"Tanpamu,
aku sebatas rindu yang tak pernah sampai ke peraduannya." - Fanny Salma (20yo)

Rabu, 01 Mei 2013

Cerpen - Lembayung dan Senja


Tittle: Lembayung dan Senja
Author: Fanny Salma





Lembayung dan Senja

Satu lagi kisah tentang kehidupan, tentang cinta yang mengawali semua mimpi dan tentang perjuangan bernama harga diri. Ini kisahku dan ibuku sendiri. Aku, Kaila Saufika dan Ibuku bernama Fatimah. Ya, hanya Fatimah. Sederhana seperti sosoknya. Ibuku bekerja sebagai pedagang kue sedangkan ayahku sudah pergi dua tahun lalu saat aku duduk di bangku SD. Bukan meninggal tetapi sengaja pergi tanpa kami. Kini aku telah menjadi sosok anak SMP dalam balutan seragam putih biru dan ibuku masih bertahan dengan pekerjaan yang sama hanya untuk aku dan adik laki-lakiku yang berumur 8 tahun, bernama Khalif Arsyadi.
Mentari masih malu menunjukkan batang hidungnya namun ibuku sudah berada di dapur, membuat macam-macam kue yang nantinya akan beliau titipkan ke warung-warung. Tentunya semua ini dilakukan hanya untuk aku dan adikku, untuk kami supaya tetap bisa bersekolah sampai setinggi-tingginya. Walau itu terlihat mustahil, melihat ekonomi kami yang serba pas-pasan tetapi ia tak pernah letih memberi semangat bahwa ia akan tetap bisa menyekolahkan kami.
“Belajar saja. Ini bukan tugas kamu, nak,”ujar Ibu dengan senyum kebanggaannya ketika aku meminta untuk membantu. Peluhnya sudah terlihat jelas di pagi yang buta ini.
“Kaila sudah belajar, Ibu tenang saja. Biar Kaila bantu ya,”balasku dengan keukeuh.
“Belajarlah. Ibu ingin kamu lebih pintar dari Ibu. Jadi Kaila nanti bisa mewujudkan cita-cita Kaila.” Aku menghela nafas beratdan memilih mengiyakan perintahnya
Tepat pukul 06.45 aku sudah berada di sekolah. SMP Cakrawala, SMP elit di kota Bandung. Nyatanya aku bangga menjadi anak beasiswa meski terlihat ‘berbeda’ dari anak-anak di sini. Tak lama setelah aku mendaratdi bangku paling pojok di depan, bel masuk menjerit sampai ke penjuru sekolah. Datanglah wanita cantik yang kira-kira sudah berkepala empat.
“Selamat pagi,”sapa bu Wahyuni. Wali kelasku.
“Pagiiii buuuu!”
“Materi kali ini tentang proses pencernaan pada tubuh manusia.” Bu Wahyuni mulai menjelaskan materi hari ini. Banyak anak-anak yang tak berminat mendengarkan ha-hal yang sedang disampaikan oleh beliau karena dirasa rumit. Namun aku tetap setia berusaha memahami apa yang beliau sampaikan.
***
Aku dan ibu tengah menjajakan kue di sore hari, Khalif sedang menjaga rumah. Ini adalah rutinitas kami supaya tak hanya mengandalkan uang kue yang dititipkan di warung saja. Setelah semua terjual habis, aku dan ibu duduk direrumputan dekat rumah pak RT. Hanya untuk melepas penat. Meski langit mulai gelap, kami tak juga beranjak.
“Itu senja,”ujar Ibu sambil menunjuk langit.
“Warnanya indah. Kaila tidak pernah memperhatikan,”balasku sambil ikut menatap langit sore.
“Warna lembayung. Sangat indah, ibu selalu suka.” Aku menoleh ke arah ibu dan menangkap guratan kebahagiaan ketika ia menatap sang senja. Diam-diam aku ikut tersenyum melihatnya.
“Senja terlalu indah hingga cepat berlalu, nak,”tambah Ibu. Beliau kini menatapku. Aku mengangguk setuju karena sebentarlagi memang akan benar-benar gelap.
“Itu berarti kita harus selalu ingat kalau tidak selamanya kita berada di dunia, suatu saat kita akan dikirim ke akhirat untuk sesuatu yang bersifat abadi  jadi disini kita harus memprioritaskan bantu-membantu. Tuhan selalu memberi kebahagiaan kalau kita mau bersyukur,”lanjut Ibu.
“Termasuk kalau kita punya masalah?” entah bagaimana pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku. Mengingat bahwa kami lebih sering tertimpa masalah. Bahkan tadi sempat ada pelanggan yang memarahi ibu karena harga kue yang katanya kemahalan, padahal dia tidak pernah tau bagaimana susah payah Ibu membuatnya.
“Orang yang selalu bersyukur adalah orang yang benar-benar menikmati hidup. Percaya sama Ibu, Tuhan tidak pernah lepas tangan atas masalah yang sedang kita hadapi,”ucap Ibu sambil mengusap puncak kepalaku.
“Sudah gelap. Ayo pulang bu, kasian Khalif,”ajakku. Ibu mengangguk lalu mengambil wadah yang dipakai kami untuk berjualan. Aku mengikutinya dari belakang.
“Terima kasih senja, warna lembayungmu memberiku satu lagi pelajaran. Tentang bersyukur. Ya, aku bersyukur menjadi Kaila,”gumamku.
Kami terus berjalan tanpa lelah meski langit sudah gelap. Sesampainya di rumah, ternyata Khalif sudah selesai melaksanakan ibadah. Aku tersenyum, anak kecil itu selalu hebat.
***



Wanita itu ibuku
Berbalut baju dan jilbab yang telah usang
Senyum teduhnya tak pernah berlalu
Tak seperti senja yang mudah pergi dan kembali
Ia seperti lembayung
Kontras, cerah, berwarna dan bersahabat
Meski penatnya tak terjamah
Tanganya setia terbuka menemaniku

Wanita itu ibuku
Yang selalu bertahta di mataku
Yang menyisipkan namaku dalam doanya
Tiga tahun berlalu, aku telah menjadi sosok anak SMA yang telah mengikuti Ujian Nasional. Tinggal satu langkah lagi. Bahkan aku sudah terdaftar dalam kampus yang terkenal elit di Bandung. Ini berkat beasiswa dan berkat Ibu yang membanting tulang demi aku dan Khalif. Hari ini aku dinyatakan lulus. Tanpa pikir panjang, aku langsung pulang ke rumah dan menubruk tubuh Ibu yang mulai renta.
“Terima kasih untuk semua yang telah Ibu beri ke Kaila. Kaila bangga punya Ibu. Terima kasih sudah memperjuangkan Kaila, Kaila selalu sadar bahwa beban Ibu sangat berat...” aku terisak dalam rengkuhan wanita penuh cinta ini. Ia mengusap puncak kepalaku.
“Selamat ya nak. Ibu bangga punya Kaila. Jangan merasa kamu membebani Ibu, justru ibu yang harusnya berterima kasih karena kamu tidak meninggalkan ibu seperti ayahmu,”balas Ibu.
“Yang Kaila tau, ibu wanita hebat, yang mengajarkan Kaila untuk tidak menjadi senja yang cepat berlalu tetapi seperti lembayung yang selalu ada untuk senja. Ibu... hebat!” tangis kebahagiaan kami meluncur begitu saja. Aku bersyukur diciptakan untuk menemani sosok wanita hebat di depanku.

-TAMAT-
http://www.4shared.com/file/gOmVWMb3/cerpen.html

0 komentar:

Posting Komentar