menyukai sahabatku itu.
“Iya, napeh? Mau ikut?”tebakku. Ia hanya menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Mending lo tambak dia deh,”usulku. Gabriel menatapku sambil mendelik.
“Ah gue malu,”ucapnya.
“Malu? Punya malu lo?”candaku.
“Yee sialan,”balas Gabriel sambil meninju pelan bahuku.
“Haha, keburu diambil orang noh si Via. Dia lagi deket sama anak kelas sebelah loh, itu loh si Riko. Tau kan? Yang kapten sepak bola itu, kayaknya mereka ada apa-apa,”ucapku yang sebenarnya berbohong. Via memang sedang dekat dengan Riko tetapi hanya karena Riko itu pacar adiknya Via, namanya Oik.
“Serius?”tanya Gabriel sedikit shock.
“Kayaknya sih gitu,”ucapku yang sudah menahan tawa melihat respon Gabriel.
“Iya deh, secepetnya gue tembak dia,”kata Gabriel. Aku semakin ingin tertawa terbahak, ia sangat mudah untuk dibohongi.


***

Istirahat, aku dan Gabriel ke kelas Via. Jantungku berdegup kencang, beradu dengan nafasku ketika melihat sosok itu tersenyum padaku. Pemuda yang selama satu tahun ini membuatku terpana hingga kehilangan kata-kata. Siapa lagi kalau bukan Rio? Sosok itu selalu saja mengganggu pikiranku, bahkan aku pernah menolak banyak pemuda hanya dengan alasan masih menunggunya namun pada kenyataanya, penantianku tak pernah berujung sampai saat ini.
“Hai fy, Via mana?”tanya Rio yang duduk di sebelahku.
“Tuh.” Aku menunjuk dua sejoli yang sengaja aku tinggalkan.Gabriel dan Sivia. Sepertinya Gabriel benar-benar sudah jadian dengan Sivia, secepat itukah? Bahkan aku tak menyangka Gabriel akan melancarkan aksinya sekarang juga. Nggak romantis banget!
“Haha, jadi kacang lo?”candanya.
“Cewek cantik kayak gue nggak akan pernah dikacangin cuman yaa gue tau diri aja, nggak ngeganggu orang kasmaran,”elakku. Rio terkekeh.
“Pede amat lo?”balas Rio.
“Pede kan sebagian dari iman,”sangkalku. Lagi-lagi Rio terkekeh.
“Makanya nyari cowok donk!”seru Rio tanpa dosa.
“Maunya gitu cuman nggak ada yang srek aja,”ujarku. Dalam hati aku mengatakan bahwa aku lagi nunggu pemuda di depanku ini. Ah,
“Kalo sama gue gimana?” tiba-tiba jantungku seakan berhenti berdetak.
“Ahh apasih,”balasku. Dan lagi, ia terkekeh. Seandainya yang tadi bukan hanya candaan. Tuhaannn
“Kalo gue beneran suka sama elo gimana?”tanyanya tanpa menghentikan tawanya, sekarang aku yakin dia benar-benar becanda.
“Gimana yaa? Gue cuma suka sama bebeph Greyson,”balasku.
“Huuu dasar lo!” Rio mengusap puncak kepalaku. Aku semakin mematung dibuatnya. Ah kenapa aku semakin berharap kepadanya?
“Eh kalo pacaran jangan di sini,”celetuk Cakka –teman sekelas Rio- dengan khasnya.
“Ngiri lo?”balas Rio tanpa mengerti aku yang sedang mengatur detak jantungku.
“Ah apaan sih lo.” Cakka kembali ke bangkunya. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Aku dan Gabriel terpaksa harus kembali ke kelas.
Langkahku serasa mudah, entahlah ada kesenangan tersendiri ketika mengingat tingkah laku Rio tadi. Haruskah aku terus berharap? Entah mengapa aku yakin kalau dia juga menyukaiku. Rio, Rio, Rio. Nama pemuda itu masih saja bergelayutan di fikiranku. Bahkan hanya dengan mengingat senyumnya saja hawa dingin pada musim sekarang ini serasa berubah menjadi kehangatan.
Sesampainya di kelas, langkahku terhenti mendapati sebuah cokelat yang terpampang di atas mejaku. Milik siapa? Segera aku mendekati benda itu.
“Dari siapa nih?”tanyaku pada siapa saja. Gabriel sama-sama mengerutkan keningnya.
“Fans lo kali fy,”ujar Gabriel.
“Sejak kapan gue punya fans?” Gabriel mengangkat bahunya. Aku mengedarkan pandanganku, sepertinya yang lainpun tak ada yang mengerti, jelas saja, kelasku selalu tak berpenghuni saat istirahat.
“Nggak ada nama?”tanya Gabriel. Aku hanya menggeleng.
“Yowes disimpen wae,”ucap Gabriel dengan logat jawanya. Aku hanya mengangguk lalu menyimpan benda itu. Lumayan kan?


***


Sudah seminggu ini aku menemukan berbagai benda yang berbeda di atas bangkuku. Selama itu pula aku bertanya-tanya siapa yang melakukanya, bahkan teman-teman sekelasku tak pernah tau termasuk Gabriel yang rela bersembunyi di kolong meja seharian namun tak tertangkap juga siapa pelakunya. Hari ini aku memasuki kelas dengan gontai, apa lagi yang akan ku dapat? Aku harap dia menghadiahkanku seorang Rio, tak mungkin ya? Haha. Bahkan aku tak pernah melihat pemuda itu lagi. Saat aku ke kelas Sivia bersama Gabriel, dia malah menghilang entah kemana seakan dia sedang menghindariku. Atau memang perasaanku saja? Namun ku rasa dia memang menjauhiku.
“IFFYYY!!! SINI FYYY!!!!”seru Gabriel yang tengah berdiri di ambang pintu. Aku hanya mengerutkan kening.
“Sini cepeeeettttt!!!” Aku menuruti Gabriel lalu bergegas mennghampirinya.
“Kenapa?”tanyaku masih dengan tampang innocent.
“Nih! Gue nemu surat di bangku lo,”ucap Gabriel yang sebenarnya aku mengerti kalau dia sangat penasaran.
“Ah dari secret lagi?” Gabriel mengangguk.
Aku meraih benda tipis itu lalu membukanya perlahan namun tiba-tiba aku menghentikan aktivitasku itu.
“Kenapa?”tanya Gabriel heran.
“Kita buka di bangku aja,”kataku pelan sambil melihat sekeliling yang tengah ikut memperhatikan kami berdua. Gabriel ikut mengedarkan pandangan lalu mengangguk paham. Sejurus kemudian aku dan Gabriel kembali ke bangku.
“Buka!”koor Gabriel.
Perlahan aku membuka ujung amplop berwarna biru muda tersebut, ah warna favoritku. Benda itu mulai terbuka, aku mendapati sebuah kertas yang dilipat menjadi 2 bagian. Aku mulai membacanya,

Hai, lo penasaran sama gue ya? Ah kayaknya gue emang kegeeran deh.
Tapi kalo beneran penasaran, gue tunggu pulang sekolah di taman deket sekolah.
See my princess :)

‘Your secret admirer’

Sedetik kemudian aku dan Gabriel terkesiap, tak percaya dengan apa yang ada dalam surat tersebut. Bertemu denganya? Sejujurnya akupun sering mengharapkan manusia itu menampakkan diri di depan wajahku namun aku tak pernah menyangka akan secepat itu, tak sadar hatiku berdetak lebih cepat, apa ini? Apa aku mengenalnya? Rio? Ah ku rasa tak pernah mungkin.
“Lo nggakpapa?” lamunanku terbuyar karena pertanyaan Gabriel. Aku hanya menggeleng.
Tak lama kemudian bel masuk berbunyi ke seluruh penjuru ruangan. Aku segera memasukan benda itu ke dalam tas lalu berusaha berkonsentrasi dengan mata pelajaran yang di berikan oleh Miss Uchie walaupun pada kenyataanya rasa penasaranku akan manusia itu semakin mencuat.


***

Langit semakin cerah saja, membuat siang ini semakin terasa panas. Aku berdiri dari bangkuku. Kelas sudah kosong sejak lima menit yang lalu, begitu pula dengan Gabriel yang sudah pulang bersama Sivia, ia benar-benar mengkhawatirkanku namun aku meyakinkanya untuk tak perlu menemaniku dan pulang bersama sahabatku itu.
Aku mulai melangkah keluar kelas, sepertinya sekolah benar-benar tak berpenghuni padahal bel berbunyi baru lima belas menit yang lalu. Tanpa peduli lagi, aku meninggalkan sekolah elit ini dan menuju ke taman yang berada sekitar 1 km dari Fairys. Sesampainya di taman, aku tak melihat siapapun. Di sini sepi.
“Ini orang sengaja negrjain gue ya?”gerutuku sambil melipat tangan.
Tiba-tiba, sesuatu menyentuh bahuku. Aku terkesiap. Saat ku tolehkan kepalaku .... Mataku terbelalak memperhatikan manusia ini.
“Lo ngapain di sini?”tanyaku heran. Dia tertawa kecil.
“Gue yang kirim surat itu.” Aku mematung. Dia?
“Ja, jadii lo yang ....”ucapanku terputus.
“Iya, gue yang suka naroh sesuatu di bangku lo termasuk surat tadi pagi,”ucapnya yang mampu membuatku hampir terjingkat tak percaya.
“Cakka Nuraga, gue nggak suka dikerjain,”kesalku. Ya, Cakka, pemuda yang saat itu mengira aku dan Rio pacaran.
“Gue nggak lagi ngerjain elo fy,”katanya mulai serius.
“Terus maksud lo begini apa?”tanyaku dengan kaki yang sengaja aku hentak-hentakan pelan.
“Gue... gue suka sama elo fy, dari dulu, dari gue dikerjain kakak kelas buat nembak lo.” Aku cukup kaget dibuatnya, apa? Cakka menyukaiku? Tapi ...
“Lo becanda lagi? Haha,”sangkalku.
“Fy, dengerin gue!” Aku tersentak dengan perlakuan Cakka tiba-tiba, ia membuat jarak kami sangat dekat, dengan kedua tanganya yang berada di bahuku malah membuatku ketakutan.
“Selama ini gue nggakpapa bisa  mandangin elo aja, gue nggak marah waktu lo nyuekin gue, bahkan gue nggak pernah balas ngebentak lo waktu gue nggak sengaja malu-maluin elo dan berhasil bikin lo ngamuk, tapi apa gue salah kalo selama ini gue suka sama elo?” Aku menatapnya hampa.
Tanpa sadar, cengkraman tangan kuatnya telah melonggar di bahuku. Ia memegangi kepalanya. Berusaha menenangkan setiap gerak amarahnya. Akupun tanpa sadar tak dapat berkata apa-apa.
“Fy, gue suka sama semua yang ada di diri lo, lo mau kan jadi cewek gue?”tanya Cakka dengan nada lembut. Aku masih bingung. Haruskah?
“Ehmm itu guee, gue ....” aku mendadak tergagap, tak mungkin kan aku mengatakan yang sejujurnya? Aku menyukai Rio? Itu akan membuat hati pemuda ini semakin sakit. Tidak, aku tak setega itu.
“Gimana?”tanya Cakka dengan nada penuh pengharapan.
“Boleh gue mikir dulu?” Cakka dengan ramah mengangguk dan memamerkan senyumnya.
Setelah itu aku dan Cakka hanya menciptakan keheningan. Aku masih bingung, aku sibuk berfikir. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar mataku menangkap sosok yang selama ini aku impikan. Rio. Ya, pemuda itu tengah menggandeng perempuan cantik, mereka tertawa layaknya pasangan kekasih, hatiku tertohok. Aku menatap pasangan itu semakin menjauh, hanya saja tangan Rio yang memeluk pinggang perempuan itu seakan tercapture oleh ingatanku. Tanpa kusadari keringatku mulai bercucuran.
“Gue mau jadi cewek lo...”ucapku datar. Cakka yang mendengar segera berjingkat memelukku, namun aku hanya pasrah. Air mataku meleleh. Pemuda yang telah lama mengisi hatiku ternyata.... argh!             “Fy, lo kenapa? Nangis?” Cakka merasakan bahunya basah. Ia segera melepaskan pelukan itu.
“Lo kenapa nangis?”tanya Cakka khawatir.
“Nggak, gue nggakpapa.” Aku segera menghapus air mataku.
“Gue anter pulang ya.” Aku mengangguk lalu hanya menuruti tangaku yang digandeng Cakka atau lebih tepatnya laki-laki yang baru saja resmi menjalin suatu hubungan denganku. Ah.
“Mau mampir?”tawarku yang tentu saja dalam hati sama sekali tak berharap pemuda ini menganggukkan kepalanya.
“Nggak usah, kamu istirahat aja ya,”tolak Cakka menggunakan aku-kamu.
“Bener?” Cakka mengangguk sekali lagi.
“Aku pulang dulu ya.”
“Hati-hati,”pesanku. Tiba-tiba pemuda itu melangkah lebih dekat lalu mengecup puncak kepalaku.
“Ih apasihhh,”dengusku sedikit kaget.
“Hehe.” Cakka menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal lalu segera bergegas dari tempat ini.
Setelah memastikan Cakka telah menghilang dari penglihatanku, aku segera memasuki kamar untuk terlelap. Aku sangat malas, malas membayangkan pemuda itu, aku takut akan menangis kembali saat mengingatnya. Lalu apa maksudnya perlakuan manisnya kepadaku selama ini? Hanya untuk membuatku melambung tinggi lalu menghempaskanya begitu saja?
Ahh, aku tak bisa tidur. Bayang-bayang Rio bersama gadis tadi menghantui pikiranku. Sekarang aku tak tau harus melakukan apa. Menangis lagi? Untuk apa? Gabriel! Ya, aku butuh manusia itu sekarang juga! Dengan gesit aku memencet nomor phone cell Gabriel yang aku hafal di luar kepala.
“Hallo.” Mulai tersambung.
“Hallo yeelll,”ujarku parau. Ia pasti dapat mendengarnya.
“Ify? Kenapa lo? What’s a matter?”tanyanya terdengar panik.
“Rio yel Rioo...”lirihku.
“Rio kenapa? Dia ngelakuin sesuatu ke elo?”tanya Gabriel khawatir. Aku menceritakan kronologis ceritanya siang tadi.
“...Gue benci sama dia yel,”ucapku mengakhiri cerita.
“Gue tau perasaan lo, mulai sekarang lo jangan pernah punya perasaan sama dia lagi!” aku tersentak, hampir saja phone cell ditanganku melayang seketika.
“Tapi dia udah terlanjur jadi penghuni tahta hati gue, nggak akan mudah untuk menghancurkan semuanya tentang Rio yel. Nggak akan!”sanggahku.
“Dengan kayak gini, lo bisa nyakitin dua orang fy, Cakka dan diri lo sendiri!”
“Tapi yell...”
“Nggak ada tapi tapian! Lo harus lupain Rio!” sedetik kemudian Gabriel memutuskan sambunganya. Aku melemah.


***

Pagi ini aku tak bersemangat sama sekali. Langkahku terasa berat begitu juga dengan kepalaku. Apa ini? Bayangan Rio masih saja membekas oh mungkin bukan membekas lagi namun tetap terekam jelas diingatanu. Bukan karena wajahnya namun gadis itu, gadis yang sangat mesra dengan Rio. Tuhan, salahkah dengan ini? Aku mengharapkanya namun ada yang mengharapkanku tetapi di sisi lain Rio sedang mengharapkan gadis itu. Aku ingin mati dibuatnya.
“Kamu nggakpapa fy?” aku mengangguk lemah.
“Sepertinya kamu terlihat pucat.” Mama mencoba menyentuh keningku.
“Hangat,”gumamnya.
“Aku rasa kamu tak perlu berangkat ke sekolah.”
“Tidak ma, aku harus berangkat. Ify nggakpapa kok,”balasku dengan senyum yang dipaksakan. Biasanya Mama akan luluh jika aku bersikap seperti ini.
“Baiklah kalau itu maumu.”
Aku tersenyum tipis. Papa sudah berangkat ke Bandung tadi pagi, lalu aku akan berngakat bersama supir itu lagi. Ehhh..
Tiiinnn tiiinnnn
Bunyi klakson mobil seseorang menyadarkanku.
“Biar mama yang buka,”ucap Mama lalu bergegas membukakan pintu. Tak lama kemudian ia kembali.
“Ada teman dekatmu Ify sayang,”ucap Mama yang membuatku mendongak dan mendapati  Cakka tersenyum manis kepadaku.
“Kamu menjemputku?”tanyaku.
“Iya, memang siapa lagi?”canda Cakka.
“Kenapa kamu nggak cerita punya pacar setampan ini?” Mama membuatku tersipu.
“Mau sarapan bersama?”tawar Mama kepada Cakka.
“Makasih tante, tapi saya sudah sarapan di rumah.” Mama tersenyum mendengar ucapan Cakka yang sangat sopan.
“Cepat Ify! Jangan buat orang ganteng menunggu terlalu lama.” Aku mendengus sebal, sarapan itu harus dinikmati!
“Iya ma, ini udah.” Aku segera menyelempangkan tas punggungku dan menyalimi Mama.
“Ify berangkat,”kataku.
“Permisi tante, saya ijin bawa Ify.” Mama mengangguk sambil tersenyum.
Kepalaku masih penat. Di mobil Cakka, aku terus-terusan diam. Cakka memperhatikanku setiap detik namun ia tetap memilih diam, aku tau karena aku sedikit meliriknya. Sesampainya di sekolah, aku dan Cakka turun diikuti banyak pasang mata yang menatap kami heran.Oh tentu, mana mungkin seorang Ify Alyssa dapat bersanding denganpemuda tampan ini? Apa ku bilang? Tampan?
“Mau ku antar sampai kelas?”tanya Cakka.
“Terserah kamu saja,”jawabku.
“Ayo!” Ia menarik lenganku. Sejujurnya aku merasa takut karena para gadis ini seakan mengejudgeku melalui tatapan-tatapan naasnya.
“Belajar yang bener,”ucap Cakka sembari megusap puncak kepalaku.
“Iya,”balasku. Dan tanpa sadar ia malah mengecup keningku. Oh tidak, ku lirik mereka ingin menerkamku! Namun aku tak berontak, ku lihat Rio memandang aku dan Cakka dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aku kembali ke kelas.” Aku hanya mengangguk, Cakka kembali ke kelasnya sedangkan aku juga masuk ke kelasku.
Ku lihat Gabriel sedang bersama Sivia di bangkuku. Mereka menatapku dengan senyum anehnya. Apa lagi? Ah perasaanku tak enak.
“Ciiee mesra banget,”goda Via.
“Kapan-kapan gue contoh si Cakka ah,”timpal Gabriel.
“Apasih lo!”
“Haha, eh gue balik ke kelas ya.” Gabriel mengantar Sivia ke kelasnya.
Sesaat mereka berdua pergi dari hadapanku, Phone cellku bergetar. Tumben sekali ada yang sms pagi ini. Mataku terbelalak mendapati sender ‘Rio’ . hah?

Sender: Rio

Nanti malam aku ingin menelponmu.

Aku tak berniat membalas meski rasa penasaran masih saja menggelayuti benakku. Untuk apa? Untuk mengatakan bahwa ia telah mempunyai gadis itu? Atau untuk membuatku semakin terjatuh?
“Kenapa lo?” Gabriel membuatku terlonjak kaget.
“Ah engga,”jawabku. Gabriel hanya membulatkan bibirnya.


***

Pulang sekolah aku diantar Cakka. Ah pemuda ini begitu baik. Tak seperti Rio yang dengan mudah membuatku terbang namun dapat menghempaskanku kapan saja.
“Makasih,”ucapku kepada Cakka.
“Iya, aku pulang dulu ya,”balas Cakka. Aku hanya meniyakan.
Setelah itu aku menujukamar dan  merebahkan tubuhku di sana. Ah lelah, entah mengapa ini malah menjadi semakin melelahkan ketika wajah Cakka terbesit begitu saja. Pemuda yang tak pernah aku fikirkan sekalipun. Bahkan tak pernah aku ingat dan selalu terabaikan olehku.
Entah, aku terlalu lelah mengerti semuanya. Ku putuskan untuk tidur.
“Ify, bangun!” aku membuka sedikit kelopak mataku. Terlihat mama memandangku dengan decak heranya.
“Kamu tidur terlalu lama, cepetan mandi.” Aku menguap lebar lalu menuruti mama.
Seusai mandi aku merasa lebih segar. Jam tujuh malam? Selama itukah aku tidur? Haha, bahkan aku tak menyadarinya. Aku fikir ini masih jam tiga sore tapii... jauh dari perkiraan. Setelah itu aku bergegas makan malam bersama papa dan mama.
“Ify ke kamar dulu ya pa, ma,”ucapku seusai makan malam.
“Iya.”
Aku segera menuntun langkahku menuju kamar dan mendapati phone cellku berdering melantunkan lagu “ I am Yours “. Segera ku raih benda itu lalu menatap layarnya yang kini memamerkan nama Rio. pemuda ini jadi menelponku?
“Hallo,”kataku.
“Hallo fy,”balasnya.
“Kenapa yo?”tanyaku heran.
“Ah enggak, pengen telpon elo aja nih,”jawabnya.
“Oh.”
“Emm fy...”
“Apa?”
“Guee...” Aku mengerutkan kening, kenapa tiba-tiba Rio jadi suka menggantungkan ucapan?
“Apa yo?”tanyaku.
“Gue suka sama lo.”
Hah? Apa aku tak salah dengar? Lalu, laluu? Cakka? Tapi kejadian saat itu apa maksudnya? Rio, jangan permainkan aku please. You don’t now my feel.
“Gue serius suka sama lo.”


***

Berita putusnya aku dengan Cakka menjadi tren topic pagi ini. Ah seminggu lebih jadian denganya ternyata memberi kesan yang manis untukku. Aku tau dia lebih sakit tapi aku juga tak ingin menipunya. Bagaimana mungkin aku harus bersamanya namun hatiku masih teruntuk Rio? Ya, pemuda itu alasan segalanya.
“FY!!” aku menengok lalu mendapati Gabriel memanggilku dengan terseok-seok.
“Kenapa lo?”
“Rio jadian sama Aren.”
Hah? Apaa? Aku tak salah dengar? Tapi seminggu yang lalu dia bilang kalo .... ARGH! Brengsek! Gue benci elo yo!
Dengan langkah yang masih berat aku menuju ruang music. Hatiku tersayat menerima kenyataan ini. Alasan yang membuatku menyia-nyiakan Cakka, alasan yang membuatku rela mengorbankan pemuda baik itu, alasan yang membuatku menjadi gadis rapuh, alasaann ....
“Maafin gue kka,”ucapku dengan air mata yang keluar tanpa ku kehendaki.



I always needed time on my own
I never thought I’d need you there when I cry
And the days feel like years when I’m alone
And the bed where you lie is made up on your side

When you walk away
I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now?

When you’re gone
The pieces of my heart are missing you
When you’re gone
The face I came to know is missing too
When you’re gone All the words I need to hear to always get me through the day
And make it OK
I miss you

I’ve never felt this way before
Everything that I do
Reminds me of you
And the clothes you left they lie on my floor
And they smell just like you I love the things that you do

When you walk away
I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now?

When you’re gone
The pieces of my heart are missing you
When you’re gone
The face I came to know is missing too
And when you’re gone
The words I need to hear to always get me through the day
And make it OK
I miss you

We were made for each other
Out here forever
I know we were

Yeah Yeah
All I ever wanted was for you to know
Everything I do I give my heart and soul
I can hardly breathe, I need to feel you here with me
Yeah

When you’re gone
The pieces of my heart are missing you
When you’re gone
The face I came to know is missing too
When you’re gone
The words I need to hear will always get me through the day
And make it OK
I miss you 


***

1 komentar:

Hasni Hamzah mengatakan...

(k) (h)

Posting Komentar