"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Sabtu, 08 Juni 2013

Cerpen - Aku dan Kamu Sulit menjadi Kita


Judul: Aku dan kamu sulit menjadi kita
Author: Fanni Salma

-Aku dan Kamu Sulit menjadi Kita-



                Terkadang perbedaan memang anugerah untuk saling melengkapi, hanya saja ada kalanya membunuh. Hal yang sangat menyakitkan. Aku sendiri tengah mengalami kepahitan itu, terbunuh oleh perbedaan dimana perbedaan itu tak akan pernah melebur. Laki-laki tampan itu membuatku terjerumus dalam jeratnya. Dia mencintaiku, aku pun begitu. Sekali lagi, perbedaan membatasi dinding kami hingga pada dasarnya aku menyadari bahwa kata perbedaan tak pernah berubah menjadi pelengkap. Dia, Mario Stevano Aditya dengan Haling sebagai marganya. Sudah jelas, dia terlahir dari darah kristiani sedang aku seorang muslimah. Mengerti kan? Kami terbenteng oleh agama. Cinta butuh perjuangan, lalu bagaimana kami berjuang melawan agama? Tak mungkin! itu sama saja kami mempermainkan agama. Tidak boleh!

“Aku harus gimana fy?” laki-laki itu menatapku sayu.

  “Lupain aku,”ujarku pedih.

  “Apa kita gak bisa bertahan?”tanya Rio dengan harapan.

  “Jangan bodoh! Mana bisa kita bertahan atas nama agama?”tukasku.

  “Aku mohon.” Aku menghela nafas panjang lantas tak sengaja menangkap salib yang tergantung manis di lehernya lalu melirik jilbab putihku, semakin mempertegas kata ‘perbedaan’ antara kami.

  “Tidak Rio,”tegasku disertai  gelengan pelan.

  “Kita masih bisa berteman,”tambahku.

  “Oke.” Rio tersenyum paksa. Diam-diam aku ikut lega mendengarnya.


***


  Matahari tersenyum malu dibalik kapas di langit Tuhan. Aku tak kuasa untuk membuka mata kembali, menikmati pancaran keajaiban Tuhan serta mencoba memulai langkah baru hari ini. Tanpa ragu, aku melangkah ke sekolahku, SMA Al-Izhar. Dari namanya saja kalian pasti tau kalau aku sengaja mengenyam pendidikan di sekolah berbau islam. Kentara sekali alasan mengapa aku ‘menyudahi’ dibanding ‘mempertahankan’ kata perbedaan kami.
Aku terus menyeret langkah menuju kelasku, XII IPA 1. Oh iya, aku punya sahabat yang bernama Sivia, kerap disapa Via.

“Hai Ify,”sapa Via disertai rakahan bibirnya.

  “Hai juga vi, tumben udah berangkat?”tanyaku sambil meletakkan tas yang tadinya terselempang di bahu kiriku.

  “Aku mau berbagi ilmu sama kamu,”jawabnya sambil cekikikan.

  “Apa?”tanyaku bersemangat, tanpa sadar posisi kami telah berubah.

  “Kemarin aku ikut seminar, temanya cinta tapi beda.” Seketika sekujur tubuhku mendadak terasa kaku.

  “Tau gak? Aku merinding dengernya, mendadak otak aku mengingat Gabriel....”ucapan Via terputus, dia sempat melirikku.

  “Andai aja aku masih sama Gabriel, Allah pati marah banget ya sama aku,”ujarnya. Aku terkesiap mendengarnya.

  “Jadi.. aku pikir .... keputusan kamu menyudahi itu yang terbaik,”lanjut Via. Aku tersenyum getir kemudian berucap, “Iya vi.”

Kami sama-sama terdiam, tak menyangka nama Gabriel akan terucap dari bibir sahabatku. Pemuda yang tiga tahun lalu mampu merenggut hati Via dan pada kenyataannya, kisah Via-Gabriel dan Ify (aku)-Rio sama-sama berakhir dengan luka. Ayah Via yang seorang ustadz semakin memperjelas berakhirnya kisah mereka, tak jauh dari ayahku yang merupakan lulusan pondok Gontor. Bagaimana mungkin kami menyatu tanpa menengok agama yang telah ayah tanamkan sejak dini? Jawabannya tidak akan mungkin.


Ketika cinta bersemi
Agama mulai berpetuah
Sampai daging mengikis tak tersisa
Tulang mulai terkeropos tiada salah
Bahkan hingga rapuh menjalar
Agama masih tetap berpedoman
Aku dan kamu tak mungkin menjadi kita


  Pulang sekolah, aku dan Via berjalan keluar. Kami menunggu angkot yang biasa membawa kami pulang bersama meskipun harus rela menunggu lebih lama karena rumahku dan rumah Via berbeda  gang. Aku dan Via duduk di kursi panjang seperti biasa. Jilbab kami melambai terhempas angin, hingga aku menyadari ada sebuah suara yang menyerukan namaku. “Ify...” aku menengok namun tak ada satupun manusia selain aku dan Via. “Ify.....” lagi-lagi suara itu terasa nyata.

“Via, denger sesuatu?”tanyaku.

“Apaan? Orang aku nggak denger apa-apa kok,”jawab Via dengan kening berkerut. Aku hanya diam, semakin lama suara itu semakin hilang.

“Tuh angkot! Yok fy!” aku tersadar lalu mengangguk lantas mengikuti langkah Via.

Kami duduk berhadapan. Tak lama kemudian angkot itu membawa kami untuk pulang. Di tengah perjalanan, kami harus melewati sekolah Rio. SMA Maria Santa. Aku menghela nafas, melirik bangunan megah itu dengan pandangan nanar. Rio tak lagi berdiri di depan gerbang seperti biasanya. Dalam celah hatiku, aku merasa bersalah tapi lagi-lagi aku menepisnya. Tidak! Ini yang terbaik.

“Jangan diliatin mulu,”celetuk Via. Aku hanya tersenyum masam.

        “Inget, kamu sama dia itu beda.” Aku memejamkan mata sejenak, hanya untuk menetralkan perasaan yang mulai membuncah. Sesusah inikah jatuh cinta?

       “Aku duluan ya Vi.” Sivia mengangguk, aku turun dari angkot lalu memberikan uang sebesar dua ribu rupiah pada sopir angkot itu.

Aku berjalan menuju rumahku. Iya, rumahku berada di dalam gang. Namun langkahku mendadak terhenti ketika melihat siapa yang sedang berada di depanku sekarang, menghalangi jalanku dan sedikit membuatku tersentak. Rio. Ya, pemuda itu tersenyum manis kepadaku seperti biasanya.

“Kamu ngapain di sini?”tanyaku.

“Cuma pengen ketemu kamu.” Hatiku mencelos.

“Mau jalan-jalan?”tawarnya ketika melihatku tak mampu menjawab.

“Aku harus pulang,”jawabku menolak ajakannya.

“Sebentar saja.” Aku menghela nafas panjang lantas mengangguk pasrah. Aku tau, akan sulit menolaknya.

Kemudian aku dan Rio berjalan menuju taman dekat gang. Kami duduk di dekat pohon. Aku menatap jilbab putihku yang telah bernoda sedang Rio masih sibuk dalam lamunannya. Aku pun memilih diam, sambil melirik lagi lehernya lalu menghela nafas panjang karena harus menangkap benda itu lagi. Semakin sulit untukku melepasnya.

“Fy...” aku menoleh, tersadar dari pikiranku.

“Iya.”

“Masih inget gak? Dulu aku sama kamu sering banget ke sini pulang sekolah,”ujarnya. Aku terdiam lantas mengangguk.

“Di tempat ini aku kasih tau kamu semunya tanpa satu pun yang terlewatkan. Kita semakin dekat sampai kata ‘teman’ itu terasa malas diucapkan, aku dan kamu punya rasa yang sama tapi hubungan kita masih sebatas ‘teman’. Hhh.... baru setelah lama banget kita jadian, aku kira setelah itu kita akan terus sama-sama sampe aku dan kamu terkubur dalam liang lahat. Tapi sekarang? ....” ucapan Rio terputus.

“Sekarang semuanya seakan musnah seketika. Aku gak bisa ngulang semuanya dari awal karena kamu menghentikan semuanya. Aku sadar, di sini memang bukan kita pemeran utamanya.” Rio terdiam lagi.

“Maaf..”lirihku.

“Apa aku boleh tanya sesuatu?” Aku hanya mengangguk sambil menatapnya sendu.

“Alasan apa yang membuat kita berbeda?” aku tertegun mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibirnya. Ah,

“Jangan tanya itu yo! Aku nggak mau semakin berat melepas kamu...” pelan namun pasti air mataku meleleh. Rio segera merengkuhku.

“Jangan pernah melepas aku fy! Kita emang beda agama, tapi apa salah kalo perasaan kita sama?” aku terus menangis, mengapa jatuh cinta sesakit ini?


***


Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin
Iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta takkan bisa
Pergi...

Satu bulan ini aku tak mendengar kabar dari Rio. iya, aku merindukannya. Aku merindukan mata teduhnya. Hari ini aku sudah pasrah, menyiapkan segala ujian yang mungkin sedang direncanakan Tuhan sebaik mungkin. Meskipun semua organku seakan memaksaku untuk bertemu dengan Rio. Mario Stevano Aditya, kemana kamu?


***


Aku terdiam menatap langit-langit kelas. Menatap hambar kertas tugas yang sedari tadi sudah terselesaikan olehku. Tak lama kemudian bel istirahat berdering dengar nyaringnya. Aku masih diam, tak bergairah untuk melakukan aktivitas apapun.

“Ify.. sampai kapan kamu menangisi Rio?”tanya Via dengan nada prihatin.

“Aku tidak menangisinya,”bantahku.

“Jangan bohong!” Aku bungkam.

  “Buka hatimu untuk Cakka, dia seiman sama kamu. Lagi pula, dia tak kalah menarik dengan Rio.”

“Aku belum bisa,”jawabku pelan namun cukup terdengar olehnya.

“Kamu pasti bisa! Jangan biarkan Rio tak tenang di alam sana.” Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan tentang kepergian Rio. Iya, dia meninggalkan aku selamanya. Dia yang melepasku saat da tak pernah mengijinkanku untuk melepasnya.

*flashback*

Siang itu seorang gadis datang kepadaku dengan tergopoh-gopoh, menatapku dengan mata sembabnya. Aku mengenalnya, dia Dea Christa. Gadis itu adik Rio. Aku hanya menatapnya bingung, selama ini aku memang akrab dengannya.

“Rio tidak di sini de,”ujarku yang mengira dia mencari Rio.

“Iiya, aku tau teh. Kak Rio lagi di Rumah Sakit. Kak Rio ingin ketemu sama teteh,”balasnya tanpa berhenti mengeluarkan cairan bening itu.

“Di rumah sakit?”tanyaku memfrasekan.

“Iya teh! Dea mohon ya sekarang teteh ikut Dea.” Tanpa menunggu lagi, aku dan Dea menuju rumah sakit.

Rio terbaring lemah. Aku masuk ke ruangan itu dengan nafas sesak, sambil menatap miris tubuh Rio yang tergeletak lemah tak berdaya. Tak lama kemudian mata Rio terbuka dan tepat saat itu juga pandangan kami bertemu. Dia tersenyum kepadaku meski tak begitu terlihat. Aku pun tak sanggup membalas, malah menangis sejadi-jadinya.


“Kenapa nangis?”tanya Rio dengan senyumnya. Dea berdiri di belakangku dengan tatapan miris, sedih dan bahagia.

“Maaf ya udah bikin kamu nangis. Aku harap ini tangisan kamu yang terakhir. Makasih ya fy, kamu udah ngasih sesuatu yang berarti untukku. Kita emang gak bisa bersatu di sini tapi aku harap kita bisa bersatu di sana, aku sayang kamu sampai kapanpun.” Aku semakin menangis mendengarnya.

“Kamu ngomong apa sih yo! Kamu itu baru bangun, jangan ngomong dulu!”bentakku.

“Aku Cuma nggak mau menyesal. Kalo aku diem dan tiba-tiba Tuhan jemput aku, aku nggak bisa pamitan sama kamu,”jawab Rio lirih.

“Please yo!!”

“I’ll be there for you, Alyssa.” Sedetik kemudian garis bergerak itu berubah menjadi garis lurus. Tubuhku serasa lemas, Rio pergi!


Jemariku menggapaimu dalam doa
Tanganku meraihmu dengan cinta
Kita memang tak sama
Aku dan kamu bukan kita!
Tapi salahkah perasaan atas nama kita?
Hingga semua merenggutmu dalam duka

Gundukan tanah merah itu masih basah. Bunga itu masih wangi. Begitu pula air mataku yang tak berhenti menngalir, membuat aliran sungai kecil. Harushkah secepat ini kisah aku dan kamu? Semua berakhir yo, hanya saja perasaanku masih sama. Meski terbenteng oleh agama, tetap saja aku tak pernah bisa melawan rasa ini. Bahkan rasa ini semkin dalam ku rasakan hingga aku tenggelam tanpa tau caranya kembali ke dasar. Itu semua karena kamu, Mario.

“Teh, maafin Dea ya. Dea gak ngasih tau teteh kalo kak Rio punya penyakit kanker darah sejak SMP soalnya kak Rio ngelarang Dea.” Aku menatap gadis manis ini, tak setetespun air mata mengalir pada saat pemakaman Rio.

“Teteh ngeri kok de,”ujarku.

“Teh, ini dari kak Rio.” Aku menerima sepucuk surat yang tertera namaku di amplopnya.

“Dia bikin itu jauh ketika kalian jadian tapi kayaknya ditambahi kak Rio lagi,”tambah Dea. Aku hanya mengangguk lalu berucap terima kasih lantas berpamitan.


I'm broken
Do you hear me
I'm blinded
Cause you are everything I see
I'm dancing, alone
I'm praying
That your heart will just turn around

                Aku mematut diriku di depan cermin. Lalu berjalan menuju tepi tempat tidur. Aku menatap surat itu lama, kemudian membukaya perlahan.

Dear Alyssa (Ify),

Heii fy, saat kamu buka surat ini tentu aku udah balik sama Tuhan. Maaf ya aku nggak kasih tau kamu tentang penyakitku, aku gak mau kamu anggep aku lemah.
Fy... sebelumnya aku mau ngasih tau kamu, aku udah lama jatuh hati sama kamu. Sampai akhirnya aku sama kamu jadian, udah berapa lama yaa? Ah yang jelas nggak selama sisa umurku. Sebelumya aku tau ini pasti terjadi, masalah agama. Aku sama kamu sama-sama punya Tuhan, hanya saja kita beda dalam menyebutnya. Aku tau kamu selalu melirik salib yang selama ini tergantung di leherku. Sejak itu pula aku menyadari, aku dan kamu sama-sama keukeuh dalam agama.

Fy....Maaf, karena aku, kamu bingung menyikapi semuanya. Aku pun begitu. Satu pertanyaan yang selama ini terlintas di otakku, mengapa aku dan kamu sulit menjadi kita?

Ify... mulai sekarang carilah laki-laki yang seiman denganmu. Bukan mempertahankanku. Aku percaya laki-laki itu lebih baik dariku. Kita memang dibentengi oleh agama, namun perasaanku padamu tak pernah terhalang oleh apapun. Kalau kita memang jodoh, semua pasti akan baik-baik saja.

With Love,
Mario

*flasbackoff*

***

When you’re gone
The pieces of my heart are missing you
When you’re gone
The face I came to know is missing too
When you’re gone
All the words I need to hear to always get me through the day
And make it OK
I miss you

 “Ify, kok ngelamun?” aku tersadar.

“Eh maaf , tadi ngomong apa?”tanyaku gelagapan.

“Besok ada doa bersama buat ujian kelulusan, ikut kan?”tanya Cakka.

“Iya...” pikiranku kembali pada Rio.

“Harusnya kamu ikut berjuang buat ujian sama bareng aku yo.. tapi lihat, aku nepatin permintaan kamu kan? Aku udah dapet pengganti kamu, dan....seiman”desisku dalam hati.

“Sekarang pulang ya cantik, yuk!” aku mengangguk lalu mengikuti langkah Cakka. Iya, aku dan Cakka. Bukan Mario.

***

2 komentar:

Arini Miftahul mengatakan...

bagus :'(
baguuss :"(
baguuusss :'"(

Noverita Po mengatakan...

bagus,,,
perbedaan itu memang tidak bisa bersatu
jujur aku juga merasakan cinta beda agama, tapi kami sadar bahwa percuma kami menjalani hubungan karena pada intinya kami tidak bisa bersatu dan memilih untuk berteman walau berat rasanya

Posting Komentar