Tittle: Lembayung dan Senja
Author: Fanny Salma
Lembayung
dan Senja
Satu lagi kisah tentang
kehidupan, tentang cinta yang mengawali semua mimpi dan tentang perjuangan
bernama harga diri. Ini kisahku dan ibuku sendiri. Aku, Kaila Saufika dan Ibuku
bernama Fatimah. Ya, hanya Fatimah. Sederhana seperti sosoknya. Ibuku bekerja
sebagai pedagang kue sedangkan ayahku sudah pergi dua tahun lalu saat aku duduk
di bangku SD. Bukan meninggal tetapi sengaja pergi tanpa kami. Kini aku telah
menjadi sosok anak SMP dalam balutan seragam putih biru dan ibuku masih
bertahan dengan pekerjaan yang sama hanya untuk aku dan adik laki-lakiku yang
berumur 8 tahun, bernama Khalif Arsyadi.
Mentari masih malu
menunjukkan batang hidungnya namun ibuku sudah berada di dapur, membuat
macam-macam kue yang nantinya akan beliau titipkan ke warung-warung. Tentunya
semua ini dilakukan hanya untuk aku dan adikku, untuk kami supaya tetap bisa
bersekolah sampai setinggi-tingginya. Walau itu terlihat mustahil, melihat
ekonomi kami yang serba pas-pasan tetapi ia tak pernah letih memberi semangat
bahwa ia akan tetap bisa menyekolahkan kami.
“Belajar saja. Ini
bukan tugas kamu, nak,”ujar Ibu dengan senyum kebanggaannya ketika aku meminta
untuk membantu. Peluhnya sudah terlihat jelas di pagi yang buta ini.
“Kaila sudah belajar,
Ibu tenang saja. Biar Kaila bantu ya,”balasku dengan keukeuh.
“Belajarlah. Ibu ingin
kamu lebih pintar dari Ibu. Jadi Kaila nanti bisa mewujudkan cita-cita Kaila.”
Aku menghela nafas beratdan memilih mengiyakan perintahnya
Tepat pukul 06.45 aku
sudah berada di sekolah. SMP Cakrawala, SMP elit di kota Bandung. Nyatanya aku
bangga menjadi anak beasiswa meski terlihat ‘berbeda’ dari anak-anak di sini.
Tak lama setelah aku mendaratdi bangku paling pojok di depan, bel masuk
menjerit sampai ke penjuru sekolah. Datanglah wanita cantik yang kira-kira
sudah berkepala empat.
“Selamat pagi,”sapa bu
Wahyuni. Wali kelasku.
“Pagiiii buuuu!”
“Materi kali ini
tentang proses pencernaan pada tubuh manusia.” Bu Wahyuni mulai menjelaskan
materi hari ini. Banyak anak-anak yang tak berminat mendengarkan ha-hal yang
sedang disampaikan oleh beliau karena dirasa rumit. Namun aku tetap setia
berusaha memahami apa yang beliau sampaikan.
***
Aku dan ibu tengah
menjajakan kue di sore hari, Khalif sedang menjaga rumah. Ini adalah rutinitas
kami supaya tak hanya mengandalkan uang kue yang dititipkan di warung saja.
Setelah semua terjual habis, aku dan ibu duduk direrumputan dekat rumah pak RT.
Hanya untuk melepas penat. Meski langit mulai gelap, kami tak juga beranjak.
“Itu senja,”ujar Ibu
sambil menunjuk langit.
“Warnanya indah. Kaila
tidak pernah memperhatikan,”balasku sambil ikut menatap langit sore.
“Warna lembayung.
Sangat indah, ibu selalu suka.” Aku menoleh ke arah ibu dan menangkap guratan
kebahagiaan ketika ia menatap sang senja. Diam-diam aku ikut tersenyum
melihatnya.
“Senja terlalu indah
hingga cepat berlalu, nak,”tambah Ibu. Beliau kini menatapku. Aku mengangguk
setuju karena sebentarlagi memang akan benar-benar gelap.
“Itu berarti kita harus
selalu ingat kalau tidak selamanya kita berada di dunia, suatu saat kita akan
dikirim ke akhirat untuk sesuatu yang bersifat abadi jadi disini kita harus memprioritaskan
bantu-membantu. Tuhan selalu memberi kebahagiaan kalau kita mau bersyukur,”lanjut
Ibu.
“Termasuk kalau kita
punya masalah?” entah bagaimana pertanyaan itu terlontar begitu saja dari
bibirku. Mengingat bahwa kami lebih sering tertimpa masalah. Bahkan tadi sempat
ada pelanggan yang memarahi ibu karena harga kue yang katanya kemahalan,
padahal dia tidak pernah tau bagaimana susah payah Ibu membuatnya.
“Orang yang selalu
bersyukur adalah orang yang benar-benar menikmati hidup. Percaya sama Ibu,
Tuhan tidak pernah lepas tangan atas masalah yang sedang kita hadapi,”ucap Ibu
sambil mengusap puncak kepalaku.
“Sudah gelap. Ayo
pulang bu, kasian Khalif,”ajakku. Ibu mengangguk lalu mengambil wadah yang
dipakai kami untuk berjualan. Aku mengikutinya dari belakang.
“Terima kasih senja,
warna lembayungmu memberiku satu lagi pelajaran. Tentang bersyukur. Ya, aku
bersyukur menjadi Kaila,”gumamku.
Kami terus berjalan
tanpa lelah meski langit sudah gelap. Sesampainya di rumah, ternyata Khalif
sudah selesai melaksanakan ibadah. Aku tersenyum, anak kecil itu selalu hebat.
***
Wanita
itu ibuku
Berbalut baju dan jilbab yang telah usang
Senyum teduhnya tak pernah berlalu
Tak seperti senja yang mudah pergi dan kembali
Ia seperti lembayung
Kontras, cerah, berwarna dan bersahabat
Berbalut baju dan jilbab yang telah usang
Senyum teduhnya tak pernah berlalu
Tak seperti senja yang mudah pergi dan kembali
Ia seperti lembayung
Kontras, cerah, berwarna dan bersahabat
Meski
penatnya tak terjamah
Tanganya setia terbuka menemaniku
Wanita itu ibuku
Yang selalu bertahta di mataku
Yang menyisipkan namaku dalam doanya
Tanganya setia terbuka menemaniku
Wanita itu ibuku
Yang selalu bertahta di mataku
Yang menyisipkan namaku dalam doanya
Tiga tahun berlalu, aku
telah menjadi sosok anak SMA yang telah mengikuti Ujian Nasional. Tinggal satu
langkah lagi. Bahkan aku sudah terdaftar dalam kampus yang terkenal elit di
Bandung. Ini berkat beasiswa dan berkat Ibu yang membanting tulang demi aku dan
Khalif. Hari ini aku dinyatakan lulus. Tanpa pikir panjang, aku langsung pulang
ke rumah dan menubruk tubuh Ibu yang mulai renta.
“Terima kasih untuk
semua yang telah Ibu beri ke Kaila. Kaila bangga punya Ibu. Terima kasih sudah
memperjuangkan Kaila, Kaila selalu sadar bahwa beban Ibu sangat berat...” aku
terisak dalam rengkuhan wanita penuh cinta ini. Ia mengusap puncak kepalaku.
“Selamat ya nak. Ibu
bangga punya Kaila. Jangan merasa kamu membebani Ibu, justru ibu yang harusnya
berterima kasih karena kamu tidak meninggalkan ibu seperti ayahmu,”balas Ibu.
“Yang Kaila tau, ibu
wanita hebat, yang mengajarkan Kaila untuk tidak menjadi senja yang cepat
berlalu tetapi seperti lembayung yang selalu ada untuk senja. Ibu... hebat!”
tangis kebahagiaan kami meluncur begitu saja. Aku bersyukur diciptakan untuk
menemani sosok wanita hebat di depanku.
-TAMAT-
http://www.4shared.com/file/gOmVWMb3/cerpen.html
0 komentar:
Posting Komentar